D Daftar aftar IIsi si Pengantar Redaksi
ii
Laporan Utama
1
Mangrove dan Keutuhan Indonesia Oleh: Onrizal
Artikel
6
Mangrove, Nelayan, dan Kita Oleh: Orizal
Liputan
Kegiatan Rapat Fasilitasi Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) di Proponsi NAD
12
Oleh: Tri Susmalinda, S.Si
Profil
Timor Ginting
Oleh: Nurul Muslikah, S.Pi dan Tri Susmalinda, S.Si
14
Berita Gambar
17
Artikel Teknik Penanaman Mangrove pada Areal Pasang Surut Berombak Besar
23
Silvofishery Sebagai Alternatif Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir
25
Biofuel Nipah dan Nyamplung
31
Oleh: Rita S. Christina Sinaga, S.Hut Oleh: Susan Natalia Tarigan, S.Hut Oleh: Ika Noor Muslihah M
WANAMINA i
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Pengantar Redaksi Para pembaca yang berbahagia, dengan senang hati kami mempersembahkan “Buletin WANAMINA sebagai wahana untuk penyebarluasan informasi mengenai hutan mangrove. Penerbitan ini merupakan terbitan perdana yang dikelola oleh Balai Pengelolaan Hutan Mangorve Wilayah II. Pembaca yang berbahagia Buletin WANAMINA Volume 1 Edisi 02 Tahun 2012 ini memuat berita berupa Laporan utama, artikel, berita gambar dan tokoh, dimana seluruh isi dari berita berkaitan dengan hutan mangrove. Disadari masih terdapat banyak kekurangan pada edisi ini, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang berbahagia sebagai perbaikan bagi Buletin WANAMINA. Akhirnya redaksi mengucapkan selamat membaca, semoga Buletin WANAMINA ini memberikan manfaat bagi seluruh pembaca yang berbahagia
Salam, REDAKSI
Redaksi WANAMINA (WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA) menerima tulisan/artikel/foto/gambar mengenai kehutanan dan berkaitan dengan pengelolaan hutan mangrove. Tulisan/artikel merupakan hasil penelitian, feature, peristiwa, profil, dll. Ukuran naskah/tulisan maksimum 8.000 karakter/3 halaman disertai soft file. Redaksi berhak menyunting naskah/tulisan tanpa merubah substansinya. Naskah/artikel dikirim ke alamat Redaksi WANAMINA.
Diterbitkan Oleh:
Alamat Redaksi:
BALAI PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE WILAYAH II Jl. Sisingamangaraja KM 5.5 No. 14 Marindal, Medan Sumatera Utara - 20147 Telp/Fax: (061) 7853610 Email :
[email protected] Website : http://bphm-II.sim-rlps.dephut.go.id
BALAI PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE WILAYAH II Jl. Sisingamangaraja KM 5.5 No. 14 Marindal, Medan Sumatera Utara - 20147 Telp/Fax: (061) 7853610 Email :
[email protected] Website : http://bphm-II.sim-rlps.dephut.go.id
Dewan Redaksi
No. ISSN : 2301 - 8429
Pelindung: Ir. Karjono, MP Penanggung Jawab: Ir. Bresman Marpaung Pemimpin Redaksi: Tri Susmalinda, S.Si Redaktur Pelaksana: Nurul Muslikah, S.Pi Rita S. Chistina Sinaga, S.Hut, Susan Natalia Tarigan, S.Hut Penyunting/Editor: Suyono Ir. Fauzan, MM Desain Grafis dan Ilustrator: Ika Noor Muslihah M, S.Si, Gugum Gumilar Sekretariat: Abdullah Okta Eriza, Khairul Munadi
WANAMINA ii WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Laporan Utama Mangrove dan Keutuhan Wilayah Indonesia Oleh : Onrizal PS Kehutanan, Universitas Sumatera Utara Jl Tri Darma Ujung No 1, Kampus USU Medan 20155. Email:
[email protected],
[email protected] Hutan mangrove bukan sekedar hutan yang tumbuh di daerah pasang surut pantai. Namun, bila lebih dalam kita menggali, hutan mangrove berperan penting dalam menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diperjuangkan dengan harta dan jiwa oleh para pahlawan bangsa, baik sebelum dan sesudah kemerdekaan. Benarkan demikian? Jika ya, apa argumentasinya dan bagaimana caranya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tulisan ini dimulai dengan ulasan singkat tentang bentuk negara kita. Kemudian diikuti dengan apa dan bagaimana hutan mangrove menjaga keutuhan NKRI. Indonesia, negara kepulauan Perjuangan Indonesia sebagai negara kepulauan yang diakui dunia tidaklah mudah. Ketika negara kita diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, kita baru merdeka secara politik, bebas dari belenggu kolonialisme bangsa lain, namun belum di bidang kehidupan lainnya, misalnya di bidang hukum, termasuk hukum laut (maritime law) (Sulistiyono, 2009). Sejarah mencatat, pada tahun 1960 atau 15 tahun setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, saat kita berkonfrontasi dengan Belanda mengenai masalah Irian Barat, betapa revolusionernya Bung Karno mengecam Belandaketika kapal induk Karel Dorman melintas melenggak-lenggok di laut Jawa, namun Bung Karno (dan kita sebagai bangsa) juga tidak bisa melakukan apa-apa (Wirajuda, 2009), hanya sekedar bisa mengecam saja. Mengapa? Karena laut Jawa yang dilalui kapal induk Belanda itu merupakan perairan laut internasional, peraiaran bebas, sehingga tidak termasuk wilayah negaraIndonesia meskipun berada diantara pulau-pulau milik Indonesia. Berdasarkan hukum laut yang berlaku saat itu, yakni Staatblad tahun 1939 No. 442 mengenai 'Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie' (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim) yang merupakan produk pemerintah kolonial Belanda.
Dalam Staatblad tahun 1939 No. 442 dijelaskan bahwa laut teritorial Hindia Belanda adalah tiga mil laut dari garis air surut pulaupulau (termasuk batu karang dan gosong) atau bagian-bagian pulau yang termasuk wilayah Hindia Belanda. Di luar jarak tiga mil itu merupakan laut internasional atau laut bebas. Jadi dengan demikian, Hindia Belanda menggunakan konsep 'pulau demi pulau' sehingga fungsi laut dalam negara kepulauan sebagai pemisah (Sulistiyono, 2009) bukan pemersatu atau penghubung. Perlu waktu 25 tahun bagi Indonesia untuk menyakinkan masyarakat dunia dalam melakukan dekolonisasi hukum laut warisan Belanda, bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state). Dimulai dari Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 sampai pada pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika (BAKORKAMLA, 2009, Wirajuda, 2009). Dalam kurun waktu seperempat abad itu, tentu sangat besar pengorbanan oleh bangsa Indonesia dalam memperjuangkan pengakuan masyarakat internasional akan keutuhan Indonesia sebagai negara kepulauan. Pemerintah Indonesia melalui deklarasi yang dibacakan Perdana Menteri Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 mengklaim bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulaupulau yang termasuk daratan negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas dan lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar wilayah daratan negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Republik Indonesia. Batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut.
WANAMINA 1
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Prinsip-prinsip negara kepulauan yang diperjuangkan Indonesia tersebut kemudian diakui oleh Konvensi PBB tentang hukum laut atau UNCLOS 1982 (BAKORKAMLA, 2009, Sulistiyono, 2009, Wirajuda, 2009). Dengan pengakuan tersebut, menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terluas di dunia dengan wilayah daratan sekitar 1,937 juta km2, luas laut kedaulatan 3,1 juta km2, dan luas laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 2,7 juta km2 (Sulistiyono, 2009). Lalu, apa kaitannya dengan hutan mangrove? Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia terdiri dari 17.508 pulau dengan 95.161 km garis pantai (BAKORKAMLA, 2009). Sebagian daerah pantai tersebut ditumbuhi oleh hutan mangrove dari beberapa meter sampai beberapa kilometer, yakni pada pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hasil analisis spasial oleh Giri et al. (2011) menyatakan bahwa Indonesia memiliki hutan mangrove seluas 3.112.989 ha atau 22,6% dari seluruh hutan mangrove di dunia (13.776.000 ha), sehingga Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Wilayah pantai setiap saat menghadapi ancaman abrasi atau erosi pantai akibat gelombang dan arus laut, sehingga kawasan pantai bersifat tidak stabil. Salah satu fungsi hutan mangrove adalah menjaga kestabilan pantai.
Gambar 1. Kombinasi akar tunjang, akar nafas dan percabangan pepohonan di hutan mangrove yang masih terjaga baik di Nias tidak saja melindungi pantai dari abrasi, namun juga melindungi daerah dibelakangnya dari kerusakan akibat tsunami 26 Desember 2004 dan 28 Maret 2005 (Foto oleh Onrizal)
WANAMINA 2 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Hutan mangrove secara fisik berfungsi menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi laut dan sekaligus mempercepat perluasan lahan. Dengan demikian, hutan mangrove sekaligus berfungsi untuk melindungi daerah di belakangnya dari hempasan gelombang (Mazda et al., 2006, 2007a, 2007b, McIvor et al., 2012).Mazda et al. (2006) melaporkan bahwa setelah melewati hutan mangrove, laju tinggi gelombang laut berkurang 0,0014 dan 0,0058 per m tegak lurus garis pantai. Laju pengurangan energi gelombang tercatat 45% apabila kedalaman air sevesar 0,2 m dan 25% pada kedalaman air 0,6 m. Selanjutnya, Mazda et al. (2007a) menemukan bahwa laju pengurangan ketinggian gelombang laut sebesar 20% setiap melewati 100 m hutan mangrove yang didominasi Kandelia candel berumur 6 tahun, namun tidak berpengaruh signifikan pada hutan mangrove muda jenis. Sonneratia alba berumur 2 tahun.
