memasuki pepohonan palem. Ana mengeluarkan kameranya dan mulai mengambil fotofoto lagi. Aku juga mengambil foto mereka di sini, misalnya ketika mereka berdiri di bawah pohon kelapa yang dipasangi papan peringatan tentang bahaya buah kelapa. Selain malaikat yang berduka, ada sesuatu mengenai kepala dan buah kelapa berjatuhan yang membuatku berpikir betapa mudahnya mengubah sebuah foto dan memasang foto-foto telanjang palsu seorang kenalan di internet. Tetapi aku yakin sebelumnya pernah melihat wajah Ana dan bukan dalam foto. Aku benar-benar yakin akan hal itu, begitu yakin sehingga aku harus bertanya kepada diriku sendiri mengapa aku bisa begitu yakin mengenai sesuatu yang tidak dapat kuingat.[] Konferensi Tropis KETIKA KAMI TIBA UNTUK MAKAN MALAM, MEJA-MEJA KECIL TELAH DI dorong menjadi satu membentuk satu meja besar. Malam sebelumnya, begitu selesai makan, para tamu berkumpul bersama, dan kuduga para penjamu kami ingin membantu kami duduk berdekatan sejak awal makan malam. Baru kemudian kuketahui inisiatif pengaturan tempat yang tidak biasa ini ternyata datang dari Tuan Spooke, karena seperti yang diungkapkan Jochen Kiess, Ma-ravu Plantation Resort ingin tetap menjadi tempat berlindung bagi para individualis. Aku tiba lebih awal dan punya cukup waktu untuk minum bir di bar dengan si orang Inggris. Kami bercakap-cakap mengenai reptil-reptil di Oseania, dan terutama mengenai tokek rumah, karena John juga menemukan beberapa di antara mereka di kamarnya. Aku tidak mengatakan apa-apa mengenai kejadian botol gin itu. Kasus itu akan tetap menjadi rahasia antara diriku dan sang pemilik penginapan. Sebaliknya, harus kuakui aku bercerita kepadanya sedikit tentang Oslo, termasuk tentu saja beberapa hal mengenai kita. Aku juga bercerita tentang itu kepadanya. Aku bercerita bahwa kita telah kehilangan seorang anak dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Pada pagi itu, aku telah menelepon pusat konferensi di Salamanca untuk memastikan namaku ada dalam daftar peserta, dan aku tidak dapat menahan diri untuk menyebutkan kepada John bahwa aku telah mendapat informasi kalau engkau juga akan ada di sana. Hanya saja aku tidak dapat memastikan apakah engkau tahu aku akan datang. John menanggapi dengan bercerita bahwa ia kehilangan istrinya beberapa tahun lalu karena sakit yang cukup lama. Namanya Sheila, dan aku menduga lelaki itu memiliki ikatan batin yang sangat dalam dengannya. Kami setuju bahwa hidup tidaklah mudah. Setelah bertahun-tahun tidak aktif menulis, orang Inggris ini tengah mulai menulis catatan-catatan kecil untuk sebuah novel baru. Hal itu membawa pembicaraan kami ke arah seni dan kebudayaan secara umum, dan aku mengaku bahwa aku sangat mengagumi para maestro dari Spanyol, terutama koleksi mereka yang sangat indah di Prado. Mendengarnya, matanya membelalak seakan-akan ia teringat akan sesuatu yang sangat penting. Sementara kami duduk dan berbincang-bincang, para tamu mulai berdatangan. Saat makan malam, Laura duduk di sebelah kananku dan Evelyn di sebelah kiri. Mark, yang telah menjadi seorang pengacara penuh, duduk di samping Evelyn, dan di kepala meja, di sebelah kiri Mark, duduklah Bill. John menempatkan dirinya di depanku, dan di sebelah kirinya, di hadapan Laura, duduk Mario. Di sisi lain sang orang Inggris duduklah Ana dan di sebelahnya Jose. Aku akan mencoba menyebutkan hal-hal utama yang terjadi malam itu, dan langsung menceritakan bagian-bagian yang penting saja. Sebelum puding disajikan, John mengetuk gelasnya dan mengucapkan beberapa komentar singkat mengenai pengaturan duduk yang kami lihat malam itu, inspirasi-inspirasi intelektual langka yang sering dapat ditemui pada malam-malam tropis seperti ini manusia sebenarnya memang makhluk tropis dan lebih khusus lagi, betapa menyenangkannya dapat bertemu dengan kami semua, entah apakah kami datang dari Eropa nun jauh di sana, Amerika, maupun Australia. Nyonya rumah kami di Maravu, Nyonya Angela Kiess, juga memberitahunya sambil lalu bahwa untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, tamu-tamu yang sama datang untuk makan malam dua malam berturut-turut; biasanya sebagian orang datang atau pergi pada siang hari. Terlebih lagi dan ini
adalah niat sang orang Inggris untuk malam ini ia percaya bahwa semua orang di meja ini, dengan menyingkirkan perbedaan-perbedaan kecil kami, memiliki suatu persamaan, ya, sebuah kelipatan persekutuan terkecil, kalau ia boleh meminjam istilah matematika. Pendeknya: ia telah melakukan percakapan singkat dengan setiap orang dari kami, dan menyadari bahwa dengan cara masing-masing, kami semua menaruh minat khusus terhadap apa yang ia sebut sebagai dilema manusia modern. Hal ini tampak jelas pada makan malam sebelumnya. Dan ia mengharapkan bahwa diskusi yang akan berlangsung malam ini akan lebih terfokus ketimbang percakapan kemarin yang melebar. Bahkan, sebuah pertemuan nonformal pun bisa mendapat manfaat dari adanya seorang pemimpin forum. Kemudian, ia menyebutkan nama kami semua sambil berusaha bukannya tanpa kesulitan untuk membentuk kami menjadi semacam perwakilan seluruh umat manusia yang bertemu di bawah langit luas yang berbintang. Rapat malam ini pun dimulai, dan John memberinya nama “konferensi tropis”. Kemudian, ia mengucapkan pidato berikut. Tentunya ia telah merenungkan kata-kata ini cukup lama: “Ketika bertemu orang lain, baik di sebuah konferensi profesional atau di sebuah pulau di Laut Selatan, sudah menjadi bagian kebiasaan kita untuk menyebutkan nama Anda dan mengatakan tempat Anda tinggal, dan mungkin juga menyebutkan informasi yang lain, terutama jika Anda akan bertemu dengan orang itu selama beberapa hari. Mungkin Anda akan menyebutkan detail-detail mengenai status pernikahan, pekerjaan, dan negara atau kota asal Anda. Dan mungkin saja Anda menyadari bahwa Anda dapat berkenalan lebih dekat dengan mereka, bahwa Anda memiliki minat yang sama, atau dalam hal ini, beberapa masalah yang sama, seperti pasangan hidup yang terlalu pencemburu, atau sebuah kekurangan fisik, suatu fobia yang langka atau orangtua yang belum lama meninggal. Itu bagus!” Aku melirik ke sekeliling meja, dan sebagian besar para tamu terlihat seperti tanda tanya hidup. Laura yang malam itu mengenakan sebuah blus hitam dan celana jins yang dipotong dengan sobekan-sobekan panjang meletakkan tangannya di lenganku dan berbisik, “Ia benar-benar seorang badut.” “Itu bagus!” ulang si orang Inggris. “Kebutuhan nyata yang mendorong dilakukannya perkenalan seperti itu adalah keinginan untuk memamerkan diri demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, apakah dalam segi jenis kelamin, status, keadaan keuangan, koneksi sosial, atau prestasi dan keahlian-keahlian khusus. Seni dalam hal ini adalah dengan tidak langsung menampakkan aspek-aspek paling menguntungkan yang kita miliki, tetapi melakukannya dengan cara yang paling wajar, tersamar, atau seperti tak disengaja. Karena, manusia tidak semata-mata makhluk sosial. Di atas segalanya, manusia adalah makhluk yang besar kepala, lebih besar kepala, menurut saya, dibandingkan semua vertebrata lainnya. ‘Lihatlah betapa mengagumkan dan pintarnya diriku,’ demikian kata kita. Saya harap, Anda semua menyadari bahwa saya bukan orang kebanyakan. Saya punya dua orang putra yang sudah dewasa, keduanya tengah kuliah, dan seorang putri remaja yang ingin menjadi aktris atau seniman. Itu benar! Nah, putri kami baru saja menikah dengan putra wali kota Liverpool, lelaki itu benar-benar tergila-gila kepadanya. Anda juga dapat melihat bahwa saya cukup kaya. Ya, benar, nama kami sama dengan perusahaan baja itu, pendirinya adalah kakek buyut saya. Oh, saya telah membaca sebagian dari Derrida tentu saja, dan selama beberapa hari terakhir ini, ada sebuah buku karangan Baudrillard di samping tempat tidur saya. Saya juga meminati karya seni; kami punya sebuah lukisan kecil karya Monet di kamar tidur dan sebuah karya Miro di ruang duduk, dan sesungguhnya, kami baru saja menggantungkan sebuah cermin baroque di atas perapian ….” Ia memotong dirinya sendiri dengan berseru: “Baiklah! Bagus!” Aku menatap sekelilingku lagi dan melihat beberapa orang lain juga tengah melakukan hal yang sama, karena pada saat itu tidak ada yang benar-benar tahu arah pidatonya ini. Setidaknya itulah yang saat itu kupikirkan, walaupun
kemudian aku bertanya-tanya apakah ia punya kaki tangan di antara kita. “Udaranya panas,” kata Bill. “Mungkin sebaiknya kita memesan beberapa botol anggur putih? Atau apakah sebaiknya saya membuka sampanye?” Tetapi, John terus melanjutkan. “Di samping semua ini, di samping segala gaun dan makan malam, bedak dan penjepit dasi, rekening bank dan cermin baroque di atas perapian di samping segala embel-embel sosial kita mungkin memiliki dua atau sepuluh tahun, atau paling banyak beberapa puluh tahun lagi untuk hidup di planet ini. Dan karena itu, ya, karena itu, umumnya kita diserang serentak oleh sejumlah sudut pandang tentang eksistensi, walaupun kita jarang membicarakan hal itu. Oleh karena itu, saya menyarankan agar malam ini kita mencoba meninggalkan minat dan aktivitasaktivitas kita sehari-hari, dan berkonsentrasi pada sesuatu yang memengaruhi kita semua.” Pada saat itu, karena aku teringat akan sesuatu yang kubicarakan dengan Gordon malam sebelumnya, tiba-tiba aku mengucapkan, “Contohnya alam semesta.” Aku hanya menggumamkan kata-kata itu kepada diriku sendiri, tetapi John bertanya, “Apa yang Anda katakan?” “Contohnya alam semesta,” ujarku. “Bagus sekali, benar-benar bagus sekali. Jadi sekarang, kita telah mendapatkan usul agar mencoba mengonsentrasikan percakapan malam ini pada alam semesta. Oleh karenanya, kita akan menyingkirkan politik partai ke satu sisi, begitu juga Linda Tripp dan Monica Lewinsky, walaupun saya tidak pernah mengerti bagaimana skandal sebesar itu dapat tercipta dari potensi erotis sebatang cerutu Havana tetapi cukup mengenai hal itu, lebih dari cukup. Kita, dan dengan mengatakan hal itu yang saya maksud adalah setiap orang dari kita, bukanlah produk dari masyarakat yang dibentuk manusia semata. Kita juga hidup di bawah sebuah langit yang sangat misterius, penuh dengan bintang dan galaksi, dan bahkan satelitsatelit kita sendiri hampir tidak dapat membedakan cerutu Havana yang dilarang dengan cerutu Brasil yang tidak berbahaya.” Aku merasakan berputarnya aura penuh kegelisahan di sekeliling meja. Ana dan Jose benar-benar meresapi semangat dari semua ini, walaupun mereka bisa saja adalah bagian dari komite yang mengorganisasi acara ini. Kurasa, kini Laura juga mulai tertarik, walaupun hanya beberapa menit yang lalu ia menyebut John seorang badut. Di pihak lain, kurasa Mark dan Mario hanya mengikuti permainan ini sambil menderita, dan Evelyn, yang kuliah farmasi di Seattle, dengan segera mengatakan bahwa ia tidak tahu apa pun mengenai astronomi dan lebih baik mundur saja. Bill tampak benar-benar apatis; bahkan saat John tengah berbicara, ia memanggil sang lelaki dengan bunga di belakang telinga kirinya dan memesan sesuatu. Sedangkan aku menerjunkan diri ke dalam situasi itu, dan ke dalam Maravu Plantation Resort sebagai tempat berlindung bagi pertanyaan-pertanyaan besar selain juga bagi para individualis. John mulai berusaha mencairkan pertemuan itu dengan bertanya berapa banyak dari kami percaya akan adanya kehidupan di planet lain. Karena Evelyn tidak ingin menjawab pertanyaan itu sedikit pun, perkumpulan itu pun terbagi menjadi dua pihak yang sama besar, dan John telah siap untuk menarik kesimpulan pertama kalinya malam itu. “Luar biasa! Saya harus mengatakan bahwa saya terkesan dengan pendapat yang muncul dalam forum ini. Saya mengemukakan pertanyaan paling fundamental mengenai kondisi alam semesta dan dapat menyatakan bahwa, hanya dalam waktu beberapa menit, saya telah mendapatkan empat jawaban yang benar-benar tepat dari pertanyaan tersebut. Walaupun keempat jawaban yang lain sama sekali salah.”
