1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia mempunyai keinginan untuk tetap bugar ataupun keinginan untuk cepat pulih dari sakit agar bisa kembali menjalankan kegiatannya. Salah satu cara yang digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk tetap sehat dan bugar adalah dengan mengkonsumsi jamu tradisional. Sudah menjadi kepercayaan masyarakat Indonesia bahwa meracik dan mengkonsumsi jamu merupakan warisan budaya Indonesia yang telah berlangsung lama dan masih dipraktikan sampai sekarang. Terlebih lagi, Indonesia memiliki keunggulan dalam hal pengembangan jamu dengan 9.600 jenis tanaman obat yang dapat digunakan sebagai bahan dasar jamu.4 Selain itu, pemerintah juga sudah menggolongkan tanaman obat yang merupakan bahan baku pembuatan jamu ke dalam sepuluh komoditas potensial untuk dikembangkan.5 Sebenarnya pemanfaatan obat tradisional bukan hanya terjadi di Indonesia, WHO mengatakan bahwa traditional and complementary medicine banyak digunakan di
4
Bagus Wicaksena dkk, 2009, Kajian Potensi Pengembangan Pasar Jamu, Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Jakarta, hlm.1, diunduh dari www.kemendag.go.id/files/pdf/2014/01/06/KajianJamu.pdf pada 19/03/2014. 5 Ibid.
2
seluruh dunia dan dihargai karena beberapa alasan.6 Pada International Conference on Traditional Medicine for South-East Asian Countries 12-14 Februari 2013 di New Delhi, Direktur Jendral WHO, Dr Margaret Chan, mengatakan bahwa: “Traditional medicines, of proven quality, safety, and efficacy, contribute to the goal of ensuring that all people have access to care. For many millions of people, herbal medicines, traditional treatments, and traditional practitioners are the main source of health care, and sometimes the only source of care. This is care that is close to homes, accessible and affordable. It is also culturally acceptable and trusted by large numbers of people. The affordability of most traditional medicines makes them all the more attractive at a time of soaring health-care costs and nearly universal austerity. Traditional medicine also stands out as a way of coping with the relentless rise of chronic no-communicable diseases.”7 Menurut seorang ahli Bahasa Jawa, istilah jamu berasal dari Bahasa Jawa “jampi”. Jampi adalah kata yang digunakan dalam Bahasa Jawa Kraton (Kromo Inggil), yang bermakna penyembuhan, sedangkan istilah “jamu” umum digunakan oleh rakyat biasa.8 Bukti-bukti sejarah mengenai penggunaan jamu untuk pengobatan dan perawatan kecantikan dapat ditemukan dalam produk-produk seni budaya seperti relief candi, batu tulis, batu-batu yang berasal dari jaman neolitikum, lukisan-lukisan, dokumen-dokumen bersejarah dan lain-lain. 9 Jamu dapat disusun dalam satu jenis atau campuran tanaman obat.10 Kata “jamu” sekarang sudah diadopsi kedalam Bahasa
6
WHO, 2013, WHO Traditional Medicine Strategy 2014-2023, WHO, Hongkong SAR, China, hlm. 16, diunduh dari http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/92455/1/9789241506090_eng.pdf pada 21/03/2014. 7 8
Ibid., hlm, 15-16.
Jamil Musanif dkk, The Indonesian Heritage “Jamu for Health and Beauty” hlm. 1, diunduh dari http://pphp.deptan.go.id/xplore/view.php?file=PENGOLAHAN-HASIL/PENGOLAHAN+HASIL/7Jamu+Brand+Indonesia/Buku+Heritage+Jamu/Buku+Heritage+Jamu.pdf pada 30/03/2013. 9 Ibid. 10 Ibid.
3
Indonesia yang bermakna obat tradisional. 11 Menurut Tilaar penggunaan jamu digolongkan dalam 5 kategori yakni:
11
Tilaar et all., 1992 dalam Soedarsono Riswan dan Harini Sangat-Roemantyo, 2002, Jamu as Traditional Medicine in Java, Indonesia, South Pacific Study Vol. 23 No. 1, hlm. 2, diunduh dari http://cpi.kagoshima-u.ac.jp/publications/southpacificstudies/sps/sps231/SouthPacificStudies23(1)pp1-10.pdf pada 19/03/2014.
