1
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
JURNAL
BUTON PADA MASA PERALIHAN DARI KOLONIAL BELANDA KE ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942
Oleh Mursalim 231 409 063
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2014
2
BUTON PADA MASA PERALIHAN DARI KOLONIAL BELANDA KE ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942 Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo ABSTRAK 1
MURSALIM. NIM 231 409 063. Buton Pada Masa Peralihan Dari Kolonial Belanda ke Zaman Pendudukan Jepang tahun 1942. Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Gorontalo. Dibawah Bimbingan Bapak Drs. H. Darwin Une, M.Pd dan Bapak Sutrisno Mohamad, S.Pd, M.Pd. Tujuan Penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui Buton pada Masa Peralihan dari Kolonial Belanda Ke Zaman Pendudukan Jepang Tahun 1942. (2) agar Masyarakat Buton mengetahui adanya Bangsa Barat masuk di Pulau Buton melalui Bukti di Daerah Buton itu sendiri. Penelitian ini menggunakan Metode Penelitian Sejarah. Sistematika Penulisan Pada Penelitian ini dilakukan secara deskriptif. Dengan langkah pertama diarahkan untuk merekonstruksi Peristiwa Sejarah secara Kronologis dan Relevan dengan tema yang akan dibahas, kemudian beberapa bagian akan dianalisa secara Keseluruhan. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Buton pada Masa Peralihan dari Kolonial Belanda Ke Zaman Pendudukan Jepang harus diketahui guna untuk melestarikan Sejarah Lokal. diketahui secara keseluruhan baik Pemerintah Daerah ataupun Masyarakat Buton itu sendiri terkait dengan Peninggalan-Peninggalan dan tempat dimana Kolonial Belanda dan Pendudukan Jepang Pernah masuk di Buton yang diperkuat dengan Sumber-Sumber dan Wawancara. Sehingga upaya yang harus dicapai baik Pemerintah Daerah ataupun Masyarakat Buton itu sendiri yaitu dengan Mengumpulkan Sejumlah Data Perjalanan Historis dan Masuknya Kolonial Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di Pulau Buton. Kata kunci : Bangsa Belanda dan Pendudukan Jepang di Buton Tahun 1942
MURSALIM. NIM 231 409 063. Buton Pada Masa Peralihan Dari Kolonial Belanda ke Zaman Pendudukan Jepang tahun 1942. Drs. H. Darwin Une, M.Pd dan Bapak Sutrisno Mohamad, S.Pd, M.Pd. 1
3
Penulisan Sejarah (Historiografi) sudah dikenal di Nusantara sejak Ratusan Tahun yang silam. Berbagai kerajaan yang berdaulat, baik besar maupun yang kecil telah merekonstruksi Kebesaran dan Kejayaan masa silamnya masingmasing dengan tujuan untuk mengenali perjalanan Sejarah Peradaban manusianya. Penulisan itu sudah dilakukan dalam berbagai pendekatan, misalnya kita mengenal babad dari Jawa; hikayat, silsilah, tambo, sejarah dari berbagai kerajaan di Sumatera, Kalimantan, Maluku dan Nusa Tenggara; lontara bilanga dari Sulawesi Selatan; kabe-kabenci dan tula-tula dari Buton adalah menjadi bahasan yang sangat berguna untuk menorehkan sejarah masa lampaunya. Masih ada lagi daerah lain di Nusantara yang mencatatkan sejarah masa lampaunya dengan bentuk penulisan dan penamaan lain. Awal abad ke-20 Penulisan Sejarah di Indonesia berkembang pesat dalam berbagai ragam yang pokok kajiannya semakin luas, tidak hanya sekedar mencatat peristiwa-peristiwa sekitar Kebesaran Raja, Keperkasaan Panglima dan Kekuatan golongan Bangsawan yang terkait dengan perang, politik, pemerintahan dan aktivitas sosial budaya yang ada di keraton, tetapi telah menjangkau berbagai aspek yang komprehensif yang mencakup Sejarah Buton dan Buton Pada Masa Peralihan Dari Kolonial