Larantuka Aku menelusuri artimu dalam setiap tapak Sekelebat bayang tentang tanahmu mewarnai setiap jengkal misteri alam Gelora rindu megepung hasrat untuk tersirat kembali Sebuah bingkai kata yang selalu meresap kalbu, bagai gadis dengan pesona tenunnya Hingga pada larik malam ini ia kembali menari Menyusup dalam sela asa Merayu dalam puing kerinduan Meronta pada tabir kelam Sampai pada terciptanya aku untuk namanya Mungkin malam dan rindu telah tenggelam dalam selat gonzalu Melingkari makna pada artinya adabmu Di bawah langit Reinha Rosari Nuansa leluhur telah mengepung nisan Meninggalkan rasa yang deras merekat Kembalilah .... Kegamangan itu begitu memuncak untuk kuhentikan Rindu yang bersatu di rahim selat gonzalu terlalu tajam untuk ku sirnakan Biarkan kata ini bermain di bawah langit malam Karna kita berada pada langit yang sama Maka biarkan langit yang menjadi penghantar pada bentangan nuansa kerinduan Mungkin sekembalinya pagi Kita akan bertemu pada tepian lautmu
Memaknai kembali misteri yang tertunda di bawah langit Kita akan mengisah seribu kisah seperti dulu aku bermain ombakmu Seperti dulu aku berlari di pinggir pantaimu Seperti dulu aku berenang dan bermimpi bersamamu Larantukaku Larantukamu Larantuka kita
Bogor, 21 Maret 2016
Lembayung Senja Tersapu Rinai Hujan Sombong? Kata hujan sore ini, ketika lembayung senja berkiprah sebagai pengakhir hari. Ada halilintar turut mengejek. Gelagak anima resah berlarian menuju peneduh Ahahaha Keindahan rona jingga tak selama disangsikan sebagai suatu karya alam dan pencipta-Nya yang mutlak. Lihat!! Dua sejoli yang berlarian ketika rinai hujan menikam kisah percintaan mereka. Apa mereka bertahan menyaksikan garis pembatas yang merona itu. Katanya lembayung adalah penyejuk tentang cinta dan rasa yang mencakrawala. Tapi kenapa mereka tak bertahan dalam suatu keindahan yang memang dinobatkan kerajaan alam sebagai rekayasanya untuk pengakhir cerita hari yang berujung indah. Tidak bagi mereka Lihat anima-anima penakut itu! Yang resah dan saling menyalahkan Yang membisu di rindang pepohonan tanpa kata sambil mengiring doa keresahan Yang terdiam di sudut-sudut bangunan, mungkin sedetik atau hembusan terakhir ia akan mematung Semua luluh lantak. Muntahan cakrawala dalam rerintik dingin memandikan
gelagak haus dan panas penantian tentang kesejukan di hati nan damai. Tapi yakinkah itu? Hahaha Segalanya adalah keserakahan menyegala. Setiap dan setiap-setiapnya adalah penikmat tak selamanya nikmat Seperti lembayung senja meresahkan keindahannya disapu hujan lalu ia kalah dalam kelam menunggu senja akan datang lagi. Mungkin rerinai itu akan sirna dalam akar bumi yang haus batinnya. Yang haus ketenangannya. Alam punya cerita penutup hari.
Lukisan Hati Irama dan gemuruh kadang sejalan Meski hati tak ingin di antara Kadang tinta dan pena didera mengambang Kadang lupa bagaimana indah bertutur Hari sebelum cahaya adalah keindahan Menyapa sejuk di hati embun bernyanyi Lara duka di waktu paras batas pagi Aku tak tahu siapa dia ketika cahaya datang Lalu sepeninggal embun aku bernyanyi lagi Tintaku kian berani berlari menari Tak perlu menoleh pada embun masa silam Cukup tulis tentang resapmu di kekinian hati Cahaya telah redup di langit Wangi pepohonan dan mawar sirna disapa angin Siapa dia yang ku tulis di tengah rimba? Gubuk itu kududuki sepi dan tinta mimpi tertidur Kutemukan kau di ambang lumpur hitam Nyalakan lentera hati agar bisa melihatmu Tintaku berteriak kaukah yang dinisankan itu Diam tanpa kata sekejap hadir di rimba mimpi Yang saat ini ku lakukan Adalah aku hanya ingin pergi Adalah aku hanya ingin berlari Sampai ku temukan laut dan senja
Mungkin akan ku temukan siapa pemilik kisah ini.
Kota Hujan, awal Desember 2014.