3
Indonesia yang bermakna obat tradisional. 11 Menurut Tilaar penggunaan jamu digolongkan dalam 5 kategori yakni: 1. medicine; 2. healthcare; 3. beautycare; 4. tonic and beverage; dan 5. body’s protection or endurance.12 Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
003/MENKES/PER/I/2010
tentang
Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan menjelaskan bahwa jamu adalah obat tradisional. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) dalam Pasal 1 angka 9 mendefinisikan obat tradisional diartikan sebagai bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Pemanfaatan jamu tradisional untuk kesehatan sudah menjadi budaya bangsa Indonesia sejak lama. Sampai sekarang pun jamu masih menjadi pilihan masyarakat untuk pengobatan atau sekedar sebagai suplemen makanan ditengah derasnya peredaran obat-obat modern. 11
Tilaar et all., 1992 dalam Soedarsono Riswan dan Harini Sangat-Roemantyo, 2002, Jamu as Traditional Medicine in Java, Indonesia, South Pacific Study Vol. 23 No. 1, hlm. 2, diunduh dari http://cpi.kagoshima-u.ac.jp/publications/southpacificstudies/sps/sps231/SouthPacificStudies23(1)pp1-10.pdf pada 19/03/2014. 12 Ibid.
4
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI menyatakan bahwa 30.4% (89.753) dari 294.962 sampel rumah tangga masih memanfaatkan Pelayanan Kesehatan Tradisional (YANKESTRAD), dimana 49% dari pengguna YANKENSTRAD melibatkan penggunaan ramuan seperti jamu.13 YANKENSTRAD yang berupa ramuan banyak dimanfaatkan rumah tangga di perkotaan dan pedesaan dengan proporsi seimbang.14 Lebih lanjut Riskesdas 2013 menjelaskan alasan-alasan penggunaan YANKENSTRAD yang berupa ramuan oleh sampel yakni untuk menjaga kesehatan dan kebugaran (52,7%), tradisi atau kepercayaan (12,3%), ramuan lebih manjur khasiatnya (18,4%), alasan coba-coba (2,8%), putus asa (1,8%), dan alasan terakhir yang mendasari penggunaan ramuan adalah biaya murah. 15 Alasan pengunaan obat tradisional oleh masyarakat yang dirangkum dalam Riskesdas ini secara tidak langsung mengamini pernyataan Dr Margaret Chan mengenai obat tradisional bahwa obat tradisional adalah pengobatan yang mudah diakses dan ekonomis bagi masyarakat serta obat tradisional sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat yang diturunkan secara turun temurun dan dipercaya khasiatnya oleh sekelompok besar masyarakat. Jamu sudah berkembang sedemikian rupa hingga menjadi salah satu bidang usaha industri di Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 13
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Riset Kesehatan Dasar 2013, Jakarta, Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, hlm. 6-7. 14 Ibid. 15 Ibid.
5
Nomor 381/MENKES/SK/II/2007 tentang Kebijakan Obat Nasional menjelaskan bahwa obat tradisional yang pada awalnya dibuat oleh pengobat tradisional untuk pasiennya sendiri atau lingkungan terbatas, berkembang menjadi industri rumah tangga dan selanjutnya sejak pertengahan abad ke-20 telah diproduksi secara masal baik oleh industri kecil obat tradisional (IKOT) maupun industri obat tradisional (IOT) dengan mengikuti perkembangan teknologi pembuatan. Di dalam Laporan Singkat Komisi IX DPR RI (Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BKKBN, Badan BPOM, ASKES, JAMSOSTEK, BNP2TKI, dan DJSN) dengan GP JAMU (Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia) pada tahun 2010 dijelaskan bahwa terdapat sekitar 1.116 industri obat tradisional hingga tahun 2004. Selanjutnya dilaporkan bahwa industri jamu telah memberikan 15 juta lapangan pekerjaan dan pada tahun 2009 omzet jamu Indonesia mencapai 8.5 triliun.16 Pada tahun 2010, unit usaha jamu berkembang menjadi 9.653 industri serta ada 4 industri yang bergerak dalam penyediaan simplisia (bahan jamu).17 Dalam Visi 2030 dan Road Map 2010 Industri Nasional disebutkan bahwa industri jamu merupakan industri berbasis tradisi dan budaya.18 Dengan keunggulan komparatif yang dimiliki sebagai industri berbasis sumber daya lokal, Kamar Dagang 16
Laporan Singkat Komisi IX DPR RI (Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BKKBN, Badan BPOM, ASKES, JAMSOSTEK, BNP2TKI, dan DJSN) bagian II tentang Pokok-Pokok Pembicaran poin 1 a, b, c, diunduh dari http://www.dpr.go.id/complorgans/commission/commission9/report/K9_laporan_RDPU_KOMISI_IX _DGN_GABUNGAN_PENGUSAHA_JAMU_DAN_OBAT_TRADISIONAL_INDONESIA__TGL_ _4_MEI_2010.pdf diunduh pada 21/03/2014. 17 http://www.kemenperin.go.id/statistik/ibs_tahun.php diakses pada 06/01/2015. 18 KADIN Indonesia, 2007, Visi 2030 dan Roadmap 2010 Industri Nasional, Jakarta, diunduh dari http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/125452-%5B_Konten_%5DKonten%20C8662.pdf pada 06/01/2015.
