BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Mutu merupakan gambaran total sifat dari suatu jasa pelayanan yang berhubungan dengan kemampuannya untuk memberikan kebutuhan kepuasan. Juran dan Wijono (1999 dalam Virawan, 2012), menyatakan bahwa mutu pelayanan yang baik harus sesuai dengan harapan konsumen yang memungkinkan untuk mengurangi tingkat kesalahan, pekerjaan ulang, kegagalan, ketidakpuasan pelanggan, pemakaian alat diagnostik yang tidak semestinya dan meningkatkan hasil kapasitas serta memberikan dampak biaya yang lebih sedikit. Peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pelayanan secara efisien dan efektif yaitu dengan menyesuaikan standar profesi, standar pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien, pemanfaatan teknologi tepat guna dan hasil penelitian untuk mengembangkan pelayanan kesehatan/keperawatan sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal (Nursalam, 2012). Peningkatan mutu pelayanan di rumah sakit dapat dilakukan dengan mengembangkan akreditasi rumah sakit dimana indikator utamanya adalah International Patient Safety Goals (IPSG) atau Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) (The Joint Commision International [JCI], 2011). Keselamatan pasien (Patient Safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut
1
2
meliputi penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis pasien, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (DepKes, 2008). Pelaksanaan program keselamatan pasien dalam pelayanan rumah sakit dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terdiri dari: organisasi dan manajemen, lingkungan kerja yang bersifat blaming dan beban kerja berlebih, team work, faktor tugas seperti ketersediaan SOP dan faktor individu yang meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap dan kondisi fisik/mental (Cahyono, 2008). Keselamatan pasien terdiri dari 6 sasaran yaitu (1) mengidentifikasi pasien dengan benar, (2) meningkatkan komunikasi efektif, (3) mencegah kesalahan pemberian obat, (4) mencegah kesalahan prosedur, tempat dan pasien dalam tindakan pembedahan, (5) mencegah risiko infeksi dan (6) mencegah risiko pasien cedera akibat jatuh (JCI, 2011). Namun, dari keenam sasaran keselamatan pasien tersebut kejadian jatuh masih menjadi isu yang mengkhawatirkan pada seluruh pasien rawat inap di rumah sakit (Lloyd, 2011). Kejadian jatuh dan cedera akibat jatuh di rumah sakit sering dilaporkan menimpa pasien dewasa saat sedang menjalani perawatan inap (Quigley et.al, 2013). Berdasarkan penelitian Ganz, dkk (2013) dilaporkan data sebanyak 700.000 sampai 1.000.000 orang mengalami kejadian jatuh setiap tahun di rumah sakit Amerika Serikat. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 129/menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) rumah
sakit
bahwa
kejadian
pasien
jatuh
yang
berakhir
dengan
3
kecacatan/kematian diharapkan 100% tidak terjadi di rumah sakit. Namun, berdasarkan laporan dari kongres XII PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia), tahun 2012 menunjukan bahwa kejadian pasien jatuh termasuk ke dalam tiga besar insiden medis rumah sakit dan menduduki peringkat kedua setelah medicine error. Dari laporan tersebut didapatkan data kejadian jatuh sebanyak 34 kejadian. Hal ini membuktikan bahwa kejadian jatuh pasien masih tinggi di Indonesia (Komariah, 2012). Dampak yang ditimbulkan dari insiden jatuh dapat menyebabkan kejadian yang tidak diharapkan seperti luka robek, fraktur, cedera kepala, pendarahan sampai kematian, menimbulkan trauma psikologis, memperpanjang waktu perawatan dan meningkatkan biaya perawatan pasien akibat menggunakan peralatan diagnostik yang sebenarnya tidak perlu dilakukan seperti CT Scan, rontgen dll. Dampak bagi rumah sakit sendiri adalah menimbulkan risiko tuntutan hukum karena dianggap lalai dalam perawatan pasien (Miake-Lye dkk, 2013). The Joint Commision Internasional (2011), menyatakan bahwa sebuah rumah sakit memerlukan elemen penilaian untuk mengurangi risiko jatuh. Elemen penilaian pengurangan risiko jatuh meliputi: (1) Rumah sakit menerapkan proses penilaian awal atas pasien terhadap risiko jatuh dan melakukan penilaian ulang pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan; (2) Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil penilaian dianggap berisiko jatuh; (3) Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera
4
akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan; (3) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit. Pengkajian risiko jatuh merupakan langkah awal dari program pengurangan risiko pasien jatuh. Pengkajian risiko pasien jatuh merupakan metode pengukuran risiko pasien untuk jatuh yang dilakukan oleh petugas kesehatan pada semua pasien yang menjalani rawat inap, bertujuan memberikan perhatian khusus pada pasien yang berisiko untuk jatuh dibandingkan dengan
yang tidak memiliki
risiko
untuk
jatuh dan
meminimalkan atau mencegah jumlah kejadian pasien jatuh dan cedera (Darmojo, 2004). Pengkajian risiko jatuh pada pasien dilaksanakan saat pasien pertama kali masuk ke rumah sakit dan saat pasien mengalami perubahan status klinis (Boushon, dkk, 2008). Pelaksanaan pengkajian risiko jatuh pada pasien yang tidak terlaksana dengan baik disebabkan oleh beberapa kelalaian di rumah sakit. Berdasarkan penelitian Boushon (2008) menyebutkan bahwa beberapa jenis kelalaian yang berhubungan dengan pengkajian pasien berisiko jatuh meliputi:tidak adanya standar prosedur untuk pengkajian, tidak mampu mengidentifikasi pasien terhadap peningkatan risiko cedera akibat jatuh, tidak mampu mengelola pengkajian, terlambat mengelola pengkajian, tidak adanya waktu yang konsisten untuk menilai kembali perubahan kondisi pasien, gagal mengenali keterbatasan dari alat skrining risiko jatuh dan gagal mengkaji kembali kondisi pasien selama dirawat di rumah sakit.
