LAPORAN PENDAHULUAN PENATAAN SISTEM PENGATURAN TATALAKSANA PERIJINAN BIDANG PEREKONOMIAN
Penyusun: Eko Prasojo, Mag.rer.publ, Dr.rer.publ, Prof. Irfan Ridwan Maksum, Dr, M.Si Epakartika, S.Pi, M.Si Teguh Kurniawan, S.Sos, M.Sc
KERJASAMA ANTARA KEMENTERIAN NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN PUSAT KAJIAN PEMBANGUNAN ADMINISTRASI DAERAH DAN KOTA FISIP UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR ISI
I.
Kondisi Objektif Perizinan Di Indonesia
1
II.
Kajian Best Practices
18
III.
Arah Pertumbuhan Reformasi Penyederhanaan Perizinan
33
IV.
Perubahan Sistem Perizinan
65
Referensi
72
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
BAB I KONDISI OBJEKTIF PERIZINAN DI INDONESIA
A. PERIZINAN, IKLIM INVESTASI DAN PERSAINGAN GLOBAL Kurang kondusifnya lingkungan usaha memiliki implikasi besar terhadap penurunan daya saing ekonomi, terutama bagi sektor-sektor industri sebagai lapangan kesempatan kerja utama dan sektor manufaktur yang merupakan salah satu motor bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut catatan World Economic Forum (WEF) tahun 2004, posisi daya saing Indonesia masih berada pada urutan ke-69 dari 104 negara yang diteliti. Posisi tersebut sesungguhnya telah naik dari urutan ke-72 pada tahun sebelumnya. Namun demikian, dibandingkan dengan beberapa negara pesaing di kawasan ASEAN, posisi ini relatif lebih buruk. Sebagai contoh, Malaysia pada tahun 2004 berada pada urutan ke-31 sedangkan Thailand berada di posisi ke-34. Negara ASEAN yang posisi daya saingnya dibawah Indonesia adalah Filipina (urutan ke-76) dan Vietnam (urutan ke-77). Adapun menurut catatan International Institute for Management Development (IMD) yang juga menerbitkan World Competitiveness Report 2004, posisi Indonesia berada pada urutan ke-58 dari 60 negara yang diteliti. Dari sejak tahun 2000, peringkat daya saing ekonomi Indonesia berturut-turut turun dari posisinya ke-43 pada tahun 2000, urutan ke-46 pada tahun 2001, urutan ke-47 pada tahun 2002, dan urutan ke-57 pada tahun 2003. Peringkat Indonesia hanya berada diatas Argentina (59) dan Venezuela (60). Dalam pengamatan lembaga ini, posisi Filipina relatif lebih baik (yaitu pada urutan ke-52), walaupun peringkatnya juga terus mengalami penurunan dari posisinya di urutan ke-35 pada tahun 2000. Terpuruknya daya saing tersebut merupakan akibat dari berbagai faktor. Menurut tolak ukur WEF, diidentifikasi 5 (lima) faktor penting yang menonjol. Pada tataran makro, terdapat 3 (tiga) faktor, yaitu: (a) tidak kondusifnya kondisi ekonomi makro; (b) buruknya kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat pelayanan; dan (c) lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasi kebutuhan peningkatan produktivitas. Sementara itu, pada tataran mikro atau tataran bisnis, 2 (dua) faktor yang menonjol adalah: (a) rendahnya efisiensi usaha pada tingkat operasionalisasi perusahaan; dan (b) lemahnya iklim persaingan dalam rangka menciptakan tekanan kompetisi secara sehat. Menurut catatan IMD, rendahnya kondisi daya saing Indonesia, disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional dalam 4 (empat) hal pokok, yaitu: (a) buruknya kinerja perekonomian nasional yang tercermin dalam kinerjanya di perdagangan internasional, investasi, ketenagakerjaan, dan stabilitas harga, (b) buruknya efisiensi kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif, lemahnya koordinasi akibat kerangka institusi publik yang masih banyak tumpang tindih, dan kompleksitas struktur sosialnya, (c) lemahnya efisiensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggung jawab yang Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
1
tercermin dari tingkat produktivitasnya yang rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum profesional, dan (d) keterbatasan di dalam infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, dan infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan kesehatan. Struktur biaya produksi manufaktur kita juga sangat rentan dimana biaya overhead mencapai 33.37 dan biaya untuk material mencapai 58.26. Sebagai bandingannya: overhead di Cina hanya 17.06 dan material hanya 39.89. Penelaahan terhadap tingginya kedua pos pembiayaan di atas permasalahan spesifik di sektor industri manufaktur, antara lain yaitu permasalahan KKN dan layanan umum yang buruk mengakibatkan tingginya biaya overhead. Menurut kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), pengeluaran untuk berbagai pungutan dan untuk biaya buruknya layanan umum menambah biaya overhead sekitar 8.7 persen - 11.2 persen. Permasalahan yang perlu mendapat sorotan khusus, adalah terkait dengan kebijakan dan kelembagaan pemerintah. Dalam hal peningkatan daya saing melalui peningkatan investasi, kelembagan dan kebijakan pemerintah tersebut sangat menentukan kondisi iklim investasi yang menjadi salah satu kunci dalam kelangsungan dan keberlanjutan investasi. Dalam tahun 1999 sampai 2004, investasi berupa pembentukan modal tetap bruto hanya tumbuh sebesar 1,3% per tahun, jauh dibawah rata-rata tahun 1991-1996 yang rata-rata tumbuh 10,6% per tahun. Dengan lambatnya pembentukan investasi, maka proporsi investasi terhadap Produk Domestik Bruto, menurun dari 29,6% pada tahun 1997 menjadi 19,7% pada tahun 2003. Laju pertumbuhan yang demikian melambat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, Indonesia menghadapi tantangan eksternal yang sangat marginal, sebagai pengaruh dari kebijakan ekonomi dunia, persaingan pengaruh kekuasaan politik antar negara, rendahnya rasa aman terhadap kondisi dalam negeri dan demokratisasi serta rendahnya kepercayaan dalam tata hubungan antar negara, menjadi penentu dalam pertumbuhan investasi usaha. Kedua, untuk merespon tantangan eksternal yang terus berkembang dinamis, cepat dan penuh dengan ketidakpastian maka Indonesia harus bergerak searah dengan perubahan tersebut dengan melakukan penyesuaianpenyesuaian secara mendasar dengan penuh rasionalitas. Beberapa faktor yang mendorong buruknya situasi iklim investasi antara lain adalah akibat adanya proses perizinan yang panjang dan mahal. Studi bank dunia di tahun 2004 menunjukkan hal tersebut dimana jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, maka biaya administrasi berinvestasi di Indonesia adalah yang paling mahal. Belum lagi permasalahan seperti rendahnya kepastian hukum, mis-manajemen pengelolaan administrasi publik hingga masalah lemahnya sumberdaya manusia dan terbatasnya infrastruktur. Membangun iklim investasi yang sehat dan kondusif bukanlah persoalan mudah. Sebab iklim investasi merupakan suatu kumpulan faktor-faktor lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan dorongan bagi perusahaan untuk melakukan investasi secara produktif, menciptakan pekerjaan dan mengembangkan diri. Kebijakan dan perilaku pemerintah Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
2
memiliki suatu pengaruh yang besar melalui dampaknya terhadap biaya, risiko dan pembatasan persaingan. Suatu iklim investasi yang baik tidak hanya berkaitan dengan menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Akan tetapi iklim investasi yang baik berkaitan dengan perbaikan kesejahteraan bagi masyarakat. Banyak jenis biaya dan resiko yang sudah selayaknya ditanggung oleh perusahaan. Pengurangan pembatasan bagi persaingan akan memperluas kesempatan memacu inovasi, dan menjamin bahwa manfaat peningkatan produktivitas akan dibagi bersama antara para pekerja dan konsumen. Disamping itu, iklim investasi yang baik adalah iklim investasi yang memberikan manfaat bagi siapapun dalam dua dimensi. Pertama, iklim investasi tersebut akan memberi manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya perusahaan termasuk melalui dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja, penurunan tingkat harga dan perluasan sumber pajak. Kedua, iklim investasi yang baik akan menguntungkan seluruh perusahaan, tidak hanya perusahaan besar atau yang berpengaruh saja. Pemerintah mempengaruhi faktor penentu iklim investasi melalui suatu kombinasi dari kebijakan-kebijakan formal dalam bidang-bidang tertentu seperti stabilitas dan keamanan, peraturan dan perpajakan, pendanaan dan infrastruktur, pekerja dan pasar tenaga kerja serta aspek-aspek pemerintahan yang lebih luas. Hal yang terakhir meliputi pengendalian usaha pencarian rente, kredibilitas, kepercayaan publik dan legitimasi serta kesesuaian institusional. Pengendalian usaha pencarian rente yang lemah dapat mempengaruhi baik isi maupun penerapan kebijakan formal. Kredibilitas yang lemah dapat meruntuhkan dampak dari setiap kebijakan formal. Keprihatinan mengenai kepercayaan publik dan legitimasi dapat menghambat implementasi perubahan dan melemahkan keberlanjutan (dan karenanya kredibilitas) kebijakan. Intervensi terhadap kebijakan yang tidak disesuaikan dengan baik terhadap kondisi lokal dapat pula memberikan hasil yang buruk atau bahkan berlawanan dengan yang diharapkan. Penanganan keempat sumber kegagalan kebijakan tersebut merupakan hal yang mendasar dalam upaya-upaya untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Dalam menciptakan iklim investasi yang lebih baik, pemerintah dihadapkan pada persoalan bagaimana menghadapi tantangan mendasar serta bagaimana membangun halhal yang menjadi faktor kunci keberhasilan untuk menghadapi tantangan tersebut. Tantangan yang bersifat mendasar dalam menciptakan iklim investasi yang lebih baik berhubungan dengan menghadapi tekanan preferensi perusahaan atau kepentingan publik, usaha pencarian rente, kredibilitas pelaku usaha dan pemerintah, kepercayaan dan legitimasi publik, respon kebijakan dan institusi yang berkenaan. Sementara hal-hal mendasar yang harus segera dibangun terutama berkenaan dengan stabilitas dan kepastian hak, peraturan dan perpajakan, pendanaan dan infrastruktur, pekerja dan pasar tenaga kerja. Disamping tantangan mendasar tersebut, juga terdapat hal-hal lain yang perlu mendapat perhatian khusus seperti intervensi secara selektif terhadap sektor perekonomian dan penggunaan aturan-aturan dan standar-standar internasional. Dibeberapa negara, pihak pemerintah setempat telah melakukan berbagai upaya untuk menarik modal asing untuk masuk ke dalam negaranya. Berbagai hal sebelumnya dikeluhkan oleh pelaku usaha dicoba untuk dibenahi, bahkan secara revolusioner. Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
3
Penyederhanaan prosedur, pengurangan biaya hingga insentif-insentif khusus menjadi instrumen pilihan dalam mendorong arus masuk invstasi. Tidak ketinggalan negaranegara di dunia ketiga melakukan serangkaian reformasi yang bahkan juga mendapat dukungan penuh dari lembaga-lembaga internasional. Hasilnya, banyak negara yang sebelumnya tidak masuk kedalam daftar lokasi tujuan investasi, justru menjadi sasaran baru relokasi industri yang sebelumnya telah berlangsung lama di beberapa negara. Misalnya Vietnam, setelah terjadi krisis ekonomi yang diikuti oleh krisis multidimensi di Indonesia maka negara tersebut seperti mendapatkan keuntungan dengan berelokasinya pabrik beberapa perusahaan multinasional ke negara tersebut yang sebelumnya sudah sangat lama beroperasi di Indonesia. Kotak 1.: Memudahkan persyaratan-persyaratan pendaftaran usaha di Vietnam dan Uganda Biaya pendaftaran usaha yang tinggi akan menghambat perusahaan-peusahaan untuk memasuki perekonomian yang formal. Vietnam dan Uganda mengilustrasikan keberhasilan strategi-strategi untuk mengurangi biaya-biaya ini. Vietnam Sebelum suatu Badan Usaha hukum yang baru ditetapkan pada bulan Januari tahun 2000, persyaratanpersyaratan pendaftaran usaha dan perizinan sangatlah memberatkan di Vietnam. Para wirausahawan diharuskan untuk mengajukan rencana-rencana usaha yang rinci, CV, referensi karakter, sertifikat kesehatan, dan dokumen-dokumen lainnya bersama dengan permohonan untuk pendaftaran. Secara ratarata, pendaftaran usaha memakan waktu selama tiga bulan, dan mambutuhkan 10 kunjungan ke berbagai instansi serta pengajuan 20 dokumen dengan cap segel resmi. Izin-izin tambahan sering kali diperlukan sebelum perusahaan-perusahaan dapat memulai operasinya. Sebagian dari perizinan ini tampaknya tidak ditujukan bagi kepentingan-kepentingan publik yang vital (seperti izin untuk mengoperasikan mesin foto kopi). Membutuhkan waktu selama 6 sampai 12 bulan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan legal dalam pendirian suatu usaha dengan biaya sekitar $700 sampai $1400. Hukum yang baru mengurangi biaya-biaya untuk mendirikan usaha baru. Jangka waktu pendirian dapat berkurang hingga sekitar dua bulan-dengan pendaftaran memakan waktu hanya 15 hari-dan biaya pendirian total yang berkurang sampai $350. Para wirausahawan Vietnam meresponnya. Sekitar 6.000 badan usaha baru telah didaftarkan pada tahun 1999, akan tetapi jumlahnya meningkat pesat mencapai lebih dari 14.000 pada tahun 2000 dan lebih dari 21.000 baik pada tahun 2001 maupun pada tahun 2002. Uganda Suatu program perintis yang baru dijalankan di Entebbe telah mengurangi waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk mendaftarkan suatu usaha. Dengan merampingkan proses-proses perizinan serta mengurangi jumlah persetujuan dan penilaian yang sebelumnya dibutuhkan, maka waktu yang dibutuhkan untuk mendaftarkan suatu usaha telah berkurang dari 2 hari menjadi sekitar 30 menit. Hal ini mengurangi biaya pendaftaran sekitar 75%. Meskipun pendaftaran usaha hanya merupakan satu dari beberapa tahapan untuk memulai usaha-usaha di Uganda (usaha harus didaftarkan untuk tujuan-tujuan perpajakan dan banyak usaha yang mambutuhkan perizinan-perizinan tambahan), namun biaya ini dapat bersifat signifikan oleh karena untuk sebagian usaha proses pendaftaran ini harus diulang setiap tahunnya. Program perintis ini meningkatkan jumlah pendaftaran usaha, dengan perkiraan empat kali lipat dari pendaftaran usaha di Entebbe untuk tahun setelah tahun dimulainya program perintis tersebut. Meskipun biaya pungutan registrasi yang diterapkan lebih rendah jumlah pendaftaran yang lebih tinggi berarti bahwa penerimaan pendapatan meningkat sebesar 40%. dengan penghematan admistratif sebesar 25% dalam selang waktu kerja staf dan 10% dalam penggunaan sumber-sumber keuangan, maka program tersebut juga memberikan manfaatnya kepada otoritas kotamadya. Sumber: World Development Report 2005. Iklim Investasi yang Lebih Baik bagi Semua Orang. Bank Dunia, hal. 186 Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
4
Dengan situasi yang demikian, Indonesia ditengah-tengah kepungan globalisasi menghadapi dua pilihan, melakukan perubahan secara fundamental atau semakin terperosok ke dalam posisi yang semakin sulit. Dimensi yang sangat luas dalam pembenahan posisi daya saing dan daya tarik Indonesia diantara negara-negara lain, merupakan persoalan yang multisektor dengan melibatkan multipihak. Tentunya, mengandalkan kemampuan pemerintah semata bukanlah pilihan yang bijaksana, mengingat pemerintah juga memiliki sangat banyak keterbatasan. Akan tetapi menempatkan pemerintah sebagai agen utama pembaharuan menuju daya saing yang kuat, sudah sepantasnya karena memang disitulah peran pemerintah. Sehingga reformasi terhadap regulasi pemerintah merupakan salah satu langkah tepat yang bisa menjadi pilihan. Memulai dari perbaikan prosedur perizinan, bisa jadi akan membuka pintu terciptanya iklim investasi yang akan membentuk daya tarik yang kuat bagi pelaku usaha dari manapun untuk memilih Indonesia sebagai sasaran berinvestasi. Reformasi perizinan sebagai salah satu bagian dari reformasi regulasi memiliki tujuan fundamental yakni meningkatkan efisiensi perekonomian nasional dan meningkatkan kemampuan pemerintah dalam mengadopsi perubahan demi peningkatan daya saing nasional. Dalam konteks daya saing sektor perekonomian, reformasi regulasi memiliki tujuan utama yang sangat terkait dengan bagaimana menciptakan iklim usaha yang sehat bagi perkembangan sektor perekonomian. Dengan demikian, reformasi regulasi di sektor ini, akan sangat terkait dengan reformasi regulasi yang berkaitan secara langsung dengan aktivitas pelaku usaha sejak mulai pra operasi hingga masa pasca operasi. Sebagai bagian dari proses masa pra operasi yang menjadi legitimasi aktivitas usaha di mata negara maka sangat jelas jika aspek perizinan merupakan hal yang sangat penting. Salah satu langkah nyata reformasi disektor perizinan adalah dengan melakukan pembenahan pada institusi-institusi yang sebelumnya memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memberikan pelayanan perizinan. Reformasi kelembagaan tersebut, bukan hanya dengan melakukan pembenahan internal terhadap lembaga yang sebelumnya terbangun, akan tetapi juga dengan melakukan terobosan-terobosan pada posisi lembaga itu sendiri. Bentuk nyatanya antara lain dengan diperkenalkannya sistem pelayanan satu atap/instansi sebagai jawaban atas kelambanan prosedur selama ini akibat terlampau banyaknya meja birokrasi yang harus dilalui ketika mengurus sebuah perizinan. Pengenalan sistem pelayanan satu atap ini, merupakan rekomendasi yang secara luas disebarkan oleh lembaga-lembaga asing kepada negara open economy di dunia. Akan tetapi, interpretasi terhadap konsep kelembagaan tersebut sangat bervariasi tergantung pada level mana pemerintah setempat memaknai arti penyederhanaan prosedur. Kotak 2.: Pelayanan satu instansi-atau satu instansi pelayanan lagi? Di banyak Negara, perusahaan-perusahaan harus memperoleh peretujuan dari berbagai instansi yang berbeda-beda sebelum mereka dapat memulai usahanya: satu persetujuan untuk pendaftaran usaha, persetujuan yang lain untuk pendaftaran pajak, pendaftaran perizinan lingkungan, persetujuan kesehatan dan keselamatan, dan seterusnya. Untuk mengurangi beban ini pemerintah telah membentuk suatu “pelayanan satu instansi (one-stop shops)” dimana perusahaan-perusahaan dapat memperoleh seluruh
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
5
informasi dan melengkapi seluruh prosedur regulatif yang diperlukan untuk memulai suatu usaha dalam suatu area kewenangan tertentu. Salah satu pendekatan adalah untuk memberikan suatu instansi tunggal kewenangan untuk mengeluarkan seluruh lisensi, perizinan, dan persetujuan yang dibutuhkan oleh suatu perusahaan baru untuk memulai usahanya. Praktiknya merupakan hal yang sulit. Kementrian dan instansi-instansi lain sering kali menolak untuk menyerahkan kewenangan mereka kepada lembaga yang baru tersebut. Terlebih lagi, dalam kerangka pemikiran bahwa persetujuan-persetujuan merupakan suatu respon terhadap suatu kekhawatiran atas kebijakan yang valid, maka pelayanan perizinan oleh satu instansi harus melakukan duplikasi terhadap keahlian dan fasilitas pada suatu bagian tertentu dalam pemerintahan. Tentu saja apabila persetujuanpersetujuan yang diberikan tidak memenuhi tujuan-tujuan kabijakan yang valid tersebut, maka prosedur terkait dapat saja dihilangkan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, sebagian besar pelayanan terpadu dalam satu instansi tersebut memiliki mandat yang lebih terbatas, dengan kewenangan untuk memberikan sebagian dari persetujuan tersebut dan memberikan bimbingan atau bantuan untuk mendapatkan persetujuan-persetujuan yang lain.Untuk persetujuan-persetujuan yang masih menjadi kewenangan instansi-instansi lainnya, maka instansi pelayanan terpadu tersebut dapat menampung para staf dari instansi-instansi yang bersangkutan atau cukup dengan meneruskan pengajuan yang diterimanya ke instansi-instansi yang terkait. Walaupun para staf dari instansi-instansi lainnya yang bertugas pada instansi pelayanan terpadu tersebut tidak dapat mengeluarkan persetujuan secara tersendiri, setidaknya mereka dapat memfasilitasi proses-proses pemberian persetujuan yang dimaksud. Pusat Investasi Tanzania (Tanzania Investment Center) mempunyai sembilan orang pejabat senior dari kementrian-kementrian lainnya, dan umumnya dapat menyelesaikan satu proses aplikasi dalam waktu beberapa hari. Cepatnya waktu penanganan tersebut sebagian disebabkan oleh suatu provisi “tidak terdapat penolakan” yang tertulis dalam peraturan investasi—apabila dalam jangka waktu 14 hari suatu instansi tidak menyampaikan penolakannya maka Pusat Instansi tersebut dapat memberikan persetujuannya terhadap aplikasi yang ada. Pendekatan ini tidak akan begitu berhasil apabila batas kewenangan yang ada tidak digariskan dengan jelas. Setelah pendiriannya pada tahun 1987, Pusat Pelayanan satu Atap di Filipina (One-Stop Service Center) menampung perwakilan-perwakilan dari tujuh instansi yang bertanggung jawab atas pemberian informasi kepada para pemohon dan menangani sebagian dari aplikasi yang ada. Ketiadaan representasi instansi yang efektif—serta perilaku sebagian instansi yang tidak memberikan laporannya kepada Pusat Pelayanan tersebut mengakibatkan hasil yang mengecewakan, yang mengharuskan pihak pemerintah untuk melakukan reorganisasi Pusat Pelayanan tersebut pada akhir tahun 1990-an. Pada saat instansi-instansi yang ada tidak memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan yang dibutuhkan, maka merupakan suatu hal yang penting bahwa setidaknya mereka masih memberikan tambahan nilai pada proses perizinan tersebut dan tidak hanya memjadi beban regulatif tambahan. Di Thailand, Pusat Pelayanan Investasi (Investment Service Center) dapat mengeluarkan perizinan bagi badanbadan usaha untuk aktivitas-aktivitas yang bersifat nonpolusi, akan tatapi pabrik-pabrik tetap harus mandapatkan izin dari Kementrian Industri (Ministry of Industry) sebelum dapat memulai kegiatan sebenarnya. Untuk menghindari keterlambatan-keterlambatan selanjutnya dalam proses tersebut, banyak perusahaan yang memilih untuk mendapatkan perizinan yang dibutuhkan secara langsung dari kementrian terkait sejak dari tahap awal. Pelayanan terpadu pada suatu instansi dengan mandat yang lebih terbatas kadang kala dapat mempercepat proses-proses untuk memperoleh persetujuan-persetujuan tertentu. Sebagai contoh, dengan berganti dari sistem audit ke sistem pasca verifikasi, maka Pusat Pelayanan Satu Atap untuk Visa dan Izin Kerja di Thailand telah mengurangi waktu yang dibutuhkan oleh perusahaan asing untuk mendapatkan visa bagi para tenaga kerja asing dari 45 hari menjadi hanya 3 jam. Sumber: World Development Report 2005. Iklim Investasi yang Lebih Baik bagi Setiap Orang. Bank Dunia, hal. 187 Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
6
B. DESENTRALISASI DAN DAMPAKNYA BAGI PERIZINAN Sejalan dengan desentralisasi kewenangan maka porsi partisipasi pemda dalam membangun daerahnya menjadi besar. Yang berarti bahwa tuntutan terhadap daerah menjadi besar dalam memenuhi kebutuhan pembangunan dan pelayanan bagi masyarakat. Fakta yang terjadi bahwa sejak otonomi daerah dilakukan, praktis tidak membawa perubahan yang besar bagi kondisi makro ekonomi regional. Bahkan di beberapa daerah cenderung tumbuh lebih lambat dibandingkan perekonomian nasional pun kesenjangan antar daerah semakin terlihat. Sementara di satu sisi, pembagian kewenangan dan tanggung jawab penganggaran yang lebih besar tidak paralel dengan keberhasilan daerah dalam menstimulasi perekonomian daerah. Kenyataan yang terjadi adalah kadangkala daerah terlalu bersemangat untuk meningkatkan PAD nya dengan membabi buta tampa memperdulikan aspek yang kontradiktif yang muncul karena tindakan tersebut. Daerah berusaha mengoptimalkan potensi penerimaannya dengan menggali sumber-sumber baru. Celakanya, sumbersumber baru tersebut sebagian besarnya diharapkan bersumber dari aktivitas usaha, terutama aktivitas usaha yang sedianya baru akan muncul di daerah tersebut. Mekanisme yang digunakan untuk mendapatkan retribusi dari pelaku usaha yang baru, biasanya dibuat dalam bentuk retribusi perizinan. Dalam berbagai format, daerah memunculkan aturan baru atau bahkan istilah baru demi mendapatkan pemasukan. Situasi yang demikian, pada dasarnya muncul akibat adanya penafsiran yang salah dari esensi desentralisasi oleh pemerintah daerah setempat. Desentralisasi yang sejatinya merupakan instrumen untuk mendekatkan pelayanan dengan masyarakat justru diterjemahkan secara salah sehingga membuat kedekatan tersebut menjadi tidak sehat. Dalam konteks perizinan, seharusnya dengan desentralisasi maka prosedur perizinan menjadi mudah dan murah akan tetapi prosedur justru menjadi semakin sulit dan mahal. Dalam pada itu, bisa jadi perizinan diartikan terlalu dominan pada fungsi budgeteringnya. Memang pada dasarnya sah-sah saja jika dari perizinan akan diharapkan memberikan kontribusi yang positif bagi penerimaan daerah. Minimal, proses perizinan tersebut akan membiayai dirinya sendiri (self fund) dan tidak menjadi beban anggaran daerah yang sudah dari sananya terbatas. Akan tetapi, mengedepankan fungsi budgetering semata-mata sebagai fungsi dari perizinan sudah pasti merupakan penafsiran yang keliru. Sebab, perizinan pada dasarnya memiliki fungsi lain yang jutru sangat mendasar yakni menjadi instrumen pembangunan. Dalam fungsi tersebut, perizinan akan berperan sebagai suatu bentuk rekayasa kebijakan yang berperan dalam setiap siklus pembangunan yakni sejak perencanaan hingga ke pengawasan dan evaluasi. Dalam proses perencanaan, perizinan akan menjadi salah satu variabel kebijakan yang dapat memaksa pelaku usaha untuk bekerja sesuai dengan target yang ingin dicapai dalam pembangunan nasional/daerah. Dengan demikian, pemberian izin tidak lepas dari kepentingan Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
7
pembangunan secara luas dengan berbagai persyaratan sebagai indikator tujuannya. Dalam proses pembangunan, perizinan akan menjadi legitimasi keterlibatan pihak pemilik izin dalam aktivitas pembangunan, dalam porsi yang menjadi lingkup dalam izinnya. Dalam proses pengawasan, sangat jelas bahwa dengan dikeluarkannya perizinan maka telah terjadi kontrak antara pemerintah sebagai pihak yang mengeluarkan izin dan pelaku usaha yang memperoleh izin untuk melakukan tindakan/prestasi tertentu sesuai dengan lingkup yang telah diperjanjikan sebelumnya. Walaupun kontrak tersebut dalam implementasinya bersifat asimetris dalam artian posisi pemerintah terkadang ditempatkan sangat superior, namun perizinan tetap bisa menjadi instrumen yang efektif dalam pengawasan. Begitu pun dalam proses evaluasi, izin dapat menjadi objek penerapan sanksi. Sangat lumrah di suatu negara/daerah atau dalam suatu aturan perundangundangan yang menjadikan pencabutan izin sebagai salah satu bentuk pemberian sanksi. Secara umum, perizinan juga memiliki fungsi pembinaan. Dalam artian bahwa, dengan diberikannya izin oleh pemerintah, maka pelaku usaha sudah diakui sebagai pihak yang memiliki kompetensi untuk melakukan praktek usaha. Dan karenanya, sebagai pihak yang berkewajiban untuk memberikan pembinaan bagi pelaku usaha, maka pemerintah akan memiliki tanggung jawab pada pelaku usaha yang sebelumnya sudah memperoleh izin.