Belanda Ke Zaman Pendudukan Jepang yang Pengaruhnya Sangatlah Kuat. Sehingga Penulisan Sejarah telah menjadi kebutuhan bagi pemerintah Lokal Khususnya Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai upaya untuk mendokumentasikan memori Kolektif Sejarah Buton dan Pengaruhnya pada aktifitas - aktifitas Masyarakatnya baik dalam Bidang Pemerintahan, Politik, Sosial Budaya, Ekonomi dan Aspek-Aspek lain. Bahkan tidak hanya itu, selain itu penulisan sejarah untuk dijadikan rujukan dan referensi dalam melestarikan Sejarah Lokal, dan menjadi Pedoman untuk mengenali Sejarah Masuknya Bangsa Barat di Pulau Buton. Seiring dengan semakin berkembangnya Historiografi Nasional, maka historiografi lokal (Sejarah Lokal) lebih menurun yang diakibatkan kurangnya kepedulian Pemerintah dan Masyarakat Setempat untuk mengetahui lebih
4
mendalam mengenai Sejarahnya itu sendiri sehingga banyak Naskah-naskah atau Arsip-arsip yang dapat dijadikan pedoman dalam Penelusuran Sejarah Lokal terutama Sejarah Buton sekaligus pernah adanya Kekuasaan Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di Buton. Sehingga perhatian Pemerintah hanya terfokus pada Perhatiannya terhadap aspek lain. dengan adanya hal tersebut maka sebagian Pemerintah Masyarakat setempat berinisiatif untuk menghidupkan kembali Sejarah Lokal yang hampir hilang dengan melakukan Pendekatan-pendekatan melalui berbagai aspek yang salah satunya Melalui penetapan otonomi daerah yang difokuskan pada Penelusuran Sejarah adanya Bangsa Barat ( Kolonial Belanda dan adanya Zaman Pendudukan Jepang di Buton) untuk menjadi titik balik dan pemicu munculnya penulisan sejarah ditingkat lokal mengenai sejarah Buton, dan juga dapat meningkatkan pembangunan daerah dilihat dari Sejarah lokalnya dan menjadi kebutuhan utama untuk mengenali potensi sumberdaya, sejarah dan sosial budaya yang dimiliki dalam rangka memperkuat jatidiri dan identitas daerah. Dengan mengetahui keunggulan-keunggulan dan kelemahankelemahan yang telah diperbuat sebelumnya menjadi acuan pemerintah bersama masyarakat untuk mereinterpretasi dan merevitalisasi segala potensi dan kekuatan yang dimiliki, kemudian melakukan Penilaian apakah telah terjadi dalam kemajuan dan/atau sebaliknya mengalami kegagalan dalam melaksanakan pembangunan. Penelitian dan Penulisan Sejarah Kota-Kota di Indonesia sudah menjadi perhatian sejarahwan melihat pada sejarah masa silam bahkan kegiatan ini telah dimulai sejak akhir abad ke-19, beberapa kota yang telah ditulis oleh penulis Belanda, seperti Van der Chijs Kota Banten, De Haan Kota Batavia, Von Fober Kota Surabaya. Kemudian dilanjutkan dengan para arkeolog Islam menulis beberapa kota pantai di Indonesia yang banyak berperan dalam Perdagangan (pusat Perniagaan). Letak geografis dan beberapa faktor lain yang ikut memberikan dukungan atas pentingnya Kesultanan Buton sebagai salah satu pelabuhan persinggahan, mengakibatkan Kesultanan Buton berkembang menjadi daerah terbuka yang dapat mengundang ancaman yang datang dari luar. Berdasarkan pengalaman di masa
5
