PENGUKURAN DERAJAT ANISOTROPI BATUAN INTRUNSIF DIORIT DENGAN MENGGUNAKAN METODE AMS ( Anisotropy of Magnetic Susceptibility) DAN METODE AAS ( Anisotropy of Anhysteretic Susceptibility )
Oleh Ni Komang Tri Suandayani SSi, MSi
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN 2015
Lembar Pengesahan
PENGUKURAN DERAJAT ANISOTROPI BATUAN INTRUNSIF DIORIT DENGAN MENGGUNAKAN METODE AMS ( Anisotropy of Magnetic Susceptibility) DAN METODE AAS ( Anisotropy of Anhysteretic Susceptibility )
Mengetahui
Penulis
Dekan Fakultas MIPA UNUD
Drs Ida Bagus Made Suaskara, MSi
Ni Komang Tri Suandayani, SSi.MSi
NIP : 196606111997021001
NIP :197017121999032001
PENGUKURAN DERAJAT ANISOTROPI BATUAN INTRNSIF DIORIT DENGAN MENGGUNAKAN METODE AMS ( Anisotropy of Magnetic Susceptibility) DAN METODE AAS ( Anisotropy of Anhysteretic Susceptibility )
Tri Suandayani Jurusan Fisika, Universitas Udayana
ABSTRAK
Telah dilakukan pengukuran anisotropy of anhysteretic susceptibility (AAS), dan anisotropy of magnetic susceptibility (AMS) untuk menganalisa derajat anisotropi batuaan intrusive diorite dan menentukan ukuran bulir magnetic pembawa remanen pada batuan sedimen, untuk layak tidak sebagai sampel. Sampel batuan yang diambil dari intrusi vertical diorite yang berlokasi di Watuliomo tepatnya di Gunung Sikambe dan Gunung Suwur yang berada di kabupaten Trenggalek Jawa Timur, dibuat dalam bentuk silinder dengan diameter 2,54 cm dan panjang 2,3 cm menggunakan alat Magnetic Measurement Portable Rock Drill (MMPRD).Sampel berjumlah 10 core dimana yang 7 core berasal dari Gunung Sikambe dan 3 core dari Gunung Suwur. Pengukuran AMS yang dilakukan pada Sembilan arah pengukuran, menggunakan Bartington Maganetik Susceptibility Meter Model MS2 dengan sensor MS2B. Sedangkan AAS lakukan dengan pengukuran ARM dalam Sembilan arah menggunakan seperangkat Molspin AF Demagnetizer, partial anhysteretic remanent magnetization (pARM) dan Minispin Maganetometer.Anisotropi yg ditunjukkan darinhasil pengukuran metode AMS dan AAS pada sampel diorite ini sangat tinggi (derajat anisotropi >5%). Lineasi magnetiknya lebih kuat daripada foliasi magnetiknya.sampel diorite tidak cocok untuk kajian Paleomagnetik. Perbandingan derajat anisotropi dari metode AAS dan AMS lebih kecil dari 1 (rata-rata 0,64 dengan simpangan baku 0,16). Metode AAS lebih efektif daripada metode AMS untuk sampel yang sedikit mengandung mineral ferromagnetic, tetapi pada pengukurannya memerlukan waktu yang lebih lama daripada metode AMS. Perbedaan yang diperoleh dari hasil pengukuran AAS dan AMS disebabkan sampel didominasi oleh butiran multidomain dan butiran magnetite.
I.PENDAHULUAN
Paleomagnetik adalah suatu kajian tentang arah dan besar rekaman medan magnetik bumi waktu lampau dalam batuan. Rekaman medan magnetik bumi diakibatkan oleh adanya mineral-mineral magnetik yang terdapat pada batuan. Rekaman ii disebut sebagai remanen magnetik. Kualitas rekaman tidak saja depengaruhi oleh jenis mineral magnetik tetapi jua oleh distribusi ukuran bulir, karena itu analisa tentang mineralogy dan granulometri (distribusi ukuran bulir) sangat pentingdalam kajian paleomagnetik. Akurasi rekaman medan magnetik bumi pada batuan juga dipengaruhi oleh sifat batuan, apakah batuan itu bersifat isotropik atau anisotropik. Batuan yang secara magnetik bersifat isotropik akan merekam medan magnetik bumi sesuai dengan arah medan magnetik bumi pada waktu batuan tersebut terbentuk ( diilustrasikan dalam gambar 1.1a) tapi apabila batuan itu bersifat anisotropik maka medan magnetik bumi yang terekam pada batuan tersebut akan mengalami penyimpangan dari arah semula ( diilustrasikan melalui gambar 1.1b ).