Kotak 3.: Retribusi dan Perizinan Usaha Kecil di Era Desentralisasi Izin dan biaya retribusi khususnya mempersulit dan mengganggu kegiatan usaha kecil. Formalisasi bisnis memerlukan banyak izin, tapi hanya sedikit yang diperlukan untuk alasan kepentingan publik. Proses perizinan terlalu berbelit-belit dan memerlukan dokumen serta persetujuan yang tidak perlu. Penetapan biaya tidak transparan, kurang rasionalitas dan sangat sulit. Seringkali, surat izin dari dari satu badan tumpang tindih dengan izin dari badan yang lain tapi diberlakukan untuk usaha yang sama. Lebih lagi, perizinan sering melarang perluasan usaha kecil ke kabupaten tetangga, karena izin baru (dan oleh karenanya hubungan dengan aparat setempat) harus diminta lagi. BIGS (2002) mencatat bahwa aparat setempat biasanya bertahan tidak berusaha menyederhanakan proses perizinan. Hanya 20% izin di area survey yang dikeluarkan dengan layanan satu atap. Lebih lagi tidak ada usaha untuk mendesentralisasikan wewenang perizinan kepada tingkat yang lebih rendah, dan di beberapa kasus yang lebih diposisikan secara layak, badan-badan seperti desa dan kantor camat (yang perannya terbatas mengeluarkan surat rekomendasi kepada badan yang lebih tinggi). BIGS (2002) juga mencatat bahwa ada kekurangan kompetensi dari aparat yang mengeluarkan perizinan. Masalah ini menjadi sangat serius saat aparat harus mengerti masalah-masalah teknis, seperti dampak lingkungan dari suatu proyek, atau dampak pasar (dan lainnya) dari dikeluarkannya surat izin/permit dalam jumlah besar. Hal ini juga menghidari koordinasi yang lebih diperlukan dengan badan-badan lainnya, termasuk mereka yang berasal dari pemerintah daerah tetangga (ini khususnya penting saat mengkoordinasikan transportasi publik di Jawa Barat dan Jakarta). Survey REDI (2002) melaporkan bahwa di bawah sistim desentralisasi, lingkungan usaha perizinan paling tidak sama. Muncul peningkatan dalam waktu pembuatan dan dalam hal prosedur dan transparansi biaya. Akan tetapi, peningkatan ini dikenai biaya perizinan yang tinggi karena pemda berniat menaikkan pendapatan asli daerahnya, melalui pengenaan biaya retribusi izin diluar yang diperlukan untuk costrecovery. Satu poin yang menonjol yang terdapat dalam survey REDI adalah bahwa hampir separuh responden melaporkan bahwa mereka masih membayar fasilitas tidak resmi atau biaya perantara/komisi kepada petugas badan yang mengeluarkan perizinan. Sumber: David Ray, 2003, Desentralisasi, Reformasi Peraturan dan Iklim Usaha
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
8
Permasalahan desentralisasi yang secara umum terjadi di Indonesia antara lain sangat berkenaan dengan pendelegasian kewenangan dan kesiapan pelaksanaannya. Dalam banyak hal, kewenangan yang dibagikan pada berbagai level pemerintahan selama ini tidak diikuti dengan pelaksanaan kewenangan tersebut secara efektif. Sangat banyak studi yang menyebutkan bahwa aparatur pelaksana di daerah tidak siap untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Ketidaksiapan aparatur tersebut sangat berkaitan dengan kompetensi dan kapabilitas yang dimilikinya. Kapabilitas dan kompetensi yang dimaksud, dapat diterjemahkan dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia dengan tidak dimilikinya pengetahuan, keahlian dan perilaku yang sesuai dan dibutuhkan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dalam hal pelaksanaan perizinan, lack of competencies sangat mudah untuk di jelaskan. Pertama, proses perizinan membutuhkan adanya pengetahuan tidak hanya sebatas pada aspek legal dari proses perizinan akan tetapi lebih jauh dari aspek tersebut. Misalnya untuk memberikan izin, pihak pelaksana juga harus mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan dari izin tersebut baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Seseorang yang dapat memperkirakan dampak yang bersifat multidimensi memerlukan pengetahuan yang luas baik dari segi konsepsional maupun hal-hal teknis. Dalam beberapa kasus, sangat sering ditemui aparatur pelaksana yang tidak memiliki syarat pengetahuan yang dimaksud. Alhasil, izin yang diberikan bisa jadi akan menimbulkan dampak yang buruk di masa depan. Kedua, proses perizinan memerlukan dukungan keahlian aparatur tidak hanya dalam mengikuti tata urutan prosedurnya akan tetapi hal-hal lain yang sangat mendukung kelancaran proses perizinan itu sendiri. Pengoptimalan penggunaan teknologi informasi, misalnya dianggap menjadi solusi yang sangat tepat untuk mengefisienkan prosedur perizinan. Sehingga, hampir disemua sektor perizinan dituntut untuk menggunakan sistem komputerisasi dan aparat yang tidak memiliki keahlian untuk mengoperasikan teknologi tersebut akan menjadi ganjalan. Aparat yang demikian, masih sangat banyak ditemui di lapangan. Ketiga, proses perizinan tidak terlepas dari interaksi antara pemohon dengan pemberi izin. Dalam interaksi tersebut terkadang muncul perilaku yang menyimpang baik yang dilakukan oleh aparatur maupun yang dipicu oleh kepentingan bisnis pelaku usaha. Sehingga, aparatur pelaksana perizinan dituntut untuk memiliki perilaku yang positif dengan tidak memanfaatkan situasi demi kepentingan pribadi. Masih sangat sering dijumpai praktek-praktek yang tercela dalam proses perizinan seperti suap dan sebagainya. Disamping itu, masalah perilaku juga menjadi persoalan manakala prinsip good governance dituntut untuk dilakukan dalam pelayanan perizinan. Sebab, masih jarang ditemui aparatur pelayanan yang memiliki sikap profesionalisme dan mengedepankan prinsip customer relationship manakala berhubungan dengan pihak yang diberi layanan.
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
9
Kotak. 4: Desentralisasi di Sektor Pertambangan Umum UU Pokok Pertambangan No. 11 Tahun 1967 membagi bahan galian menjadi tiga golongan: 1) bahan galian golongan A atau strategis seperti migas, batubara dan timah; 2) bahan galian golongan B atau vital seperti emas, tembaga dan intan; dan c) bahan galian golongan C atau bukan strategis dan bukan pula vital seperti pasir, batu granit dan batu permata lainnya. Pengadministrasian bahan galian golongan C telah mengalami pendelegasian oleh pusat ke pemda (dalam hal ini kepada Gubernur terkait, yang selanjutnya membagi tugas pendelegasian ini dengan pemda tk II). Bahkan untuk bahan galian golongan B-pun, tidak tertutup kemungkinan untuk pendelegasian. Hanya yang terakhir ini jarang sekali terjadi karena sifat pendelegasiannya yang berdasarkan permohonan (Gubernur terkait mengajukan permohonan kepada pusat, dalam hal ini Menteri yang membidangi sektor pertambangan dengan alasan demi kepentingan pembangunan di daerahnya). Akan halnya dengan pengadministrasian bahan galian golongan C ini, dalam sejarahnya, telah mengalami kejanggalan. Pada zaman kolonial Belanda, bahan galian yang digolongkan kepada golongan C ini tidak diatur oleh UU Pertambangannya Indische Mjinwet 1899). Kewenangan bahan galian golongan C ini berada di tangan Gubernur. Jadi ketika Indonesia merdeka, bahan galian golongan C ini bukannya mengalami deregulasi tetapi sebaliknya mengalami regulasi. Yang justru dalam perjalanan pengadministrasiannya terjadi ekstra kehati-hatian pusat dalam pendelegasiannya. Pertama-tama, pendelegasiannya berdasarkan azas dekonsentrasi dimana pemda yang kerja atas biaya pusat, yang dirasakan kurang oleh pemda karena menginginkan pemberian power yang lebih besar. Hal tersebut baru menjadi kenyataan 20 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1986, ketika bahan galian golongan C didelegasikan pengadministrasiannya kepada Gubernur terkait atas dasar desentralisasi. Alasan yang sering dikemukakan atas lambannya pemberian otonomi bahan galian golongan C adalah alasan praktis seperti ketidaksiapan personel (termasuk personel untuk pengawasan compliance atau inspeksi tambang). Tetapi hal tersebut juga sebagai akibat kerancuan UU Pokok Pertambangan yang telah memasukkan bahan galian golongan C ini bersama-sama dengan bahan galian lainnya, dimana UU mengharuskan bahwa Menterilah yang bertanggung-jawab atas seluruh bahan galian, tidak hanya atas pengadministrasian tetapi juga atas pengawasan pengusahaan atau supervision. UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 dan UU Perimbangan Keuangan No. 25 Tahun 1999, yang diberlakukan pada 1 Januari 2001, adalah peraturan yang dikeluarkan sebagai pelaksanaan TAP MPR No. XV/MPR/1998 yang menetapkan pemberian otonomi kepada daerah, pemanfaatan kekayaan nasional secara adil, dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dalam konteks negara kesatuan. UU Otdanya sendiri mengatur pendesentralisasian bahan galian selain migas kepada pemda tingkat II terkait, kecuali mengenai policynya yang masih menjadi tanggung-jawab pusat untuk membuatkan formulanya. Karena hal ini tidak langsung diikuti dengan penggantian UU Pokok Pertambangan, maka sebelum ini telah muncul pertanyaan dapatkah UU Otda mengalahkan UU Pokok Pertambangan yang lebih tua usianya? Mengantisipasi hal ini MPR telah mengeluarkan TAP MPR No. IV/MPR/2000 pada 18 Agustus 2000 yang khusus ditetapkan demi pelaksanaan otonomi daerah. Apabila tadinya sejak tahun 1986 hanya bahan galian golongan C yang didesentralisasikan ke pemda, itupun kepada pemda tk I (Gubernur) bukan kepada pemda tk II (Walikota/Bupati), maka dengan pemberlakuan UU Otda, bukan hanya bahan galian golongan B saja yang diminta untuk didesentralisasikan seperti halnya bahan galian golongan C, tetapi juga bahan galian golongan A (kecuali migas). Dan semua bahan galian tersebut didelegasikan bukannya kepada Gubernur tetapi kepada Walikota/Bupati. Jadi dapat dibayangkan bagaimana generousnya pendelegasian sekarang ini tetapi juga merupakan suatu perubahan yang sangat drastis. Jika sebelumnya bupati hanya diberi wewenang untuk mengelola SIPD bahan galian golongan C yang wilayah pengusahaan di bawah 25 hektar, tiba-tiba diberi power untuk mengelola tidak saja SIPD bahan galian golongan C untuk wilayah pengusahaan yang lebih luas tetapi juga mengelola pengusahaan bahan Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
10
galian golongan B yang luasnya ribuan hektar (yang tadinya dalam bentuk KP yang diperoleh dari Menteri atau Dirjen). Tidak cukup itu saja, Bupati juga sekarang punya power untuk mengelola pengusahaan bahan galian golongan A selain migas, seperti KP batubara misalnya. Tidak heran jika banyak yang meragukan kesiapan para Bupati (termasuk Walikota). Terus terang masalah manajemen pengusahaan tambang tidak sekedar masalah pemberian izin pengusahaan saja. Masalah hukum bisa timbul di luar masalah perizinan, seperti overlapping dan ganti rugi. Pertikaian dapat saja melibatkan banyak pihak. Dapat terjadi pertikaian antara masyarakat, pemegang izin usaha, atau pemohon dengan penguasa. Atau antara pemegang izin usaha atau pemohon dengan pemegang izin usaha lainnya. Atau antara pemegang izin usaha atau pemohon dengan pemegang hak atas tanah. Atau bisa juga antara sesama pemohon. Tanpa menganggap kecil kemampuan dan pengetahuan kantor Bupati dalam menyelesaikan pertikaianpertikaian, dapat dimengerti apabila ada keragu-raguan terhadap kapasitas kantor-kantor tersebut. Dan hal ini sangat penting untuk segera diantisipasi mengingat bahayanya apabila ada pihak yang nakal yang akan memanfaatkan loopholes. Sumber: Dr Sony Rospita Simanjuntak, Desentralisasi di Sektor Pertambangan Umum, http://www.minergynews.com/opinion/sony1.shtml
C. KONDISI OBJEKTIF PERIZINAN DI INDONESIA 1. Kewajiban Untuk mengikuti kesepakatan dan standar internasional Kesepakatan dan standar internasional yang berkenaan dengan iklim usaha mengalami pertumbuhan secara eksponensial dalam beberapa dekade terakhir. Pengaturanpengaturan internasional sangat jelas tujuannya yakni untuk membatasi hambatan yang muncul terkait transaksi internasional. Dalam berbagai tingkatannya, kesepakatankesepakatan internasional tersebut baik yang bersifat bilateral maupun multilateral, memberikan warna tersendiri bagi regulasi domestik. Kesepakatan World Trade Organization (WTO) misalnya, dimana Indonesia terlibat aktif didalamnya menganut prinsip non diskriminasi melalui penerapan doktrin Most Favour Nation dan National Treatment. Kedua kesepakatan tersebut mengharuskan negara-negara WTO untuk memperlakukan secara adil suatu negara atau perusahaan dan bahkan produk dari negara tertentu. Dengan demikian, aspek perizinan dalam konteks yang demikian, tidak terlepas dari kewajiban untuk memperlakukan secara adil/setara dengan memberikan akses yang seimbang baik ke pelaku usaha domestik maupun ke perusahaan-perusahaan trans nasional. Sebab jika tidak menerapkan prinsip tersebut secara benar, maka akan terdapat sanksi-sanksi yang juga sedari awal telah disepakati secara bersama. Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan internasional tersebut serta untuk menghindari adanya perbedaan persepsi perihal aspek-aspek yang menjadi kesepakatan, maka dalam beberapa sektor dibuat standar-standar internasional yang menjadi acuan teknis. Untuk mendorong terjadinya integrasi komunikasi global misalnya, maka lembaga-lembaga dunia seperti International Telecommunication Union menetapkan berbagai standar yang berkenaan dengan aspek teknis dan non teknis interkoneksi. Bahkan untuk mendorong konvergensi secara luas disektor teknologi informasi dan komunikasi, maka lembagalembaga di dunia menyusun pedoman yang menjadi acuan penerapan standar yang dapat diikuti secara internasional. Dengan demikian, arus perizinan sektor telekomunikasi pun tidak bisa mengabaikan hal tersebut. Sebut saja, pemberian lisensi operator Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
11
telekomunikasi mewajibkan operator tersebut untuk memiliki kompabilitas teknis yang dapat memenuhi standar internasional sehingga operator tersebut bisa berkoneksi atau bahkan dapat berfungsi sebagai jaringan terminasi telekomunikasi dan informasi. Standar internasional yang memberikan aspek yang lebih khusus terhadap keberlanjutan daya dukung lingkungan dan perlindungan kepentingan masyarakat dalam jangka panjang, terutama dapat ditemui pada sektor-sektor seperti industri manufaktur, kehutanan, pertambangan, pertanian dan kelautan. Kewajiban masyarakat internasional adalah menjaga daya dukung lingkungan hidup dengan menghindari kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan. Dengan demikian, pemberian izin usaha di sektor-sektor tersebut mewajibkan adanya telaah terhadap dampak (eksternalitas) dari keberadaan suatu unit usaha. Di Indonesia, dokumen telaah tersebut biasa dikenal dengan dokumen AMDAL (analisa mengenai dampak lingkungan hidup). Aspek-aspek yang menjadi poin-poin dalam dokumen tersebut telah menjadi bahan diskusi komunitas internasional. Sehingga pemberian izin dengan memperhatikan ketentuan standar internasional terkait dengan aspek lingkungan hidup, sudah barang tentu menjadi kewajiban negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Selain memperhatikan standar-standar pelestarian lingkungan hidup, komunitas internasional juga menerapkan berbagai standar-standar dengan hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan kesehatan masyarakat, hak-hak asasi manusia, kesehatan, keselamatan dan hak-hak pekerja, kesetaraan gender, perlindungan anak dan lain sebagainya. Pemberiaan izin usaha yang menyalahi aturan internasional berkenaan dengan hal-hal tersebut akan menimbulkan permasalahan tersendiri. Walapun sejauh ini, implementasi standar yang bekenaan dengan aspek tersebut masih sangat bervariatif, akan tetapi terdapat prinsip-prinsip dasar yang tidak bisa dilanggar. Sehingga, sudah jelas jika perizinan di sektor perekonomian di Indonesia, tidak bisa mengabaikan begitu saja kesepakatan internasional tersebut. 2. Masalah Koordinasi Horizontal dan Vertikal Lembaga Pemerintahan Persoalan egosektoral, sudah sejak lama dikemukakan ke hadapan publik. Persoalan ini dilatarbelakangi oleh adanya perilaku yang mengkotak-kotakkan sebuah permasalahan yang berujung pada pembatasan lingkup pihak yang berkompeten. Cara pandang yang demikian sangat bersifat parsial dan membahayakan penyelesaian holistik dari sebuah permasalahan. Tidak terkecuali di bidang perizinan. Pola pikir parsialis masih sering ditemukan tidak hanya di tingkat daerah, bahkan juga ditingkat pusat. Bukti nyata dari perilaku yang berfikir sektoral dapat ditemukan dari berbagai produk perundang-undangan, yang biasa disebut dengan aturan sektoral. Permasalahan perizinan sektor pertambangan seringkali berbenturan dengan perizinan sektor kehutanan. Hal ini dikarenakan adanya pemberian konsesi pembukaan tambang di lingkungan hutan lindung, yang dibenarkan oleh sektor pertambangan akan tetapi disalahkan oleh sektor kehutanan. Celakanya, kekisruhan ini juga dipicu oleh aturan yang memiliki kedudukan hukum yang relatif tinggi yakni undang-undang. Oleh karena masing-masing sektor merasa memiliki pembenaran, maka terkadang permasalahan tersebut mengalami Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
12
deadlock dalam penyelesaiannya. Jika hal demikian berlarut-larut terjadi, maka akan memberikan dampak ketidakkonsistenan regulasi yang akan menjadi preseden buruk bagi kredibilitas bangsa. Apalagi persoalan dikedua sektor tersebut seringkali melibatkan komunitas internasional karena investor yang berperan umumnya melibatkan pihak asing. Selain persoalan koordinasi antar sektor, masalah koordinasi juga terjadi secara vertikal yakni antar pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Contoh regulasi perizinan di sektor kehutanan yang digambarkan dalam tabel 1 berikut memperlihatkan hal tersebut. Betapa tidak, untuk komponen yang sama terjadi pengaturan yang berbeda-beda untuk setiap level pemerintah. Jika demikian, maka aturan yang mana yang dapat menjadi pegangan bagi masyarakat. Sebab satu sama lain aturan tersebut bukannya saling melengkapi, akan tetapi justru tidak harmonis dan bahkan bisa saling bertentangan. Ditengah-tengah persoalan koordinasi regulasi baik antar sektor maupun antar level pemerintahan, permasaahan koordinasi implementasi juga seringkali muncul. Keluhan pelaku usaha akibat lambannya perizinan yang harus diberikan persetujuannya oleh beberapa instansi, menjadi salah satu bukti kurangnya koordinasi. Masalah muncul ketika sebuah instansi yang harus mengeluarkan izin berdasarkan rekomendasi instansi lain tidak memenuhi batasan waktu yang ditetapkan, sehingga menimbulkan efek domino kelambanan perizinan. Dan yang paling menyedihkan adalah kelambanan tersebut seringkali muncul karena persoalan sepele seperti pejabat yang berwenang untuk melakukan persetujuan sedang tidak ada di tempat dalam beberapa waktu karena sedang sakit atau ada urusan keluarga, dan tidak ada pejabat lainnya yang dapat menggantikan tugas tersebut.
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
13
Tabel 1.: Analisis Kebijakan Sistem Alokasi Perizinan Pemuguntan Hasil Hutan Oleh Masyarakat di Kabupaten Manokwari
Sumber: Max J. Tokede, Dede Wiliam, Siân McGrath, dan Yosias Gandhi, 2005, Decentralization Brief, No. 8, April
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
14
3. Mekanisme Konvensional, Inefisiensi Prosedural dan Moral Hazard Berdasarkan tahapannya, proses berinvestasi di Indonesia dibagi kedalam tiga tahapan yakni tahapan inisiasi, tahapan formasi perusahaan dan tahapan izin usaha. Tahap inisiasi biasanya berupa pemberitahuan/permintaan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) perihal maksud dan tujuan investasi. Pada prinsipnya, pemberitahuan tentang diterimanya usulan ke BKPM adalah satu minggu. Sementara tahap formasi berupa proses legislasi dan registrasi perusahaan pada departemen terkait seperti halnya Departemen Hukum dan HAM dan departemen teknis lainnya. Proses ini biasanya memakan waktu hingga 11 minggu. Tahap selanjutnya adalah proses perizinan yang dilakukan ke departemen teknis dan pemerintah daerah. Biasanya proses ini memakan waktu 6 hingga 27 minggu atau bahkan lebih. Masing-masing setiap fase di atas, memiliki hal-hal yang secara krusial dapat mempengaruhi kesuksesan proses berinvestasi. Dalam proses inisiasi, beberapa permasalahan yang kerapkali muncul adalah informasi yang bersifat kompleks dan tidak jelas dan aplikasi awal yang seringkali ditolak. Disamping itu, permasalahan yang muncul juga terkait dengan perlakuan yang tidak setara serta kompleksnya prosedur yang harus dilalui, maka pihak investor seringkali harus mengeluarkan biaya untuk pengurusan seperti biaya notaris dan firma hukum. Indonesia tidak memiliki informasi yang jelas atau sederhana terkait dengan negatif list sebab panduan investor yang dimiliki oleh BKPM sangat tebal dan sulit untuk digunakan serta tidak semua informasi yang dibutuhkan tersedia dalam panduan tersebut. Permasalahan yang seringkali muncul terkait dengan proses registrasi dan legislasi perusahaan antara lain adalah keharusan untuk memperoleh legalisasi notaris sebelum mendapat persetujuan menteri hukum. Proses ini memerlukan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Sementara walaupun sudah mendapatkan persetujuan dari menteri, akan tetapi registrasi perusahaan tersebut harus diumumkan dalam lembar negara. Pengumuman tersebut memerlukan waktu selama 6 bulan. Selama belum diumumkan tanggung jawab yang menyertai setiap aktivitas perusahaan masih merupakan tanggung jawab personal. Tentu saja hal ini akan menjadi riskan bukan hanya pada perusahaan yang bersangkutan akan tetapi pada pihak-pihak lain yang berhubungan dengan perusahaan. Setelah mendapatkan persetujuan dari BPKM dan telah diregistrasi di departemen hukum, maka perusahaan dihadapakan lagi pada sejumlah izin yang harus dipenuhi sebelum aktivitas pra operasi dimulai. Sejumlah izin tersebut melibatkan banyak pihak, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Keterlibatan banyak pihak dan sejumlah prosedur yang berbelit-belit dan waktu yang panjang, akan menimbulkan masalah sendiri bagi perusahaan. Belum lagi persoalan prosedur tersebut semakin dipersulit oleh penggunaan metode-metode konvensional seperti antrian, akses formulir, pengembalian dan pengisiannya yang masih bersifat manual.