6
dan Industri Indonesia (KADIN) dalam visi 2030 dan Road Map Industri Nasional merekomendasikan jamu sebagai klaster industri unggulan penggerak lapangan kerja dan penurun angka kemiskinan atas dasar kearifan lokal dan potensi yang dimiliki produk jamu.19 Selain itu industri jamu sebagai bagian dari industri farmasi, kosmetik dan alat kesehatan merupakan salah satu industri yang perlu diperkuat strukturnya dalam rangka peningkatan sinergi dan daya saing. Industri farmasi, kosmetik dan alat kesehatan ini merupakan Industri Andalan tahun 2015-2035 yakni industri prioritas yang akan berperan besar sebagai penggerak utama perekonomian di masa yang akan datang. 20 Industri Andalan tidak hanya mengandalkan sumber daya alam sebagai keunggulan komparatif tetapi lebih banyak menggunakan sumber daya manusia berpengetahuan dan terampil, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai keunggulan kompetitif. 21 Berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa jamu tradisional telah menjadi satu komoditas perdagangan yang penting bagi perekonomian Indonesia. Berkembangnya jamu tradisional bisa menjadi salah satu industri tak lepas dari peran konsumen. Konsumen berperan penting dalam perkembangan industri jamu tradisional, dimana jamu tradisional semakin dipercaya sebagai media pengobatan maupun media pemeliharaan kesehatan oleh masyarakat.
19
Bagus Wicaksena dkk, loc.cit. Kementrian Perindustrian, Perkuatan Struktur Industri Nasional untuk Peningkatan Sinergi dan Daya Saing, disampaikan pada FGD “Perkuatan Struktur Industri Nasional”-Persatuan Insinyur Indonesia, 12 Agustus 2014, Jakarta diunduh dari http://bkti-pii.or.id/home/wpcontent/uploads/FGD/Perkuatan%20Struktur%20Industri%20Nasional%20untuk%20Peningkatan%20 Industri%20Nasional-12%20Agustus2014-%20Pak%20Achdiat.pdf pada 06/01/2015. 21 Ibid. 20
7
Oleh karena itu, jamu tradisional haruslah dijamin kualitasnya demi keamanan konsumsinya serta eksistensi jamu tradisional yang bernilai ekonomis di masyarakat. Ketika membicarakan produksi barang yang menjadi kebutuhan konsumen dan pola hubungan antara konsumen dan produsen, harus disinggung mengenai hak-hak konsumen. Kepentingan-kepentingan konsumen telah lama menjadi perhatian, hal ini secara tegas telah dikemukakan pada tahun 1962 oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang menyampaikan pesan di depan Kongres tentang pentingnya kedudukan konsumen di dalam masyarakat. 22 Dua pertiga dari jumlah uang yang dipergunakan dalam kehidupan ekonomi berasal dari konsumen, namun demikian, biasanya suara mereka tidak didengar. 23 Acap kali pula ternyata bahwa para konsumen inilah yang biasanya kurang mendapat perlindungan, sehingga merekalah pertama terkena akibat dari kualitas barang atau jasa yang tidak memenuhi persyaratan.