Dalam kajian paleomagnetik sampel dikatakan belum menyebabkan kesalahan yang cukup berarti apabila derajat anisotropinya kurang atau sama dengan 5%. Karena itu derajat anisotropi magnetik dari sampel perlu dilihat(1) . Pada penelitian ini derajat anisotropi magnetik dari batuan jenis diorite akan diukur untuk menetukan kelayakannya sebagai sampel pada kajian paleomagnetik. Komposisi batuan diorite secara umum adalah pyroxene, sodium-calcium plagroclase, amphibole dan biotite(9). Batuan intrusive diorite umumnya mempunyai bulir-bulir yang relative besar karena batuan intrusive ( seperti granit, gabro dan diorit) yang mendinginsecara perlahan dalam waktu yang relative lama, berbeda dengan batuan ekstrusif ( seperti riolit, andesit dan baslt) yang mendingin dalam waktu yang relative cepat sehinga ukuran bulirnya relative lebih kecil daripada batuan intrusive. Ukuran bulir ini akan mempengaruhi kualitas rekaman dan anisotropi batuan(13). Adapun suseptibilitas batuan diorite ini berkisar 1 x 10-9 sampai 5 x 10-5 untuk satuan SI. Pada penelitian ini derajat anisotropi batuan intrusive diorite akan dianalisa dengan menggunakan metode AMS ( Anisotropy of Magnetic Suseptibility ) dan metode AAS ( Anisotropi of Anhysteretic Susceptibility ). Metode AMS merupakan suatu cara pengukuran anisotropi magnetic batuan dengan menggunakan medan searah yang kecil, sementara metode AAS merupakan pengukuran anisotropi magnetic batuan yang berkenaan dengan magnetisasi remanen anhisteretik. Pada metode AAS sampel secara bersamaan dikenai dua medan yang berbeda, masing-masing medan searah yang lemah dan medan bolak-balik yang kuat, yang intensitasnya berkurang secara lambat menuju nol. Ada beberapa perbedaan antara metode AMS dan metode AAS. Anisotropi remanen anhisteretik dalam beberapa batuan bias sangat tinggi sedangkan anisotropi suseptibilitasnya sangat lemah bahkan bisa mencapai nol. AAS juga lebih sensitive untuk bahan yang didominasi oleh butiran single domain, pseudo single domain, dan
Komposisi batuan diorite secara umum adalah pyroxene, sodium-calcium plagioclase, amphibole dan biotite (9). Batuan intrusive diorite umumnya mempunyai bulir-bulir yang relative besarkarena batuan intrusive (seperti riolit, andesit, dan basalt ) yang mendingin dalam waktu yang relative cepat sehingga ukuran bulirnya relative lebih kecil daripada batuan intrusive. Ukuran bulir ini akan mempengaruhi kualitas rekaman dan anisotropi batuan(13). Adapun suseptibilitas batuan diorite ini berkisar 1 x 10-9 sampai 5 x 10-5 untuk satuan SI. Pada penelitian-penelitian terdahulu ini, derajat anisotropi pada dykes yang diperoleh selalu lrbih kecil dari 10% dan sumbu-sumbu suseptibilitas selalu menunjukkan arah aliran purbanya(13). Sedangkan pada batuan sedimen, derajat anisotropinya sekitar 16% dan sumbusumbu suseptibilitasnya memperlihatkan arah pengendapannya (3). Pada penelitian ini derajat anisotropi batuan intrusive diorite akan dianalisa dengan menggunakan metode AMS(Anisotropy of Magnetic Susceptibility) dan metode AAS ( Anisotropy of Anhysteretic Susceptibilityb). Metode AMS merupakan suatu cara pengukuran anisotropi magnetic batuan dengan menggunakan medan searah yang kecil, sementara metode AAS merupakan pengukuran anisotropi magnetic batuan yang berkenaan dengan magnetisasi remanen anhisteretik. Pada metode AAS sampel secara bersamaan dikenai dua medan yang berbeda, masing-masing medan searah yang lemah dan medan bolak-balik yang kuat, yang intensitasnya berkurang secara lambat menuju nol. Ada beberapa perbedaan antara metode AMS dan metode AAS. Anisotropi remanen anhisteretik dalam beberapa batuan bisa sangat tinggi sedangkan anisotropi suseptibilitasnya sangat lemah bahkan bisa mencapai nol. AAS juga lebih sensitive untuk bahan yang didominasi oleh butiran single domain , pseudo sinle domain dan mengandung mineralmineral ferromagnetic sedangkan AMS cenderung dominasi oleh butiran multidomain dan mengandung mineral-mineral paramagnetic dan superparamagnetik (3). Pada penelitian ini akan dibandingkan hasil kedua metode diatas. Kecendrungan arah dari sumbu-sumbu suseptibilitas dari kedua metode diatas juga akan dilihat untuk mengetahui metode manakah yang lebih efektif.