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
15
Dalam setiap tahapan tersebut, terdapat biaya yang yang harus dibayarkan. Aturan formal terkait biaya tersebut sejauh ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan biaya prosedur yang mahal. Hal ini karena titik-titik pembayaran menyebar dalam setiap proses. Biaya yang relatif besar tersebut lebih dipermahal dengan adanya biaya yang harus dibayar diluar biaya yang seharusnya. Biaya tersebut ditengarai bahkan sangat jauh diatas biaya yang formal. Belum lagi biaya tersebut tidak dapat diprediksi besarannya dan bisa terjadi kapan saja. Posisi biaya non formal ini, sifatnya seringkali menentukan kelancaran pengurusan. Dalam artian jika tidak dipenuhi, maka akan berdampak pada terbengkalainya izin dan atau bahkan tidak dikeluarkannya izin. Praktek-praktek pengeluaran biaya non formal, sudah menjadi rahasia umum. Namun anehnya, walaupun praktek tersebut masih saja terjadi dan dikeluhkan oleh pelaku usaha akan tetapi pemerintah sepertinya tidak memperlihatkan upaya penanganan yang lebih serius. Bahkan di era otonomi daerah saat ini, praktek tersebut ditengarai justru terjadi dengan suburnya. Dalam kondisi demikian, sangat sulit untuk mengembalikan citra Indonesia sebagai surga investasi. Jika begitu, apa masih ada alasan untuk membiarkan moral hazard terjadi dan menggerogoti eksistensi bangsa secara sistemik. Kotak 5.: Tidak Efisien dan Termahal di Dunia Prosedur Perizinan Investasi di Persimpangan Jalan Untuk itu, demi menggenjot investasi, semua bentuk hambatan akan dipangkas habis oleh pemerintah. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan investasi adalah dengan membenahi aspek perizinan seperti penyederhanaan prosedur dan penyingkatan waktu. Terkait masalah perizinan, berdasarkan laporan Internatioanl Finance Corporation (IFC), Indonesia ditempatkan sebagai negara paling tidak efisien dan mahal. Di Indonesia, pengurusan izin baru berinvestasi harus melalui 12 prosedur yang membutuhkan 151 hari dan biaya yang dikeluarkan US$ 1.163. Sebanyak 12 prosedur berarti 12 instansi dihadapi investor. Bandingkan dengan negara lain yang dinilai IFC prosedurnya lebih mudah dan tidak mahal. Di Malaysia, jumlah prosedur 9 dan 30 hari pengurusan dengan biaya US$ 966. Pengurusan izin di Thailand lebih murah cuma US$ 160 selama 33 hari yang melalui sebanyak 8 prosedur sedangkan Cina hanya membutuhkan biaya US$ 158 dengan melalui 12 pintu instansi selama 41 hari. Australia hanya perlu 2 hari dan dua instansi dengan biaya yang dikeluarkan pengusaha US$ 600. Beranjak dari laporan itu, pemerintah merasa harus membenahi prosedur perizinan ini dengan memangkas perizinan dari 151 hari menjadi 30 hari. Salah satu sasaran yang mungkin akan dihapus adalah Keputusan Presiden Nomor (Keppres) 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri melalui Sistem Satu Atap. Keppres ini memberi kewenangan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal menyelenggarakan sistem pelayanan satu atap dalam hal pemberian persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal. Berpegang pada Keppres, kewenangan BKPM menjadi luas. Pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal yang sebelumnya ada di departemen teknis masing-masing melimpahkan kewenangannya dalam satu atap, yaitu BKPM. Namun, Keppres yang tujuannya menyederhanakan sistem pelayanan ternyata tidak bisa efektif. Sistem layanan satu atap tidak berjalan efektif. Tiap departemen ternyata tidak bersedia melimpahkan kewenangan perizinan ke BKPM. Sementara itu, rencana pemerintah mengembalikan perizinan usaha terhadap departemen teknis tidak mendapat sambutan baik dari Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab, opsi semacam itu justru menjadi kontraproduktif dan menciptakan kondisi yang makin ruwet terhadap investor. Jika Inpres No 29 Tahun 2004 dicabut dan dikembalikan ke departemen teknis berarti suatu kemunduran. Pada era pemerintahan Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
16
Suharto sampai Abdurrahman Wahid perizinan usaha hanya melalui salah satu direktorat di departemen perdagangan sehingga investor tidak berhadapan dengan berbagai pintu birokrasi. Kemudian pada masa pemerintahan Megawati aturan banyak berubah di mana setiap perizinan usaha harus meminta persetujuan departemen teknis. Sampai saat ini hanya Departemen Keuangan (Depkeu) dan Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) yang bersedia melimpahkan kewenangan perizinan ke BKPM. Dari Depkeu untuk mengurus dokumen pabean dan dari Depnaker perizinan penggunaan tenaga kerja asing. Di lain pihak, departemen sektoral belum ada yang bersedia melimpahkan kewenangan itu. Sementara itu, ketentuan pelayanan satu atap saja tidak digubris oleh departemen lain, mungkin sulit jika harus kembali ke departemen teknis. Pengembalian kewenangan hanya menciptakan timbulnya masalah baru. Semua orang tahu jika berurusan dengan birokrasi itu berarti harus mempersiapkan sejumlah uang di atas meja pejabat. Disamping harus mengeluarkan biaya besar, investor harus menunggu waktu berbulanbulan. Perilaku birokrasi Indonesia menyebabkan investor lama-lama jadi enggan berinvestasi. Untuk menarik minat investasi asing dan domestik agar mau masuk ke Indonesia lagi sebaiknya mengefektifkan lembaga yang sudah ada, sembari melakukan perbaikan sistem yang belum sempurna. Investor sebaiknya langsung berurusan dengan lembaga yang langsung dibawah presiden sehingga tidak menciptakan masalah dengan departemen teknis. Dengan sistem perizinan satu pintu, urusan akan dipersingkat. Jika dikembalikan ke departemen teknis masalah data base juga menjadi kendala karena BKPM sendiri saja saat ini tidak mempunyai data base yang lengkap investor apa lagi departemen teknis. Data base investor diperlukan agar tidak terjadi praktek-praktek seperti monopoli, pemalsuan pelaporan jenis usaha dan sebagainya. Sumber: Sinar Harapan, 13 April 2005, http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/industri/2005/0413/ind1.html
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
17
BAB II KAJIAN BEST PRACTICES Dalam bagian ini akan dipaparkan Best Practices penyelenggaraan pelayanan perizinan yang ada di Indonesia, khususnya yang berasal dari Kabupaten Sragen dan juga Kota Pare-Pare. Sebagaimana diketahui, Kabupaten Sragen melalui Kantor Pelayanan Terpadu (KPT)-nya—sekarang Badan Pelayanan Terpadu (BPT)—merupakan contoh sukses dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non perizinan yang kondusif bagi penanaman modal dan investasi sehingga patut dicontoh oleh Daerah-Daerah lainnya di Indonesia, bahkan oleh instansi Pemerintah Pusat. Melalui penggambaran terhadap Best Practices yang ada di Kabupaten Sragen tersebut dan juga Kota Pare-Pare diharapkan dapat memberikan arahan mengenai hal-hal yang dapat dilakukan dalam upaya perbaikan penyelenggaraan pelayanan perizinan di Indonesia. A. SUBSTANSI PERIZINAN BERDASARKAN VARIABEL ANALISIS (1) Prinsip-prinsip Dalam menyelenggarakan pelayanan perizinan terpadu, KPT (sekarang BPT) Kabupaten Sragen menggunakan sejumlah prinsip sebagaimana diatur dalam Keputusan Menpan No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum, yakni sederhana, jelas, aman, transparan, efisien, ekonomis, adil dan tepat waktu. Sementara itu, SINTAP Kota ParePare menggunakan sejumlah prinsip berikut dalam penyelenggaraan pelayanan perizinannya: o Kesederhanaan, prosedur tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan o Kejelasan, mencakup persyaratan teknis dan administrasi, kejelasan unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan o Kepastian Waktu, pelaksanaan pelayanan dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang terukur o Akurasi, produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, sah o Sarana dan Prasarana, tersedia sarana prasarana kerja yang memadai, termasuk teknologi telekomunikasi dan informatika o Kedisiplinan, Kesopanan, Keramahan, pemberi pelayanan bersikap disiplin, sopan, santun, ramah, ‘tidak sakit gigi’, dan melayani secara ikhlas o Kenyamanan, lingkungan pelayanan tertib, teratur, ruang tunggu nyaman, bersih, rapi, indah, areal parkir, toilet, mushallah (2) Tujuan-tujuan Terdapat sejumlah tujuan dari dilaksanakannya pelayanan perizinan dengan menggunakan sistem satu pintu melalui keberadaan KPT (sekarang BPT) di Kabupaten Sragen, yakni: Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
18
o Untuk mewujudkan pelayanan prima. Dalam rangka meningkatkan kualitas layanan dan menghadapi tantangan persaingan bebas, maka kemudahan dan penyederhanaan perizinan merupakan suatu keharusan o Untuk meningkatkan effisiensi dan efektivitas kinerja aparatur Pemerintah Kabupaten Sragen, khususnya yang terlibat langsung dengan pelayanan masyarakat. Pelayanan perizinan yang ditangani oleh banyak instansi mengesankan berbelit-belit dan menyulitkan masyarakat o Untuk mendorong kelancaran pemberdayaan ekonomi masyarakat, yang pada gilirannya masyarakat dapat terdorong untuk ikut berpartisipasi aktif dalam berbagai kagiatan pembangunan o Untuk mengubah image dan kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap Pemerintah akibat cara pelayanan yang buruk, diskriminasi pelayanan serta pungli yang dianggap wajar (3) Prosedur Berdasarkan Perda 15/2003 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen, Instansi Pelaksana Pelayanan Terpadu di Kabupaten Sragen berbentuk Kantor Pelayanan Terpadu (KPT). Selanjutnya berdasarkan Perda 4/2006, status KPT ditingkatkan menjadi Badan Pelayanan Terpadu (BPT). Dengan peningkatan status ini, maka Kepala BPT menjadi Pejabat Eselon II sehingga memiliki kesetaraan eselon dengan Para Kepala Dinas yang kewenangannya dilimpahkan kepada Kepala BPT. BPT (dh KPT) mempunyai tugas membantu Bupati dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di bidang Pelayanan Terpadu; melalui penyelenggaraan fungsifungsi berikut: a. perumusan kebijakan teknis dibidang Pelayanan Terpadu ; b. penunjang penyelenggaraan pemerintahan daerah dibidang Pelayanan Terpadu; c. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya; Dalam penyelenggaraan tugas dan fungsinya tersebut, BPT (dh KPT) memiliki sejumlah kewenangan, yaitu: o o o o
Menerima, memproses dan menanda tangani dokumen Menyediakan uang saku, uang makan bagi tim teknis Menugaskan Tim Teknis Perizinan Menyetor Retribusi perizinan ke kasda sesuai rekening Dinas
Melalui penyelenggaraan pelayanan perizinan terpadu melalui BPT (dh KPT), masyarakat yang mengurus perizinan memperoleh sejumlah kemudahan, diantaranya: o Syarat pengurusan izn yang disederhanakan o Waktu yang dipercepat sesuai standar baru o Mekanisme sederhana Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
19
o Biaya sesuai aturan o Gratis pengurusan izin untuk SIUP dan TDP pengusaha pemula; semua perizinan di kawasan industri; serta izin untuk industri yang ramah lingkungan dan menyerap 100 tenaga kerja di zone industri 720 ha Hampir serupa dengan penyelenggaraan Pelayanan Perizinan yang ada di Kabupaten Sragen, di Kota Pare-Pare, Prosedur Perizinan bermula dan berakhir di OSS. Adapun praktek penyelenggaraan perizinan yang ada di OSS Kota Pare-Pare adalah sebagai berikut: o Tanda bukti penerimaan berkas pengajuan perizinan mencantumkan waktu selesainya perizinan o Scanning tanda tangan pejabat yang berwenang o Pembayaran biaya perizinan melalui Bank o Mekanisme pengajuan keberatan yang terlembaga o Statistik kinerja OSS dalam hal kesesuaian waktu pelayanan o Jaminan mutu pelayanan bersertifikat ISO o Survei kepuasan penerima jasa/layanan o Petugas pelayanan tidak berseragam pemda o Fisik bangunan kantor OSS yang nyaman o Insentif finansial khusus bagi petugas OSS (4) Monitoring dan evaluasi Untuk menjamin kesinambungan pelayanan yang berkualitas dalam pengurusan perizinan di Kabupaten Sragen, dilakukan sejumlah upaya monitoring dan evaluasi proses terhadap pelaksanaan tugas BPT (dh KPT) sebagai beirkut: o Audit internal mingguan dan bulanan dengan menggunakan jasa Auditor bersertifikat o Pembuatan ranking Prestasi pegawai setiap 3 bulan serta mekanisme hadiah dan hukuman. Bagi pegawai yang berprestasi akan diberikan sertifikat dan uang sebesar Rp 500 ribu serta souvenir o Mekanisme Evaluasi 3 bulanan oleh tim pembina yang anggotanya terdiri dari Kepala Dinas Teknis terkait o Survey kepuasan pelanggan yang dilaksanakan setiap 6 bulan sekali o Pelaksanaan diskusi rutin dengan stakeholder setiap tahunnya. Melalui diskusi ini dijaring kritik, saran dan masukan guna perbaikan pelayanan di BPT (dh KPT) Sragen B. PROSEDUR DAN KONDISI DI LOKASI BEST PRACTICES (1) Urutan kerja Mekanisme/bagan alir pelayanan perizinan ataupun non perizinan di Kabupaten Sragen dibuat sesederhana mungkin, sehingga masyarakat cepat bisa memahami dalam
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
20
mengurus perizinan maupun non perizinan yang dibutuhkan sebagaimana dapat dilihat dalam gambar berikut: Gambar 1.: Mekanisme Pelayanan di KPT (sekarang BPT) Sragen
PEMOHON
Loket Pelayanan
Penyerahan
Pemeriksaan Berkas
Pembayaran
Pemeriksaan Lapangan
Proses
Berdasarkan Keputusan Bupati Sragen Nomor 18/2002 juncto Peraturan Bupati Sragen Nomor 12/2006 tentang pedoman Pelayanan Umum di Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Sragen dan Keputusan Bupati Sragen Nomor 22a Tahun 2002 juncto Peraturan Bupati Sragen Nomor 06/2005 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Di Bidang Perizinan Kabupaten Sragen, bahwa dalam rangka untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat khususnya di bidang perizinan dan mewujudkan One Stop Service (OSS), maka perlu adanya pelimpahan sebagian kewenangan dibidang perizinan kepada Kepala Kantor Pelayanan Terpadu. Adapun sebagian kewenangan yang dilimpahkan kepada Kepala KPT tersebut meliputi : 1) Izin Prinsip 2) Izin Lokasi 3) Izin Mendirikan Bangunan 4) Izin Gangguan / Izin Tempat Usaha 5) Surat Izin Usaha Perdagangan 6) Izin Usaha Industri 7) Izin Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum 8) Izin Usaha Rumah Makan 9) Izin usaha Salon Kecantikan 10) Izin Usaha Hotel Tanda Bunga Melati 11) Tanda Daftar Perusahaan 12) Tanda Daftar Industri 13) Biro Perjalanan Wisata dan Agen Perjalan Wisata 14) Izin Pondok Wisata 15) Izin Penutupan Jalan 16) Pajak Reklame 17) Izin Usaha huller 18) Izin Praktek bersama Dokter Umum / Gigi 19) Izin Pendirian Ruman Bersalin Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
21
20) Izin Pendirian Balai Pengobatan 21) Izin Praktek Dokter Spesialis 22) Izin Praktek Dokter Umum / Gigi 23) Izin Praktek Bidan 24) Izin Praktek Perawat 25) Izin Pendirian Apotik 26) Izin Pendirian Optik 27) Izin Praktek Tukang gigi 28) Izin Pendirian Toko Obat 29) Izin Pengobatan Tradisional 30) Izin Produksi Makanan & Minuman 31) Rekomendasi Pendirian RS. Swasta 32) Rekomendasi Pendirian Pusat Kebugaran 33) Rekomendasi Pendirian Salon Kecantikan 34) Rekomendasi Pendirian Lembaga Pendidikan 35) Rekomendasi Praktek Bersama Dokter Spesialis 36) Tanda Daftar Gudang (TDG) 37) Perizinan penggunaan Ketel Uap, Minyak untuk setiap Ketel 38) Perizinan penggunaan bejana Uap / pemanas Air atau ekonomiser yang berdiri sendiri / penguapan 39) Perizinan penggunaan Bejana tekan 40) Perizinan botol baja 41) Perizinan penggunaan Pesawat Angkat dan Angkut 42) Perizinan penggunaan Pesawat Tenaga dan Produksi 43) Perizinan penggunaan Instalasi Kebakaran 44) Perizinan penggunaan Instalasi Listrik 45) Perizinan penggunaan Instalasi Penyalur Petir 46) Izin Trayek Tetap 47) Izin Usaha Angkutan 48) Izin Kursus 49) Izin Usaha Peternakan 50) IzinPemotongan Hewan 51) Izin Pendirian Keramba Apung 52) IzinUsaha Jasa Kontruksi Dengan kewenangan tersebut Kepala KPT (sekarang BPT) dapat segera memproses dan menandatangani 52 jenis perizinan yang dibutuhkan masyarakat, sehingga birokrasi lebih pendek, lebih effisien dan efektif. Pedoman Pelayanan Umum di KPT Kabupaten Sragen berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 12/2006 terdiri dari: a. Dasar Hukum, Persyaratan dan Mekanisme Pelayanan Umum di KPT Kabupaten Sragen b. Tabel Biaya/Retribusi Pelayanan Umum di KPT Kabupaten Sragen c. Tabel Standar Waktu Penyelesaian Pelayanan Umum di KPT Kabupaten Sragen Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
22
Melalui pembuatan pedoman pelayanan umum berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 12/2006 tersebut diharapkan dapat menciptakan kepastian hukum, biaya serta waktu bagi masyarakat yang ingin melakukan pengurusan perizinan tertentu. (2) Personil yang terlibat Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya KPT (sekarang BPT) Sragen didukung oleh staf-staf terbaik dari masing-masing dinas di lingkup Kabupaten Sragen. Mereka adalah orang-orang yang sudah ahli di bidangnya. Misalnya, untuk mengurusi masalah perizinan IMB, diambilkan staf dari Dinas Pekerjaan Umum (DPU), untuk HO diambilkan dari bagian Lingkungan Hidup (LH), dan untuk SIUP dari Indagkop. Pada awal pembentukannya Pegawai KPT (sekarang BPT) berjumlah 24 orang dengan tingkat pendidikan beragam. Pegawai dengan tingkat pendidikan S2 berjumlah 1 orang (4,2%), S1 berjumlah 6 orang (25,0%), Diploma III sebanyak 2 orang (8,3%), dan SLTA berjumlah 15 orang (62,5%). Sampai dengan tahun 2006, pegawai KPT (sekarang BPT) berjumlah 30 orang dengan rincian pendidikan S2 sebanyak 1 orang (3,33%), S1 sebanyak 14 orang (46,67%), Diploma III sebanyak 1 orang (3,33%), serta SLTA sebanyak 14 orang (46,67%). Pegawai-pegawai tersebut direkrut berdasarkan kompetensi pada bidangnya masing-masing, sehingga telah berpengalaman dan ahli dibidang pelayanan yang akan ditangani. Dari struktur organisasinya, berdasarkan Perda 15/2003 jabatan struktural di KPT Sragen terdiri atas Kepala KPT, Kasubbag Tata Usaha, Kasi Perizinan, Kasi Pelayanan dan Kasi Bina Program dan Informasi. Sementara berdasarkan Perda 4/2006, jabatan struktural di BPT Sragen terdiri atas Kepala BPT, Kabag Tata Usaha yang membawahi Kasubbag Umum dan Kasubbag Keuangan; Kabid Pelayanan Umum dan Pengaduan yang membawahi Kasubbid Pelayanan KTP, KK dan Akta Capil serta Kasubbid Informasi, Dokumentasi dan Penanganan Pengaduan; Kabid Perizinan Jasa Usaha yang membawahi Kasubbid Perizinan Indag, Koperasi dan Reklame serta Kasubbid Perizinan Pertanian, Perhubungan, Pariwisata, SIUJK, K3; dan Kabid Perizinan Tertentu yang membawahi Kasubbid Prizinan Prinsip Lokasi, IMB dan HO serta Kasubbid Perizinan Pendidikan dan Kesehatan. (3) Pencapaian tenggang waktu Semenjak didirikan, KPT (sekarang BPT) Kabupaten Sragen telah mencatat sejumlah prestasi terkait dengan waktu penyelesaian perizinan dan non perizinan yang dilakukannya, dimana berdasarkan data yang ada, 100% perizinan ataupun pelayanan non perizinan dapat diselesaikan tepat waktu, bahkan sebagian besar bisa lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Sesuai hasil survey yang dilakukan ADB di tahun 2003, realisasi penyelesaian perizinan bisa 30% lebih cepat dari waktu standar atau dari waktu yang ditentukan. KPT Kabupaten Sregan selama tahun 2004 telah melayani baik pelayanan perizinan ataupun non perizinan dari sebanyak 43.902 pemohon dengan jumlah penerimaan pada tahun 2004 sebesar Rp. 1.575.242.700,-. Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
23
Untuk perizinan sendiri, pada tahun 2004 tercatat sebanyak 3.319 pemohon. Untuk proses pembuatan izin, pihak KPT selalu berkoordinasi dan bekerja sama dengan dinas teknis terkait, sehingga proses perizinan menjadi lancar dan akuntabel karena prosesnya yang dilakukan melalui pengecekan lapangan oleh tim teknis dari dinas terkait. Setiap bulan tim teknis rata-rata melakukan pengecekan lapangan terhadap 264 pemohon. (4) Penetapan tarif Penetapan Tarif dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan di KPT (sekarang BPT) Kabupaten Sragen ditetapkan berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 12/2006 yang menggantikan Keputusan Bupati Nomor 18/2002. C. SIMPUL-SIMPUL KRUSIAL DALAM PELAKSANAAN PERIZINAN (1) Pembagian tugas dan tanggung jawab person in charge dalam setiap tahapan prosedur serta mekanisme koordinasi antar para pihak Jenis layanan yang ditugaskan kepada KPT (sekarang BPT) terdiri dari Pelayanan Perizinan yang merupakan pelayanan satu pintu dan pelayanan non perizinan yang merupakan pelayanan satu atap, yang prosesnya masih di Dinas/Instansi yang bersangkutan. Peranan dinas-dinas pemerintah Kabupaten sangat besar dalam pelaksanaan tugas dan fungsi dari KPT (sekarang BPT), seperti DPU, Bappeda, Dinas Pariwisata, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), dan Biro Organisasi dan Tatalakana (Ortala). Kepala dinas-dinas ini merupakan anggota dari Tim Kecil yang mengevaluasi keberadaan KPT yang telah ada sebelumnya dan mendesain KPT yang cocok untuk diterapkan di Sragen seperti yang ada saat ini. Sementara itu, pendapatan finansial di KPT, secara otomatis merupakan pemasukan bagi dinas teknis bersangkutan. Pemasukan untuk pengurusan IMB secara otomatis akan masuk ke dalam kas DPU, izin reklame akan masuk ke LH dan sebagainya. Sedangkan KPT mendapatkan sharing 1% dari semua jumlah pemasukan. Dalam proses perizinan tersebut, Dinas terkait memiliki sejumlah fungsi diantaranya: o o o o
Memberikan pertimbangan teknis melalui Tim Teknis yang ditunjuk Membina dan mengawasi pelaksanaan izin di lapangan Bertanggung jawab terhadap PAD Memberi peringatan dan penindakan pada pelanggaran
Berdasarkan kondisi di atas, dapat dilihat bahwa KPT (sekarang BPT) pada dasarnya merupakan Kantor/Badan pelayanan yang siap memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat yang datang mencari izin, sedangkan Dinas Teknis terkait yang harus menggerakkan masyarakat untuk melengkapi izin tersebut, sehingga dalam proses Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
24
pemberian izin, KPT (sekarang BPT) harus selalu berkoordinasi dengan Dinas Teknis melalui Tim Teknis Pelayanan Perizinan.. Tim ini diketuai oleh Kepala KPT (sekarang BPT) dan bertugas melakukan pengecekan lapangan terhadap permohonan perizinan. Berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan akan diputuskan apakah permohonan izin akan diterima atau ditolak. Untuk kelancaran tugas, KPT (sekarang BPT) telah dibentuk Tim Pembina KPT (sekarang KPT) yang anggotanya terdiri dari Kepala Dinas Teknis yang Terkait. Dengan adanya Tim Pembinaan KPT (sekarang BPT), Dinas Teknis ikut bertanggung jawab terhadap kaelancaran pelayanan perizinan. Dengan demikian antara KPT (sekarang BPT) dan Dinas Teknis akan terus terjalin komunikasi dan koordinasi untuk pemberian pelayanan perizinan kepada masyarakat. (2) Keterlibatan/partisipasi pengguna Setelah KPT (sekarang BPT) berdiri, Pemerintah Kabupaten Sragen melakukan berbagai sosialisasi baik dengan iklan di radio ataupun sosialisasi program di kecamatankecamatan. Masyarakat dunia usaha juga dilibatkan dalam rapat stakeholder yang diadakan pada tahun 2003. Dalam forum tersebut, pengusaha banyak memberikan masukan mengenai pelayanan yang mereka inginkan. Kegiatan sosialisasi paradigma dan mekanisme pelayanan publik yang baru kepada masyarakat juga dilaksanakan dengan memanfaatkan komunikasi antara Bupati dan warga masyarakat, melalui dinas-dinas terkait dalam aktivitas kerja mereka, reklame yang dipasang di bagian dalam dan luar ruangan KPT (sekarang BPT), standing banner di beberapa penjuru KPT (sekarang BPT), serta billboard di jalan protokol. Setelah dilakukan sosialisasi dalam forum-forum semacam ini, banyak kalangan dunia usaha yang mengurus perizinan. Selain memberikan penawaran kemudahan perizinan, pihak KPT (sekarang BPT) juga memberikan bantuan modal kepada asosiasi-asosiasi stakeholder, misalnya Persatuan Ahli Kecantikan Indonesia (PAKI). Secara berkala (enam bulan sekali), masyarakat pengguna jasa KPT (sekarang BPT) juga dilibatkan dalam survei kepuasan pelanggan. Survei ini pada awalnya dilakukan terhadap 100 orang pemohon yang datang ke KPT (sekarang BPT). Berdasarkan hasil survei tahun 2004, tidak ada satu pun responden yang mengeluhkan pelayanan KPT (sekarang BPT). Hasil serupa juga didapatkan dari survei ADB dimana tingkat kepuasaan pelanggan mencapai 81%. Kalaupun pemohon memiliki keluhan terhadap layanan, KPT (sekarang BPT) menyediakan satu ruangan yang khusus untuk mendengarkan keluhan. Berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 08 Tahun 2006, BPT (dh KPT) menyelenggarakan survey kepuasan pengguna jasa pelayanan perizinan dan nonperizinan terhadap 150 responden yang dipilih secara acak. Survey ini dilakukan setiap enam bulan sekali terhadap 14 unsur pelayanan publik. Kategori penilaian menggunakan nilai persepsi 1 hingga 4 secara berturut-turut menunjukkan kategori ”tidak baik” hingga ”sangat baik”.
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
25
Survey dilakukan dengan menggunakan sumber daya staf BPT (dh KPT) sendiri atau pelibatan pihak independen dari kalangan perguruan tinggi, Badan Pusat Statistik (BPS), atau lembaga swadaya masyarakat. Pengisian kuesioner dalam survey bisa dilakukan secara mandiri oleh responden atau secara aktif diwawancarai oleh petugas survey. (3) Mekanisme evaluasi dan kontrol kinerja unit dan aparat Selain SDM dan sistem kerja, sarana dan prasarana pendukung juga diperhatikan. Di BPT (dh KPT) kegiatannya bisa dipantau secara online oleh Bupati dengan mekanisme pelaporan yang memanfaatkan jaringan wireless. Mekanisme kontrol tidak hanya dilakukan oleh Bupati tetapi juga dinas-dinas terkait. Jadi, berlaku double control dan berlaku pula secara resiprokal antara BPT (dh KPT) dan dinas-dinas, misalnya penerimaan uang pengurusan pelayanan di BPT (dh KPT) segera dilaporkan ke dinasdinas, demikian pula dengan pelaksanaan kajian dan uji teknis yang dilakukan dinas dalam rangka pengurusan suatu perizinan/nonperizinan pun diketahui oleh BPT (dh KPT). Penggunaan teknologi informasi, mempermudah koordinasi antar satuan kerja dan antara satuan kerja, Bupati, dan BPT (dh KPT). BPT (dh KPT) juga memiliki tim auditor internal Pemkab yang personilnya telah disekolahkan agar bisa ahli di bidangnya. Sementara itu, PT Sucofindo menjadi pihak auditor eksternal terhadap kinerja BPT (dh KPT). (4) Sistem pencegahan dini terhadap KKN Partisipasi masyarakat dalam penyusunan dan pelaksanaan program BPT (dh KPT) mensyaratkan adanya keterbukaan. Oleh karena itu, BPT (dh KPT) menerapkan keterbukaan dalam hal pelayanan. Hal ini dibuktikan dengan adanya publikasi prosedur dan biaya pelayanan di ruang tunggu pelayanan, berupa leaflet atau brosur yang dipajang di rak kecil meja pusat informasi dekat kasir; juga kasir yang terbuka sehingga watchable, siapa pun bisa menyaksikan proses penyerahan uang atau biaya pelayanan— jika memang pelayanan yang bersangkutan dipungut biaya dalam jumlah tertentu—serta pemberian jaminan bagi setiap warga yang mengurus bahwa tidak ada pungutan liar dalam pelayanan. Keterbukaan BPT (dh KPT) menutup celah ketidakpastian. Saat pengurusan perizinan dan nonperizinan, masyarakat mendapatkan kepastian tentang jangka waktu penyelesaian berkas, tanggal berkas yang diajukan bisa diambil oleh masyarakat pemohon, serta jumlah biaya yang harus dibayar atas diurusnya suatu berkas yang diajukan. BPT (dh KPT) menyediakan saluran pengaduan bagi warga masyarakat pengguna jasa BPT (dh KPT), tidak hanya dalam bentuk penyediaan kotak ”Saran & Kritik” tetapi juga disediakan prosedur dan ruangan tersendiri dalam penyampaian komplain. Pengaduan yang dilaporkan ke Ruang Pengaduan akan ditindaklanjuti dengan pemberian informasi balik kepada pihak yang mengajukan komplain tersebut, ini termasuk hak warga masyarakat pengguna jasa BPT (dh KPT) dan tercantum dalam perda. Atas pelayanan yang diberikan, masyarakat pengguna jasa diberikan waktu 3 x 24 jam untuk menyampaikan pengaduan. Setelah pengaduan diajukan, staf BPT (dh KPT) yang menangani pengaduan akan menyampaikan jangka waktu penyelesaian masalah yang Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
26
bersangkutan kepada pihak yang menyampaikan pengaduan. Di samping menyampaikan langsung ke BPT (dh KPT), masyarakat bisa menyampaikan pengaduan via telepon atau e-mail. Secara umum pekerjaan di BPT (dh KPT) telah terkomputerisasi meskipun dalam sebagian proses pelayanan masih bersifat manual. Namun, akuntabilitas dan transparansi tetap dipertahankan sehingga penyimpangan relatif bisa diantisipasi. Penggunaan sarana dan prasarana dengan memanfaatkan sistem online memungkinkan pula pelayanan pembuatan KTP dan perpanjangannya (bila ditangani oleh BPT, tidak di kecamatan) ditangani dalam waktu dua menit, rentang waktu ini sudah termasuk konfirmasi ke kantor pusat. D FAKTOR-FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN (1) Komitmen pimpinan tertinggi Kunci sukses utama dari keberhasilan reformasi perizinan di Kabupaten Sragen adalah adanya komitmen yang kuat dan sungguh-sungguh dari pimpinan tertinggi di Kabupaten Sragen. Bupati selaku pengambil kebijakan tertinggi di daerah sangat terbuka, mau menerima perubahan dan melakukan inovasi dalam hal layanan publik. Berdirinya KPT (sekarang BPT) mengubah orientasi Pemkab dari PAD ke pertumbuhan ekonomi dengan meningkatnya investor. Keterbukaan ini juga ditunjang dengan berbagai sumber daya yang mendukung pembentukan KPT (sekarang BPT) seperti tersedianya hardware, gedung, staf, dan payung kebijakan. KPT (sekarang BPT) memiliki gedung sendiri yang letaknya sangat strategis. Gedung ini terletak di deretan depan kompleks kantor pemerintah daerah Sragen. Kunci sukses lainnya adalah persamaan persepsi antar dinas tentang perlunya lembaga ini. (2) Penegakan sanksi dan pemberian kompensasi/penghargaan Untuk mendukung kinerja stafnya, KPT (sekarang BPT) menerapkan sistem insentif. Tujuannya, para staf berlomba memberikan pelayanan yang terbaik. Bagi staf KPT (sekarang BPT) diberikan reward berupa fee —selain gaji pokok dari pemda— yang memang telah dianggarkan dalam APBD. Reward ini dimaksudkan untuk memberikan penghargaan atas kerja keras mereka dalam memberikan layanan kepada masyarakat dan untuk memotivasi petugas agar senantiasa melakukan inovasi dalam memberikan layanan. Jumlah reward yang diberikan beragam, berdasarkan kedudukannya di KPT (sekarang BPT). (3) Penguasaan dan optimalisasi penggunaan teknologi informasi Pembentukan KPT (sekarang BPT) didukung pengadaan hardware dan software. Untuk hardware, mereka memililiki 10 unit komputer pentium 4 dan software (IT) gratis karena mendapatkan bantuan dari provinsi yang bekerja sama dengan CEMSED UKSW. CEMSED UKSW melakukan build up sistem software untuk peningkatan pelayanan masyarakat. Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
27
KPT (sekarang BPT) pada awalnya juga memiliki modal berupa mesin pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tetapi, untuk mesin ini mereka tak mengeluarkan modal apapun. Pihak KPT (sekarang BPT) Sragen bekerja sama dengan PT. Jasvindo Jakarta yang memiliki perlengkapan ini. Dari biaya pengurusan KTP dilakukan sharing, Rp 4.000,00 untuk KPT sedangkan sisanya Rp 1.000,00 menjadi jatah Jasvindo. (4) Pembinaan aparat pelaksana Pemerintah Kabupaten Sragen menyadari bahwa SDM aparat merupakan faktor kunci keberhasilan reformasi perizinan melalui pembentukan KPT (sekarang BPT). Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Sragen memberikan perhatian yang besar terhadap keberadaan SDM aparat yang akan bertugas di KPT (sekarang BPT) tersebut. Pada awal pendirian KPT misalnya, satu pekan sebelum diimplementasikan, staf yang nantinya bertugas di KPT harus magang dulu di Kabupaten Gianyar. Mereka melihat praktik UPT dan bagaimana memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Pemerintah Kabupaten menyadari bahwa untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang prima kepada masyarakat, dan untuk mewujudkan one stop service (oss), maka sumber daya menusia yang ditugaskan sebagai tenaga pelaksana di KPT (sekarang BPT) harus betul-betul handal, sehingga untuk hal tersebut perlu dilakukan on the job training dan pelatihan-pelatihan yang berkesinambungan, disamping sarana dan prasarana kantor yang memadai, hal ini dimaksudkan sebagai Empowering / Pemberdayaan Aparatur . Adapun On the Job training dan pelatihan –pelatihan tersebut antara lain : 1. On the Job Training/Magang Untuk menambah bekal pegawai KPT (sekarang BPT) agar dapat memberi pelayanan kepada masyarakat dengan baik, maka pegawai KPT (sekarang BPT) telah ditugaskan untuk magang di KPT Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali selama 1 minggu, sehingga dengan program ini diharapkan pegawai-pegawai tersebut sudah mempunyai pengalaman dan bekal untuk melayani dengan baik. 2. Pelatihan-Pelatihan 1. Diklat Komputer Sejak tanggal 6 januari 2003 telah dilaksanakan diklat komputer dengan mengundang instruktur untuk melatih tenaga pelaksana di KPT (sekarang BPT), adapun waktunya setiap hari senin sampai kamis setelah jam 13.00, karena diasumsikan setelah jam tersebut pelayanan sudah relatif berkurang. Sedangkan materi yang diajarkan meliputi: Program Microsoft Word, Program Microsoft Excel, dan Program Microsoft Access.