Hasil penelitian McIvor et al. (2012) pada berbagai hutan mangrove menemukan bukti bahwa hutan mangrove mampu mengurangi ketinggian gelombang dalam jarak yang relatif pendek, yakni tinggi gelombang berkurang antara 13 s.d. 66% setelah melewati hutan mangrove selebar 100 m. Hasil penelitian Pratikto et al.
Gambar 2. Kombinasi akar nafas, batang dan percabangan pohon mangrove jenis Sonneratia alba mampu menjaga kestabilan pantai dan meredam energi tsunami pada 26 Desember 2004 dan 28 Maret 2005 (Foto oleh Onrizal)
Gambar 3. Rumah panggung bedinding tepas dan papan serta beratapkan anyaman daun nipah ini selamat dari tsunami karena tinggi dan energi gelombang tsunami diredam oleh hutan mangrove yang terjaga dengan baik dengan lebar minimal 300 m yang terletak antara permukiman tersebut dengan pantai (Foto oleh Onrizal)
(2002) di Teluk Grajagan, Banyuwangi juga menunjukkan bahwa keberadaan ekosistem mangrove di daerah tersebut mampu mengurangi gelombang sebesar 73,40%, dan energi gelombang sangat jauh berkurang. Pengurangan tinggi dan energi gelombang air laut tersebut karena diredam oleh hutan mangrove melalui sistem akar mangrove yang khas (seperti akar nafas, akar tunjang, akar lutut dan akar gantung) serta batang dan percabangan berbagai jenis pohon mangrove (Gambar 1, 2, 3) (Mazda et al., 2006, Ostling et al., 2009, Tanaka, 2009, McIvor et al.,2012). Sebagai contoh, di Sumatera Utara, kita kehilangan pulau Tapak Kuda (lama) di pesisir Langkat akibat hutan mangrove di pulau tersebut rusak akibat penebangan yang tidak terkendali di waktu lampau (Onrizal & Kusmana, 2008), sehingga fungsi lindungnya hilang. Wilayah pantai, selain mendapat ancaman abrasi setiap hari oleh arus dan gelombang laut, juga merupakan kawasan yang rawan bencana alam seperti tsunami dan angin badai. Pasca tsunami 26 Desember 2004, berbagai hasil penelitian menunjukkan kemampuan hutan
mangrove dalam meredam gelombang tsunami dan melindungi daerah di belakangnya. Dahdouh-Guebas et al. (2005) melaporkan bahwa di berbagai daerah pantai Sri Langka yang memiliki hutan mangrove alami yang terjaga dengan baik kerusakan yang ditimbulkan tsunami sangat kecil atau malah tidak terjadi, sedangkan kerusakan parah ditemukan pada pantai yang hutan mangrovenya telah mengalami kerusakan sebelum tsunami terjadi. Hasil penelitian lapangan serupa juga dilaporkan oleh Vermaat, & Thampanya (2005), Kathiresan & Rajendran (2005) pada pesisir pantai India, Onrizal et al. (2009) di Pulau Nias, Indonesia. Demikian pula, hasil penelitian l a p a n g a n d i A c e h
dan kemudian diikuti simulasi di lapangan oleh Yanagisawa et al. (2010) menunjukan bahwa 80% hutan mangrove berumur 30 tahun mampu bertahan dari tsunami dengan ketinggian 5 m dan menyerap energi tsunami sebesar 50%. Secara skematik, peranan hutan mangrove dan hutan pantai dalam mengurangi dampak tsunami disajikan pada Gambar 4. Selain ancaman tsunami, daerah pantai juga rawan terkena angin badai. Hasil penelitian Das & Vincent (2009) melaporkan bahwa hutan mangrove yang masih terjaga dengan baik secara nyata mampu melindungi daerah di belakangnya dari angin badan dan mencegah terjadinya korban nyawa bagi penduduk yang bermukin di daerah belakang hutan mangrove akibat angin badai tersebut. Penutup dan rekomendasi Hasil-hasil penelitian tersebut memberikan buktibukti ilmiah kepada kita betapa besarnya peranan hutan mangrove dalam menjaga kestabilan pantai, tidak saja dari ancaman abrasi pantai yang sifatnya harian, namun juga bencana alam yang dahsyat seperti tsunami dan angin badai yang tidak dapat kita prediksi kapan terjadinya. WANAMINA 3
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Lalu, bagaimana pantai-pantai di Indonesia yang secara alami ditumbuhi hutan mangrove, kemudian hutan mangrovenya rusak atau malah hilang sama sekali? Tentu secara nyata akan menyebabkan pantai-pantai tersebut tidak stabil, terabrasi atau tererosi, sehingga tidak saja kita kehilangan banyak wilayah pantai, namun juga menimbulkan korban jiwa penduduk pesisir pantai. Selanjutnya, bagaimana pula kalau hutan mangrove yang rusak itu terjadi pada pantaipantai di pulau terluar Indonesia akibat ulah kita manusia? Bagaimana konsekuensi secara hukum batas wilayah terluar apabila salah satu atau beberapa
pulau terluar Indonesia tersebut hilang akibat mangrovenya rusak? Apakah titik ukur batas luar wilayah negara kita berubah, sehingga luas wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan berubah? Nah, sebelum hal tersebut terjadi menyebabkan kerumitan hukum, akankah kita terus membiarkan berbagai aktivitas yang menyebabkan hutan mangrove kita rusak? Dengan demikian, sebagai konsekuensi logisnya, mari kita jaga hutan mangrove kita yang kondisinya masih baik, jangan sampai rusak, dan merehabilitasi hutan mangrove yang rusak. Oleh karena itu, bolehlah kita populerkan slogan “hutan mangrove terjaga, keutuhan wilayah Indonesia terjamin.”
Gambar 4. Fungsi lindung hutan mangrove dan hutan pantai dalam meredam dampak tsunami (Sumber: Tanaka et al., 2011) Pustaka BAKORKAMLA. 2009. Makna negara kepulauan. Badan Koordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia. Jakarta
Giri, C., E. Ochieng, L. L. Tieszen, Z. Zhu, A. Singh, T. Loveland, J. Masek, N. Duke. 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. Global Ecology and Biogeography 20, 154–159
Das, S., J.R. Vincent. 2009. Mangroves protected villages and reduced death toll during Indian super cyclone. PNAS: 106 (18): 7357–7360
Kathiresan K., N.Rajendran. 2005. Coastal mangrove forests mitigated tsunami. Estuarine, Coastal and Shelf Science 65: 601-606
WANAMINA 4 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Mazda, Y., E. Wolanski, B. King, A. Sase, D. Ohtsuka, M. Magi. 1997b. Drag force due to vegetation in mangrove swamps. Mangroves and Salt Marshes 1: 193-199. Mazda, Y., M. Magi, K. Motohiko, P.N. Hong. 1997a. Mangroves as a coastal protection from waves in the Tong King delta, Vietnam. Mangroves and Salt Marshes 1: 127-135.
Mazda, Y., M. Magi, Y. Ikeda3, T. Kurokawa, T. Asano. 2006. Wave reduction in a mangrove forest dominated by Sonneratia sp. Wetlands Ecology and Management 14:365–378 McIvor, A.L., I. Möller, T. Spencer, M. Spalding. 2012. Reduction of wind and swell waves by mangroves. Natural Coastal Protection Series: Report 1. Cambridge Coastal Research Unit Working Paper 40. The Nature Conservancy and Wetlands International. 27 pages. ISSN 2050-7941. U R L : http://www.naturalcoastalprotection.org /documents/reduction-of-wind-andswell-waves-by-mangroves Onrizal, C. Kusmana, M. Mansor. The effect of tsunami in 2004 on mangrove forests, Nias Island, Indonesia. Wetland Science 7 (2): 130-134 Onrizal, C. Kusmana. 2008. Studi ekologi hutan mangrove di pantai timur Sumatera Utara. Biodiversitas 9 (1): 25-29 Ostling, J.L., D.R. Butler, R.W. Dixon. 2009. The Biogeomorphology of mangroves and their Role in natural hazards mitigation. Geography Compass 3 (5): 1607–1624
Pratikto, W.A., Suntoyo, K. Simbodho, Sholihin, Taufik, & D. Yahya. 2002. Perencanaan perlindungan pantai alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002. Sulistiyono, S.T. 2009. Konsep batas wilayah negara di nusantara: kajian historis. Universitas Diponegoro, Semarang. Tanaka, N. 2009. Vegetation bioshields for tsunami mitigation: review of effectiveness, limitations, construction, and sustainable management. Landscape Ecol Eng 5:71–79 Tanaka, N., K.B.S. N. Jinadasa, M.I.M. Mowjood, M.S.M. Fasly. 2011. Coastal vegetation planting projects for tsunami disaster mitigation: effectiveness evaluation of new establishments. Landscape Ecol Eng (2011) 7:127–135 Vermaat, J.E., U. Thampanya. 2005. Mangroves mitigate tsunami damage: A further response. Estuarine, Coastal and Shelf Science 69: 1-3 Wirayuda, H. 2009. Menlu RI : Mochtar Kusumaatmadja, pejuang Konsepsi Negara Kepulauan. Tabloid Diplomasi 17: 8-9 Yanagisawa, H., S. Koshimura, T. Miyagi, F. Imamura. 2010. Tsunami damage reduction performance of a mangrove forest in Banda Aceh, Indonesia inferred from field data and a numerical model. Journal of Geophysical Research 115, C06032, doi:10.1029/2009JC005587
WANAMINA 5
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Artikel Mangrove, nelayan dan kita Onrizal PS Kehutanan, Universitas Sumatera Utara Jl Tri Darma Ujung No 1, Kampus USU Medan 20155. Email:
[email protected],
[email protected]
Wisata alam dan wisata kuliner merupakan atraksi andalan pariwisata dunia saat ini, termasuk dunia pariwisata di Indonesia. Bila kita ke wilayah bagian selatan Jepang, misalnya ke pulau Iriomote, menjelajahi hutan mangrove dengan kayak (Gambar 1) atau kapal (Gambar 2) merupakan salah satu atraksi wisata alam yang banyak ditawarkan dan banyak peminatnya, tidak saja wisatawan lokal, namun juga wisatawan manca negara. Jepang dengan luas hutan mangrove yang hanya dalam hitungan ratusan hektar, mampu menghasilkan devisa yang tidak sedikit tanpa merusak sumberdaya hutan mangrove yang dimilikinya. Hutan mangrove juga merupakan objek penelitian yang sangat menarik dalam skala global (Gambar 3).