II ANISOTROPI MAGNETIK
2.1. Anisotropi Magnetik
Suatu bahan (batuan) dikatakan isotropik jika sifat-sifat bahan ( batuan ) tidak bergantung pada arahnya. Bahan (batuan) dikatakan isotropik secara magnetic jika sifat-sifat magnetic bahan (batuan) tersebut tidak bergantung pada arah atau orientasi mrdan yang mempengaruhinya. Dapat dialam. Bahan seperti ini sangat sedikit terdapat di alam. Sementara itu, bahan dikatakan isotropik secara magnetic apabila sifat-sifat magnetiknya bergantung pada arah atau orientasi medan yang mempengaruhinya. Anisotropi magnetic biasanya ditunjukkan sebagai suseptibilitas magnetic, magnetisasi remanen atau energy magnetisasi pada saturasi(13). Untuk bahan seperti ini, nilai suseptibilitas akan bergantung pada arah medan magnetic yang diberikan. Pemberian medan magnetic pada arah yang berbeda akan memberikan nilai suseptibilitas yang berbeda. Secara fundamental, sifat anisotropi disebabkan oleh anisotropi bentuk (shape anisotropy) dan anisotropi dalam struktur kristal ( magnetocrystallin anisotropy ). Anisotropi bentuk terjadi pada mineral yang memiliki magnetisasi yang kuat seperti magnetite dan anisotropi dalam struktur kristal terjadi pada mineral yang sifat magnetiknya tidak begitu kuat (lemah) seperti haematite(5)(13).
2.2. Perhitungan Parameter Anisotropi Secara umum magnetisasi M, dapat dirumuskan sebagai berikut: M= ᵡH
(2.1)
Dimana ᵡ adalah suseptibilitas dan H adalah kuat medan . Untuk magnetisasi akibat medan yang lemah dan searah, maka magnetisasi diatas disebut sebagai Mo dan suseptibilitasnya disebut sebagai suseptibilitas inisial. Persamaan (2.1) dapat ditulis sebagai berikut : Mo = ᵡH
(2.2)
Metode AMS menggunakan sifat anisoropi dari suseptibilitas inisial ini. Magnetisasi dapat juga diperoleh jika medan yang diberikan adalah medan anhisteretik remanen (HA). Magnetisasi seperi ini disebut sebagai magnetisasi remanen anhisteretik (MA) dan suseptibilitasnya dikenal dengan suseptibilitas anhisteretik (ᵡA). Metode AAS menggunakan
sifat anisotropi dari suseptibilitas anhisteretik. Dengan demikian persamaan (2.1) dapat ditulis menjadi : ᵡanisotropic dapat ditulis juga sebagai berikut : Mi = ᵡii Hi + ᵡij Hj + ᵡih Hk
(2.4)
Dimana I,j,k = 1,2,3 merupakan sumbu system koordinat Mi adalah komponen magnetisasi dalam arah I, Hi adalah komponen medan searah dalam arah I dan ᵡii adalah tensor simetrik orde dua ( ᵡij = ᵡji ), yang menunjukkan suseptibilitas. Tensor suseptibilitas ini ditandai dengan enam komponen tensor ᵡ11 ᵡ22 ᵡ33, ᵡ31, ᵡ32 dan ᵡ12 . Karena sifat simetrik tersebut suseptibilitas ini berkaitan dengan tiga nilai eigen (ᵡ1 , ᵡ2 dan ᵡ3 ) dan tiga vector eigen. Ketiga nilai eigen disebut sebagai nilai suseptibilitas principal (utama) sementara vector-vektor eigen mengacu pada arah dari masing-masing suseptibilitas utama tersebut. Vektor-vektor eigen ini dapat dijadikan sebagai basis bagi system koordinat yang mengacu pada nilai –nilai suseptibilitas utama. Secara umum nilai=nilai dan vector-vektor eigen dinyatakan sebagai sebuah ellipsoid. Nilai-nilai dan vector-vektor eigen dapat diperoleh dengan menyelesaikan persamaan matrik karakteristik ᵡij sebagai berikut : Det ( ᶯᵟij - ᵡij ) = 0
(2.5)
(ᶯᵟij - ᵡij ) x = 0
(2.6)
Dimana det adalah fungsi determinan, ᶯadalah nilai eigen matrik ᵡij, x adalah vector eigen dan ᵟij adalah kroneeker delta. Tiga sumbu orthogonal OX1 , OX2 , OX3 yang menunjukkan orientasi utara geografi sampel (1 = Utara, 2 = Timur, 3 = Dawn ) digunakan sebagai system koordinat acuan. Secara umum suseptibilitas sepanjang sumbu tidak tetap OXm yang dilambangkan dengan m diberikan oleh persamaan berikut : Amn= Cmi Cmj ᵡij