“Jadi, Anda tahu jawabannya?” komentar Mario. Sang ketua tidak memedulikannya. Ia melanjutkan: “Karena mungkin saja ada kehidupan di alam semesta atau mungkin tidak ada. Tertium non da-tur! Tentu saja, sekadar gagasan bahwa angkasa luar di atas sana dipenuhi kehidupan sudah cukup membuat kepala kita pusing. Tetapi, mungkin juga bahwa kehidupan hanya terbatas ada di planet kita, walaupun hal itu tidak membuat kenyataan lebih mudah diterima; memikirkan hal itu pun bisa membingungkan. Maka, jelas bahwa empat dari kita yang hadir telah memberikan jawaban yang tepat dan benar atas pertanyaan yang kita ajukan. Dengan kata lain, jawaban atas pertanyaan yang sulit tidaklah harus begitu rumit.” “Anda belum mengatakan yang mana di antara kita yang memberikan jawaban yang benar,” Mario merajuk. “Hal itu tidak penting,” John menekankan. “Sejauh yang saya tahu, adalah keberhasilan yang luar biasa bahwa ada empat orang yang duduk di sekeliling meja ini memberikan jawaban yang benar mengenai keberadaan kehidupan di luar sana.” Saat itulah secara memalukan aku bertindak terlalu terburu-buru. “Sudah pasti ada kehidupan di luar sana,” ujarku. “Di alam semesta ini mungkin ada seratus miliar galaksi, dan setiap galaksi memiliki seratus miliar bintang. Sungguh sia-sia ruang teramat luas itu jika kita memang sendirian.” “Itu adalah sebuah komentar yang menarik,” jawab Jose. “Mengapa?” “Kemarin malam, Anda sangat menekankan bahwa tidak ada kesengajaan di balik proses alam.” “Saya masih berpendapat demikian,” aku menegaskan. Ia pun menyerangku: “Dan hari ini, Anda bilang sungguh sia-sia ruang teramat luas itu jika kita memang sendirian di sini ….” Aku mengangguk karena belum menyadari kerancuan pemikiranku. Tetapi perangkap telah terpasang, Vera, karena ia berhasil menjebakku: “Lalu mungkin Anda dapat mengatakan kepada kami siapakah, atau siapakah yang tidak, menyia-nyiakan ruang itu?” Aku hanya bisa menelan rasa malu dan mengakui bahwa ia telah membuktikan kalau aku tidak konsisten. Pada saat yang sama, terpikir olehku, orang-orang pertama yang menggunakan argumen “ruang yang tersia-sia” untuk mendukung pendapat bahwa alam semesta ini dipenuhi kehidupan sering juga merupakan orang-orang yang begitu berapi-api menyangkal adanya makna lebih mendalam di balik proses-proses alam. Tetapi, jika penciptaan kehidupan di Bumi ini memang tidak lebih dari sebuah kebetulan yang gila, semakin tidak masuk akal untuk mempertahankan kebetulan gila yang sama itu sebagai suatu prinsip kosmos. John melanjutkan dengan membahas beberapa pertanyaan lain mengenai kosmologi. Setiap pertanyaannya selalu membagi para peserta menjadi dua kubu. Ia ingin tahu apakah energi kosmik memang selalu ada, dan jika tidak, kami harus memutuskan apakah energi itu sepenuhnya melakukan evolusi dengan sendirinya atau diciptakan oleh suatu kekuatan internal atau eksternal. Kemudian ia ingin tahu apakah alam semesta akan terus meluas, atau jika massanya begitu besar, apakah ia akan menyatu kembali dan lalu menyebabkan banyak Big Bang baru yang tak terhitung jumlahnya berikut alam-alam semesta lain yang tercipta karenanya. Ia berusaha untuk mencari tahu apakah ada kesadaran transenden ataukah semesta fisik adalah satu-satunya yang ada. Lalu ia tertarik untuk mendengar pendapat kami mengenai apakah manusia memiliki ruh yang bertahan setelah otaknya mati, atau apakah segalanya di alam ini berusia pendek. Apakah
fenomena-fenomena adi indriawi benar-benar ada, tanyanya, ataukah setiap fenomena tersebut hanyalah fantasi belaka, tidak lebih dari sisa-sisa cara memandang dunia melalui mitos atau bahkan animisme yang masih tertinggal dalam pikiran manusia modern? Setiap kali John selalu mengomentari bahwa pertemuan itu terbagi menjadi dua kubu yang bertentangan, dan mengingatkan kami bahwa setidaknya sebagian dari kami yang hadir telah memberikan jawaban yang benar dari pertanyaan-pertanyaan yang ia tanyakan, karena tidak pernah sekalipun kami semua memiliki pandangan yang sama. “Ya atau tidak!” John Spooke menegaskan dengan suaranya yang berlogat Inggris Oxford sebelum menutup persamaan-persamaan kuadrat mengenai keberadaannya dengan sebuah istilah Latin: Tertium non datur1. Tidak lama kemudian, lelaki dengan bunga di belakang telinga kirinya meletakkan dua botol sampanye pesanan Bill di atas meja, dan kini percakapan sepenuhnya memasuki sebuah fase baru. John ingin berkeliling meja sehingga setiap orang dapat bergantian memberikan sebuah rangkuman singkat mengenai filosofi hidup mereka. Kini kami semua tertarik; bahkan Evelyn pun mulai menyambut ide ini. Jose memulai lebih dulu, dan mengambil kesempatan itu untuk mengeluarkan argumen yang dapat kusebut sebagai sudut pandang antroposentris. Ia percaya bahwa ukuran alam semesta tidak mungkin pernah jauh lebih kecil, atau susunannya terlalu berbeda, daripada yang ada sekarang, untuk memungkinkan kemunculan manusia di alam semesta ini. Kesimpulan yang ia ambil selalu jauh melebihi argumen-argumen yang ia kemukakan. Tetapi, ia mengingatkan kami bahwa otak manusia mungkin adalah benda paling rumit di seluruh alam semesta, dan pada dasarnya jauh lebih sulit untuk dimengerti dibandingkan bintang-bintang neutron dan lubang hitam. Terlebih lagi, otak tersusun dari atom-atom yang pernah mendidih dalam bintangbintang yang telah lama padam, dan jika alam semesta tidak sebesar ini, ia tidak akan mungkin menciptakan bintang dan planet-planet, atau bahkan mikro organisme sekalipun. Bahkan, sebuah planet “tanpa inteligensi” seperti Yupiter memiliki peran vital sehingga kami dapat duduk di sini dan bercakap-cakap dengan begitu rasional. Jika bukan berkat medan gravitasi yang begitu besar dari planet raksasa itu, Bumi akan terus-menerus dihujani meteor dan asteroid. Tetapi, Bapa Jove (Yupiter) berperan seperti sebuah pengisap debu terhadap kekuatan chaos. Jika tidak, tidak mungkin di planet Tellus (Bumi) terbentuk sebuah biosfer dan, akhirnya, kehidupan manusia. Ia menjelaskan semua ini dengan sikap yang membuatku teringat tentang kebiasaan para kepala suku Fiji zaman dahulu yang menggunakan seorang manusia nyamuk untuk tidur nyenyak. Jika Bumi adalah sang kepala suku dan meteor-meteor adalah kumpulan nyamuk, Yupiterlah yang menyediakan jasa sebagai manusia nyamuk. Kita pun tidak boleh lupa bahwa selama ini Yupiter telah menderita beberapa gigitan nyamuk yang parah, satu saja, menurut Jose, akan cukup untuk menghabisi seluruh kehidupan di atas Bumi. “Beri saya sebuah planet yang hidup!” demikian ia menutup orasinya. “Dan sejauh yang saya tahu, ada kemungkinan hanya Bumi yang memenuhi syarat untuk disebut demikian, asalkan, tentu saja, tidak ada suatu kekuatan yang memutuskan untuk tidak menyia-nyiakan ruang. Walaupun dapat dimengerti jika ternyata seluruh massa alam semesta hanya cukup untuk menciptakan satu kesadaran yang mampu untuk mengajukan teori-teori seperti ini. Dapat dimengerti pula jika diperlukan banyak waktu untuk menciptakan apa pun yang serumit pikiran manusia, tidak hanya sekadar tujuh hari. Tepuk tangan bagi Big Bang baru terdengar lima belas miliar tahun setelah ledakan itu terjadi.” Bill berargumen bahwa hanya tinggal menunggu waktunya bagi sains untuk mengungkap semua rahasia zat dan alam semesta. Mark mengisyaratkan bahwa semakin banyak riset mendasar akan dibiayai perusahaan-perusahaan multinasional. Sedangkan, Evelyn memegang teguh kepercayaan terhadap Yesus sebagai juru selamat umat manusia dan alam semesta. Kemudian giliran Laura. Laura tidak menyembunyikan kenyataan bahwa ia mengambil banyak inspirasi bagi pandangan hidupnya dari filsafat India, terutama vedanta, satu dari enam aliran ortodoks, atau lebih tepatnya kevai advaita, sebuah
istilah yang dikutip dari sang filosof Shankara, yang hidup di India pada awal abad ke-19. “Keval advaita” berarti “nondualisme absolut” ujar Laura kepada kami. Ia meneruskan dengan memberitahukan bahwa hanya ada satu kenyataan, yang disebut oleh orang-orang India sebagai brahman atau mahatman, yang artinya adalah “jiwa dunia” atau lebih harfiahnya “jiwa besar”. Brahman hidup kekal, tidak dapat terbagi dan tidak berwujud. Jadi, semua pertanyaan John memiliki satu jawaban, dan hanya satu jawaban, karena brahman lah jawaban dari semua pertanyaan yang ia lontarkan. “Ya ampun, Laura,” terdengar Bill yang baru saja mengungkapkan optimisme ilmiah yang hampir naif menghela napas panjang. Tetapi, Laura tidak membiarkan perhatiannya dialihkan. Ia menjelaskan bahwa segala keanekaragaman hanyalah sebuah ilusi. Sebuah ilusi yang menyebabkan kehidupan sehari-hari kita menunjukkan sebuah dunia yang memiliki banyak sisi, ujarnya sebuah ilusi yang selama beribu-ribu tahun oleh orang-orang India disebut maya. Karena dunia yang sesungguhnya bukanlah dunia luar yang tampak atau dunia materi. Itu hanyalah sebuah ilusi, dan tampak nyata bagi mereka yang terpengaruh. Namun, bagi orang-orang bijak, hanya brahman atau sang jiwa dunialah yang sejati. Jiwa manusia identik dengan brahman, ia melanjutkan, dan hanya ketika kita menyadari hal ini, ilusi realitas eksternal lenyap. Jiwa manusia pun menjadi brahman, yang sebenarnya selalu begitu adanya, tetapi tak disadari. “Kurasa, kita memang mengharapkan hal itu,” komentar John. “Dunia eksternal tidak ada dan semua keanekaragaman hanyalah sebuah ilusi.” Laura tidak terpancing oleh umpan tersebut. Ia meraba rambut hitamnya yang terkepang dan tersenyum nakal ke sekeliling meja sambil menjelaskan dengan lebih terperinci. “Ketika Anda bermimpi, Anda berpikir menjadi bagian dari sebuah kenyataan yang memiliki banyak sisi dan bahwa Anda berada di dunia eksternal. Tetapi, segala sesuatu di dalam dunia mimpi yang penuh ilusi itu adalah produk dari jiwa Anda sendiri, mimpi itu adafah jiwa Anda dan tidak lebih. Masalahnya adalah Anda tidak menyadari hal ini hingga Anda terbangun, dan kemudian mimpi itu tidak lagi ada. Ketika semua topeng kepalsuan dalam mimpi itu telah dilucuti, muncullah apa yang sebenarnya ada selama ini, yaitu tidak lain diri Anda sendiri.” “Saya tidak mengenal teori itu,” ketua kami mengakui. “Walaupun teori itu menarik sekaligus radikal. Tentunya hampir tidak mungkin untuk membuktikannya salah ….” Ia menimbang-nimbang sesaat, kemudian berkata, “Apakah Anda benar-benar mengatakan ‘maya’?” Si wanita mengangguk, dan si orang Inggris kemudian mengalihkan lirikannya kepada Ana yang duduk di sebelah kanannya. Kuperhatikan wanita itu menunduk, dan pada saat yang sama, Jose melingkarkan lengannya memeluk si wanita dan menariknya mendekat. “Kita percaya bahwa kita adalah sembilan jiwa yang duduk di sekeliling meja ini,” Laura menunjukkan. “Dan hal itu disebabkan oleh maya. Pada kenyataannya, kita adalah aspek dari jiwa yang satu dan sama. Ilusi maya lah yang membuat kita berpikir bahwa orang lain adalah sesuatu yang berbeda dari diri kita. Itulah mengapa kita tidak perlu khawatir akan kematian. Tidak ada yang bisa mati. Satusatunya yang menghilang ketika kita mati adalah imajinasi kita sendiri yang merasa terpisah dari seluruh dunia begitu kita memercayai bahwa mimpi kita bukanlah bagian dari jiwa kita sendiri.”
John berterima kasih kepada Laura atas kontribusinya, dan kini adalah giliran Mario. “Saya seorang Katolik,” hanya itu yang diucapkannya, dan ia melambaikan tangan untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang dapat ia tambahkan. Tetapi, John tidak mengizinkannya mengelak dengan begitu mudah, dan akhirnya sang pelaut kesepian itu pun menjelaskan. “Anda semua duduk di sini dan bercakap-cakap dengan begitu entengnya tentang sesuatu yang dapat Anda lihat, sementara pada kenyataannya kedua mata Anda buta. Anda berkata dapat melihat semua bintang dan galaksi, evolusi kehidupan di Bumi, dan bahkan materi genetik. Anda melihat keteraturan muncul dari kekacauan dan Anda bahkan menyombongkan diri dapat melihat masa lalu hingga saat terjadinya penciptaan. Dan pada akhirnya, Anda menyatakan telah membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada! Bravo!” Karena ia tidak melanjutkan, John berusaha membujuknya agar memulai lagi, dan setelah terdiam sejenak, Mario pun berkata, “Kita sudah pernah datang ke hampir segala tempat sekarang, dan belum pernah sekalipun menemukan adanya suatu bentuk ketuhanan. Tidak ada Tuhan yang menunggu kita di atas Puncak Everest. Tidak ada meja yang telah disiapkan bagi kita di permukaan Bulan. Bahkan, kita belum pernah melakukan kontak radio dengan Roh Kudus. Tetapi, jika kita bermain petak umpet, petak umpetlah yang kita dapatkan. Yang saya coba katakan adalah: siapakah yang memiliki filsafat tentang dunia yang paling naif? Para teolog? Atau para reduksionis?” Ketika Evelyn bertepuk tangan singkat, Mario melanjutkan, dan segera menjadi lebih antusias. Ia menyebutkan bahwa saat muda, ia adalah seorang guru fisika, dan hingga kini masih mengikuti informasi dengan membaca majalah dan buku-buku mengenai subjek itu. “Kita telah lama melihat menembus biosfer. Segalanya hanyalah makromolekul, hanya protein bahkan tidak hanya itu, tetapi tidak lebih dari campuran asam-asam amino. Luar angkasa juga tidak terlalu menarik. Hanya sebuah Ledakan Dahsyat yang memulai segalanya. Tidak ada yang misterius mengenai apa pun: efek Doppler, radiasi latar belakang kosmik, ruang melengkung, atau apa pun di atas sana. Itulah yang disebut fisika, atau fisika teoretis. Hanya kesadaranlah misteri yang tersisa, walaupun jika Anda menguraikannya, tidak banyak yang dapat dikagumi mengenainya, sama seperti hal-hal lainnya di alam semesta ini. Kesadaran juga hanya tersusun dari atom-atom dan molekul-molekul. Filsafat mungkin akan mendapatkan libur panjang. Karena tidak ada lagi teka-teki yang tersisa untuk ditebak. Atau, apakah ilmu pengetahuan yang memerlukan istirahat untuk berpikir? Mungkin ilmu pengetahuanlah yang hampir mati. Satu-satunya yang membuat kita khawatir sekarang dan dengan mengatakan “kita”, harus saya tambahkan bahwa kita adalah kaum minoritas adalah dunia itu sendiri. Tetapi, beri saja beberapa argumen yang rumit, dan kami tidak akan bertanya lebih lanjut.” Evelyn bertepuk tangan lagi, dan Jose dan Bill mengangguk-angguk. Setelah Mario adalah giliran John. “Saya telah ungkapkan keyakinan saya bahwa sebenarnya banyak masalah besar yang kita ajukan dapat diselesaikan dengan satu jawaban sederhana. Kesulitannya adalah tidak mudah memilih di antara jawaban-jawaban yang ada. Saya juga berusaha untuk menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan mengenai kosmos mungkin lebih cocok diajukan dalam permainan-permainan saat pesta dibandingkan untuk analisis ilmiah. Ilmu pengetahuan telah memberi kita teori evolusi, teori relativitas, fisika kuantum, juga teori Big Bang yang menarik. Baiklah, bagus! Semua itu bagus. Pertanyaannya lalu apakah ilmu alam telah mulai mendekati akhir. Walaupun dalam waktu dekat kita akan dapat memetakan seluruh genom manusia dengan beratus-ratus ribu gen yang ada di dalamnya sepertinya tetap