5
Seorang perawat merupakan tenaga kesehatan yang frekuensinya lebih sering berinteraksi dengan pasien (Simmon dkk, 2001 dikutip dalam Ariyani, 2009). Berdasarkan Kepmenkes RI (2008) tentang SPM di rumah sakit diputuskan bahwa kejadian medicine error (kesalahan pemberian obat) juga diharapkan tidak terjadi 100% di rumah sakit. Namun, pelaksanaan pemberian obat dilakukan secara kolaborasi antara dokter, farmasi dan perawat. Sedangkan, pelaksanaan pengurangan risiko jatuh dapat dilakukan oleh perawat tanpa harus berkolaborasi dengan dokter atau petugas farmasi. Pengurangan risiko jatuh merupakan bagian dari asuhan keperawatan yang dijelaskan dalam NANDA (2012-2014) dalam domain 11 yaitu keamanan dan perlindungan pasien dengan diagnosa Risiko Jatuh. Intervensi keperawatan pengurangan risiko jatuh pasien terdapat dalam NIC edisi 4 (2008) yaitu manajemen lingkungan fisik dan tingkatkan keamanan seperti tempat tidur, lantai dan pencahayaan ruangan, pencegahan jatuh dengan mengkaji keseimbangan dan penurunan kesadaran serta memberikan penjelasan pada pasien dan keluarga pasien tentang risiko yang dapat menyebabkan jatuh. Pelaksanaan pengkajian risiko jatuh merupakan bagian dari penerapan keselamatan pasien di rumah sakit. Agar dapat mengimplementasikan sistem keselamatan pasien di rumah sakit, ada aspek lain yang harus dibangun seperti pengetahuan, sikap dan kinerja petugas kesehatan terhadap sistem keselamatan pasien (Kuncoro, 2012). Pelaksanaan pengkajian risiko jatuh pasien juga merupakan bagian dari kinerja perawat. Faktor organisasi
memang
mempengaruhi kinerja perawat, namun faktor individu seperti pengetahuan dan
6
sikap perlu juga diperhatikan dalam penerapan
keselamatan pasien
(Mangkunegara, 2000 dikutip dalam Kuncoro,2012). Pengetahuan akan mempengaruhi perilaku individu. Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya (Notoatmojo, 2005). Hasil penelitian Qosim (2007) tentang hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang prinsip enam benar pemberian obat
dalam
implementasi
keselamatan
pasien
di
Irna
RSU
PKU
Muhammadiyah Gombong menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan prinsip enam benar dengan tingkat penerapannya dengan nilai p=0,001. Gibson (1997) menyebutkan bahwa sikap adalah determinan perilaku, sebab sikap berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan motivasi. Sikap positif sangat diperlukan untuk mendukung penerapan keselamatan pasien di rumah sakit. Berdasarkan penelitian Ariyani (2009) menunjukkan adanya pengaruh bersama pengetahuan dengan sikap mendukung program keselamatan pasien di instalansi perawatan intensif Dr. Moewardi, Surakarta. Hasil ini menunjukkan adanya pengaruh kuat sikap terhadap sesuatu kondisi atau upaya kinerja. Prinsip yang direkomendasikan IOM dalam laporannya To Err Is Human (2000) untuk penerapan keselamatan pasien di rumah sakit adalah mendesain pekerjaan dengan memeperhatikan faktor manusia dengan memperhitungkan jam kerja, beban kerja, staffing, ratio dan shift dengan memperhatikan faktor kelelahan, siklus tidur dan laian-lain. Beban kerja perawat penting diketahui, karena asuhan keperawatan yang dilakukan perawat merupakan beban kerja
7
utama perawat dan menjadi fokus dari semua aktifitas perawat dapat dilaksanakan dengan baik bila jumlah tenaga perawat tercukupkan (J.M Robot, 2009). Berdasarkan penelitian Minarsih (2011) menunjukkan bahwa beban kerja yang tinggi mempengaruhi produktivitas kerja perawat terhadap pelaksanaan pengkajian dan pendokumentasian sebesar 62,7%. Beban kerja yang berlebih terjadi karena tidak sebandingnya rasio tenaga perawat dengan pasien dan adanya pekerjaan yang tidak seharusya dilakukan oleh perawat sehingga akan mempengaruhi penurunan kinerja perawat dalam melakukan pengkajian dan pendokumentasian keperawatan (Mastini, 2013). Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang merupakan salah satu rumah sakit terbesar di Sumatera Barat dengan akreditasi rumah sakit tipe B plus pendidikan, berfungsi sebagai rumah sakit pusat rujukan tertier untuk wilayah Sumatera Bagian Tengah. Rumah sakit ini memiliki perencanaan untuk memenuhi standar internasional akreditasi rumah sakit yaitu sertifikasi ISO dan JCI dalam hal pelayanan dan pendidikan di akhir tahun 2015 (Bagian Perencanaan RSUP Dr. M. Djamil Padang, 2013). Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bidang Keperawatan RSUP Dr. M. Djamil Padang di bulan Mei 2014 bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit yang telah dilakukan yaitu program keselamatan pasien. Program keselamatan pasien sudah diperkenalkan sejak tahun 2005. Namun, program tersebut baru dimulai tahun 2011. Laporan insiden keselamatan pasien di setiap unit perawatan saat ini masih sulit
8
ditemukan dikarenakan budaya pelaporan terhadap insiden keselamatan pasien oleh petugas kesehatan yang masih rendah. Namun, berdasarkan wawancara dengan Kepala Pengelola Keperawatan Instalansi Non bedah Penyakit Dalam tanggal 15 Maret 2014, didapatkan data bahwa Instalansi rawat inap Non Bedah Penyakit Dalam sudah memiliki laporan kejadian jatuh pasien. Selama tahun 2013 terdapat data laporan 4 kejadian pasien jatuh dan 2 kejadian jatuh di Irna Non bedah Penyakit Dalam yang menyebabkan pasien cedera selama bulan Januari-Maret 2014. Berdasarkan observasi peneliti pada status dan keadaan pasien di Instalansi Non bedah Penyakit Dalam didapatkan data bahwa pasien yang dirawat merupakan pasien dewasa sampai lanjut usia yang mengalami berbagai jenis penyakit primer atau sekunder seperti diabetes mellitus, gagal ginjal kronik, hipertensi, hipotensi orthostatik, anemia, demam berdarah, malaria, hepatitis, AIDS dll. Beberapa pasien yang dirawat menggunakan obat diuretik, obat hipertensi, obat hipoglikemi, menggunakan tranfusi darah dan terapi intravena, menggunakan alat bantu seperti kursi roda dan alat bantu jalan seperti tongkat, mengalami gangguan penglihatan, gangguan kesadaran dan mobilitas. Dari observasi tersebut peneliti menyimpulkan bahwa semua pasien yang dirawat berisiko untuk jatuh. Upaya yang telah dilakukan oleh manajemen keperawatan irna Non Bedah Penyakit Dalam untuk menanggulangi kejadian pasien jatuh yaitu dengan mensosialisasikan dan menerapkan kembali program pengurangan risiko pasien jatuh kepada semua staf perawat yang sudah dilaksanakan sejak bulan
9
Februari 2014. Berdasarkan hasil Indikator Mutu Pelayanan Rumah Sakit Irna Non Bedah Penyakit Dalam (2014), menunjukan bahwa presentase pengetahuan perawat tentang pengurangan risiko pasien jatuh setelah dilakukan sosialisasi program keselamatan pasien adalah 83,92%. Namun, setelah dilakukan sosialisasi kepada perawat pelaksana di Irna Non Bedah Penyakit Dalam kejadian jatuh terulang kembali di bulan Maret 2014. Irna Non Bedah Penyakit Dalam terdiri dari 4 ruang rawat inap dan total jumlah perawat pelaksananya adalah 75 perawat meliputi 17 perawat di ruang Kelas I/Petri, 20 perawat di ruang rawat inap pria (IP), 19 perawat di ruang rawat inap wanita(IW) dan 19 perawat di ruang High Care Unit (HCU) (Profil Sumber Daya Manusia Irna Non Bedah Penyakit Dalam, 2014). Berdasarkan wawancara tanggal 7 Juli 2014 kepada kepala ruangan pada masing-masing ruangan mengenai jumlah pasien didapatkan data yaitu terdapat 11 pasien di kelas I/petri, 57 pasien di IP, 48 pasien di IW dan 20 pasien di HCU. Berdasarkan hasil observasi di ruangan pada tanggal 15 Mei 2014, terlihat masing-masing ruangan perawatan sudah memiliki skala pengkajian risiko jatuh Morse yang ditempel di setiap ruang perawat, format pengkajian risiko jatuh pasien sudah tersedia berupa lembaran fotokopi namun belum disatukan dengan status pasien. Berdasarkan wawancara dengan Kepala ruangan kelas I/Petri, IP, IW dan HCU pada tanggal 7 Juli 2014 standar operasional prosedur risiko jatuh pasien memang belum tersedia di ruangan namun sosialisasi keselamatan pasien khususnya pencegahan risiko jatuh selalu dilakukan satu kali dalam seminggu di ruangan.