(2.7)
Dimana Cmi dan Cmj adalah arah cosinus m relative pada sumbu-sumbu acuan i dan j, sedangkan Am adalah intensitas remanen yang diukur dalam arah m. Pola pengukurannya dapat dilihat pada gambar 2.1. Arah cosinus ( koordinat geometri ruang) sumbu-sumbu North, East dan Down (N, E, D ) dapat dinyatakan sebagai berikut : A1 (1, 0, 0 )
A4 (1/√2, 1/√2, 0) A7 (-1/√2 , 1/√2 , 0 )
A2 (0, 1, 0 )
A5 (1/√2, 0, 1/√2)
A8 (-1/√2, 0, 1/√2 )
A3 (0, 0, 1 )
A6 (0, 1/√2, 1/√2)
A9 (0, -1/√2, 1/√2)
Pengukuran suseptibilitas pada penelitian ini mengacu pada skema pengukuran yang diusulkan oleh Gerdler(3) (lihat gambar 2.1 ). Suseptibilitas diukur dalam Sembilan arah menurut persamaan 2.7 yaitu : A1 = ᵡ11 A2 = ᵡ22 A3 = ᵡ33 A4 = ½ ᵡ11 + ½ ᵡ22 + ᵡ12 A5 = ½ ᵡ11 + ½ᵡ33 + ᵡ31 A6 = ½ ᵡ22 + ½ᵡ33 + ᵡ23 A7 = ½ ᵡ11 + ½ᵡ22 - ᵡ12 A8 = ½ ᵡ11 + ½ ᵡ33 - ᵡ31 A9 = ½ᵡ22 + ½ᵡ33 - ᵡ23
Jika ditulis dalam notasi matriks sebagai berikut : A = 0X
(2.8)
Dimana
Tensor anisotropi tersebut dapat dihitung dengan metode sebagai berikut. X = (0,0)-1 0,A
(2.9)
Dimana 0 adalah matrik transpose dari 0 dan ( 0,0 )-1 adalah 1/(0,0) sehingga persamaan tersebut menjadi :
Besar dan arah suseptibilitas anhisteretik principal dapat dihitung dengan memasukkan keenam komponen ᵡij ke dalam persamaan 2.5 dan 2.6 Berdasarkan perbandingan suseptibilitas principal parameter-parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Derajat anisotropi dalam persen (P%) yang didefinisikan sebagai berikut : P(%) = ((ᵡ1/ᵡ3 ) – 1) x 100% 2. Lineasi magnetic (L) yang didefinisikan sebagai berikut L = ᵡ1/ᵡ2 3. Fo menunjukkan nliasi magnetic (F) yang didefinisikan sebagai berikut : F = ᵡ2/ᵡ3 4. Faktor bentuk (T) yang didefinisikan sebagai berikut : T = ( ln F – ln L )/( lnF + lnL )(3) Jika P = 1, maka sampel bersifat isotropik. Jika P semakin besar maka sampel semakin anisotropic. Untuk factor bentuk (T), jika nilainya positif menunjukkan bahwa foliasi magnetic mendominasi dan jika negative menunjukkan bahwa lineasi magnetic mendominasi interpretasi T dapat dilihat pada table berikut :
III PROSEDUR PENELITIAN
3.1 Pengambilan Sampel Sampel diperoleh dari intrusi vertical diorite yang berlokasi di Watuliomo, tepatnya di gunung Sikambe dan Gunung Suwur yang berada di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur ( 111o 42\ Bujur Timur dan 8o 12\ Lintang Selatan )(2). Sampel berjumlah 10 core (silinder panjang) dengan diameter 2,54 cm. Tujuh core berasal dari Gunung Sikambe dan tiga core dari Gunung Suwur. Intrusi ini diketahui berusia Early Miocene(2) . Core diperoleh dengan menggunakan MMPRD hand drill (magnetic Measurements Portable Rock Drill) ( Magnetic Measurement Ltd, Lancashire United Kingdom ) dengan panjang masing-masing core antara 10-20 cm. Dip dan strike (jurus) dari masing-masing core dicatat dan dipergunakan untuk mengoreksi arah remanen. Di laboratorium, 10 core sampel ini dipotong-potong menjadi bentuk silinder dengan panjang 2,2 cm. Bagian paling atas dari core tidak diambil karena pada bagian ini mengalami pelapukan sehingga harus dihindari. Tujuh core dari Gunung Sikambe masing-masing diberi nomor 1,2,3,…7 dan masing-masing potongan diberi inisial 1A,1B,…2A,2B,…3A,3B,… seterusnya. Begitu juga dengan 3 core sampel dari Gunung Suwur. Untuk masing-masing potongannya diberi inisial 1A,1B,…,2A,2B,.. dan seterusnya sehingga diperoleh 35 sampel seluruhnya.