Gambar 1. Jelajah mangrove dengan kayak merupakan salah satu atraksi wisata yang ditawarkan dan banyak diminati pengujung di Pulau Iriomote, Jepang (Foto oleh Prof Tadashi Kajita, Chiba Univ).
Namun, Indonesia yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia (3.112.989 ha atau 22,6% dari hutan mangrove dunia) (Giri et al., 2011) belum mampu menjadikan kegiatan wisata alam di hutan mangrove yang sangat luas tersebut sebagai salah satu andalan pendapatan devisa negara. Pada beberapa wilayah di Indonesia, seperti di hutan mangrove Bali, dan hutan mangrove di Angke Kapuk, Jakarta telah dimulai pembangunan sarana prasarana yang mendukung wisata alam mangrove. Selain melihat berbagai keunikan vegetasi mangrove, seperti perakarannya yang khas, hutan mangrove juga menyediakan atraksi pemancingan ikan, udang dan kepiting serta atraksi pemantauan burungburung air.
Gambar 2. Wisata mangrove dengan kapal menelusuri sungai di taman nasional yang sebagian besar di dominasi hutan mangrove di Pulau Iriomote, Jepang (Foto oleh Prof Tadashi Kajita, Chiba Univ)
Gambar 3. Para peneliti muda dari berbagai negara dan institusi di Asia dan Australia dengan bimbingan profesor senior dari Jepang menjadikan hutan mangrove sebagai objek penelitian dan sekaligus objek wisata (Dokumen JSPS Exchange Program for East Asian Young Researchers: Conservation Genetics of Mangroves, 2010)
WANAMINA ii WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Meskipun wisata alam dengan objek hutan mangrove belum terlalu berkembang di Indonesia, namun wisata kuliner berbasis berbagai produk perikanan tangkap dari ekosistem peraiaran mangrove berkembang pesat dan menjadi salah satu favorit bagi banyak pengunjung. Berbagai restoran di hotel, pusal perbelanjaan seperti mal, rumah makan, cafe sampai warung di pinggir jalan menyediakan berbagai olahan masakan dari kepiting, udang, ikan kerapu, ikan jenahar (Gambar 4) dan lainnya dengan label “Sea Food” sebagai menu andalan untuk manarik pengunjung. Tidak semua tahu, atau mungkin sebagian besar, berbagai menu itu dihasilkan dari perairan ekosistem mangrove, karena judul terkecoh oleh label menunya: “sea food” yang secara harfiah diartikan makanan laut.
Gambar 4. Aktivitas nelayan dan berbagai produk perikanan yang dihasilkan dari perairan ekosistem mangrove (Foto oleh Onrizal) Mangrove dan perikanan pantai Hutan mangrove yang tumbuh di wilayah pesisir pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut memiliki nilai penting dalam mendukung produktivitas ekosistem pesisir. Al Rasyid (1986) melaporkan bahwa produksi udang sangat terkait dengan produksi serasah mangrove. Walters et al. (2008) menginformasikan bahwa 80% species biota laut yang komersial diduga sangat
tergantung pada kawasan mangrove di kawasan Florida, USA, kemudian 67% spesies hasil tangkapan perikanan komersial di bagian timur Australia, dan hampir 100% udang yang ditangkap pada kawasan ASEAN bergantung pada kawasan mangrove (Macintosh, 1982). Namun akibat akses yang mudah dan nilai kegunaan (biodiversitas dan lahan) mangrove yang tinggi, kini sumberdaya mangrove menjadi salah satu sumberdaya tropis yang terancam
WANAMINA 7
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
kelestariannya (Valiela et al., 2001) ditambah lagi dengan pemanfaatan yang kurang atau tidak memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya mangrove. Konversi hutan mangrove terus meningkat untuk dijadikan lahan pertanian atau tambak ikan/udang, sehingga menyebabkan penurunan produktivitas ekosistem tersebut (Dave, 2006, Primavera, 2005). Kondisi serupa juga terjadi pada hutan mangrove di Sumatera Utara. Hasil review peta sebaran potensi mangrove tahun 2011 oleh BPHM Wilayah II (2011) menunjukkan bahwa dari hutan mangrove seluas 151.409,73 ha di Sumatera Utara sebagian besar (85,5%) sudah tidak berhutan lagi karena sudah dikonversi menjadi areal selain hutan mangrove, seperti tambak, perkebunan, persawahan, permukiman danLabu, areal pertanian lainnya. Hanya Arboretum di Pantai Sumut 21.952,12 ha (14,5 %) saja yang masih berupa hutan mangrove baik dengan kondisi tutupan vegetasi yang rapat maupun kurang rapat (jarang). Kondisi tutupan hutan mangrove di Sumatera Utara pada tahun 2011 tersebut menunjukkan kehilangan hutan mangrove yang sangat besar dibandingkan kurun waktu sebelumnya. Hasil interperatasi Peta Landuse Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara pada tahun 1977 (Bakosurtanal, 1977 dalam ITTO & Ditjen RLPS, 2005) menunjukkan bahwa di pesisir timur Sumatera Utara saja terdapat sekitar 103.415 ha hutan mangrove. Sebagian besar (89.093 ha atau 86,2%) hutan mangrove tersebut berupa hutan mangrove primer dan sisanya (14.322 ha atau 13,8%) sebagai hutan mangrove sekunder. Berdasarkan administrasi pemerintahan, sebagian besar hutan mangrove tersebut terdapat di Kabupaten Langkat dengan luas sebesar 45.909 ha (44,4%), kemudian diikuti oleh Kabupaten Deli Serdang (21.051 ha atau 20,4%), Kabupaten Asahan (18.785 ha atau 18,2%) dan paling kecil luasannya pada Kabupaten Labuhan Batu (17.670 ha atau 17,1%). Hasil kajian Onrizal (2010) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1977 – 2006, luas hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara terus berkurang. Jika dibandingkan dengan hutan mangrove tahun 1977, pada tahun 1988/1989, 1997, dan 2006 hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara secara berturut-turut terus berkurang, yakni sebesar 14,01% (tersisa menjadi
WANAMINA 8 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
88.931 ha), 48,56% (tersisa menjadi 53.198 ha) dan 59,68% (hanya tersisa 41.700 ha) dari luas awal sebesar 103.415 ha pada tahun 1977. Sebaliknya penggunaan lahan selain hutan mangrove yang pada tahun 1977 tidak dijumpai, kecuali tambak sebesar (308 ha), pada tiga pengukuran berikutnya terus meningkat, yakni 16.469 ha pada tahun 1988/1998, 50.247 ha pada tahun 1997, dan 61.746 pada tahun 2006 (Gambar 5).
