www.parlemen.net
MASUKAN LIPI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RUU TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD DAN RUU TENTANG PEMILU PESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN RI
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA JAKARTA, 11 JULI 2007
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Jawaban Atas Pertanyaan Komisi II DPR-RI
Pertanyaan: 1. Persyaratan menjadi peserta Pemilu 2009. Apakah perlu diperketat ?
Jawaban: Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang kuat, stabil, dan efektif, maka desain sistem kepartaian semestinya mengarah pada sistem multi partai sederhana. Salah satu alasan terpenting ialah bahwa di dalam sistem multipartai sederhana dapat dihasilkan tingkat fragmentasi yang relatif rendah pula di parlemen, yang pada gilirannya
dapat
mengkondisikan
terciptanya
proses
pengambilan
kebijakan/
keputusan yang relatif tidak berlarut-larut. Untuk dapat: menyederhanakan sistem kepartaian dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni: memperberat aturan pembentukan partai politik baru; memperketat
persyaratan
bagi
partai
peserta
pemlu;
dan
mengkondisikan
pelembagaan koalisi partai. Upaya menyederhanakan sistim kepartaian antara lain dapat dilakukan dengan memperberat
ketentuan
pembentukan
partai
politik
baru,
yakni
peningkatan
persyaratan jumlah warga negara yang dapat membentuk partai, data pemberlakuan larangan bagi partai gagal electoral thershold (ET) untuk berganti nama sebagai partai baru. UU Partai Politik No. 31 Tahun 2002 mengatur bahwa "Partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (Iimapuluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akte notaris". Syarat minimal 50 orang untuk mendirikan partai tersebut tentu terlalu ringan untuk negara seperti Indonesia yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa. 0leh karena itu perlu ditingkatkan menjadi minimal 500 (lima ratus) orang bila ingin mendirikan partai. Perlunya peningkatan persyaratan tersebut dalam rangka untuk mengurangi "nafsu" Politisi untuk membentuk partai-partai baru yang acapkali sekadar "papan nama" saja. Sementara itu, UU No.12/2003 tentang Pemilu telah mematok angka ET tiga persen, sehingga hanya partai yang meraih suara tiga persen dalam Pemilu 2004 yang Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
bisa mendapat 'tiket' untuk mengikuti Pemilu 2009 tanpa perlu lagi menjalani proses verifikasi. Namun pengalaman dari ketentuan ET pada pemilu sebelumnya, partai yang tidak Iolos biasanya hanya berganti nama, lalu mengajukan pendirian partai baru dengan terdiri dari para politisi partai lama yang sebelumnya gagal ET. Dengan demikian, aturan baru hendaknya memperketat praktik manipulasi semacam ini. Hal itu dapat dilakukan antara lain dengan melarang partai gagal ET untuk berganti nama pengurusan juga dilarang membentuk partai baru untuk mengikuti pemilu berikuttnya. Sementara itu, dalam rangka membangun sistem multipartai sederhana, maka UU Partai Politik semestinya makin memperketat persyaratan bagi partai peserta pemilu, antara lain dengan meningkatkan peryaratan ET, memberlakukan tenggat pendirian partai, dan deposit dana bagi partai baru. Salah satu instrumen untuk mendorong terbentuknya sistem kepartaian sederhana ialah dengan meningkatkan atau memperketat ketentuan ET dari 3% menjadi 5% pada Pemilu 2014. Angka ET 5% sekaligus sebenarnya relatif moderat. Patokan angka ET yang terlalu tinggi akan bertentangan dengan filosofi sistem proporsional yang cenderung memberi ruang bagi partai-partai kecil. Selain itu, aturan ET yang terlampau tinggi juga akan menimbulkan "potensi suara hilang" dalam sistem proporsional, yakni dalam bentuk peningkatan angka "golput". Hal ini mengingat sistem proporsional tidak berkemampuan menyederhanakan kelompok-kelompok masyarakat yang heterogen, sehingga bagi konstituen yang merasa tidak memiliki pilihan, maka mereka akan cenderung mengambil sikap golput. Di sisi lain, secara logis setiap partai yang baru dibentuk memerlukan waktu yang cukup untuk mensosialisasikan kepentingan-kepentingan yang diperjuangkannya, begitu pula keanggotaa dan dukungan yang diperlukannya. Oleh karena itu hendaknya setiap partai baru hanya dapat mengikuti pemilu jika telah terbentuk lima tahun sebelumnya. Ini penting bukan hanya menghindari munculnya partai-partai instant, melainkan juga agar partai-partai politik baru tersebut memiliki waktu dan persiapan yang cukup sehingga benar-benar siap untuk berkompetsi dalam pemilu. Sementara itu dalam rangka mendorong lahirnya partai-partai yang mandiri dan mengurangi “nafsu” politisi untuk membenuk partai-partai baru, maka perlu ada Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
kewajiban bagi partai baru peserta pemilu untuk menyerahkan dana deposit sebesar Rp 50 miliar kepada negara melalui KPU. Apabila partai peserta pemilu tersebut memenuhi ET, maka dana deposit tersebut dikembalikan kepada partai yang bersangkutan, namun bila tidak, maka dana tersebut menjadi milik negara.
Pertanyaan: 2. Electoral Threshold bagi partai-partai peserta Pemilu 2009 untuk dapat mengikuti Pemilu 2014. Bagaimana pengaturan tentang Electoral Threshold?
Jawaban: Upaya untuk memperketat persyaratan partai peserta pemilu rnelalui ketentuan elctoral threshold (ET) telah diberlakukan sejak Pemilu 1999. Namun pada kenyataannya, ketentuan ET ini masih cenderung dipermainkan oleh partai-partai politik. Praktik yang berlaku pada Pemilu 2004 memperlihatkan kenyataan sejumlah partai yang gagal ET memanfaatkan kelonggaran ketentuan ET untuk "lahir kembali" sebagai partai baru agar dapat mengikuti pemilu berikutnya. Artinya, sepanjang ketentuan administratif sebagai parpol peserta pemilu dapat terpenuhi sesuai UU, maka partai polilik yang gagal ET tersebut tetap akan menjadi peserta pemilu. Partai politik yang pernah ikut Pemilu 1999 tetapi gagal memenuhi ketentuan ET dengan mudah menjadi peserta PemiIlu 2004. Dengan demikian ketentuan electoral threshold dengan mudah dimanipulasi dengan cara penggantian nama dan identitas partai menjelang pemilu. Penggantian nama ini menjadi jalan pintas, sehingga yang terjadi adalah seolah-olah lahir partai baru peserta pemilu, padahal partai tersebut hanyalah metamorfosis partai lama yang tidak memenuhi electoral threshold pada pemilu sebelumnya. Penerapan ET yang terlalu longgar dan cenderung dimanipulasi pada akhirnya justru akan tetap menciptakan tingkat fragmentasi partai yang relatif tinggi di parlemen dan kurang dapat mendorong upaya penyederhanaan partai politik. Dengan kata lain, walaupun jumlah partai peserta Pemilu 2004 berkurang dibandingkan partai peserta Pemilu 1999, namun UU No.12/2003 kurang dapat mendorong terjadinya pembatasan Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
partai-partai yang memperoleh kursi di parlemen, sehingga kebutuhan akan hadirnya partai mayoritas tidak terjadi. Masih adanya peluang bagi partai-partai yang tidak lolos ET untuk membentuk partai politik baru karena lemahnya pengaturan UU berdarnpak pada berlornbalombanya para pengurus partai lama untuk mendirikan partai politik baru dengan berubah nama, bendera, dan simbol-simbol partai lainnya namun dengan sebagian besar orang yang sama. Kecenderungan seperti ini pada dasarnya inkonsisten dengan tujuan penerapan ET karena semestinya partai yang telah gagal ET tidak memiliki peluang untuk mengikuti pemilu selanjutnya. Untuk mencapai tujuan pemberlakuan ET, maka perlu dipertimbangkan bahwa partai yang tidak lolos ET yang kemudian membentuk partai politik baru tidak secara langsung dapat mengikuti pemilu berikutnva, tetapi baru diperbolehkan ikut dalam pemilu setelah sekurang-kurangnya satu periode pemilu sesudahnya (lima tahun), kecuali bergabung atau meleburkan diri dengan partai-partai yang lolos ET. Pengaturan yang ketat seperti ini diperlukan dengan akan terciptanya penguatan sistem kepartaian di satu pihak dan efektivitas sistem presidensial di pihak lain. Apabila disepakati bahwa sistem kepartaian perlu ditata ulang menuju sistem multipartai sederhana agar mendukukung efektifitas presidensialisme- maka perlu persyaratan yang lebih ketat bagi calon partai peserta pemilu. Selain itu, upaya ini dilakukan untuk mendorong terbentuknya koalisi
besar partai dalam sistem
pemerintahan presidensial, sehingga dapat menciptakan pemerintahan yang lebih kuat dan efektif. Argumentasi perlunya pengetatan persyaratan tersebut adalah agar: (I) hanya partai-partai yang memiliki basis dukungan yang jelas dan memiliki kepengurusan yang luas secara nasional yang dapat mengikuti pemilu; (2) mendorong agar partai melakukan penataan kelembagaan dan menjalankan fungsinya di luar agenda meraih kekuasaan; (3) mendorong dan mengkondisikan terjadinya penggabungaan dan atau koalisi partai; data (4) mendorong terjadinya kompetisi internal partai untuk memilih calon-calon berkualitas yang akan berkompetisi di dalam bursa pencalonan pemilu. Dalam kaitan tersebut perubahan yang Perlu dilakukan di antaranya adalah Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
dengan memperbesar electoral threshold (ET) dan memperketat prosedurnya melalui ketentuan: (1) hanya partai yang memperoleh electoral threshold minimal 5 persen dari jumlah kursi di DPR yang mengikuti 2014; (2) partai yang tidak mencapai ET tidak boleh mengikuti pemilu berikutnya walaupun dengan mengganti nama parpol dengan nama baru, dan/atau mengganti pengurus dengan wajah baru; (3) jika akan mengikuti pemilu, partai-partai tersebut wajib bergabung dengan partai yang mencapai atau tidak mencapai ET hingga memenuhi ET; dan (4) memberlakukan kewajiban deposit dana dalam jumlah tertentu bagi partai baru yang telah memenuhi syarat untuk mengikuti pemilu
Pertanyaan: 3. Sistem Pemilu anggota legislatif, dengan dasar sistem proporsional dan melihat praktek sistem Pemilu 1999 serta 2004 lalu. Apa keIebihan dan kekurangan dari beberapa pilihan yang ada ?
Jawaban: Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sistem perwakilan proporsional (proportional representation/PR system) tampaknya telah menjadi pilihan yang dianggap paling mungkin (feasible). Pertimbangan penggunaan sistem proporsional yang selama ini dominan adalah agar suara rakyat tidak terbuang dan proporsionalitas keterwakilan politik mencerminkan hetegonitas keberagaman masyarakat dari segi etnik dan budaya serta agama. Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah adalah pertimbangan lain di balik pilihan terhadap sistem proporsional. Sistem proporsional yang diterapkan sejak Orde Baru hingga era transisi belum sepenuhnya dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat yang murni mewakili kepentingan rakyat. Kelemahankelemahan tersebut secara bertahap diperbaiki pada masa transisi sejak Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Pada Pemilu 1999, kendati telah diperbaiki dibandingkan pemilupemilu Orde Baru sistim pemilu masih belum dapat menghasilkan wakil rakyat yang benar-benar representatif karena sistim proporsional yang berlaku bersifat tertutup. Kelemahan ini diperbaiki relatif agak mendasar pada UU No. 12/2003, dengan Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
ditetapkannya sistem proporsional terbuka. Akan tetapi kehendak untuk menerapkan sistim proporsional terbuka tersebut cenderung bersifat simbolik karena dalam praktiknya hampir semua caIeg terpiIih atas dasar nomor urut yang ditetapkan oleh pimpinan partainya masing-masing. Sistim proporsional terbuka pada Pemilu 2004 cenderung diberlakukan secara inkonsisten dan "setengah hati'', sehingga masih belum dapat memperbaiki kelemahan dan problem keterwakilan pada pemilu-pemilu sebelumnya. Penentuan calon jadi atas dasar nomor urut merupakan dilema paling mendasar dan sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2004. Sebagaimana diketahui, pemilih dapat mencoblos tanda gambar partai dan mencoblos nama calon legislatif. Karena sifatnya masih belum terbuka secara penuh ,maka sistim ini cenderung membingungkan pemilih, karena suara dianggap sah apabila pemilih memilih tanda gambar saja, dan/atau tanda gambar sekaligus nama caleg. Namun demikian apabila pemilih hanya memilih nama caleg saja, maka suara dianggap tidak sah. Dengan tata cara pemilihan seperti itu, maka secara formal sebenarnya sistem yang berlaku masih cenderung pada sistim proporsional tertutup ketimbang sistem proporsional terbuka. Akibat dari penerapan sistem seperti itu adalah: pertama, pemilih pada kenyataannya Iebih memilih tanda gambar partai karena rnemang Iebih mudah ketimbang memlih nama calon. Secara formal memang sistim yang dianut adalah sistim proporsional terbuka, namun dalam praktiknya terjadi penyimpangan kearah proporsional tertutup, ketika sebagian besar pemilih Iebih memilih tanda gambar yang tidak disertai dengan memilih nama calon. Kedua, para pengurus atau elite partai masih mendominasi nomor urut calon, meskipun yang bersangkutan kurang dikenal oleh masyarakat. Di sinlah Ietak oligarki partai dalam penentuan calon anggota dewan semakin diperkuat. Ketiga, dengan mekanisme pemilihan seperti di atas, maka terbukanya peluang bagi partai-partai politik yang sudah mapan untuk menggiring para pemilih hanya mencoblos tanda gambar partai tanpa pilihan atas nama calon. Keempat, terdapat basis penentuan calon jadi yang tidak proporsional, di satu sisi didasarkan atas nomor urut tetapi di sisi lain didasarkan atas Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP). Bagi calon yang menempati nomor urut potensial terpilih, dengan cara pemilihan seperti itu kompetisinya tidak terlalu berat, akan tetapi bagi calon yang; Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
berada pada urutan bawah, mereka harus berjuang keras agar memperoleh dukungan pemilih sehingga melampaui BPP. Dengan demikian, calon yang memperoleh suara paling besar dan tidak memenuhi BPP gagal terpilih, sementara calon yang menempati nomor urut potensial dengan tingkat dukungan yang lebih kecil justru terpilih sebagai anggota Iegislatif. Sistem pemilihan ini berakibat pada kurang adilnya kompetisi, sebab calon yang menempati nomor unit at:as (potensi untuk terpilih), meski yang bersangkutan hanya "diam," Iebih berpeluang besar terpilih, sementara calon yang menempati nomor urut bawah harus berjuang keras agar memperoleh dukungan dari konstituen. Di samping itu, pada kenyataannya, daftar nomor urut yang potensial terpilih sebagai calon
jadi
lebih
ditempati
oleh
pengurus-pengurus
partai,
sementara
yang
bersangkutan belum tentu dikenal oleh konstituen dan memiliki kapabilitas yang memadai. Dengan sistem pemilihan sepert:i itu, ada gejala bahwa partai-partai dan para pengurus partai lebih duntungkan, karena merekalah yang potensial terpilih sebagai wakil rakyat kendati tidak mampu memperoleh suara secara signifikan. Di sisi yang lain, sistem proporsional terbuka setengah hati yang dianut UU No. 12/2003 belum sepenuhnya dapat mendekatkan antara para wakil dengan terwakil atau konstituennya. Sebagai akibatnya, akuntabilitas para wakil terhadap konstituen cenderung lemah karena loyalitas mereka cenderung ditujukan oleh partai politik. Akibatnya para wakil yang terpilih cenderung hanya menjadi wakil partai ketimbang wakil rakyat. Lebih jauh lag, praktik sistem proporsional setengah hati seperti ini pada akhirnya menciptakan sistem perwakilan yang kurang mendukung penguatan dan efektivitas sistem pemerintahan presidensial. Untuk meningkatkan kualitas keterwakilan di satu pihak dan kualitas akuntabilitas para wakil di lain pihak, maka sistem pemilu legislatif yang berlaku pada Pemilu 2004 perlu ditata dan disempurnakan kembali, yaitu menuju sistem proporsional dengan daftar terbuka sepenuhnya -tidak "setengah terbuka". Penataan ulang sistem pemilu ke arah sistem yang memperkuat akuntabilitas para wakil dengan sistem proporsional terbuka dilandasi oleh beberapa argumen berikut: (1) anggota DPR/DPRD mencerminkan perwakilan rakyat dengan tingkat proporsionalitas yang Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
tinggi; (2) mendorong kompetisi calon secara terbuka; (3) mencerminkan rasa keadilan bagi calon-calon yang memperoleh suara terbanyak meskipun nomor urutnya berada di bawah; (4) membuka peluang bagi meningkatnya keterwakilan kaum perempuan di badan-badan perwakilan; dan (5) mendekatkan hubungan para wakil dengan rakyat yang diwakilinya. Selain itu, arah dan tujuan penyelenggaran pemilu yang memperkuat pilihan konstituen atas wakil-wakilnya diharapkan dapat memperbaiki praktik pemerintahan yang ambivalen, lebih cenderung pada praktik pemerintahan parlementer, padahal sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan presidensial. Untuk memperkuat sistem pemerintahan tersebut dibutuhkan partai politik yang memiliki dukungan yang besar, sehingga dapat menjalankan pemerintahan yang lebih efektif. Oleh karena itu, untuk memperkokoh sistem presidensial dan memperbaiki sistem perwakilan, perlu penegasan bahwa sistem proporsional yang diberlakukan adalah sistem proporsional terbuka penuh. Sistem ini pada hakikatnya mengandung prinsip-prinsip sebagat berikut: (1) penentu terpilihnya seorang calon legislatif adalah jumlah suara yang diperolehnya; (2) mencoblos nama calon dan partai politik (yang dianggap sah); (3) kursi dibagi berdasarkan partai terlebih dahulu, baru setelah masing-masing partai memperoleh kursi, maka calon yang memperoleh suara terbanyak di masing-masing partai dinyatakan langsung terpilih sebagai anggota Dewan; dan (4) nomor hanya berfungsi administratif, tidak menentukan urutan kemenangan seorang calon.