3.2.Pengukuran Anisotropi Suseptibilitas Anhisteretik (AAS) Suseptibilitas anhisteretik masing-masing sampel ditentukan dengan mengukur remanen anhisteretik sampel dalam Sembilan arah. Pengukuran ini dilakukan di Laboratorium Fisika Bumi ITB. Sebelum memberikan magnetisasi remanen anhisteretik (ARM) pada satu arah, pertama sampel didemagnetisasi menggunakan medan bolak balik 80 mT atau lebih tinggi lagi untuk memastikan bahwa remanen magnetiknya menurun kurang lebih 5%. Untuk demagnetisasi ini digunakan instrument Molspin AF demagnetizer (Molspin Ltd, Newcastle upon Type, United Kingdom ). Prinsip kerja instrument ini menggunakan metode Alternating Field(AF) demagnetization atau demagnetisasi medan bolak balik. Molspin menggunakan system tumbling dua sumbu. Harga medan tertinggi adalah 1000Oe (100mT) pada frekuensi 180 Hz. Pengukuran dimulai dengan memasang sampel pada tumbler kemudian ditempatkan pada coil yang dilapisi tiga lapis mumetal. Pada tumbler sampel diputar, kemudian diberikan medan bolak balik 80 mT, atau lebih sehingga intensitasnya menurun sehingga 5% atau lebih kecil lagi. Demagnetisasi ini dilakukan untuk setiap arah yang berbeda sebelum pemberian ARM pada tiap sampel. Setelah didemagnetisasi, sampel kemudian diberi ARM dengan menggunakan instrument Molspin demagnetizer juga. Untuk pemberian ARM, instrument ini dimodifikasikan dengan
lapisan tambahan yang terdiri dari gulungan kawat di sekitar kawat utama demagnetizer. Gulungan kawat ini digunakan untuk memberikan medan sarah yang besarnya 0,1 mT pda sampel di saat demagnetizer memberikan medan bolak balik 80 mT, yang berkurang secara lambat menuju nol. Medan searah 0,1 mT diberikan oleh instrument yang disebut PARM (Partial Anhysteretic Remanent Magnetization ). Hasil dari remanen anhiteretiknya diukur dengan mempergunakan Minispin Magnetometer (Molspin Ltd, Newcastle upon Type, United Kingdom) yang dikontrol oleh microprocessor Rockwell 6502. Prinsip kerja instrument ini adalah membangkitkan sinyal AC 780 Hz sebanding dengan komponen momen nagnetik yang parallel dengan sumbu fluxgate. Untuk meningkatkan rasio sinyal terhadap noise, sampel diputar dalam fluxgate dengan frekwensi 6 Hz. Amplitude dan fasa sinyal tersebut menujukkan magnitude dan komponen horizontal magnetisasi sampel sinyal output kemudian digitalkan dengan ADC (Analog Digital Converter ) dan diismpan dalam memori computer. Untuk putaran pendek (short) jumlah putaran detetapkan 24 dan untuk putaran panjang (long) ditetapkan 120. Pengukuran dilakukan dengan mengubah empat posisi sampel. Visualisasi perubahan posisi sampel ditunjukkan pada gambar 3.1
Semua langkah-langlah di atas di ulang untuk semua arah sampai keembilan arah yang dikehendaki terukur. Posis kesembilan arah ini dapat dilihat pada gambar 3.2. Kesalahan dalam pengukuran intensitas ARM ini menjadi 1%.
Pada pemberian ARM, instrument Molspin demagnetizer tidak memberikan perlengkapan dudukankhusus untuk posisi kesembilan arah yang akan diukur tersebut, untuk mekeperluan ini peneliti menyiapkan dudukan guna menempatkan sampel sesuai dengan posisi yang diharapkan. Untuk itu peneliti menggunakan bahan nylon padat yang berbentuk batangan. Nilai intensitas remanen anhisteretik rata-rata yang diperoleh dari Sembilan arah tersebut digunakan untuk menentukan enam komponen tensor suseptibilitas (persamaan 2.9), yang kemudian keenam komponen tensor ini digunakan untuk menghitung suseptibilitas principal dan arah dari suseptibilitas tersebut. Perhitungannya dilakukan dengan software Mathcard 2000. Dengan mensubstitusikan nilai intensitas suseptibilitas yang diperoleh dari Sembilan arah tersebut, maka nilai eigen dan vector eigennya dapat dicari. Nilai eigen terbesar didefinisikan sebagai suseptibilitas maksimum (ᵡmax ), nilai eigen antara didefinisikan sebagai suseptibilitas intermediate (ᵡint) dan nilai eigen minimum didefinisikan sebagai suseptibilitas minimum (ᵡmin). Arah (dalam bentuk deklinasi dan inklinasi ) dari masing-masing suseptibilitas tersebut diperoleh dari vector eigennya. Dari perhitungan ini akan dapat juga diperoleh deklinasi dan inklinasi guna mengetahui kecendrungan arah anisotropi suseptibilitas tersebut. Hasil perhitungannya dapat dilihat pada bab selanjutnya.