lalunya yang sering diserang para bajak laut (Tobelo) dan pada abad ke 17 kerajaan Gowa melaksanakan politik ekspansi terhadap beberapa kerajaan kecil di daratan Sulawesi bagian selatan, maka Kesultanan Buton juga turut menjadi salah satu sasaran ekspensinya. Dan pada sisi lain VOC juga berusaha untuk mendapatkan pijakan politik untuk mendukung kelancaran pelayaran dan perdagangannya. Dengan Letak Geografis tersebut Buton merupakan salah satu incaran Bangsa Barat datang ke Pulau Buton untuk melakukan Perdagangan dan dapat menjadi ancaman besar bagi daerah sendiri dikarenakan letak Geografis Buton terdapat pada jalur Perdagangan yang strategis dan mengundang ketertarikan Belanda, Jepang untuk Menguasai Daerahnya dengan melakukan hubungan Kerjasama dagang di bidang Perdagangan dan Pelayaran Buton dan dapat membawa Perubahan-Perubahan baik dalam Lingkungan Buton ataupun di Luar Lingkungan Buton karena adanya Doktrin yang dikeluarkan Pihak Belanda terhadap Masyarakat Buton. Disamping itu, akan tetapi dengan adanya falsafah Buton yang dipegang teguh Masyarakatnya sehingga Doktrin yamng dikeluarkan Belanda tidak Berpengaruh karena dengan Masyarakat Buton memegang Prinsip Falsafah Buton dari segi Positif. Berdasarkan Permasalahan diatas maka Judul Skripsi yang dapat diulas yaitu dengan Judul “ Buton Pada Masa Peralihan Dari Kolonial Belanda Ke Zaman Pendudukan Jepang Tahun 1942. A. Teknik Penelitian Penggunaan Metodologi dalam penelitian meliputi metode penelitian Sejarah dan pendekatan terhadap Obyek kajian akan memudahkan penyusunan kisah sejarahnya. Sesuai dengan kajian sejarah, penelitian ini menggunakan prinsip-prinsip Metodologi Sejarah. B. Sumber Penelitian 1. Sumber tertulis, berupa Naskah-naskah Perpustakaan Daerah Sulawesi Tenggara, dan Museum Negeri Sulawesi Tenggara di Kendari, Koleksi Arsip Abdul Mulku Zahari yang tersimpan di Perpustakaan Umum Bau-
6
Bau, dan Arsip di Kantor Kebudayaan Buton di Bau-Bau sedangkan Sumber lainnya didapatkan di Perpustakaan Daerah Sulawesi Tenggara, dan Museum Negeri Sulawesi Tenggara di Kendari. 2. Sumber lisan, diperoleh dari hasil wawancara dengan sejumlah Informan Pada Penelitian sebagai pelaku sejarah, tokoh masyarakat lainnya. Sumber lisan melacak tradisi lisan untuk mendapatkan keterangan dan penjelasan yang kronologis berupa gambaran ilustratif dan pemaparan dari konteks peristiwa sejarah dan permasalahan yang pernah terjadi. Referensi telah menyebutkan Penamaan Buton berawal dari kata Butun atau Butung yang artinya Sebuah Pulau, yang terletak di ujung jazirah Tenggara Pulau Sulawesi oleh pelaut-pelaut Bugis-Makassar. Nama Buton adalah hasil evolusi dari kata Butun, telah dimuat dalam tulisan Armando Cartesao “The Suma Oriental of Tome Pires, dalam karya O. L. Tobing “Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa” telah menyebut Butung, Fahmi Basya dalam “One Hillion Phenomena: Good News for Modern Man” menyebut Buthuun, dan A. Mulku Zahari menyebut Butuuni dalam “Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (van der Chijs, 1675). Nama lain yang ditemukan dalam naskah-naskah lokal menyebut daerah ini dengan nama “Welia” lidah orang Buton menyebut “Wolio” atau “Woliong” (La Ode Madu, 1980: 2, dan La Ode Zaenu, 19 ). Sedangkan nama yang ditemukan dalam naskah-naskah yang berbahasa Arab menyebutnya dengan Butuuni yang berasal dari kata butn atau bathni yang berarti “perut” atau “kandungan”. A.M. Zahari. (Abad ke- XVI-XIX). Riwayat Sipanjonga (Naskah), Wolio”. 2 Negarakertagama karya Prapanca pada pupuh XIV bait ke 5, Menyebutkan bahwa Butun bersama pulau-pulau lainnya sebagai daerah batas pengawasan Kerajaan Majapahit. Pulau Buton bersama dengan gugusan pulau-pulau lainnya, terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil yaitu Pulau Muna, Pulau Kabaena, dan Pulau Wawonii, dan Kepulauan Tukang Besi yang disingkat Wakatobi teridir dari 2
A.M Zahari, Riwayat Sipanjonga (Buton Abad ke XVI-XIX), hlm. 27 - 28.