tidak mungkin hal ini membuat kita menjadi lebih bijak. Peta itu sendiri hampir pasti akan memajukan bioteknologi dan mungkin membantu menyembuhkan berbagai penyakit, tetapi kemungkinan besar tidak akan menunjukkan apakah sesungguhnya kesadaran itu atau menjawab mengapa kesadaran itu ada. Dan kita dapat terus bertahan dalam situasi seperti itu. Jawaban untuk pertanyaan apakah ada kehidupan di sebuah galaksi yang jauhnya beberapa ratus juta tahun cahaya dari kita adalah sesuatu yang tidak akan pernah kita tahu, karena jaraknya terlalu jauh. Dan walaupun kita selalu memperdalam pemahaman kita tentang evolusi alam semesta, kita tidak akan pernah bisa memberikan penjelasan ilmiah mengenai apakah alam semesta itu. Tetapi, izinkan saya meminjam sebuah perumpamaan dari Laura, yang membandingkan dunia luar sebagai sebuah mimpi. Ini adalah sebuah alegori yang luar biasa. Jika dunia ini adalah sebuah mimpi, ilmu pengetahuan berusaha menganalisis apakah sesungguhnya zat-zat dari mimpi itu sendiri. Ilmu pengetahuan berusaha mengukur jarak dari satu ujung mimpi ke ujung lainnya. Tetapi, semua orang juga setuju bahwa waktu dan ruang runtuh jika kita mengintip ke sisi-sisi luar alam semesta dan jika kita menengok ke belakang hingga saat terjadinya Big Bang, walaupun sesungguhnya kita membicarakan dua sisi dari sebuah koin yang sama. Karena, semakin jauh kita melihat ke dalam alam semesta, semakin jauh pula kita melihat kembali ke dalam sejarahnya. Maka, kita pun mencoba sedapat mungkin untuk mencari jalan kita dalam mimpi itu. Dan bagus, semua ini memang baik. Tetapi, kita tidak dapat keluar dari mimpi itu. Kita tidak akan pernah dapat melihatnya dari luar. Kepala kita terantuk pada batas terakhir mimpi itu sama seperti seseorang yang autis mungkin membenturkan kepalanya ke dinding.” Aku menuangkan sampanye lagi ke dalam gelas Laura. “Apakah Anda benar-benar menyingkirkan kemungkinan bahwa suatu hari kita akan dapat jauh lebih memahami dunia yang kita huni ini?” tanyaku. Ia menggelengkan kepala. “Justru sebaliknya. Saya punya keyakinan penuh pada intuisi manusia. Tetapi, jika kita ingin memecahkan teka-teki alam semesta, mungkin seharusnya kita mencari jawabannya dalam hati, dan siapa tahu teka-teki itu sebenarnya sudah pernah terpecahkan. Saya sama sekali tidak akan terkejut jika solusi atas misteri alam semesta telah tersimpan dalam suatu tulisan Yunani, Latin, atau India Kuno. Dan jawabannya sama sekali tidak perlu begitu rumit, mungkin hanya sepanjang sepuluh atau dua puluh kata. Sama seperti saya yakin bahwa teori maya milik Laura dapat disingkat menjadi beberapa kalimat saja. Malam ini kita mendapatkan jawaban-jawaban eksplisit atas seluruh rangkaian pertanyaan yang tidak memiliki lebih dari dua alternatif. Saya yakin, tidak ada peralatan modern yang dapat membuktikan di antara jawaban-jawaban yang kita berikan mana yang benar dan mana yang benar-benar salah. Bagaimana pendapat Anda, Ana?” Kini adalah gilirannya. Selama beberapa saat, wanita itu hanya memandang ke luar ke arah malam tropis. Kemudian, ia menegakkan duduknya dan berkata dengan bersungguh-sungguh, “Ada sebuah kenyataan lain di balik kenyataan yang kita saksikan ini. Ketika saya mati, saya tidak akan mati. Anda semua akan meyakini bahwa saya telah mati, tetapi saya tidak mati. Tidak lama lagi kita akan bertemu kembali di sebuah tempat lain.” Kata-kata ini mengumumkan akhir dari pesta ini. Arti dari percakapan ini telah berubah total. Suasana ngeri terasa di sekeliling meja, dan kurasa bukan aku sendiri yang melihat sebutir air mata mengalir dari mata Jose. Ana melanjutkan, “Anda semua akan berpikir kalian tengah berada di sebuah pemakaman, tetapi kenyataannya Anda akan menyaksikan sebuah kelahiran baru ….” Kini Ana menatapku lurus-lurus. “Ada sesuatu di balik semua ini,” ia berkeras. “Di sini kita hanyalah ruh yang melayang-layang dalam peralihan.”
“Sudahlah, cukup,” Jose berbisik dalam bahasa Spanyol. “Engkau tidak perlu melanjutkan.” Semua mata tertuju kepada Ana sementara ia berbicara. Saat itulah hal itu terjadi, Vera, kejadian yang membuatku begitu banyak menceritakan “konferensi tropis” di Maravu Plantation Resort. “Kita hanyalah ruh yang melayang-layang dalam peralihan,” ulang sang ketua. Sambil mengatakan hal itu, ia meletakkan satu jarinya di dahi Ana dan berkata, “Dan ruh yang ini bernama Maya!” Jose menggelengkan kepalanya dengan gelisah dan merangkul Ana untuk melindunginya. Tampak jelas bahwa komentar yang terakhir telah membuatnya tidak senang. Atau mungkin ia hanya tidak suka cara orang Inggris itu menyentuh Ana dengan jari telunjuknya? Bagiku, reaksinya sulit untuk ditebak. “Kurasa cukup sudah,” ujarnya. John menggigit bibirnya seolah-olah tiba-tiba sadar bahwa ia telah bertindak tanpa berpikir. Walaupun begitu, ia berkata, setengah kepada dirinya sendiri, sambil sekali lagi melirik sekilas ke arah Ana, “Dan juga ada sebuah karya besar yang terlibat di sini.” Jose menanggapinya dengan menarik Ana dari kursinya. “Terima kasih!” ujarnya. “Cukup sudah!” “Ayo, kita pergi!” ujarnya kepada Ana dalam bahasa Spanyol. Dan mereka pun menghilang ke dalam pepohonan palem. Itu adalah kala terakhir kami melihat kedua orang Spanyol itu malam itu, tetapi saat itu sudah lewat tengah malam. Kurasa, setelah satu menit penuh barulah orang-orang mulai berbicara. Kami hanya duduk di sana memikirkan apa yang telah terjadi di antara John dan Jose. Bill adalah yang pertama memecah keheningan. “Anda semua tahu apa yang saya pikirkan?” ujarnya dengan sebuah cengiran lebar. “Saya berpendapat ada sekitar enam miliar orang yang suka bercakap-cakap di planet ini, dan kita hanya berada di sini selama delapan puluh hingga sembilan puluh tahun maksimal. Dan Anda dapat menemukan begitu banyak hal menyenangkan untuk dikatakan dan begitu banyak omong kosong.” Perlahan Laura bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menjauh dari kelompok itu. Di atas sebuah meja samping terletak sebuah teko berisi air es. Diangkatnya teko itu dan ia berjalan ke belakang orang Amerika itu. Kemudian, ia menuangkan seluruh isi teko, air dan es batu, di atas kepalanya. Lelaki itu duduk terpaku selama setidaknya dua detik, tanpa bergerak sedikit pun. Kemudian, ia melompat berdiri dari kursinya, mencengkeram lengan kiri Laura, menariknya mendekat, lalu memukulnya. Aku bersimpati terhadap si lelaki hingga saat itu, dan walaupun pukulan itu tidak keras, lebih seperti sebuah tamparan dengan tangan terbuka, tetap saja semua ada batasnya. Jelas bahwa orang Amerika itu telah membuat semua orang tidak bersimpati kepadanya, dan bahkan memandang kedua botol Veuve Clicquot yang kosong tidak membantu. Laura hanya berjalan dengan tenang kembali ke meja dan duduk di sampingku tanpa sepatah kata pun. John mulai berterima kasih kepada kami atas sebuah malam yang menyenangkan. Ia menambahkan, “Besok, kita tidak harus berpikir terlalu melangit.”