Ringkasan pengukuran suseptibilitas dengan menggunakan metode AAS ini dapat dilihat pada gambar 3.3
3.3 Pengukuran Anisotropi Suseptibilitas Magnetik (AMS) Pengukuran anisotropi suseptibilitas juga dilakukan di Laboratorium Fisika Bumi ITB dengan menggunakan instrument Barington Magnetic Susceptibility Meter model MS2 ( Barington Instrument Ltd, Oxford, United Kingdom ). Instrumen ini terdiri dari sensor MS2B dengan diameter internal 36 mm yang dihubungkan dengan MS2 meter pengukur oleh kabel Sampel ditempatkan di dalam sensor yang menghasilkan frekuensi berubah-ubah. Hasil pengukuran ini ditampilkan pada MS2 meter pengukur. Instrumen ini dapat mengukur harga suseptibilitas dari 1 x 10-6 sampai 9999 x 10-6 dalam satuan cgs atau 1,26 x 10-5 sampai 1,26 x 10-1 untuk satuan SI. Pengukuran dilakukan dengan memasukkan sampel sejajar dengan sumbu coil sensor. Hasil pengukuran akan langsung terbaca pada MS2 meter yang terhubung langsung dengan computer. Hal ini dilakukan berulang kali dengan arah yang berbeda sesuai dengan arah yang akan diukur. Program ini menghitung rata-rata suseptibilitas magnetic dari sampel. Pengukuran dilakukan sebanyak Sembilan kali dengan merubah orientasi sampel, secara visual dapat dilihat pada gambar 3.2. Hasil pengukuran rata-rata suseptibilitas ini kemudian dihitung dengan menggunakan software Mathcard 2000 untuk mencari nilai eigen dan vector eigennya. Dimana nilai eigen terbesar didefinisikn sebagai suseptibilitas maksimum (ᵡmax ), nilai eigen antara didefinisikan sebagai suseptibilitas intermediate (ᵡint) dan nilai eigen terkecil didefinisikan sebagai suseptibilitas minimum (ᵡmin). Arah (dalam bentuk deklinasi dan inklinasi) dari masingmasing suseptibilitas tersebut diperoleh dari vector eigennya ( dapat dilihat pada bab selanjutnya). Harga suseptibilitas rata-rata (ᵡavg = (ᵡmax + ᵡint + ᵡmin) /3 dimana ᵡmax,ᵡint, dan ᵡmn adalah nilai suseptibilitas maksimum, intermediate dan minimum. Urutan pengukuran anisotropi dengan metode AMS ini dapat dilihat pada gambar 3.4
IV HASIL DAN DISKUSI
4.1 Hasil Pengukuran Hasil pengukuran anisotropi suseptibilitas anhisteretik sampel-sampel tersebut merangkumkan bahwa derajat anisotropi untuk sampel Sikambe bervariasi dari 19,6% sampai 78,1% (dengan rata-rata 38,6% dan simpangan bakunya 14,14) (table 4.1), harga ini memang cukup tinggi dibanding penelitian terdahulu yang selalu lebih kecil dari 10%(12) untuk dykes dan 16% untuk sedimen(3). Sumbu minimum terlihat menyebar dan sumbu maksimum untuk beberapa sampel mendekati horizontal (gambar 4.1a). Faktor bentuk rata-rata yntuk sampel Sikambe ini adalah -0,46 (table 4.1), hal ini menunjukkan untuk beberapa sampel lineasi magnetiknya lebih dominan yang menandakan bahwa bentuk anisotropinya prolate ( memanjang) . Derajat anisotropi untuk sampel Suwur diperoleh berkisar 27,2% sampai 60,7% dengan rata-rata 34,2 dan simpangan bakunya 9.23 (table 4.1). Sumbu minimum dan sumbu maksimumnya terlihat menyebar (gambar 4.1b).Faktor bentuk rata-rata untuk sampel ini adalah -0,37 (table 4.1), hal ini menunjukkan beberapa sampel lineasi magnetiknya lebih dominan dan menunjukkan bentuk anisotropinya prolate (memanjang). Pengukuran anisotropi suseptibilitas magnetic pada sampel Sikambe menunjukkan hasil dengan rata-rata berkisar dari 1867,5% x 10-6 sampai 3424 x 10-6 dalam satuan SI. Tabel 4.2 menyimpulkan hasil pengukuran suseptibilitas magnetic. Derajat anisotropi untuk sampel Sikambe ini bervariasi dari 13,1% sampai 28,5% dengan rata-rata 23,9% dan simpangan baku 3,13. Sumbu minimum dan sumbu maksimum terlihat menyebar. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.2a. Faktor bentuk rata-rata untuk sampel Sikambe -0,80. Hal ini menunjukkan bahwa lineasi magnetiknya lebih dominan dan menandakan bentuk anisotropinya prolate (memanjang). Sampel Suwur menunjukkan hasil rata-rata suseptibilitasnya dari 2639,8 x 10-6 sampai 3098,6 x 10-6 dalam satuan SI. Derajat anisotropi untuk sampel Suwur bervariasi dari 14,5% sampai 27,0% dengan rata-rata 23,4% dan simpangan baku 3.0. Sumbu minimum terlihat mendekati vertical dan sumbu maksimum beberapa sampel terlihat mendekati horizontal (gambar 4.2b). Faktor bentuk rata-rata untuk sampel Suwur -0,92 menunjukkan lineasi magnetiknya lebih dominan dan menandakan bentuk anisotropinya prolate (memanjang). Dari hasil pengukuran AMS, terlihat bahwa lineasi magnetiknya lebih dominan daripada foliasi magnetiknya, seperti juga hasil dari pengukuran AAS. Derajat anisotropi dari hasil pengukuran AMS selalu lebih kecil dari hasil pengukuran AAS, kecuali untuk
sampel Sikambe 2A. Perbandingan antara pengukuran AMS dan AAS bervariasi dari 0,31 sampai 0,92 dengan rata-rata 0,64 dan simpangan baku 0,16. Hasil pengukuran AMS dan AAS memperlihatkan pola yang tidak sama umumnya sumbu minimum san sumbu maksimumnya terlihat menyebar, hanya sampel Suwur dari hasil AMS yang memperlihatkan sumbu minimum mendekati vertical dan sumbu maksimum mendekati horizontal.