7
Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, dan Pulau Binongko. Sedangkan yang lainnya merupakan pulau-pulau kecil yang tergabung dalam ke wilayah Kesultanan Buton adalah Pulau Tikola, Pulau Tobeya, Pulau Kadatowang, Pulau Makassar, Pulau Siompu, Pulau Talanga, Pulau Batu Atas, Pulau Maginti3. (A. Ligtvoet, 1878 dan Susanto Zuhdi, 1996: 5). Kedatangan kolonial Belanda tidak segera menyebabkan perubahanperubahan dalam sistem atau struktur kekuasaan patrimonial. bagi pihak kolonial Belanda, kepentingan mereka yang utama adalah kepentingan di bidang Ekonomi politik yang terpenuhi, nampaknya aspek-aspek di luar itu cenderung di abaikan. Sebagai sebuah usaha ekonomi dan politik, Pemerintah Belanda mengangkat pejabat-pejabatnya sendiri, sebagai daerah sepenuhnya ditangan pemerintah kolonial, dan sebagian lainnya dalam sebuah pemerintahan ganda yang selain pengangkatan pejabat birokrasi Kolonial masih juga ada birokrasi tradisional. Pada umumnya orang-orang pribumi yang diangkat dalam jajaran birokrasi kolonial, termasuk yang mendapat imbalan berupa gaji yang besar maupun kecil, yang disebut sebagai Priyayi. Pada permulaan awal, Pemerintahan Kolonial Belanda terkenal dengan sistem sentralisasinya yang ekstrim, birokrasi yang kaku, dan Otokrasinya yang mutlak. Tidakah ada badan politik satupun yang menjadi alat penyalur suara rakyat. Sejumlah pegawai belanda di tempatkan pada unit-unit pemerintahan pada berbagai tingkatan, yaitu dari keresidenan sampai ke distrik. Mereka itu memegang jabatan penasihat merangkap pengawas dari pejabat-pejabat pribumi. Suatu pemerintahan kolonial Belanda yang berlangsung di Kerajaan Buton dan Raja pada saat itu yang memimpin adalah raja ke- 4, Dayanu Iksanuddin. Bangsa Belanda masuk ke wilayah Kerajaan Buton,setelah melakukan perlawanan dengan 3
A.Ligtvoet., 1878. Buton dalam Jaringan Pelayaran Niaga di Wilayah Indonesia Bagian Timur Abad XVI – XVIII. Dan dilanjutkan dengan Susanto Zuhdi, Makalah Seminar (Bali: Denpasar, 1996) hlm. 5.
8
rakyat kerajaan Buton kemudian menguasai seluruh wilayah kerajaan Buton dan pada tahun itu kerajaan Buton digantikan bukan lagi menjadi sebuah kerajaan akan tetapi menjadi sebuah kesultanan Buton di bawah pengaruh Bangsa Belanda, hal tersebut di tandai dengan bersedianya raja Buton menandatangani suatu perjanjian dengan pemerintah Hindia Belanda yang kemudian mendapat status wilayah sebagai Zelfbestuurrendelandchappen (daerah-daerah yang memiliki pemerintahan sendiri) yang antara lain isinya “ kerajaan Buton untuk mengakui kekuasaan Belanda terhadap dirinya dan berjanji akan menaati segenap peraturan yang akan di tetapkan oleh Belanda”. Pada tahun 1906-1942 Pada zaman ini berkuasa sultan sebanyak enam orang. Periode ini Belanda telahmengendalikan pemerintahan di Buton, dengan menempatkan seorang Kontroleur sebagai wakil Pemerintahan Belanda. Pada tanggal 8 April 1906 ditandatangani perjanjian AsyikinBrugman di atas kapal de Ruyter yang berlabuh diluar Teluk Buton. Dalam tahun 1907 Belanda menangkap Ani Abdul Latif Sapati Kesultanan Buton (orang kedua dalam kesultanan) bersama teman-temannya, kemudian