Pertanyaan: 4. Bagaimana dengan penentuan daerah pemilihan untuk Pemilu legislatif baik untuk pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota ?
Jawaban: Dalam penentuan nilai kursi bagi anggota DPR, UU No. 12/2003 belum sepenuhnya memperhatikan aspek proporsionalitas jumlah penduduk, antara daerah yang padat penduduknya dengan daerah yang jarang penduduknya. Hal ini menimbulkan Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
ketimpangan nilai kursi, karena dalam praktiknya ada "kursi murah" di daerah-daerah pemilihan luar Jawa. Apabila dasar penentuan nilai kursi adalah jumlah penduduk, maka perlu dikembalikan pada prinsip dasar yang sama, yakni one person one vote. Dengan kata lain, nilai kursi seminimal mungkin tidak terlalu Iebar kesenjangannya antara wilayah yang padat dengan wilayah yang jarang penduduknya. Karena pada dasarnya, DPR mewakili rakyat dan segi (jumlah) penduduk, bukan mewakili wilayah, sehingga daerah yang jumlah penduduknya lebih padat memiliki perwakilan politik yang lebih besar ketimbang daerah yang jarang penduduknya. Selain itu, penentuan besaran daerah pemilihan kurang mempertimbangkan perbandingan luas wilayah dengan jumlah penduduk. Dampaknya, terjadi ketimpangan besaran daerah pemilihan antara Jawa dengan luar Jawa. Meskipun kelemahan ini dikompensasi melalui keberadaan lembaga DPD yang didasarkan pada perwakilan wilayah, namun tetap tidak dapat menyetarakan nilai kursi Iegislatif nasional antara Jawa - luar Jawa. Basis penghitungan nilai kursi yang tidak mencerminkan keadilan antara daerah yang padat dan jarang penduduknya ini perlu dikembalikan pada prinsip yang semestinya, yaitu jumlah penduduk sebagai dasar dalam menentukan nilai kursi pada setiap daerah pemilihan. Dalam rangka penataan ulang nilai kursi legislatif, perubahan UU No.12/2003 perlu menekankan, pertama, keseimbangan yang lebih proporsional antara daerah yang padat dengan yang jarang penduduknya. Jumlah penduduk harus menjadi dasar dalam menentukan jatah kursi masing-masing daerah pemilihan karena pada prinsipnya sistem proporsional adalah mewakili penduduk (orang) bukan mewakili wilayah (ruang). Di sisi
yang lain dengan adanya daerah pemilihan, maka
dimungkinkan adanya perubahan struktur kepartaian di daerah mengikuti daerah pemilihan, bukan wilayah administratif. Kedua, BPP hanya untuk menentukan kuota perolehan kursi partai di daerah pemilihan dan bukan untuk menentukan kuota perolehan suara calon terpilih. Ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pergeseran dari sistem proporsional terbuka ke arah sistem proporsional tertutup. Adanya BPP dengan bilangan yang terlalu tinggi,sehingga hampir mustahil dicapai, menyebabkan sistem proporsional terbuka Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
berubah menjadi sistem proporsional tertutup. Oleh karena perlu perubahan fungsi BPP, yakni hanya untuk menentukan kuota kursi di setiap daerah pemilihan. Ketiga, sebagai konsekuensi logis usulan perubahan di atas maka besaran daerah pemilihan (district magnitude – jumlah wakil rakyat yang terpilih dalam satu district) perlu ditata ulang atas dasar proporsional jumlah: penduduk dengan bertolak pada prinsip one person one vote. Untuk mengarah ke sana, maka perubahan yang dapat dilakukan adalah bahwa pola penentuan daerah pemilihan relatif sama dengan Pemilu 2004 dengan penyempurnaan pada kuota kursi yang disesuaikan dengan proporsi jumlah penduduk.
Pertanyaan: 5. Bagaimana dengan keterwakilan perempuan dalam daftar calon yang diajukan partai politik ? Apakah tetap perlu kuota seperti 30 % atau lebih ?
Jawaban: Meskipun UU Pemilu No. 12 Tahun 2003 telah mengakomodasi upaya peningkatan keterwakilan perempuan di Iegislatif melalui pencalonan minimal 30 persen bagi perempuan, namun di dalatn struktur keanggotaan DPR hasil Pemilu 2004 hanya terdapat sekitar 11 persen anggota legislatif perempuan. Kondisi ini masih memprihatinkan dibanyak negara-negara maju. Karena itu penyempurnaan atas UU Pemilu hendaknya semakin meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen agar kualitas keterwakilan, kualitas kebijakan yang dihasilkan, dan juga kualitas demokrasi pada umumnya lebih meningkat dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya. Dalam rangka peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, serta juga untuk meningkatkan kualitas produk kebijakan agar lebih berperspektif gender, perlu penegasan sanksi bagi partai politik peserta pemilu yang tidak mematuhi persyaratan mencalonkan minimal 30 persen perempuan. Penegasan sanksi tersebut perlu diatur dalam penyempurnaan UU Pemilu sehingga tidak bersifat anjuran belaka.
Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Pertanyaan: 6. Bagaimana dengan keuangan kampanye partai polilik dan para calon anggota legislatif ? Apakah perlu dibatasi jumlah dan dari mana sumbernya ? Bagaimana pula dengan keuangan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ?
Jawaban: Regulasi tentang dana kampanye pada undang-undang pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif tidak menjelaskan jumlah sumbangan yang wajib dicatat oleh bendahara dari partai polltik dan/atau gabungan partai mengenai bentuk, jumlah sumbangan dan Identitas Iengkap pemberi sumbangan. Sebaiknya KPU hanya membuat peraturan bahwa sumbangan lebih dari lima juta rupiah wajib dicatat dengan menggunakan formulir standar penerimaan. Kedua, meskipun dalam rangka pengumpulan dana kampanye partai politik dan atau gabungan partai harus berpegang pada batas maksimal sumbangan kampanye, akan tetapi tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai larangan untuk mentransfer dana dari rekening partai politik ke rekening dana kampanye. Hal ini pada akhirnya tidak mampu menjalin prinsip kesetaraan politik dimana partai yang memiliki sumber daya dan dana yang besar, tinggal menggunakan untuk keperluan kampanye. Donatur dapat menyumbang jauh-jauh hari sebelum pemilu sehingga akumulasi sumbangan dapat melampaui ketentuan batas sumbangan bagi kampanye. Ketiga,
undang-undang
yang
ada
juga
tidak
menjelaskan
mengenai
penggunaan dana kampanye. Tidak ada definisi mengenai aktivitas yang boleh didanai, bagaimana pencatatan pengeluaran dana kampanye serta batas maksimal pengeluaran. lni mengakibatkan akuntabiltas pengeluaran untuk kampanye menjadi tidak ada. Selain itu, akan terjadi kesenjangan antara partai besar dan partai kecil dalam hal belanja untuk kampanye terutama penggunaan iklan dalam media massa yang pada akhirnya menjadikan kompetisi antarpasangan calon menjadi tidak seimbang. Begitu pula belum ada definisi yang jelas perihal badan hukum dan perseorangan, apakah mencakup 'partai politik', 'pasangan calon', `anggota dan pengurus partai politik', dan `anggota tim kampanye'. Ketentuan ini juga tidak mengatur Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
mengenai utang dari parpol, individu, badan hukum dan pihak ke-3, seperti utang iklan di TV swasta. Tidak adanya pengaturan yang jelas perihal sumbangan dari badan hukum swasta apakah mencakup induk perusahaan dan anak-anak perusahaannya 1 . Transparansi dan akuntabilitas dana kampaye oleh tim sukses perlu pula ditegakkan. Tim sukses dan kandidat dilarang menerima bantuan dana melebihi nominal tertentu yang dikhawatirkan akan mengikat presiden terpilih melakukan tindakan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) pasca terpilih. Hal ini dikarenakan regulasi yang ada tidak mengatur secara jelas sumbangan yang berasal dari partai politil( (untuk setiap tingkatan), gabungan antarpartai maupun pasangan kandidat, khususnya terkait dengan sumbangan yang berbentuk bukan tunai (in natural), seperti diskon, penggunaan fasilitas, dll. Sumbangan dana kampanye pemilu yang diatur dalam undang-undang dewasa ini hanyalah dalam bentuk uang dan hutang. Sedangkan sumbangan natura (barang), bantuan dalam bentuk jasa, dlskon ataupun fasilitas dari perseorangan atau badan hukum swasta tidak disebutkan sama sekali. Akibatnya donatur bisa saja memberian bantuan yang melebihi ketentuan dengan menggunakan bentuk sumbangan seperti pemberian fasilitas transportasi, memberikan bahan-bahan cetakan untuk kampanye ataupun diskon untuk penggunakan fasilitas seperti hotel dan sebagainya. Bantuan dalam jumlah besar dan tidak tercatat tersebut, sangat potensial untuk dilanggar oleh partai politik peserta pemilu. Untuk meningkatkan kualitas t:ransparansi dan akuntabilitas dana kampanye Pilpres dan pemilihan legislatif di dalam UU perlu diatur lebih rinci mengenai ketentuan dana kampanye. Hal ini diperlukan untuk membangun proses pilpres yang baik secara prosedural, agar transparan dan bisa diketahui oleh public sehingga mendorong terbangunnya good governance pasca pemilu antara lain 2 :
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
-
Ada ketentuan yang mewajibkan audit terhadap pengeluaran dana kampanye Pilpres;
-
Laporan penggunaan dana kampanye (sumber maupun pengeluaran) perlu diumumkan pada publik melalui media massa seminggu sebelum hari pemberian suara;
-
Adanya konfirmasi tentang, kelayakan penyumbang di dalam proses audit;
-
Harus ada ketentuan baku tata cara serta tindak lanjut dan sanksi yang jelas terhadap temuan permasalahan yang dihasilkan dari proses audit;
-
Pengaturan bahwa sumbangan dari perorangan yang berasal dari pengurus partai
atau
kandidat
disamakan
statusnya
dengan
penyumbang
perorangan. Sumbangan in natura yang diterima tim kampanye maupun pasangan calon harus dihitung dalam uang dan terikat batasan sumbangan untuk individu dan badan hukum; -
Sumbangan partai politik dikenai ketentuan seperti haInya ketentuan untuk badan hukum;
-
Utang dari individu, badan hukum, dan partai politik kepada kandidat dan tim sukses harus dihitung sesuai dengan batasan sumbangan individu dan badan hukum; Sumbangan pengusaha hanya dapat dilakukan satu kali dari induk perusahaan. Aliran dana harus lewat perbankan nasional untuk diverifikasi oleh pihak berwenang dan sesuai pengaturan tentang antimoney laundring ;
-
Adanya aturan secara rinci mengenai identitas penyumbang. Kewajiban mencatat sumbangan dibawah Rp. 5 juta yang dilakukan Iebih dari satu kali
1
Lihat pula executive summary "Perubahan Pasal Dana Politik di dalam Paket Undang-undang Politik"
oleh Tim Cetro, TII, ICW, Perludem dan IAI-KSAP, Desember 2006.
2
Lihat, "Perubahan Pasal Dana Potitik di dalam Paket Undang-undang Politik" oleh Tim Cetro, TII, ICW,
Perludem dan IAI-KSAP, Desember 2006.
Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
dan menyimpan catatannya lewat bendahara partai politik. Batas bawah pencatatan perlu diturunkan; -
Aturan yang tegas bagi pihak-pihak yang digunakan namanya atau
-
perusahannya untuk menyumbang padahal tidak memiliki kemampuan;
-
Penelusuran kewajaran kemampuan menyumbang dari NPWP individu maupun badan usaha;
-
Perlu ada kejelasan tentang definisi pihak asing terutama perusahaan asing apakah domisilinya di luar lndonesia atau karena kepemilikan saham maksimim (di atas 50°/o) oleh pihak asing. Perlu juga diatur batasan sumbangan dari NGO asing, baik jenis NGO atau jenis pembiayaannya, ke partai politik atau kandidat;
-
Perlu dijelaskan secara jelas kapan rekening dana kampaye dapat dibuka dan berapa ketentuan saldo awal yang wajar dalam membuka rekening khusus dana kampanye;
-
Saldo awal dapat berasal dari rekening partai politik yang diatur batasan besarnya saldo awal;
-
Ketentuan mengenai utang harus dikenakan baik jumlah maupun kategori penyumbangnya dengan ketentuan yang diterapkan untuk penyumbang perorangan dan badan hukum;
-
Adanya ketentuan kewajiban membuka laporan dana kampanye dan hasil audit laporan dana kampanye ke publik lewat media nasional;
-
Rekening dana kampanye yang dibuka harus dikoordinasikan oleh satu orang yang ditunjuk untuk bertanggung jawab terhadap pencatatan dan pelaporan dana kampanye. Orang yang ditunjuk juga bertanggung jawab mengkonsolidasikan semua rekening tersebut pada saat penyusunan laporan dana kampanye ke KPU / KPUD;
-
Sanksi administratif pelanggaran dana kampanye memerlukan model atau standar operasi baku penanganan yang jelas dan cepat atas pelanggaran administratif;
-
Sanksi pidana pelanggaran dana kampanye perlu ada definisi yang jelas
Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
mengenai politik uang dan manipulasi dana kampanye. Perlu ada penanganan lebih cepat atas kasus-kasus politik yang yang terjadi. Perlu ada percepatan proses penanganan kasus politik uang sehingga sanksi dapat segera diterapkan kepada orang atau pihak- pihak yang terlibat.
Pertanyaan: 7. Dalam pelaksanaan Pemilu legislatif dan Pilpres, apakah perlu digabung waktu pelaksanaannya ? Atau dipisah antara Pemilu tingkat pusat dan tingkat lokal? Atau dipisah antara Pemilu Iegislatif dengan eksekutif dan keterkaitannya dengan Pilkada ?
Jawaban: Untuk pemilihan presiden dan pemilihan legislatif tingkat nasional pada tahun 2009 masih harus tetap dipisahkan, karena sesuai dengan amandemen keempat UUD 1945. Namun demikian yang harus dilakukan justru pemisahan
antara pemilu legislatif
tingkat nasional dengan pemilu legislatif tingkat lokal (propinsi, kabupaten/kota). Ini dilakukan agar balance of power antara pusat dan daerah tetap terjaga. Disamnping itu masyakarat dapat lebih leluasa untuk melihat dan membedakan kinerja wakil-wakil rakyat di tingkat pusat dan daerah karena adanya jeda waktu pemilihan.
Pertanyaan: 8. Terkait dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, bagaimana pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ? Bagaimana dengan tuntutan adanya calon perseorangan ?
Jawaban: Kualifikasi kandidat presiden dan waki presiden belum diatur secara rinci sehingga mekanisme rekrutmen yang demokratis belum disepakati oleh semua partai yang berhak mengajukan pasangan kandidat presiden-wapres. Proses seleksi yang terjadi cenderung belumkompetitif dan belum transparan. Begitu juga asal pasangan calon Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
apakah harus dari kader internal partai, kedua pasangan calon presiden dan Wakil harus dari partai yang sama atau bisa berbeda dan apakah boleh dibuka untuk publik/nonkader yaitu dari calon independen atau harus kader partai tersebut, masih menghasilkan dilema. Kriteria calon yang akan dimajukan apakah memerlukan pengaturan sebaiknya harus kader partai atau boleh membuka pintu untuk calon independen tampaknya menjadi permasalahan tersendiri. Keberatan itu antara lain berkaitan dengan persoalan belum terbangunnya sistem kaderisasi yang baik di dalarn partai-partai politik. Begitu juga syarat pengusungan calon nonpartai akan bermasalah bila dikaitkan berapa biaya yang wajar yang harus ditanggung oleh calon independen agar namanya bisa diusung menjadi kandidat dari partai tersebut. Hlanya calon yang kaya yang bisa maju dan calon yang memiliki integritas dan pengalaman tetapi tidak memiliki dana yang cukup, tentu tipis kemungkinannya bisa berkompetisi dalam pilpres. Dari lima pasangan kandidat. presiden dan wakil presiden yang bersaing dalam Pilpres 2004, hanya seorang kandidat yang telah melalui proses konvensi yang dilakukan oleh partai pengusung, yakni Wiranto yang dicalonkan oleh Partai Golkar. Sedangkan partai lain tidak membuat keputusan pencalonan melewati proses tatacara pemilihan internal partai yang berjenjang dan melibatkan perwakilan pengurus di tingkat daerah. Namun demikian ada juga penilaian bawah proses konvensi tersebut cenderung masih berlangsung tertutup, elitis, dan belum melibatkan publik secara terbuka. Di sisi lain, bila calon yang diusung bukanlah kader yang berjuang dan dipersiapkan oleh partai yang bersangkutan untuk menjadi kandidat yang akan dimajukan sebagai pasangan presiden, bisa jadi dalam proses seleksinya akan menjadi dilema tersendiri bagi pengurus dan anggota partai atau gabungan partai. Calon dari luar adalah pihak lain yang mengambil peluang para kader untuk mobilitasnya, dan ini tentu menyalahi asas kaderisasi partai. Namun jika kemungkinan calon dari luar untuk dimajukan oleh partai ditutup, maka kemungkinan partai memenangkan calon yang populer dan didukung oleh masa bisa pula hilang. Partai tersebut bisa jadi akan dianggap tidak mengakomodir agenda demokratisasi dan sirkulasi elite secara terbuka. Belum lagi bila ada kepentingan sebagian pengurus Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
partai yang membuka kemungkinan calon lain ikut konvensi partai tersebut sebatas formalitas, tetapi tujuan utamanya untuk mengumpulkan dana politik dari yang bersangkutan.