Kecenderungan arah sumbu maksimum tidak sama, hal ini bisa dilihat dari gambar 4.1b dan 4.2b.
Perbedaan ini bisa disebabkan oleh ukuran butiran mineral magnetic yang mendominasi masing-masing tipe anisotropi. Seperti yang telah disebutkan pada bab I, yang menyatakan bahwa AMS selalu didominasi oleh butiran multidomain, mineral paramagnetic dan superparamagnetik dalam sampel sedangkan AAS selalu didominasi oleh butiran single domain, pseudo single domain dan mineral ferromagnetic. Sampel yang dipergunakan adalah batuan beku yang konsentrasi magnetitenya tinggi(2) dan didominasi oleh butiran multidomain(10) . Dimana magnetite merupakan mineral ferromagnetic.
4.2 Analisa Data dan Diskusi Dari hasil pengukuran anisotropi suseptibilitas anhisteretik menunjukkan bahwa sampel Sikambe dan Suwur memilki derajat anisotropi yang tinggi (rata-rata derajat anisotropi magnetiknya 37,1% dengan simpangan baku 12,7 dan dari hasil pengukuran suseptibilitas magnetiknya juga menunjukkan derajat anisotropi yang tinggi (rata-rata derajat anisotropi magnetiknya 23,7% dengan simpangan baku 3,05) hal sangat berbeda dengan hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bah kecwa derajat anisotropi untuk batuan beku ditemui selalu lebih kecil dari 10%(12) . Hal ini disebabkan oleh ukuran bulir dari sampel ini berbeda dengan ukuran bulir dari batuan beku yang biasa diteliti( dykes), dimana dari ukuran bulir yang ditemui pada sampel ini adalah multidomain. Hal ini bisa dilihat dari distribusi ukuran bulir pada gambar 4.3. Ukuran bulir yang mendominasi bahan bisa mempengaruhi kualitas rekaman remanen magnetic ngbatuan dan akan menyebabkan perbedaan anisotropi batuan. Penyebab lain adalah ketidakstabilan remanen magnetiknya gambar 4.4, yang mana hal ini juga menunjukkan bahwa sampel ini memiliki ukuran bulir yang relatif besar sehingga mempengaruhi anisotropinya (anisotropinya tinggi).