24
Mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, pernah
mengemukakan empat hak dasar konsumen, yaitu: 25 1. The right to safe products; 2. The right to be informed about products; 3. The right to definite choices in selecting products; dan 4. The right to be heard regarding consumer interests. 22
Mariam Darias Badrulzaman, 1981, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Bandung, Alumni, hlm. 47 dalam Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia, Bogor, hlm.2. 23 Ibid. 24 Ibid. 25 Abdul Halim Barkatulah, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen “Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran”, FH Unlam Press, Banjarmasin, hlm. 21.
8
Sebagai upaya untuk melindungi konsumen dalam lalu lintas perdagangan barang atau jasa, pada tanggal 20 April 1999 disahkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Penjelasan UUPK menyebutkan bahwa kehadiran undang-undang ini dimaksudkan sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. 26 Pentingnya perlindungan hukum bagi konsumen disebabkan posisi tawar konsumen yang lemah. Perlindungan hukum terhadap konsumen mensyaratkan adanya pemihakan kepada posisi tawar yang lemah.27 Konsumen mempunyai hak atas keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang maupun jasa serta informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai konsisi dan jaminan barang dan/atau jasa. 28 Salah satu cara menjamin keamanan, kenyamanan dan keselamatan dari jamu tradisional adalah dengan mengeluarkan regulasi yang mengatur komponen-komponen apa saja yang aman terkandung dalam jamu tradisional. Pada tahun 2011 BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.06.11.5629 tentang Persyaratan Teknis Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) untuk menjamin pembuatan obat tradisional yang memenuhi syarat edar agar tidak membahayakan bagi konsumennya. Selain itu,
26
Abdul Halim Barkatullah, 2010, Hak-Hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, hlm. 23. Ibid. 28 Pasal 4 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 27
9
Menteri Kesehatan mengesahkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 007 Tahun 2010 tentang Registrasi Obat Tradisional, dalam peraturan tersebut dinyatakan pelarangan penggunaan bahan-bahan kimia obat dalam jamu tradisional. BKO adalah senyawa sintetis atau bisa juga produk kimiawi yang berasal dai bahan alam yang umumnya digunakan pada pengobatan modern.29 Pada prakteknya banyak ditemukan obat tradisional yang mengandung BKO dengan tujuan tertentu namun tidak dengan takaran, aturan pakai dan peringatan yang tidak jelas sehingga berpotensi menimbulkan bahaya. 30 Akibat BKO mencakup gejala yang paling ringan hingga kematian tergantung dari jenis BKO, lama konsumsi dan cara pemakaian. 31 Jamu pelangsing, penambah nafsu makan, obat kuat, pegal linu, rematik, encok, asam urat, menghilangkan sakit adalah contoh jamu tradisional yang sering dibubuhkan BKO.32 Lebih lanjut, BPOM juga telah mengeluarkan beberapa peraturan mengenai larangan penggunaan bahan-bahan tertentu yang tidak hanya mencakup bahan kimia obat tetapi juga bahan alami lainnya dalam jamu tradisional karena dapat membahayakan kesehatan konsumennya, seperti Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.41.2803 tentang Larangan Obat Tradisional yang Mengandung Cinchonae Cortex atau Artemisiae Folium.
29
Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan 2014, Bahaya Bahan Kimia Obat (BKO) Pada Jamu, diunduh dari http://binfar.depkes.go.id/v2/wp-content/uploads/2014/09/Bahaya-Bahan-Kimia-Obat-pada-Jamu.pptx pada 16/01/2015. 30 Ibid. 31 Ibid. 32 Ibid.