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
28
Dalam waktu 3 bulan telah berhasil dilatih 20 orang operator yang terampil komputer, dan beberapa oarng dikembangkan untuk dapat menjalankan program-program aplikasi terbaru yang mempunyai nilai lebih, misalnya: Powerpoint, Corel Draw, Photoshop, arsip dalam bentuk CD, moving movie, serta pelayanan dengan internet. 2. Training of Sucsess Untuk bisa tampil prima dalam melayani customer/pelanggan, telah dilakukan training terhadap SDM pelaksana di KPT (sekarang BPT) dengan mengundang instruktur dari bagian pengembangan Sumber Daya Manusia perusahaan awasta. Selama 30 kali pertemuan. Adapun materi dari pelatihan tersebut meliputi :
Bagaiman caranya agar tampil rapi dalam melayani customer Bagaimana caranya harus tampil sopan dan santun dalam menghadapi customer Bagaimaan harus selalu ceria dalam menyambut customer Bagaimana harus mampu memperhatikan sikap tubuh dan bertindak setenang mungkin saat melayani customer Bagaimana taknik-teknik menghadapi customer
Dengan prinsip hari ini lebih baik dari kemarin, SDM terus dikembangkan, pada tahun 2004 telah diadakan pelatihan ESQ dan sistem manajemen mutu dari konsultan yang ditunjuk oleh Sucofindo, hal ini sebagai syarat mendapat ISO 9001 2000, selain hal tersebut pada tahun 2005 telah dilatih oleh psikolog profesional (Direktur pengembangan SDM perusahaan swasta) untuk pengembangan kepribadian. 3. Kerapian Untuk memberikan kesan positif dan menyenangkan terhadap pelanggan, tenaga pelaksana di KPT (sekarang BPT) Kabupaten Sragen telah diberikan seragam kerja secara khusus, yaitu untuk laki-laki kemeja lengan panjang memakai dasi, sedangkan untuk wanita memakai jas/blazer seperti seragam yang digunakan oleh karyawankaryawati pada perusahaan swasta. 4. Paradigma Pelayanan Dalam era reformasi dan keterbukaan saat ini dalam menghadapi pasar bebas, dimana akan terjadi kompetensi yang sangat ketat dalam bidang usaha dan investasi, maka birokrasi dituntut harus mampu melaksanakan deregulasi dan debirokratisasi dalam melayani masyarakat. Para birokrat yang masih mengedepankan perilaku “kenapa harus capek-capek, bagini aja toh udah dapat gaji juga, atau kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah”. Pikiran-pikiran semacam ini (terutama perilaku), harus segera diakhiri dan dibuang jauh-jauh, mengingat para birokrat digaji untuk melayani bukan untuk dilayani. Untuk hal tersebut maka KPT (sekarang BPT) Kabupaten Sragen telah
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
29
berupaya mengubah paradigma lama “dilayani” menjadi paradigma baru yaitu “melayani dengan tulus dan ikhlas”. Adapun paradigma baru tersebut : o Menempatkan customer menjadi orang terpenting yang harus dilayani, sebab karena merekalah kami bekerja dan mendapat gaji o Kami tidak merasa berjasa dengan melayaninya, justru kami berterima kasih telah mendapat ksempatan untuk melayaninya. Paradigma ini akan menjadi tata nilai baru dan budayakerja. 5. Penanganan Pengaduan/Keluhan Secara Efisien Dalam penanganan pengaduan/keluhan diharapkan akan dapat memberikan peluang untuk mengubah seorang pelanggan yang kurang puas menjadi pelanggan abadi. Untuk itu ada 4 aspek yang perlu diperhatikan yaitu : ¾ ¾ ¾ ¾
Empati pelanggan yang kurang berkenan Kecepatan dalam penanganan pengaduan/keluhan Kewajaran atau keadilan dalam memecahkan pengaduan/keluhan Akses terhadap komunikasi dan informasi
(5) Penyederhanaan prosedur KPT (sekarang BPT) memberikan pelayanan dalam bentuk perizinan dan nonperizinan. Dalam memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat, KPT menerapkan beberapa strategi. Pertama, transparansi perizinan baik waktu yang dibutuhkan ataupun biaya yang harus dibayar oleh pemohon. Transparansi ini ditunjang upaya untuk memberikan layanan yang lebih cepat dari waktu standar yang dibutuhkan. Berdasarkan penelitian dari ADB pada 2003, rata-rata pelayanan di KPT bisa diberikan 30% lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan. Kedua, staf KPT berpakaian rapi dan bersikap ramah. KPT mengalokasikan dana untuk membeli pakaian seragam. Staf pria diharuskan memakai dasi, sedangkan staf perempuan wajib mengenakan blazer. Selain itu, mereka mendapatkan pelatihan bagaimana memberikan pelayanan yang baik, seperti yang lazim dilakukan oleh perusahaan swasta. Ketiga, pengurusan izin yang cepat dan kewenangan perizinan berada di tangan kepala KPT. Setelah pemohon memasukan berkas ke KPT, dinas teknis terkait langsung mengadakan pengecekan di lapangan. Pengecekan biasanya dilaksanakan selama satu hari. Setelah itu, apabila ada ketidaksesuaian dengan berkas yang diajukan, berkas dikembalikan dan pemohon diminta melengkapi lebih dulu.
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
30
(6) Keberlanjutan dan keterpaduan sistem Efektivitas kerja BPT (dh KPT) ditunjang oleh beberapa hal kunci. Pertama, penyederhanaan struktur organisasi BPT (dh KPT) untuk memudahkan koordinasi internal, monitoring, serta pengambilan keputusan yang cepat dan tanggap. Kedua, perampingan jumlah pegawai dan pengubahan mindset beserta kultur (budaya) kerja mereka dalam pelayanan publik. Ketiga, pemangkasan jalur-jalur birokrasi dalam pelayanan perizinan dan nonperizinan demi mencapai batasan waktu maksimal 12 hari. Keempat, pemrosesan dan penyelesaian permohonan perizinan dan nonperizinan dari masyarakat yang dilakukan secara ketat berdasarkan batasan waktu yang telah ditetapkan. Kelima, koordinasi secara timbal-balik (resiprokal) dengan bupati dan dinas-dinas teknis, baik dalam hal pengawasan kinerja, audit keuangan, penyelesaian analisis kelayakan perizinan dan nonperizinan, serta pengambilan keputusan taktis di lapangan. Keenam, sosialisasi ke masyarakat luas mengenai perubahan di BPT (dh KPT) sekaligus pelaksanaan proses pelayanan publik yang transparan dan akuntabel sehingga meningkatkan kepercayaan masyarakat. Ketujuh, pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang sehat dan responsif. Dapat dipahami, bahwa fenomena kegagalan pelayanan prima dalam sektor publik yang terjadi di banyak daerah tidak beranjak jauh dari tidak terpenuhinya segenap hal kunci di atas. Oleh karena itu, resep tujuh langkah efektivitas menjadi kemestian bagi pemerintah daerah mana pun untuk mencapai pelayanan publik terbaik bagi masyarakat. Pembenahan sistem manajemen mutu yang mengedepankan akuntabilitas dan transparansi coba diterapkan BPT (dh KPT) sejak awal ia berdiri hingga sekarang. Namun, menjamin keberlanjutan berlakunya prosedur terus ditingkatkan sehingga keberlakuan sistem ini tidak terbatas pada siapa yang mengambil kebijakan pada suatu periode pemerintah daerah tertentu. Untuk mengantisipasi berubahnya sistem ke arah yang semakin buruk ketika pergantian pimpinan nanti, baik di BPT (dh KPT) maupun di Pemkab, akibat berubahnya kebijakan seiring dengan pergantian orang, BPT (dh KPT) melakukan pembakuan sistem manajemen mutu hingga berhasil meraih ISO 9001 pada tahun 2005. Selain itu, keberlanjutan BPT (dh KPT) sangat didukung dengan status organisasinya yang dibentuk berdasarkan Perda dan bukan sekedar Peraturan/Keputusan Bupati. E. PERMASALAHAN YANG TIMBUL Terdapat sejumlah permasalahan yang dihadapi dalam implementasi perizinan oleh KPT (sekarang BPT) Kabupaten Sragen. Masalah yang dihadapi salah satunya adalah terkait dengan keterbatasan saran fisik dari gedung KPT (sekarang BPT). Meski gedung KPT (sekarang BPT) letaknya strategis, tempatnya kurang memadai. Terlalu sempit. Dengan semakin banyaknya pemohon izin, pada jam-jam sibuk (pukul 10.00 sampai pukul 11.00), pemohon berjubel di ruang tunggu KPT (sekarang BPT). Masalah lainnya yang dihadapi saat ini adalah terkait dengan pungutan tambahan yang menjadi beban masyarakat dalam memenuhi persyaratan yang dibutuhkan dalam Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
31
pengurusan izin di KPT (sekarang BPT). Dalam upaya pengurusan perizinan dan nonperizinan memang KPT (sekarang BPT) tidak begitu banyak bisa menjangkau kesulitan masyarakat, terutama bila pengurusan itu memerlukan pemenuhan berkas yang harus didapatkan masyarakat dari institusi atau instansi lain, misalnya perpanjangan KTP yang sebagian berkasnya didapatkan melalui jalur desa/kelurahan dan kecamatan. Sebagaimana yang diakui, terdapat masyarakat yang menemukan tarif pengurusan KTP berbeda-beda antar desa/kelurahan meskipun di KPT telah dipatok hanya Rp 5.000,00. Dengan kata lain, masyarakat akan menemui kemestian membayar tarif pengurusan KTP lebih dari Rp 5.000,00. F. SOLUSI UNTUK PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Opsi untuk menyelesaikan masalah keterbatasan ruangan, KPT (sekarang BPT) telah mengajukan perluasan kantor. Terkait masalah ini, Pemkab sebenarnya bisa memberikan ruangan baru, tapi masih dalam lingkup kompleks perkantoran Pemkab Sragen. Sebagai suatu inovasi menuju pelayanan publik yang lebih baik dan mendorong investasi, pemkab sebaiknya memberi perhatian dalam prasarana fisik KPT (sekarang BPT). Dengan keunggulan yang dimiliki, KPT (sekarang BPT) sudah menjadi simbol inovasi otonomi bagi Kabupaten Sragen yang layak dicontoh oleh daerah lain. Untuk masalah terkait dengan biaya lebih yang harus dikeluarkan oleh masyarakat dalam memenuhi persyaratan yang dibutuhkan, meskipun Pemkab telah memberikan peringatan kepada pengurus desa atau kelurahan, diperlukan penyeragaman tarif secara tegas hingga ke tingkat desa. Tidak ada salahnya jika tata kerja di tingkat desa/kelurahan diseragamkan dengan KPT (sekarang BPT), misalnya pemasangan reklame tentang kepastian mekanisme dan biaya pengurusan perizinan dan nonperizinan di lingkungan kantor kelurahan/desa. Pelimpahan sebagian kewenangan kepada kecamatan dan kelurahan/desa sebenarnya menuntut dilakukannya mekanisme pengawasan melekat yang jelas juklak-juknisnya.
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
32
BAB III ARAH PERTUMBUHAN REFORMASI PENYEDERHAAN PERIZINAN Dalam bab ini akan diuraikan berbagai hal yang terkait dengan arah pertumbuhan reformasi penyederhanaan perizinan bidang perekonomian. Pembahasan akan dilakukan dengan menitikberatkan pada perubahan paradigma perizinan sebagai instrumen pengaturan dan pelayanan kepada masyarakat. Lebih lanjut akan dibahas pula tentang berbagai metode yang dapat dipergunakan untuk melakukan reformasi perizinan. A.
PERKEMBANGAN PARADIGMA SEKTOR PUBLIK
Berbagai paradigma telah berkembang dalam pengelolaan sektor publik. Paradigma tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan demokratisasi dan perwujudan tata kepemerintahan yang baik. Mode interaksi antara pemerintah dan masyarakat telah berubah, sejalan dengan perubahan tuntutan untuk menempatkan masyarakat sebagai subjek dalam pemerintahan. Perubahan mode interaksi ini ditandai antara lain dengan relasi yang mendahulukan pertukaran informasi dan kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Bukan sebaliknya pertukaran yang ditandai dengan sanksi dan hukuman. Mode interaksi baru ini juga ditandai dengan keterbukaan, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi yang lebih kuat antara masyarakat dan pemerintah. Paradigma penyelenggaraan sektor publik telah berkembang dari perspektif weberian yang didasari oleh pemikiran Max Weber; New Public Management; New Governance; dan terakhir New Public Services. Perubahan paradigma ini turut juga mewarnai perubahan yang terjadi dalam pelayanan publik maupun dalam pemberian perizinan kepada masyarakat. Pelayanan publik yang semakin responsif terhadap kebutuhan masyarakat ditandai dengan semakin tingginya budaya pelayanan (service delivery culture), dan bukan sebaliknya budaya kekuasaan (power culture). Pemberian pelayanan publik oleh pemerintah merupakan hak dasar masyarakat yang harus diberikan secara akuntabel, efisien, efektif dan transparan. Hal ini dapat terjadi jika terdapat perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. 1. Old (Classic) Public Administration Dalam Administrasi Publik pra-generasi diwarnai oleh konsep Negara Bangsa. Pada saat itu Administrasi Publik didasarkan pada prinsip permasalahan moral dan kehidupan politik serta pada organisasi dari Administrasi Publik. Sejak abad ke-16, Negara Bangsa merupakan model organisasi administrasi yang lazim diterapkan di kawasan Eropa Barat. Konsep Negara Bangsa ini membutuhkan adanya sebuah organisasi dalam rangka melaksanakan hukum dan ketertiban serta membangun struktur pertahanan. Karenanya, tumbuhlah kebutuhan akan adanya pegawai negeri yang ahli dan dibekali pengetahuan akan pajak, statistik, administrasi dan organisasi militer. Kebutuhan akan ahli-ahli Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
33
administrasi ini semakin bertambah, sesuai dengan perkembangan peran negara yang semakin besar dalam pembangunan masyarakat dan bangsa. Pada masa yang sama, di Amerika Serikat, Woodrow Wilson merupakan orang pertama yang mempertimbangkan pentingnya perkembangan Administrasi Publik. Dalam artikel yang ditulisnya, Wilson memberikan argumentasi atas 4 hal dalam pembaharuan administrasi publik: (1) adanya pemisahan antara Politik dan Administrasi Publik; (2) perlunya mempertimbangkan aktivitas pemerintah dari perspektif bisnis; (3) analisis perbandingan antara organisasi politik dan privat melalui skema politik; serta (4) pencapaian manajemen yang efektif melalui pemberian pelatihan kepada pegawai negeri dan dengan menilai kualitas mereka. Pemisahan antara politik dan Administrasi Publik ini menjadi subyek perdebatan hangat untuk jangka waktu yang lama. Perbedaan pandangan terhadap hal ini juga menjadi pembeda terhadap sejumlah pemikiran dalam Administrasi Publik. Dalam pandangan klasik, Administrasi Publik seringkali dilihat sebagai seperangkat Institusi Negara, proses, prosedur, sistem dan struktur organisasi, serta praktek dan perilaku untuk mengelola urusan-urusan publik dalam rangka melayani kepentingan publik (Economic and Social Council UN, 2004). Sebagai organisasi birokrasi, Administrasi Publik menurut ESC-UN (2004) bekerja melalui seperangkat aturan dengan legitimasi, delegasi, kewenangan rasional-legal, keahlian, tidak berat sebelah, terus menerus, cepat dan akurat, dapat diprediksi, memiliki standar, integritas dan profesionalisme dalam rangka memuaskan kepentingan masyarakat umum. Dengan demikian, Administrasi Publik sebagai sebuah instrumen Negara diharapkan untuk menyediakan basis fundamental bagi perkembangan manusia dan rasa aman, termasuk di dalamnya kebebasan individu, perlindungan akan kehidupan dan kepemilikan, keadilan, perlindungan terhadap hak asasi manusia, stabilitas, dan resolusi konflik secara damai baik dalam mengalokasikan atau mendistribusikan sumberdaya maupun dalam hal-hal lainnya (Economic and Social Council UN, 2004). Dengan kata lain, Administrasi Negara yang efektif harus ada untuk menjamin keberlanjutan aturan hukum (Economic and Social Council UN, 2004). Sehingga dapat dikatakan bahwa Administrasi Publik model klasik ini cenderung menggunakan pendekatan yang legalistik. Paradigma Administrasi Publik model klasik juga dapat dilihat melalui model “old chesnuts” dari Peters (1996 dan 2001), dimana Administrasi Publik berdasarkan pada Pegawai Negeri yang politis dan terinstitusionalisasi; organisasi yang hirarkhis dan berdasarkan peraturan; penugasan yang permanen dan stabil; banyaknya pengaturan internal; serta menghasilkan keluaran yang seragam (lihat dalam Oluwu, 2002 dan Frederickson, 2004). Dalam model klasik, tugas kunci dari pemerintah menurut Stoker (2004) adalah menyampaikan sejumlah pelayanan publik, seperti membangun dengan lebih baik sekolah, rumah, saluran pembuangan serta menyediakan kesejahteraan yang dapat diserahkan kepada aparat pemerintah dan politisi. Dalam menyediakan pelayanan yang demikian, Administrasi Publik menunjukkan dominasinya sebagai pemain utama dan membiayainya dari hasil pemungutan pajak dan penggunaan dana-dana pemerintah lainnya. Karenanya menurut Stoker, dominasi yang demikian dapat membuat penyediaan pelayanan tersebut menjadi tidak efisien khususnya apabila terjadi kesenjangan Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
34
sumberdaya dan kapasitas dari Administrasi Publik yang menyebabkan institusi Administrasi Publik menjadi tidak efektif (Stoker, 2004). Hal ini yang kemudian menjadi salah satu kritik terhadap Administrasi Publik model klasik. Seiring dengan adanya sejumlah kritikan sebagaimana diungkapkan oleh Stoker (2004) membuat paradigma Administrasi Publik model klasik mulai melemah pada akhir tahun 1970an dan memberikan jalan terhadap konsep Manajemen Publik. Kritik yang ditujukan terhadap Administrasi Publik model klasik tersebut juga dikaitkan dengan karakteristik dari Administrasi Publik yang dianggap inter alia, red tape, lamban, tidak sensitif terhadap kebutuhan masyarakat, penggunaan sumberdaya publik yang sia-sia akibat hanya berfokus pada proses dan prosedur dibandingkan kepada hasil, sehingga pada akhirnya menyebabkan munculnya pandangan negatif dari masyarakat yang menganggap Administrasi Publik sebagai beban besar para pembayar pajak (Economic and Social Council UN, 2004). Kritik terhadap Administrasi Publik model klasik juga dapat dilihat dalam kaitannya dengan keberadaan konsep “Birokrasi Ideal” dari Weber. Menurut Prasojo (2003) terdapat setidaknya 2 (dua) titik kritis terhadap Birokrasi Weberian tersebut, yakni: pertama, dalam hubungan antara masyarakat dan negara, implementasi birokrasi ditandai dengan meningkatnya intensitas perundang-undangan dan juga kompleksitas peraturan; kedua, struktur birokrasi dalam hubungannya dengan masyarakat seringkali dikritisi sebagai penyebab menjamurnya meja-meja pelayanan sekaligus menjadi penyebab jauhnya birokrasi dari rakyat. Peningkatan intensitas dianggap memiliki resiko dimana pada akhirnya akan menyebabkan intervensi negara yang akan menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat dan pada akhirnya menyebabkan biaya penyelenggaraan birokrasi menjadi sangat mahal (Prasojo, 2003). Kritik-kritik sebagaimana tersebut di atas kemudian menyebabkan dukungan bagi adanya Manajemen Publik baru (New Public Management). New Public Management (NPM) sendiri menurut Stoker (2004), pada awalnya memberikan penekanan terhadap bagaimana menjaga biaya yang dikeluarkan dalam penyediaan pelayanan melalui disiplin manajemen yang lebih tangguh seperti melalui efisiensi tabungan, penggunaan target kinerja, serta penggunaan kompetitor untuk memilih penyedia jasa yang paling murah. Namun demikian, sebagai akibat dari pertumbuhan orientasi konsumsi pemerintah dan perdebatan mengenai reinventing government menyebabkan munculnya kebutuhan akan daya tanggap dari Administrasi Publik dan pilihan yang lebih banyak akan penyediaan pelayanan publik dibandingkan hanya fokus terhadap penghematan biaya saja. Dalam pandangan ini, yang dimaksud dengan manajemen yang lebih baik adalah apabila pelanggan ditempatkan sebagai fokus utama perhatian (putting customers first). 2. New Public Management (NPM): New Public Management (NPM) muncul di tahun 1980an khususnya di New Zealand, Australia, Inggris, dan Amerika sebagai akibat dari munculnya krisis negara kesejahteraan. Paradigma ini kemudian menyebar secara luas khususnya di tahun 1990an Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
35
disebabkan karena adanya promosi dari lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, Sekretariat Negara Persemakmuran dan kelompok-kelompok konsultan manajemen (Loffler and Bovaird, 2001; Oluwu, 2002; Drechsler, 2005). Paradigma NPM ini muncul disebabkan oleh sejumlah kekuatan baik di negara maju maupun di negara berkembang sebagaimana digambarkan oleh Larbi (1999). Di negara maju, perkembangan yang terjadi dibidang ekonomi, sosial, politik dan lingkungan administratif secara bersama-sama mendorong terjadinya perubahan radikal dalam sistem manajemen dan Administrasi Publik. Sasaran utama dari perubahan yang diinginkan adalah peningkatan cara pengelolaan pemerintah dan penyampaian pelayanan kepada masyarakat dengan penekanan pada efisiensi, ekonomi dan efektivitas. Faktor-faktor tersebut, oleh Larbi (1999) disebutkan ada sejumlah faktor yang menyebabkan lahirnya konsep New Public Management (NPM). Faktor Pertama adalah munculnya krisis ekonomi dan keuangan yang dialami negara. NPM muncul sebagai bagian dari perhatian akan keseimbangan pembayaran, ukuran pengeluaran publik dan biaya penyediaan pelayanan publik. Krisis keuangan yang terjadi telah menyebabkan adanya intervensi dari lembaga seperti IMF yang kemudian meminta dilakukannya reformasi keuangan. Sejalan dengan ini, peranan aktif dari negara dalam pengelolaan ekonomi dan dalam penyediaan secara langsung dalam penyediaan layanan mulai banyak dipertanyakan. Para pengkritik umumnya menyarankan agar ekonomi pasar dibiarkan sendiri untuk menyelesaikan masalahnya tersebut tanpa adanya intervensi aktif dari pemerintah. Reaksi yang kemudian banyak dilakukan oleh pemerintah di negara maju adalah dengan membuat pengukuran-pengukuran yang tidak hanya untuk memotong tetapi juga mengawasi pengeluaran publik. Hal ini kemudian dilakukan melalui perjuangan untuk mereorganisasikan dan memodernisasi birokrasi publik dengan menjadikan reformasi pengelolaan sektor publik sebagai agenda politik utama. Faktor Kedua adalah menguatnya pengaruh ide neoliberal dan kritik terhadap Administrasi Publik lama. Di akhir tahun 1970an kelompok neoliberal semakin banyak melakukan kritik mengenai ukuran, biaya dan peran dari pemerintah dan sekaligus meragukan kapasitas dari pemerintah untuk memperbaiki permasalahan ekonomi. Hal ini dikarenakan negara kesejahteraan telah melakukan monopoli dalam penyediaan pelayanan dan tidak efisien dalam pelaksanaan operasinya. Belum lagi, perhatiannya yang kurang terhadap pelanggan dan tidak berorientasi kepada hasil. Karenanya, menurut pandangan neoliberal hanya melalui kompetisi pasar lah efisiensi ekonomi dapat dicapai dan kepada publik diberikan pilihan pasar bebas. Pasar dianggap sebagai alokator sumberdaya yang efektif, mekanisme koordinasi yang efektif, proses pembuatan kebijakan yang rasional, serta mampu mendorong pemikiran yang inovatif dan berwirausaha. Pandangan ini menurut Larbi sangat dipengaruhi oleh pemikiran ekonomi liberal dan teori pilihan publik (public choices). Salah satu kritik dari teori pilihan publik adalah sistem penghargaan yang ada di sektor publik tidak mempromosikan kinerja yang efektif sementara politisi dan birokrat tidak mendapatkan insentif untuk mengontrol biaya. Kondisi ini pada akhirnya cenderung mengarahkan kepada penghamburan sumberdaya dan menumbuhkan kecenderungan pertumbuhan pengeluaran dan penyampaian pelayanan yang melebihi kapasitasnya. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan dari lembaga-lembaga pemerintah menghasilkan barang-barang kolektif Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
36
secara berlebihan akibat perilaku memaksimalkan anggaran dan sekaligus mentolerir bagi adanya perilaku mencari keuntungan (rent seeking). Dalam memenuhi kepentingan pribadinya, birokrat cenderung menumbuhkan dan memperluas fungsi-fungsi pemerintahan sehingga menjadi berlebihan dan melewati batas waktu. Hal ini yang menyebabkan membengkaknya birokrasi yang membutuhkan struktur kewenangan hirarkhis berdasarkan aturan rasional. Untuk mengatasi kegagalan dari Administrasi Publik lama, para politisi dihadapkan pada tugas untuk menciptakan pengaturan organisasi—melalui insentif, sanksi dan pengawasan—yang dapat meminimalisir biaya dari perilaku yang tidak diinginkan dari badan-badan pemerintahan dan juga aktivitas untuk mengawasi hal tersebut. Sebagai tambahan, sifat membahayakan dari birokrasi seperti banyaknya aturan yang membatasi inisiatif juga harus dihilangkan untuk meningkatkan kinerja dan mendorong inovasi. Dalam pencarian akan efisiensi dan efektivitas pemerintahan tidak hanya reformasi yang dibutuhkan, melainkan juga perlu disokong upaya adopsi terhadap teknik dan praktek dari manajemen sektor privat. Faktor Ketiga adalah perkembangan teknologi informasi. Perkembangan dan ketersediaan teknologi informasi sangat membantu dalam menyediakan perangkat dan struktur yang dibutuhkan untuk membuat reformasi manajerial dapat bekerja di sektor publik. Hal ini dapat dilihat misalnya dari keberadaan sistem informasi yang beradab yang sangat penting bagi prinsip desentralisasi manajemen melalui penciptaan badanbadan eksekutif. Dalam rangka desentralisasi dan akuntabilitas adalah merupakan hal penting untuk mendapatkan rasa percaya diri dalam melaporkan informasi kinerja. Faktor Keempat adalah pertumbuhan dan peranan konsultan manajemen. Mengglobalnya reformasi NPM juga disebabkan oleh para agen perubahan, yang diantaranya adalah konsultan manajemen internasional, kantor akuntan, dan lembaga keuangan internasional. Kesemua lembaga tersebut menjadi instrumen dalam meningkatkan masuknya teknik manajemen baru sektor privat ke sektor publik. Para agen perubahan ini memainkan peran penting dalam mengemas, menjual dan mengimplementasikan teknik-teknik NPM seperti Total Quality Management, Performanced Based Budgetting, Kontrak Kinerja, Balance Score Card dan lain lain. Dari banyak kasus yang ada, NPM dianggap telah banyak berbuat untuk menggoyang organisasi publik yang tidur dan melayani dirinya sendiri melalui penggunaan ide-ide dari sektor privat (Oluwu, 2002). NPM menyediakan banyak pilihan untuk mencoba mencapai biaya yang efektif dalam penyampaian barang publik seperti adanya organisasi yang terpisah untuk kebijakan dan implementasi, kontrak kinerja, pasar internal, sub kontrak dan metode lainnya (Oluwu, 2002). NPM memiliki fokus yang kuat terhadap organisasi internalnya (Oluwu, 2002). Dalam hal ini NPM berusaha untuk memperbaiki kinerja organisasi sektor publik dengan menggunakan metode yang biasa digunakan oleh sektor privat. Terdapat sejumlah prinsip dasar dari NPM berdasarkan pendapat dari sejumlah ahli sebagaimana uraian berikut (Hoods 1991 dan Owens 1998 dalam Oluwu, 2002; serta Borins and Warrington 1996 dalam Samaratunge and Bennington, 2002): (1) Penanganan oleh manajemen profesional; (2) Keberadaan standar dan ukuran kinerja; (3) Penekanan Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
37