Bill meninggalkan meja, begitu pula Mark dan Evelyn kurasa, kedua orang Amerika muda itu hampir melarikan diri membayangkan akan terjadinya perkelahian lagi. Mario telah meninggalkan meja bahkan sebelum Laura mengosongkan teko air esnya. Aku meletakkan tanganku di pipi kiri Laura. “Sakitkah?” tanyaku. Ia menggelengkan kepalanya. “Kelihatannya tidak baik.” Ia berkata, “Kau harus belajar membebaskan dirimu, Frank.” “Apa?” “Tetapi, apa yang kau hilangkan tidak berarti dibandingkan apa yang kau dapatkan.” Diterangi cahaya lilin dari atas meja, aku menatap ke dalam satu mata cokelat. Jauh di dalam pigmen yang gelap, sebuah garis berwarna hijau berjuang agar tidak terkalahkan oleh warna cokelat. “Dan apa yang aku dapatkan?” “Engkau akan mendapatkan seluruh dunia.” “Seluruh dunia,” ulangku. Ia mengangguk. “Apa yang kau hilangkan mungkin terasa besar dan penting. Tetapi, hal itu tidak lebih dari sebuah ilusi yang dipaksakan.” “Diri sendiri, maksudmu. Itukah yang merupakan ilusi?” “Hanya diri kecil. Hanya diri ilusi. Sebenarnya, diri itu sama seperti tidak ada. Tetapi, engkau memiliki sebuah diri yang lebih besar.” Aku mendengar seseorang mendekat dalam kegelapan, dan detik berikutnya sebuah teko berisi air dikosongkan di atas kepala kami. Aku tidak percaya bahwa secara tidak sengaja sebagian besar air tersebut mendarat padaku, walaupun kami duduk begitu dekat saat hal itu terjadi. Sebelum kami sempat berpikir, siapa pun yang telah melakukan hal itu telah menghilang. “Si bodoh itu,” ujar Laura penuh kebencian. Aku berdiri dan menggoyangkan kepalaku. Kemejaku basah kuyup. Begitu pula blus Laura, dan aku hampir tidak dapat berpikir jernih melihat betapa blus itu menempel pada kulitnya. “Mungkin sebaiknya kita kembali saja,” ujarku. Ia menatapku dengan mata hijaunya, “Engkau yakin?” “Yakin sekali,” ujarku. Setelah kami pergi ke arah yang terpisah, barulah kusadari pertanyaannya tadi tentunya merupakan sebuah undangan. * Malam itu, aku hampir tidak sabar untuk kembali kepada Gordon. Sebenarnya hatinya baik, dan mungkin ia benar saat mengatakan tidak banyak gunanya aku meminum begitu banyak gin hanya agar dapat tidur pada malam hari. Ia telah mengambil posisi di atas sebuah cermin besar di sebelah kanan meja
tempat tidurku, dan begitu aku menutup pintu di belakangku, aku mendengarnya berlari dari satu sisi ke sisi yang lain. Tentu saja aku tidak dapat benar-benar yakin bahwa itu adalah Gordon, karena tentunya ada beberapa tokek di dalam kamar tidurku, dan aku tidak terlalu bersemangat untuk harus mulai dari awal dan memperkenalkan diri kepada seekor tokek baru. Tetapi begitu menyalakan lampu, aku dapat melihat bahwa itu memang dirinya. Aku selalu memiliki semacam bakat untuk membedakan ciri-ciri setiap vertebrata, dan tentu saja tokek adalah sebuah individu, sama seperti manusia, pikirku. Mereka memiliki tingkatan individualitas yang persis sama dengan kita. Hal itu setidaknya adalah sebuah pendapat yang kuyakin akan didukung oleh perwakilan WWF yang ada di pulau ini. Selain itu, Gordon adalah seekor tokek jumbo, mungkin ia adalah yang terbesar dalam kelasnya. “Aku akan langsung tidur,” aku mengumumkan. “Aku mengatakan ini hanya agar engkau tidak tersinggung jika aku tidak duduk-duduk dulu dan bercakap-cakap hingga lewat tengah malam.” Aku membuka tas kabinku dan memutar tutup botol gin. Aku menelan satu tegukan besar, satu tegukan yang cukup besar untuk meyakinkan agar aku tertidur. “Terus terang, itu sulit kupercaya,” ujar Gordon. “Ha?” “Bahwa engkau akan pergi tidur. Aku juga yakin engkau akan minum lagi dari botol itu.” “Aku sama sekali tidak berencana melakukan hal itu.” “Apakah malammu menyenangkan?” “Aku tidak ingin membicarakannya. Jika mulai berbicara sekarang, aku tidak tahu apakah akan bisa berhenti. Lalu, semuanya akan sama seperti kemarin. Kau tahu, kan, maksudku?” “Aku hanya bertanya apakah malammu menyenangkan.” “Laura adalah seorang panteis,” ujarku. “Dan ia juga seorang penganut monisme yang ekstrem. Aku dapat saja menyebutnya sebagai penganut monisme vulgar.” “Dengan kata lain, seorang wanita yang cerdas. Ia tidak berputar-putar setengah tidur seperti beberapa orang yang kutahu. Dan aku yakin, ia juga tidak membersihkan giginya dengan gin.” “Kemudian, ia membahas tentang maya. Aku pernah mendengarnya sebelumnya, jadi aku tidak perlu dikuliahi.” “Maya adalah sebuah ilusi tentang dunia,” ujar Gordon. “Maya menciptakan ilusi menyakitkan bahwa diri hanyalah sebuah ego semata, yang terpisah dari Diri yang Besar dan hanya memiliki beberapa bulan atau tahun untuk hidup. Maya juga merupakan nama sebuah bangsa di Amerika Tengah, tetapi hal itu adalah sesuatu yang benar-benar berbeda ii “Sudah kubilang aku tidak perlu diberi penjelasan. Tetapi Jose bereaksi begitu aneh ketika orang Inggris itu meletakkan jarinya di dahi Ana dan seakan-akan mengungkap dirinya yang sebenarnya. ‘Ruh yang ini bernama Maya,’ ujarnya, dan kemudian ia bergumam tentang suatu ‘karya besar’. Apa yang ia katakan memang aneh, sangat aneh. Tetapi wanita itu juga bereaksi dengan sangat mengherankan. Seolah-olah ia tidak tahan diberi tahu secara terang-terangan.”
“Ada sebagian orang yang begitu kuat berada dalam cengkeraman maya sehingga terasa menyakitkan untuk bangun. Ham pir seperti terbangun dari mimpi buruk.” “Omong kosong. Engkau tidak tahu apa yang kumaksud. Engkau bahkan tidak ada di sana.” “Aku ada di mana-mana, Frankie. Hanya ada satu diriku.” “Kumohon, hentikan omong kosong ini.” “Aku hanya mengutarakan pernyataan paling sederhana dan paling nyata dari alam semesta.” “Yaitu?” “Hanya ada satu dunia.” “Baiklah, aku mengerti itu. Hanya ada satu dunia.” “Dan itu adalah dirimu.” “Oh, diamlah.” “Engkau harus keluar dari kungkungan diri, Tuan. Cobalah melihat lebih tinggi dari pusarmu dan ke luar, ke luar ke arah hasil karya alam di sekelilingmu, ke luar, ke curahan tanpa henti kenyataan yang ajaib.” “Aku berusaha.” “Dan apa yang kau lihat?” “Aku melihat pepohonan palem di belahan bumi selatan.” “Itu adalah dirimu.” “Kini aku melihat Ana keluar dari dalam pemandian bergelembung di bawah Air Terjun Bouma.” “Itu adalah dirimu.” “Aku mengenali kepalanya, tetapi tidak badannya.” “Sekarang berkonsentrasilah.” “Aku melihat sebuah planet yang hidup.” “Itu adalah dirimu.” “Dan aku melihat sebuah alam semesta yang mengagumkan dengan bermiliar-miliar galaksi dan kumpulan galaksi.” “Semua itu adalah dirimu.” “Tetapi ketika aku melihat ke luar, ke alam semesta, aku juga melihat ke masa lalu, ke dalam sejarahnya. Aku benar-benar mempelajari kejadian-kejadian yang mungkin saja berusia beberapa miliar tahun. Banyak dari bintang yang kulihat sekarang, pada saat ini juga telah lama berubah menjadi raksasa merah atau supernova. Sebagian dari mereka telah berubah menjadi katai putih, bintang neutron yang membara, dan lubang hitam.” “Engkau melihat ke masa lalu dirimu sendiri. Itulah yang disebut sebagai memori. Engkau berusaha mengingat sesuatu yang telah kau lupakan. Tetapi, itu adalah dirimu, semua itu.” “Aku melihat sebuah sistem tidak teratur yang terdiri dari bulan-bulan dan planet, asteroid-asteroid dan komet.”
“Itu semua adalah dirimu. Karena hanya ada satu realitas.” “Betul. Sudah kubilang aku setuju akan hal itu.” “Hanya ada satu materi dunia, hanya ada satu zat.” “Dan itu adalah aku?” “Itu adalah dirimu.” “Berarti, aku bukanlah seseorang yang lemah?” “Hanya jika engkau menyadari hal itu. Hanya jika engkau dapat meninggalkan dirimu.” “Betul, tepat sekali. Dan mengapa hal itu begitu sulit?” “Karena engkau tidak ingin melepaskan dirimu sendiri. Sebenarnya sesederhana itu.” “Bahkan sebuah solusi yang mudah bisa saja sulit dipraktikkan. Contohnya, mudah sekali bunuh diri.” “Engkau tidak primitif seperti itu.” “Primitif?” “Hal itu juga mensyaratkan engkau kehilangan ego.” “Benar juga, dan yang menjadi paradoks adalah bahwa aku mungkin saja melakukan bunuh diri hanya karena rasa takut akan kematian yang datang dengan perlahan. Terkadang seorang anak kecil memakan cokelat hanya karena ia khawatir orang lain memakan cokelatnya. Tetapi kita sudah pernah membicarakan hal ini sebelumnya. Engkau dengan mudah dapat melepaskan ekormu bila diserang. Aku tidak dapat melepaskan kedua atau ketiga lipatan otakku. Aku tidak dapat begitu saja mendatangi sebuah klinik dan meminta dibedah otak hanya karena menderita kegelisahan kosmik.” “Lagi pula itu tidak akan menyelesaikan masalah. Itu hanya akan membawamu kembali ke kondisi semula dan engkau tidak akan mendapat kesempatan untuk sadar kembali. Menurutku, engkau memerlukan seluruh lapisan otakmu untuk proses ini.” “Tidakkah kata-kata itu sedikit terlalu berat diucapkan olehmu?” “Dengan kata lain, engkau harus mati. Engkau harus memiliki komitmen terhadap perbuatan berani itu.” “Bukankah baru saja kau katakan bahwa itu bukanlah sebuah solusi?” “Tetapi, engkau hanya harus mati dalam arti kiasan. Bukan dirimu yang harus mati. Konsep mengenai ‘aku1 yang terlalu dibesar-besarkan yang harus dihilangkan.” “Aku mulai bingung dengan berbagai kata ganti yang kau gunakan.” “Mungkin sekali. Mungkin kita memerlukan sebuah kata ganti yang lain.” “Ada saran?” “Engkau pasti pernah mendengar jenis kata ganti yang disebut ‘pluralis majestatis’.” “Tentu saja, yaitu ketika seorang raja atau kaisar merujuk kepada dirinya sendiri dengan kata ganti ‘kami’. Itu disebut kata ganti ‘kami’ kebangsawanan.”
“Menurutku, kita juga memerlukan kata ganti ‘aku’ kebangsawanan.” “Dan apakah gunanya?” “Ketika engkau berkata ‘aku’, engkau hanya bergantung pada konsep ego, yang sebenarnya salah.” “Sekarang engkau mulai berbicara berputar-putar.” “Tetapi cobalah berpikir mengenai planet ini secara keseluruhan, dan juga seluruh alam semesta, yang di dalamnya planet ini adalah sebuah bagian yang organik.” “Aku coba.” “Engkau memikirkan segalanya yang ada.” “Aku memikirkan segalanya yang ada.” “Dan seluruh galaksi, segalanya yang meledak lima belas miliar tahun yang lalu.” “Segalanya, betul.” “Sekarang katakanlah ‘aku’.” “Aku.” “Apakah sulit?” “Sedikit. Tetapi juga sedikit menghibur.” “Pikirkan segalanya yang ada. Kemudian, katakanlah keras-keras kepada dirimu sendiri: ‘Ini adalah aku!’” “Ini adalah aku “Tidakkah itu terasa melegakan?” “Sedikit.” “Itu karena engkau menggunakan kata ganti baru ‘singularis majestatis’.” “Benarkah?” “Kurasa, engkau sudah hampir bisa, Frank.” “Bagaimana bisa? Aku hanya berterima kasih akan pelajaran ini, itu saja.” “Kurasa, engkau bisa menjadi seperti aku. Dengan kata lain terselamatkan, dan benar-benar terbebas dari segala penyakit kejiwaan mengenai keberadaan.” “Tidak, tidak juga. Engkau sedikit ceroboh di sini.” Aku membuka tas kabinku lagi dan menelan seteguk besar isi botol gin. Aku tahu ia pasti akan mengucapkan komentar sinis, dan beberapa saat kemudian, ia berkata, “Engkau harus mengakui bahwa engkau tidak mengenal dirimu sendiri dengan baik.” “Itu tergantung kata ganti jenis apa yang kau gunakan saat ini.” “Belum lama ini engkau mengumumkan akan pergi tidur dan pasti tidak akan menyentuh minuman lagi.” “Kemudian engkau mulai berbicara. Dan hampir saja kau memperdayaku. Engkau hampir membuatku berharap diriku adalah seekor tokek.” “Apa katamu?” “Kubilang, engkau mulai berbicara.” “Maksudku, kata ganti mana yang kau gunakan? Siapakah yang mulai berbicara?” Sungguh lihai. Ia telah membuatku salah langkah lagi. Sebenarnya, memang aku yang terus melanjutkan percakapan.