10
Berdasarkan wawancara pada tanggal 15 Mei 2014 terhadap 10 orang perawat pelaksana di Irna Non Bedah Penyakit Dalam diketahui bahwa perawat menyadari pentingnya pelaksanaan pengkajian risiko jatuh bagi keselamatan pasien. Namun ada beberapa kendala menjadi alasan perawat pelaksana tidak melaksanakan pengkajian risiko jatuh pada pasien. 3 orang perawat menyatakan alasan tidak menguasai teknik pengkajian risiko jatuh pasien terutama jika format pengkajian sedang tidak tersedia di ruangan. Berdasarkan dari teori perilaku yang dinyatakan dalam Notoatmojo (2003, dalam Nursalam, 2012) bahwa perilaku seseorang yang tidak didasari dengan oleh pengetahuan dan kesadaran maka perilaku seseorang tidak akan berlangsung lama. 5 orang perawat menyatakan jumlah petugas perawat yang tidak sebanding dengan jumlah pasien sehingga perawat merasa tidak memiliki kesempatan untuk mengkaji dan memantau kondisi seluruh pasien. 2 Perawat mengatakan penerapan pengurangan risiko pasien jatuh baru disosialisasikan di ruangan. Berdasarkan dari studi pendahuluan yang peneliti lakukan di Irna Non Bedah RSUP Dr.M.Djamil Padang, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan pengetahuan, sikap, beban kerja dengan pelaksanaan pengkajian risiko jatuh oleh perawat di Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2014.
11
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian: apakah ada hubungan antara pengetahuan, sikap, beban kerja dengan pelaksanaan pengkajian risiko jatuh oleh perawat di Irna Non Bedah Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2014.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan pengetahuan, sikap dan beban kerja dengan pelaksanaan pengkajian risiko jatuh oleh perawat di Irna Non Bedah Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2014. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui gambaran pengetahuan perawat tentang pelaksanaan pengkajian risiko pasien jatuh di Irna Non Bedah RSUP Penyakit Dalam Dr. M. Djamil. b. Mengetahui gambaran sikap perawat terhadap pelaksanaan pengkajian risiko pasien jatuh di Irna Non Bedah Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil. c. Mengetahui gambaran beban kerja perawat di Irna Non Bedah Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil. d. Mengetahui gambaran pelaksanaan pengkajian risiko pasien jatuh oleh perawat di Irna Non Bedah Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil.
12
e. Mengetahui
hubungan
antara
pengetahuan
dengan
pelaksanaan
pengkajian risiko jatuh oleh perawat di Irna Non Bedah Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil. f. Mengetahui hubungan antara sikap dengan pelaksanaan pengkajian risiko jatuh oleh perawat di Irna Non Bedah Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil. g. Mengetahui hubungan antara beban kerja dengan pelaksanaan pengkajian risiko jatuh oleh perawat di Irna Non Bedah Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti Kegiatan penelitian ini dapat menambah wawasan dan ilmu, serta dapat membandingkan antara teori dan penerapan teori yang ada di lapangan dalam melakukan penelitian. 2. Bagi Rumah Sakit Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk pengembangan program patient safety bagi RSUP Dr. M. Djamil Padang. 3. Bagi Perawat Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengembang sistem keperawatan manajemen yang lebih baik dan berkualitas bagi keselamatan pasien di RSUP Dr. M. Djamil Padang
13
4. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelititan ini dapat menjadi bahan sebagai landasan untuk peneliti selanjutnya dengan ruang lingkup yang sama ataupun merubah variabel dan tempat penelitian.