BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Setiap orang dalam hati kecilnya pasti berharap dapat berkembang sebagai
pribadi yang matang, mengembangkan potensi-potensi dirinya, dan menjadi pribadi yang bebas, menikmati kebahagiaan. Nama-nama besar seperti Abraham Lincoln, Albert Einstein, Mahatma Gandi, Ibu Teresa, dan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) adalah beberapa contoh orang-orang yang bahagia dengan mengaktualisasikan diri. Maslow ( dalam Alwisol, 2010), menyatakan aktualisasi diri adalah keinginan untuk memperoleh kepuasan dengan dirinya sendiri (Self fullfilment), untuk menyadari semua potensi dirinya, untuk menjadi apa saja yang dia dapat melakukannya, dan untuk menjadi kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi potensinya. Manusia yang dapat mencapai tingkat aktualisasi diri ini menjadi manusia yang utuh, memperoleh kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan yang orang lain bahkan tidak menyadari ada kebutuhan semacam itu. Dalam teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, dijelaskan bahwa manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhan universal dan dibawa sejak lahir. Kebutuhan ini tersusun dalam tingkatan-tingkatan dari yang terendah sampai tertinggi dan aktualisasi diri berada pada tingkatan tertinggi pada kebutuhan hidup 1
manusia, dimana kebutuhan paling rendah dan paling kuat harus dapat terpenuhi terlebih dahulu sebelum muncul kebutuhan yang lebih tinggi, begitu terus beproses hingga mencapai tingkatan tertinggi akan kebutuhan hidup manusia yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri. Hierarki kebutuhan manusia tersebut meliputi: Kebutuhan fisiologis (physiological), yaitu kebutuhan akan pangan, pakaian, dan tempat tinggal maupun kebutuhan biologis. Kebutuhan keamanan dan keselamatan (safety), meliputi kebutuhan akan keamanan kerja, kemerdekaan dari rasa takut ataupun tekanan, keamanan dari kejadian atau lingkungan yang mengancam. Kebutuhan rasa memiliki, sosial dan kasih sayang (social), meliputi kebutuhan akan persahabatan, berkeluarga, berkelompok, interaksi dan kasih sayang. Kebutuhan akan penghargaan (esteem), meliputi kebutuhan akan harga diri, status, prestise, respek, dan penghargaan dari pihak lain. Dan puncaknya adalah kebutuhan aktualisasi diri (self actualization), meliputi kebutuhan akan memenuhi keberadaan diri (self fulfillment) melalui memaksimumkan penggunaaan kemampuan dan potensi diri. Lebih lanjut Maslow (dalam Alwisol, 2010) menjelaskan bahwa pemisahan kebutuhan tidak berarti masing-masing bekerja secara ekslusif, tetapi kebutuhan bekerja tumpang tindih sehingga orang dalam satu ketika dimotivasi oleh dua kebutuhan atau lebih. Tidak ada orang yang basic need-nya terpuaskan 100%. Maslow memperkirakan rata-rata orang dapat terpuaskan kebutuhan fisiologisnya sampai 85%, kebutuhan keamanan tepuaskan 70%, kebutuhan dicintai dan mencintai terpuaskan 50%, self esteem terpuaskan 40%, dan 2
kebutuhan aktualisasi terpuaskan sampai 10%. Derajat tingkat kepuasan pada setiap orang berbeda-beda. Bisa saja tingkat kepuasan pada suatu jenjang mungkin masih sangat rendah, orang sudah memperoleh kepuasan yang lebih besar pada jenjang yang lebih tinggi. Dan tidak peduli seberapa tinggi jenjang yang sudah dilewatinya, kalau jenjang yang dibawah mengelami ketidakpuasan atau tingkat kepuasannya masih sangat kecil, dia akan kembali ke jenjang yang tak terpuaskan itu sampai memperoleh tingkat kepuasan yang dikehendaki. Pada umumnya kebutuhan yang lebih rendah mempunyai kekuatan atau kecenderungan yang lebih besar untuk diperioritaskan. Namun bisa terjadi perkecualian, akibat sejarah perkembangan perasaan, minat, dan pola berpikir sejak anak-anak, orang yang kreatif lebih mementingkan ekspresi bakat khususnya, alih-alih memuaskan dorongan sosialnya, orang memprioritaskan kebutuhan kepuasan self esteem diatas kebutuhan kasih sayang dan cinta, atau orang memprioritaskan