“Jadi, engkau tidak banyak mengetahui dirimu sendiri,” ujarnya. “Dan engkau juga punya masalah besar dalam menentukan apa yang kau inginkan.” “Aku mengakui punya beberapa kelemahan sepele,” aku mengaku. Aku merasa tidak kehilangan apa pun dengan melakukan pengakuan ini. Bagaimanapun, kita tidak perlu terlalu menyembunyikan diri dari seekor tokek. “Tetapi ada hal lainnya.” “Katakanlah!” “Engkau berbicara kepada diri sendiri.” “Haruskah engkau mengingatkanku?” “Kini engkau menggigit ekormu sendiri, Frank. Aku menyarankan agar kau putuskan saja ekor itu segera.” “Kalau begitu diamlah!” “Engkau berbicara kepada diri sendiri.” “Apa?” “Ruh dunia juga berbuat begitu.” “Apa?” “Ruh dunia berbicara kepada dirinya sendiri. Karena hanya ada satu ruh dunia.” “Dan nama sang ruh dunia ini?” “Dirimu sendiri.” Aku terduduk sambil merenungkan apa yang baru saja ia ucapkan. “Dalam kehidupanku yang selanjutnya, kurasa aku akan mendalami tata bahasa,” ujarku. “Apa pendapatmu jika tema ini kujadikan disertasi gelar doktorku: ‘Identitas dan Status Ontologi. Sebuah Analisis Tentatif mengenai Kata Ganti Baru Singularis Majestatis’?” “Bagus sekali, menurut pendapatku. Hanya pada saat itulah bidang linguistik akan mencapai taraf yang positif. Semua kata ganti yang lain benar-benar maya.” “Dan Ana adalah maya.” “Betul, begitu pula dirinya.” “Karena ia berbicara kepada dirinya sendiri.” “Dan siapakah, contohnya, yang berbicara pada abad ke-4 sebelum Masehi?” “Pada awalnya Sokrates dan para pengikutnya,” ujarku. “Kemudian datanglah Plato dan murid-muridnya, kemudian Aristoteles dan Theophrastus yang tentunya melakukan percakapan-percakapan menarik mengenai tokek “berjari setengah” di sebuah pulau Yunani Lesbos ….” “Apakah engkau memercayai hal itu?” “Tentunya engkau tidak akan mengatakan bahwa sejarah pun hanyalah ilusi belaka?” “Sejarah adalah ruh dunia yang berbicara kepada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal itu di masa lalu walaupun saat itu ia masih bingung. Saat itu, ia baru saja terbangun.” “Mereka berjalan-jalan di pasar di Athena. Sokrates adalah seseorang yang memiliki darah dan daging, manusia yang dihukum mati hanya karena ia mencari kebenaran. Teman-temannya berdiri mengelilinginya dan menangis. Tidakkah kau memiliki sedikit pun rasa empati?”
“Aku tidak pernah mengatakan bahwa ruh dunia selalu puas dengan dirinya sendiri. Aku juga tidak mengatakan bahwa ia selalu sebahagia itu.” “Benar-benar omong kosong.” “Kalau begitu, pergilah lebih jauh ke masa lalu. Siapakah yang berkumpul di pasar seratus juta tahun yang lalu?” “Engkau tahu benar jawabannya. Para dinosaurus.” “Dapatkah kau sebutkan nama mereka?” “Tentu saja. Ya, banyak nama.” “Sebutkan saja!” “Maksudmu, nama spesies, genus, dan famili?” “Bukan, kau gila? Maksudku, dapatkah engkau menyebutkan nama masing-masing individual.” “Tidak. Itu kan masa prasejarah.” “Tapi, toh hal itu tidak relevan karena mereka hanyalah sebuah wahana berjalan dari ruh dunia. Zaman itu berlangsung sebelum konsep maya benar-benar beredar, sebelum adanya dua atau tiga lipatan yang berlebihan ini. Maka, itu terjadi sebelum manusia berkhayal akan adanya suatu engkau dan suatu aku. Pada masa-masa itu, ruh dunia masih utuh dan tidak terbagi, dan segalanya adalah brahman.” “Dinosaurus adalah brahman. Tidakkah mereka terpesona oleh maya?” “Betul, itulah yang kumaksud.” “Kini mereka menjadi minyak itu telah menjalani putaran Pernahkah engkau memikirkan yang kita kendarai berjalan
bumi Shell dan Texaco. Para tetrapoda tak bernama penuh mereka, mereka adalah darah hitam ruh dunia. hal itu? Pernahkah engkau memikirkan bahwa mobil dengan darah zaman Kapur di dalam tangkinya?”
“Engkau adalah seorang reduksionis tidak kenal jera, Frank. Tetapi yang kau bilang ada benarnya.” “Ayolah! Aku juga ingin memahami hal ini.” “Jika engkau ada di planet ini seratus juta tahun yang lalu, engkau akan mengalami ilusi palsu akibat lipatan otakmu yang berlebihan itu bahwa reptilreptil itu adalah sekumpulan individu. Engkau akan menganggap yang terbesar di antara mereka sebagai monster ego raksasa.” “Aku memang pandai membedakan setiap individu, itu benar. Tapi, ‘monster’ adalah istilahmu sendiri.” “Tetapi, kini mereka telah berubah menjadi sebuah danau minyak yang besar. Kini mereka menjadi Shell dan Texaco. Tujuh puluh pence seliter, Tuan!” “Itu kalimat dariku.” “Dan nasib yang persis sama menunggumu. Tujuh puluh pence seliter!” “Aku tahu jika aku tidak menggunakan akal sehat dan mengubah cara pandangku terhadap situasi.” “Betul, jika engkau tidak melakukannya.” “Dan waktuku hampir habis. Tempatku bukan di sini. Aku adalah seorang malaikat menderita yang telah terlalu lama berinkarnasi.” Sekali lagi aku berjalan menuju tas kabin hitamku. “Tetapi semoga,” ujarku, “esok adalah hari baru.”
Kuletakkan botol itu di bibirku dan menenggak satu atau dua tegukan besar. Sekali ini aku merasa ingin bermurah hati sekaligus menderita karena rasa bersalah. Aku tidak punya pilihan lain, mengingat berbagai panorama yang telah diungkapkan oleh Gordon. Apa pun yang terjadi, apalah artinya sakit kepala kecil besok pagi dibandingkan dengan segala perspektif yang membentang selama berjutajuta dan bermiliar-miliar tahun? Satu-satunya jalan keluar yang mungkin dari wawasan yang begitu kompleks pada malam ini adalah tidur. Kemudian, hari yang baru akan muncul, baik disertai sakit kepala maupun tidak. Aku telah bersiap menerima teguran keras. Tetapi, ia hanya berkata, “Aku merasa kecewa, Frank. Maksudku, engkau merasa kecewa. Engkau kecewa dengan dirimu sendiri.” “Kalau begitu, kita berdua memang harus sedikit kecewa. Dan berbagi tanggung jawab.” “Aku akan langsung tidur, ujarmu. Kemudian, engkau berkata bahwa engkau tidak akan menyentuh botol itu lagi.” “Ya, memang betul. Dan engkau berkata bahwa engkau tidak terlalu percaya akan kata-kataku.” “Tetap saja aku merasa kecewa.” “Hal itu mudah saja kau ucapkan. Memang mudah untuk menjadi seorang puritan jika engkau tidak tergoda oleh kenikmatan yang berlebihan, dan juga tidak memiliki akses untuk hal itu. Bukan engkau yang diberi Big Bang sebagai hadiah pembaptisan. Bukan engkau yang dikutuk untuk mengukur tahun cahaya alam semesta dengan ujung neuron-neuron yang tumbuh terlalu besar. Bukan engkau yang merasakan jarak-jarak dalam alam semesta menekan otakmu bagaikan seekor unta yang berusaha melewati lubang jarum.” Aku membuka kemejaku dan membaringkan diri di atas tempat tidur. Kemudian aku berkata, “Apakah menurutmu aku akan mendapat kekayaan di surga jika aku menjual seluruh galaksi dan membagi hasilnya dengan orang miskin?” “Aku tidak tahu,” ujarnya. “Tetapi, mungkin tidak lebih mudah bagi seorang primata postmodern untuk mengucapkan selamat tinggal kepada dunia ini dibandingkan seorang rabi Yahudi pada zaman dahulu yang berusaha menyelamatkan dunia.” “Baiklah kalau begitu. Rhubarb, rhubarb, rhubarb … Sekarang aku akan pergi tidur.” “Tetapi engkau tidak pernah sepenuhnya tertidur.” “Kurasa aku pasti bisa. Targetku adalah dapat tidur dengan empat takaran ganda. Tetapi malam ini aku mendapatkan delapan penuh. Dengan begitu pasti bisa.” “Maksudku, aku bangun bahkan ketika engkau tidur.” “Silakan.” “Maka, tidak seluruh dirimu tertidur.” “Cih!” “Karena tidak ada ‘aku1 dan ‘kamu’. Kita hanyalah satu.” “Bangunkan aku saat waktu sarapan, ya.” “Baiklah, Tuan. Tetapi pada kenyataannya, engkau akan dibangunkan oleh dirimu
sendiri.” Sambil mengucapkan kalimat itu ia berlari melintasi cermin, memanjat dinding, dan ke langit-langit di atas bantalku. “Ada apa sekarang?” tanyaku. “Bukankah aku harus membangunkanmu untuk sarapan?” Aku hanya berbalik dan memikirkan betapa panjangnya hari itu. Tetapi, aku tidak menikmati adanya kemungkinan ruh dunia buang air di atasku. [] Merpati Jingga KEMBALI HARUS MENGAKUI MASIH KESULITAN MENGOREK-NGOREK KEMBALI segala pertengkaranku dengan Gordon si Tokek, walaupun sebenarnya aku masih belum benar-benar kehilangan kontak dengannya; bahkan di sini di Madrid, aku masih berkesempatan untuk melakukan percakapan panjang di tengah malam dengannya. Hal ini sering terjadi dengan kenalan yang pernah menggugah sesuatu dalam dirimu. Mereka bisa kembali lagi bertahun-tahun setelah pertemuan fisik terputus. Aku telah duduk dan menulis semalam suntuk. Setelah tertidur beberapa jam, aku berjalan-jalan singkat melalui Ritz dan melewati Taman Retiro sebelum menyantap sarapan di Rotunda. Aku hanya perlu berdiri di jendela kedai omelet, dan beberapa menit kemudian aku akan mendapatkan dua telur goreng, dimasak pada kedua sisinya, beberapa potong daging babi asin, dan seporsi kacang panggang. Aku menghabiskan hari terakhirku di Taveuni dengan sebuah pertemuan hangat dengan para tetua Desa Somosomo. Aku belum sepenuhnya melupakan penelitianku, dan aku memerlukan data terbaru tentang langkah-langkah yang telah diambil selama beberapa tahun terakhir untuk melindungi habitat-habitat lama di pulau itu, juga berbagai macam spesies flora dan fauna. Aku diberi tahu bahwa gubernur Inggris yang pertama di Fiji adalah Sir Arthur Gordon yang melegenda, yang kepemimpinannya berlangsung dari 1875 hingga 1880. Mungkin aku pernah mendengar namanya disebut sebelumnya, tetapi hal itu tidaklah diharapkan karena kini “Pulau Taman” atau “Garden Island” dengan segera berubah menjadi “Gordon Island”. Seperti yang kau tahu, kesukaanku akan Gordon’s London Dry Gin jauh mendahului kunjunganku ke sini. Ya, Vera, aku sungguh menyadari hal itu, dan aku yakin engkau tidak akan memercayaiku jika kukatakan bahwa aku hampir tidak pernah menyentuh minuman itu kecuali jika tengah bepergian. Aku tidak terlalu tahan dengan kesendirian. Engkau telah mendelegasikan sebagian dari fungsimu kepada Gordon. Rasanya hampir seperti mendengar suaramu. Aku sedikit terhuyung-huyung saat menyerbu masuk ke toko desa untuk mencari tahu apakah mereka menjual vitamin. Tetapi, aku benar-benar hampir terpeleset ketika bertemu dengan Ana dan Jose di dalam toko kecil itu, sebuah toko pedesaan kecil yang penuh sesak dengan penduduk lokal. Bersama-sama kami berusaha keluar, dan karena ini mungkin terakhir kalinya kami bertiga dapat bersama-sama tanpa adanya orang lain, aku pun mengumpulkan keberanian untuk melakukan konfrontasi terakhir. Mereka berdua benar-benar tampak lesu sore itu, jelas akibat dari tingkah laku aneh si orang Inggris malam sebelumnya, tetapi aku merasa tidak memiliki pilihan lain. Aku akan meninggalkan tempat itu keesokan paginya, dan mungkin tidak akan pernah bertemu Ana dan Jose lagi. Di luar toko itu, Jose menyalakan sebatang rokok, sementara Ana membuka tutup sebuah botol plastik berisi air. Aku menganggapnya sebagai sebuah undangan untuk percakapan singkat sebelum kami menempuh jalan kami masing-masing. Aku bertanya tanpa basa-basi. Kutatap mata hitam Ana dan berkata sambil lalu, “Mungkin ini terdengar aneh, tetapi saya selalu merasa pernah bertemu dengan Anda sebelumnya.”
Reaksi pertama Jose adalah menarik si wanita mendekat ke arahnya. Hal ini mengingatkanku akan kejadian yang kusaksikan di meja makan malam sebelumnya. Si wanita menatap ke arahnya, hampir seakan meminta izin untuk boleh menjawab sendiri pertanyaanku. “Tetapi Anda tidak ingat di mana?” ujarnya. “Saya sesekali berkunjung ke Spanyol.” “Spanyol memiliki lima puluh dua provinsi.” “Tepat sama dengan jumlah kursi dalam parlemen Fiji,” komentarku. “Saya yakin Anda pergi ke Kepulauan Canary,” ujarnya bergurau. Aku menggelengkan kepala. “Paling sering saya tinggal di Madrid. Mungkin saya pernah melihat Anda di sana?” Jose jelas berpendapat bahwa percakapan singkat ini telah berubah menjadi sebuah interogasi. “Ada banyak wanita berambut gelap di Spanyol,” ujarnya. “Itu kenyataan, Frank. Bahkan di Madrid.” Aku tidak melepaskan tatapan Ana. Apakah ada secercah reaksi? Apakah iris matanya yang sedikit membesar menandakan bahwa ingatanku tidak menipuku? “Apakah orang-orang sering merasa mengenal Anda?” tanyaku. Sekali lagi wanita itu menatap Jose. Seolah-olah ia memohon izin untuk membagikan sebuah rahasia kepada diriku, dan si lelaki, tanpa menggerakkan satu otot pun, menolak. Namun, si wanita tersenyum ramah saat menjawab, “Mungkin Anda pernah melihat saya di Madrid. Mohon maaf, saya tidak ingat Anda.” Aku menganggap ini sebagai sebuah jawaban yang diplomatis. Ia tahu benar mengapa aku bertanya. Mereka membawa mobil dan akan pergi ke Vu-na Point di ujung barat daya pulau itu. Mereka menawarkan untuk mengantarku kembali ke Maravu. Aku berterima kasih atas tawaran mereka, tetapi berkata bahwa aku lebih suka berjalan kaki menempuh jarak empat kilometer itu. Setelah melewati Desa Niusawa, aku berpapasan dengan seorang wanita berpakaian sporty dengan rambut hitam terkepang dan sebuah ransel kanvas. Laura mengenakan celana baggy berwarna khaki, sebuah sweater ketat, dan semacam helm pelindung matahari. Ia tampak lembap dan kotor, tetapi ia telah berjalan ke Puncak Des Voeux Peak, gunung kedua tertinggi di Taveuni yang tingginya lebih dari 1.150 meter. Ia tampak lelah. Walaupun begitu, ia tersenyum lebar kepadaku ketika aku mendekatinya, dan komentar pertamanya adalah, “Aku telah melihatnya!” Ia melompat-lompat, seperti anak kecil, dari satu kaki ke kaki lainnya, wajahnya bersinar bagaikan seseorang yang baru saja menemukan agama. Diam-diam aku bertanya-tanya apakah ia memang mendapatkan pencerahan. Atau mungkin semak-semak yang terbakar? “Ia sungguh luar biasa,” ujarnya. “Aku melihatnya di atas gunung sana sesaat setelah matahari terbit.”
Aku bahkan masih tidak tahu dari mana ia datang, tetapi ia melanjutkan, “Aku telah melihat merpati Jingga!” “Kau yakin?” “Cukup yakin.” “Di Puncak Des Voeux?” Ia mengangguk, dan hampir terengah-engah saat berbicara. “Dan aku … memotretnya … dengan telefotoku.” Kini segalanya menjadi jelas, dan jika apa yang dikatakannya memang benar, itu adalah sebuah prestasi yang luar biasa. Merpati Jingga yang diselubungi mitos tidak saja sangat langka, tetapi aku juga mendengar bahwa hewan itu belum pernah di-foto sebelumnya. “Kalau begitu, kau mungkin menjadi orang yang pertama memotretnya,” ujarku. “Aku tahu.” “Mungkin juga akan menjadi yang terakhir.” “Aku tahu.” “Kau harus mengirimkan satu buah kopinya kepadaku,” ujarku iri. Ia menanggapi dengan menjabat tanganku, yang kuanggap sebagai sebuah janji. Hal ini berarti bahwa nanti aku harus memberinya alamatku, satu hal yang selalu kulakukan dengan penuh kewaspadaan saat berada di luar negeri. Kami mulai berjalan lagi. “Engkau bisa saja bertanya kepadaku apakah aku juga ingin ikut,” ujarku. Ia tertawa. “Aku tidak sempat! Cepat sekali engkau meninggalkan meja dan pergi tidur.” Laura menjelaskan bagaimana ia bangun pada fajar pagi itu saat keadaan masih gelap. Ia telah memesan sehari sebelumnya sebuah mobil untuk menuju Desa Wairiki. Ia berangkat menjalani pendakian sejauh enam setengah kilometer satu jam sebelum matahari terbit, dibekali dengan sebilah pisau hutan dan sebuah senter yang dipasang di kepala. Ia memang datang ke pulau ini untuk melihat merpati Jingga, dan itulah yang ia lakukan. Dari Puncak Des Voeux, ia mengamati Danau Tagimaucia, yang terbentang di dalam kawahnya yang telah mati di tengah pulau. Danau itu sebagian besar dipenuhi tumbuh-tumbuhan yang terapung-apung. Di situlah satu-satunya tempat tumbuhnya bunga nasional Fiji, tagimaucia atau Medi— nilla waterhousei, yaitu bunga berwarna merah menyala dengan mahkota berwarna putih. “Tahukah engkau bagaimana bunga tagimaucia pertama kali muncul?” tanyanya saat kami menempuh jalan yang berdebu, sambil terus-menerus menghindari kodok-kodok gepeng. Aku menggelengkan kepala, dan ia menceritakan kepadaku legenda Tagimaucia. Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang putri Taveuni. Ayahnya, sang kepala suku, memutuskan bahwa putrinya harus menikahi seorang lelaki yang telah ia pilihkan untuknya. Tetapi, sang putri mencintai orang lain, dan dalam keputusasaannya, ia melarikan diri dari desanya ke atas pegunungan. Karena benar-benar kelelahan, akhirnya ia tertidur di pinggir danau luas tersebut. Dalam tidur, ia menangis sedih, dan selagi ia bermimpi, air matanya mengalir menuruni pipinya dan berubah
menjadi bunga merah yang indah. Bunga-bunga itu adalah bunga tagimaucia yang pertama, dan tagimaucia berarti “menangis dalam tidur”. Kupikir, ia hanya menceritakan sebuah cerita romantis kepadaku, tetapi ia berkata, “Sesuatu yang persis sama pernah terjadi kepadaku.” “Menangis dalam tidur?” Ia menggelengkan kepalanya. “Kawin paksa.” “Engkau pernah menikah?” Ia mengangguk singkat. “Tetapi, ada juga versi lain dari legenda mengenai tagimaucia.” Dan kini ia menuturkan cerita yang lain. Pada suatu hari, tinggallah seorang gadis di Taveuni yang tidak menuruti perintah ibunya dan bermain-main saat seharusnya ia bekerja. Tiba-tiba, sang ibu kehilangan kesabaran terhadap anak gadisnya dan mulai memukulinya dengan seikat daun kelapa. Ia mengatakan kepada putrinya agar pergi dan jangan menampakkan dirinya lagi. Gadis itu berlari pergi sejauh mungkin dari rumah sambil menangis dan terluka hatinya. Di tengah hutan, ia menemukan sebatang pohon ivi yang ditumbuhi oleh tanaman merambat. Ia pun memanjat sulur-sulur tanaman tersebut, tetapi tanaman itu memerangkapnya dan pada akhirnya ia tidak dapat bergerak. Gadis itu menangis dan menangis, dan air mata yang mengalir di wajahnya berubah menjadi darah yang terjatuh ke atas tanaman sulur-suluran dan membentuk bunga yang paling indah. Akhirnya, gadis itu berhasil membebaskan diri dan berlari pulang kembali. Pada saat itu, ibunya sudah kembali tenang, dan cerita itu pun berakhir bahagia. Tetapi, para penduduk Taveuni percaya bahwa bunga yang langka ini berasal dari air mata sang gadis. “Apakah hal itu juga pernah terjadi pada dirimu?” aku bertanya main-main. Ia mengangguk dengan serius, tanpa adanya tanda-tanda ironi. “Terperangkap oleh tanaman merambat?” Ia menggelengkan kepalanya. “Dibenci ibuku.” Saat itu ia berhenti dan berpaling ke arahku. “Akan kuberi tahu sebuah rahasia, Frank.” “Ya?” “Aku adalah seorang anak yang tidak diinginkan.” Dirimu dan setidaknya setengah dari populasi dunia, pikirku. Tanpa dapat dihindari, aku melihat air mata merebak dari matanya yang hijau. Maka aku pun mendekatkan diriku kepadanya dan meletakkan kepalanya di leherku. Kami berdiri seperti itu beberapa lama dan kemudian ia mengangkat kepalanya dan menatap ke dalam mataku. Kupeluk dirinya erat dan tidak melepaskannya hingga naluri alamiahku mengatakan bahwa aku harus melepaskannya. Kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan itu, dan kini giliranku untuk menceritakan beberapa legenda yang pernah kudengar di Kepulauan Oseania. Contohnya, ada banyak kisah berisi peringatan bahwa seorang wanita tidak boleh berada terlalu dekat dengan seekor tokek, karena jika terlalu dekat, wanita itu dipercaya dapat melahirkan seekor tokek. Aku juga menceritakan kepadanya legenda tragis mengenai Verana.
