BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar 10-13 tahun dan berakhir antara usia 18-22 tahun (Santrock, 2003: 31). Lebih rinci, Konopka dalam Agustiani (2006) membagi masa remaja ke dalam tiga fase yaitu fase remaja awal (12-15 tahun), fase remaja pertengahan (16-18 tahun) dan fase remaja akhir (19-22 tahun). Seiring dengan meningkatnya setiap fase dalam usia remaja, hal ini juga disertai dengan perubahan-perubahan yang dialami remaja baik yang dapat teramati langsung seperti perubahan tinggi badan, berat badan, wajah dan tingkah laku maupun perubahan yang sifatnya lebih “halus” yang tidak dapat teramati seperti konsep diri (Gunarsa, 1983). Fitts (1971) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Selanjutnya Fitts membagi kerangka acuan tersebut ke dalam 2 dimensi pokok, yaitu kerangka acuan internal (diri identitas, diri pelaku, diri penilai) dan kerangka acuan eksternal (diri fisik, diri etik-moral, diri pribadi, diri keluarga, diri sosial). Dalam berinteraksi dengan lingkungan, cara orang lain memperlakukan individu dan apa yang dikatakan orang lain tentang individu akan dijadikan acuan untuk
1
2
menilai dirinya sendiri. Artinya konsep diri ini terbentuk dan berkembang berdasarkan persepsi seseorang mengenai sikap-sikap orang lain terhadap dirinya (Gunarsa, 1983: 238). Selain itu, konsep diri juga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku individu. Burns (1993: 72) menyatakan bahwa konsep diri akan mempengaruhi cara individu dalam bertingkah laku ditengah masyarakat. Rahmalia dalam penelitiannya (2004: 20) menambahkan bahwa konsep diri penting artinya bagaimana individu memandang diri dan dunianya mempengaruhi tidak hanya ia berperilaku, tetapi juga tingkat kepuasan yang diperoleh dalam hidup. Kepuasan tersebut berupa penerimaan terhadap keutuhan dirinya dari segi kelebihan maupun kekurangannya atau sesuatu yang ia hargai dalam hidupnya. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa individu dalam berperilaku dan berinteraksi dengan lingkungan sosial tidak terlepas dari konsep dirinya. Apabila seseorang memiliki konsep diri yang positif, maka akan terbentuk penghargaan yang tinggi pula terhadap diri sendiri. Penghargaan terhadap diri sendiri ini akan menentukan sejauh mana seseorang yakin akan kemampuan dirinya dan keberhasilan dirinya. Remaja yang merasa mampu atau percaya bahwa dirinya mampu melakukan sesuatu sendiri cenderung memiliki sikap yang mandiri. Sebaliknya, apabila seseorang mempunyai gambaran yang negatif tentang dirinya, maka akan muncul pula evaluasi negatif tentang dirinya yang dimanifestasikan dalam perilaku ketergantungan (Sulistyorini, 2006). Sehingga dari pemaparan di atas terlihat bahwa sikap kemandirian sangat ditunjang dengan konsep diri yang dimilikinya.
3
Seseorang dikatakan mandiri jika secara fisik ia dapat bekerja sendiri, mampu menggunakan fisiknya untuk melakukan segala aktivitas hidupnya; secara mental dapat berfikir sendiri, menggunakan kreativitasnya, mampu mengekspresikan gagasan kepada orang lain; secara emosional mampu mengelola perasaannya; dan secara moral memiliki nilai-nilai yang mampu mengarahkan perilakunya (Sulistyorini, 2006: 24). Steinberg (2002: 270) mengatakan bahwa kemandirian penting bagi remaja sebagai bagian dalam pembentukan jati diri. Selain itu, perkembangan kemandirian merupakan tugas penting pada masa remaja karena kaitannya dengan pemenuhan tugas-tugas perkembangan yang lain, jadi apabila remaja tidak dapat menyelesaikan konflik ketergantungannya, maka ia akan menghadapi kesulitan dalam memenuhi tuntutan hidup ke depannya seperti pencapaian hubungan dengan teman sebaya (Conger, 1973). Lebih lanjut, Steinberg (2002) mengemukakan bahwa aspek-aspek kemandirian meliputi kemandirian emosi, kemandirian perilaku dan kemandirian nilai. Melalui aspek-aspek kemandirian yang dikembangkannya, remaja diharapkan dapat mengelola diri sendiri tanpa harus bergantung penuh terhadap orang disekitarnya sehingga dapat bertanggungjawab. Dalam kehidupan bermasyarakat, remaja dituntut untuk menunjukkan kemandiriannya. Tuntutan lingkungan terhadap peran remaja menimbulkan kegelisahan dan ketegangan dalam berperilaku yang pada akhirnya menyebabkan banyaknya konflik yang sering dialami remaja. Menghadapi hal semacam ini remaja harus memiliki sikap kemandirian yang tinggi terutama dalam setiap tindakan yang akan dilakukannya. Kemampuan demikian hanya mungkin dimiliki jika remaja berkemampuan memikirkan dengan
