PROLOG Frankfurt, Germany. Nick umur 9 tahun.
Aku berlarian di padang rumput. Mengitari lapangan yang seperti permadani hijau. Rumput-rumputnya sudah mulai meninggi. Tingginya hampir melewati lututku. Aku mendengar teman-temanku berteriak-teriak di belakangku. Kami saling mendahului. Berlomba-lomba untuk sampai di sebuah pohon besar yang teduh. Kami biasa duduk-duduk di sana setelah bermain. Pohon ini kokoh dan kuat. Akar-akarnya yang besar menjalar keluar menembus tanah. Kata ayahku, pohon ini sudah ada sewaktu dia kecil. Mungkin umurnya sudah ratusan tahun sekarang. “Wow, lihat! Dia datang.” Kata Ronald sambil bersiul. Dua anak gadis berusia enam tahun berjalan bersama sambil bergandengan tangan. Mereka masing-masing membawa boneka. Dua gadis ini begitu berbeda. Satu begitu anggun dan cantik. Satu lagi begitu pemalu tetapi manis. Gadis yang cantik itu, Karen, melambai pada kami. Ronald balas melambai. Aku mengernyit saat kulihat pipinya merona. Kupikir Ronald sangat mengagumi Karen karena kecantikannya. Tapi menurutku dia biasa saja. Karen menarik tangan teman yang berada di sebelahnya agar berlari, Giselle namanya. Gadis yang memakai gaun kebesaran itu tampak malu-malu. Aku tersenyum karena hari ini dia berbeda. Biasanya dia hanya mengenakan celana selutut ibunya dan kaus longgar. Hari ini dia memakai gaun dengan renda-renda di lengannya. Gaunnya memang kebesaran. Tapi dia sangat manis ketika memakai gaun itu. Rambutnya yang pendek nyaris seperti laki-laki, sesekali terlihat berantakan. Tapi kini terlihat rapi karena di jepit dengan beberapa pita. Itu semakin membuatnya terlihat manis dan aku terpana dengan penampilannya hari ini. “Hai, semua. Ayo kita mulai main.” Ajak Karen. Semua anak laki-laki langsung mengerubungi Karen bagaikan semut bertemu gula. Karen mulai berdiri dengan percaya diri di atas batu besar sambil memberi perintah. Aku mendengus bosan. Apa anak perempuan tidak ada permainan lain? Kenapa harus terus main putri-putrian? Dan... dia selalu menjadi putri.
Sedangkan kami kebagian peran menjadi prajuritnya dan juga musuhmusuhnya secara bergantian. Lalu aku, selalu jadi pangeran. Entahlah, jujur saja aku tak suka peran itu. Kupikir lebih enak jadi prajurit. Anehnya, anak laki-laki lain memohon-mohon pada Karen untuk bertukar peran agar bisa menjadi pangeran. Oh ya, ceritanya selalu sama. Dia diculik dan kami harus menyelamatkannya. Tepatnya aku sebagai pangeran harus menyelamatkannya bersama-sama dengan prajurit. Beberapa prajurit diperankan pura-pura mati dan pangeranlah yang berhasil menyelamatkan sang putri. Kemudian mereka jatuh cinta dan menikah. Egois bukan? Tapi entah kenapa semua teman-teman lelakiku mau meladeninya bermain. Jujur saja, aku ikut hanya karena terpaksa. “Hei, Karen. Temanmu ini dapat peran apa?” teriakku. Semua anak menoleh padaku. Lalu Giselle menggeleng-geleng. Dia tidak pernah ikut bermain. Karen selalu ingin menjadi nomor satu dan tidak pernah mengikutsertakan Giselle untuk bermain. “Dia tidak mau main. Ya kan, Giselle?” tanya Karen. “Iya. Aku nonton saja.” “Sekali-sekali bermainlah. Kau tidak bosan nonton terus?” Giselle hanya menggeleng. Aku tahu sebenarnya dia ingin ikut. Dia hanya tidak mau mengecewakan Karen kalau dia ikut bermain. “Perannya sudah tidak ada lagi, Nick.” Jawab Karen. “Kalau begitu buat saja tokoh baru. Apa susahnya? Jadi dayangmu mungkin?” jawabku. “Kurasa dia cocok jadi algojo, Nick.” Sahut Henry. Anak-anak yang lain langsung tertawa terbahak-bahak. Tapi tidak denganku. Aku langsung menoleh ke belakang. Mendapati Giselle sudah berlari. Dia tampak kesusahan berlari karena terhalang gaunnya yang kebesaran. Aku menoleh lagi ke arah teman-temanku dengan mata melotot. Mereka benar-benar keterlaluan. Aku meninggalkan mereka yang masih
tertawa-tawa. Aku mengejar Giselle. Langkahnya yang pendek-pendek berhasil aku susul. Aku memegang tangannya. Giselle menangis tersedu-sedu. Matanya memerah. Dia berusaha melepaskan tanganku yang memegangnya. Sebelah tangannya lagi menggenggam boneka dengan erat. “Lepaskan. Aku mau pulang. Mereka jahat!” “Oke kalau kau mau pulang. Aku antar.” “Jangan!” “Kenapa?” “Kau kan mau main.” “Aku sudah bosan main itu terus.” “Apa?” Giselle mengelap air matanya. Dia masih sesengukan. Lalu aku meletakkan kedua tanganku di bahunya. “Ayo, kita pulang. Kita main yang lain saja.” “Tapi nanti Karen akan marah padamu.” “Biar saja.” Jawabku acuh. “Kalau dia memusuhimu?” “Siapa takut?” “Kau tidak takut?” Giselle sepertinya tidak percaya padaku. Dia tampak ragu aku akan benar-benar meninggalkan Karen dan teman-temanku bermain sendiri. Aku berjalan mendahuluinya sambil belakang kepalaku. Giselle kini mengikutiku.