nilai-nilai/ide tertentu dan mengabaikan kebutuhan fisiologis dan rasa aman. Perkecualian yang lain, kebutuhan itu tidak muncul berturutan dari rendah ketinggi, tetapi kebutuhan yang lebih tinggi bisa muncul lebih awal mendahului kebutuhan yang lebih rendah. Misalnya pada orang tertentu kebutuhan-esteem muncul lebih dahulu daripada kebutuhan cinta dan afeksi, dan mungkin pada orang tertentu kebutuhan kreatif-nya mendahului kebutuhan lainnya. Jika orang tidak pernah kekurangan kebutuhan dasar mungkin mereka cenderung menganggap ringan kebutuhan itu, sehingga kebutuhan itu tidak menjadi motivator dari tingkah lakunya. Dia meloncat kekebutuhan kasih sayang yang 3
menjadi sangat kuat karena kedua orang tuanya sibuk tidak mempunyai waktu untuk memberi perhatian dan cinta kepada anaknya. Baru ketika terjadi bencana, muncul kebutuhan fisiologis yang mungkin mereka tidak segera mampu menanganinya (Maslow, dalam Alwisol, 2010). Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa seiring dengan perkembangan hidup manusia, manusia memiliki lima tingkatkan kebutuhan sebagaimana telah dijelaskan oleh Abraham Maslow dalam teori Hirarki Kebutuhan Manusia, dimana kebutuhan dasar yang lebih awal harus terlebih dahulu terpenuhi untuk kemudian muncul kebutuhan yang lebih tinggi. Namun lebih lanjut Maslow menjelasakan bahwa pada orang-orang tertentu bisa saja kebutuhan hidup yang lebih tinggi muncul lebih awal ketimbang kebutuhan yang ada sebelumnya. Dalam perkecualian yang dijelaskan oleh Maslow ( dalam Alwisol, 2010) dijelaskan bahwa kebutuhan tidak muncul berturutan dari rendah ke tinggi, tetapi kebutuhan yang lebih tinggi bisa muncul lebih awal mendahului kebutuhan yang lebih rendah. Karena pada dasarnya derajat kepuasan kebutuhan pada setiap orang itu berbeda-beda. Kebutuhan dasar seperti makan,minum dan kebutuhan seharihari lainnya pada setiap orang berbeda-beda, ada orang yang dengan makanan sederhana dan apa adanya sudah merasa terpenuhi kebutuhan dasarnya dan ada pula yang merasa bahwa kebutuhan dasar itu akan terpenuhi apabila makanan yang dimakannya adalah makanan yang yang bergizi tinggi. Setalah kebutuhan dasar tersebut terpenuhi kemudian muncul kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan cinta, dalam kebutuhan inipun setiap orang memiliki derajat 4
kepuasan yang berbeda-beda, walaupun kebutuhan ini memiliki derajat kualitas yang tidak tinggi tapi bagi seseorang yang merasakannya sudah dapat memenuhi kebutuhannya, maka dapat dikatakan kebutuhan tersebut sudah dapat terpenuhi bagi orang tersebut, begitu seterusnya proses ini berlanjut hingga aktualisasi diri dapat tercapai. Itu artinya bahwa kebutuhan akan aktualisasi diripun bisa dicapai oleh siapa saja sekalipun itu oleh orang-orang dengan status sosial ekonomi rendah maupun orang-orang dengan keterbatas fisik sebagaimana yang dialami oleh para penyandang kusta. Penyakit kusta adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman kusta Mycrobacterium Leprae yang menyerang sistem saraf tepi, kulit dan jaringan lain, khususnya mata,saluran nafas atas, otot tulang belakang dan testis. Tak jarang akibat kuman ini penyandang kusta mengalami cacat fisik hingga kematian. Penyakit kusta dikenal sebagai penyakit kronik menular dan ada anggapan bila terserang kusta ia akan tersisih dari lingkungan sosial, karena takut tertular. Saat ini penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan yang penting. Bukan hanya karena namanya, tetapi juga karena dapat menyebabkan keterbatasan fisik, trauma psikologis, penurunan keadaan ekonomi dan pengucilan sosial (Zulkifli, 2003). Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam 5
memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Menurut laporan resmi yang diterima dari 115 negara dan wilayah , World Health Organization (WHO) bahwa prevalensi terdaftar kusta global pada akhir kuartal pertama tahun 2013 mencapai 189.018 kasus , sementara jumlah kasus baru, terdeteksi selama 2012 adalah 232.857 ( tidak termasuk jumlah kecil kasus di Eropa ) . Untuk di Indonesia sendiri, Surat kabar Wartakota online pada selasa 19 Febuari 2013 mengabarkan bahwa “Jumlah penderita kusta di Indonesia cenderung meningkat. Hal itu disebabkan kesadaran masyarakat akan hidup sehat yang kurang”, Demikian yang diungkapkan Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI, saat acara perayaan HUT Penyakit Kusta sedunia di RS Sitanala Tangerang, akhir pekan lalu. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah penderita kusta pada tahun 2012 mencapai 23.169 orang, sementara pada tahun 2011 mencapai 20.023 orang. Jumlah penderita kusta di Indonesia ini masih terbilang tinggi. Di dunia berada pada peringkat ketiga, dan Pulau Jawa merupakan daerah yang mendominasi angka penderita terbanyak. Menurut Nafsiah, karena jumlah penderita kusta yang cukup banyak, WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) menetapkan Indonesia urutan ketiga dunia setelah India dan Brazil. Sementara di Indonesia, sekitar 50 persen penderita kusta berada di Pulau Jawa. Penderita kusta juga tersebar di Sumatera Selatan, 6
Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Papua-Irian Jaya (wartakota.dom, 2013) Dari Pengamatan awal yang dilakukan peneliti sebelumnya, kebanyakan masyarakat merasa enggan melakukan kontak fisik atau bahkan mereka cenderung menjauhi para penyandang kusta karena takut tertular, sehingga tingkat kesadaran dini akan penyakit kusta pada masyarakat menjadi rendah. Terkadang banyak diantara mereka yang sudah memiliki gejala-gejala penyakit kusta tidak dapat menerima kenyataan bahwa ia mulai terkena penyakit kusta, mereka menganggap bahwa tanda itu hanyalah penyakit kulit biasa yang akan hilang dengan sendirinya. Pola pikir semacam ini dapat terjadi karena mungkin mereka takut dikucilkan bila diketahui mereka terkena kusta. Dari sikap itulah mereka enggan berobat untuk penanganan dini pada penyakit kusta, akibatnya kuman kusta tersebut terus berkembang dalam tubuh dan terus menerus menyerang sistem kekebalan tubuh dan tak jarang menimbulkan cacat fisik hingga bahkan kematian. Padahal jika sudah ada kesadaran sejak dini mengenai penyakit kusta, penyakit kusta dapat disembuhkan tanpa harus mengalami cacat fisik. Kemudian cacat fisik ini menimbulkan masalah baru pada penyandang kusta, dimana mereka perlu menyesuaikan diri, bukan hanya dengan lingkungan sosial dimana mereka berada, tetapi juga menyesuaikan diri untuk dapat beraktifitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan, bekerja dan sebagainya. 7
Cacat yang tidak dapat disembuhkan dapat menjadi penghambat yang menghalangi penyandang cacat fisik melakukan penyesuaian pribadi maupun sosial, karena sebagai manusia yang memiliki perkembangan fisik kurang memadai atau dengan ciri-ciri fisik kurang menarik akan menghadapi banyak masalah yang jarang dapat diatasi dengan baik (Hurlock, 2006). Penyandang cacat fisik mempunyai keterbatasan kemampuan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya, bahkan kecacatan yang dialami penyandang cacat fisik dapat menjadi hambatan yang membatasi kesempatan dan kemampuannya (Pranowo & Sugiyatma, 2004). Bila kita melihat pada teori-teori diatas, cacat fisik yang ditimbulkan oleh penyakit kusta sangat membatasi ruang gerak para penderitanya, dimana mereka akan menghadapi kesulitan untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan bertahan hidup, sehingga tampak terlihat mustahil bagi para penyandang cacat ini untuk merasakan hidup dalam kesuksesan dan berkelimpahan materi. Namun sosok seorang bapak Alisaga, salah seorang penyandang kusta yang berhasil dengan usaha pembuatan tangan dan kaki palsu menepis anggapan bahwa para penyandang cacat fisik akibat kusta mustahil untuk dapat merasakan kesuksesan, buktinya ia salah seorang penyandang cacat fisik akibat kusta dapat sukses berkarya dalam usaha pembuatan tangan dan kaki palsu dan juga dapat mempekerjakan rekan sesama penyandang cacat fisik akibat kusta. Tidak hanya sosok seorang Alisaga saja sebagai penyandang cacat fisik akibat kusta yang sukses berwirausaha, namun juga ada bapak Ahmad salah seorang penyandang cacat fisik akibat kusta yang sukses berwirausaha dibidang yang 8