menerima hukuman diasingkan ke Makassar. Dua tahun sesudahnya Belanda mendirikan sekolah pertama di Bau-Bau Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Afdeling Sulawesi Timur berkedudukan di Buton dengan ibu kotanya Bau-Bau dengan berluit tanggal 15 November 1911 No. 19, yang dimuat dalam lembaran negara (Staatsblad) tahun 1911 No. 606. Status Kota Bau-Bau sebagai ibu kota berakhir setelah tahun 1964 dipindahkannya ibu kota Propinsi Sulawesi Tenggara di Kendari.Dalam tahun 1939 terjadi peristiwa di Kampung Waruruma, bersama para pengikutnya melawan Belanda menolak pembayaran pajak yang sangat membebani rakyat. Secara Pragmatik Sistem Pemerintahan Kesultanan Buton terbangun dari suatu struktur yang terpola dalam sistem aturan (syara) sebagai bentuk sistem pemerintahan beserta sistem kekuasaannya. Pada tahun 1915, Afdeling Buton dan Laiwoi digabungkan dengan Bungku dan Mori yang dipusatkan di Bau-Bau. Dampak langsung kebijakan ini adalah pembangunan dan perbaikan fasilitas kota berupa sarana pelabuhan dan jaringan jalan.
9
1. Hubungan Buton dengan Kolonial Belanda terjalin dengan adanya Falsafah pemerintahan Kesultanan Buton yang menjadi landasan perjuangan para pemimpinnya yaitu: “Bolimo karo sumanamo lipu dan seterusnya Balimo lipu sumanamo sara dan agama". Falsafah ini mengandung doktrin atau ajaran yang mengharuskan para pemimpin dan rakyat Buton untuk melepaskan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompok atau negara, dan sekaligus juga memperjuangkan pemerintahan dan agama sebagai wujud dari perjuangan umat yang melandasi segala aktivitasnya4. (A.Razak Daeng Pentunru, ( 2000: 35-36).
Buton atau Butuni, adalah satu bahagian kecil dari bandar Bau-Bau dalam semangat 24 Pebruari 1755. Barulah setelah perjanjian Spelman-Simbata di atas Kapal Hoff van Zeeland (25 Juni 1667), ketika Belanda mengadakan perjanjian kedua dengan Buton, semuanya itu untuk memperingati jasa Speelman, maka di sekitar tempat-tempat itulah menjadi pusat kegiatan dan keramaian. Selanjutnya Buton merupakan salah satu kerajaan yang paling awal mengadakan ikatan perjanjian dengan VOC pada tanggal
5 januari 1613.
Hubungan itu masih bersifat terselubung mengingat masa itu Kerajaan Ternate dan Makassar menyatakan berkuasa atas Buton (Susanto Zuhdi, 1994:12)5 Buton melakukan suatu ikatan Perjanjian dengan VOC agar dalam menjalin hubungan kerjasama baik dengan VOC, Kerajaan Ternate dan Makassar tetap berjalan lancer dalam melakukan Perdagangan dan Pelayaran. Keputusan-Keputusan yang diambil oleh para pemimpin Kesultanan Buton saat itu untuk bekerja sama dengan VOC, juga disebabkan karena Buton diapit oleh dua kekuatan yaitu Ternate dan Gowa, sedang Buton sebagai jembatan penghubung di antara keduanya. Ternate sebagai kerajaan yang menguasai pusat penghasil rempah-rempah dan Gowa menjadi penghubung distributor, penyalur ke bagian barat Nusantara dan sekaligus juga menguasai pelayaran dan perdagangan. 4 5
A.Razak Daeng Pentunru, ( 2000). Makna dan Arti Falsafah ,Adat istiadat Buton, hlm. 35-36. Susanto Zuhdi, 1994. (Hubungan Buton dengan Bangsa Barat). hlm. 12.