meletakkan
kedua
tangan
“Kenapa kau tidak takut dia memusuhimu?” Giselle bertanya ulang. “Dan kenapa kau takut?”
di
“Karena dia cantik, dia pintar, dan dia banyak teman. Kalau aku tidak menurutinya, dia akan mengajak yang lain memusuhiku. Aku tidak mau sendirian dan aku tidak mau jika tidak punya teman.” Aku mengerutkan dahi. Cukup terkejut mengetahui bahwa Karen memiliki sifat seperti itu. Menyebalkan sekali. Aku tak merasa ada untungnya untuk mengancam orang lain memusuhi orang hanya karena kita tidak menuruti perkataan mereka. Kasihan sekali Giselle. Karen tidak begitu baik untuknya, dan aku tidak mau lagi-lagi Giselle menangis. Dia masih akan tetap punya teman. Aku ingin menjadi teman Giselle selamanya. Dan melindunginya dari anak-anak lain yang mengganggunya. Anak lain hanya melihat penampilan luarnya saja. Padahal mereka tidak tahu bahwa Giselle memiliki hati yang cantik. Jauh lebih cantik dari wajah Karen sekalipun. Kenapa menurutku dia cantik? Karena suatu kali aku pernah melihatnya memberikan kue apel pada seorang anak kecil kumal yang kue apelnya jatuh ke tanah. Anak kecil itu gelandangan dan dia menangis. Aku tahu bahwa kue itu dibelinya dari sisa uang jajan yang tinggal satu kali saja dibelanjakan. Mungkin dengan cara itulah Giselle menarik perhatianku. “Kau tidak usah khawatir dan tidak usah takut tidak punya teman. Aku akan jadi temanmu selamanya. Apapun yang terjadi.” Mata Giselle berbinar-binar. Dia memamerkan giginya yang ompong di bagian samping. Dia tampak lucu saat tertawa dengan gigi ompong. “Sungguh?” “Aku janji.” Aku menyodorkan jari kelingkingku. Aku menunggunya untuk melakukan hal yang sama. Lalu dia menautkan kelingkingnya yang kecil. Aku tersenyum dan dia membalasku. Aku merangkul bahunya dan mengajaknya pulang. Mulai saat itu Giselle tidak pernah kesepian dan tidak pernah takut untuk kehilangan teman. Kami selalu pergi ke sekolah bersama-sama. Kami akan saling menunggu di ujung jalan setiap pagi. Terkadang dia yang menunggu, dan terkadang aku yang menunggunya.
Kami masih berteman dengan Karen mengajak bermain putri-putrian Yah, walaupun mereka pada akhirnya Karen marah-marah karena kehilangan mereka.
Karen dan anak-anak lain. Tapi jika lagi, aku dan Giselle langsung undur. mengejek kami berdua dan membuat si pangeran, kami tetap menjauh dari
Aku mengajak Giselle ke kebun di belakang rumahku yang dipenuhi banyak sayuran. Ayahku membuatkan ayunan di sana dan aku sering meminta Giselle duduk dan mengayunnya pelan-pelan. Dia tampak sangat senang dan aku bahagia melihatnya bisa tertawa. Aku mengilang. Hamburg. sekolahku, pikiranku.
tidak pernah menduga bahwa kebersamaan kami akan cepat Ayahku pindah bekerja dan kami sekeluarga harus ikut ke Aku pun harus meninggalkan Frankurt. Meninggalkan rumahku, dan juga... ya, Tuhan. Giselle! Gadis yang selalu berada dalam
Aku khawatir bagaimana dia tanpa aku. Aku khawatir ada anak-anak lain yang akan membuatnya menangis. Hatiku sedih saat melihat Giselle menangis dipelukan ibunya ketika kami sekeluarga berpamitan. Selepas kepindahanku, aku tidak pernah mengabarinya. Padahal aku rindu sekali padanya. Aku tidak suka menulis surat karena aku tidak bisa menyusun kata-kata dan tulisanku seperti cacing kepanasan. Aku takut nantinya dia tidak mau membaca suratku karena tulisan tanganku tidak karuan. Tapi aku mengkhawatirkannya setengah mati. Dan entah kenapa, lambat laun bayangan Giselle kian memudar. Padahal aku tidak mau hal itu terjadi.