BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana terjadi juga perubahan pada diri baik secara fisik, psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Pada masa transisi tersebut, remaja cenderung melepaskan ikatan dari orang tua dan beralih pada teman sebaya untuk bersosialisasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Chang dkk (dalam Sun & Hui, 2006) yang mengemukakan bahwa persahabatan pada remaja sangat penting bagi kehidupan sosial mereka dan dukungan teman sebaya merupakan faktor penting yang berkontribusi pada kepuasan dalam hidup mereka, dan kegagalan dalam memperoleh dukungan teman sebaya dan juga dukungan keluarga merupakan faktor utama yang menyebabkan perasaan tidak berharga, perasaan tidak berdaya, simptom depresi dan pada akhirnya ide untuk bunuh diri pada remaja (Harter dkk, dalam Sun & Hui, 2006). Remaja-remaja tersebut dituntut untuk menyesuaikan diri dengan teman sebaya yang memiliki karakter yang berbeda sehingga ada kemungkinan remaja terpengaruh dengan teman sebayanya yang agresif dan terlibat dalam perilaku agresif sebagai cara untuk memperoleh pengakuan dari teman sebayanya. atau malah menjadi korban perilaku agresif teman sebayanya karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik dalam kelompoknya yang akhirnya berdampak pada fungsi psikologis yang ditandai dengan gangguan seperti depresi.
15
Universitas Sumatera Utara
Depresi adalah perasaan sedih, frustrasi, dan keputusasaan dalam hidup yang disertai hilangnya kesenangan dalam aktivitas dan gangguan tidur, selera makan, konsentrasi dan energi yang juga merupakan masalah psikologis yang paling umum terjadi pada remaja (dalam Berk, 2000). Sebenarnya, depresi merupakan gejala yang wajar sebagai respon normal terhadap pengalaman hidup negatif, seperti kehilangan anggota keluarga, benda berharga atau status sosial, pelecehan atau kekerasan yang dialami seseorang. Dengan demikian, depresi dapat dipandang sebagai suatu kontinum yang bergerak dari depresi normal sampai depresi klinis (Caron & Butcher, dalam Aditomo & Retnowati, 2004). Menurut perspektif perkembangan, depresi mulai banyak muncul pada masa remaja. Studi-studi epidemologis menunjukkan bahwa angka prevalensi depresi untuk anak-anak adalah 2,5 persen dan meningkat menjadi 8,3 persen untuk remaja (Carr, dalam Aditomo & Retnowati, 2004). Bila depresi ringan juga diperhitungkan, angka prevalensi ini meningkat sampai 25 persen (Steinberg, dalam Aditomo & Retnowati, 2004). Pada penelitian lain disebutkan sekitar 15 sampai 20 persen remaja mengalami satu atau lebih episode major depressive, diantaranya 2 sampai 8 persen mengalami depresi kronis seperti murung dan kritik diri untuk beberapa bulan sampai beberapa tahun (Birmaher & Kessler dkk, dalam Berk, 2000). Simptom-simptom depresi tersebut dapat mengganggu kemampuan remaja untuk beraktivitas secara efektif yang kemudian berdampak negatif pada kesehatan fisik, psikologis dan kesejahteraannya. Perubahan-perubahan biologis dan kognitif pada remaja seperti pubertas, persepsi terhadap gambaran tubuh dan proses pendewasaan, terutama pada remaja putri
16
Universitas Sumatera Utara
yang lebih cepat memiliki konsekuensi depresi yang lebih tinggi daripada remaja putra. Menurut Kessler dkk (dalam Galambos, Leadbeater, & Barker, 2004) terdapat perbedaan simptom depresi dan major depressive episode selama perkembangan hidup laki-laki dan perempuan, dengan perempuan menunjukkan depresi yang lebih tinggi daripada laki-laki ketika dimulainya masa remaja. Remaja putri, terutama yang lebih cepat mengalami proses kedewasaan menjadi subjek pengalaman depresi (Birmaher dkk, dalam Papalia, 2004). Perbedaan depresi berdasarkan jenis kelamin ini berhubungan dengan perubahan biologis yang dikaitkan dengan pubertas dan cara remaja putri tersebut bersosialisasi (Birmaher dkk, dalam Papalia, 2004) dan tingkat kerentanan yang lebih besar terhadap stres dalam hubungan sosial (Ge dkk, dalam Papalia, 2004). Angka prevalensi depresi remaja di Indonesia belum teridentifikasi secara teliti. Meski demikian, depresi terlihat manifestasinya dalam bentuk penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, alkohol (substance abuse), perilaku merusak atau agresif (seperti tawuran pelajar dan kekerasan di sekolah), penurunan prestasi belajar, dan lainlain. Di Indonesia, narkoba dan tawuran pelajar sudah menjadi persoalan yang serius. Berbagai kasus narkoba dan tawuran pelajar yang terjadi hingga saat ini kebanyakan pun melibatkan remaja sebagai pelaku dan korban. Oleh karena itu, maraknya kasus narkoba dan kenakalan remaja di Indonesia dapat menjadi indikasi tingginya tingkat depresi terselubung pada remaja. Jadi, dapat disimpulkan bahwa depresi pada remaja adalah persoalan yang serius, dengan dampak kesehatan dan ekonomi publik yang luas. Sayangnya, remaja yang depresi seringkali tidak mendapat pertolongan yang memadai
17
Universitas Sumatera Utara
atau bahkan tidak terdeteksi oleh keluarga dan lingkungan. Tanda-tanda gangguan depresi pada anak muda sering dipandang sebagai gejolak emosional yang wajar pada tahap perkembangan tersebut. Padahal, diagnosis dan perawatan sejak awal terhadap depresi amatlah penting untuk perkembangan emosi, sosial, dan perilaku penderitanya. Terkait dengan identifikasi depresi pada remaja, diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang faktor-faktor yang menyebabkan atau merupakan predisposisi gangguan depresi. Para peneliti mempercayai bahwa depresi disebabkan oleh berbagai kombinasi faktor biologis dan lingkungan. Faktor biologis seperti gen dapat meningkatkan depresi dengan pengaruhnya pada keseimbangan neurotransmitter pada otak, perkembangan pada bagian otak yang meliputi pencegahan emosi negatif atau respon hormonal tubuh terhadap stress (Cicchetti & Toth, dalam Berk, 2000). Sementara itu, faktor psikososial yaitu keluarga, teman sebaya, sekolah, pengalaman hidup yang negatif dan faktor psikologis lainnya juga berpengaruh pada depresi. Perilaku bullying merupakan kejadian yang menimbulkan tekanan dan salah satu pengalaman hidup negatif yang diakibatkan oleh hubungan sosial yang timpang adalah motif seorang remaja rentan terhadap gejala depresi. Hal ini sejalan dengan pendapat Davis (2005) yang menyebutkan bahwa perilaku bullying disebutkan sebagai faktor resiko berkembangnya depresi pada korban dan pelaku perilaku bullying. Perilaku bullying dapat didefinisikan sebagai bentuk perilaku agresi yang dilakukan dengan sengaja, terus-menerus dan melibatkan target khusus yaitu anak lain yang lebih lemah dan mudah diserang (Papalia, 2004). Sebenarnya setiap orang kemungkinan pernah melakukan perilaku bullying terhadap orang lain, tetapi dalam frekuensi yang berbeda-
18
Universitas Sumatera Utara
beda. Oleh karena itu, perilaku bullying juga merupakan perilaku yang berada dalam suatu kontinum yang dimulai dari tingkatan ringan sampai tingkatan berat (Espelage, dalam Pelligrini & Bartini, 1999). Artinya, ada anak yang melakukan perilaku bullying dalam tingkat yang rendah dan ada pula yang melakukannya pada tingkat yang tinggi yang dapat mengganggu korban dan meresahkan berbagai pihak yang terkait. Menurut konteksnya, perilaku bullying dapat terjadi pada berbagai tempat, mulai dari lingkungan pendidikan atau sekolah, tempat kerja, rumah, lingkungan tetangga, tempat bermain, dan lain-lain. Pendidikan merupakan salah satu metode formal yang ditempuh oleh anak guna memperoleh dan mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, dan moral. Oleh karena itu, lingkungan pendidikan seharusnya merupakan tempat yang sehat, kondusif dan aman dimana anak-anak dapat bereksplorasi dan mengembangkan diri. Namun pada saat ini lingkungan pendidikan telah banyak terjadi berbagai perilaku dan aksi kekerasan yang mengkhawatirkan. Salah satu aksi kekerasan yang paling sering terjadi adalah perilaku bullying. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan Negara lainnya mengungkapkan saat ini bullying merupakan bentuk kekerasan yang umum dan potensial diantara anak-anak sekolah. Hal ini diperjelas dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa 1 dari 10 anak sekolah melaporkan telah menjadi korban perilaku bullying untuk setiap minggunya (dalam Kaltiala-Heino dkk, 1999). Perilaku kekerasan ini tidak hanya merugikan korban dan pelaku, tetapi juga mempengaruhi iklim di sekolah yang pada akhirnya mempengaruhi kemampuan siswa dalam menguasai kemampuannya.
19
Universitas Sumatera Utara
Prevalensi perilaku bullying yang meningkat dari tahun ke tahun telah menimbulkan kerusakan atau kerugian yang besar. Hal ini dapat terjadi karena perilaku bullying sering diremehkan oleh anak-anak dan orang dewasa. Selain itu juga dibebani dengan perilaku bullying yang tidak dapat diberikan intervensi seperti mediasi yang dapat secara efektif mengurangi konflik diantara anak-anak dikarenakan pelecehan yang dilakukan oleh anak yang lebih kuat terhadap anak yang lebih lemah (Limber, dalam Crawford, 2002). Di samping itu, juga terdapat pemahaman oleh sebagian orang bahwa perilaku bullying merupakan suatu usaha dalam memberi pelajaran (Oliver, Hoover, and Hazler, dalam Milsom & Gallo, 2006). Oleh karena itu, perilaku bullying perlu diteliti guna mengenali gejala dan dampaknya serta memahami tindakan pencegahan ataupun strategi dalam mengurangi perilaku bullying, khususnya di sekolah. Aksi kekerasan bullying ini biasanya berawal dari kanak-kanak, yang mana pada masa ini anak-anak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan teman sebayanya. Berdasarkan penelitian sebelumnya, dikemukakan prevalensi perilaku bullying menurun terus ketika seorang anak menapaki masa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas (Steinman & Carlyle, 2007) tetapi pada penelitian lain disebutkan bahwa perilaku bullying paling sering muncul pada kelas 6 hingga kelas 8 (yang termasuk dalam sekolah menengah pertama). Menurut Cairns & Cairns (1986) masa remaja awal merupakan masa yang penting dalam membahas perilaku bullying karena masa remaja merupakan masa dimana agresivitas fisik meningkat secara frekuensi dan intensitas yang kemudian sering disebut masa “brutal”. Sementara itu, penelitian (dalam Unnever & Cornell, 2004) juga menyebutkan bahwa pelaporan perilaku bullying lebih banyak
20
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh perempuan dan anak-anak dengan tingkat kelas yang lebih rendah daripada laki-laki dan anak dari tingkat kelas yang tinggi. Hal ini ditambah dengan hasil penelitian lain yang juga mengemukakan anak-anak pada tingkat kelas yang lebih rendah lebih banyak mencari bantuan daripada anak-anak pada tingkat kelas yang lebih tinggi (dalam Williams & Cornell, 2006). Hasil penemuan sebelumnya konsisten dengan perkembangan remaja yang berorientasi pada kemandirian dan fungsi otonomi (Newman dkk, dalam Williams & Cornell, 2006). Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa anak yang lebih kecil memiliki kemungkinan mendapat intervensi perilaku bullying yang dialaminya sehingga pada remaja awal memiliki kemungkinan lebih sering menjadi subjek yang terlibat dalam perilaku bullying yang akhirnya menjadi perhatian pada penelitian ini. Perilaku merusak atau aksi kekerasan di sekolah sudah menjadi persoalan yang serius. Penindasan yang dilakukan oleh murid ke murid, atau guru ke murid umum terjadi di Indonesia. Kejadian anak mogok sekolah, perploncoan siswa baru, sampai pada kenakalan remaja seperti maraknya geng motor erat hubungannya dengan aksi bullying. Di Indonesia kejadian bullying akhirnya mencuat setelah terdapat korbankorban yang meninggal. Sayangnya data survei secara nasional mengenai prevalensi bullying di Indonesia tidak dapat ditemukan. Beberapa hasil penelitian, misalnya yang dilakukan unit PKPM (Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat) Universitas Atma Jaya didanai UNICEF (United Nations Children’s Fund) melakukan survei intensif terhadap ratusan anak SD dan SLTP di Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara dari Desember 2005 hingga Maret 2006. Sebagian responden mengaku pernah mengalami
21
Universitas Sumatera Utara
penindasan dalam berbagai variasi di sekolah. Banyak anak tercatat mengalami gangguan psikologis, bahkan mengarah pada gangguan patologis. Anak-anak ini, sering merasa cemas. Mereka juga kerap dilanda ketakutan memperoleh hukuman, merasa teraniaya, atau depresi. Sebagian mengalami perasaan rendah diri dan tidak berarti dalam lingkungannya. Sebagian menjadi sosok pencuriga. Perilaku yang cukup parah yang dialami salah satu korban bullying adalah gejala-gejala schizophrenia alias gangguan jiwa akut. Selain itu, ia mulai kehilangan kontak dengan realitas. Karena perilaku bullying merupakan suatu perilaku yang berada dalam suatu kontinum, sehingga perilaku yang masih berada dalam frekuensi rendah mungkin tidak akan menimbulkan kekhawatirkan dan dampak yang serius karena kemungkinan hanya gurauan saja yang tidak menyakitkan korban. Namun, jika perilaku bullying telah dilakukan dalam frekuensi yang tinggi sudah pasti mengakibatkan keresahan dan diperlukan berbagai tindakan preventif ataupun intervensi dari berbagai pihak yang terkait. Dampak yang diakibatkan perilaku bullying tidak hanya berlaku untuk korbannya, tetapi juga pelakunya. Berbagai dampak yang ditimbulkan oleh perilaku bullying yaitu berbagai masalah psikososial, perilaku, psikologis dan simptom psikosomatis serta kesehatan yang akan berdampak dalam jangka waktu yang pendek maupun dalam jangka waktu yang panjang. Menurut Houbre dkk (dalam Houbre dkk, 2006) secara natural, perilaku bullying berdampak pada pihak-pihak yang terlibat. Berbagai dampak psikologis yang ditimbulkannya seperti perubahan konsep diri, masalah kesehatan (simptom psikosomatik dan ketergantungan), ataupun trauma.
22
Universitas Sumatera Utara
Pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying dapat dibagi menjadi 4 kategori yaitu bullies--only, victim-only, bully-victim dan neutral (Haynie dkk., dalam Stein dkk, 2006). Bully dan victim sering melaporkan simptom fisik dan psikologis (Delfabbro dkk, dalam
Jankauskiene dkk, 2008), prestasi akademik yang rendah,
meninggalkan kelas, perilaku destruktif seperti merokok dan penggunaan obat-obatan (Dake dkk, dalam Jankauskiene dkk, 2008), meningkatnya resiko psikopatologis dan depresi yang dapat mengarah pada tindakan bunuh diri, terutama pada perempuan (Klomek dkk, dalam Jankauskiene dkk, 2008). Pada bully-victim juga terjadi masalah penyesuaian yang buruk di sekolah (Nansel dkk., dalam Stein dkk, 2006), gangguan psikologis (Kumpulainen dkk, dalam Stein dkk, 2006), isolasi sosial (Juvonen, dkk, dalam Stein dkk, 2006), penggunaan alkohol (Nansel dkk, dalam Stein dkk, 2006), depresi (Juvonen dkk, dalam Stein dkk, 2006), kecemasan (Kaltiala-heino dkk, dalam Stein dkk, 2006) dan masalah kesehatan (Nansel dkk, dalam Stein dkk, 2006). Contoh kasus bullying yang cukup menggemparkan di Indonesia adalah kasus siswa kelas II SMP yang bernama Fifi Kusrini yang mengakhiri nyawanya dengan menggantung diri di dalam kamar mandi. Kejadian ini dimulai ketika Fifi yang merasa malu karena menunggak sisa uang gedung, buku rapor, dan BP3 (Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan) yang jumlahnya hampir Rp300.000. Namun, yang membuat gadis berusia 14 tahun itu memilih jalan kematian, karena ejekan kawankawannya. Fifi tidak lagi punya kekuatan mental dan merasa depresi ketika kawankawannya mengejeknya sebagai anak tukang bubur. Kejadian yang dialami oleh Fifi
23
Universitas Sumatera Utara
merupakan salah satu contoh dampak perilaku bullying yang terjadi pada remaja putri yang mungkin juga terjadi pada remaja lainnya di Medan. Berdasarkan fenomena dan teori yang dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa setiap kategori bullying memiliki kemungkinan mengalami depresi. Namun karena kategori yang berbeda menyebabkan pengalaman yang dialami juga berbeda, akibatnya simptom depresi yang dialami oleh setiap kategori bullying dan jenis kelamin juga berbeda. Oleh karena itu, dapat dipertanyakan apakah terdapat perbedaan pengalaman depresi pada remaja awal yang sering terlibat dalam perilaku bullying?
B. RUMUSAN MASALAH Perumusan masalah pada studi ini adalah apakah terdapat pebedaan depresi ditinjau dari kategori bullying dan jenis kelamin pada remaja awal
C. TUJUAN PENELITIAN Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan depresi ditinjau dari kategori bullying dan jenis kelamin pada remaja awal
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan mengenai
24
Universitas Sumatera Utara
proses perkembangan remaja yang berhubungan dengan perilaku bullying dan depresi. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini hendaknya dapat menambah pengetahuan orang tua, pendidik dan remaja mengenai symptom-simptom depresi pada remaja awal yang terlibat dalam perilaku bullying sehingga dapat dilakukan tindakan-tindakan yang efektif guna mengurangi simptom-simptom depresi.
E. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I
Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan Disini digambarkan tentang berbagai tinjauan literatur, fenomena dan hasil penelitian sebelumnya mengenai depresi dan perilaku bullying.
Bab II
Landasan teori Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang definisi dan pengukuran depresi, definisi, kategori, karakteristik perilaku bullying, dan peran jenis kelamin dan tingkat kelas terhadap perilaku bullying. Bab ini juga mengemukakan hipotesa sebagai jawaban sementara terhadap masalah
25
Universitas Sumatera Utara
penelitian yang menjelaskan perbedaan depresi ditinjau dari kategori bullying dan jenis kelamin pada remaja awal.
Bab III Metodologi penelitian Bab ini menguraikan desain penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur penelitian dan metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.
Bab IV Analisa data dan pembahasan Bab ini berisi uraian singkat hasil penelitian, interpretasi data dan pembahasan
Bab V Kesimpulan dan saran
26
Universitas Sumatera Utara