berbeda, bapak Ahmad berhasil untuk bangkit dari keterpurukan dan ketidak berdayaan akibat keterbatasan fisik yang ditimbulkan oleh penyakit kusta dideritanya dengan usaha untuk beternak jangkrik. Dari usaha ternak jangkrik ini Ahmad dapat memanen 25 kilogram jangkrik setiap bulannya,dengan harga jual 20 ribu sampai 30 ribu rupiah per kilogram ( detik.com, 2013). Dari pendapat para ahli diatas dapat dikatakan bahwa setiap menusia memiliki keinginan untuk menjadi pribadi yang bebas, menikmati kebahagian dengan menjadi diri mereka sendiri, atau dengan kata lain setiap manusia memiliki keinginan untuk aktualisasi diri, dimana aktualisasi diri ini dalam teori hierarki kebutuhan maslow berada pada tingkat puncak dari kebutuhan hidup yang dimiliki oleh setiap manusia. Dalam hierarki kebutuhan Maslow dikatakan bahwa kebutuhan hidup yang paling mendasar dan paling penting harus dapat terpenuhi terlebih dahulu untuk kemudian muncul kebutuhan hidup yang lebih tinggi, maka dapat dikatakan untuk mencapai aktualisasi diri, setiap manusia harus dapat melalui setiap tahap demi tahap dari kebutuhan hidup sebagaimana telah dijelaskan dalam teori Maslow hingga akhhirnya mereka mencapai aktualisasi diri dalam hidup mereka. Proses yang begitu panjang dilalui setiap manusia untuk mencapai aktualisasi diri. Mungkin kita sudah terbiasa mendengar mengenai kisah dari para tokoh-tokoh terkenal seperti Abraham Lincoln, Albert Einstein, Mahatma Gandi dalam proses aktualisasi diri yang dilakukan oleh mereka yang pada dasarnya hidup dengan fisik yang normal dan berkecukupan. Berdasarkan uraian diatas, 9
bagaimana halnya dengan mereka para penyandang kusta dengan cacat fisik yang pada dasarnya memiliki keterbatasan fisik akibat penyakit kusta yang dideritanya, kemudian keterbatasan ekonomi hingga diskriminasi sosial yang mereka hadapi, apakah mereka akan mencapai aktualisasi diri, dan bagaimana proses itu berlangsung hingga akhirnya aktualisasi diri dapat tercapai.
1.2.
Rumusan Masalah Mempelajari latar belakang penelitian diatas maka timbul ketertarikan
tersendiri bagi peneliti yang sekaligus akan menjadi pertanyaaan dalam penelitian ini yaitu mengenai Bagaimana Gambaran Proses Menuju Aktualisasi Diri Pada Penyandang Kusta Dengan Cacat Fisik Ditinjau Dari Teori Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow ?.
1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk meneliti mengenai Gambaran Proses
Menuju Aktualisasi Diri Pada Penyandang Kusta Dengan Cacat Fisik Ditinjau Dari Teori Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow.
10
1.4.
Manfaat Penelitan a. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan serta tujuan dari penelitian ini diadakan yanitu untuk mengetahui Bagaimana Gambaran Proses Menuju Aktualisasi Diri Pada Penyandang Kusta Dengan Cacat Fisik Ditinjau Dari Teori Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow.
b. Manfaat Praktis 1. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi tambahan bagi peneliti berikutnya dalam pengembangan penelitian dengan topik yang sama. 2. Bagi Subjek Penelitian Hasil Penelitian ini diharapkan kedepannya dapat menajadi bahan kajian agar para penyandang kusta dapat juga mencapai aktualisasi diri, dan tercapainya peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi para penyandang kusta. 3. Bagi Masyarakat Umum Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum kepada masyarakat umum bahwa para penyandang kusta juga berhak 11
melakukan aktualisasi diri, mendapatkan kehindupan sosial dan ekonomi yang baik serta diharapkan kedepannya dapat menghilangkan diskriminasi sosial terhadap para penyandang kusta agar tercipatanya kehidupan sosial yang rukun dan harmonis.
12