Verana adalah seorang wanita cantik jelita yang memiliki begitu banyak pengagum sehingga ia tidak dapat memilih di antara mereka. Sebagai akibatnya, ia selalu mengeluh bahwa ia tidak memiliki cukup waktu untuk memutuskan. Suatu hari, ia diberi sebuah ramuan ajaib oleh seorang penyihir. Jika meminum setengahnya, sang penyihir menjelaskan, ia akan dapat hidup selamanya. Lalu, ia akan memiliki cukup waktu untuk menemukan lelaki yang ia inginkan untuk hidup bersama. Setelah menemukan orang yang menurutnya tepat untuk menjadi pasangannya, ia hanya perlu memberikan sisa ramuan kepadanya, dan suaminya juga akan hidup abadi. Verana pun meminum ramuan yang menjadi bagiannya dan hidup selama bertahun-tahun tanpa pernah dapat menetapkan hati untuk satu lelaki pun. Seratus tahun telah berlalu, dan Verana masih tetap muda dan cantik jelita, tetapi dengan berlalunya waktu, semakin sulit bagi dirinya untuk memilih kepada siapa ia akan menyerahkan dirinya. Ia menyadari bahwa ramuan ajaib itu telah membuatnya semakin sulit untuk memutuskan. Tidak saja kini terlalu banyak lelaki yang dapat dipilih, tetapi ia juga memiliki begitu banyak waktu untuk mengambil keputusan. Terlebih lagi, ia tahu bahwa pilihan terakhirnya akan selalu berada di sisinya, tidak hanya seumur hidup, tetapi selama-lamanya. Setelah dua ratus tahun, Verana telah bertemu begitu banyak pengagum sehingga tidak dapat lagi mencintai pria mana pun. Walaupun begitu, ia telah terkutuk untuk hidup di bumi selama-lamanya. Ia masih hidup di dunia hingga hari ini. Jika seorang pria jatuh cinta kepada seorang wanita yang tidak dapat memutuskan, lelaki itu harus berhati-hati karena bisa saja wanita yang ia cintai itu adalah Verana yang dingin dan tidak dapat ditaklukkan. Banyak lelaki yang telah kehilangan hati dan masa mudanya karena Verana, tetapi tidak seorang pun yang akan pernah bisa mendapatkannya. Laura menatapku. “Oh, sungguh sebuah cerita yang menyedihkan!” Ketika tiba di Pantai Pangeran Charles, kami berjalan-jalan di atas pasir, menanggalkan sepatu, mengumpulkan kulit-kulit kerang untuk saling kami be rikan, dan berdiri mengagumi seekor bintang laut berwarna biru tua. Laura berpendapat bintang laut itu tentunya berasal dari spesies yang namanya dipakai kelas Asteroidea, karena ia benar-benar menyerupai sebuah bintang. Mungkin, menurutnya, ada sebuah legenda mengenai sebuah bintang yang terjatuh dari langit dan diubah menjadi seekor bintang laut. Jika tidak, kami bisa saja menciptakan sebuah kisah baru. Tidak pernah terlambat untuk menciptakan sebuah mitos. Hari ini tidak banyak maya maupun ilusi dunia yang keluar dari dirinya. Bagianbagian dalam pikirannya seakan begitu berbeda, seperti warna kedua matanya, dan aku membayangkan mungkin mata hijaunyalah yang telah melihat sang merpati berdada Jingga dan mata cokelatnya yang membaca filsafat India. Atau, tentunya mata hijaunyalah yang menemukan bintang laut biru dan mata cokelatnya yang tidak menghargai nilai seorang manusia. Saat kami mendaki tebing terjal menuju pepohonan palem, Laura menjelaskan bahwa malam itu akan ada sebuah pesta besar di Maravu dengan lebih dari seratus tamu dari pulau itu. Pesta itu mereka sebut sebagai gunusede sebuah makan malam yang ditarik bayaran, dan keuntungannya akan di— salurkan untuk kegiatan sosial. Pesta nanti malam bertujuan membantu membayar uang sekolah bagi anak-anak di desa-desa miskin. Para tamu di Mara-vu tentu saja juga diundang. “Engkau harus duduk di sebelahku,” ujar Laura. * Beberapa jam kemudian, aku telah berbagi meja dengan Laura, John, dan Mario. Semua meja kecil telah dipenuhi, dan banyak lagi hadirin yang diharapkan akan datang. Bill, orang Amerika yang ceria itu, tiba di restoran itu tepat saat Laura cepatcepat menawarkan satu tempat kosong di meja kami kepada sang pelaut Italia.
Sehingga, si orang Amerika itu tidak hanya harus menghadapi fakta bahwa meja kami sudah penuh, tetapi harus duduk di antara orang-orang yang belum pernah ia temui. Keadaan yang tak menyenangkan ini segera berbalik menguntungkan bagi dirinya setelah ia tahu bahwa ia semeja dengan Kapena yang terkenal, yang berasal dari Hawaii; istrinya, Roberta; dan seorang pria menyenangkan bernama Harvey Stolz. Kapena, seorang berbadan kekar dengan wajah berotot yang terbakar matahari, tulang pipi yang tinggi, dan gigi-gigi besar berwarna putih, adalah salah satu pusat perhatian malam itu. Ia adalah seorang nelayan perairan dalam yang terkenal, yang pada saat berusia dua puluh tiga tahun telah memenangi hadiah pertama dalam Turnamen Jackpot Lahaina dengan menyeret seekor ikan marlin besar seberat 545 kilogram ke atas kapalnya. Kini ia berusia pertengahan empat puluhan, telah pensiun dari kariernya sebagai seorang nelayan perairan dalam, dan pindah ke Taveuni. Di sini, aktivitasnya adalah mengantarkan para turis memancing di Selat Somosomo dengan kapalnya yang berteknologi canggih, Makaira. Pagi itu, ia berlayar untuk menangkap semua ikan yang akan kami makan malam itu; itu adalah bentuk kontribusinya untuk gunusede tersebut. Koki dari Maravu, Kai, juga ikut berlayar dan telah memastikan bahwa semua ikan tersebut dibersihkan dan disiapkan dengan baik. Pada saat acara makan malam itu, Bill memperkenalkan kami kepada Kapena, Roberta, dan Harvey, sang kepala kelasi di Makaira. Kami pun akhirnya terlibat, dengan agak enggan, dalam diskusi-diskusi teknis yang mungkin menarik bagi seorang insinyur minyak dan seorang nelayan perairan dalam. Ana dan Jose duduk di ujung lain dari restoran itu bersama Mark dan Evelyn. Kedua orang dari Spanyol itu tampak bersemangat untuk berbagi meja dengan pasangan muda dari Amerika itu. Mungkin ini adalah cara mereka untuk melepaskan diri. Setelah makan malam, sebuah paduan suara dan orkestra kecil berkumpul. Sebagian dari para anggotanya bekerja di Maravu seperti tukang kebun Sepo, Sai, dan Steni, sang bartender Enesi, dan staf rumah tangga Kay dan Vere tetapi ada pula musisi-musisi dari desa. Dengan diiringi gitar dan ukulele, mereka menyanyikan lagu-lagu polifonik yang membuai mengenai Tagimaucia, Maravu, dan semua orang yang telah menempuh perjalanan melewati awan dari tempat-tempat yang begitu jauh untuk mengunjungi pulau itu. Beberapa pertunjukan meke juga digelar. Meke adalah sebuah tahan rakyat tradisional yang dilakukan sambil duduk. Tahan itu menceritakan l