Gambar 5. Perubahan tutupan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara. Luas total hutan mangrove (THM), hutan mangrove primer (HMP) terus menurun dalam kurun waktu 1977/2006. Sebaliknya luas hutan mangrove sekunder (HMS) dan areal non hutan mangrove (NHM) karena konversi hutan mangrove terus bertambah dalam kurun waktu yang sama (Sumber: Onrizal, 2010)
Penggunaan lahan hutan mangrove menjadi selain hutan mangrove terutama adalah konversi untuk areal pertambakan, perkebunan, permukiman dan areal pertanian lainnya. Selain itu, areal hutan mangrove juga berkurang akibat abrasi yang diawali oleh rusaknya tegakan hutan mangrove akibat konversi dan penebangan dalam skala yang besar. Perubahan luas hutan mangrove primer menjadi hutan mangrove sekunder terutama disebabkan oleh aktivitas penebangan, baik untuk industri kayu arang maupun kayu bakar dan perancah (Onrizal, 2010). Perubahan dari hutan mangrove primer dan sekunder menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan oleh konversi, terutama pembukaan areal untuk pertambakan dan pertanian. Areal tambak pada tahun 1977 hanya terdapat di Kabupaten Deli Serdang seluas 308 ha, namun pada tahun 1988/1989, areal tambak menyebar dan bertambah pada daerah lain di pesisir timur Sumatera Utara, yakni sebesar 1
10.333 ha atau bertambah seluas 10.025 ha dalam kurun waktu 12 tahun. Areal tambak pada tahun 1988/1989 terluas terdapat di Kabupaten Deli Serdang (4.786 ha atau 46,32%), kemudian diikuti Kabupaten Langkat (4.462 ha atau 43,18%), Kabupaten Asahan 1.053 ha atau 10,19%) dan sisanya di Kabupaten Labuhan Batu (hanya 32 ha atau 0,31%). Hasil inventarisasi BP DAS Wampu Sei Ular (2006) menunjukkan areal tambak di Kabupaten Langkat meningkat menjadi 7.397,47 ha, di Kabupaten Deli Serdang menjadi 4.842,95 ha. Areal mangrove di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu pada tahun 2006 juga meningkat dibandingkan tahun 1988/1989, yakni secara berturut-turut menjadi 1.106,50 ha dan 2.555,00 ha (BP DAS Asahan Barumun, 2006). Dengan demikian, areal tambak di pesisir timur Sumatera Utara pada tahun 2006 mencapai 15.901,92 ha atau dalam kurun waktu 1988/1989 sampai 2006 areal tambak bertambah seluas 5.568,92 ha dalam kurun waktu 17 tahun. Luas tambak tahun 2006 ini tidak termasuk areal yang tambak yang berada di sistem lahan KHY yang mencapai 9.189,50 ha karena pada inventarisasi tahun-tahun sebelumnya tidak dihitung. Rusak dan hilangnya hutan mangrove di Sumatera Utara telah menyebabkan peningkatan ancaman kepunahan pada biodiversitas yang tergantung maupun yang berasosiasi dengan sumberdaya mangrove tersebut. Hasil uji t berpasangan (paired t-test) menunjukkan perbedaan nyata keanekaragaman jenis ikan yang tertangkap nelayan di pesisir timur Sumatera Utara pada saat hutan mangrove masih baik dan setelah hutan mangrove mengalami kerusakan dan hilang. Sekitar 65,7% dan 27,5% komoditas perikanan tangkap di pesisir pantai secara berturut-turut menjadi sulit atau malah tidak pernah tertangkap lagi oleh nelayan setelah hutan mangrove rusak dan hilang (Onrizal et al., 2009). Hal ini sejalan dengan hasil inventarisai BPDAS Wampu Sei Ular (2006) yang menyatakan lebih dari 94% hutan mangrove di Kabupaten Langkat telah mengalami kerusakan dan dikonversi untuk penggunaan lahan selain mangrove. Dampak lanjutan kerusakan dan kehilangan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara adalah menurunnya secara nyata pendapatan nelayan
adalah 40.5%, yakni dari rata-rata Rp 2.413.941 setiap bulannya ketika hutan mangrove masih baik) menjadi to Rp 1.436.383 per bulannya setelah hutan mangrove rusak atau hilang (Onrizal et al., 2009). Konversi hutan mangrove di pantai N a p a b a l a n o , S u l a w e s i Te n g g a r a j u g a menyebabkan berkurangnya secara nyata populasi kepiting bakau (Scylla serrata) di wilayah tersebut (Amala, 2004). Hasil penelitian Mulya (2000) di Suaka Margasatwa Karang Gading dan L a n g k a t Ti m u r L a u t ( S M K G LT L ) j u g a menunjukkan hal yang sama. Kerusakan tegakan hutan mangrove menyebabkan penurunan populasi kepiting. Bila kita membaca secara global, kehilangan habitat merupakan faktor penyebab utama kehilangan jenis berbagai keanekaragaman hayati baik sebagai faktor tunggal maupun berasosiasi dengan faktor penyebab kerentanan lainnya, seperti eksploitasi berlebihan, introduksi jenis asing, interaksi antar jenis secara alami (pemangsa atau pesaing), polusi dan bencana alam. Hasil analisis oleh Venter et al., (2006) menunjukkan bahwa kehilangan habitat memiliki kontribusi 84% yang mengancam kehilangan jenis, diikuti oleh kegiatan eksploitasi berlebihan (32%), interaksi antar jenis secara alami (31%), bencana alam (27%), polusi (26%) dan introduksi jenis asing (22%). Penutup: apa peran kita? Kini, bagi kelompok masyarakat yang bukan nelayan atau aktivitas pekerjaannya tidak terkait dengan sumberdaya mangrove, cukuplah berbagai fakta-fakta ilmiah yang telah disajikan menjadi bekal untuk dapat memahami keterkaitan antara kerusakan hutan mangrove dengan menurunnya secara nyata hasil tangkap dan pendapatan nelayan, sehingga masyarakat nelayan semakin miskin dan bertambah terus populasinya seiring dengan kerusakan hutan mangrove. Rupanya, dampaknya tidak berhenti sampai pada nelayan, kerusakan mangrove tersebut akan terus berpengaruh pada perekonomian lokal, regional dan global. Mengapa demikian? Karena mangrove di sepanjang zona pantai merupakan sumberdaya alam penting bagi manusia sebagai sumber makanan, serat, dan pendapatan (Johsi et al., 2006)
WANAMINA 9
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
serta vital secara ekonomi, baik skala lokal maupun nasional (FAO, 1982; Dahdouh-Guebas et al., 2000). Oleh karena itu, apapun profesi kita, mari terlibat aktif baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan: menjaga hutan mangrove yang masih baik, dan merehabilitasi hutan mangrove yang telah rusak. Sehingga, hutan mangrove yang baik tidak saja mensejahterakan nelayan, namun juga menjamin cadangan sumber protein hewani kita dari berbagai produk perikanan tangkap di pesisir pantai dan yang lebih penting lagi adalah menjamin kesempatan yang sama bagi generasi selanjutnya untuk merasakan manfaat dari hutan mangrove. Apakah anda setuju dengan saya? Semoga: Ya! Pustaka Al Rasyid, H. 1986. Jalur hijau untuk pengelolaan hutan mangrove di Pamanukan, Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan 475: 29-65
Dahdouh-Guebas F., C. Mathenge, J.G. Kairo, & N. Koedam. 2000. Utilization of mangrove wood products around Mida Creek (Kenya) amongst subsistence and commercial users. Economic Botany 54 (4): 513-527. Dave, R. 2006. Mangrove ecosystem of south, west Madagascar: an ecological, human impact, and subsistence value assessment. Tropical Resources Bulletin 25: 7-13 FAO. 1982. Management and utilization of mangroves in Asia and the Pacific. FAO Environmental Paper 3. FAO: Rome Giri, C., E. Ochieng, L. L. Tieszen, Z. Zhu, A. Singh, T. Loveland, J. Masek, N. Duke. 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. Global Ecology and Biogeography 20, 154–159
Amala, W.A.L. 2004. Hubungan konversi hutan mangrove dengan kemelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata) di pantai Napabalano, Sulawesi Tenggara. Tesis Magister Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
ITTO & Dirjen RLPS. 2005. Review of data and information of mangrove forest ecosystem at North Sumatra Province. Jakarta: I n t e r n a t i o n a l Tr o p i c a l T i m b e r Organization (ITTO) & Directorate General of Land and Forest Rehabilitation Development, Ministry of Forestry (Ditjen RLPS)
BP DAS Asahan Barumun. 2006. Inventarisasi dan identifikasi lahan kritis mangrove di 4 (empat) kabupaten (Asahan, Labuhan Batu, Nias, dan Nias Selatan) Propinsi Sumatera Utara. Pematang Siantar: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Asahan Barumun.
Joshi, L., U. Kanagaratnam, & D. Adhuri. 2006. Nypa fruticans – useful but forgotten in mangrove restoration programs? World Agroforestry Centre – ICRAF Southeast Asia Regional Office: Bogor
BP DAS Wampu Ular. 2006. Inventarisasi dan identifikasi mangrove SWP DAS Wampu Sei Ular Tahun Anggaran 2006. Medan: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Wampu Sei Ular BPHM [Balai Pengelolaan Hutan Mangrove] Wilayah II. 2011. Review Peta Sebaran Potensi Mangrove Tahun 2011. BPHM Wilayah II, Medan.
WANAMINA 10 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Macintosh, D.J. 1982. Fisheries and aquaculture significance of mangrove swamps, with special reference to the Indo-West Pacific region. In: Muir, J.F., Roberts, R.J. (Eds.). Recent Advances in Aquaculture. Croom Helm, England, pp. 4–85
Mulya, M.B. 2000. Kelimpahan dan distribusi kepiting bakau (Scylla spp) serta keterkaitannya dengan karakteristik biofisik hutan mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Provinsi Sumatera Utara. Tesis Magister. Institut Pertanian Bogor: Bogor Onrizal. 2010. Perubahan penggunaan lahan hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara. Jurnal Biologi Indonesia 6 (2): 163172 Onrizal. A. Purwoko, & M. Mansor. 2009. Impact of Mangrove Forests Degradation on Fisherman Income and Fish Catch Diversity in Eastern Coastal of North Sumatra, Indonesia. Proceedings of the International Conference on Natural and Environmental Sciences 2009 (ICONES'09), May 6-8, 2009. pp: 70-74 Primavera, J.H. 2005. Mangroves, fishpond, and the quest for sustainability. Science 310 (5745): 57-58 Valiela, I., J.L. Bowen, & J.K. York. 2001. Mangrove forest: one of the world's threatened major tropical environments. Bioscience 51(10): 807-815 Venter, O., N.N. Brodeur, L. Nemiroff, B. Belland, I.J. Dolinsek, & J.W.A. Grant. 2006. Threats to Endangered Species in Canada. BioScience 56 (11): 1-8 Walters, B.B., P. Ronnback, J.M. Kovacs, B. Crona, S.A. Hussain, R. Badola, J.H. Primavera, E. Barbier, & F. Dahdouh-Guebas. 2008. Ethnobiology, socio-economic and management of mangrove forests: a review. Aquatic Botany 89: 220-236
