BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Remaja adalah masa dimana manusia mengalami transisi dari masa anak-
anak menuju masa dewasa. Pada masa transisi tersebut remaja berusaha untuk mengekspresikan dirinya dan berusaha untuk mencari jati diri atau identitas diri yang sesungguhnya. Berdasarkan teori perkembangan Erikson (Feist, 2010) remaja berada pada fase identity vs identity confusion dimana pada fase itu remaja berusaha untuk mencari identitas diri mereka. Mereka berjuang untuk mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Disaat yang bersamaan juga, remaja mengalami perubahan dalam diri mereka, dimulai dari perubahan fisik, pola pikir, dan sosial-emosional. Seorang remaja yang berhasil melewati tahap perkembangan serta dapat melewati perubahan yang ada dalam lingkungan hidupnya, mereka akan survive, dan apabila seorang remaja mengalami masalah dalam perkembangan dirinya serta mengalami masalah dalam menghadapi lingkungannya baik dalam keluarga, masyarakat, maupun peer groupnya, ia akan melakukan perilaku yang menyimpang dari kebiasaan atau melanggar hukum. Suatu perbuatan yang menyimpang dari kebiasaan atau melanggar hukum yang dilakukan pada usia remaja atau transisi masa anak-anak dan dewasa disebut sebagai kenakalan remaja (juvenile delinquency) (Sarwono, 2012). Kenakalan remaja dapat berupa kenakalan yang menimbulkan korban fisik seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain; kenakalan yang menimbulkan korban materi seperti perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain; kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak lain seperti pelacuran, penyalahgunaan obat-obatan; kenakalan yang mengingkari status seperti
1
2 mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah orang tua, dan lain-lain (Sarwono, 2012). Dampak buruk dari kenakalan remaja yaitu para remaja secara tidak langsung dapat terjerumus ke dalam dunia kriminalitas, sehingga kriminalitas di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi banyak juga dilakukan oleh kalangan remaja. Oleh karena itu, penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) semakin banyak dihuni oleh para remaja. Berdasarkan Direktorat Jendral Pemasyarakatan
Kementrian
Hukum
&
HAM
dalam
Sistem
Database
Permasyrakatan (smslap.ditjenpas.go.id), khususnya di daerah Tangerang, Banten, terhitung jumlah Andikpas dari bulan Desember 2011 yang berjumlah 168 anak, meningkat menjadi 222 anak pada bulan Desember 2012. Menjadi narapidana adalah stresor kehidupan yang berat bagi pelakunya. Perasaan sedih pada narapidana setelah menerima hukuman serta berbagai hal lainnya seperti rasa bersalah, hilangnya kebebasan, perasaan malu, sangsi ekonomi dan sosial serta kehidupan dalam penjara yang penuh dengan tekanan psikologis dapat memperburuk dan mengintensifkan stresor sebelumnya. Keadaan tersebut bukan saja mempengaruhi penyesuaian fisik tetapi juga psikologis individu (Morgan, 1981; Gussak 2009 dalam Mukhlis 2011). Akibatnya, para Andikpas cenderung mengalami tekanan karena situasi dan kondisi yang penuh dengan tuntutan karena perubahan lingkungannya secara mendadak, sehingga mereka akan rentan dan berpotensi mengalami berbagai macam masalah psikologis salah satunya yaitu depresi. Penyebab terjadinya gangguan psikologis dapat berasal dari individu baik kondisi fisik (misalnya sakit) dan psikologis (misalnya konflik, prosesi persidangan, dan vonis hukum), maupun berasal dari sosial (misalnya interaksi anggota keluarga,