Hasil pengukuran derajat anisotropi dengan metode AAS selalu menunjukkan hasil yang lebih kecil dari hasil pengukuran anisotropi dengan menggunakan metode AMS yang juga ditemukan pada pengukuran anisotropi pada sedimen(3). Hal ini disebabkan ukuran bulir magnetite yang mendominasi tipe anisotropi itu berbeda. Lineasi magnetiknya yang lebih kuat daripada foliasi magnetiknya (factor bentuk T ratarata -0,24 dengan simpanga baku 0,36), hal ini memperlihatkan hasil yang berbeda dengan sumbu-sumbu minimum dan maksimumnya menyebar. Hal ini berarti sumbu-sumbu suseptibilitas tersebut tidak memperlihatkan kecendrungan ke suatu arah tertentu, dan ini berarti pula bahwa bulir-bulir mineral magnetikpada diorit ini tidak menunjukkan pertumbuhan yang sesuai dengan arah terbentuknya intrusif diorit tersebut(vertikal). Hasil ini sangat berbeda dengan temuan yang telah dilakukan sebelumnya, dimana sumbu-sumbu suseptibilitasnya selalu sesuai dengan arah aliran purbanya(12). Hal ini bisa disebabkan karena sampel diorit yang digunakan memiliki kandungan magnetite yan besar dan ukuran bulirnya menunjukkan multi domain sehingga mempengaruhi pada pengukuran. Seperti yang telah disebutkan pada babI bahwa metode AAS sangat di pengaruhi oleh butiran single domain dan Pseodo single domain serta mineral ferromagnetik sedangakan untuk metode AMS dipengaruhi oleh butiran multidomain, mineral paramagnetik dan superparamagnetik. Walaupun metode AAS lebih efektif daripada metode AMS untuk sampel yang mengandung mineral ferromagnetic tetapi pengukuran AAS ini memerlukan waktu yang lebih panjang daripada daripada pengukuran AMS. Untuk pengukuran AAS bisa mengambil waktu 3
sampai 4 jam untuk satu sampel sedangkan pengukuran AMS hanya 15 menit untuk satu sampel. Disamping itu pada pengukuran AAS , bisa saja remanen magnetik yang diukur menunjukkan pola tertentu namun pada pengukuran AMS menunjukkan pola yang lain. Hal seperti ini bisa diakibatkan Karena kontribusi dari mineral diamagnetik dan paramagnetik yang tumbuh kemudian sehingga mempengaruhi pengukuran AMSnya yang mengakibatkan arah yang diukur dari kedua metode ini tidak saling mendukung.
V KESIMPULAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan pada penelitian yang telah dilakukan ini diantaranya : 1. Anisotropi magnetic yang ditunjukkan dari hasil pengukuran metode AAS dan AMS pada sampel diorite ini sangat tinggi (derajat anisotropi > 5% ). Lineasi magnetiknya lebih kuat daripada foliasi magnetiknya. 2. Sampel Diorit ini tidak cocok untuk kajian paleomagnetik 3. Arah sumbu-sumbu suseptibilitasnya tidak menunjukkan pola tertentu, yang berarti bahwa butir-butir magnetic sampel ini tidak menunjukkan pola pertumbuhan yang sesuai dengan pola pertumbuhan intrusi diorite berbeda dengan batuan beku pada umumnya. 4. Perbandingan derajat anisotropi dari metode AAS dan AMS lebih kecil dari 1 ( ra ta-rata 0,64 dengan simpangan baku 0,16). 5. Metode AAS lebih efektif daripada metode AMS ontuk sampel yang sedikit mengandung mineral ferromagnetic, tetapi pada pengukurannya memerlukan waktu yang lebih lama daripada metode AMS. 6. Perbedaan yang diperoleh dari hasil pengukuran AAS dan AMS disebabkan sam pel didominasi oleh butiran multidomain dan butiran magnetite.
DAFTAR PUSTAKA Bijaksana, S., Magnetic Anisotopy of Cretaceous Deep Sea Sedimentary Rock from The Pacific Plate, Unpublished M.Sc. Thesis, Memorial University of New Foundland, 51 p, 1991. Bijaksana S., Analisa Mineral Magnetik dalam Masalah Lingkungan, Jurnal Geofisika, 1, 19 27, 2002. Bijaksana, S., Ngkoimani, L. .Abdullah, C.L, Hardjono, T., Cenozoic Reconstructing of Java, Proc. HAGI-IAGI Joint Conv., Jakarta, 2003 Dunlop, D.J & Ozdemir Ozden, 1997., Rock Magnetism, Cambridge University Press, United Kingdom. Hall, R., Reconstructing Cenozoic SE Asia, Journal Asian Earih Sciences, 20, 353, 2002. King, J., Banerjee, S.K.; Marvin, J., dan Ozdemir, O., A Comparison of Different Magnetic Methods for Determining the Relative Grain Size of Magnetite in Natural Materials: Some Results from Lake Sediments. Earth and Planetary Science Letter, 59, 404-419, 1982. Ngkoimani, L., S. Bijaksana, The Houw Liong, The Suitability of Andesitic Rocks from Yogyakarta for Paleomagnetic Study, Prosiding HAGI 29th, 426-430, Yogyakarta, 2004. Soeria Atmadja, R., Maury, R. C., Bellon, H., Pringgoprawiro. H., Polve, M., Tertiary Magnetic Belt in Java, 9, 12, 13-?7, 1994. Sutanto, Soeria Atmadja, R., Maury, R. C. Bellon, H., Proceed. Geologi dan Geoteknologi Pulau Jawa, 73 - 76, 1994. Tarling, D. H., Hrouda, F., The Magnetic Anisotropy of Rocks, Chapman & Hall, 1993. Tauxe, L., Paleomagnetic Principles and Practice. Kluwer Academic Publishers, 1998. Wartono, R, Sukandarrumidi, Rosidi H.M.D., Peta Geologi Lembar Yoyakarta, Jawa Pusat Penelitian dan Pengombangan Geologi, 1995.