WANAMINA 11
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Liputan KEGIATAN RAPAT FASILITASI KKMD DI PROPINSI NAD oleh : Tri Susmalinda, S.Si*
Tahun 2012 Balai Pengelolaan Hutan Mangrove melaksanakan beberapa kegiatan yang sifatnya memfasilitasi daerah, salah satunya adalah fasilitasi Kelompok kerja Mangrove Daerah. Kegiatan ini dilaksanakan di setiap propinsi diwilayah kerja Balai Pengelolaan Hutan Mangorve Wilayah II yang kelompok kerja mangrove daerahnya sudah terbentuk dan di SK kan oleh Gubernur setempat. Pada tanggal 18 september 2012 Rapat fasilitasi dilaksanakan di Kota Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Rapat ini dihadiri oleh 30 orang peserta yang berasal dari Dinas/Instansi/Perguruan Tinggi/LSM/Pakar yang mengelola hutan mangrove di Provinsi Aceh. Dari hasil diskusi rapat dapat disusun resume hasil rapat fasilitasi pengembangan Kelompok Kerja Mangrove Daerah yaitu : 1. Kelompok Kerja Mangrove Daerah Provinsi Aceh telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 18.41/478/2006 tanggal 12 Desember 2006. Melihat susunan personil Tim tersebut saat ini sudah banyak mutasi, maka dipandang perlu melakukan revisi SK tersebut. Alternative susunan tim terdiri dari tim Pembina yang berasal dari unsure eselon I dan eselon II Dinas/instansi terkait pengelolaan mangrove, tim kerja yang berasal dari unsure eselon III Dinas/instansi/Perguruan Tinggi/LSM/Pakar terkait pengelolaan mangrove serta tim secretariat yang berasal dari unsur Dinas Kehutanan dan perkebunan, BPDAS Krueng Aceh/Dinas Kelautan dan Perikanan/Badan Lingkungan Hidup/Sekretariat Daerah. Koordinator dalam proses revisi SK Gubernur diserahkan kepada Biro Perekonomian Sekretariat Daerah Provinsi Aceh; 2. KKMD Provinsi Aceh perlu menetapkan target capaian kerja yang realistis, misalkan kawasan budidaya yang harus dipertahankan tanaman mangrovenya, prioritas daerah/lokasi rehabilitasi mangrove, penegakan hukum;
WANAMINA 12 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
3. Tim KKMD menyusun schedule yang terjadwal, menetapkan secretariat tetap dan mengalokasikan demo site dalam skala luasan tertentu. Untuk biaya operasional sebaiknya instansi yang terlibat dalam susunan tim dapat mengalokasikan anggaran baik dari APBN maupun APBA (Anggaran Pendapatan Belanja Aceh) dan sumber lain yang tidak mengikat. 4. Anggota POKJA mengharapkan adanya dukungan peraturan yang dapat dijadikan acuan dalam mengoptimalkan operasional POKJA seperti peraturan presiden maupun pemerintah mengenai Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang memuat keberadaan Pokja Nasional maupun Pokja Daerah. Rumusan tersebut diatas dirumuskan dan ditanda tangani oleh : 1. Kepala Dinas Pengairan Aceh 2. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh 3. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan 4. Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Aceh 5. Biro Perekonomian Setda Aceh 6. Balai Pengelolaan DAS Krueng Aceh 7. Unsur Bappeda Aceh 8. Unsur Bapedal Aceh 9. Kakanwil BPN Aceh
WANAMINA 13
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Profil Timor Ginting
Oleh : Nurul Muslikah,S.Pi dan Tri Susmalinda, S.Si Timor Ginting lahir di medan 15 Mei 1946, istrinya bernama Suriyati br. Sebayang. Beliau mempunyai 4 orang anak, 2 laki-laki dan 2 perempuan. Beliau adalah ketua Kelompok Tani Hijau Lestari yang beralamat Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Desa Paluh Manan adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Hamparan Perak yang dapat dijangkau dengan perjalanan laut menggunakan kapal motor (boat) selama 1 jam dari daratan Hamparan Perak yang melewati kanal alam. Kelompok ini didirikan pada tahun 2007 dengan jumlah anggota 25 orang. Kelompok ini sangat didukung oleh Kepala Desa. Sdr. Timur Ginting adalah seorang abdi masyarakat yang pertama kali ikut serta dalam rehabilitasi mangrove di daerahnya. Berangkat dari kegagalan panen udang secara terus menerus setelah tambak beroperasi selama beberapa tahun. Kegagalan ini dapat disebabkan karena menurunnya kualitas lingkungan didalam dan diluar tambak itu sendiri. Tanpa petambak sadari dapat berasal dari penggunaan pestisida, pupuk dan bahan-bahan an organik yang telah digunakan sejak kurun waktu yang lama sehingga sangat mungkin terjadi penumpukan bahan-bahan tersebut yang menyebabkan penurunan kualitas air dalam tambak. Kegagalan panen juga dapat disebabkan karena banjir, sebab sepanjang wilayah pesisir hutan mangrove telah mengalami abrasi pantai. Pada tahun 2007 Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang membina Sdr. Timur Ginting dalam merehabilitasi hutan dan lahan dahulu, agar dalam usaha budidaya ikan dan udang tidak mengalami kegagalan kembali. Selama dibina Sdr. Timur Ginting diberi wawasan arti pentingnya hutan mangrove untuk ekosistem sekitarnya. Selain Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang Sdr Timor Ginting juga dibina oleh Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II melalui Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove yang diadakan pada tahun 2007 di Kota Medan. Setelah mengikuti pelatihan Sdr. Timur Ginting diberi kepercayaan oleh BPHM II untuk membuat bibit mangrove swadaya yang anggarannya berasal dari APBN BPHM II Tahun 2007 berjumlah 60.000 bibit dengan jenis Rhizophora apiculata. Untuk penanaman bibit dilakukan oleh Sdr. Timur Ginting bersama dengan masyarakat sekitar dengan tujuan untuk merehabilitasi hutan dan lahan di wilayahnya. Setelah penanaman bibit swadaya umur 2 tahun, Sdr. Timur Ginting membuat suatu model areal yaitu silvofishery/ empang parit dalam tambaknya. Silvofishery/ empang parit disebut juga wana mina yaitu : budidaya biota laut dengan tetap mempertahankan hutan mangrove sebagai pelindung sekaligus penyedia pakan alami bagi ikan dan udang. Penanaman tanaman mangrove yang biasa digunakan yaitu jenis Rhizophora sp. di dalam tambak tersebut. Sdr. Timur Ginting membuat areal model silvofishery/ empang parit dalam tambaknya dengan mengkombinasikan antara ikan mas, bandeng, udang dan kepiting. 1. Ikan mas : dalam kurun 3 bulan menunjukkan pertambahan bobot yang sangat signifikan dengan berat badan 900 gr dengan pasokan makanan yang sangat minim yaitu mengandalkan pakan alami. 2. Ikan bandeng : dipelihara selama 3-5 bulan dengan tebar sebanyak 500 ekor (1 Ha) dapat panen sebanyak 200 kg dengan size 3-6 ekor/ kg dengan masa pemeliharaan 3-4 bulan. Dapat dijual dengan harga Rp. 23.000/ kg.
WANAMINA 14 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
4.
Kepiting : dipelihara sebanyak 100 ekor dalam waktu 3 bulan dapat dipanen sebanyak 50 kg dengan size 300-500 gr/ ekor. Untuk bibit kepiting (kroyo) dibeli dari nelayan yang mencari disekitar tegakan pohon mangrove desa tersebut. Dapat dijual dengan harga Rp. 40.000/ kg. 5. Memelihara ayam petelur : sebanyak 100 ekor dalam areal model dibawah tegakan pohon mangrove. Setiap hari dapat panen telur sebanyak ± 40-50 butir/ hari, sehingga dapat menambah pemasukan untuk keluarganya. Pemeliharaan pada areal ini juga mempunyai kelebihan yaitu ayam dapat tumbuh dan berkembang secara alami tanpa adanya gangguan penyakit seperti peternak modern yang sering dirasakan selama ini. Fakta menunjukkan bahwa peternak ayam sekitarnya semua mengalami serangan p e n y a k i t s e h i n g g a
sebagian besar pada mati, sedangkan milik kelompok ini yang dipelihara di bawah tegakan pohon mangrove tidak mengalami gangguan penyakit. Hal ini, menjadi daya dorong dan semangat bagi masyarkat sekelilingnya bisa mencontoh dan meniru dengan mengkombinasikan antara ternak dan tumbuhan mangrove. Telur dapat dijual dengan harga Rp. 2.000/ butir. 6. Beternak kelinci : sebanyak 100 ekor dan setiap bulan dapat menghasilkan bibit kelinci sebanyak 500 ekor dan dalam waktu 20 hari dapat dijual dengan harga Rp. 12.000/ ekor. Fakta tersebut yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat petambak karena selama ini sering mengalami kegagalan dalam budidaya terutama untuk udang windu.Nasional.
WANAMINA 15
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Fakta tersebut yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat petambak karena selama ini sering mengalami kegagalan dalam budidaya terutama untuk udang windu. Pada tahun 2009, dengan melihat keberhasilan Sdr. Timur Ginting dalam mengelola dan memanfaatkan mangrove dengan sungguh-sungguh, BPHM II kembali memberi bantuan bibit swadaya yang ditanam oleh Sdr. Timur Ginting dan masyarakatnya melalui wadah kelompok tani yang diberi nama : Kelompok Tani Hijau Lestari yang diketuai oleh Sdr. Timur Ginting. Bibit yang diberikan sebanyak 42.000 batang dengan jenis Rhizophora apiculata sebanyak 20.000 batang dan Rhizophora mucronata sebanyak 22.000 batang. Dan pada tahun 2009 Sdr. Timur Ginting dan kelompoknya diikutsertakan pada lomba melalui Aksi Menanam Serentak Indonesia di wilayahnya yaitu Deli Serdang yang memperoleh juara ke III Nasional. Pada tahun 2010 Sdr. Timur Ginting mendapat kepercayaan lagi untuk membuat
WANAMINA 16 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
bibit dalam rangka penghijauan lingkungan sebanyak 68.000 batangdengan rincian Rhizophora apiculata sebanyak 20.000, Rhizophora mucronata sebanyak 18.000 dan Avicennia sp. Sebanyak 40.000 batang. Serta pembuatan bibit swadaya kembali sebanyak 50.000 batang dengan rincian Rhizophora mucronata sebanyak 20.000 dan Rhizophora apiculata sebanyak 30.000. Rata-rata penghasilan beliau saat ini dari semua aktifitas yang beliau lakukan adalah 4 5 juta per bulannya. Beliau selain pengurus gabungan kelompok tani (gapotan) juga termasuk pengurus LKMD. Selain bekerjasama dengan instansi kehutanan beliau juga bekerjasama dengan dinas pertanian dan dinas perikanan Sampai saat ini Pak Timor Ginting masih giat dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi mangrove. Patut diancungkan jempol buat beliau dengan kegigihan dan ketabahannya beliau bisa meningkatkan kesejahteraan keluarga serta melestarikan hutan mangrove.