pada pengawasan keluaran dan manajemen wirausaha; (4) Desentralisasi manajemen; (5) Kompetisi dalam pelayanan publik; (6) Penerapan prinsip pasar kedalam sektor publik dilakukan melalui privatisasi, komersialisasi dan tes pasar (tender versus penyediaan oleh birokrasi); (7) Penekanan pada gaya sektor privat dalam praktek manajemen; (8) Penekanan yang lebih besar pada disiplin dan penghematan; (9) Penekanan terhadap peran dari manajer publik dalam menyediakan pelayanan yang berkualitas tinggi; (10) Mengadvokasi otonomi manajerial dengan mengurangi pengawasan peran lembaga pusat; (11) Tuntutan, pengukuran dan penghargaan terhadap kinerja individu dan organisasi; (12) Menyadari pentingnya penyediaan sumberdaya manusia dan teknologi yang dibutuhkan manajer dalam memenuhi target kinerjanya; (13) Menjaga penerimaan terhadap kompetisi dan wawasan yang terbuka mengenai bagaimana tujuan publik harus dilaksanakan oleh aparat pemerintah. Pelaksanaan NPM bukan lah tanpa kritik. Terdapat sejumlah hal yang dianggap sebagai kelemahan dari NPM, seperti yang dinyatakan oleh Oluwu (2002). Menurut Oluwu, ketika Administrasi Publik berusaha memahami pesan yang ditawarkan oleh pendekatan pasar maka permasalahan yang muncul adalah terkait dengan pernyataan bahwa tidak ada perbedaan antara manajemen sektor publik dengan sektor privat dalam mengimplementasikan NPM. Selain itu, terdapat sejumlah pertanyaan lain yang mengemuka mengenai validitas empirik dari NPM dalam hal klaimnya terhadap manajemen sektor privat yang dianggap ideal untuk sektor publik. Terdapat sejumlah pertentangan antara klaim dalam NPM terhadap kondisi yang ada di sektor publik. Model usahawan seringkali dapat mengurangi esensi dari nilai-nilai demokratis seperti keadilan, peradilan, keterwakilan dan partisipasi. Hal ini menurut ESC UN (2004) diakibatkan oleh adanya perbedaan besar antara kekuatan pasar dengan kepentingan publik, dan kekuatan pasar ini tidak selalu dapat memenuhi apa yang menjadi kepentingan publik. Bahkan dalam banyak hal, publik seringkali tidak dilibatkan untuk berpartisipasi dalam menentukan, merencanakan, mengawasi dan mengevaluasi tindakan-tindakan yang diambil untuk dapat menjamin bahwa publik tetap menjadi pusat dari tindakan-tindakan pemerintah. Lebih jauh, Drechsler (2005) mengingatkan bahwa menganggap masyarakat hanya sebagai konsumen semata menyebabkan masyarakat dijauhkan dari haknya untuk berpartisipasi. Kritik-kritik tersebut sejalan dengan pandangan Haque (1996), dimana menurut Haque NPM telah menumbuhkan sejumlah tantangan dalam penyediaan pelayanan publik terkait dengan legitimasi pelayanan publik, etika pelayanan publik, serta motivasi pelayanan publik. Selain itu, menurut Haque (1999) pandangan tersebut juga telah mengubah misi dari birokrasi publik, mempengaruhi sifat dan komposisi jasa-jasa yang diberikan sektor publik kepada masyarakat sekaligus menyebabkan transformasi pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2004) Pola hubungan yang baru antara warga dengan birokrasi tersebut menurut Haque (1999) membawa implikasi terhadap 5 (lima) hal yakni (1) redefinisi kewargaan/masyarakat dalam pelayanan publik; (2) transformasi etika administrasi yang mempengaruhi masyarakat; (3) transisi dalam perilaku dan motivasi birokrasi terhadap masyarakat; (4) perubahan peran dan kapasitas pelayanan publik dalam melayani masyarakat; serta (5) Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
38
restrukturisasi hak masyarakat terhadap pelayanan publik. (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2004) Redefinisi kewargaan/masyarakat dalam pelayanan publik harus dilakukan mengingat sebelumnya pelayanan publik dituntut untuk dapat melayani semua kelas dan kelompok masyarakat tanpa terkecuali khususnya kelas yang terpinggirkan yang biasanya ditinggalkan oleh sektor privat dalam mekanisme pasar (Haque, 1999). Namun demikian, seiring dengan diadopsinya pendekatan berorientasi pasar menyebabkan masyarakat diredefinisikan sebagai konsumen atau klien dan karenanya memiliki implikasi terhadap pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat (Haque, 1999). Dalam pola hubungan yang baru tersebut melibatkan adanya transaksi keuangan antara masyarakat dengan pemerintah dalam proses penyediaan pelayanan publik (Haque, 1999). Karenanya menurut Haque (1999), kondisi yang semacam ini khususnya di negara berkembang dapat merugikan bagi kelompok masyarakat miskin yang tidak memiliki kapasitas keuangan sebagai konsumen atau pengguna pelayanan. (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2004) Akibat lain dari adopsi pendekatan berorientasi pasar terhadap penyediaan pelayanan publik adalah terjadinya transformasi standar etika pelayanan publik selama ini seperti akuntabilitas, keterwakilan, netralitas, daya tanggap, integritas, kesetaraan, pertanggungjawaban, ketidakberpihakan, serta kebaikan dan keadilan yang digantikan dengan nilai-nilai pasar seperti efisiensi, produktivitas, biaya yang efektif, kompetisi, dan pencarian keuntungan (Haque, 1999). (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2004) Adapun transisi dalam perilaku dan motivasi birokrasi terhadap masyarakat terjadi sebagai akibat dari adanya pergeseran perhatian pegawai negeri dari kepentingan masyarakat kepada sasaran organisasi seperti produktivitas dan efisiensi (Haque, 1999). Atau dengan kata lain, pegawai negeri akan lebih responsif terhadap konsumen (yang mampu membayar) sementara menjadi lebih apatis terhadap kebutuhan dari masyarakat berpenghasilan rendah (Haque, 1999). (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2004) Sementara itu, perubahan peran dan kapasitas pelayanan publik dalam melayani masyarakat terjadi akibat semakin pasifnya pemerintah dalam menyediakan barang dan jasa kepada masyarakat (Haque, 1999). Dampaknya kemudian menurut Haque (1999) terjadi perubahan pola hubungan masyarakat dan pemerintah dalam 2 (dua) hal, yakni pemerintah menjadi lebih memfasilitasi daripada mengarahkan atau dengan kata lain “menyetir” daripada “mendayung”; serta menurunnya kapasitas dari sektor publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat akibat adanya kebijakan privatisasi, penghematan, dan pemotongan anggaran. Melemahnya kemampuan dari sektor publik ini menyebabkan mereka tidak mampu melayani kebutuhan dasar masyarakat terkait pendidikan, perumahan dan kesehatan, khususnya apabila mayoritas warga masyarakat sangat menggantungkan diri terhadap sektor publik untuk pelayanan-pelayanan dasar yang dibutuhkannya. (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2004) Pada akhirnya, implikasi-implikasi di atas membawa dampak juga terhadap restrukturisasi hak masyarakat terhadap pelayanan publik, dimana hak masyarakat akan Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
39
pelayanan publik dasar yang harus disediakan oleh pemerintah menjadi berkurang. Hal ini, lebih jauh oleh Haque (2001) disebut sebagai berkurangnya derajat “ke-publik-an” dimana aspek “ke-publik-an” ini dipengaruhi oleh 5 (lima) dimensi yakni (1) tingkat perbedaan dengan privat. (2) ruang lingkup dan komposisi dari penerima pelayanan, (3) besaran dan intensitas dari peranan terhadap sosial-ekonomi, (4) derajat akuntabilitas publik, serta (5) tingkat kepercayaan publik. Sebagai akibatnya, dalam penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah terjadi pengikisan perbedaan antara publik dengan privat; menyempitnya komposisi dari penerima pelayanan; melemahnya peranan sektor publik; munculnya masalah akuntabilitas publik; serta meningkatnya tantangan terhadap kepercayaan publik dalam pelayanan publik (Haque, 2001). (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2004) Dampak yang ditimbulkan dari perubahan-perubahan di atas adalah terjadinya krisis identitas pada sektor publik; berkurangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah sehingga menyebabkan kurangnya legitimasi publik; serta restrukturisasi hubungan masyarakat dengan pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik (Haque, 1999, 2001). (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2004) 3. Paradigma New Governance Pada tahun 1990an, dampak negatif dari penekanan yang tidak pada tempatnya terhadap efesiensi dan ekonomi dalam pengelolaan masalah-masalah publik mulai menyebabkan menurunnya penyampaian pelayanan publik kepada masyarakat khususnya menyangkut barang-barang yang bersifat publik (public goods) (Economic and Social Council UN, 2004). Barang-barang publik tersebut ternyata tidak dapat disediakan secara memadai melalui penerapan yang ketat dari kekuatan pasar (Economic and Social Council UN, 2004). Melalui penerapan yang berlebihan terhadap perilaku manajemen sektor privat telah menyebabkan sektor publik kehilangan orientasinya terhadap tanggungjawab yang diembannya untuk kepentingan umum publik (Economic and Social Council UN, 2004). Karenanya, dalam konteks inilah konsep governance yang memiliki fokus perhatian terhadap partisipasi, kepentingan masyarakat, kesetaraan, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan masalah-masalah publik mulai mendapatkan perhatian dari berbagai pihak (Economic and Social Council UN, 2004). Melalui penerapan konsep governance diharapkan dapat mengembalikan perhatian dari Administrasi Publik terhadap kepentingan umum publik, khususnya dengan melibatkan partisipasi dari publik dalam proses pemenuhan kepentingan publik. Konsep governance menurut Stoker (1998) merujuk kepada pengembangan dari gaya memerintah dimana batas-batas antara dan diantara sektor publik dan sektor privat menjadi kabur (Ewalt, 2001). Pengaburan batas-batas ini sejalan dengan kebutuhan dari negara modern untuk lebih melibatkan mekanisme politik dan pengakuan akan pentingnya isu-isu menyangkut empati dan perasaan dari publik untuk terlibat sehingga memberikan kesempatan bagi adanya mobilisasi baik secara sosial maupun politik (Stoker, 2004). Hal ini yang kemudian membuat partisipasi melalui pembangunan jejaring antara pemerintah dan masyarakat menjadi aspek yang sangat penting bagi keberlanjutan sebuah legitimasi kebijakan (Stoker, 2004). Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
40
Konsep governance ini kemudian berkembang menjadi good governance—seperti yang kita kenal sekarang—dalam rangka membedakan implementasinya antara yang “baik” (good) dengan yang “buruk” (bad) (lihat misalnya dalam Prasojo, 2003). Good governance menurut Plumptre and Graham (1999), merupakan model dari governance yang mengarahkan kepada hasil ekonomi dan sosial sebagaimana dicari oleh masyarakat. Dalam memahami perbedaan antara governance dan government, Schwab dan Kubler (2001) melihatnya dari 5 (lima) fitur dimensi berdasarkan pengamatan mereka terhadap interaksi pada sebuah kontinuum pengaturan kebijakan antara governance dan government sebagai berikut: Tabel 2.: Fitur yang membedakan governance dari government
Government
Dimensi
Governance
Peserta sangat terbatas jumlahnya Umumnya adalah lembaga-lembaga pemerintah
Aktor
Jumlah peserta yang besar Terdiri atas aktor publik dan privat
Sedikit/jarangnya konsultasi Tidak ada kerjasama dalam pembuatan/pelaksanaan kebijakan Issue kebijakan menjadi luas
Fungsi
Lebih banyak konsultasi Adanya kemungkinan kerjasama dalam pembuatan/pelaksanaan kebijakan Issue kebijakan menjadi sempit
Batas-batas yang tertutup Struktur Batas berdasarkan kewilayahan (teritori) Keanggotaan yang tidak sukarela
Batas-batas yang sangat terbuka Batas berdasarkan fungsi (fungsional) Keanggotaan secara sukarela
Kewenangan yang hirarkhis, kepemimpinan yang terkunci Interaksi yang saling berlawanan / hubungan yang cenderung konflik Kontak-kontak informal Kerahasiaan
Konvensi dari Interaksi
Konsultansi horisontal, intermobilitas Konsensus atas nilai-nilai teknokratik / hubungan kerjasama Kontak-kontak yang sangat informal Keterbukaan
Otonomi yang besar dari Negara terhadap masyarakat (organisasi yang dikendalikan/steered organising) / dominasi Negara Tidak ada akomodasi terhadap kepentingan masyarakat oleh Negara Tidak adanya keseimbangan/simbiosis antar aktor
Distribusi dari Kekuasaan
Otonomi yang rendah dari negara terhadap masyarakat (organisasi mandiri/self-organising) / dominasi negara yang tersebar Kepentingan masyarakat diakomodir oleh Negara Adanya keseimbangan atau simbiosis antar aktor
Tabel diatas dibuat mengacu kepada elemen analisis dari van Waarden dan menunjukan kategori dimana 'statism' (government) memiliki karakteristik yang berbeda dengan 'issue networks' (governance). Sumber: Schwab and Kubler, 2001
Senada dengan pandangan Schwab and Kubler diatas, Stoker (1998) mengemukakan 5 (lima) proposisi mengenai governance sebagai berikut (Ewalt, 2001): (1) Governance merujuk kepada institusi dan aktor yang tidak hanya pemerintah; (2) Governance mengidentifikasikan kaburnya batas-batas dan tanggungjawab dalam mengatasi isu sosial Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
41
dan ekonomi; (3) Governance mengidentifikasikan adanya ketergantungan dalam hubungan antara institusi yang terlibat dalam aksi kolektif; (3) Governance adalah mengenai self-governing yang otonom dari aktor-aktor; (4) Governance menyadari untuk memperbaiki sesuatu tidak perlu bergantung kepada kekuasaan pemerintah melalui perintah dan kewenangannya Sejalan dengan itu, dalam konteks perkembangan Administrasi Publik dari bentuknya yang tradisional kemudian NPM dan pada akhirnya memusatkan kepada masyarakat, maka Benington dan Hartley sebagaimana dikutip Wilson (2002) membandingkannya sebagaimana tabel berikut ini (Meehan, 2003): Tabel 3.: Model Kompetisi Paradigma Governance
Administrasi Publik Tradisional
New Public Management
Citizen-centered governance
Konteks
Stabil
Kompetisi
Perubahan yang terus menerus
Populasi
Homogen
Atomized (terfragmentasi)
Berbeda-beda
Kebutuhan/masalah
Secara langsung, ditentukan oleh profesional
Keinginan diekspresikan melalui pasar
Kompleks, berubahubah dan cenderung beresiko
Strategi
Memfokuskan pada negara dan produsen
Memfokuskan pada pasar dan konsumen
Ditentukan oleh masyarakat sipil
Governance melalui ...
Hirarkhi
Pasar
Jejaring dan kemitraan
Aktor
Aparat pemerintah
Pembeli dan penyedia; Kepemimpinan klien dan kontraktor masyarakat
Sumber: Benington dan Hartley sebagaimana dikutip dalam Meehan (2003)
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa konsep governance merujuk kepada sebuah proses pembuatan kebijakan dan proses dimana kebijakan tersebut dilaksanakan yang melibatkan baik negara (pemerintah), sektor privat, maupun masyarakat madani dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan tersebut. Governance melibatkan tidak hanya negara (pemerintah) tetapi juga sektor privat dan masyarakat madani. Kesemuanya merupakan aktor yang memiliki peran sama penting dalam sebuah penyelenggaraan pemerintahan. Negara (pemerintah) berperan dalam menciptakan situasi politik dan hukum yang kondusif; sektor privat berperan dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan; dan masyarakat madani berperan dalam memfasilitasi interaksi secara sosial dan politik yang memadai bagi mobilisasi individu atau kelompok-kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas, ekonomi, politik dan sosial (lihat dalam Tamin, 2002). Dengan kata lain menurut Salomo (2002), birokrasi dituntut agar mempunyai karakter bersih, terbuka, akuntabel responsif, berorientasi pada kepentingan masyarakat, dan mendorong partisipasi masyarakat bagi Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
42
keterlibatan dalam proses pembuatan, pelaksanaan dan kontrol kebijakan; dunia usaha dituntut adanya keterbukaan, akuntabilitas, moralitas tinggi, social responsibility dan patuh pada perundang-undangan yang berlaku serta; masyarakat dituntut agar kuat, selalu menyatakan pendapatnya, berkualitas tinggi serta partisipatif terhadap berbagai proses yang dilakukan baik oleh birokrasi maupun oleh dunia usaha. Setiap aktor tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Karenanya melalui good governance diharapkan terciptanya interaksi yang konstruktif dan memadai diantara para aktor tersebut. Disini dapat terlihat adanya interaksi antar ketiga aktor tersebut dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan sebagaimana terdapat dalam gambar berikut: Gambar 2.: Interaksi antar Aktor dalam Governance
Pengertian dari good governance dapat dilihat dari pemahaman yang dimiliki baik oleh IMF maupun World Bank yang melihat Good Governance sebagai sebuah cara untuk memperkuat “kerangka kerja institusional dari pemerintah” (Bappenas, 2002). Hal ini menurut mereka berarti bagaimana memperkuat aturan hukum dan prediktibilitas serta imparsialitas dari penegakannya (Bappenas, 2002). Ini juga berarti mencabut akar dari korupsi dan aktivitas-aktivitas rent seeking, yang dapat dilakukan melalui transparansi dan aliran informasi serta menjamin bahwa informasi mengenai kebijakan dan kinerja dari institusi pemerintah dikumpulkan dan diberikan kepada masyarakat secara memadai sehingga masyarakat dapat memonitor dan mengawasi manajemen dari dana yang berasal dari masyarakat (Bappenas, 2002). Pengertian ini sejalan dengan pendapat Bovaird and Loffler (2003) yang mengatakan bahwa good governance mengusung sejumlah isu seperti: keterlibatan stakeholder; transparansi; agenda kesetaraan (gender, etnik, usia, agama, dan lainnya); etika dan perilaku jujur; akuntabilitas; serta keberlanjutan. Berdasarkan pengertian di atas, good governance memiliki sejumlah ciri sebagai berikut (Bappenas, 2002): (1) Akuntabel, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus disertai pertanggungjawabannya; (2) Transparan, artinya harus tersedia informasi yang memadai kepada masyarakat terhadap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan; (3) Responsif, artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus mampu melayani semua stakeholder; (4) Setara dan inklusif, artinya seluruh anggota masyarakat Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
43
tanpa terkecuali harus memperoleh kesempatan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan sebuah kebijakan; (5) Efektif dan efisien, artinya kebijakan dibuat dan dilaksanakan dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia dengan cara yang terbaik; (6) Mengikuti aturan hukum, artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan membutuhkan kerangka hukum yang adil dan ditegakan; (7) Partisipatif, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus membuka ruang bagi keterlibatan banyak aktor; (8) Berorientasi pada konsensus (kesepakatan), artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus merupakan hasil kesepakatan bersama diantara para aktor yang terlibat. 4. Paradigma the New Public Services Perkembangan terakhir paradigma Administrasi Publik adalah kombinasi antara The New Public Management dan New Governance. Adalah Robert B. Dernhardt yang melakukan kritik terhadap perkembangan paradigma new public management (Denhardt 2000; 3) Menurutnya, penekanan pada semangat pengelolaan sektor publik dengan cara-cara entrepreneur dapat menimbulkan pengabaian sumber kekuasaan negara dan pemerintah. Hal ini disebabkan, karena orientasi pelayanan publik lebih ditekankan pada kelompok ‘The have”, dan seringkali menyebabkan pengabaian hak-hak kelompok masyarakat “The have not”. Pelayanan publik yang menekankan pada mekanisme pasar dalam the new public management pada akhirnya akan merugikan kepentingan kelompok masyarakat miskin. Karena itu, the new public services mencoba untuk menggabungkan dua paradigma sebelumnya. Masyarakat harus memiliki akses yang besar terhadap pelayanan sehingga dapat meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat. Paradigma the New Public Services lahir dari kerangka teori “Democratic Citizenship”. Dalam kerangka teori ini masyarakat adalah pemilik kedaulatan. Pengabaian terhadap hak-hak dasar rakyat dalam pelayanan publik berarti mengabaikan pemilik kedaulatan atas negara. Konsep new public management yang berkembang akhir tahun 1980an sampai tahun 90an akhir pada praktiknya mengabaikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, karena pelayanan publik diserahkan pada mekanisme pasar. Pemerintah sebagai salah satu cabang kekuasaan negara harus melayani dan memberdayakan masyarakat, sehingga pemilik kedaulatan negara menjadi aktor yang berdaya. Basis penguatan pemberdayaan masyarakat adalah komunitas dan masyarakat madani. The new public services memiliki tujuh dasar pengembangan pelayanan publik: (1) serve rather than steer. Meningkatnya peran birokrat yang dapat membantu dan mengarahkan masyarakat untuk mengartikulasikan dan saling membagi nilai daripada melakukan kontrol terhadap masyarakat. Peran pemerintah bukan hanya sekedar membuat ketentuan dan kebijakan, lebih dari itu bertindak dan melakukan negosiasi, fasilitasi dan menjadi jembatan dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat (jika diperlukan bahkan melalui kerjasama antara sektor privat, masyarakat dan kelompokkelompok masyarakat). (2) Kepentingan publik adalah tujuan, bukan hanya sekedar produk. Administrator publik harus dapat membangun kepentingan publik. Tujuannya bukan untuk menemukan solusi yang cepat melalui pilihan dan preferensi individu, tetapi lebih dari itu harus menghasilkan shared interest dan shared responsibility dalam masyarakat. (3) Berpikir stratejik dan bertindak demokratik. Kebijakan dan program akan Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
44
mencapai hasil yang efektif dan bertanggungjawab apabila dilakukan melalui usahausaha kolektif dan proses yang kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat. (4) Melayani masyarakat, bukan pelanggan. Kepentingan publik merupakan hasil dari dialog tentang shared values, bukan hanya merupakan agregasi kepentingan individu. Karena itu, para administrator publik bukan hanya bekerja dalam rangka memberikan pelayanan kepada pelanggan, tetapi lebih banyak berfokus pada upaya untuk membangun kepercayaan dan relasi yang kolaboratif dengan dan diantara masyarakat. (5) Akuntabilitas tidaklah sederhana. Administrator publik harus lebih memberikan perhatian lebih kepada masyarakat bukan hanya sebagai pelanggan dalam sebuah pasar. Administrator publik harus berorientasi pada hukum dan konstitusi, nilai-nilai komunitas, norma-norma politik, standar profesional dan kepentingan masyarakat. (6) Menghargai masyarakat, dan bukan hanya produktivitas. Organisasi publik dan jaringannya akan bekerja dalam jangka waktu yang panjang, jika ada penghargaan yang tinggi terhadap proses yang kolaboratif dan nilai kepemimpinan yang memberikan penghargaan kepada masyarakat. (7) menghargai masyarakat dan pelayanan publik yang lebih tinggi daripada kewirausahaan. Kepentingan publik dapat dikembangkan secara lebih baik oleh administrator publik dan masyarakat daripada dilakukan oleh seorang wirausaha. Karena sesungguhnya uang publik yang digunakan untuk melayani masyarakat berasal dari uang yang dibayarkan oleh masyarakat. 5. Pelayanan Publik Perizinan dalam Semangat Desentralisasi Dalam praktek kehidupan bernegara, sentralisasi dan desentralisasi adalah sebuah kontinuum. Tidak ada sebuah negara yang secara penuh hanya menggunakan azas sentralisasi saja dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Sebaliknya juga tidak mungkin penyelenggaraan pemerintahan hanya didasarkan pada azas desentralisasi saja. Beberapa kewenangan klasik memang lazimnya hanya dilakukan secara sentralisasi seperti kewenangan luar negeri, kewenangan pertahanan dan kewenangan peradilan. Meskipun dalam prakteknya juga terdapat azas dekonsentrasi yang merupakan penghalusan dari azas sentralisasi. Titik temu keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat dikaji dalam berbagai aspek, misalnya saja dalam aspek pembagian kewenangan, aspek intervensi pusat terhadap daerah, aspek keterlibatan daerah di tingkat pusat, dan aspek pembagian (perimbangan) sumberdaya keuangan. Sesuai dengan semangat reformasi yang terjadi pada tahun 1998, format penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia juga mengalami perubahan dari pendulum sentralisasi ke pendulum desentralisasi. Hal ini dapat dianalisis misalnya dari format pembagian kewenangan yang berpola residu dan peletakkan lokus otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota. Hal ini dianut secara tajam di dalam UU 22/1999, dan mengalami pergeseran kembali di dalam UU 32/2004. Berbagai kewenangan yang semula dimiliki oleh pemerintah pusat dan propinsi diserahkan kepada daerah kabupaten/kota. Sesuai dengan tujuannnya, maka penguatan otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota dimaksudkan untuk meningkatkan participatory democracy dan efisiensi dalam Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
45
penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kewenangan yang dimiliki, kabupaten/kota dapat menentukan sendiri prioritas pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki. Berbagai Peraturan Daerah yang semula harus disetujui oleh pemerintah pusat terlebih dahulu, dapat ditetapkan oleh Kepala Daerah secara mandiri. Hal yang sama juga terjadi di berbagai perizinan investasi, hal mana daerah dapat menetapkan dan memberikan izin tanpa persetujuan dari pemerintah pusat. Dengan otonomi daerah diharapkan prosedur perizinan akan semudah sehingga potensi daerah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Meskipun demikian, otonomi daerah bukanlah tanpa masalah, karena kewenangan yang sangat luas yang dimiliki kabupaten/kota dapat menimbulkan fragmented and uncoordinated administration. Dilihat dari dimensi cara, penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah bisa dilakukan dengan dua metode. Pertama desain penyerahan wewenang dengan open end arrangement (general competence), kedua dengan prinsip Ultra Vires. Mengikuti metode open end arrangement, pembagian kewenangan dilakukan dengan menyebutkan secara rinci kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat di dalam Undang-undang. Sisa kewenangan yang tidak disebutkan dalam Undangundang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Desain pembagian kewenangan seperti lazimnya di negara federal dikenal dengan doctrin enumerated powers (Prasojo, 2003: 187). Dengan prinsip Ultra Vires penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah ditetapkan secara rinci dalam Undang-undang. Pemerintah daerah dengan demikian hanya dapat menyelenggarakan kewenangan yang termaktub secara jelas dalam Undangundang. Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Pemerintahan Daerah menurut UU 22/1999 dan juga UU 32/2004 dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dianutnya prinsip kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten dan Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan sebagai kewenangan pusat. Dengan demikian semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada kabupaten dan kota, sehingga tidak perlu dilakukan penyerahan secara aktif oleh pusat. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU 22/1999 disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada daerah Kabupaten dan Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat yang dianut oleh konstitusi dalam kebanyakan negara federal. Pada sisi lainnya, ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU 22/1999 dapat pula ditafsirkan sebagai kewenangan yang tabu untuk di desentralisasikan (Hoessein, 2001:18). Kewenangan yang secara enumeratif diserahkan kepada pusat dalam pasal 7 dengan demikian, hanya dapat dilaksanakan melalui aras sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang pemerintahan yang disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12).