10
Meskipun sudah adanya regulasi terkait bahan-bahan yang dilarang untuk dijadikan komposisi jamu tradisional seperti bahan kimia obat (BKO), masih ditemukan beberapa jamu yang beredar di pasaran yang mengandung bahan tersebut. Pada tahun 2013 lalu Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM RI) menarik 59 produk jamu dari berbagai merek yang mengandung BKO, temuan ini merupakan hasil pengawasan dari Oktober 2012 di seluruh Indonesia. Total jamu yang dimusnahkan adalah 9.757.965 produk, dengan nilai kerugian Rp4,2 milyar.33 Kemunculan jamu tradisional yang mengandung BKO berawal dari beredarnya jamu tradisional maupun obat tradisional yang mengandung BKO yang berasal dari Cina, dimana penggunaan bahan kimia dalam jamu atau obat tradisional diizinkan di negara tersebut namun hal tersebut dilakukan dengan rasio pencampuran yang rasional. Metode peramuan jamu tradisional dengan BKO ini ditiru oleh produsen jamu tradisional Indonesia namun dengan proporsi yang tidak rasional. Lebih besarnya kandungan BKO dalam jamu tradisional membuat jamu tradisonal dengan BKO ini lebih terasa khasiatnya bila dibandingkan dengan jamu tradisional murni.34 Penggunaan BKO untuk meningkatkan khasiat jamu tradisional dan diluar pengetahuan konsumen tentunya melanggar hak-hak konsumen yang telah diakomodasi oleh UUPK. UUPK dalam Pasal 4 memberikan beberapa hak bagi
33
Rosmha Widiyani, “BPOM Tarik 59 Jamu Berbahan Kimia Obat”, http://health.kompas.com/read/2013/11/08/1331226/BPOM.Tarik.59.Jamu.Berbahan.Kimia.Obat, diakses pada 21/03/2014. 34 Hasil wawancara dengan Bapak Bambang Purnomo selaku Ketua GP Jamu daerah D.I Yogyakarta pada 27/03/2014.
11
konsumen atas barang maupun jasa yang dikonsumsi beberapa hak tersebut adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang maupun jasa. Konsumen juga berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang serta jasa. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan melakukan penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dari Jamu Tradisional yang Mengandung Bahan Kimia Obat di Kota Yogyakarta.”
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum bagi konsumen dari jamu tradisional yang mengandung bahan kimia obat di Kota Yogyakarta? 2. Apa yang menjadi hambatan Balai Besar POM (BBPOM) di Yogyakarta dalam mengawasi peredaran jamu tradisional yang mengandung bahan kimia obat dan bagaimana cara mengatasinya?
C.
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Objektif
12
a. Mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum bagi konsumen dari jamu yang mengandung bahan kimia obat di Kota Yogyakarta; b. Mengetahui hal-hal yang menjadi hambatan BBPOM Yogyakarta dalam mengawasi peredaran jamu tradisional yang mengandung bahan kimia obat serta cara mengatasinya. 2. Tujuan Subjektif Menumpulkan data yang diperlukan dalam menyusun penulisan hukum, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D.
Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian dapat diketahui setelah melakukan penelusuran terhadap berbagai penelitian yang pernah dibuat di Perpustakaan Fakultas Hukum UGM, database perpustakaan lainnya dan Internet. Berdasarkan penelusuran penulis, ada beberapa penelitian yang meneliti tentang perlindungan konsumen terkait obat tradisional ataupun jamu tradisional, yaitu: 1.
Tesis oleh Dwi Maryati, Fakultas Hukum UGM, pada tahun 2012 dengan Judul “Pelaksanaan Pengawasan Perlindungan Konsumen oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan terhadap Kasus Peredaran Obat, Makanan dan Minuman, Kosmetik dan Obat Tradisional Ilegal di Sumatera Barat (Studi Kasus Toko AMD Aziz)” dengan rumusan masalah:
13
a. Bagaimana pelaksanaan pengawasan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Padang terhadap peredaran kosmetik ilegal dalam kasus Toko AMD Azis? b. Bagaimana fungsi dan peranan BPOM Padang dalam melindungi konsumen terhadap peredaran obat, makanan, kosmetik dan obat tradisional ilegal serta hambatan-hambatan yang dijumpai dan cara mengatasinya? 2.
Tesis oleh Inda Hudayani Rivai, Fakultas Hukum UGM, pada tahun 2011 dengan judul “Tinjauan Yuridis terhadap Pengawasan Peredaran Obat yang Tidak Memenuhi Syarat Oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia dari Sisi Hukum Perlindungan Konsumen” dengan rumusan masalah: a. Bagaimana pelaksanaan BPOM dapat mengetahui adanya peredaran obat yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengawasan Sistem Farmasi dan Alat Kesehatan? b. Bagaimana tahapan tindakan yang dilakukan BPOM jika menemukan adanya peredaran obat yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan ketentuan Kepala BPOM?
3.
Tesis oleh Evvransherwin, Fakultas Hukum UGM, pada tahun 2009 dengan judul “Peran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam Perspektif
14
Hukum Perlindungan Konsumen atas Peredaran Obat Vitalitas Pria Berbahaya sebagai Upaya Perlindungan Konsumen di Daerah Istimewa Yogyakarta.” dengan rumusan masalah: a.
Bagaimana peran BPOM di Yogyakarta dalam upaya melindungi konsumen dari peredaran obat vitalitas pria berbahaya yang mengandung bahan kimia obat yang beredar di daerah Yogyakarta serta kendala yang dihadapi?
b.
Bagaimana dampak dari pengawasan tersebut terhadap pelaku usaha dan konsumen?
4.
Tesis oleh Yulia Nurhayati, Fakultas Hukum Universitas Lampung, pada tahun 2012 dengan judul Tinjauan Yuridis tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha dengan Beredarnya Jamu yang Mengandung Bahan Kimia Obat Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Rumusan masalahnya adalah: a.
Bagaimanakah tanggung jawab pelaku usaha atas beredarnya produk jamu yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) berbahaya berdasarkan Pasal 19 UUPK?
b.
Bagaimana efektifitas peraturan pemerintah tentang perlindungan konsumen melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Departemen Kesehatan terkait adanya jamu yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO)?
15
Berdasarkan penelusuran penulis, keempat penulisan hukum di atas berbeda dengan topik penulisan hukum yang hendak diteliti oleh penulis. Perbedaaan dengan penelitian pertama selain pada lokasi penelitian adalah terletak pada objek penelitian yakni pelaksanaan pengawasan perlindungan konsumen oleh BPOM terhadap peredaran obat, makanan, minuman, kosmetik dan obat tradisional dengan studi pada kasus toko AMD Aziz. Perbedaan dengan penelitian kedua adalah penelitian tersebut bertujuan untuk meninjau secara yuridis terhadap pengawasan peredaran obat yang tidak memenuhi syarat oleh BPOM. Perbedaan dengan penelitian ketiga adalah penelitian ketiga lebih berfokus pada peran BPOM atas peredaran obat vitalitas pria berbahaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dapat disimpulkan bahwa penulis akan meneliti hal berbeda dan dilakukan di lokasi penelitian yang berbeda pula. Permasalahan yang akan diteliti oleh penulis adalah mengenai pelaksanaan perlindungan hukum terhadap konsumen jamu tradisional di Kota Yogyakarta berikut penyelesaian hambatan-hambatan dalam upaya-upaya pelaksanaan perlindungan konsumen jamu tradisional. Perbedaan dengan penelitian ketiga adalah penelitian ketiga lebih berfokus kepada tanggung jawab pelaku usaha terkait peredaran jamu tradisional yang mengandung BKO sedangkan penulis fokus kepada perlindungan hukum bagi konsumennya. Lalu perbedaan dengan penelitian yang terakhir adalah fokus penulis yang langsung kepada bahan kimia obat tidak seperti fokus penelitian skripsi tersebut terhadap jamu tradisional yang mengandung bahan berbahaya yang lebih luas cakupannya bila
16
dibandingkan dengan objek penelitian penulis. Dengan demikian penulisan hukum yang disusun oleh penulis merupakan penulisan hukum yang asli dan belum pernah ada penulis lain yang pernah meneliti hal yang sama sebelumnya. Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian yang mengangkat topik yang serupa.
E.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menyumbang pemikiran terhadap penyelesaian persoalan-persoalan hukum khususnya di bidang hukum dagang yang membahas mengenai perlindungan konsumen. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pelaksanaan perlindungan konsumen di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi gambaran maupun masukan atau saran bagi masyarakat, pelaku usaha jamu tradisional maupun stakeholder yang berwenang membuat kebijakan terkait dengan jamu tradisional dan perlindungan konsumennya. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pembuatan penulisan hukum dan penulisan ilmiah lainnya.