Berita Gambar FOTO - FOTO KEGIATAN KERJASAMA BALAI PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE WILAYAH II DENGAN JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY (JICA) TAHUN 2012
WANAMINA 17
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
WANAMINA 18 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
FOTO-FOTO PELATIHANPEMANFAATAN HUTAN MANGROVE BAGI PETUGAS TEKNIS/PENYULUH KEHUTANAN DAN KELOMPOK TANI KABUPATEN ACEH TAMIANG TAHUN 2012
WANAMINA 19
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
WANAMINA 20 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
FOTO-FOTO PELATIHANPEMANFAATAN HUTAN MANGROVE BAGI PETUGAS
TEKNIS/PENYULUH KEHUTANAN DAN KELOMPOK TANI PROPINSI BANGKA BELITUNG TAHUN 2012
WANAMINA 21
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
WANAMINA 22 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Artikel TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA AREAL PASANG SURUT BEROMBAK BESAR Oleh Rita S. Christina Sinaga, S.Hut PEH BPHM Wilayah II
Mangrove merupakan ekosistem yang menjadi “jembatan” antara ekosistem lautan dan daratan. Mangrove menjadi ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Ekosistem mangrove memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain memberikan manfaat ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan; tempat memijah, tempat mencari makan, dan tempat asuhan berbagai biota, pengendali abrasi, intrusi air laut, dan angin kencang; penahan tsunami; memperluas daratan; dan lain sebagainya, hutan mangrove juga memberikan manfaat ekonomis antara lain sebagai penyedia berbagai hasil hutan kayu dan non kayu, serta jasa ekowisata. Manfaat - manfaat ekologis hutan mangrove yang seringkali tidak disadari oleh manusia karena tidak dapat dirasakan langsung, pada kenyataannya menjadi dikesampingkan dan manusia hanya fokus pada manfaat ekonomisnya. Hutan mangrove dieksploitasi secara berlebihan untuk memperoleh hasil hutan kayu dan non kayu serta dialihfungsikan / dikonversi untuk berbagai kepentingan seperti perkebunan, pemukiman, pertambangan, dan lain - lain. Saat ini, kondisi hutan mangrove di Indonesia sedang dalam upaya pembenahan untuk mengembalikan kondisinya menjadi lebih baik. Hutan - hutan mangrove yang tersisa, diupayakan untuk dilindungi, sedangkan hutan mangrove yang terdegradasi dan dalam kondisi memprihatinkan, diupayakan untuk direhabilitasi. Inisiatif untuk melindungi dan merehabilitasi hutan mangrove telah menyebar ke seluruh lapisan, baik dari pihak pemerintah, organisasi organisasi peduli lingkungan, maupun masyarakat umum. Agar kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan mangrove dapat berhasil sesuai dengan tujuan awal, setiap tahapan perencanaan kegiatan harus dipersiapkan dengan baik, mulai dari survey lokasi penanaman dan penentuan jenis mangrove yang cocok dengan tapak, penggunaan bahan tanaman (bibit atau benih / propagul), penentuan jarak tanam dan waktu penanaman, teknik penanaman, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Apabila lokasi penanaman untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan mangrove merupakan lokasi yang relatif tenang dan terlindung dari gempuran ombak dan gelombang, bibit
WANAMINA 23
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
atau propagul dapat ditanam langsung, tetapi apabila lokasi penanaman merupakan areal yang berombak besar, perlu teknik khusus dalam melakukan penanaman agar bibit dapat bertahan hidup. Penggunaan bibit lebih dianjurkan daripada benih / propagul karena relatif lebih mampu berdiri di dalam substrat berlumpur. Bibit mangrove yang digunakan sebaiknya telah berumur kurang lebih tiga sampai dengan enam bulan. Selain itu, untuk membantu bibit terlindung dari terjangan ombak, penggunaan tiang pancang dan ruas bambu juga telah mulai diperkenalkan. Untuk membantu memperkuat kedudukan bibit mangrove yang baru ditanam dalam substrat berlumpur, bibit dapat diikatkan pada tiang pancang yang ditancapkan di samping bibit. Tiang pancang dapat dibuat dari kayu atau bambu dengan diameter minimal 7,5 cm, panjang 1 m, dan runcing di bagian bawahnya, ditancapkan ke dalam lumpur sedalam kurang lebih 0,5 m. Untuk tiang pancang yang dibuat dari bambu, tiang dapat dilubangi agar dapat diisi lumpur saat tiang ditancapkan (Gambar 1). Alternatif lain dalam mengantisipasi terjangan ombak terhadap bibit yang baru ditanam adalah dengan menggunakan ruas bambu besar. Bambu yang digunakan dalah bambu dengan diameter 20 – 25 cm dan tinggi sekitar 1 m. Bambu ditancapkan ke dalam lumpur sedalam kurang lebih 0,5 m pada titik - titik dimana bibit mangrove akan ditanam. Bagian dalam dari ruas bambu dilubangi dan bagian bawahnya diruncingkan agar lebih mudah ditancapkan. Kemudian bambu diisi dengan lumpur dan bibit mangrove ditanamkan ke dalam bambu tersebut. Cara lainnya adalah dengan menanam bibit mangrove terlebih dahulu ke dalam substrat, setelah itu ruas bambu ditanam hingga keseluruhan bagian bibit tertutup kecuali batang dan daun bagian atas (Gambar 2). Jenis bambu yang dapat digunakan karena ukurannya yang besar adalah Bambu Betung (Dendrocalamus asper).
Gambar 1
WANAMINA 26 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Gambar 2
Silvofishery Sebagai Alternatif Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Oleh Susan Natalia Tarigan, S.Hut PEH BPHM Wilayah II
Luas mangrove Indonesia diperkirakan sekitar 23 % dari total mangrove dunia (Spalding, Blasco, dan Field 1997). Dari keseluruhan mangrove dunia, Indonesia memiliki luasan terluas (4,255 juta hektar), diikuti oleh Brazil (1,340 juta hektar), Australia (1,150 juta hektar), dan Nigeria (1,0515 juta hektar). Sedangkan FAO (1994) menyatakan bahwa luas mangrove terbesar di dunia adalah di Sundarbans yang terletak di Teluk Bengal. Saat ini, luas mangrove telah mengalami degradasi karena berbagai sebab dan permasalahan yang dihadapinya. Menurut Bengen dan Andrianto (1998) selama dalam kurun waktu 11 tahun telah terjadi degradasi hutan mangrove sebesar 47,92 % dari tahun 1982 sampai tahun 1993. Kondisi dan luasan hutan mangrove pun terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal tersebut disebabkan beberapa hal yang kurang mendapat perhatian dalam perencanaan dan pengelolaannya. Padahal posisi hutan mnagrove yang unik di antara wilayah daratan dan lautan merupakan potensi berusaha bagi kegiatan perekonomian di wilayah pantai. Faktor yang mempercepat laju degradasi mangrove antara lain : 1) Pertumbuhan ekonomi dan pertambahan populasi 2) Penggunaan lain lahan mangrove 3) Manajemen perencanaan tidak jelas 4) Pelaksanaan peraturan tidak jelas 5) Kekurangan sumber daya manusia 6) Rendahnya Kesadaran Diantara Stakeholders Kekurangansepahaman antara pihak perencana, pengelola, dan pengguna merupakan salah satu hal yang akan mempercepat kerusakan yang terjadi di hutan mangrove. Untuk itu, diperlukan kesamaan pemahaman dalam perencanaan, pengelolaan, dan pelaksanaan. WANAMINA 25
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Di Sekitar Hutan Mangrove Karakteristik umum masyarakat pesisir adalah sebagai berikut : a. ketergantungan pada kondisi ekosistem dan lingkungan. Keadaan ini berimplikasi pada kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan khususnya pencemaran, karena dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. b. ketergantungan pada musim, ini karakteristik yang menonjol di masyarakat pesisir, terutama bagi nelayan kecil. Pada musim paceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur. c. ketergantungan pada pasar. Karena komoditas yang mereka hasilkan harus segera dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka nelayan dan petambak harus menjual sebagian besar hasilnya dan bersifat segera agar tidak rusak.
Gambar Aktivitas Nelayan Melaut Kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir merupakan kelompok masyarakat yang relatif tertinggal secara ekonomi, sosial (khususnya dalam hal akses pendidikan dan layanan kesehatan), dan kultural dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Kondisi masyarakat pesisir atau masyarakat nelayan diberbagai kawasan pada umumnya ditandai oleh adanya beberapa ciri, seperti kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya, rendahnya sumber daya manusia (SDM) WANAMINA 26 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
karena sebagian besar penduduknya hanya lulus sekolah dasar atau belum tamat sekolah dasar, dan lemahnya fungsi dari keberadaan Kelompok Usaha Bersama (KUB), Lembaga Keuangan Mikro (LKM), atau kapasitas berorganisasi masyarakat. Kondisi sosial masyarakat sekitar hutan mangrove mempunyai karakteristik berbeda dengan kondisi hutan lainnya. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove di wilayah pesisir bermata pencaharian sebagai nelayan, sebagian lainnya petani, karyawan, wiraswasta, pertukangan, buruh tani, dan jasa. Mata pencaharian sebagai nelayan didorong oleh kondisi alam yang berada pada perbatasan daratan dan lautan. Sementara pekerjaan sebagai petani adalah dengan menggarap lahan daratan di sekitar tambak dengan tanaman padi.
Gambar Pemukiman Masyarakat Pesisir Penggunaan lahan masyarakat disekitar hutan mangrove pada umumnya adalah untuk jalan, sawah dan ladang, bangunan umum, empang, pemukiman/perumahan, jalur hijau dan rawa, serta pemakaman. Prasarana ekonomi masyarakat sekitar hutan mangrove adalah sarana jalan desa yang bisa ditempuh dengan sepeda motor ataupun kendaraan beroda empat. Alat transportasi yang dijumpai adalah sepeda, sepeda motor, becak, mobil, truk, perahu dayung/sampan, dan perahu motor.