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
46
Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom selanjutnya ditetapkan dalam pasal 9 UU 22/1999 yang mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah Kabupaten dan Kota. Sebagai wilayah administrasi propinsi memiliki kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah. Ketentuan inti mengenai kewenangan sisa (reserved right) yang dimiliki oleh daerah Kabupaten dan Kota ditetapkan secara mutlak dalam pasal 11 UU 22/1999 bahwa “Kewenangan Daerah Kabupaten dan Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 dan yang diatur dalam pasal 9”. Ketentuan kewenangan sisa ini diukuti oleh ketentuan ayat 2 pasal 11 dengan kewajiban melaksanakan 11 kewenangan. Dalam prakteknya, karena Rancangan Peraturan Pemerintah pengganti PP 25 tahun 2000 belum ditetapkan, maka pembagian kewenangan antara pusat dan pemerintah masih menggunakan dasar hukum UU 32/2004. Dalam UU 32/2004 pembagian urusan sejatinya menganut prinsip yang sama dengan UU 22/1999. Pasal 10 ayat (1) dan (2) merupakan prinsip kewenangan sisa, dimana pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan menjadi urusan pemerintah. Selain itu pemerintah daerah menjalankan otonomi seluasluasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam pasal 13 dan pasal 14 UU 32/2004 secara enumeratif disebutkan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan propinsi dan kabupaten/Kota. Hanya saja dalam pasal 13 dan 14 ini tidak secara tegas dianut apakah UU 32/2004 ini akan menganut pembagian berdasarkan fungsi mengatur dan mengurus atau tidak. Karena jenis urusan yang diserahkan kepada masing-masing level pemerintahan pada dasarnya sama, hanya berbeda dalam tingkatan dan luasan wilayah. Hal ini dalam prakteknya dapat menyebabkan kekaburan pembagian urusan antara Propinsi dan Kabupaten/Kota. Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang berakar dari konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah adalah ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan. Secara teoritik dan praktek internasional di beberapa negara, terdapat dua prinsip dasar yang dapat dilakukan dalam membagi kewenangan yaitu berdasarkan kepada fungsi dan berdasarkan kepada politik. Atas dasar fungsi kewenangan dibagi menurut fungsi mengatur dan fungsi mengurus. Artinya, untuk suatu jenis kewenangan, fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan dan dibagi secara tegas untuk setiap tingkatan pemerintahan. Sebaliknya, jika prinsip dasar yang dianut adalah berdasarkan pembagian politik, maka fungsi mengatur dan mengurus ini tidak secara tegas dibagi antara tingkatan pemerintahan. Sehingga untuk satu jenis kewenangan sektoral bisa terdapat fungsi mengatur dan mengurus yang sama dan dimiliki oleh dua tingkatan pemerintahan yang berbeda. Ketidakjelasan model pembagian kewenangan ini, dalam prakteknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-sektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang tindih antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Kedua untuk sektor-sektor yang bersifat pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan.
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
47
Secara khusus, problem pembagian kewenangan juga terletak pada inkonsistensi berbagai produk perundang-undangan di negeri ini. Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden bisa mereduksi kewenangan yang sudah diberikan Undang-Undang. Bagi daerah, inkonsistensi ini membingungkan dan cenderung menyebabkan resentralisasi. Ujung dari inkonsistensi ini adalah konflik sektoral antar tingkat pemerintahan. Dalam prakteknya di daerah, implementasi pembagian kewenangan telah memunculkan sejumlah masalah. Penyebab yang paling menonjol adalah tidak jelasnya atau masih dimungkinkannya interpretasi ganda oleh Propinsi dan Kabupatan terhadap ketentuan pembagian kewenangan dalam UU dan PP. Tidak rincinya pembagian kewenangan di dalam UU dan PP juga telah menyebabkan definisi yang berbeda antara propinsi dan kabupaten/kota. Untuk tugas-tugas yang menghasilkan sumber penerimaan, hal ini dapat memicu dualisme pelaksanaan kewenangan. Dengan kata lain, baik propinsi maupun Kabupaten keduanya melaksanakan sub bidang kewenangan yang sama. Hal inilah yang seringkali menyebabkan banyaknya perizinan-perizinan di daerah. Sebaliknya, untuk untuk tugas-tugas yang menimbulkan biaya dan tidak menghasilkan sumber penerimaan, tidak ada level pemerintahan yang bersedia melaksanakannya. Dalam kasus ini terjadi kekosongan dalam pelaksanaan kewenangan. Tumpang tindih pelaksanaan kewenangan di daerah tidak saja terjadi secara vertikal antara level pemerintahan, tetapi juga secara horizontal antar satu dinas dengan dinas lainnya. Reorganisasi dan pengelompokan dinas sebagai respon terhadap pemberian kewenangan di daerah juga menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara satu dinas dengan dinas lainnya. Pada kasus yang lain, kesemrawutan dan tumpang tindih kewenangan antara Propinsi dan Kabupaten/Kota juga dipicu oleh kebijakan di tingkat Pusat yang seringkali mengalami perubahan secara cepat, sehingga menyulitkan bagi daerah untuk mengimplementasikannya. Beberapa peraturan perundang-undangan sektor bahkan banyak yang sudah tidak relevan lagi dengan jiwa dan semangat UU 22/1999 jo UU 32/2004. Tumpang tindih baik baik secara vertikal (antara propinsi dan kabupaten) maupun secara horizontal (antar dinas dalam satu kabupaten/Kota) seringkali terjadi karena aliran Rentsra dan Propeda Propinsi yang tidak lancar dan kadang-kadang tidak dirujuk dalam membuat Renstra dan Propeda Kabupaten/Kota. Hal ini disebabkan oleh belum disepakatinya bentuk dan jenis hubungan antar pemerintah propinsi dan kabupaten/kota juga disebabkan oleh belum adanya Standar Pelayanan Minimum yang jelas. Konsistensi dan long term kebijakan di tingkat pusat sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan di daerah. Dalam banyak kasus, perubahan kebijakan yang sangat cepat dan tidak terkoordinasi kebijakan antar sektor dengan daerah sangat mengganggu kinerja di daerah. Pada sisi yang lain, mekanisme koordinasi dan forum yang menghubungkan antar berbagai tingkatan pemerintahan masih belum terlaksana dengan baik. Kacaunya pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan dalam UU 22/1999 jo 32/2004 berikut Peraturan Pemerintah pembagian wewenang telah menyebabkan kacaunya jumlah dan prosedur perizinan di daerah. Otonomi yang luas kepada kabupaten/kota dan peran pengawasan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
48
daerah yang lemah, telah menyebabkan munculnya perizinan yang berkharakter retributif. Banyaknya perizinan yang timbul di daerah bertujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Bahkan dalam tahap tertentu, banyaknya perizinan ini kontradiktif dengan iklim pengembangan usaha. Hal ini disebabkan kontrol gubernur yang lemah dalam penerbitan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perizinan yang bersifat retributif. Pada sisi lainnya, dalam kaitannya dengan prosedur perizinan, tumpang tindih kewenangan telah menyebabkan pula prosedur yang panjang dan berbelit-belit. Bahkan seringkali prosedur perizinan yang melibatkan kewenangan pusat, sulit untuk bisa dikeluarkan secara cepat dalam proses yang sederhana. Dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah, kewenangan bidang perizinan harus dijiwai dengan prinsip subsidiaritas. Dalam prinsip subsidiaritas, level pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat harus diberikan kewenangan untuk dapat membuat perizinan. Ada dua alasan mengapa prinsip subsidiaritas menjadi dasar dalam menentukan kewenangan perizinan. Pertama, level pemerintahan yang paling rendah mengetahui secara pasti kondisi potensi dan kebutuhan daerah. Sehingga dengan demikian dapat diperoleh daya guna fungsi pengaturan melalui perizinan. Kedua, kewenangan perizinan yang diberikan kepada level pemerintahan kabupaten/kota diharapkan akan mempercepat proses dan prosedur perizinan. Dengan demikian prosedur perizinan akan semakin cepat, efisien, efektif, transparan dan akuntabel. B. REFORMASI BIROKRASI DALAM PERIZINAN Kesejahteraan, Pelayanan dan kemakmuran rakyat adalah produk dari sistem administrasi negara secara keseluruhan. Sebagai sebuah sistem, sistem administrasi negara sangat dipengaruhi oleh oleh sub-sistem sub-sistem lainnya seperti sub sistem ekonomi, hukum, politik, sosial dan budaya. Keseluruhan sub sistem tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi tugas negara dalam memberikan pelayanan publik dan pemenuhan hak-hak sipil warga. Di Indonesia, Sistem Administrasi Negara yang menjadi pilar pelayanan publik menghadapi masalah yang sangat fundamental. Pertama, sebagai fakta sejarah bangsa sistem administrasi yang sekarang diterapkan adalah peninggalan pemerintah kolonial yang juga memiliki dasar-dasar hukum dan kepentingan kolonial. Struktur birokrasi, norma, nilai dan regulasi yang ada sekarang masih berorientasi pada pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan Hak Sipil warga negara (lihat Thoha: 2003). Tidak mengherankan jika struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat sebagai pelayan, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Misi utama administrasi negara dengan paham kolonial tersebut adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu. Ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai dan regulasi yang berorientasi kolonial tersebut telah menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Masih belum tercipta budaya Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
49
pelayanan publik yang berorientasi kepada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaliknya, yang terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk menjadikan birokrasi sebagai lahan pemenuhan hasrat dan kekuasaan (power culture). Karena itulah, kekecewaan masyarakat terhadap birokrasi terus terjadi dalam kurun waktu yang lama sejak kita merdeka. Pola pikir birokrat sebagai penguasa dan bukan sebagai pelayan publik telah menyebabkan sulitnya melakukan perubahan kualitas pelayanan publik (lihat Dwiyanto, 2003). Tidak mengherankan jika kompetensi birokrat masih belum memadai, prosedur pelayanan masih berbelit-belit, dan harga pelayanan publik masih tidak transparan. Konsekuensi hal tersebut adalah kewajiban masyarakat untuk membayar mahal pelayanan secara ilegal yang seharusnya menjadi tanggung jawab konstitusional negara dan pemerintah. Pungutan ilegal ini merupakan biaya ketidakpastian (cost of uncertainty) yang harus dikeluarkan oleh masyarakat setiap kali berhadapan dengan birokrasi untuk mendapatkan pelayanan publik. Anehnya, beberapa hasil penelitian, juga jika dipertanyakan secara langsung kepada birokrat dan masyarakat, pungutan liar dalam pelayanan publik adalah hal biasa dan normal. Pungutan liar dan sogokan dalam pelayanan publik telah diterima sebagai budaya yang sangat sulit dihapuskan. Kesulitan untuk mengurangi atau menghilangkan pungutan liar dan sogokan dalam pelayanan publik di Indonesia diperburuk dengan budaya afiliasi dan patron-client relationship yang telah berakar. Proses pelayanan publik dari hulu sampai ke hilir sarat dipenuhi dengan hubungan pertemanan, etnisitas, agama, dan afiliasi politik. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa proses pengadaan barang dan jasa, pemberian izin dan lisensi, dan pemberian pelayanan publik lainnya, sangat dipengaruhi oleh siapa mendapatkan apa dalam hubungan mana. Gejala ini, yang mengarah kepada Moral Hazard, merupakan faktor terpenting penyebab sulitnya reformasi pelayanan publik di Indonesia. Dalam era otonomi daerah, budaya afiliasi dan patron client relationship semakin subur, dimana hubungan-hubungan birokrasi sangat diwarnai oleh etnisitas dan budaya, juga oleh hubungan-hubungan politis. Faktor lainnya yang menjadi situasi problematis pelayanan publik di Indonesia adalah masalah kualitas dan kompetensi aparat birokrasi (lack of competencies). Ketidaksesuaian antara kebutuhan dan kompetensi yang dimiliki oleh aparat birokrasi telah menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik. Hal ini bermula dari proses rekrutmen yang tidak berbasis kepada job analisis, dimana syarat-syarat kompetensi yang dibutuhkan tertulis, dan berlanjut dengan proses dan isi pendidikan dan latihan yang tidak menunjang pencipataan profesionalisme aparat. Sistem rekrutmen dan promosi masih tidak didasarkan kepada meritokrasi, melainkan pada hubungan-hubungan pertemanan, keluarga, dan politik. Sistem perekrutan yang demikian telah menyebabkan budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pada sisi lainnya, gagalnya pembangunan di Indonesia, khususnya belum optimalnya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme dalam birokrasi (kleptokrasi), juga disebabkan oleh ketiadaan grand design reformasi dan reposisi peran administrasi negara (birokrasi). Hal ini pula yang menyebabkan birokrasi belum dipandang sebagai faktor Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
50
terpenting penggerak pembangunan. Dalam konteks ini ada yang selalu terlupakan oleh elite pemimpin bangsa Indonesia tentang pentingnya birokrasi negara dalam menata strategi pembangunan. Bahkan peran administrasi pembangunan dan pembangunan administrasi dapat dikatakan sangat termarjinalisasi oleh prioritas pembangunan ekonomi, hukum, sosial dan politik. Penataan sistem penggajian PNS adalah salah satu agenda besar dan harus menjadi bagian dari revitalisasi administrasi negara. Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab tidak optimal –atau mungkin gagalnyapembangunan bangsa ini adalah pengabaian peran birokrasi negara untuk pembangunan dan juga pembangunan dalam bidang birokrasi negara. Dalam hal proses pelayanan seringkali birokrasi tidak memiliki prinsip-prinsip efisiensi, transparansi, efektifitas dan keadilan. Proses pelayanan publik tidak memiliki transparansi baik dalam hal waktu, biaya dan prosedur yang harus dilalui. Kalaupun ada standar prosedur pelayanan publik seringkali hanya menjadi pajangan dan standar formal. Intransparansi prosedur, waktu dan biaya pelayanan sengaja diciptakan untuk kepentingan ketergantungan masyarakat terhadap aparat pemberi pelayanan. Sehingga prosedur dibuat secara berbelit-belit agar biaya yang dikenakan kepada masyarakat menjadi lebih mahal. Masyarakat tidak memiliki daya tawar terhadap prosedur tersebut. Sehingga bagi masyarakat yang ingin mendapat pelayanan secara lebih cepat harus membayar harga yang lebih mahal. Praktek semacam ini jelas sangat kontraproduktif dengan upaya untuk menciptakan pelayanan publik yang efisien (baik waktu maupun biaya) efektif dan berkeadilan. Setiap warga negara seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan publik. Bukan sebaliknya, hanya masyarakat yang kaya dan mampu membayar lebih bisa mendapatkan pelayanan yang baik dan cepat. Upaya untuk mengurangi hal ini sejatinya sudah dilakukan dengan memperkenalkan konsep one stop services dan electronic public services. Tetapi hal ini mengalami kegagalan atau belum optimal dilaksanakan karena tidak disertai dengan pendistribusian otaritas baik secara internal kepada bawahan maupun secara eksternal kepada instansiinstansi lain yang terkait dalam pelayanan publik. Kepala instansi pemerintah yang telibat di dalam one stop service masih menyadari pentingnya otoritas untuk kepentingan diri sendiri (rent seeking), sehingga tidak bersedia untuk mendelegasikan otoritasnya kepada bawahan atau instansi lain. Dalam aspek organisasi pelayanan publik di indonesia, diperparah oleh kepemimpinan yang tidak kredibel yang tidak memiliki integritas pribadi yang tinggi, dan tidak memiliki visi organisasi yang dipimpinnya. Karena itu, perbaikan pelayanan publik di Indonesia sangat tergantung dengan peran pemimpin instansi pemerintahan (top down approach). Organisasi-organisasi yang memliki pemimpin yang kredibel berintegritas tinggi dan memiliki visi masa depan dapat menjadi panutan dan inovator bagi reformasi pelayanan publik. Sebaliknya, organisasi yang tidak memiliki pemimpin yang baik lama kelamaan akan memiliki budaya organisasi yang permisif yang tidak berorientasi pada pelanggan dan menganggap perilaku-perilaku korupsi dalam pelayanan publik sebagai sesuatu yang normal dan wajar.