4
seksama tentang sesuatu yang dikerjakannya atau diputuskannya, baik dalam segisegi manfaat atau keuntungannya maupun segi-segi negatif dan kerugian yang akan dialaminya. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan para peneliti sebelumnya menunjukkan adanya korelasi yang positif antara konsep diri dengan kemandirian remaja di panti asuhan, diantaranya berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Maharani pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa tingkat kemandirian remaja di panti asuhan sebesar 28,75% masuk dalam kategori baik dan 71,25% masuk dalam kategori cukup baik. Dari hasil tersebut menunjukan bahwa faktor yang paling menunjang kemandirian remaja di panti asuhan adalah faktor insiatif remaja yang telah baik, sedangkan perlu diperhatikan agar kemandirian remaja dapat meningkat menjadi baik ataupun sangat baik adalah faktor kebebasan, keuletan, pengendalian diri dan kemantapan diri. Perkembangan konsep diri dan kemandirian tentunya tidak terlepas dari peran lingkungan. Lingkungan dimana individu dibesarkan, dididik, dan diberikan bimbingan yang baik akan dapat membuat segala kemampuan yang ada dalam diri individu berkembang karena anak diberikan kesempatan untuk mengaktualisasikan segala kemampuan yang dimilikinya. Lingkungan dimana anak dibesarkan, dibimbing, dan dididik tidak lain berawal dari lingkungan dimana ia tinggal. Remaja yang tinggal bersama anggota keluarga mengalami pengalamanpengalaman yang berbeda dengan remaja yang tinggal di panti asuhan. Pandangan masyarakat yang cenderung negatif dan menganggap anak-anak yang tinggal di
5
panti sebagai anak yang dibuang, anak terlantar dan perlu dikasihani berdampak fatal pada perkembangan konsep diri anak. Berbagai penelitian sebelumnya menunjukkan dampak yang kurang baik saat anak dirawat di panti asuhan. Studi yang telah dimulai semenjak tahun 1950-an di beberapa negara telah menunjukkan akibat yang kurang baik dari perawatan di panti asuhan yang bersifat jangka panjang pada perkembangan kognitif, emosi dan sosial dari seorang anak (Dalimunthe, 2009). Di Indonesia sendiri, hasil penelitian Save The Children bekerja sama dengan Departemen Sosial yang diterbitkan tahun 2008 menemukan beberapa fakta penting mengenai kondisi pengasuhan anak di panti asuhan di lima kota di Indonesia diantaranya (Penelitian Situasi Panti 2006, Depsos RI bersama UNICEF & Save The Children): 1. Stigmatisasi sebagai anak terlantar/ditelantarkan, anak keluarga rusak 2. Fokus pemenuhan kebutuhan pada pendidikan, material (makan, tempat tinggal, dan biaya pendidikan) 3. Kurangnya
perhatian
pada
pemenuhan
kebutuhan
emosional
dan
perkembangan psikososial. Seperti pada penelitian sebelumnya yang mengambil setting panti asuhan, penelitian ini juga mengambil lokasi penelitian di RPSAA Ciumbuleuit-Bandung. RPSAA yaitu kepanjangan dari Rumah Perlindungan Sosial Asuhan Anak merupakan panti asuhan yang berada di bawah koordinasi Dinas Sosial dan berbeda dengan panti asuhan milik pemerintah lainnya. RPSAA ini merupakan panti asuhan yang lebih
6
mengedepankan pendidikan formal bagi remajanya dan tidak banyak memberikan keterampilan-keterampilan kerja. Pada panti asuhan milik pemerintah yang lain, mereka lebih memantapkan perhatiannya terhadap pengembangan keterampilan kerja anak-anak terlantar dan putus sekolah. Dari wawancara yang dilakukan kepada pengurus panti RPSAA CiumbuleuitBandung, remaja yang tinggal disini pada umumnya sudah mampu berinteraksi dengan orang luar, memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi dan menunjukkan prestasi baik dari segi akademik maupun dari segi non akademik. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa beberapa karakteristik remaja sudah mampu menunjukkan ciri-ciri konsep diri yang positif. Remaja yang tinggal di RPSAA dikatakan demikian karena beberapa cirinya sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri yang dikemukakan oleh Hurlock (1990) yaitu kepercayaan diri pada penampilannya dan motivasi untuk berprestasi yang dimiliki oleh individu. Pembentukan konsep diri mereka salah satunya ditunjang oleh berbagai fasilitas seperti musik, olahraga, internet dan perpustakaan yang menjadikan mereka mampu mengembangkan potensi yang dimiliki. Selain itu mereka juga sering diikut sertakan dalam berbagai lomba dan acara-acara yang diadakan baik oleh pihak panti maupun yang dilakukan oleh para dermawan dari berbagai pihak. Hal tersebut menjadikan mereka lebih percaya diri dalam berhubungan dan mengerjakan aktivitasnya di luar panti. Dari segi kemandirian anak asuh, di dalam panti mereka memiliki sikap yang mandiri seperti dalam hal mengurus diri dan mengerjakan tanggung jawabnya sebagai