WANAMINA 27
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Sistem Wanamina (Sy l vofi shery ) Wanamina (sylvofishery) adalah sistem pengelolaan hutan dengan cara tumpangsari antara tanaman hutan (mangrove) dengan budidaya perikanan atau tambak. Sistem tambak wana mina /empang parit inii terdiri dari beberapa macam pola seperti pada gambar dibawah ini : a. komplangan, b. kao-kao, c. empang parit terbuka, d. empang parit tradisional.
(a)
(c)
(b)
(d)
Keterangan : = empang = tanaman mangrove Bila dibandingkan dengan tambak murni, empang parit memiliki beberapa keunggulan, antara lain: 1. Hasil komoditi (ikan /udang/kepiting) dari empang parit lebih digemari karena rasanya lebih enak dan alami serta tidak mengandung unsur kimia, bakteri dan virus. 2. Ketahanan hidup bibit ikan selama pemeliharaan lebih baik (ikan yang mati relatif sedikit). 3. Banyak hasil-hasil tambahan seperti kepiting dan kerang yang muncul dan tumbuh dibawah tegakan mangrove sehingga secara ekonomi menjadi nilaii tambah tersendiri.
WANAMINA 28 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Silvofishery dan Perekonomian Masyarakat Pesisir
Gambar Silvofishery Di dalam ekosistem hutan mangrove ada hubungan timbal balik antara hutan mangrove sebagai penyedia pakan alami dan biota laut yang ada di dalam dan sekitar hutan mangrove. Sehingga ekosistem mangrove sangat cocok sebagai tempat tumbuh dan berkembang biaknya biota laut, seperti kepiting, ikan, udang, dll serta untuk menetap dan bertelur dalam jangka waktu tertentu yang selanjutnya hidup di laut lepas setelah dewasa. Sayangnya, hingga saat ini masyarakat pesisir hanya sebatas mengenal mangrove dari nilai batang kayu sebagai bahan baku arang. Hal ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan masyarakat terhadap nilai ekonomi sumber daya alam yang ada di sekitar mereka, baik nilai hutan mangrove secara parsial maupun secara ekosistem. Informasi dari kelompok tani Sdr. Timur Ginting yang telah berhasil menerapkan metode silvofishery di lahan miliknya mengakui keuntungan yang didapatkan melalui tambak dengan sistem silvofishery ini sangat memuaskan. Penanaman tanaman mangrove yang biasa digunakan yaitu jenis Rhizophora sp. Di dalam tambak tersebut Sdr. Timur Ginting mengkombinasikan antara ikan mas, bandeng dan udang.
WANAMINA 29
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Dalam kurun 3 bulan menunjukkan pertambahan bobot yang sangat signifikan dengan pasokan makanan yang sangat minim yaitu mengandalkan pakan alami. Komoditas tersebut adalah: ikan mas berat badan menjadi 900 gr, ikan bandeng dapat dipanen size 3-4 ekor/ kg dan udang dapat dipanen dengan size 30 ekor/ kg. Fakta tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat petambak karena selama ini sering mengalami kegagalan dalam budidaya terutama untuk udang windu. Harga jual setiap jenis ikan berbeda-beda, ikan bandeng dijual dengan harga Rp 14.000/Kg, ikan nila Rp 10.000/Kg, ikan kakap Rp 27.000 s/d Rp 30.000/Kg, dan ikan kerapu Rp 45.000/Kg. Manfaat yang dirasakan oleh masyarakat adalah : 1. Keberhasilan penanaman mangrove berdampak langsung terhadap pendapatan, yaitu dari hasil tangkapan biota laut yang lebih melimpah dibanding sebelum dibangunnya hutan mangrove (areal model). 2. Pengelolaan berbasis silvofishery dengan melakukan penanaman tanaman mangrove jenis Rhizophora sp cenderung lebih menguntungkan, tidak saja dari segi aspek ekonomi dan peningkatan pendapatan masyarakat, tetapi juga dari aspek kelestarian ekosistem mangrove. 3. Dari aspek ekonomi, model silvofishery dapat mengurangi pembiayaan untuk kebutuhan pupuk dan pakan, karena produktivitas serasah dari tanaman yang dikembangkan/ dipelihara dalam lokasi tambak mampu memulihkan kebutuhan unsur hara tanaman melalui dekomposisi serasah yang selanjutnya dapat menjadi bahan organik bagi tanaman itu sendiri maupun untuk mendukung pertumbuhan klekap yang menjadi makanan alami ikan. 4. Pada pihak lain, keuntungan dari pengembangan tambak silvofishery adalah kemampuan tanaman untuk membantu menetralisir tingkat salinitas dan keracunan pada tambak. Ikan dapat berlindung pada akar-akar mangrove, batang pohon menghambat laju gerak burung untuk menyerang ikan dalam tambak sehingga mengendalikan dampak kerugian akibat pemangsaan burung.
WANAMINA 30 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Biofuel nipah dan nyamplung Oleh Ika Noor Muslihah M Staf Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II
Pendahuluan Revolusi industri menempatkan bahan bakar minyak sebagai sumber energi utama dalam proses produksi. Konsumsi energi makin meningkat seiring dinamisnya mekanisasi alat pemuas kebutuhan dan meningkatnya populasi manusia. Diversifivikasi bagan bakar energi menjadi spot industri yang sangat potensial. Era bahan bakar yang bersumber dari fosil, adalah sumber energi yang tak terbarukan, mulai mengkhawatirkan. Defisit sumer daya mineral memnawa ancaman kepada setiap Negara pengekspor dan pengimpor sumber energy tersebut. Dari kaca mata lingkungan, konsumsi bahan bakar fosil menimbulkan dampak pada munculnya emisi karbon yang menjadi cikal bakal lahirnya Green House Gases (GHG). Pemanasan global menjadi ancaman serius yang hingga saat ini masih diupayakan pereduksiannya, disamping ancaman krisis energy. Konsep green living menjadi marak saat ini. Kesadaran manusia untuk mengeksplorasi sumber energi dari bahan yang terbarukan menjadi topik riset dan trend usaha di masyarakat. Menciptakan sumber energi untuk memenuhi kebutuhan industri maupun perorangan dalam konsep biofuel dianggap sebagai salah satu upaya dalam mengatasi krisis energi dan itikad mengurangi laju pemanasan global dengan mereduksi emisi karbon yang umumnya berasal dari bahan bakar fosil.
Nyamplung
Nipah
Ekosistem mangrove yang eksistensinya kian tergerus, ternyata menyimpan potensi bersar dalam menciptakan sumber energi ramah lingkungan yang dikenal dengan biofuel. Nyamplung (Calophyllum inophyllum) mampu disuling untuk menghasilkan bio diesel dan Nipah (Nypa fruticans) merupakan sumber bio etanol. Masyarakat perlu mengenalnya secara luas, sebagai salah satu langkah dalam mengakomodasi kebutuhan di berbagai sector. Kepada masyarakat industri sebagai pelaku usaha sekaligus pengguna energi terbarukan tersebut di atas, masyarakat pesisir dan petani mangrove sebagai komunitas yang paling dekat dengan ekosistem mangrove, maupun akademisi dan peneliti yang kedepannya diharapkan makin mengkreasikan temuan ini. WANAMINA 31
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Mengenal Nipah dan Nyamlung Tomlison (1986) dalam Kitamura, S et.al (2003) membagi spesies mangrove dalam 3 (tiga) komponen, yaitu komponen utama (hanya terdapat di hutan manrove dan membentuk tegakan murni, tidak pernah bergantung dengan kelompok tumbuhan darat); komponen tambahan atau tumbuhan pantai (biasanya terdapat pada daerah tepi dan jarang sekali membentuk tegakan murni); asosiasi mangrove (kelompok ini tidak pernah tumbuh dalam komunitas mangrove sejati dan biasanya hidup bersama tumbuhan darat. Bedasarkan penggolongan tersebut, Nipah termasuk dalam katergori komponen utama dan Nyamplung adalah asosiasi mangrove.
Mari kita kenal Nipah dan Nyamplung secara lebih detail.
Nypa fruticans Wurb
termasuk dalam family palmae. Tumbuhan ini memiliki nama
daerah seperti: bunyu, buyuh, nipah, niu-niah, dan nypa. Secara umum dilapangan pohon ini berbentuk palem dengan tinggi dapat mencapai ± 9 meter dan tanpa akar udara. Daun Nipah menyirip tanpa duri dengan jumlah helai yang banyak. Ukuran bunganya dapat mencapai 25 cm dengan bentuk membola untuk bunga betina dengan warna merah bata hingga kekuningan, dan bergerombol rapat untuk bunga jantan. Untuk buahnya sendiri dapat mencapai 45 cm dengan bentuk menyerupai bola dengan permukaan mengerucut, berwarna coklat gelap hingga merah bata bertekstur seperti kepala. Pada ekisistem yang belum terganggu biasanya tumbuh saling berdekatan dan membentuk komunitas murni di sepanjang tepi sungai. Dalam http://www.bioetanol.com.blogspot.com/ (2011) tumbuhan ini merupakan satu-satunya jenis palma dari wilayah mangrove. Fosil serbuk sari palma ini diketahui berasal dari sekitar 70 juta tahun yang silam. Daun nipah tua umunya dimanfaatkan secara tradisional untuk membuat atap rumah dengan daya tahannya mencapai 3-5 tahun. Daun nipah muda dianyam untuk membuat dinding rumah (kajang). Juga dapat dianyam untuk membuat tikar, tas, topi dan aneka keranjang anyaman. Di Sumatra, pada masa silam daun nipah yang muda dijadikan pembungkus rokok setelah dikelupas kulit arinya, dijemur, dikelantang untuk memutihkannya dan kemudian dipotongpotong sesuai ukuran rokok. Beberapa naskah lama Nusantara juga menggunakan daun nipah sebagai alas tulis. Tangkai daun dan pelepah nipah adalah bahan kayu bakar yang baik. Pelepah daun nipah mengandung selulosa, dapat untuk bahan baku pembuatan pulp. Buah nipah tua dapat dijadikan tepung. Akarnya dimanfaatkan sebagai obat sakit gigi dan sakit kepala. Nipah dapat disadap niranya dari tandan bunga yang belum mekar untuk produksi gula nipah (palm sugar). Di Malaysia, nira nipah dibuat sebagai bahan baku etanol yang dapat dijadikan bahan bakar nabati pengganti bahan bakar minyak bumi. Etanol yang dapat dihasilkan adalah sekitar 11.000 liter/ha/tahun, jauh lebih unggul dibandingkan kelapa sawit (5.000 liter/ha/tahun).