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
51
Aspek organisasi yang lain adalah masalah kepegawaian. Kebanyakan rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia disebabkan oleh rendahnya kapabilitas, kompetensi dan pengetahuan yang memadai dari aparat birokrasi. Hal ini yang kita maknai dengan lack of competencies. Wujud dari lack of competencies ini adalah kualitas pelayanan publik yang tidak responsif, yang tidak ber-empati, yang tidak reliable dan tidak memiliki jaminan. Seperti telah dijelaskan di muka hal ini juga disebabkan oleh proses rekrutmen yang tidak berbasis kompetensi dan pendidikan latihan yang tidak memadai. Perlu dicatat juga masalah sumber daya ini terkait dengan gaji yang diperoleh oleh pegawai negeri sipil. Hal penting lainnya adalah hubungan antara masyarakat dan instansi pemerintah yang masih belum setara. Masyarakat masih belum dianggap sebagai partner pemerintah dalam birokrasi. Sehingga pelayanan publik yang dilakukan birokrasi seringkali merupakan upaya untuk mengontrol perilaku masyarakat dan mendapatkan keuntungan ekonomis, sosial dan politis oleh aparat terhadap masyarakat. Belum adanya perubahan paradigma dan mekanisme partisipasi masyarakat dalam birokrasi telah menyebabkan pelayanan publik yang jauh dari harapan masyarakat. 1. Metode Modernisasi Pelayanan Publik bidang Perizinan Berbagai kondisi tersebut membutuhkan perubahan yang fundamental agar prosedur pelayanan publik di Indonesia, khususnya dalam bidang perizinan dapat diperbaiki. Ada sejumlah metode yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi pelayanan publik yang terkait dengan perizinan: (1) modernisasi, (2) minimalisasi, (3) swastanisasi, (4) efisiensi, dan (5) desentralisasi manajemen. (1) Modernisasi Metode modernisasi dipergunakan sebagai strategi untuk memasukkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan publik. Dalam semua segi kehidupan, apakah itu dalam kehidupan privat maupun dalam komunikasi politik, Internet dan semua bentuk komunikasi digital yang terkait dengannya telah menjadi instrumen yang tidak dapat dikecilkan arti pentingnya. Demikian juga di sektor pelayanan publik dan politik, media elektronik ini telah menjadi instrumen yang penting dalam komunikasi data internal dan eksternal. Penggunaan jaringan internet telah mempercepat proses komunikasi, kontak antara instansi pemerintah dengan masyarakat semakin dekat dan langsung, waktu tunggu untuk memperoleh informasi semakin singkat, dan aliran data dari satu unit instansi pemerintah ke unit organisasi lain (baik privat maupun publik) juga mengalami peningkatan yang luar biasa. Perkembangan inilah yang melahirkan electronic government (e-government) yaitu pemanfaatan dan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Bentuknya mulai dari internet web site, e-procurement, one stop services, e-participation dan sebagainya. Perkembangan teknologi Internet tidak saja telah meningkatkan efisiensi, efektivitas dan percepatan pelayanan publik, tetapi juga telah memungkinkan debat-debat yang bersifat Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
52
publik yang bertujuan untuk mendiskusikan mengkritisi, dan menganalisis keputusan politik dan tindakan administrasi publik. Kemajuan teknlologi komunikasi dan Informasi melalui internet telah membuka kesempatan yang semakin luas hubungan antara Politik, Birokrasi dan Masyarakat. Jika penggunaan internet ini dilakukan dengan baik dan sempurna, maka proses politik akan semakin partisipatif dan demokratis. Masyarakat dapat terlibat secara langsung dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan publik. Tentu saja penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan publik ini harus memperhatikan juga risiko dan tantangan yang timbul, seperti perlindungan data-data personal masyarakat, kesenjangan kemampuan penguasaan teknologi oleh masyarakat dan intsransparansi baru yang ditimbulkan oleh internet. Dalam prakteknya, pihak pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik seringkali tidak memiliki strategi yang menyeluruh dan terintegrasi dalam penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam sektor publik. Kompleksitas ini menimbulkan debat tentang prospek dan problem penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam sektor publik. Terminologi “E-Government” sendiri merupakan kumpulan konsep untuk semua tindakan dalam sektor publik (baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) yang melibatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka mengoptimalisasi proses pelayanan publik yang efisien, transparan dan efektif. Hal ini dimungkinkan, karena secara internal pertukaran informasi antar unit organisasi publik menjadi lebih cepat, mudah dan terintegrasi (Holmes, 2001:2). Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan pentingnya “E-Government” dalam pembangunan masyarakat jaringan (Network Society). Pertama, elektronisasi komunikasi antara sektor publik dan masyarakat menawarkan bentuk baru partisipasi dan interaksi keduanya. Waktu yang dibutuhkan menjadi lebih singkat, disamping tingkat kenyamanan pelayanan juga semakin tinggi. Disamping itu, bentuk transaksi baru ini akan menyebabkan tingginya tingkat pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Kedua, Cyberspace dalam pelayanan publik memungkinkan penghapusan struktur birokrasi dan proses klasik pelayanan yang berbelit-belit. Tujuan realistis yang hendak dicapai melalui cyberspace adalah efisiensi pelayanan dan penghematan finansial. Disamping itu, informasi online dalam pelayanan publik dapat meningkatkan derajat pengetahuan masyarakat mengenai proses dan persyaratan sebuah pelayanan publik. Ketiga, E-government menyajikan juga informasi-informasi lokal setempat. Penggunaan internet dalam sektor publik akan memungkinkan kemampuan kompetisi masyarakat lokal dengan perkembangan internasional dan global. Dapat dikatakan, teknologi informasi dan komunikasi merupakan motor pertumbuhan ekonomi modern. Sebuah medium yang memungkinkan aktor-aktor ekonomi dunia dapat berkomunikasi dengan biaya transaksi minimal. Keterbukaan faktor-faktor produksi telah mengintensifkan kompetisi antar tingkatan pemerintahan. Kemajuan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menuntut peran aktif pemerintah untuk menyediakan fasilitas dan infrastruktur yang mendukung. Dalam hal ini, masyarakat membutuhkan motivasi, akses yang memadai dan pengetahuan untuk berinteraksi dengan teknologi tersebut. Aplikasi teknologi informasi dan komunikasi Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
53
dalam sektor publik dapat mencapai target efisiensi dan efektivitas, jika pemerintah mampu memenuhi fasilitas dan infrastruktur pendukung. Tidak saja berupa fasilitas fisik, tetapi juga fasilitas non fisik berupa dukungan kebijakan untuk memperluas pemanfaatan internet oleh sektor masyarakat. Tesis yang dapat dibangun adalah: meluasnya pemanfaatan internet oleh masyarakat merupakan prasyarat dasar berkembangnya EGovernment, sedangkan meningkatnya penggunaan internet dalam pelayanan publik merupakan impuls penguat pemanfaatan internet sebagai instrumen komunikasi massa. Proses dinamik yang saling mempengaruhi ini dapat terjadi hanya dengan strategi inovasi yang berorientasi pada masyarakat pengguna. E-Government bukan saja merupakan instrumen pendamping dalam pelayanan publik, lebih dari itu merupakan kesempatan yang sangat besar untuk melakukan reformasi dan modernisasi Administrasi pemerintahan baik dalam proses internal maupun dalam proses eksternal. Di beberapa negara maju, aplikasi teknologi informasi dan komunikasi ini sudah merupakan bagian kehidupan sehari-hari, mulai dari perpanjangan SIM, permohonan bantuan sosial untuk pengangguran, formulir pendaftaran di Perguruan Tinggi dan beberapa pelayanan publik lainnya. Di Swedia, misalnya, tingkat penggunaan internet oleh masyarakat dalam pelayanan publik mencapai 60%, di Jerman 40%, dan Finlandia mencapai 44%. Rata-rata tingkat penggunaan internet dalam pelayanan publik Eropa mencapai 43%. Melakukan transaksi online sebagai pengganti antrian panjang berdiri memberikan keuntungan riil kepada masyarakat. Keuntungan semacam ini memberikan motivasi kepada masyarakat untuk mempergunakan penawaran pelayanan publik secara online. Tidak cukup itu, pelayanan publik secara online menciptakan kultur baru pertukaran informasi antara masyarakat dan pemerintah. Secara implisit hal ini berarti peningkatan efisiensi untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini menuntut pelaksanaan E-Government secara konsekuen, karena masyarakat mengharapkan lebih dari sekedar Website dan Formulir Online dalam pembayaran pajak, tetapi juga menuntut transparansi dan partisipasi dalam penyelenggaran pelayanan publik. Penerapan teknologi informasi dan komunikasi menuju E-Government akan memenuhi kriteria efisiensi, jika masyarakat pengguna pelayanan publik melihat dan merasakan kegunaan teknologi tersebut. Demikian juga kemungkinan untuk berpartisipasi dalam pelayanan publik akan terbuka, jika proses dan struktur pelayanan online memenuhi kriteria transparansi. Pelayanan online yang transparan akan mempermudah orientasi dan memperbesar tingkat akseptansi dan efisiensi. Untuk itu dibutuhkan konsep Manajemen Perubahan (Change Management) yang konsekuen, yang bertujuan menciptakan keseimbangan (balance) antara peningkatan efisiensi pelayanan publik dan penguatan partisipasi mayarakat melalui penggunaan media elektronik dalam sebuah strategi yang menyeluruh. Konsep inilah yang disebut dengan Balanced E-Government.1 Kelahiran konsep ini dilatarbelakangi oleh fakta, bahwa penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam sektor publik masih menitikberatkan pada media pelayanan yang 1
Konsep Balance E-Government diperkenalkan pertama kali oleh Bertelsmann Stiftung Jerman. Studi mengenai hal ini dapat dilihat di www.begix.de Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
54
berorientasi pada efisiensi daripada sebagai instrumen untuk mendukung partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik. Seperti telah disebutkan, bahwa antara efisiensi dan partisipasi terdapat saling ketergantungan. Keduanya saling mempengaruhi, sehingga harus dirangkai dalam satu strategi yang memberikan keseimbangan. Sebagai contoh dapat disebutkan, bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi atau internet dalam sektor publik harus memungkinkan pula berbagai artikulasi politik elektronis. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam sektor publik harus pula memberikan kemudahan kepada masyarakat pengguna untuk memperoleh pelayanan publik di satu pintu pelayanan (One-Stop-Government), dimana beberapa unit pelayanan pemerintah terangkai dalam satu sistem jaringan. Pelayanan satu pintu ini mensyaratkan tidak saja restrukturisasi kelembagaan instansi pemerintah, tetapi juga pendidikan dan pelatihan bagi pegawai pemerintah untuk menciptakan budaya kerja baru yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi dalam sektor publik. Tanpa pengetahuan dan perubahan budaya kerja para pegawai, penerapan teknologi dan informasi di instansi pemerintah hanya akan mencapai titik suboptimal jika sama sekali tidak berhasil. Untuk mencapai optimalisasi ini, maka dibutuhkan rasionalisasi proses dan restrukturisasi dalam sebuah strategi yang disebut dengan “internal reconfiguration”. Jika diharapkan sebuah pelayanan publik dapat selesai dalam waktu yang lebih cepat, maka semua unit organisasi pemerintah terkait bekerja dalam waktu yang bersamaan dan terhubung dengan jaringan sistem informasi dan komunikasi. Proses administrasi yang selama ini terjadi secara tradisional dan konvensional dengan sendirinya tidak lagi mendukung pelaksanaan EGovernment. Struktur organisasi yang bersifat hirarkis tidak dapat lagi memberikan informasi yang secara cepat setiap saat dan terdesentralisasi. E-Government merupakan salah satu usaha untuk memujudkan prinsip-prinsip Good Governance dalam penyelenggaraan pemerintah. Penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan publik, disamping meningkatkan efisiensi dan efektivitas, juga dapat meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Dalam kaitannya dengan perdagangan bebas, E-Government memiliki beberapa manfaat. Pertama, dengan bantuan jaringan informasi dan komunikasi proses pelayanan akan semakian cepat, transparan, mudah dan nyaman. Proses pelayanan yang semakin baik ini merupakan prasyarat kepercayaan investor, tidak saja investor dalam negeri tetapi juga investor asing, untuk menanamkan modalnya. Artinya, E-Government menciptakan iklim investasi yang kondusif. Tentu saja tingkat seberapa cepat dan mudah pelayanan publik dapat langsung diketahui oleh calon investor melalui informasi yang langsung dapat dilihat di Internet. Kedua, E-Government menjadi dasar kompetisi antar unit pelayanan publik. Terutama berkaitan dengan program desentralisasi berdasarkan UU 22/1999 jo UU 32/2004, dimana kewenangan berada di Kabupaten dan Kota, maka instansi pelayanan publik antar daerah Kabupaten dan Kota berkompetisi untuk menarik investor menanamkan modal di daerahnya. Iklim kompetisi ini semakin terbuka, karena calon investor dapat memilih melalui government portal (web site) daerah yang kondusif untuk iklim investasi. Daerah-daerah yang mampu menyajikan lebih baik informasi di Internet, juga mampu menyakinkan calon investor berkaitan dengan proses perizinan dan pelayanan publik lainnya, merupakan daerah yang secara kompetitif dan komparatif menjadi tujuan investasi. Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
55
Dengan kata lain, dalam era perdagangan bebas batas-batas administrati menjadi lebih tipis, karena pergerakan fisik orang dan barang semakin berkurang. Di dukung oleh perkembangan sistem uang dan perbankan, proses perolehan informasi, pemilihan potensi industri dan perdagangan, sampai kepada transaksi bisnis dapat dilakukan melalui media elektronis. Kondisi ini akan terjadi, jika pemerintah (baik pusat maupun daerah) menyadari pentingnya pembangunan infrastruktur menuju masyarakat baru berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Kemampuan masyarakat untuk bersaing dalam dunia global sangat ditentukan oleh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dengan kata lain, E-Government harus menjadi dasar perubahan budaya masyarakat dengan perspektif tradisional yang mengedepankan face-to-face dalam bertransaksi dengan pemerintah dan sektor swasta lainnya, menjadi masyarakat yang bertransaksi dengan basis teknologi internet dan jaringan. E-Government harus memberikan multiplier effect menuju terwujudnya “Internet society”. Hanya dengan cara ini, dapat diciptakan masyarakat yang kompetitif, yang mampu bersaing dalam era perdagangan global. (2) Minimalisasi Metode berikutnya untuk memperbaiki prosedur pelayanan perizinan adalah dengan melakukan minimalisasi struktur dan proses. Metode ini terkait dengan metode yang pertama yaitu penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk menjadikan pelayanan yang semakin modern, efisien dan efektif. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi hanya dapat berjalan dengan baik, jika terjadi minimalisasi dan integrasi secara vertikal maupun horizontal. Organisasi instansi pemerintah seringkali tidak memiliki keseimbangan antara tugas, wewenang dan tanggung jawab bagi anggota organisasi. Dalam hal struktur misalnya organisasi pelayanan publik masih bersifat hirarkis sentralistis. Struktur organisasi masih gemuk dan besar yang tidak memungkinkan tanggung jawab terdesentralilasi pada individu. Dengan kata lain struktur organisasi yang tidak mengedepankan potensi human capital untuk bermanuver dan membuat keputusan atas inisiatif dan pertimbangan sendiri. Tidak sulit untuk mencari contoh dalam hal ini. Otoritas panandatanganan dokumen pelayanan KTP atau paspor masih harus dilakukan oleh pejabat atasan sebuah kantor bukan oleh petugas yang berada di depan loket dan bertanggung jawab terhadap hal tersebut. Akibatnya adalah waktu pelayanan yang semakin lama, kecenderungan memonopoli jabatan dan tanggung jawab, serta aparat birokrasi yang tidak memiliki inisiatif dan kreatifitas. Dalam hal proses pelayanan seringkali birokrasi tidak memiliki prinsip-prinsip efisiensi, transparansi, efektifitas dan keadilan. Proses pelayanan publik tidak memiliki transparansi baik dalam hal waktu, biaya dan prosedur yang harus dilalui. Kalaupun ada standar prosedur pelayanan publik seringkali hanya menjadi pajangan dan standar formal. Intransparansi prosedur, waktu dan biaya pelayanan sengaja diciptakan untuk kepentingan ketergantungan masyarakat terhadap aparat pemberi pelayanan. Sehingga prosedur dibuat secara berbelit-belit agar biaya yang dikenakan kepada masyarakat menjadi lebih mahal. Masyarakat tidak memiliki daya tawar terhadap prosedur tersebut. Sehingga bagi masyarakat yang ingin mendapat pelayanan secara lebih cepat harus membayar harga yang lebioh mahal. Praktek semacam ini jelas sangat kontraproduktif Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
56
dengan upaya untuk menciptakan pelayanan publik yang efisien (baik waktu maupun biaya) efektif dan berkeadilan. Setiap warga negara seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan publik. Bukan sebaliknya, hanya masyarakat yang kaya dan mampu membayar lebih bisa mendapatkan pelayanan yang baik dan cepat. Kegagalan pelaksanaan one stop services atau belum optimal dilaksanakannya hal ini karena tidak disertai dengan pendistribusian otaritas baik secara internal kepada bawahan maupun secara eksternal kepada instansi-instansi lain yang terkait dalam pelayanan publik. Kepala instansi pemerintah yang telibat di dalam one stop service masih menyadari pentingnya otoritas untuk kepentingan diri sendiri (rent seeking), sehingga tidak bersedia untuk mendelegasikan otoritasnya kepada bawahan atau instansi lain. Dalam aspek organisasi pelayanan publik di indonesia, diperparah oleh kepemimpinan yang tidak kredibel yang tidak memiliki integritas pribadi yang tinggi, dan tidak memiliki visi organisasi yang dipimpinnya. Karena itu, perbaikan pelayanan publik di Indonesia sangat tergantung dengan peran pemimpin instansi pemerintahan (top down approach). Organisasi-organisasi yang memliki pemimpin yang kredibel berintegritas tinggi dan memiliki visi masa depan dapat menjadi panutan dan inovator bagi reformasi pelayanan publik. Sebaliknya, organisasi yang tidak memiliki pemimpin yang baik lama kelamaan akan memiliki budaya organisasi yang permisif yang tidak berorientasi pada pelanggan dan menganggap perilaku-perilaku korupsi dalam pelayanan publik sebagai sesuatu yang normal dan wajar. Konsep minimalisasi yang baik dalam reformasi perizinan adalah melakukan downsizing dan rightsizing baik secara vertikal maupun secara horizontal. Tentu saja ini akan menimbulkan resistensi internal, karena memperpendek pelayanan dalam metode minimalisasi akan berarti pemotongan struktur secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertikal berarti akan terjadi restrukturisasi yang mengurang pos-pos jabatan dan juga kewenangan. Demikian juga secara horizontal akan terjadi pengelompokkan ulang prosedur pelayanan, sehingga diperoleh titik kritis pelayanan yang efisien dan sederhana kepada masyarakat. Di Indonesia hal ini akan menyebabkan pemangkasan sumber pendapatan illegal dan mengurangi pendapatan yang diperoleh oleh aparatur negara. Tetapi jika hal ini tidak dilakukan, maka prosedur yang panjang dan berbelit akan tetap terjadi dalam perizinan di Indonesia. Kepastian prosedur menjadi tidak jelas yang ujungnya adalah terjadinya ekonomi biaya tinggi; suatu kondisi yang dalam jangka panjang akan menyebabkan disinsentif pembangunan ekonomi mikro dan makro di Indonesia. Gambar 3.: Minimalisasi Prosedur
Prosedur I
Prosedur II
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
57
(3) Marketisasi Marketisasi adalah metode yang dipergunakan untuk memperbaiki pelayanan publik melalui keterlibatan swasta dalam pengelolaan pelayanan publik. Metode ini dapat juga berupa transfer nilai-nilai yang dipergunakan oleh sektor privat ke dalam sektor publik. Metode ini bermaksud mengurangi peran birokrasi secara langsung dalam pemberian pelayanan publik. Keterlibatan swasta dalam pelayanan publik semakin diperbesar, karena cara kerja yang semakin efisien dan juga mengurangi beban kerja birokrasi yang sudah sangat berat. Pemerintah hanya memberikan kebijakan dan target pencapaian kepada pihak ketiga (dalam hal ini swasta) untuk menyelenggarakan suatu pelayanan publik. Sedangkan tata cara bagaimana hal itu dilakukan diserahkan kepada pihak swasta. Dengan demikian diharapkan pelayanan publik akan semakin baik, dibandingkan jika dikelola sendiri oleh pemerintah. Meskipun demikian hal ini harus dilakukan secara hatihati, karena keterlibatan swasta yang tidak terkontrol oleh pemerintah dapat menyebabkan terabaikannya hak-hak masyarakat golongan ekonomi bawah. (4) Efisiensi pengeluaran Yang juga harus dilakukan dalam meningkatkan kualitas pelayanan adalah peningkatan efisiensi pengeluaran. Prinsip dasar efisiensi pengeluaran adalah bagaimana caranya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, termasuk dalam perizinan dapat dijadikan seminal mungkin. Jika dapat dikurangi, maka tidak harus dilebih-lebihkan. Hal ini tentu sesuai dengan metode yang sebelumnya, dimana baik modernisasi, minimalisasi dan marketisasi mengutamakan efisiensi dalam pelayanan publik. Persoalannya adalah paradigma lama dalam teori ekonomi politik public choice theory adalah bahwa para birokrat selalu berperilaku untuk memaksimalkan budget. Sehingga efisiensi bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan karena melibatkan kepentingan birokrat. Efisiensi pengeluaran akan berjalan secara prinsip bersamaan dengan strategi modernisasi dan minimalisasi. Semakin tinggi penggunaan ICT dalam pelayanan, semakin banyak struktur dan proses yang dipotong, maka semakin efisien sebuah prosedur pelayanan. (5) Desentralisasi manejeman Metode yang kelima dalam memperbaiki kualitas pelayanan publik adalah pendesentralisasian (pemencaran) pengambilan keputusan dalam pelayanan. Dimaksudkan dengan pendelegasian adalah kewenangan yang dimiliki oleh pejabat atau aparatur negara yang langsung berhubungan dengan masyarakat untuk membuat keputusan. Proses pelayanan yang berbelit-belit biasanya disebabkan oleh ketiadaan kewenangan pejabat yang langsung berhadapan dengan masyarakat untuk mengambil keputusan. Akhirnya keputusan hanya bisa dibuat oleh kepala atau atasan instansi organisasi yang bersangkutan. Dalam pelayanan perizinan, hal ini akan membuat prosedur semakin panjang. Karena sejatinya setiap pejabat yang berhadapan langsung dengan masyarakat harus bisa mempertimbangkan dan membuat keputusan berdasarkan fakta-fakta objektif dan ketentuan hukum yang berlalu. Karena itu, pendelegasian Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
58
kewenangan berarti mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Keputusan dapat langsung dibuat tanpa harus menunggu persetujuan pejabat atasan. Hanya dalam kasus tertentu yang menghendaki otorisasi jabatan tertentu, keputusan harus menunggu dari pejabat atasan. Sejauh keputusan dalam instansi pemerintah masih bersifat sentralistis, maka pelayanan perizinan akan tetap lama. C. PRINSIP-PRINSIP DASAR PERIZINAN Untuk mencapai pelayanan publik perizinan yang baik, maka disamping paradigma dan metode, selanjutnya yang penting adalah prinsip-prinsip yang menjadi dasar dan acuan. Prinsip adalah hal-hal mendasar yang disepakati dan menjadi acuan dalam tindakan dan perilaku semua pemangku kepentingan. Dalam konteks ini, prinsip dasar perizinan adalah hal-hal mendasar yang disepakati dan menjadi acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pemberian perizinan. Prinsip-prinsip ini berlaku baik bagi aparat maupun bagi masyarakat yang menerima layanan. Prinsip ini juga yang akan menjadi acuan bagi hakim di Peradilan Tata Usaha Negara untuk menguji Keputusan yang dibuat oleh pejabat Tata Usaha Negara. Karena berlaku untuk semua pihak yang terlibat, maka prinsip ini harus menjadi dasar dalam penyusunan prosedur dan persyaratan pelayanan publik. Sehingga bagi pejabat hal ini harus menjadi acuan dalam memberikan pelayanan perizinan. Bagi masyarakat prinsip-prinsip ini sekaligus merupakan instrumen kepastian hukum dan perlakuan dalam mengurus perizinan. Jika memungkinkan, prinsip ini harus dikonkretisasi menjadi norma hukum yang mengikat dan memiliki dampak hukum bagi yang melanggarnya. Prinsip dasar ini hidup dalam konsep negara hukum, dimana semua tindakan dan keputusan Pejabat Tata Usaha Negara harus berdasarkan kepada hukum dan dapat diuji di peradilan tata usaha negara. 1. Transparansi Prinsip transparansi mewajibkan kepada pemerintah sebagai pelaksana pelayanan publik (pejabat/badan Tata Usaha Negara) untuk memberikan akses secara terbuka hal-hal yang terkait dalam pelayanan tersebut. Transparansi dimulai sejak awal aplikasi permohonan perizinan, selama proses pengurusan dan pembuatan keputusan, hingga keluarnya keputusan tersebut. Jika dikehendaki oleh pihak masyarakat yang terlibat karena terdapat keraguan terhadap keputusan seorang pejabat tata usaha negara, maka pejabat/badan tata usaha negara berkewajiban memberikan akses kepada yang pihak yang terlibat untuk melihat dokumen fakta dan ketentuan hukum yang terkait dengan hal tersebut. Transparansi prosedur, syarat, batas waktu, biaya dan proses pembuatan keputusan merupakan jaminan terlindunginya kepentingan masyarakat. 2. Akuntabilitas Akuntabilitas dimaksudkan sebagai “able to account” terhadap sesuatu yang menjadi tugas dan kewajiban seseorang/badan. Sesuatu dapat dikatakan akuntabel jika dapat “dihitung” dan dipertanggungjawabkan hal-hal yang menjadi kewajibannya. Dalam konteks ini akuntabel dapat memiliki banyak dimensi yaitu akuntabel secara input, secara proses dan secara output. Sedangkan kepada siapa akuntabilitas itu diberikan dapat Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
59
kepada masyarakat sebagai konstituen (political accountability) dan dapat pula bersifat akuntabilitas objektif (kepada atasan). Dalam pemberian pelayanan publik, maka akuntabilitas harus meliputi semua dimensi yaitu input (terhadap semua jenis sumber daya yang dimasukkan), proses (konversi sumberdaya kepada hasil) dan juga output (hasil pekerjaan yang menjadi kewajiban). Akuntabilitas pelayanan publik diberikan kepada masyarakat sebagai pemilik kedaulatan dan konstituen, juga kepada atasan yang memberikan mandat dan delegasi untuk menyelenggarakan kewenangan yang diberikan. Dengan argumentasi ini, maka semua tindakan dan keputusan seorang pejabat/badan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan atasannya. Tidak ada penggunaan kewenangan diluar tujuan dan hukum dari kewenangan yang diberikan. Akuntabel berarti tidak ada konflik kepentingan dalam pembuatan keputusan dan tindakan seorang pejabat/badan sehingga menyebabkan perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan wewenang, dan mal-administrasi. 3. Efisiensi dan efektivitas Prinsip efisiensi dan efektivitas diartikan sebagai daya guna dan hasil guna. Sesuatu disebut efisien jika sumber daya yang dipergunakan seminimal mungkin untuk menghasilkan hasil yang besar. Sedangkan efektif dimaksudkan bahwa hasil yang diperoleh merefleksikan target yang akan dicapai. Penyelenggaraan pelayanan publik harus mempergunakan seminimal mungkin sumberdaya baik finansial, SDM, teknologi dan sarana prasarana. Meskipun dengan jumlah sumberdaya yang minimal, tetapi pencapaian pelayanan harus memberikan kepuasan yang maksimal kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, sebagaiman telah menjadi praktek sehari-hari di Indonesia, praktekpraktek inefisiensi merajalela dalam upaya untuk memaksimalisasi anggaran. Sedangkan hasil guna yang diperoleh seringkali tidak memuaskan masyarakat. Jika praktek ini dipertahankan maka masyarakat harus menanggung biaya ganda (berupa pajak, illegal fees, dan juga hasil output yang rendah dari kualitas pelayanan). 4. Kelestarian Lingkungan Pemberian perizinan harus memperhatikan aspek daya dukung lingkungan. Perizinan yang terlalu mudah diberikan, dikeluarkan dengan cara-cara yang melawan hukum, pada dasarnya dapat menjadi sumber kerusakan lingkungan. Karena setiap perizinan pada dasarnya adalah konsesi yang diberikan negara melalui pemerintah kepada masyarakatnya baik secara individu maupun lembaga. Setiap perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus mempertimbangkan aspek-aspek yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan. Jika izin yang diberikan akan menyebabkan kerugian yang lebih besar bagi negara dan rakyat pada masa yang akan datang, maka perizinan sebaiknya tidak dikeluarkan. Karena itulah, dasar-dasar regulasi perizinan harus menjunjung setinggi-tingginya kemakmuran dan kesejehtaraan masyarakat baik kini dan masa yang akan datang. Perizinan yang hanya berorientasi pada aspek pendapatan, seringkali dapat mengabaikan kerusakan dan daya dukung lingkungan.
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
60
5. Kesederhanaan dan kejelasan Keberadaan negara dan pemerintah adalah untuk mempermudah dan melayani masyarakat, bukan sebaliknya untuk menguasai dan menyulitkan masyarakat. Jika keberadaan pemerintah tidak dirasakan memudahkan, maka masyarakat dapat mengajukan keberatan dan gugatan. Dalam jangka panjang hal ini dapat menyebabkan ketidakpercayaan terhadap mekanisme pemerintahan. Karena itulah, prosedur perizinan harus sederhana dan mudah dimengerti serta dijalani oleh masyarakat. Kesederhanaan prosedur juga terlihat dari proses yang harus dijalani. Banyaknya meja dan otoritas jabatan yang harus dilalui oleh masyarakat untuk mendapatkan haknya dalam pelayanan publik seringkali menyulitkan masyarakat dan menjadi sumber terjadinya Korupsi dalam birokrasi. Kesederhanaan prosedur juga dicerminkan oleh adanya kejelasan persyaratan dan proses yang harus dilalui. Jika diperlukan, masyarakat cukup berhenti di satu meja untuk mendapatkan pelayanan yang diinginkan. 6. Kepastian waktu Pelayanan publik harus mencantumkan batas waktu yang diperlukan hingga selesainya keputusan tata usaha negara yang dibuat oleh pejabat/badan. Kepastian waktu merupakan hak yang harus diperoleh oleh masyarakat dalam pelayanan publik tidak saja dalam syarat hukum formal, tetapi juga dalam implementasinya. Dalam praktek di Indonesia, seringkali terjadi ketidaksesuaian antara apa yang tertulis dalam syarat hukum formal dengan implementasinya. Untuk menjamin ditegakkanya kepastian waktu, maka masyarakat harus dilengkapi dengan mekanisme komplain jika merasa keberatan terhadap keputusan yang tidak tepat waktu. Bagi pejabat/badan yang tidak tunduk pada batas waktu, perlu dibuat ketentuan sanksi hukum agar dapat dicapainya pelayanan yang tepat waktu. 7. Kepastian hukum Kepastian hukum (rechtsicherheit) merupakan salah satu fondasi konsep negara hukum, disamping perlindungan hukum dan keadilan hukum. Ketiganya harus berjalan secara proporsional. Kepastian hukum harus memberikan perlindungan hukum dan keadilan hukum bagi masyarakat. Kepastian hukum berarti bahwa hukum yang tertulis dalam produk hukum formal harus ditegakkan oleh pejabat/badan tata usaha negara dalam implementasinya. Hukum harus berlaku sama bagi setiap anggota masyarakat, tanpa membedakan agama, ras, suku, dan asal muasal. Kepastian hukum berjalan seimbang dengan perlindungan hukum dan keadilan hukum. Jika pejabat/badan tata usaha negara diberikan kewenangan untuk membuat keputusan/tindakan berdasarkan kepada diskresi, maka pelaksanaan diskresi tersebut harus dilakukan dengan tetap memperhatikan batasbatas hukum yang berlaku, azas-azas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik, hak-hak azasi manusia, norma hukum konstitusi dan konvensi yang tumbuh.
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
61
8. Keberlanjutan usaha dan persaingan yang sehat Pelayanan publik bidang perizinan harus mempertimbangkan keberlanjutan usaha dan persaingan yang sehat. Perizinan harus dapat memberikan insentif kepada pengusaha untuk terus melanjutkan dan mengembangkan usaha tanpa menyebabkan kerusakan dan daya dukung lingkungan. Perizinan tidak boleh menyebabkan disinsentif bagi pengusaha sehingga tidak memiliki daya tarik lagi untuk berusaha dan mengembangkan usahanya. Jika ini terjadi, maka perizinan akan menjadi sumber malapetaka merosotnya pertumbuhan ekonomi. Prinsip keberlanjutan usaha dan kelestarian lingkungan harus menjadi dasar dalam penyusunan regulasi dan pemberian perizinan baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Perizinan juga tidak boleh menyebabkan persaingan yang tidak sehat antar pengusaha. Diskriminasi dalam pemberian perizinan akan menyebabkan monopoli dan persaingan yang tidak sehat bagi pertumbuhan ekonomi. D. SIFAT FUNGSI PERIZINAN Sejatinya tindakan dan pemerintahan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) sepihak melalui Keputusan Tata Usaha Negara kepada masyarakat, (2) Dua pihak antara pemerintah dan masyarakat melalui kontrak hukum publik (oeffentlich-rechtlicher Vertrag). Dilihat dari caranya, maka perizinan merupakan keputusan Tata Usaha Negara yang dibuat bersifat sepihak, dari pemerintah kepada masyarakat. Dalam prakteknya, bisa saja pemerintah mengganti Keputusan Tata Usaha Negara bidang perizinan ke dalam bentuk kontrak jika peraturan perundang-undangan tidak melarangnya dan atau peraturan perundang-undangan tidak menetapkan bentuknya. Bentuk Keputusan Tata Usaha Negara memiliki argumentasi bahwa pemerintah sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dapat memutuskan untuk memberikan atau tidak memberikan perizinan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jika oleh ketentuan hukum pejabat/badan tata usaha diberikan kewenangan untuk memberikan KTUN perizinan atas dasar diskresinya, maka hal tersebut harus dilakukan berdasarkan kewajiban dan tidak menyalahgunkan kewenangan. Secara teoritik, perizinan memiliki beberapa fungsi sebagaimana dijelaskan berikut. 1. Instrumen Rekayasa pembangunan Pemerintah dapat membuat regulasi dan keputusan yang memberikan insentif bagi pertumbuhan sosial ekonomi. Demikian juga sebaliknya, regulasi dan keputusan tersebut dapat pula menjadi penghambat (sekaligus sumber Korupsi) bagi pembangunan. Perizinan adalah instrumen yang manfaatnya ditentukan oleh tujuan dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika perizinan hanya dimaksudkan sebagai sumber income daerah, maka hal ini tentu akan memberikan dampak negatif (disinsentif) bagi pembangunan. Pada sisi yang lain, jika prosedur perizinan dilakukan dengan cara-cara yang tidak transparan, tidak ada kepastian hukum, berbelit-belit, dan hanya bisa dilakukan dengan cara-cara yang tidak sehat, maka perizinan juga bisa menjadi penghambat bagi pertumbuhan sosial ekonomi daerah. Dengan demikian, baik buruknya, tercapai atau tidaknya tujuan perizinan akan sangat ditentukan oleh prosedur yang ditetapkan dan dilaksakan. Semakin mudah, cepat dan transparan prosedur pemberian Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
62
perizinan, maka semakin tinggi potensi perizinan menjadi instrumen rekayasa pembangunan. 2. Budgetering Perizinan memiliki fungsi keuangan (budgetering) yaitu menjadi sumber pendapatan bagi negara. Pemberian lisensi dan izin kepada masyarakat dilakukan dengan kontraprestasi berupa retribusi perizinan. Karena negara mendapatkan kedaulatan dari rakyat, maka retribusi perizinan hanya bisa dilakukan melalui peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini dianut prinsip “no taxation without the law”. Penarikan retribusi perizinan hanya dibenarkan jika ada dasar hukum yaitu Undang-Undang dan atau Peraturan Daerah. Hal ini untuk menjamin bahwa hak-hak dasar masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dari pemerintah tidak terlukai karena penarikan retribusi perizinan yang sewenang-wenang dan tidak memiliki dasar hukum. Pada sisi lainnya, jika secara imperatif melalui peraturan perundang-undangan pemerintah telah memperoleh mandat untuk menarik retribusi perizinan, maka masyarakat juga tidak boleh menghindar untuk membayarnya. Hal itu karena retribusi perizinan juga menjadi sumber pendapatan yang membiayai pelayanan-pelayanan publik lainnya yang harus diberikan pemerintah kepada masyarakatnya. Meskipun demikian, pemerintah harus memperhatikan aspek keberlangsungan dan kelestarian daya dukung pembangunan, serta pertumbuhan sosial ekonomi. Penetapan tarif retribusi perizinan tidak boleh melebihi kemampuan masyarakat untuk membayarnya. Sebaliknya, untuk beberapa aspek stratejik yang terkait dengan daya dukung lingkungan dalam pembangunan, tarif retribusi perizinan tidak boleh juga terlalu murah dan mudah yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan menurunnya daya dukung dan kelestarian lingkungan. 3. Reguleren Perizinan memiliki fungsi pengaturan (reguleren) yaitu menjadi instrumen pengaturan tindakan dan perilaku masyarakat. Sebagaimana juga dalam prinsip pemungutan pajak, maka perizinan dapat mengatur pilihan-pilihan tindakan dan perilaku masyarakat. Jika perizinan terkait dengan pengaturan untuk pengelolaan Sumber Daya Alam, Lingkungan, Tata Ruang dan aspek stratejik lainnya, maka prosedur dan syarat yang harus ditetapkan oleh peraturan-perundangan harus pula terkait dengan pertimbangan-pertimbangan stratejik tersebut. Sehingga harus ada keterkaitan antara tujuan pemberian pelayanan perizinan dengan syarat-syarat yang ditetapkan. Demikian juga penetapan tarif terhadap perizinan harus memperhatikan pula tujuan dan fungsi pengaturan yang akan dicapai oleh perizinan tersebut.