7
siswa. Namun, terdapat beberapa anak asuh yang menunjukkan perilaku nakal dan memiliki kemampuan akademik yang rendah. Mereka pun cenderung sulit diatur dan tidak memiliki kesadaran untuk mandiri dalam melakukan berbagai aktivitas. Berdasarkan
penelitian-penelitian
sebelumnya
mengenai
fenomena
perkembangan anak di panti asuhan dan kondisi nyata mengenai karakteristik anak di RPSAA Ciumbuleuit-Bandung tentunya perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam dan empirik tentang konsep diri dan kemandirian. Oleh karena itu, peneliti memfokuskan kajian penelitian ini pada “Hubungan antara Konsep Diri dengan Kemandirian Remaja di Rumah Perlindungan Sosial Asuhan Remaja (RPSAA) Ciumbuleuit - Bandung”.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini dituangkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran umum konsep diri remaja di RPSAA CiumbuleuitBandung? 2. Bagaimana gambaran umum kemandirian remaja di RPSAA CiumbuleuitBandung? 3. Seberapa besar hubungan antara konsep diri dengan kemandirian remaja di RPSAA Ciumbuleuit Bandung?
8
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui gambaran umum konsep diri remaja di RPSAA CiumbuleuitBandung.
2.
Untuk mengetahui gambaran umum kemandirian anak asuh reamaja di RPSAA Ciumbuleuit-Bandung.
3. Untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dengan kemandirian remaja di RPSAA Ciumbuleuit Bandung.
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoretis pada penelitian ini adalah: a. Memperkaya serta mengembangkan ilmu psikologi terutama tentang konsep diri dan kemandirian remaja. b. Memperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan dan pertimbangan dalam mendidik remaja berkaitan dengan konsep diri dan kemandirian. 2. Kegunaan Praktis pada penelitian ini adalah: a. Memberi bahan rujukan kepada pihak RPSAA mengenai gambaran konsep diri dan kemandirian anak-remaja untuk mempermudah dalam menangani masalahmasalah berkaitan dengan konsep diri dan kemandirian. b. Memberi bahan acuan kepada pihak RPSAA dalam memahami hubungan antara konsep diri dengan kemandirian anak-remajanya yang sudah mulai memasuki
9
tahap remaja.
E. Hipotesis Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah : (Ha) : “Terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan kemandirian pada remaja di RPSAA Ciumbuleuit-Bandung.” ρ≠0 Penelitian ini dilakukan dengan taraf signifikan 0, 05 (α = 0, 05).
F. Metode Penelitian Penelitian ini menerapkan jenis pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui akibat dari suatu tindakan atau bertujuan untuk mengetahui hubungan antar variabel (Nazir, 1998). Menurut Alsa (2007:20) teknik statistik korelasi dipakai untuk mengatur seberapa besar tingkat hubungan antara variabel atau antara perangkat data. Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara konsep diri (V1) dengan kemandirian (V2). Selain itu, untuk mengetahui informasi mengenai perbedaan konsep diri dan kemandirian berdasarkan jenis kelamin dan fase perkembangan remaja maka akan dilakukan analisis tambahan mengenai hal tersebut.
10
G. Analisis Data Pengujian validitas instrumen pada penelitian ini menggunakan uji validitas isi melalui judgement para ahli dan validitas konstrak melalui analisis faktor. Pengujian reliabilitas instrumen menggunakan rumus Alpha Cronbach. Sementara itu, untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel-variabel dalam penelitian tanpa didasarkan pada definisi yang tegas antara variabel bebas dan terikat, dilakukan uji korelasi (Furqon, 1997: 65). Pada penelitian ini uji korelasi yang digunakan adalah uji korelasi Pearson’s Product Moment dengan bantuan software SPSS Versi 12.
H. Lokasi, Jumlah Populasi dan Subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian Lokasi dari penelitian ini bertempat di RPSAA Ciumbuleuit-Bandung, Jl. Ciumbuleuit No. 105 Bandung. 2. Populasi dan Subjek Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang tinggal di RPSAA CiumbuleuitBandung. Berdasarkan data yang diperoleh dari pengelola panti (RPSAA), jumlah populasi remaja di RPSAA ini sebanyak 65 remaja. Menurut Arikunto (2006: 134), apabila populasi kurang dari 100, lebih baik diambil semua sebagai sampel, sehingga penelitian ini merupakan penelitian populasi.