WANAMINA 32 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Calophyllum inophyllum L.
adalah family guttiferae. Termasuk jenis asosiasi
mangrove dengan nama daerah seperti camplung, nyamplung, dan bintangur. Berbentuk pohon dengan tinggi dapat mencapai 12 meter. Secara detail Nyamplung memiliki 5-15 bunga majemuk bersusun, panjangnya dapat mencapai 15 cm dan berada di ketiak dan. Mahkota bunganya terdiri dari 8 – 13 helai dengan warna putih dan kuning serta mengeluarkan bau harum. Buah Nyamplung benrentuk bola kecil berdiameter 2-3 cm, berwarna hijau dengan permukaan halus. Susunan daunnya tunggal, bersilangan, bentuk elips sampai lonjong dengan ujung daun membundar dan memiliki alur halus sejajar. Ciri khusus dari tanaman ini adalah pada buahnya yang seperti bola kecil dengan tangkai buah yang panjang, dan bunganya yang beraroma wangi tersebut.
Penyebaran Nyamplung di Indonesia
WANAMINA 33
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Proses Biofuel
Produksi
- Nipah
Sumber: http://kebunnipah.blogspot.com/2012/04/kotabaru-siap-kembangkan-gula-nipah.html
Dikutip dari http://www.bioetanol.c om.blogspot.com/ (2011) Nipah merupakan salah satu spesies utama penyusun hutan mangrove dengan komposisi sekitar 30 %. Saat ini, luas hutan mangrove Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar dan merupakan mangrove
terluas di dunia melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha). Dengan 30 % hutan mangrove sebagai hutan nipah, maka diperkirakan terdapat sekitar 0,75 1,35 juta hektar hutan nipah di Indonesia. Cairan manis yang dikandung nipah memiliki kadar gula (sucrose) antara 15-17 %-b (P3GI,1995). Dengan kandungan itu, maka nira nipah berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan baku industri bioetanol.
Proses Pembuatan Amin, Muhammad (2012) menjelaskan dalam http://kebunnipah.blogspot.com/2012/04/ potensi-bbm-nabati-masa-depan-dari.html bahwa pembuatan bio etanol ini menggunakan proses mikro biologi, dengan mendiamkan bahan baku nira di wadah tertutup selama dua hingga tiga hari dengan campuran bahan kimia tertentu. Bahan yang sudah difermentasi ini kemudian dipisahkan dari air dengan proses destilasi. Pada suhu 78oC, bahan ini mulai menguap dan uapnya itu kemudian dipanen menjadi bio etanol. Bahan yang dihasilkan ini baru menghasilkan bio etanol 60-80%. Kandungan airnya masih ada sehingga belum menjadi bio etanol murni. Namun demikian, bio etanol 60-80% ini sudah bisa dipakai untuk keperluan memasak. Bio etanol 60-80% ini setara minyak tanah atau elpiji. WANAMINA 34
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
- Nyamplung Biodiesel Nyamplung dipilih sebagai energi alternatif dengan beberapa alasan. Ketersediaan bahan baku yang berlimpah dan tingginya potensi produksi bahan baku tersebut di Indonesia menjamin tingginya produkativitas hasil yang akan diperoleh. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, kualitasnya memenuhi standar USA dan Eropa, high heating velue, kecocokan yang dimiliki dengan diesel bahkan dengan kualitas pelumasan yang lebih baik dan lebih environmental friendly. Potensi keunggulan Nyamplung: 1. Tingginya kapasitas produksi biji kering, mampu mencapai 10 ton (untuk jarak tanam 5 x 10) atau 20 ton (untuk jarak tanam 5 x 5) per hektar. Tinggi kandungan minyak mencapai 60-65% dari total kapasitas, dan 40-45% setelah diekstrak. 2. Disamping kandungan minyaknya, kayu Nyamplung sudah lama dimanfaatkan dalam pasar komersial untuk konstruksi perahu yang dikenal kuat. Berbagai pemanfaatan lainnya seperti kayu bakar, briket, glycerol dan stearin. Dengan suatu pemrosesan tertentu, Nyamplung dapat dimanfaatkan sebagai obat HIV/Aids Proses Pembuatan Pada publikasinya, Prof. DR. Ir. R. Sudradjat, M.Sc dalam http://www.iges.or.jp/en/bf/pdf/ activity20090204/session2/Sudradjat.pdf menjelaskan tentang proses pembuatan bio diesel Nyamplung. Diawali dengan ekstrasi biji Nyamplung dengan memisahkan dari kulitnya, kemudian disteam selama 2 jam. Selanjutnya mereaksikannya dengan asam fosfat berkonsentrasi 1 %. Dilanjutkan dengan 3 tahap berikitnya yaitu (1) Esterifikasi menggunakan metanol, dengan HCl 1% sebagai katalisnya. Tahap ini dilakukan selama 1 jam; (2) Transerifikasi dengan methanol dan NaOH 1% sebagai katalis. Tahap ini dilakuka selama 1 jam; (3) berdasarkan kandungan the free fatty acid (FAA) dilakukan proses naturalisasi bilamana tingkat keasaman yang dihasilkan melebihi batas maksimal (>0.8). Kualitas biodiesel Nyamplung telah memenuhi SNI 04-7182-2006 untuk seluruh parameter diantaranya berat jenis, kekentalan, asap, residu karbon, dan tingkat keasaman.
Sumber : http://www.iges.or.jp/en/bf/pdf/activity20090204/ session2/Sudrajat.pdf
WANAMINA 35
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Nilai Ekonomi dan Potensi Pegembangannya Pemerintah bahkan sudah mengeluarkan PP 5/2006, dengan target 1,48 miliar liter bensin berbahan bio fuel mulai tahun 2016 hingga tahun 2025 !!! Rata-rata setiap pelepah Nipah menghasilkan nira sebanyak 0,5 L per hari. Dalam satu tahun, setiap malay pohon dapat disadap hingga 3 bulan, maka rata-rata produktivitas malay nipah adalah sebesar =0,5 L/hari x 90 hari = 45 L/th. Jumlah efektif pohon nipah per hektar adalah 3000 pohon, semakin rapat maka pohon nipah tidak akan mengahsilkan mayang. Dalam suatu lahan pun biasanya terdapat sekitar 40 % pohon saja yang menghasilkan mayang, dengan demikian, nira yang dihasilkan= 40% x 3000 x 45 L = 54.000 L/ha/th. Estimasi kadar alkohol yang dihasilkan nira adalah 6-7%, walaupun ada beberapa mikroba yang tahan hingga 9%-vol dan secara teoritik bisa menhasilkan hingga 13 %-vol, dengan demikian = 54.000 x 7% x 100/95 = 3978 L ˜ 4000 L/ha/th. Maka Dengan luas sekitar 0,75-1,35 juta hektar hutan nipah di Indonesia, maka Negara kita berpotensi mengahsilkan bio etanol sebesar = 4000 L/ha x 0,75 juta ha = 3000 juta Liter = 3 juta kL. Sopyan Hadi, seorang peneliti bio etanol Nipah dari Balitbang Bengkalis dalam Amin, Muhammad (2012) menuturkan bahwa harga jual bio etanol Nipah dapat dirancang berdasarkan biaya produksi, didapatkan angka Rp7.500 hingga Rp8.000 untuk bio etanol setara minyak tanah dan Rp 8.000 untuk bio premium etanol nipah setara oktan pertamax plus. Saat ini bio diesel Nyamplung telah dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk keperluan memasak dengan kompor seperti halnya pada pemanfaatan bio etanol Nipah. Disamping itu juga telah diuji cobakan pada kendaraan Daihatzu Jeep dan Mitsibishi strada dengan spesifikasi bio diesel dengan rute Bogor-Jakarta, dan bus milik Kementerian Kehutanan dengan rute Bogor – Banten. Target diversifikasi energy tahun 2025 mendatang yang meningkatkan porsi energy terbarukan menjadi 5 % dari total perlu dirintis dari sekarang. Jika saat ini 23 Juta kL bensin diperlukan maka setidaknya 1,15 juta kL bioetanol perlu diproduksi. Saat ini bioetanol yang diproduksi baru mencapai 187.800 kL/tahun atau baru 16 % dari target. Penutup Kebutuhan sumber energy ramah lingkungan telah mengungkap berbagai potensi tanaman endemik di Indonesia menjadi sumber bahan baku energy yang potensial. Di ekosistem mangrove tercatat Nipah dan Nyamplung sebagai sumber bahan baku alternative yang ramah lingkungan. Disamping dua jenis tersebut, masih terdapat beberapa jenis lain tanaman khas mangrove yang menyimpan potensi sebagai bahan baku energy alternative. Seperti yang dikutip dari Setiawan, AD dan Wardhani, AS (2011) Xilocarpus mollucensis (Lam.) M. Roem, yang dikenal dengan nama lokal banang-banang, nyirih, siri, jombok, atau parasar dapat diekstraksi menjadi bio diesel. Dari 1 gram crude mangrove oil menghasilkan 0,3233 gram biodiesel. Yang diperlukan sekarang adalah kemauan dan kepaduan segenap pihak dalam
WANAMINA 36
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
WANAMINA i
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
WANAMINA ii WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
WANAMINA ii WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA