BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Anak-anak adalah masa depan bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi juga untuk komunitas, bangsa, dan negaranya. Anak-anak adalah masa depan kemanusiaan, tanpa anak, tidak ada masa depan bagi siapapun. Tidak memperhatikan kualitas hidup anak sama artinya dengan tidak memperhatikan kelangsungan hidup keluarga. 1 Semua pihak berkeyakinan bahwa semua anak kelahirannya diinginkan, direncanakan dan, oleh karena itu, masa depannya akan sangat diperdulikan. Indonesia menunjukkan kenyataan pahit, sebagian dari anak-anak tersebut mengalami berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, dan penelantaran. Pada tahun 2003 sekretaris Jendral PBB menugaskan perwakilannya di seluruh dunia untuk melakukan kajian mengenai kekerasan terhadap anak. Hasil yang dilaporkan pada tahun 2006 2 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah masalah global, di semua negara yang terlibat, anak-anak mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti hukuman fisik, pemaksaan kerja atau eksploitasi dalam berbagai pekerjaan yang berbahaya (pertambangan, sampah, seks komersial, perdagangan narkoba, dan lain- lain), diskriminasi, perkawinan dini, dan pornografi. 3 Kajian mengenai Wisata Seks di ASEAN
1
ECPAT, Memerangi Pariwisata Sex Anak, (SUMUT: Koalisi Nasional Penghapusan ESKA, 2008), hal. 3. 2 World Report on Violence Against Children - Laporan ini diedit oleh seorang ahli independent yang ditugaskam oleh Sekjen PBB, yaitu: Paulo Sergio Pinheiro, 2006. 3 Irwanto, Menentang Pornografi dan Eksploitasi Seksual terhadap Anak, (Jakarta:ECPAT, 2008), hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
yang dilaporkan oleh Child Wise Tourism, Australia, pada tahun 2007, Indonesia dianggap sebagai negara tujuan wisata untuk seks yang melibatkan anak-anak. 4 Di Indonesia pada tahun 2010 tercatat 40.000-70.000 anak telah menjadi korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). Mayoritas dari mereka dipaksa bekerja dalam perdagangan seks. Praktik-praktik tersebut terutama berlangsung di pusat prostitusi, tempat hiburan, karaoke, panti pijat, pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Di Semarang, Yogya dan Surabaya, terdapat 3.408 anak korban pelacuran baik di lokalisasi, jalanan, tempat-tempat hiburan, dan panti pijat (ILO-IPEC, 2010). Di Jawa Barat jumlah anak yang dilacurkan pada tahun 2010 sebanyak 9000 anak atau sekitar 30 persen dari total PSK 22.380 orang (Dinas Sosial, 2010). Mengacu kepada data Koalisi Nasional Penghapusan ESKA, ada 150.000 anak Indonesia dilacurkan dan diperdagangkan untuk tujuan seksual. 5 Data tesebut menunjukkan bahwa semakin maraknya tindak pidana seksual komersial anak. Medan tidak ketinggalan, pelacuran anak sudah menjadi fenomena yang menyedihkan sejak lama, bahkan sudah terjadi sejak tahun 1970-an. Pelacuran anak di Medan banyak terjadi di tempat-tempat billiard, taman bermain, di pusat-pusat perbelanjaan, di cafe-cafe, di kos-kosan. Di Medan, jenis ESKA yang dialami anak adalah pelacuran anak baik yang berstatus sebagai pelajar dan tidak berstatus sebagai pelajar, dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Hal yang paling mengejutkan adalah banyaknya anak-anak sekolah yang telah terjerumus dengan ESKA dan terlibat transaksi seks dengan para Tebe atau tubang, sebutan bagi para pelanggan mereka, dari 50 responden yang berhasil diwawancarai secara mendalam 41 diantaranya berstatus pelajar 4 5
ASEAN Child – Sex Tourism Review (Child Wise Tourism Report, August, 2007) Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Indonesia, Koalisi Nasional, PKPA , Medan,
Hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
dan 9 diantaranya berstatus bukan pelajar. Hubungan kuat lain antara perilaku seksual remaja sekolah dengan dunia pendidikan adalah, alasan yang digunakan para pelajar siswi yang melacurkan diri adalah alasan-alasan sekolah. Teman yang diajak atau dilibatkan ke dunia Tubang juga masih mempunyai kedekatan hubungan emosional yang diikat oleh kenyataan bersekolah di sekolah yang sama. Modus operandi yang digunakan dalam menjebak anak-anak masuk ke dalam dunia pelacuran, umumnya diajak oleh teman yang lebih dahulu masuk ke dunia ini, lalu diperkenalkan dengan tamu atau tubang. Selanjutnya anak-anak mencari tamu sendiri dengan cara ke diskotik, atau langsung menghubungi tamu tersebut. 6 Pengaruh perkembangan sosial mengharuskan setiap orang untuk menganalisis segala sesuatu secara rasional dan mendasar, agar setiap masalah yang timbul dalam masyarakat dapat dipecahkan sebaik-baiknya, demikian pula halnya anak-anak adalah masa depan keluarga dan bangsa,itu sebabnya semua orang tua berharap anak-anaknya bisa mengangkat harkat dan martabat keluarga dan keluar dari himpitan ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan peneliti tepatnya pada Pusat Kajian Perlindungan Anak bahwa banyak anak yang baru duduk di bangku SMA yang setiap hari harusnya menghabiskan banyak waktu untuk belajar dan menikmati masa remajanya justru lebih memilih menyisihkan waktunya untuk mencari uang saku, dengan berbekal lipstic, bedak, dan kondom serta tubuh yang molek menjadi aset panting bagi anak remaja yang berkomitmen untuk mendapat uang demi materi semata. Anak-anak yang memiliki orangtua sekalipun dapat diperjualbelikan dengan mudahnya sebagai PSK, hal ini menjadi dilema bagi siapa saja khususnya orangtua. 6
Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Indonesia, Koalisi Nasional, PKPA, Medan, Hal.
14-15.
Universitas Sumatera Utara
Bangsa ini tidak dapat maju dengan bermodalkan mental dan jiwa generasi yang hanya dihantui dengan keinginan dan kepuasan materi yang sesaat. 7 Mental generasi bangsa yang semakin memburuk menimbulkan akibat yang sangat meluas dan mencolok terutama dalam hal terjadinya pengeksploitasian anak secara seks komersial. Seiring bergantinya kepemimpinan presiden dan dengan perjalanan pembangunan yang selama lebih dari setengah abad pembangunan nasional telah membuahkan hasil yang cukup spektakuler, terutama dibidang ekonomi. Indonesia bahkan kini disebut-sebut sebagai calon kuat “macan asia” mendatang. 8 Begitu pula pembangunan nasional yang telah memanjakan aspek ekonomi telah menimbulkan dampak negatif, yang paling utama adalah munculnya sifat materialis dan individualis, hal inilah yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan semua masyarakat. Secara formal, kita mengaku bangsa yang bermoral yaitu moral Pancasila. Orang ramai-ramai memeriahkan slogan Pancasila, namun kenyatannya pada waktu yang sama Pancasila dilecehkan begitu saja. 9 Adanya kekhawatiran terhadap pola hidup anak-anak sebagai kader pemimpin bangsa membuat saya untuk memilih judul tentang PENANGGULANGAN DAN PERLINDUNGAN
HUKUM
TERHADAP
ANAK
SEBAGAI
KORBAN
EKSPLOITASI SEKS KOMERSIAL (ESKA). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
7
Laporan Pengembangan Indikator Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak. PKPA. 2004. Medan 8 Tjipta Lesmana, Pornografi dalam Media Massa, (Jakarta:Puspa Suara, 1995), hal. 153154. 9 Irwanto, Perdagangan Anak di Indonesia, (Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional, 2001), hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
1. Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya eksploitasi seks komersial anak (ESKA)? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban eksploitasi seks komersial anak (ESKA)? 3. Bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana terhadap anak korban eksploitasi seks komersial anak? C. Tujuan Penelitian Konsisten dengan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya eksploitasi seks komersial anak (ESKA). 2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban eksploitasi seks komersial anak (ESKA). 3. Untuk mengetahui penanggulangan tindak pidana terhadap anak korban eksploitasi seks komersial anak (ESKA). D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan teori ilmu hukum, yaitu: 1. Memberikan masukan terhadap masyarakat umum, pemerintah khususnya orangtua guna
mencegah
terjadinya
perdagangan
anak
serta
perlindungan
dan
penanggulangannya
Universitas Sumatera Utara
2. Memberi inspirasi bagi pemerintah dalam membuat kebijakan yang lebih ideal sebagai penawar terhadap luka masyarakat dengan terjadinya perdagangan anak sebagai PSK Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat, yaitu: 1. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah, pendidik, aparat negara dan khususnya orangtua dalam melakukan optimalisasi pendekatan dan bergerak cepat dalam menangani kasus perdagangan anak sebagai PSK serta pencegahannya. 2. Sebagai bahan kajian bagi akademis untuk menambah wawasan kriminologi maupun hukum pidana terhadap perdagangan anak sebagai PSK E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Universitas Sumatera Utara maka diketahui bahwa belum ada penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian ini, yaitu mengenai Penanggulangan Dan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Dieksploitasi Secara Seksual Sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif, dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah Penanggulangan Dan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban ESKA.. F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara
Teori adalah pisau analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada. Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, maka teori yang digunakan adalah teori penanggulangan kejahatan. Secara tertulis hukum dibuat untuk menciptakan dan melahirkan generasi muda yang taat terhadap aturan akan tetapi dengan adanya penyakit sosial atau penyakit masyarakat karena gejala sosial mengakibatkan timbulnya Juveni Le Delinquency ialah perilaku jahat (dursila) atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda yang mungkin salah satu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka mengembangkan bentuk tingkah laku menyimpang. ”Juvenile” berasal dari bahasa Latin “Juvenilis” artinya anak-anak, anak muda, sifat khas pada masa muda. Delinquent berasal dari kata Latin “Delinquere” yang berarti terabaikan , mengabaikan yang diperluas menjadi jahat, kriminal. 10 Penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan kebijakan criminal (Criminal Policy). Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan non penal (pendekatan di luar hukum pidana). dalam Kongres ke-5 PBB: “Criminal policy was an aspect of social planning and its planning therefore had to be integrated into that of general progress of community…crime prevention policy was one aspect of general social policy and hence should be integrated into a country’s development planning as a whole.” 11 Disimpulkan dalam Kongres ke-5 PBB bahwa berbagai aspek dari kebijakan penanggulangan kejahatan harus dikoordinasikan dan secara keseluruhan harus terintegrasi dalam kebijakan sosial pada setiap Negara (The many aspects of criminal 10
Kartini Kartono, Patologi Sosial dan Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hal. 6. 11 Fifth United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. (New York: Department of Economic and Social Affairs, UN, 2005), hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
policy should be coordinated and the whole should be integrated into general social policy of each country). 12 a. Kebijakan Di luar Hukum Pidana (Non-Penal Policy) Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan, oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan.dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan penting yang harus diintensifkan dan diefektifkan. 13 Secara universal dalam hal penanggulangan kejahatan, pada Kongres PBB ke-8 tahun 1990 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders yang belangsung di Havana, Cuba, menekankan pentingnya aspek sosial dari kebijakan pembangunan yang merupakan suatu faktor penting dalam pencapaian strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana, oleh karena aspek-aspek sosial dalam konteks pembangunan ini harus mendapat prioritas utama. Kongres ke-8 ini juga berhasil mengidentifikasi berbagai aspek sosialyang ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan. Hal ini disebutkan dalam Dokumen A/CONF. 144/L.3, yaitu sebagai berikut: 14 1) Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok
12
Ibid., hal. 21. Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum pidana (Perkembangan Penyusunan KUHP Baru), (Jakarta: Kencana, 2008), (Selanjutnya disebut Buku III), hal. 33. 14 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 57. 13
Universitas Sumatera Utara
2) Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpanganketimpangan sosial 3) Mengendornya ikatan sosial dan keluarga 4) Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain 5) Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan 6) Menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga 7) Kesulitan-kesulitan
bagi
orang-orang
dalam
masyarakat
modern
untuk
berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau dilingkungan sekolahnya 8) Penyalahgunan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas 9) Meluasnya aktifitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian 10) Dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan sikapsikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikapsikap tidak toleran. Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan, yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat, kesehatan mental masyarakat secara nasional, social
Universitas Sumatera Utara
worker and child welfare (kesejahteraan anak dan pekerja sosial), serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi. 15 Pendidikan melalui lembaga sekolah dapat menggunakan pengaruhnya untuk mencegah terjadinya kejahatan kepada siswa-siswanya melalui peningkatan kepekaan siswa terhadap lingkungan kehidupannya, baik keluarga, kelompok belajar, maupun lingkungan tempat tinggalnya. Lebih dari itu sekolah harus melibatkan diri dalam penanggulangan kejahatan mulai dari tahun-tahun ajaran baru dengan cara mendata secara komprehensif informasi tentang siswa, baik berupa identitas dan latar belakang kehidupan mereka, dengan demikian diharapkan sekolah dapat merumuskan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan siswanya. b. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Istilah ”kebijakan” berasal dari bahasa Inggris ”policy” atau bahasa Belanda ”politiek Istilah ini dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata ”politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa juga disebut juga politik hukum pidana. 16 Mengenai kebijakan hukum pidana, Solly Lubis menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku untuk mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 17 Mahfud MD juga memberikan defenisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan 15
Mahmud Mulyadi, Op. Cit., hal. 58. Mahmud Mulyadi, Op. Cit., hal. 65. 17 Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1989), hal. 16
159.
Universitas Sumatera Utara
hukum itu. Secara konteks hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsitem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya (pasal-pasal), maupun dalam penegakannya. 18 A. Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang lingkup politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan: 19 a) Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui; b) Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan; c) Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. 2. Kerangka Konsepsional Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai, oleh karena itu, dalam penelitian ini di defenisikan beberapa konsep dasar supaya secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: penanggulangan, perlindungan hukum, anak, eksploitasi, eksploitasi seksual, eksploitasi seksual komersial anak. 1. Penanggulangan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mencegah menghadapi, atau mengatasi suatu keadaan. 20
18
Mahfud M.D, Politik hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES,1998) hal. 1-2. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996) hal. 28. 20 Pius Partanto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Surabaya:Arkola, 1994), hal. 332. 19
Universitas Sumatera Utara
2. Perlindungan hukum anak adalah perlindungan atas semua hak serta kepentingan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak dengan wajar, baik secara alami, jasmani maupun sosial. 21 3. Anak menurut Pasal 1 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 4. Eksploitasi menurut Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateriil. 5. Mengacu pada UU No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Anak Pasal 1 ayat 8, Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. G. Metode Penelitian Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun tekhnologi, hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten. Melalui
21
Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Medan: USU Press, 1998), hal.26.
Universitas Sumatera Utara
proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi data yang telah dikumpulkan. 22 Penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. 23 Metode penelitian adalah merupakan upaya ilmiah untuk memakai dan memecah suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu. 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedahkaedah atau norma-norma hukum positif, dan yuridis empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan meninjau masalah yang diteliti dari segi ilmu hukum dengan melihat serta mengaitkan dengan kenyataan yang ada di dalam implementasinya yang bertujuan untuk mendeskripsikan kegiatan/peristiwa alamiah dalam praktek seharihari. 24 Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu peneltian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law at it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the jungle through judicial process). 25 22
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI:Press, 2005), hal. 5-6. Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 64. 24 Johny ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2008), hal. 282. 25 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, (Fakultas Hukum USU, tgl 18 Februari, 2003), hal. 2. 23
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yuidis normatif yang digunakan dalam penyusunan tesis ini didukung oleh penelitian empiris untuk melihat perilaku hukum sebagai pola perilaku masyarakat dan terlihat sebagai kekuatan sosial. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundangundangan yang diurut berdasarkan hierarki 26 seperti peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian. 27 Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya tulis ilmiah, dan berbagai makalah yang berkaitan. c. Bahan Hukum Tersier
26 27
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 141. Jhony Ibrahim, Op. Cit., hal. 296.
Universitas Sumatera Utara
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder 28 berupa kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel, internet. Selain itu juga menggunakan data primer yang diperoleh dari responden langsung dan lapangan. Untuk mendapatkan data primer dilakukan dengan wawancara. 29 3. Tekhnik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu melalui penelusuran dokumendokumen maupun buku-buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif yang sesuai dengan objek yang akan diteliti. 30 Penelitian kepustakaan dalam hal ini didukung oleh penelitian lapangan yang berupa: a. Wawancara kepada korban ESKA sebanyak 10 informan b. Wawancara kepada Pusat Kajian Perlindungan Anak c. Wawancara kepada aparat penegak hukum yaitu polisi yang bernama Hotdison Manurung, SH, jaksa yang bernama J. Simamora, SH, dan hakim Nurnaningsih, SH, MH 4. Analisis Data Setelah data terkumpul dan dirasa telah cukup lengkap, maka tahap selanjutnya adalah mengolah dan menganalisa data. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif, dimana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan, penganalisisan dan pengkonstruksian data secara menyeluruh, sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya 28
Ibid. Tampil Anshari Siregar. Metode Penelitian Hukum. (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2007), hal 77. 30 Johny Ibrahim, Op. Cit., hal. 392. 29
Universitas Sumatera Utara
semua data diseleksi dan diolah, kemudian dianalisa secara deskriftif, 31 sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini. Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam kategori dan satuan ujraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. 32 Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dikumpulkan dan kemudian diedit dengan mengelompokkan, menyusun secara sistematis, dan analisis secara kualitatif selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika berfikir deduktif ke induktif.
31
M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 ), hal. 133. 32 Lexy Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, ( Bandung: Rosda Karya, 2002), hal. 103.
Universitas Sumatera Utara