Pertanyaan: 9. Bagaimana dengan sistem pemilihan yang ideal bagi DPD dan Persyaratan calon yang dapat diimplementasikan
Jawaban: Seperti diketahui bahwa Pemilu 2004 juga menghasilkan DPD yang diharapkan mampu mengagregasikan dan memperjuangkan aspirasi daerah yang diwakilinya. Persoalannya, hingga saat ini desain institusi DPD belum jelas arah dan tujuannya. Sebagai Iembaga baru bagian dari parlemen, DPD belum memfokuskan pada peran dan tungsi utamanya sebagai wakil daerah. Energinya kini hanya habis untuk menata sistem kelembagaan DPD agar efektif dan efisien. Kesadaran anggota DPD terhadap fungsi dan kewenangan DPD yang masih timpang dengan fungsi dan kewenangan DPR membuat mereka terjebak pada tuntutan amandemen UUD 1945 semata. Padahal banyak ketentuan perundangan di bawah UUD 1945 yang bisa diperbaiki bersamaan dengan desakan amandemen kembali atas UUD 1945. 3 Persoalan yang demikian diperparah dengan kualitas anggota DPD yang belum memahami konsep representasi dan akuntabilitas sebagai wakil daerah. Masa reses yang seharusnya dipergunakan anggota DPD untuk memberikan
3
Misalnya saja bagaimana DPD ikut serta dalam membahas RUU tidak jelas diatur dalam UU Susduk.
Justru di dalam Pasal 32 ayat 2 dan 3 UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan ketentuan itu disebutkan bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu hanya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi tertentu. Selain itu di dalam tatib DPR disebutkan bahwa DPR mengundang DPD untuk membahas RUU (usutan DPD) dalam rapat konsultasi dan hasilnya baru dilaporkan dalam sidang paripurna DPR. Ketentuan tersebut jelas-jelas menempatkan DPD pada posisi inferior dalam sistem keparlemenan. Ketentuan semacam inilah yang semestinya juga diperhatikan DPD untuk meningkatkan peran dan fungsinya sebagai bagian dari parlemen.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
pertanggungjawaban secara moral dan politik kepada para konstituennya, ternyata belum dipergunakan secara efektif. Akibatnya masyarakat di daerah masih mempertanyakan mengenai akuntabilitas DPD sebagai wakil daerah karena persoalan daerah justru semakin menumpuk meskipun telah ada lembaga DPD. Ironisnya, banyak anggota DPD yang mencoba alih profesi menjadi kepala daerah melalui pilkada secara langsung. Pada prinsipnya anggota DPR merupakan perwakilan orang (bukan wilayah) yang terdiri atas para wakil rakyat yang menang dalam pemilu legislatif melalui partai politik. DPD merupakan Iembaga mitra DPR bertindak sebagai wakil daerah. Anggota DPD tersusun dari pemilu yang lebih personal, artinya pemilu DPD adalah pemilu perseorangan dan bukan melalui partai politik. Jika mencernati fungsi dan kewenangan dari DPR dan DPD saat ini maka akan terlihat sangat timpang. DPR bersama pemerintah memiliki kewenangan membuat UU, sedangkan DPD tidak memiliki fungsi legislasi. DPD hanya berfungsi sebagai 'corong' daerah untuk membahas dan mengartikulasikan kepentingan dan persoalan daerah untuk kernudian dibahas lebih lanjut dalam DPR. Praktik seperti itu sering disebut sebagai "soft bicameral'. Dalam sistem Strong bicameral, kedua kamar (chambers) memiliki hak dan fungsi yang hampir sama. Posisi DPD dapat dikatakan ‘mandul' karena tidak bisa berbuat banyak sebagai mitra DPR. Untuk urusan Daerah pun DPD hanya bisa mengusulkan kebijakan tanpa bisa ikut mempersiapkan, membahas, dan menetapkannya. Fungsi DPD tidak lebih dari fungsi yang dimiliki Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Selain itu, pembatasan jumlah anggota DPD sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 1945 (amandemen) tidak memiliki dasar yang kuat. Jika asumsinya perwakilan daerah maka yang menjadi pijakan adalah titik berat otonomi daerah. Penekanan basis propinsi sebagai perwakilan DPD bisa dipahami jika wakil masing-masing propinsi memahami betul wilayahnya termasuk kebutuhan kabupaten/ kota setempat. Kehadiran lembaga DPD dalam sistem politik Indonesia sangat terkait dengan agenda desentralisasi dan otonomi daerah. Konsekuensi logis dari hal ini adalah bahwa setiap anggota DPD semestinya paham dan peka terhadap persoalan dan keinginan daerah yang diwakilinya. OIeh karena itu dalam rangka meningkatkan Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
kepekaan dan kapasitas anggota DPD dalam memperjuangkan kepentingan daerah perlu dibentuk Kantor Perwakilan DPD di setiap propinsi di Indonesia. Kantor ini difungsikan sebagai pusat pelayanan terpadu bagi konstituen atau lembaga daerah dan stake-holders lainnya yang memiliki persoalan dengan kebijakan Pusat dalam pengaturan Daerah. Di samping itu, konsultasi antara DPD dengan stakeholders di daerah pemilihannya (propinsi/kabupaten/kota) terutama dengan DPRD dan Pemda perlu diformalkan melalui pertemuan khusus untuk membicarakan persoalan daerah. Dalam hal ini momentum pertemuan di satu pihak menjadi sarana bagi anggota DPD untuk mensosialisasikan kebijakan nasional yang berkaitan dengan Daerah -sebagai bagian dari kewajibannya, dan di pihak lain DPRD beserta Pemda memberikan semacam daftar inventarisasi masalah (DIM) daerah kepada DPD. DPD sebagai lembaga yang mewaklli daerah diasumsikan Iebih mengetahui persoalan daerah dan membawa aspirasi masyarakat Daerah. Oleh karena itu, DPD berhak ikut menetapkan – tidak sekedar mengusulkan – kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan Daerah yang diwakilinya melalui mekanisme sidang Panitia Bersama DPR dan DPD. Memang di dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak terdapat aturan mengenai sidang-sidang gabungan DPR dan DPD yang dapat diselenggarakan setiap saat. Bahkan, istilah-istilah "dua kamar'', "sidang gabungan" atau “pengambilan keputusan" oleh MPR itupun tidak ada dalam amandemen. DPD seharusnya menjadi eerste kamer dengan peran strategis, termasuk peran investigasi dalam impeachment terhadap Presiden, investasi asing penjualan sumber daya alam dan aset negara, dan bukan sekedar Dewan embel-embel 4 . ldealnya, sidang gabungan MPR, atau bahkan sidang DPD saja, seharusnya juga bisa memanggil Presiden dan menteri-menterinya setiap kali
dibutuhkan
dalam
persoalan-persoalan
penting
yang
menjadi
wilayah
kewenangannya. Selain itu, untuk kepentingan peningkatan peran DPD dalam sistem keparlemenan di lndonesia, maka diperlukan adanya pembentukkan Panitia Bersama
4
Sri Bintang Pamungkas, "Kegagalan Sistem MPR Pasca-Amandemen", Sinar, Harapan, 14 Januari
2003.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
(joint committee) antara DPR dan DPD. Panitia ini membahas hal-hal di luar sidang gabungan paripurna untuk membahas dan melakukan perubahan UUD, melantik Presiden dan Wapres,memberhentikan Presiden dan atau Wapres sesuai mekanisme Pasal 7B UUD 1945, serta mendengarkan pidato Presiden pada penyampaian nota keuangan dan RAPBN. Secara khusus, panitia ini membahas dan memutuskan (legislasi) secara bersama-sama (DPR, DPD, dan Presiden) terhadap RUU yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan Pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan Pusat dan daerah. Jika terjadi deadlock atau ketidaksepakatan antara DPR dan DPD di dalam Rapat Panitia Bersama, perlu dibentuk forum Panitia Kerja Bersama (conference committe). Conference committee adalah forum konsultasi antara DPD dan DPR untuk menyelesaikan perbedaan pandangan tentang suatu isu atau kasus yang tidak dapat diselesaikan pada sesi Panitia Bersama. Dalam jangka menengah dan atau panjang perlu diterapkan sistem strong bicameralism (bikameral penuh) dengan memberikan hak dan fungsi legislasi kepada DPD. Penerapan bikameral penuh akan mencerminkan adanya keterwakilan yang menyeluruh, di mana DPR mewakili dan menyuarakan aspirasi orang, sedangkan DPD mewakili dan menyuarakan aspirasi wilayah. Sementara untuk penguatan dan perluasan basis keanggotaan DPD, penataan yang diusulkan adalah meningkatkan basis perwakilan DPD dan mendorong terjadinya pengelompokkan di parlemen. Oleh karena Itu perlu adanya perluasan basis keterwakilan calon DPD, yang tidak hanya berasal dari calon perorangan/independen, tetapi juga berasal dari anggota partai politik secara perseorangan. Perluasan basis keanggotaan DPD bagi anggota partai politik ini tidak mengurangi esensi DPD sebagai lembaga perwakilan wilayah di satu pihak, dan prinsip keterwakilan yang bersifat perseorangan di lain pihak. Dengan demikian DPD makin memiliki basis dukungan yang lebih kuat sekaligus sebagai "modal" bagi sistem perwakilan yang mengarah pada strong bicameralism sehingga secara bertahap kedudukannva hampir sama dengan DPR. Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Untuk mengarahkan pada penguatan basis dukungan DPD, maka setiap calon anggota DPD diharuskan memperoleh dukungan awal 3% dari jumlah pemilih di daerah yang akan diwakilinya. Sedangkan untuk mendekatkan hubungan antara anggota DPD dengan daerah yang diwakilinya, maka propinsi sebagai daerah pemilihan DPD perlu di bagi kedalam empat sub-daerah pemilihan sesuai dengan jumlah Wakil DPD pada setiap propinsi. Melalui pembagian ke dalam empat subdaerah pemilihan pada setiap propinsi ini, maka keterwakilan setiap anggota DPD lebih jelas dibandingkan sebelumnya.
Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden Rl
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net