10
Kesultanan Buton bekerja sama dengan Kompeni (VOC), hanya merupakan suatu taktik guna menghadapi ancaman dari luar, terutama yang datang dari dua kerajaan tersebut yang selalu berusaha untuk menguasainya, atau hanya karena dibayangi oleh kekhawatiran atas kekuatan VOC sebagai kekuatan besar yang selalu berusaha untuk memaksakan kehendaknya dengan penyelesaian melalui perang, sekiranya pihak Buton menolak untuk mengikat perjanjian. Namun secara jelas Kesultanan Buton juga berusaha untuk mengembangkan pengaruh dan membantu Kerajaan-Kerajaan kecil di sekitarnya. Oleh sebab itu kerjasama dengan pihak Belanda (VOC) juga dimanfaatkan oleh Petinggi Kesultanan Buton, terutama di Perairan Buton dan sekitarnya bukan merupakan kawasan yang aman yang Seringkali terjadi Perang antar Kerajaan. Oleh karena itu ajakan VOC untuk membina huhungan kerjasama disambut dengan haik. 2. Buton merupakan daerah yang terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara yang memiliki keragaman suku dan banyak terdapat tempat-tempat mensejarah. Adapun hasil penelitian yang peneliti dapatkan dari lokasi penelitian didaerah Buton tepatnya di Baubau kelurahan Melai yaitu pulau Buton khususnya Kelurahan Melai yang menjadi Obyek penelitian memiliki banyak potensi-potensi atau tempat-tempat bersejarah untuk diketahui oleh Pemerintah dan masyarakat khususnya masyarakat Buton. Pada dasarnya Buton memiliki potensi alam dan tempat bersejarah yang bernilai tinggi seperti halnya didaerah daerah lain yang memiliki potensi seperti itu. Buton juga dikenal dengan lintas perdagangan yang strategis pada saat itu. Letak geografis yang strategis dengan teluk-teluk yang teduh, merupakan Pelabuhan
transit yang sangat ideal bagi para pelayar dari kawasan Barat
Nusantara ke kawasan Timur atau sebaliknya adalah merupakan daya tarik tersendiri bagi Pulau Buton. Dengan kata lain, Pulau Buton menempati posisi strategis dalam “Jalur Pelayaran” di perairan Nusantara. Posisi strategis yang demikian ini cenderung mendorong kekuatan-kekuatan lain di luar Kesultanan Buton untuk berusaha menguasai Buton. Schoorl, (2003: 3) Menjelaskan bahwa Buton “terletak dititik strategis pada rute pelayaran antara Jawa dan Makassar ke Maluku, pusat produksi rermpah-rempah Indonesia. Kondisi demikian ini melalui proses
11
perjalanan waktu kemudian menjadi ancaman bagi pemerintah kesultanan Buton untuk menghindarinya”. Kemudian diikuti dengan penjelasan. Kesultanan Buton memiliki bandar perniagaan yang disebut kota pantai Bau-Bau yang terletak di sisi Barat daya Pulau buton pada jalan Selatan kalau memasuki Selat Buton. Pelabuhan itu terletak di Teluk yang indah dengan tempat berlabuh yang baik dan diapit oleh Pulau Muna bagian Selatan dan Pulau Buton sehingga sangat aman dari gangguan angin topan dan gelombang besar yang membahayakan kapal-kapal yang berlabuh 6. Polinggomang, (1991: lamp II-3). Daerah Bau-Bau yang telah memainkan peran sebagai pusat niaga yang mengalami pertumbuhan pada abad ke-XIX ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pusat pemerintahan Kesultanan Buton. Hal ini disebabkan oleh keberadaan kota Bau-Bau sebagai daerah pelabuhan yang menunjang keberadaan Kotaraja Wolio sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Buton. Pada tahun 1906, Kota Bau-Bau merupakan bagian dari Kesultanan Buton, mulai diperintah oleh Belanda. Hal ini ditandai dengan ditanda tanganinya perjanjian pendek antara Sultan Buton yang diwakili oleh Sultan Muhammad Asyiqin dengan Brugmen dari Belanda. Realisasi dari perjanjian tersebut, .maka oleh Belanda menjadikan kota Bau-Bau sebagai pusat pemerintahan Onder Afdeling Buton. Disamping itu, Delanda juga mengadakan perluasan kota Bau-Bau dari Barat kearah Timur hingga Kelurahan Batulo. Perluasan kawasan kota kearah Timur karena didukung oleh keadaan tanah yang baik. Sehingga jika dilihat dari ruang lingkupnya maka wilayah kota BauBau pada masa penjajahan Belanda meliputi, sebelah Barat dibatasi perairan BauBau, sebelah Utara dibatasi oleh Selat Buton, sebelah Timur dibatasi Kelurahan Batulo sekarang ini dan sebelah Selatan dibatasi dengan Kelurahan Bataraguru. Sebagaimana halnya pada daerah lainnya di Indonesia maka di Kota Bau-Bau oleh Belanda juga menjalankan pemerintahan sipil, sehingga dengan demikian Kota Bau-Bau yang merupakan bagian dari Kesultanan Buton, terdapat dualisme 6
Polinggomang, (1991: lamp II-3).
12
pemerintahan yaitu pemerintahan Zelf Bestuur atau sistim pemrintahan kerajaan yang dijalankan oleh raja atau sultan Buton sendiri dan pemerintahan Kolonial Belanda yang dijalankan oleh contraleur sebagai wakil dari pemerintahan Belanda. Diterapkannya kebijakan ekonomi pemerintah Hindia Belanda untuk mengeksplorasi hasil hutan dan hasil pertambangan di daerah itu tentu saja membutuhkan pembangunan infrastruktur jalan yang memadai, seperti jalan mobil, fasilitas telepon, Kamp Militer, Fasilitas Ibadah, Air Bersih, dan fasilitas Pelabuhan yang memadai. Kebutuhan itulah yang sebenarnya menjadi awal modernisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda di kota Bau-Bau, dan beberapa daerah lainnya di kawasan itu seperti Muna dan Kendari. Laporan beberapa pejabat pemerintah Hindia Belanda seperti yang diuraikan dalam beberapa Memorie van Overgave sangat jelas menggambarkan kondisi daerah tugasnya. Pertumbuhan dan perkembangan kota-kota bercorak maritim didukung oleh faktor letak geografis yang sangat berkaitan dengan hubungan lalu lintas, politik, ekonomi, sosial budaya, dan kosmologis menjadi sebuah keunikan. Kekayaan sumber-sumber kearsipan warisan Kesultanan Buton dan sumber peninggalan kolonial Belanda yang kurang lebih 299 naskah berjumlah enam ribu lembar itu, akan mempertajam visi dan misi pemerintah kota dalam mengkaji dan membangun Kota Bau-Bau yang berwawasan budaya. Kebijakan untuk menggali potansi Kota Bau-Bau yang dimulai dari kekayaan sejarah dan budaya adalah suatu keputusan yang tepat mengingat perjalanan historis kota ini sudah cukup tua berdasarkan tradisi lisan yang dituturkan pewarisnya kepada genarasi sesudahnya, maupun melalui naskah-naskah lokal yang telah diterbitkan. Kota Bau-Bau dari ciri kekotaannya dan keberfungsiannya tepat seperti yang dikemukakan oleh pakar sejarah Abdurrachman Suryomihardjo disebut sebagai kota dagang, kota pelabuhan, dan kota pusat pemerintahan, (Gde Widja, 1989). Fasilitas Kota Bau-Bau sebagaimana digambarkan oleh pejabat Peme-
13
rintah Hindia Belanda diantaranya pasar, pelabuhan, benteng, dan transportasi. Selain itu, pemerintah Hindia Belanda juga melakukan penambahan fasilitas kota seperti fasilitas pelabuhan, jaringan telepon, pembukaan pertambangan, pembukaan perkebunan besar, yang kesemuanya membutuhkan jaringan jalan yang memadai. Fasilitas komunikasi (telepon) dibangun di Kota Bau-Bau menuju Pasarwajo. Demikian pula dengan pembangunan Bandara di Buton untuk menunjang transportasi udara pada tahun 1937. Penyerahan tanpa syarat oleh Letnan Jenderal H. Terporten selaku panglima perang Hindia Belanda atas nama angkatan perang Serikat di Indonesia kepada tentara ekspedisi Jepang dibawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura pada tanggal 8 Maret 1942, maka berakhirlah pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Dan dengan resmi ditegakkan kekuatan kemaharaan Jepang. Indonesia memasuki periode baru yaitu periode pendudukan Tentara Jepang dengan wilayah Jajahan meliputi wilayah bekas Jajahan Hindia Belanda7. (Nugroho Notosusanto, 1984: 5). Selama pemerintahan militer Jepang berkuasa di Wilayah Indonesia termasuk dalam wilayah Sulawesi Tenggara khususnya di Kota Bau-Bau, tidak terjadi perubahan dalam tata pemerintahan termasuk perkembangan dalam bidang pembangunan. Hal ini disebabkan karena pemerintahan Jepang selama berkuasa di Indonesia masih berada dalam suasana peperangan melawan sekutu, sehingga perhatiannya diarahkan dalam kegiatan kemiliteran. Ekonomi Indonesia dibuat semakin tunduk terhadap tujuan peperangan Jepang, dan dengan sistem pengiriman surplus padi dan berbagai hasil lain secara paksa dan sangat kejam. Selain itu juga, tenaga manusia Indonesia juga dieksploitir oleh Jepang, tidak hanya untuk tujuan pembangunan jalan dan berbagai pekerjaan militer, tetapi juga untuk memperkuat kekuatan Jepang. Jepang menjalankan hal-hal yang Belanda dahulu tidak berani melaksanakannya.
7
(Nugroho Notosusanto, 1984. (Zaman Pendudukan Jepang), hlm. 5.
14
Simpulan Pada kerajaan ini tumbuh permukiman di Kotaraja Wolio, seperti Perkampungan Pata-Limbona, kemudian pusat-pusat permukiman bertambah menjadi sio limbona. Diluar benteng Keraton berkembang permukiman baru di bagian selatan kota istanah dan di bagian utara. Faktor yang mendukung kemunculan Buton oleh karena letaknya yang strategis termasuk dalam jaringan dan jalur lalulintas pelayaran niaga di Nusantara. letak Geografi ini tentu merupakan faktor yang terpenting yang mendorongnya sebagai daerah terbuka dengan memperlihatkan perkembangan yang pesat.Faktor yang mendukung kemunculan Buton oleh karena letaknya yang strategis termasuk dalam jaringan dan jalur lalulintas pelayaran niara di Nusantara. Letak geografi ini tentu merupakan faktor yang terpenting yang mendorongnya sebagai daerah terbuka dengan memperlihatkan perkembangan yang pesat.Selain itu terdapat pula faktorfaktor internal lainnya yang menjadi penentu, yaitu faktor sosial budaya dan faktor ekonomi. Saran Agar dapat diketahui fakta adanya bangsa Barat (Kolonial Belanda dan pendudukan Jepang) di Buton, Pemerintah dan tokoh masyarakat harus bersama sama mencari Bukti atau peninggalan–peninggalan sejarah secara menyeluruh dilihat dari lokasi/tempat kejadiannya.
15
DAFTAR RUJUKAN A.M. Zahari. (abad ke-XVI-XIX). Riwayat Sipanjonga. (Naskah), Wolio. A.Razak Daeng Pentunru, 2000. Makna dan Arti Falsafah ,Adat istiadat Buton.
Andi Zainal Abidin Farid, 1916. Memori Kapten de Yonge. Penerbit: Balai Pemerintahan Negeri Buton. Koentjaraningrat. 1993. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta. Penerbit: Balai Pustaka. Kuntowijayo, 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. Ligvoet A. 1878 dan ----,1994. Buton dalam Jaringan Pelayaran Niaga di Wilayah Indonesia Bagian Timur Abad XVI – XVIII. Makalah Seminar. Bali, Denpasar. Polinggomang, 1991. Lamp II-3. Kesultanan Buton merupakan Bandar niaga.penerbit: Denpasar. Susanto Zuhdi, 1994. Hubungan Buton dengan Bangsa Barat. Slamet muljana, (1979). Naskah Buton.
……, 1999. Labu Rope Labu Wana: Sejarah Buton Abad XVII-XVIII. Nugroho Notosusanto, 1984. Zaman Pendudukan Jepang. Bandung. Hlm 5.