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
63
Gambar 4.: Framework Perizinan
Kontrak Pemerintah (dua arah) Retribusi Usaha Tindakan/ Keputusan Pemerintahan
Non Retribusi
Perizinan Non Usaha
Penetapan (KTUN/KAP) (satu arah)
Iklim Kondusif
Non Perizinan
Kesejahteraan masyarakat
Pertumbuhan ekonomi
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
Perpajakan
64
BAB IV PERUBAHAN SISTEM PERIZINAN A.
BEBERAPA ASPEK DEREGULASI
Kuatnya pengaruh perspektif manajemen publik (new public sector management) sebagai bagian dari paradigma public choice dalam ekonomi politik membawa gelombang privatisasi, dahsyatnya ide deregulasi dan debirokratisasi (Hughes, 1994). Deregulasi, berangkat dari adanya regulasi. Black’s law dictionary, menyatakan bahwa regulasi berasal dari (1) The Act of Regulating (pengaturan). (2) Rule or order prescribed by superior or competent authority relating to action of those under its control (peraturan). Di Perancis, ‘regulation’ sama dengan ‘reglementation’ dimaksudkan untuk mencakup seluruh kerangka hukum yang membatasi pelaku sektor swasta dan publik. Menurut Hoessein (1999) regulation terwujud dalam peraturan perundang-undangan (wettelyke regels; legislative rules) dan peraturan kebijakan (beleids-regels; administrative rules). Sementara itu, the social sciences encyclopedia, menuliskan bahwa: “As any rule laid down by government which affect the activities of other agents in the economy, but in general the types of activities concerned and the methods of control together”. Regulasi menurut Rosenbloom berdampak negative: (1) Mahal. “Regulation affects costs, productivity and innovation”. (2) Dapat mengurangi kinerja ekonomi; (3) Menimbulkan kelambanan dan pita merah; (4) Sulit terkendali; dan (5) Kecenderungan menambah peraturan bukan menghapusnya. Oleh karena itu, untuk mengatasinya perlu dilakukan de-regulasi. William G. Shepherd, menuliskan bahwa “Deregulation is the replacement of government controls with effective competition”. Sementara, John Francis menyatakan bahwa “Deregulation in a number of areas and in a number of countries meant the removal of existing regulation or the significant restructuring or regulation, such as occurred in the regulation of securities market.” Pakar Hukum Indonesia, A. Hamid S. Attamimi menyatakan “deregulasi adalah penyederhanaan peraturan yang masih perlu dan/atau penghapusan peraturan yang tidak perlu, terutama di bidang ekonomi. Dengan demikian, deregulasi bercirikan: (1) Selalu dengan regulasi; (2) Terutama terhadap administrative rules; dan (3) Dapat berdimensi jangka panjang. Parker (2002) menuliskan bahwa: “There is nothing new about the fact that regulation (by the state and/ or by private actors) plays a major role in constituting markets.” Dalam bahasa Indonesia regulasi berarti pengaturan atau mengatur atau membuat aturan. Adakalanya menyangkut hasil dari regulasi itu sendiri. Oleh karena itu, seringkali deregulasi hanya diartikan sebagai ‘hilangnya atau hapusnya sebuah regulasi’ padahal deregulasi dilakukan dengan regulasi kembali. Umumnya kajian terhadap gejala, proses maupun makna regulasi lebih diarahkan pada regulasi ekonomi Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
65
atau regulasi yang memiliki implikasi pada bidang ekonomi atau regulasi bagi aktivitas atau sektor ekonomi dalam sebuah negara terutama pasar. Beberapa aspek dalam regulasi dari berbagai pendapat pakar, dapat disarikan sebagai berikut: (1) persyaratan ; (2) hak dan kewajiban; (3) tata cara (prosedur); (4) jangka waktu keberlakuan; (5) waktu pelayanan; (6) biaya; (7) mekanisme komplain dan penyelesaian sengketa; dan (8) sanksi. (1)
Persyaratan
Dalam regulasi dan deregulasi, persyaratan dalam proses perizinan menjadi satu yang paling utama. Arah perbaikan sistem perizinan ke depan, paling tidak memenuhi kriteria berikut: o Tertulis dengan jelas Regulasi sulit terlaksana dengan baik tanpa tertulis dengan jelas. Oleh karena itu, regulasi perizinan pun harus dituliskan dengan jelas. o Memungkinkan untuk dipenuhi Perizinan harus berorientasi pada asas kemudahan untuk dilaksanakan oleh si pengurus izin. Meskipun tetap memperhatikan sasaran regulasi yang bersifat ideal. o Berlaku universal Perizinan hendaknya tidak menimbulkan efek diskriminatif. Perizinan harus bersifat inklusif dan universal. o
Memperhatikan spesifikasi teknis dan aspek lainnya yang terkait (termasuk memenuhi ketentuan internasional)
(2)
Hak dan Kewajiban
Hak dan kewajiban bagi pengurus perizinan harus tertuang dalam regulasi dan deregulasi perizinan di Indonesia. Dalam hal ini juga harus diperhatikan hal-hal berikut: o o o
Tertulis dengan jelas Seimbang antar para pihak Wajib dipenuhi oleh para pihak
(3)
Tata Cara (Prosedur)
Inti dari regulasi dan deregulasi proses perizinan adalah pada tata cara dan prosedur perizinan. Untuk itu, isi regulasi dan deregulasi haruslah memenuhi nilai-nilai berikut: o o o o o
Sederhana Jelas Tidak melibatkan banyak pihak Meminimalkan kontak fisik antar pihak yang melayani dengan yang dilayani Memiliki prosedur operasional standar
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
66
o
Wajib dikomunikasikan secara luas
(4)
Jangka Waktu Keberlakuan
Dimensi waktu selalu melekat pada proses perizinan karena adanya tata cara dan prosedur yang harus ditempuh seseorang dalam mengurus perizinan tersebut. Dengan demikian regulasi dan deregulasi harus memenuhi kriteria berikut: o o o
Disebutkan dengan jelas Menjadi jaminan kepastian hukum selama kurun waktu tersebut Jika memperbolehkan perpanjangan masa keberlakuan harus disebutkan dengan jelas termasuk persyaratannya
(5)
Waktu Pelayanan
Implikasi dari dimensi waktu proses perizinan adalah pada saat mengurus perizinan yang menyangkut pelayanan yang dilakukan. Dengan demikian, regulasi dan deregulasinya pun harus melekatkan elemen ini. Paling tidak harus diacu kriteria berikut: o o o
Disebutkan dengan jelas Waktu yang ditetapkan sesingkat mungkin Diinformasikan secara luas bersama-sama dengan prosedur dan persyaratan
(6)
Biaya
Pembiayaan menjadi hal mendasar dari pengurusan perizinan. Namun, perizinan sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk mengatur aktivitas masyarakat sudah seharusnya memenuhi sifat-sifat sebagai ‘public goods’. Dengan demikian meskipun terdapat pembiayaan, sesungguhnya bukan untuk sebagai alat ‘budgetaire’ negara. Oleh karena itu, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: o o o o o
Disebutkan dengan jelas Terdapat (mengikuti) standar nasional Tidak ada pengenaan biaya lebih dari sekali untuk setiap objek (syarat) tertentu Perhitungan didasarkan pada tingkat real cost (biaya yang sebenarnya) Besarnya biaya diinformasikan secara luas
(7)
Mekanisme Komplain dan Penyelesaian Sengketa
Regulasi dan deregulasi perizinan di Indonesia ke depan yang menjunjung tinggi good governance, harus diwujudkan dengan adanya mekanisme komplain dan penyelesaian sengketa karena adanya berbagai pihak yang terlibat. Berikut ini yang harus diperhatikan dalam hal tersebut: o o
Prosedur sederhana Dibuka (dapat diakses) secara luas
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
67
o o o o
Menjaga kerahasiaan pihak yang melakukan komplain Menggunakan berbagai media Dilakukan penyelesaian sesegera mungkin Membuka akses penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan atau non pengadilan
(8)
Sanksi
Sebagai produk kebijakan publik, regulasi dan deregulasi perizinan di Indonesia ke depan perlu memperhatikan materi sanksi dengan kriteria berikut: o o o
Disebutkan secara jelas terkait dengan unsur-unsur yang dapat diberi sanksi dan sanksi apa yang akan diberikan Jangka waktu pengenaan sanksi disebutkan Mekanisme pengguguran sanksi
B. BEBERAPA ASPEK DEBIROKRATISASI Menurut Eisenstadt, ‘De-bureaucratization’ adalah; (1) Subversion of the goals and activities of the bureaucracy in the interest of different groups within which it is in close interaction (clients, patrons, interested groups); dan (2) Allowing decision to be made through political process that involve larger numbers of political interests rather than having the decisions made exclusively or primarily by government, through legislator, executive degree, or administrative regulation. Disamping itu, Argyriades (1991) dalam ‘Handbook of Comparative development and public administration’ mengatakan bahwa “De-bureaucratization has become an omnibus term to describe a complex trend or change dis-aggregation and differentiation in the process of conversion of administrative systems from closed to open systems.” Terlihat bahwa konsep de-birokratisasi tidak terlepas dari konsep birokrasi. Shafritz dan Russell (1997) mengartikan birokrasi dengan empat kemungkinan: (1) “First, the bureaucracy is the totality of government offices or bureaus that constitute the permanent government of a state,…”; (2) “Second, the bureaucracy refers to all of public officials of a government…”; (3) “Third, bureaucracy is often used as a general invective to refer to any inefficient organization encumbered by red tape.”; dan (4) “Fourth, bureaucracy refers to specific set of structural arrangements.” Istilah “bureaucratie” (bahasa Perancis) pertama kali dipakai Menteri perdagangan Perancis dalam abad 18 untuk menunjukkan “government in action” (Marx, 1951). Sejak itu istilah tersebut menyebar ke Jerman antara lain dipakai oleh Max Weber “Birokratie”. Fred W. Riggs, mengartikan birokrasi sebagai “all offices formally subordinated to an executive who exercise authority over a polity”. Hardjosukarto (1994) menuliskan bahwa “Barangkali lebih baik jika dikatakan bahwa debirokratisasi sebagai salah satu ‘instrumen’ peningkatan kualitas birokrasi serta peningkatan kualitas pelayanan birokrasi Indonesia.” Oleh karena itu, arah perlunya debirokratisasi di Indonesia secara umum, antara lain: (1) perlunya komplementarisasi Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
68
antara swasta dan publik dengan peran sektor publik sebagai pendorong; (2) dapat dikembangkan mekanisme ‘benchmarking’ sektor swasta; (3) penjualan saham BUMN kepada pihak luar seyogyanya hati-hati dengan lebih bersifat untuk ‘go international’ bukan meraup dana saja; dan (4) perlunya demokratisasi dan keterbukaan sebagai pendamping debirokratisasi agar ada pressure dari LSM, organisasi profesi, dan bahkan kekuatan popular. Menurut berbagai pendapat di atas, maka beberapa aspek dalam debirokratisasi setidaknya mencakup: (1) Unit pelayanan perizinan; (2) aparat pelayanan; (3) koordinasi antar instansi terkait; dan (4) infrastruktur pelayanan. (1)
Unit Pelayanan Perizinan
Debirokratisasi perizinan yang utama menyangkut unit pelayanan. Perhatian akan kemudahan proses perizinan memerlukan kriteria berikut: o o o
Mengembangkan konsep sistem pelayanan satu pintu Pembagian satker yang sederhana dan mengedepankan optimalisasi sumberdaya Penilaian kinerja dan diagnosa organisasi secara periodik
(2)
Aparat Pelayanan
Aparat pelayanan sebagai unsur birokrasi menjadi sasaran target yang utama untuk membenahi dalam kerangka de-birokratisasi. Untuk itu, berikut adalah kriteria aparat pelayanan dalam debirokratisasi perizinan:
o o o
Aparatur wajib menggunakan prinsip-prinsip pelayanan yang baik (customer relationship) Aparatur berdedikasi dan bebas dari kepentingan (interest) pribadi Mekanisme reward and punishment yang seimbang pada aparat Pengaturan aparat berdasarkan kompetensi SDM
(3)
Koordinasi Antar Instansi Terkait
o
Ruang lingkup debirokratisasi akan luas jika tidak mengetahui lokusnya. Debirokratisasi menyangkut koordinasi yang meluas di antara berbagai instansi pemerintah. Dengan demikian perlu diperhatikan tingkatan pemerintahan yang ada sebagai berikut: o o
Antar level pemerintahan Antar instansi terkait
(4)
Infrastruktur Pelayanan
Debirokratisasi yang efektif harus didukung oleh infrastruktur yang memadai. Oleh karena itu, kerangka de-birokratisasi proses perizinan bagi masyarakat pelaku ekonomi (bidang perekonomian) harus memenuhi kriteria berikut:
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
69
o o o o
Mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi (mengurangi kesalahan manusia dan mencegah penyalahgunaan posisi pejabat/aparat pelayanan) Menggunakan media komunikasi yang efektif dalam menyebarluaskan informasi terkait dengan perizinan Ruang pelayanan yang nyaman dan bersahabat Mengembangkan fungsi infrastruktur pelayanan bukan hanya sebatas pada pelayanan perizinan akan tetapi pemberian informasi awal yang berkenaan dengan sektor perekonomian
C. LANGKAH-LANGKAH PERUBAHAN Untuk memastikan deregulasi dan debirokratisasi perizinan, perlu dilakukan langkahlangkah berikut: 1. Mengurangi biaya transaksi dan praktek ekonomi biaya tinggi baik untuk tahapan memulai (start up) maupun tahapan operasi usaha. Kegiatan pokoknya adalah penuntasan deregulasi (pemangkasan birokrasi) peraturan, dan prosedur perijinan usaha, pengembangan lembaga pelaksana pelayanan, dan penerapan pelayanan perijinan terpadu satu atap dan satu pintu. 2. Menjamin kepastian usaha dan peningkatan penegakkan hukum, dan perlindungan hak-hak pelaku ekonomi. 3. Memperbaiki harmonisasi peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional dan kedaerahan, dengan mengedepankan prinsip kepastian hukum, deregulasi, dan efisiensi dalam biaya, dan waktu pengurusan. 4. Menetapkan standardisasi sarana dan prasarana kerja, pelayanan terpadu satu atap atau satu pintu. D. ASPEK-ASPEK KUNCI KEBERHASILAN Baik deregulasi maupun debirokratisasi adalah alat negara melakukan reformasi administrasi. Dua aspek yang menjadi kunci keberhasilan kedua alat tersebut digunakan agar tercapai tujuan yang diinginkan adalah (1) adanya dukungan politik; dan (2) kapasitas administrasinya sendiri yang didukung oleh sumberdaya yang ada. Dukungan politik di dalam perbaikan perizinan di tingkat pusat dapat berjenjang hingga Presiden. Tetapi paling tidak koordinasi antar menteri menjadi kunci keberhasilan dukungan politik untuk perizinan di tingkat Pusat. Dukungan politik bagi proses perizinan di daerah berada di tangan Kepala Daerah. Namun, seringkali komitmen para politisi untuk memajukan daerahnya juga tidak dapat dinilai sebelah mata. Dalam hal ini, kesamaan pandangan antara Kepala daerah dan berbagai elemen di dalam tubuh DPRD menjadi kata kunci. Sudah saatnya DPRD tidak memberikan sepenuhnya kepercayaan kepada jajaran eksekutif untuk mengembangkan mekanisme perizinan dengan orientasi kepada kemajuan daerah. Sudah selayaknya DPRD tidak mencari-cari kesalahan semata di dalam pengembangan prosedur perizinan ini. Mereka anggota DPRD menjadi partner sejati dalam pengembangan mekanisme perizinan di daerah.
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
70
Jika semua dukungan ini terpenuhi, maka aspek keberhasilan pembenahan perizinan di Pusat maupun di Daerah terletak sepenuhnya pada kapasitas administrasinya. Kapasitas administrasi ini didukung oleh faktor-faktor kelembagaan, sumberdaya manusia, keuangan, dan teknologi. Berikut ini adalah penyederhanaan proses deregulasi dan debirokratisasi perizinan di Indonesia: Gambar 5.: Bagan Tata alur Pembenahan Perizinan di Indonesia Deregulasi dan Debirokratisasi Based-line
Middle-line
Final-line
Implementasi Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan KELEMBAGA AN
ARAH REFORMASI
DEBIROKRATISASI
DEREGULASI
KEBIJAKAN PERIZINAN NASIONAL DAN LOKAL
PERSONIL
Pembenaha n Perizinan
PEMBIAYAAN
TEKNOLOGI
PERIZI NAN YANG CEPAT, MURAH , DAN TEPAT
DAMPAK SEKTOR PERKONOMI AN NASIONAL DAN LOKAL
Peraturan Perundangan Terkait
Bagan di atas memberikan tanda bahwa prosedur perizinan dapat dilalui dengan 3 tahapan: (1) based-line; (2) middle-line; dan (3) final-line. Pada based-line, kita harus mengembangkan arah reformasi perizinan secara tepat yang dirangkai dengan usahausaha deregulasi dan debirokratisasi. Pada tahapan middle-line kita menerapkan mekanisme perijinan dengan dukungan kapasitas administrasi yang kuat. Kondisi ini dapat dievaluasi melalui uji dampak pada final-line yang berdasarkan pada adanya proses perizinan yang murah, cepat dan tepat.
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
71
REFERENSI Argyriades, Demetrios,1991, “Bureaucracy and Debureaucratization” in Ali Farazmand (ed), Handbook of Comparative and Development Public Administration, New York: Marcel Dekker Inc BAPPENAS, 2002, Public Good Governance: Sebuah Paparan Singkat, Jakarta: Sekretariat Pengembangan Public Good Governance BAPPENAS Bovaird, Tony and Elke Loffler (Eds.), 2003, Public Management and Governance, New York: Routledge Denhardt, Robert B and Janet Vinzant Denhardt, 2000, “The New Public Service: Serving Rather than Steering”, Public Administration Review, Vol. 60, No. 6, pp. 549-559 Denhardt, Janet V and Robert B Denhardt, 2003, The New Public Service: Serving, Not Steering, Armong NY: M. E. Sharpe Drechsler, Wolfgang, 2005, “The Rise and Demise of the New Public Management”, post-autistic economics review, Issue No. 33, Available Online: http://www.paecon.net/PAEReview/issue33/Drechsler33.htm Dwiyanto, Agus dkk, 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Economic and Social Council United Nations, 2004, “Revitalizing public administration as a strategic action for sustainable human development: an overview”, Report of the Secretariat, Available Online: http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/un/unpan015105.pdf Eisenstadt, S.N., 1959, “Bureaucracy, bureaucratization and debureaucratization”, Administrative Science Quarterly, 4 (December) Ewalt, Jop Ann G, 2001, “Theories of Governance and New Public Management: Links to Understanding Welfare Policy Implementation”, paper prepared for presentation at the Annual Conference of the American Society for Public Administration, Available Online: http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/ASPA/UNPAN000563.pdf Frederickson, H. George, 2004, “Whatever Happened to Public Administration? Governance, Governance Everywhere”, Working Paper, QU/GOV/3/2004, Institute of Governance Public Policy and Social Research, Queen’s University, Available Online: http://www.governance.qub.ac.uk/bp20043.pdf Hardjosukarto, Sudarsono, 1994, “Pelayanan Prima”, Bisnis & Birokrasi, Vol. IV, No. 3, September Haryanto, 2006, “Sistem Pelayanan Satu Atap (SINTAP): Pelayanan Publik Berstandar ISO”, Bahan Presentasi, disampaikan dalam Rapat Regional Pengawasan, Manado 15-16 November Hoessein, Bhenyamin, 1999, “Pergeseran Paradigma Otonomi Daerah Dalam Rangka Reformasi Administrasi Publik Di Indonesia”, Makalah, Disampaikan dalam Seminar Reformasi Hubungan Pusat-Daerah Menuju Indonesia Baru: Beberapa Masukan Kritis Untuk Pembahasan RUU Otonomi Daerah Dan Proses Transisi Implementasinya., Asprodia-UI, Jakarta, 27 Maret
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
72
Hoessein, Bhenyamin, 2001, “Pembagian Kewenangan antara Pusat dan daerah”, Makalah disampaikan dalam seminar “Konstruksi Hukum dan Politik kemandirian dan demokrasi Otonomi Daerah“, Malang Holmes, Douglas, 2001, e-Government: Business Strategies for Government, London: Nicholas Brealey Publishing Hughes, O, 1994, Public Management and Administration, New York: St. Martin's Press Larbi, George A, 1999, “The New Public Management Approach and Crisis State”, UNRISD Discussion Paper, No. 112, United Nations Research Institute for Social Development, Available Online: http://www.unrisd.org/UNRISD/website/document.nsf/ab82a6805797760f80256b4f 0005da1ab/5f280b19c6125f4380256b6600448fdb/$FILE/dp112.pdf Loffler, Elke and Tony Bovaird, 2001, “Emerging Trends in Public Management and Governance”, BBS Teaching and Research Review, Issue 5, Bristol Business School, University of the West of England, Available Online: http://www.uwe.ac.uk/bbs/trr/Issue5/Is5intro.pdf Marx, Fritz Morstein, 1951, “Significance for the Administrative Process”, The University of Chicago Law Review, Vol. 18, No. 3 Meehan, Elizabeth, 2003, “From Government to Governance, Civic Participation and ‘New Politics’; the Context of Potential Opportunities for the Better Representation of Women”, Occasional Paper, No. 5, Centre for Advancement of Women in Politics, School of Politics and International Studies, Quuen’s University, Available Online: http://www.qub.ac.uk/cawp/research/meehan.pdf Novitasari, Hariatni, 2005, Perizinanan Satu Atap Arus Investasi Lancar: Kisah Sukses Pengembangan KPT di Kabupaten Sragen, CESS & JPIP Oluwu, Dele, 2002, “Introduction New Public Management: An African Reform Paradigm?”, Africa Development, Vol. XXVII, No. 3 & 4, Available Online: http://www.codesria.org/Links/Publications/ad3_04/olowu.pdf Parker, David, 2002, “Economic Regulation: a review of issues”, Annals of Public and Cooperatives Economics, Vol. 73 (4) Pemerintah Kabupaten Sragen, 2006, Profile Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Sragen, Sragen: Pemerintah Kabupaten Sragen Plumptre, Tim and John Graham, 1999, “Governance and Good Governance: International and Aboriginal Perspectives”, Institute on Governance, Available Online: http://www.iog.ca/publications/govgoodgov.pdf Prasojo, Eko, 2003, “Agenda Politik dan Pemerintahan di Indonesia: Desentralisasi Politik, Reformasi Birokrasi dan Good Governance”, Bisnis & Birokrasi, Vol. XI, No.1, Januari Prasojo, Eko, Irfan Ridwan Maksum and Teguh Kurniawan, 2006, Desentralisasi & Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural, Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI Ray, David, 2003, “Desentralisasi, Reformasi Peraturan dan Iklim Usaha”, Makalah, disampaikan dalam Konferensi PEG-USAID, Jakarta 12 Agustus Shafritz, J. M. and E. W. Russell, 1997, Introducing Public Administration, New York: Addison Wesley Longman Salomo, Roy, 2002, “E-Government: Suatu Inovasi dalam Kerangka Good Governance”, Bisnis & Birokrasi, Vol. X, No.2, Mei Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
73
Samaratunge, Ramanie and Lynne Bennington, 2002, “New Public Management: Challenge for Sri Lanka”, Asian Journal of Public Administration, Vol. 24, No. 1, June, Available Online: http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/APCITY/UNPAN020779.p df Schwab, B and D Kubler, 2001, “Metropolitan Governance and the ‘democratic deficit’: Theoretical Issues and Empirical Findings”, Paper in Conference Area-based initiatives in contemporary urban policy, Copenhagen, May 2001, Available Online: http://www.sbi.dk/eura/workshops/papers/workshop2/schwab.pdf Shepherd, William G., 1987, “Converting Dominance to Competition: Criteria for Effective Deregulation," in New Regulatory and Management Strategies in a Changing Market Environment, MSU Public Utilities Papers, Michigan State University Sinar Harapan, 13 April 2005, “Tidak Efisien dan Termahal di Dunia: Prosedur Perizinan Investasi di Persimpangan Jalan”, http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/industri/2005/0413/ind1.html Simanjuntak, Sony Rospita, tanpa tahun, “Desentralisasi di Sektor Pertambangan Umum”, http://www.minergynews.com/opinion/sony1.shtml Stoker, Gerry, 2004, “New Localism, Participation and Networked Community Governance”, Available Online: http://www.ipeg.org.uk/docs/ngcnewloc.pdf Tamin, Feisal, 2002, “Pengembangan SDM Aparatur dalam Meningkatkan Kinerja Birokrasi”, Bisnis & Birokrasi, Vol. X, No.2, Mei Tokede, Max J., Dede Wiliam, Siân McGrath, dan Yosias Gandhi, 2005, “Akses Masyarakat Adat Terhadap Peluang-peluang Pembangunan Kehutanan di Kabupaten Manokwari”, Decentralization Brief, No. 8, April The World Bank, 2005, Laporan Pembangunan Dunia 2005: Iklim Investasi yang Lebih Baik bagi Setiap Orang, terjemahan, Jakarta: Penerbit Salemba Empat Thoha, Miftah, 2003, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada http://en.wikipedia.org/wiki/Public_administrastion www.begix.de
Laporan Pendahuluan: ”Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian” PKPADK FISIP UI
74