3 tekanan pekerjaan dan ekonomi), serta dapat juga berasal dari komunitas atau lingkungan (misalnya sekolah, penjara dan kejadian-kejadian kompetitif) (Coleman, 1991; Mazure, 1998; Gussak, 2009 dalam Mukhlis 2011). Kata depresi sudah tidak asing lagi di telinga kita dan sangat populer di kalangan masyarakat. Akan tetapi, arti dari depresi itu sukar untuk didefenisikan dengan tepat, sehingga banyak orang awam menggunakan istilah depresi dengan sangat bebas dan umum dan meyebabkan makna dari depresi itu menjadi kabur. Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah masyarakat. Berawal dari stres yang tidak bisa diatasi maka seseorang bisa jatuh ke fase depresi. Menurut American Psychological Association (APA) (dalam Fitriani & Hidayah, 2012), depresi merupakan perasaan sedih atau kosong yang disertai dengan penurunan minat terhadap aktivitas yang menyenangkan, gangguan tidur dan pola makan, penurunan kemampuan berkonsentrasi, perasaan bersalah yang berlebihan, dan munculnya pikiran tentang kematian atau bunuh diri. Menurut Rice (dalam Nora & Widuri, 2011), depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Depresi saat ini sudah menyerang berbagai kalangan, baik anak-anak, remaja, dewasa, maupun lansia. Neiger (dalam Fitriani & Hidayah, 2012) menyatakan bahwa usia muda yaitu 15-24 tahun sangat rentan untuk mengalami gangguan depresi. Fenomena bunuh diri meningkat di kalangan remaja pada tahun ini. Dalam 6 bulan pertama di tahun 2012, Komnas Nasional Perlindungan Anak (dalam Cahyaningrum, 2012) mencatat 20 kasus bunuh diri akibat depresi. Data dari survei yang dilakukan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa tahun 1996 di 10 kota pada 1.994 responden dengan menggunakan instrumen diagnostik gangguan jiwa dari WHO, menemukan bahwa
4 17,25% atau 344 responden merupakan kasus ganguan jiwa, dan 4,1% atau 82 orang menderita depresi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saputri, Rujito, dan Kartika (2011) di Lapas Purwokerto, tercatat bahwa baik responden narapidana yang masih muda maupun tua, banyak mengalami depresi dibandingkan yang tidak mengalami depresi dengan menggunakan instrumen penelitian Beck Depression Inventory (BDI). Prediksi WHO dalam dua dekade mendatang diperkirakan lebih dari 300 juta penduduk dunia menderita depresi. Tahun 2020, depresi akan menempati masalah kesehatan nomor dua terbesar setelah penyakit kardiovaskuler (Thabrany & Pujianto dalam Nora & Widuri, 2011). Depresi juga disebut sebagai The Silent Epidemic, dimana para penderita depresi tidak dapat terdeteksi. Menurut WHO (dalam Maulana, 2012) , menyebut depresi sebagai silent epidemic, suatu wabah penyakit yang mungkin tidak dirasakan secara langsung akibatnya, namun rantai akibat dari penyakit tersebut yang kemudian menyeruak dan menjadi kontributor-kontributor utama penyebab kematian manusia. Hal- hal yang dapat dilakukan untuk mencegah semakin bertambahnya tingkat depresi yang mengakibatkan bunuh diri pada masa remaja, sebaiknya dari pihak keluarga dan masyarakat menyediakan fasilitas untuk menyalurkan energi dan emosi yang bergejolak para remaja, seperti kegiatan olahraga, kegiatan seni, kegiatan kerohanian, dan lain-lain. Selain itu, dapat juga melakukan tes psikologi secara dini agar dapat mengetahui remaja yang mengalami depresi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran Andikpas yang mengalami depresi. Peneliti menggunakan metode campuran, yaitu metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif digunakan sebagai pemilihan subjek, kemudian metode kualitatif yaitu dengan cara wawancara yang digunakan untuk
5 mengkonfirmasikan hasil kuantitatif sebelumnya. Setelah mendapatkan subjek yang diinginkan, penulis kemudian memberikan tes gambar dan membuat analisis gambaran depresi pada Andikpas.
1.2
Rumusan Masalah Bagaimanakah gambaran depresi pada Andikpas yang berada di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang? 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran
depresi pada Andikpas di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang.