LAPORAN HASIL PENELITIAN DOSEN MUDA No.89/USM.H8/L/2010
PERBEDAAN KINERJA AUDITOR DILIHAT DARI SISI GENDER PADA KANTOR AKUNTAN PUBLIK DI KOTA SEMARANG
Oleh : Dian Indriana Trilestari, SE, MSi, Akt Amerti Irvin Widowati, SE, MSi, Akt. Indriyan Ismah Ulya, SE, Akt
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEMARANG 2010
HALAMAN PENGESAHAN 1.
Judul Peneltian
: PERBEDAAN KINERJA AUDITOR DILIHAT DARI SISI GENDER PADAKANTOR AKUNTAN PUBLIK DI KOTA SEMARANG
2. 3.
Bidang Penelitian Ketua Peneliti a. Nama Lengkap b. JenisKelamin c. NIS d. Disiplin Ilmu e. Pangkat/Golongan f. Jabatan g. Fakultas/Jurusan h. Alamat i. Telepon/Faks/E-mail j. Alamat Rumah k. Telepon/Faks/E-mail Mata Kuliah Yang Diampu Penelitian Terakhir (bila ada) Jumlah Anggota Peneliti a. Nama Anggota I b. Nama Anggota II Lokasi Penelitian Jumlah Biaya Diusulkan
: Ekonomi
4. 5. 6. 7. 8.
: Dian Indriana Trilestari, SE, MSi, Akt : Perempuan : 06557000504054 : Akuntansi : Asisten Ahli/IIIB : Dosen Tetap Yayasan : Ekonomi/Akuntansi : Jl. Soekarno Hatta Semarang : 024-6702757/ : Jl. Kyai Mojo No. 14 Semarang : 024-7471100/
[email protected] : Teori Akuntansi dan Metodologi Penelitian : : : Amerti Irvin Widowati, SE, MSi, Akt. : Indriyan Ismah Ulya, SE, Akt : Kotamadya Semarang : Rp.2.545.500,Semarang, Februari 2010
Mengetahui Dekan Fakultas Ekonomi
Ketua Peneliti
Dr. Ir. Hj. Kesi Widjajanti, SE, MM NIS : 06557060687085 Menyetujui Ketua Lembaga Penelitian Indarto, SE, MM NIS : 06557000504065
Dian Indriana TL, SE,MSi,Akt NIS : 06557000504054
Bab 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Di era globalisasi, dimana bisnis tidak lagi mengenal batas negara, kebutuhan akan
adanya pemeriksaan laporan keuangan oleh akuntan publik tidak dapat dielakkan lagi, justru menjadi kebutuhan utama sebelum para pengambil kebijakan mengambil keputusan. Auditor menjadi profesi yang diharapkan banyak orang untuk meletakkan kepercayaan pada pemeriksaan pendapatan yang diberikan. Profesionalisme menjadi syarat utama bagi orang yang bekerja sebagai karyawan KAP. Akuntan publik yang memiliki pandangan profesionalisme yang tinggi akan memberikan kontribusi yang dapat dipercaya oleh para pengambil keputusan. Untuk menjalankan perannya yang menuntut tanggung jawab yang semakin meluas, karyawan dituntut tanggung jawab yang semakin meluas, karyawan KAP harus mempunyai wawasan yang luas tentang komplesitas organisasi modern (Shorea Dwarawati , 2005:19). Saat ini terdapat kecenderungan meningkatnya wanita yang memilih profesi di bidang Akuntansi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Accountant American Institute Certified Public (AICPA) ternyata 50 persen lulusan dari pendidikan akuntansi diantaranya adalah wanita (AICPA, 1988 dalam Santosa dan Hardiningsih, 2004:109). Peningkatan lulusan wanita tersebut mempengaruhi perkembangan jumlah wanita yang menekuni profesi akuntansi. Bahkan pada tahun 1996, tercatat bahwa pemegang sertifikat akuntan publik di Amerika 25 persennya adalah wanita (Robbert, 1996 dalam Santosa dan Hardiningsih, 2004:109). Berbagai isu mengenai akuntan wanita yang berprofesi sebagai akuntan publik sebenarnya tidak terlepas dari masalah gender. Bersama dengan profesional lainnya di bidang bisnis, terutama dalam praktek akuntansi jumlah kaum wanita memasuki profesi sebagai akuntan publik telah meningkat secara drastis (Trapp et.al, 1989 dalam Murtanto dan Marini, 2003:796). Sejarah perjalanan wanita dibidang akuntansi merefleksikan suatu perjuangan panjang untuk mengatasi penghalang-penghalang dan batasan yang diciptakan oleh struktur sosial yang kaku, diskriminasi, pembedaan gender, ketidaksamaan konsep dan konflik antara rumah tangga dan karir (Ried et.al, 1987 dalam Basuki dan Nugroho, 2005:442). Di dalam lingkungan kerja mereka isu-isu yang berkaitan dengan akuntan publik wanita tidak terlepas dari masalah gender. Salah satu bidang yang terkena dampak dari ketidakadilan struktur ini
adalah bidang akuntansi yang tidak terlepas dari diskriminasi gender, hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Hasibuan (1996) dalam Murtanto dan Marini
(2003:790) bahwa
meskipun partisipasi wanita dalam pasar kerja di Indonesia meningkat secara signifikan, adanya diskriminasi terhdap wanita yang bekerja tetap menjadi suatu masalah besar. Perjuangan kesetaraan gender adalah terkait dengan kesetaraan sosial antara pria dan wanita, dilandaskan kepada pengakuan bahwa ketidaksetaraan gender yang disebabkan oleh diskriminasi struktural dan kelembagaan. Perbedaan hakiki yang menyangkut jenis kelamin tidak dapat diganggu-gugat (misalnya secara biologis wanita mengandung), perbedaan peran gender dapat diubah karena bertumpu pada faktor-faktor sosial dan sejarah. Bidang akuntan publik yang terkait dengan banyak disiplin ilmu sosial tentunya akan sangat dipengaruhi oleh hal-hal tersebut (Trisnaningsih, 2004:108). Hasil kualitas kerja dari karyawan KAP sangat dipengaruhi oleh karakteristik individu masing-masing akuntan. Karakteristik individu tersebut salah satunya adalah jenis kelamin yang telah membedakan individu sebagai sifat dasar pada kodrat manusia. Isu mengenai pengaruh gender dilingkungan kerja meningkat ketika terjadi perubahan komposisi pekerja di perusahaan-perusahaan berdasarkan gender. Perusahaan yang terjadi terhadap komposisi pekerja berdasarkan gender dilingkungan kerja mendorong para manager untuk mempertimbangkan strategi dalam pengelolaan pengaruh gender terhadap kinerja personal (Shorea Dwarawati, 2005:20). Terminologi gender dalam ilmu-ilmu sosial diperkenalkan sebagai acuan kepada perbedaan-perbedaan antara pria dan wanita tanpa konotasi-konotasi yang sepenuhnya bersifat biologis (Macdonald at al, 1997 dalam Trisnaningsih, 2004:109). Rumusan ilmu-ilmu sosial
juga mengenal istilah hubungan-hubungan gender yang merupakan sekumpulan
aturan-aturan, tradisi-tradisi dan hubungan-hubungan sosial timbal balik dalam masyarakat dan dalam kebudayaan yang menentukan pembagian kekuasaan diantara pria dan wanita. Sedangkan istilah perilaku gender adalah perilaku yang tercipta melalui proses pembelajaran bukan sesuatu yang berasal dari dalam diri sendiri secara alamiah atau takdir yang tak bisa dipengaruhi oleh manusia (Trisnaningsih, 2004:109). Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi pria maupun wanita. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum pria maupun wanita menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk yakni
marginalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi dalam pengambilan keputusan, stereotype dan diskriminasi (Fakih, 1996, dalam Trisnaningsih, 2004:109). Bidang akuntan publik merupakan salah satu bidang yang tidak terlepas dari diskriminasi gender di Indonesia, masuknya wanita di pasar kerja pada saat ini menunjukkan jumlah yang semakin besar, sehingga meskipun jumlah wanita karir meningkat secara signifikan, adanya diskriminasi terhadap wanita tetap, menjadi suatu masalah yang cukup besar (Sunaryo, 1997 dalam Shorea Dwarawati, 2005:22). Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Walkup dan Fenzau tahun 1980 dalam Trisnaningsih, (2004:109) ditemukan bahwa 41 persen responden yang mereka teliti yaitu para auditor wanita meninggalkan karir mereka karena adanya bentuk-bentuk diskriminasi yang mereka rasakan. sementara itu Hasibuan (1996) dalam Laksmi dan Indriantoro (1999:2) mengatakan bahwa meskipun jumlah wanita karir meningkat, secara signifikan adanya diskriminasi terhadap wanita tetap menjadi suatu masalah yang cukup besar. Akuntan wanita mungkin
bisa menjadi subyek negatif tempat kerja sebagai
konsekuensi anggapan akuntan publik adalah profesi stereotype laki-laki. Dua penjelasan gender pada auditor wanita adalah situation-centered dan person centered (Maupin, 1993 dalam Abdurahim 2000:3). Situation centered menekankan pandangan bahwa penerimaan terhadap lingkungan informasi di Kantor Akuntan Publik (KAP) seperti pengaruh sosial dan struktural merupakan faktor penting yang mendukung perkembangan profesional. Person Centered merupakan pandangan tentang gender yang berdasarkan Sex-role, Inventory-nya. Pada umumnya mayoritas pria penganut person centered menjadi penyebab rendahnya kesempatan berkembang bagi karir akuntan wanita. Menurut Bem (1974) dalam Trisnaningsih (2004:109), sifat personalitas diklasifikasikan menjadi tiga karakteristik, yaitu ; maskulin, feminim, dan netral. Sedangkan Lehman (1990) dalam Trisnaningsih (2004:109) menginterprestasikan adanya perilaku stereotype maskulin merupakan faktor kunci keberhasilan dari kantor akuntan publik itu sendiri. Penelitian mengenai perbedaan kinerja pria dan wanita pada Kantor Akuntan Publik (KAP) telah dilakukan oleh Sumekto (1999) dalam Trisnaningsih (2004:110). Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat kesetaraan motivasi, komitmen organisasi, komitmen profesi dan kemampuan kerja antar auditor pria dan auditor wanita pada KAP di Jawa Timur. Sedangkan untuk kepuasan kerja menunjukkan adanya perbedaan antara auditor pria dan auditor wanita. Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Trisnaningsih (2004:119120) Variabel yang digunakan adalah Komitment organisasi, Komitment Profesi, Motivasi,
Kesempatam Kerja, Kepuasan Kerja.
Dalam
penelitian ini ditambahkan Variabel
Pengalaman Organisasi untuk mengetahui adanya perbedaan kinerja antara auditor pria dan wanita. Lingkup penelitian ini dilakukan di kota Semarang dengan pertimbangan bahwa di kota
Semarang terdapat cukup banyak Kantor Akuntan Publik (KAP). Penelitian ini
menggunakan kuesioner yang dikirim ke Kantor Akuntan Publik (KAP) di Kota Semarang dengan auditor sebagai respondennya. Penelitian ini juga ingin melihat konsistensi hasil-hasil penelitian sebelumnya, sehingga peneliti terdorong untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengambil judul : PERBEDAAN KINERJA AUDITOR DILIHAT DARI SISI GENDER PADA KANTOR AKUNTAN PUBLIK DI KOTA SEMARANG. 1.2
Perumusan Masalah Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan
ketidakadilan gender. Namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi pria maupun wanita. Bidang akuntan publik merupakan salah satu bidang yang tidak terlepas dari diskriminasi gender. Dalam lingkungan pekerjaan, apabila terjadi masalah pegawai pria mungkin akan merasa tertantang untuk menghadapinya dibandingkan untuk menghindarinya. Perilaku wanita akan cenderung untuk menghindari konsekuensi konflik dibanding perilaku pegawai dari pria. Meskipun demikian, dalam banyak situasi wanita lebih banyak melakukan kerjasama dibanding pria. Namun apabila akan ada resiko yang timbul, pria cenderung akan lebih banyak membantu dibandingkan wanita. Oleh sebab itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan kinerja antara auditor pria dan wanita pada Kantor Akuntan Publik (KAP) di kota Semarang. 1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menguji secara empiris perbedaan
kinerja antara auditor pria dan wanita pada Kantor Akuntan Publik (KAP) di kota Semarang yang dikelompokkan ke dalam Komitmen Organisasi, Komitmen profesi, Motivasi, Kesempatan Kerja, Kepuasan Kerja, dan Pengalaman Organisasi.
Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Akuntansi Keperilakuan Istilah akuntansi keperilakuan baru muncul tahun 1967 dalam artikel Journal of
Accounting Research oleh Becker yang mereview tulisan Cook (1967) dalam Kusuma (2003:75). Akuntansi keperilakuan sebenarnya merupakan bagian dari ilmu akuntansi yang perkembangannya semakin meningkat dalam 25 tahun belakangan. Riset akuntansi keperilakuan merupakan suatu bidang baru yang berhubungan dengan perilaku individu, kelompok dan organisasi bisnis, terutama yang berhubungan dengan informasi akuntansi dan audit. Dalam audit riset akuntansi keperilakuan telah berkembang, tinjauan literature telah menjadi spesialis dengan lebih memfokuskan diri pada atribut keperilakuan spesifik seperti proses kognitif (Boner dan Pennington 1991 dalam Kusuma, 2003:75) atau riset keperilakuan pada satu topik khusus seperti audit sebagai tinjauan analisis, sebagai bidang riset yang sering memberitahukan kontribusi yang bermakna, riset akuntansi keperilakuan dapat membentuk kerangka dasar serta arah riset dimasa yang akan datang. Akuntansi keperilakuan menjelaskan bagaimana perilaku manusia mempengaruhi data akuntansi dan keputusan bisnis serta bagaimana mempengaruhi keputusan bisnis dan perilaku manusia selalu dicari jawabannya. Akuntansi keperilakuan menyediakan suatu kerangka yang disusun berdasarkan teknik berikut ini (Maya Kumalasari, 2006:1) : 1.
Untuk memahami dan mengukur dampak proses bisnis terhadap orang-orang dan kinerja perusahaan.
2.
Untuk mengukur dan melaporkan perilaku serta pendapat yang relevan terhadap perencanaan strategis.
3.
Untuk mempengaruhi pendapat dan perilaku guna memastikan keberhasilan implementasi kebijakan perusahan.
2.2
Pengertian Gender Pengertian dari gender yang pertama ditemukan dalam kamus adalah penggolongan
secara gramatikal terhadap kata-kata benda dan kata-kata lain yang berkaitan dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan keberadaan dua jenis kelamin serta ketiadaan jenis kelamin atau kenetralan (Mansour Fakih, 1999 dalam Trisnaningsih, 2003:110) Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Pandangan mengenai gender dapat diklasifikasikan, 1) kedalam dua model yaitu equity model dan complementary contribution model, 2) kedalam dua Stereotype yaitu Sex Role Stereotype dan Managerial Stereotype (Gill Palmer dan Tamilselvi Kandasaami, 1997 dalam Shoera Dwarawati, 2005:26). Model pertama mengasumsikan bahwa antara laki-laki dan wanita sebagai profesional adalah indentik sehingga perlu ada perbedaan dalam mengelola dan wanita harus diuraikan akses yang sama. Model kedua berasumsi bahwa antara laki-laki dan wanita mempunyai kemampuan yang berbeda sehingga perlu ada perbedaan dalam mengelola dan cara menilai, mencatat serta mengkombinasikan untuk menghasilkan suatu sinergi. Pengertian klasifikasi stereotype adalah proses pengelompokan individu ke dalam suatu kelompok, dan pemberian atribut karakteristik pada individu berdasarkan anggota kelompok. Sex Role Stereotype dihubungkan dengan pandangan umum bahwa laki-laki itu lebih berorientasi pada pekerjaan, obyektif, independen, agresif, dan pada umumnya mempunyai kemampuan lebih dibandingkan wanita dalam pertanggungjawaban manajerial. Wanita dilain pihak dipandang lebih pasif, lembut, orientasi pada pertimbangan, lebih sensitive dan lebih rendah posisinya pada pertanggung jawaban dalam organisasi dibandingkan laki-laki. Manajerial Stereotypes memberikan pengertian manajer yang sukses sebagai seseorang yang memiliki sikap, perilaku, dan temperamen yang umumnya lebih dimiliki laki-laki dibandingkan wanita. Menurut Schwartz (1996) dalam Laksmi dan Indriantoro (1999:3), bidang akuntan publik merupakan salah satu bidang kerja yang paling sulit bagi wanita karena intensitas pekerjaannya. Meski demikian, bidang ini adalah bidang yang sangat potensial terhadap perubahan, dan perubahan tersebut dapat meningkatkan lapangan pekerjaan bagi wanita. Schwartz juga mengungkapkan bahwa sangat mudah untuk mengetahui mengapa jumlah wanita yang menjadi partner lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Salah satu alasan yang dikemukakannya adalah adanya kebudayaan yang diciptakan untuk laki-laki (patriakhi), kemudian adanya Stereotype tentang wanita, terutama adanya pendapat yang menyatakan bahwa wanita mempunyai keterikatan (komitmen) pada keluarga yang lebih besar dari pada keterikatan komitmen terhadap karir. Adanya kenyataan yang spesifik dengan kondisi di Indonesia pada umumnya dengan latar belakang budaya, lingkungan sosial dan peran gender yang saling bersinergi secara lebih
harmonis, sehingga terdapat kemungkinan beberapa kenyataan yang berbeda dibandingkan dengan uraian hasil penelitian sebelumnya (dari penelitian di Amerika Serikat). Kesetaraan gender di Indonesia juga mempunyai eksistensi yang kuat sebagai konsekuensi logis dari ditandatanganinya konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita o1eh pemerintah Indonesia pada tanggal 19 Juli 1980, tentang kesempatan dalam lapangan kerja dan pekerjaan serta pengupahan antara laki-laki dan wanita. Dan berikutnya pada tanggal 24 Juli 1984 konvensi ini kemudian diratifikasi dengan UU no. 7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan diskriminasi terhadap wanita. Peraturan mengenai perlindungan terhadap diskriminasi kepada para pegawai berdasarkan gender di Indonesia yang diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia no. 25 tahun 1997, tentunya juga turut mempengaruhi kesetaraan tersebut (Shorea Dwarawati, 2005:28). 2.3
Kinerja
2.3.1
Pengertian Kinerja Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang
dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika (Suyadi, 1999 : 20 ). Menurut Chusway (1996:87), kinerja diartikan dengan manajemen kinerja adalah suatu proses manajemen yang dirancang untuk menghubungkan tujuan organisasi dan tujuan individu sedemikian rupa, sehingga baik tujuan individu maupun tujuan korporasi dapat bertemu. Proses manajemen kinerja yang beroperasi secara efektif akan menghasilkan sebagai berikut: 1.
Tujuan yang jelas bagi organisasi dalam proses yang benar untuk mengidentifikasi, mengembangkan, mengukur dan membahas tujuan tersebut.
2.
Integritas antara tujuan secara luas yang dibuat oleh manajemen senior dengan tujuan masing-masing.
3.
Kejelasan yang lebih baik tentang aspirasi dan tujuan organisasi.
4.
Pengembangan budaya kinerja dimana prioritas utama terletak pada hasil dari aspek fungsi organisasi, seperti penyesuaian terhadap prosedur standar.
5.
Pelaksanaan dialog berkelanjutan antara manajemen dengan pekerja dan dengan sendirinya penekananya lebih besar pada kebutuhan individu. Pengembangan lingkungan yang lebih terbuka dan terpelajar dimana ide dan kesimpulan diletakkan digaris depan dan didiskusikan dalam situasi yang tidak menghakimi dengan
konsekuensi pengembangan dalam budaya belajar. 6.
Suatu organisasi yang dapat membuat sesuatu terjadi dan mencapai hasil.
7.
Mendorong pengembangan pribadi.
2.3.2
Pengertian Penilaian Kinerja Penilaian pelaksanaan kerja (kinerja) adalah suatu sistem yang digunakan untuk
menilai dan mengetahui apakah seorang karyawan telah malaksanakan pekerjaannya masingmasing secara keseluruhan. Seperti yang telah dikemukakan bahwa pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan bukan berarti hanya dilihat atau dinilai hasil fisiknya tetapi meliputi berbagai hal, seperti kemampuan kerja, disiplin hubungan kerja, prakarsa, kepemimpinan dan hal-hal khusus sesuai dengan bidang dan level pekerjaan yang dijabatnya (Shorea Dwarawati, 2005:30). 2.3.3
Tujuan Penilaian Kinerja Tujuan penilaian kinerja menurut Shorea Dwarawati, (2005:30) adalah sebagai
berikut : 1.
Mengetahui keadaan keterampilan dan kemampuan setiap karyawan secara rutin.
2.
Untuk digunakan sebagi dasar perencanaan di bidang personalia, khususnya penyempurnaan kondisi kerja, peningkatan mutu dan hasil kerja.
3.
Dapat digunakan sebagai dasar pengembangan dan pendayagunaan karyawan seoptimal mungkin, sehingga antara lain dapat diarahkan jenjang karier.
4.
Mendorong terciptanya hubungan timbal balik yang sehat antara atasan dan bawahan.
5.
Mengetahui kondisi perusahaan secara keseluruhan dari bidang personalia, khususnya kinerja karyawan dalam bekerja.
6.
Secara pribadi karyawan dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing, sehinggga dapat memacu perkembanganya. Sebaliknya bagi atasan yang menilai akan lebih memperhatikan dan mengenal bawahannya, sehingga dapat membantu dalam memotivasi karyawan dalam bekerja.
7.
Hasil penilaian kinerja dapat bermanfat bagi penelitiaan dan pengembangan dibidang personalia secara keseluruhan.
2.3.4
Dimensi Kinerja Menurut Miner dalam Reza Surya dan Santosa Tri Hananto (2004:35) dinyatakan
bahwa dimensi kinerja adalah ukuran dan penilaian kinerja dari perilaku yang actual di tempat kerja, dimensi kerja tersebut mencakup: 1.
Quality of Output, kinerja seseorang individu dinyatakan baik apabila kualitas output yang dihasilkan lebih baik atau paling tidak sama dengan target yang telah ditentukan,
2.
Quantity of Output, kinerja seseorang juga diukur dari jumlah output yang dihasilkan. Seseorang individu dinyatakan mempunyai kinerja yang baik apabila jumlah/ kuantitas output yang dicapai dapat melebihi atau paling tidak sama dengan target yang telah ditentukan dengan tidak mengabaikan kualitas output tersebut,
3.
Time of Work, dimensi waktu juga menjadi pertimbangan di dalam mengukur kinerja seseorang. Dengan tidak mengabaikan kualitas dan kuantitas output yang harus dicapai, seorang individu dinilai mempunyai kinerja yang baik apabila individu tersebut dapat menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu atau bahkan melakukan penghematan waktu,
4.
Cooperation With Others’ Work, kinerja juga dinilai dari kemampuan seorang individu untuk tetap bersifat kooperatif dengan pekerja lain yang juga harus menyelesaikan tugasnya masing-masing.
2.3.5
Pengukuran Kinerja
1. Komitmen Organisasi Menurut Shorea Dwarawati (2005:32) komitmen organisasi didefinisikan sebagai 1) Sebuah kepercayaan pada dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai dari organisasi. 2) Sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan organisasi. 3) Sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi. Komitmen organisasi cenderung didefinisikan sebagai suatu perpaduan antara sikap dan perilaku. Komitmen organisasi menyangkut tiga (3) sikap yaitu, rasa mengidentifikasi dengan tujuan organisasi, rasa keterlibatan dengan tugas organisasi, dan rasa kesetiaan kepada organisasi. Komitmen merupakan peristiwa di mana individu sangat tertarik pada atau mempunyai keikatan terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran majikannya. Komitmen lebih
dari sekedar keanggotaan, karena keikatan meliputi sikap yang sangat menyenangkan majikan dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi dalam mencapai tujuan. Berbagai penelitian memberikan kesimpulan bahwa terjadinya keikatan (komitmen) menunjuk pada tiga bidang pokok dimana dapat ditemui faktor pengaruh terhadap keikatan dalam organisasi. Bidang-bidang tersebut adalah (Shorea Dwarawati, 2005: 32-34) : a.
Karakteristik individu karyawan, yang meliputi masa jabatannya dalam organisasi, sikap, minat, pendidikan, motif berprestasi dan variasi kekuatan kebutuhannya.
b.
Karakteristik pekerjaan, seperti variasi keahlian, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi, umpan balik dan kesempatan berinteraksi dengan rekan sekerja.
c.
Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi yang terlihat di masa lampau dengan cara karyawan lainnya memperbincangkan dan mengutarakan perasaan mereka mengenai organisasi Meyer dan Allen (1991) dalam Karina (2004:4) merumuskan suatu definisi mengenai
komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi. Komitmen organisasi cenderung didefinisikan sebagai suatu perpaduan antar sikap dan perilaku. Kalbers dan Fogarty, 1995 dalam Sinta Setiana (2006: 34) menggunakan dua pandangan tentang komitmen organisasional yaitu affective dan continuance. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa komitmen organisasi affective berhubungan dengan satu pandangan profesionalisme yaitu pengabdian pada profesi, sedangkan komitmen continuance berhubungan secara positif dengan pengalaman dan secara negative dengan pandangan profesionalisme kewajiban sosial. Komitmen Profesi Profesi berasal dari bahasa latin "Proffesio" yang mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas menjadi kegiatan "apa saja" dan "siapa saja" untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keahlian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan
berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik. Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut (Kururu, 2008:1). Komitmen profesi adalah tingkat loyalitas individu pada profesinya seperti yang dipersepsikan oleh individu tersebut. Wibowo 1996 dalam Shorea Dwarawati (2005:33), Mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan antara pengalaman internal auditor dengan komitmen profesionalisme, lama bekerja hanya mempengaruhi pandangan profesionalisme, hubungan dengan sesama profesi, keyakinan terhadap peraturan profesi dan pengabdian pada profesi. Hal ini disebabkan bahwa semenjak awal tenaga profesiona telah dididik untuk menjalankan tugas-tugas yang kompleks secara independen dan memecahkan permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan tugas-tugas dengan menggunakan keahlian dan dedikasi mereka secara professional. Komitmen professional dapat didefinisikan sebagai: (sebuah Kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai profesi, (2) sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan profesi, (3) sebuah kepentingan untuk memelihara keanggotaan dalam profesi (Aranya,et al, 1981 dalam Karina, SPsi, 2004:5). Motivasi Motivasi adalah keadaan pribadi seseorang yang mendorong, keinginan individu melakukan kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. Memotivasi orang berarti menunjukkan arah tertentu kepada mereka dan mengambil langkah-langkah yang perlu untuk memastikan bahwa mereka sampai kesuatu tujuan (Shorea Dwarawati, 2005:34). Motivasi merupakan sesuatu yang memulai gerakan, sesuatu yang membuat orang bertindak atau berperilaku dengann cara-cara tertentu (Armstrong, 1994). Reksohadiprodjo (1990), mendefinisikan motivasi sebagai keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk mencapai suatu tujuan (Shorea Dwarawati, 2005:34). Motivasi yang diberikan bisa dibagi menjadi dua jenis motivasi, yaitu motivasi positif dan motivasi negatif. Motivasi positif adalah proses untuk mencoba mempengaruhi orang lain agar menjalankan sesuatu yang kita inginkan dengan cara
memberikan kemungkinan untuk mendapatkan "hadiah". Sedangkan motivasi negatif adalah proses untuk mempengaruhi seseorang agar mau melakukan sesuatu yang kita inginkan, tetapi teknik dasar yang digunakan adalah lewat kekuatan-kekuatan (Heidrachman dan Husnan, 2000 dalam Sinta Setiana, 2006:34). Motivasi selalu menjadi perhatian utama dari para manager karena motivasi berhubungan erat dengan keberhasilan seseorang, organisasi atau masyarakat didalam mencapai tujuan-tujuannya. Motif atau motivasi seringkali diartikan dengan dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat, sehingga motivasi tersebut merupakan suatu tenaga yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku dan didalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Menurut T.Hani Handoko (1992) dalam Shorea Dwarawati, (2005:35) bahwa setiap kegiatan dan tindakan manusia yang normal selalu didorong oleh sesuatu kekuatan dari dalam dirinya disebut sebagai motivasi. Motivasi orang adalah menunjukkan arah kepada mereka dan mengambil langkah-langkah yang perlu untuk memastikan bahwa mereka sampai kesana. Bermotivasi adalah ingin melakukan sesuatu berdasarkan keinginan sendiri, atau terdorong oleh apa saja yang ada agar dapat melakukan sesuatu dengan sengaja dan untuk mencapai keberhasilan setelah selesai melakukannya. Menurut Shorea Dwarawati (2005:35) kemampuan seorang manajer dalam memotivasi, mempengaruhi, mengarahkan, dan berkomunikasi dengan para bawahannya akan menentukan efektivitas seorang manajer, karena motivasi mempunyai pengaruh dalam meningkatkan prestasi dan kepuasan kerja karyawannya. Kesempatan Kerja Kesempatan kerja dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai peluang mendapatkan kesetaraan dalam pengembangan karir antara lain promosi dan mendapatkan penugasan serta dalam penetapan gaji dan kenaikan secara berkala. Mengenai kesempatan bagi karyawan perempuan, pada umumnya baik karyawan perempuan dan laki-laki menyetujui bahwa karyawan wanita diberi pembebanan tugas dan diijinkan untuk mengembangkan spesialisasi industri yang sama sebagaimana rekan laki-lakinya, meskipun tingkat persetujuan untuk isu tersebut lebih tinggi untuk responden laki-laki. Kemudian isu tentang kesempatan bagi karyawan untuk menjadi partner, terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan (Shorea Dwarawati, 2005: 41). Trapp et al, (1989), dalam penelitiannya mengenai isu tentang kesempatan bagi akuntan publik laki-laki dan akuntan publik perempuan, dimana hasil penelitian tersebut
sejalan dengan penelitian Hayes dan Hollman (1996) dalam studi mereka yang menunjukkan bahwa akuntan publik perempuan tidak dipromosikan secepat rekan laki-lakinya (dalam Laksmi dan Inndrianto, 1999:3). Untuk isu-isu kesempatan bagi akuntan publik perempuan, pada umumnya baik akuntan publik perempuan dan laki-laki menyetujui bahwa akuntan publik perempuan diberi pembebanan tugas dan diijinkan untuk mengembangkan spesialisasi industri yang sama sebagaimana rekan laki-laki. Kemudian isu tentang kesempatan bagi akuntan publik untuk menjadi partner, terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Ayu Chairina Laksmi dan Nur Indrianto (1999:4), hasil penelitiannya menyatakan bahwa terdapat perbedaan signifikan pada persepsi akuntan publik laki-laki dan perempuan terhadap isu mengenai kesempatan, penerimaan, komitmen, dan akomodasi khusus. Kepuasan Kerja Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah suatu sikap seseorang terhadap pekerjaan sebagai perbedaan antara banyaknya ganjaran yang diterima pekerja dan banyaknya yang diyakini yang seharusnya diterima (Robbin, 1996 dalam Sinta Setiana, 2006:34). Luthans (1995) dalam Sinta Setiana (2006:34) menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki tiga dimensi. Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan oleh sebagaimana hasil kerja memenuhi atau melebihi harapan seseorang. Ketiga, kepuasan kerja mencerminkan hubungan dengan berbagai sikap lainnya dari para individual. Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan emosional yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini nampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Menurut Luthans (1995) dalam Shorea Dwarawati (2005:41), kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau positif yang dihasilkan dari penilaian kerja seseorang atau pengalaman kerja seseorang. Kepuasan kerja merupakan hasil dari persepsi seseorang mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan sesuatu yang dipandang penting. Ada tiga dimensi penting dalam kepuasan kerja, yaitu: 1. Kepuasan kerja adalah sebuah respon emosional terhadap situasi kerja, 2. Kepuasan kerja sering ditentukan oleh seberapa baik outcome kurang atau melebihi pengharapan,
3. Kepuasan kerja menggambarkan beberapa perilaku yang berhubungan. Kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Kepuasan kerja adalah perasaan senang atau tidak senang yang relatif yang berbeda dari pemikiran obyektif dan keinginan perilaku. Kepuasan kerja menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan pekerjaan, jadi kepuasan kerja juga berhubungan erat dengan teori keadilan. Menurut Gibson (2000) dalam Shorea Dwarawati (2005:42), kepuasan kerja adalah suatu sikap yang dipunyai individu mengenai pekerjaannya. Hal ini dihasilkan dari persepsi mereka terhadap pekerjaannya, didasarkan pada faktor lingkungan kerja, seperti gaya penyedia, kebijakan dan prosedur, afiliasi kelompok kerja dan tunjangan. Sementara banyak dimensi telah dihimpun dari kepuasan kerja, ada lima hal yang terutama mempunyai karakteristik penting, yaitu: 1.
Pembayaran : suatu jumlah yang diterima dan keadaan yang dirasakan dari pembayaran,
2.
Pekerjaan : sampai sejauh mana tugas kerja dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk belajar dan untuk menerima tanggung jawab;
3.
Kesempatan promosi : adanya kesempatan untuk maju;
4.
Penyedia : kemampuan penyedia untuk memperlihatkan ketertarikan dan perhatian kepada pekerja;
5.
Rekan sekerja : sampai sejauh mana rekan sekerja bersahabat, kompeten dan mendukung. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja menurut Robbins (1999) dalam
Shorea Dwarawati (2005:47) adalah pekerjaan yang menantang, penghargaan yang sepadan, kondisi kerja yang mendukung dan rekan kerja yang mendukung serta kesesuaian antara pekerjaan dengan kepribadian individu. Dapat dijelaskan sebagai berikut: 1
Pekerjaan yang menantang Pekerjaan yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk menawarkan berbagai macam tugas, kebebasan dan feedback atas pekerjaan mereka. Karyawan yang mengendalikan pekerjaan mereka akan lebih puas bekerja daripada karyawan yang dikendalikan oleh mesin.
2.
Penghargaan yang sepadan Promosi menawarkan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tanggung jawab yang lebih besar dari peningkatan status sosial.
3.
Kondisi kerja yang mendukung Adanya lingkungan kerja yang sesuai dengan individu, dukungan atasan untuk bekerja lebih baik sehingga terciptanya kenyamanan kerja pribadi dan kepuasan kerja.
4.
Rekan kerja yang suportif Rekan kerja yang ramah dan penuh dukungan perilaku atasan, seperti mendengarkan pendapat karyawan dan menunjukkan ketertarikan pribadi terhadap karyawan.
4.
Kesesuaian pekerjaan dengan kepribadian individu Bakat dan kemampuan yang dimiliki sesuai dengan tuntutan pekerjaan, dan bisa mengekspresikan diri dalam pekerjaannya. Sedangkan faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (1956)
adalah sebagai berikut: 1.
Faktor Individual, meliputi umur, kesehatan, watak, dan harapan.
2.
Factor sosial meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berekreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik,dan hubunngan bermasyarakat.
3.
Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial didalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi ataupun tugas (Moh. As’ad, 1995:114) Dari berbagai pendapat diatas dapat dirangkum mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja yaitu (Moh. As’ad, 1995:115-116) : 1.
Faktor psikologi, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketentramann dalam bekerja, sikap terhadap kerja, bakat, dan ketrampilan.
2.
Faktor sosial merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antar sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaanya.
3.
Faktor fisik merupkan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja, dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangann, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur da sebagainya.
4.
Factor financial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan sosial, macammacam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya. Kepuasan kerja juga dipengaruhi oleh fungsi dan level karyawan dalam organisasi.
Karyawan pada level tingkat tinggi merasa lebih puas karena memiliki otonomi yang lebih besar, pekerjaan lebih bervariasi serta memiliki kebebasan dalam penilaian. Karyawan pada level bawah lebih mungkin mengalami ketidakpuasan dan kebebasan. Hal itu juga terjadi pada karyawan yang berpendidikan tinggi yang diberikan pekerjaan tetapi tidak sepadan dengan kemampuan dan keahliannya. Ketidakpuasan dan kebosanan juga bisa terjadi pada karyawan yang menghendaki status sosial yang tinggi dalam pekerjaan, sehingga mereka mencari pekerjaan yang memberikan tanggung jawab yang besar (Shorea Dwarawati, 2005:48).
Pengalaman Organisasi Anggota minoritas suatu organisasi, misalnya pekerja wanita dan pekerja kulit hitam sering mengalami perlakuan diskriminasi dalam sejumlah hal, diantaranya adalah dukungan pimpinan, dukungan supervisor, otonomi dalam melakukan pekerjaan, peneriamaan oleh rekan sekerja serta partisipasi dalam menentukan strategi karir (Ilgen dan Youtz, 1986 dalam Yeni Kuntari dan Indra Wijaya Kusuma, 2001:77). Pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut dapat memberikan konsekuensi yang disfungsional pada kesuksesan karir mereka. Perlakuan diskriminasi dapat menurunkan kinerja dan prospek karir mereka yang disebabkan adanya kesempatan yang lebih kecil dalam pengembangan diri. Kecilnya kesempatan dapat berupa kurangnya dukungan pimpinan, pemberian tugas-tugas rutin yang dapat menekan motivasi serta menurunkan kemampuan yang akhirnya menurunkan kinerja mereka (Yeni Kuntari dan Indra Wijaya Kusuma, 2001:77). Pengalaman organisasi juga yang merupakan indikator potensial adanya perlakuan diskriminatif. Ilgen dan Youtz (1986) serta Kanter (1979) berpendapat bahwa anggota organisasi minoritas kurang disukai untuk mempunyai pengalaman organisasi. Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa auditor wanita kurang mendapat dukungan karir dibanding auditor pria (Shirley dan Karen, 1984). Bahkan beberapa kantor akuntan enggan menerima
sebagai auditornya. Mai Dalton dan Sullivan (1981) menemukan bahwa pemberian tugas yang menantang pada wanita kurang disukai dibanding pria serta dalam hal promosi, penempatan wanita sebagai seorang manajer lebih memerlukan pemikiran yang hati-hati (Yeni Kuntari dan Indra Wijaya Kusuma, 2001:78). Dari uraian tersebut dapat simpulkan bahwa auditor wanita cenderung kurang memiliki pengalaman organisasi.
2.4
Review Penelitian Terdahulu Tabel 1 Review Hasil – hasil Penelitian Terdahulu
Peneliti dan
Periode
Obyek dan
Varianel
Alat
Tahun
penelitian
jumlah
penelitian
analisis
publikasi Ayu chairina Laksmi dan
Hasil penelitian
(1980-
sampel 158,
• Persepsi
Analisis
Adanya perbedaaan
1997)
responden
• isu – isu
regresi
yang signifikan antara
Nur Indrianto
dikantor
tentang
persepsi akuntan
(1999)
Akuntan
akuntan
Publik laki-laki dan
Publik
publik
persepsi akuntan
perempua
publik Perempuan
n • Sikap
Ahim
(1982-
133
Analisis
Adanya perbedaan
abdurahim
1996)
responden,
terhadap
ANOVA
signifikan sikap
dan Nur
para akuntan
kinerja
Indriantoro
pendidik
• Motivasi
dan wanita di
(2000)
yang sedang
• Persepsi
lingkungan kerja,
akuntan pendidik pria
mengikuti
diskrimina
variabel motivasi, dan
pendidikan di
si
persepsi diskriminasi
Program
dilingkungan kerja
Magister
hasinya tidak terdapat
Sains
perbedaan yang
Fakultas
signifikan pada
Ekonomi,
akuntan pendidik pria
jurusan
dan wanita
akuntansi
Universites Yeni kuntari
(1971-
Gajah Mada 240
dan indra
1996)
responden,
n
wijaya
kantor
organisasi
kusuma
akuntan yang
(2001)
diperoleh
terhadap
Begitu juga dengan
dari KAP
kinerja
pengujian hubungan
tahun 1998
• Pengalama Analisis ANOVA
Adanya hubungan yang positif dan signifikan diantara kedua varibel tersebut.
• Evaluasi
antara variabel
• Hasil karir
yang
evaluasi terhadap
diterbitkan
kinerja dengan
IAI
variabel hasil karir, keduanya menunjukkan hubungan yang positif • Sikap
Analisis
dan signfikan Adanya perbedaan
Regresi
sikap dan motivasi
Hendri
(1980-
275
santosa dan
1999)
responden,
terhadap
pancawati
kantor
pekerjaan
hardiningsih
perwakilan
• Motivasi
wanita, sedangkan
( 2004)
BPKP jawa
• Persepsi
persepsi diskriminasi
auditor pria dan
Tengah, Jawa
diskrimina
tidak ada perbedaan
Barat, Jawa
si
yang signifikan antara
Timur, DKI Jakarta,
pindah
Kalimantan
kerja
Selatan,
auditor pria dan
• Keinginan
wanita
• Pool
Kalimantan Barat dan NTT Sri
(2003)
260
• Komitmen
trisnaningsih
responden,
(2004)
kantor KAP
• Komitmen
di jawa timur
t profesi
organisasi
Analisis
Tidak ada perbedaan
regresi
atau ada kesetaraan komitment organisasi, komitment
tahun 2003
• Motivasi
professional, motivasi
• Kesempat
dan kesempatan kerja
an kerja
antara auditor pria dan wanita pada kantor
• Kepuasan
akuntan publik di jawa
kerja Shorea
(2004)
52,
• Komitmen
Dwarawati
responden di
organisasi
(2005)
Kantor
onal
Akuntan
• Komitmen
Analisis
timur Ada perbedaan kinerja
regresi
antara karyawan KAP pria dan wanita pada Kantor Akuntan
Publik
Profesiona
Publik di Yogyakarta
Yogyakarta
l
tahun 2004 yang
• Motivasi
diproksikan ke dalam
• Kesempat
komitmen organisasi,
an Kerja
komitmen profesional,
• Kepuasan
motivasi, kesempatan
Kerja • Hasil
kerja, dan kepuasan kerja, secara individu
Kerja 2.5
Kerangka Pemikiran Pada penelitian yang dilakukan oleh Larkin (1990) dalam Trisnaningsih (2004:110)
disimpulkan bahwa gender berpengaruh secara nyata terhadap penilaian personalitas pada kepuasan kerja, motivasi, dan komitmen organisasi akan tetapi dengan tambahan 3 variabel berupa kesempatan kerja, kemampuan serta komitmen profesional pada penelitian yang dilakukan oleh sumekto (1999) dalam Trisnaningsih (2004:110) pada akuntan publik di Surabaya ternyata hasilnya berbeda dengan penelitian sebelumnya kecuali variabel kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan Abdurahim (2000:17) pada akuntan pendidik ternyata konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumekto (2005) tetapi hanya untuk variabel motivasi dan kesempatan kerja. Demikian halnya penelitian yang dilakukan oleh Trisnaningsih (2004:121) ternyata penelitian tidak terdapat perbedaan atau kesetaraan komitmen organisasi, komitmen professional, motivasi, dan kesempatan kerja antara auditor pria dan auditor wanita, sedangkan untuk variabel kepuasan kerja ada perbedaan antar auditor pria dan auditor wanita.
Dalam mengkaji berbagai hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh para peneliti terdahulu yang ternyata belum ada konsistensi simpulan hasil penelitian, maka penelitian ini akan menggunakan variabel komitment organisasi, komitmen profesi, motivasi, kesempatan kerja, kepuasan kerja dan pengalaman organisasi. Disamping itu sampel penelitian di Semarang dengan pertimbangan di Semarang banyak terdapat Kantor Akuntan Publik (KAP) yang dapat mendukung dilakukannya penelitian ini. Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Trisnaningsih (2004:110) dengan modifikasi penambahan variabel yaitu pengalaman organisasi. Berdasarkan penelitian tersebut kemudian dibuat suatu kerangka penelitian yang menggambarkan hubungan antar variabel sebagai berikut : Gambar 1 Kerangka Pemikiran
2.6
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis diatas maka diajukan hipotesis sebagai
berikut : H
: Terdapat perbedaan komitmen organisasi antara auditor pria dan auditor wanita
H
: Terdapat perbedaan komitmen Profesi antara auditor pria dan auditor wanita
H
: Terdapat perbedaan Motivasi antara auditor pria dan auditor wanita
H
: Terdapat perbedaan Kesempatan Kerja antara auditor pria dan auditor wanita
H
: Terdapat perbedaan Kepuasan Kerja antara auditor pria dan auditor wanita
H
: Terdapat perbedaan Pengalaman organisasi antara auditor pria dan auditor wanita.
Bab 3 METODE PENELITIAN 3.1
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah komitmen Organisasi, komitmen
profesi, Motivasi, Kesempatan Kerja, Kepuasan Kerja, Pengalaman Organisasi sebagai proksi Kinerja. Definisi Operasional dari masing-masing proksi kinerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1.
Komitmen Organisasi Komitmen organisasional adalah kekuatan individu yang didefinisikan dan dikaitkan
dengan bagian organisasi. Hal ini akan merefleksikan sikap individu yang akan tetap sebagai anggota organisasi ditunjukkan dengan kerja kerasnya. Untuk mengukur komitmen organisasi digunakan instrumen. Instrumen ini terdiri enam (6) item pertanyaan yang terdiri dari keterkaitan pribadi dengan perusahaan yang kuat, sulit meninggalkan perusahaan, senang berkarir di perusahaan, bekerja demi kepentingan perusahaan, berani berkorban demi perusahaan, dan keyakinan akan mendapatkan fasilitas dari perusahaan. Keseluruhan item pertanyaan diukur dengan lima (5) poin skala likert (Shorea Dwarawati, 2005:54). 2.
Komitmen Profesi Komitmen profesional adalah tingkat loyalitas individu pada profesinya seperti yang
dipersepsikan oleh individu. Pada penelitian ini komitmen profesional diukur menggunakan beberapa instrumen. Instrumen ini terdiri dari lima (5) pandangan yang diringkas sedemikian rupa sehingga menjadi enam (6) item dengan lima (5) point skala likert. Item-item tersebut terdiri dari penyelesaian pekerjaan dengan baik, memiliki tanggung jawab yang besar terhadap publik, menjalin hubungan yang baik antar sesama profesi, tidak terhalang oleh peraturan-peraturan, pengabdian yang baik terhadap profesi, dan bekerja dengan mengacu pada tujuan-tujuan perusahaan (Shorea Dwarawati, 2005:55). 3.
Motivasi Motivasi dipandang sebagai kekuatan yang mendorong seseorang untuk melakukan
tindakan tertentu atau berperilaku tertentu. Pengukuran ini menggunakan pendekatan teori ekspektasi. Poin utama dari teori ini adalah motivasi individu untuk melakukan suatu tingkat usaha tertentu akan tergantung kepada nilai outcome yang diterima dari usaha yang telah dilakukan, jadi ada kemungkinan usaha akan menemukan kinerja dan kinerja akan mengarahkan outcome. Bila salah satu komponen model rusak maka akan mempengaruhi kinerja. Pengukuran motivasi menggunakan instrumen dengan Tujuh (7) item dan lima (5)
skala likert yang terdiri dari gaji, keamanan kerja, jaminan hari tua, berperan untuk memberikan pendapat, jenjang karir dan komisi (Shorea Dwarawati, 2005:55). 4.
Kesempatan Kerja Kesempatan dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai peluang mendapatkan
kesetaraan dalam pengembangan atau promosi dan mendapatkan penugasan serta dalam penetapan gaji dan kenaikan secara berkala. Untuk mengukur kesempatan kerja digunakan instrumen yang terdiri dari empat (4) item dengan lima (5) poin skala likert yang terdiri dari peluang yang sama, promosi jabatan, kerja yang menantang, dan program peningkatan gaji (Shorea Dwarawati, 2005:56). 5.
Kepuasan Kerja Kepuasan kerja didefinisikan sebagai tingkat kepuasan individu dengan posisinya
dalam organisasi secara relatif dibandingkan dengan teman sekerja lain. Kepuasan kerja pada penelitian ini diukur dengan instrument yang dikembangkan oleh Joseph M. Larkin (1990) terdiri dari empat (4) item dengan lima (5) poin skala likert yang terdiri dari pengembangan diri, teman yang menyenangkan, dan mengusulkan ketidakpuasan yang ekstrim dari pekerjaan (Shorea Dwarawati, 2005:56). 6.
Pengalaman Organisasi Fasilitas yang pernah dinikmati akuntan dalam rangka pengembangan karir seperti
hubungan dengan pimpinan, otonomi pekerjaan, penerimaan, dukungan supervisor serta partisipasi dalam strategi karir. Pengalaman organisasi diukur dengan menggunakan 10 item pertanyaan yang diperoleh dari Greenhaouse et al. (1990) dalam Kuntari dan kusuma (2001:81). 5.1.
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah para auditor yang bekerja di Kantor Akuntan
Publik (KAP) di Semarang alasannya karena di Semarang merupakan daerah yang memiliki banyak Kantor Akuntan Publik. Sehingga diharapkan banyak responden akan mendukung penelitian ini dengan menjawab semua pertanyaan yang diajukan. Berdasarkan informasi dari Direktori Ikatan Akuntan Indonesia, diketahui bahwa jumlah KAP di Semarang sebanyak 15 KAP. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik atau metode purposive sampling. Alasan pengambilan sampel dengan metode purposive sampling, karena hanya akan memilih sampel yang memenuhi kriteria penelitian sehingga mereka dapat memberikan jawaban yang dapat mendukung jalannya penelitian ini. Adapun kriteria penelitian sampel adalah para sumber Auditor yang bekerja di KAP di Semarang, serta Auditor yang masa
kerjanya minimal 1 tahun. Dengan pertimbangan dalam jangka waktu tersebut auditor telah mampu mengidentifikasi dan menentukan jawaban yang sesuai pada pertanyaan dalam kuesioner yang terkait dengan variable penelitian dalam Kantor Akuntan Publik serta telah memiliki waktu dan pengalaman untuk beradaptasi serta menilai kondisi lingkungan kerjanya. 3.2
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data primer yang berasal dari
jawaban responden atas kuesioner yang dibagikan, sedangkan sumber data berasal dari skor total yang diperoleh dari pengisian kuesioner yang telah dikirim kepada auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP). 3.3
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dipergunakan untuk memperoleh data yang
diperlukan adalah metode survey, yaitu dengan menggunakan kuesioner yang berupa pertanyaan–pertanyaan dan langsung ditujukan kepada objek penelitian dan harus dijawab secara langsung pula oleh obyek penelitian. Metode kuesioner penelitian ini bersifat tertutup (closed ended question) dimana responden penelitian diminta untuk memilih jawaban yang telah disediakan. Responden diminta untuk menunjukkan tingkat yang mereka yakini sesuai dengan keadaan di Kantor Akuntan Publik tempat responden bekerja, dengan memilih salah satu jawaban pada setiap item. Skala ordinal berupa skala likert (5) poin, mulai dari (1) Sangat Tidak Setuju, (2) Tidak Setuju, (3) Netral, (4) Setuju, (5) Sangat Setuju, yang digunakan untuk mengukur dengan elemen-elemen yaitu aspek komitmen organisasi, aspek komitmen professional, aspek profesi, aspek kesempatan kerja, aspek kepuasan kerja, dan aspek pengalaman organisasional. 3.4
Metode Analisis Secara lengkap metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan
sebagai berikut: 1.
Uji Validitas Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah alat ukur yang digunakan tepat mengukur apa yang ingin diukur atau tidak. Validitas ditunjukan oleh suatu indeks yang menunjukkan seberapa jauh suatu alat ukur benar-benar mengukur apa yang ingin diukur.
2.
Uji Reliabilitas Reliabilitas menunjukkan konsistensi alat pengukur didalam mengukur gejala yang
sama. Suatu alat pengukur dikatakan reliable jika nilai Cronbach Alpa (a) . 0,60 untuk setiap kuesioner masing-masing variabel (Nunnally, 1969 dalam Trisnaningsih, 2004:118). 3.
Uji Beda T test Untuk menguji perbedaan auditor pria dan wanita maka alat uji yang digunakan independent sampel T test, untuk melihat homogenitas data antara auditor pria dan wanita dilakukan uji Levene’s Test. Level Confindence pada penelitian ini adalah 95 % dengan level toleransi kesalahan adalah 5 %. Uji beda T test digunakan untuk menentukan apakah dua sampel yang tidak berhubungan memiliki nilai rata-rata yang berbeda. Uji beda T test dilakukan dengan cara membandingkan skor rata-rata untuk tiap variabel dalam penilaian kinerja antara auditor pria dan wanita.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
.1
Deskripsi Obyek Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif (descriptive research).
Penelitian deskriptif merupakan penelitian terhadap masalah-masalah berupa fakta-fakta saat ini dari suatu populasi yang bertujuan untuk menguji hipotesis atau menjawab yang diteliti. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah menganalisis kinerja auditor ditinjau dari sisi gender. Analisis deskriptif menggambarkan atas jawaban yang diberikan untuk kemudian disajikan dalam bentuk tabel. Analisis deskriptif digambarkan untuk menguraikan tentang karakteristik dari suatu keadaan dari obyek yang diteliti.
Penelitian ini mengunakan
kuesioner yang didistribusikan secara personally administered questionaries.
Adapun
responden dalam kuesioner ini adalah para auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik di Semarang yang terdaftar pada direktori Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
Kuesioner
disampaikan kepada responden disertai dengan surat permohonan untuk menjadi responden dan penjelasan mengenai tujuan penelitian, serta penjelasan untuk meyakinkan responden bahwa penelitian ini bertujuan untuk kepentingan ilmiah dan identitas responden akan dijamin kerahasiaannya sesuai kode etik penelitian. Kuesioner yang didistribusikan sebanyak 85 responden, tetapi kuesioner yang kembali dan layak diteliti hanya 33 responden. Sedangkan sebanyak 12 kuesioner tidak diisi atau dikembalikan. Responden yang diambil untuk penelitian ini adalah auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) di kota Semarang yang diambil pada 9 Kantor Akuntan Publik dari total sebanyak 15 Kantor Akuntan Publik (KAP). Adapun jarak waktu pengembalian kurang lebih dua minggu setelah kuesioner diterima oleh KAP. Berikut adalah daftar KAP yang bersedia menerima kuesioner :
Tabel 4.1 Daftar KAP yang Bersedia Menerima Kuesioner KAP
Kuesioner Kuesioner disebar diisi
Kuesioner tidak diisi/
Kuesioner dapat diolah
dikembalikan Bayudi Watu & Rekan
5
5
0
5
Benny Gunawan
5
3
2
3
Darsono & Budi Cahyo
5
3
2
3
Idjang Sutikno
5
5
0
5
Drs. Tahrir Hidayat, Akt
5
3
2
3
Hadori & Rekan
5
4
1
4
Ngurah Arya & Rekan
5
4
1
4
Soekamto
5
3
2
3
Yulianti, SE., BAP
5
3
2
3
45
33
12
33
Jumlah
Perhitungan tingkat pengembalian kuesioner dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.2 Perhitungan Tingkat Pengembalian Kuesioner Uraian
Jumlah
Kuesioner yang dikirim
85
Total pengembalian kuesioner
45
Jumlah kuesioner yang tidak dapat digunakan
7
Jumlah kuesioner yang dapat digunakan
33
Sumber: Data primer yang diolah 4.1.1
Profil Responden Responden dalam penelitian ini adalah para auditor yang bekerja pada
Kantor Akuntan Publik di Semarang yang terdaftar pada direktori Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) per 31 Desember 2009. Para responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah yang memenuhi kriteria sampel yaitu telah bekerja diinstansinya lebih atau sama dengan satu tahun. Kriteria tersebut digunakan dengan asumsi bahwa para responden yang bekerja lebih atau sama dengan satu tahun tersebut telah mampu beradaptasi dan menilai kondisi lingkungan pekerjaan. Responden dalam penelitian ini adalah 17 responden atau 51,5% berjenis kelamin laki-laki dan 16 responden atau 48,5% adalah berjenis kelain wanita. Dengan demikian responden berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada berjenis kelamin wanita.
Masa kerja para responden dalam penelitian ini adalah 23 responden atau 69,7% memiliki masa kerja 1-2 tahun. 5 responden atau 15,2% memiliki masa kerja 2 sampai 5 tahun. dan 5 responden atau 15,2% memiliki masa kerja lebih dari 10 tahun. Responden pada penelitian ini memiliki jabatan sebagai berikut: 1 responden atau 3% menjabat sebagai manajer, 8 responden atau 24,2% memiliki jabatan sebagai auditor senior, dan 24 responden atau 72,7% menjabat sebagai auditor yunior.
Pendidikan para responden dalam penelitian ini adalah 2 responden atau 6,1% berpendidikan D3, 30 responden atau 90,9% berpendidikan S1, dan 1 responden atau 3% berpendidikan S2. Table 4.3 Data Responden Keterangan
Jumlah
Prosentase
17
51,5%
16
48,5%
23
69,7%
5
15,2%
0
0%
5
15,5%
0
0%
1
3%
8
24,2%
24
72,7%
2
6,1%
30
90,9%
1
3%
Jenis kelamin • Laki-laki • Wanita Masa Kerja • 1 s/d 2 tahun • 2 s/d 5 tahun • 5 s/d 10 tahun • Lebih dari 10 tahun
Jabatan • Partner (Rekan) • Manajer • Auditor yunior • Auditor senior
Pendidikan • D3 • S1 • S2
Sumber : Data Primer yang Telah Diolah (lampiran) 4.2
Analisis Data dan Pembahasan
4.2.1
Analisis Deskriptif Variabel-variabel dalam penelitian ini sesuai dengan judul penelitian yaitu meliputi
komitmen organisasi, komitmen profesi, motivasi, kesempatan kerja, kepuasan kerja dan pengalaman organisasi. Statistik deskriptif dari kelima variabel tersebut disajikan dalam tabel 4.3. Tabel 4.4 Statistik Deskriptif
Sumber : Data Primer yang Telah Diolah (Lampiran) Pada tabel 4.4 terlihat bahwa laki-laki memiliki rata-rata lebih tinggi dari pada wanita pada komitmen profesi, motivasi, kepuasan kerja dan pengalaman organisasi yaitu sebesar 24,2353, 24,2353, 14,6471 dan 33,2353 sedangkan wanita adalah 23,6875, 23,6875, 14,4375 dan 32,8750. Pada variabel komitmen organisasi dan kesempatan kerja, wanita memiliki rata-rata lebih tinggi daripada laki-laki. 4.2.2
Analisis Kualitas
4.2.2.1 Uji Validitas Uji validitas adalah suatu uji yang dilakukan untuk menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen. Hasil penelitian yang valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data itu valid, artinya instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Uji validitas perlu tetap dilakukan karena pertimbangan perbedaan waktu, obyek dan kondisi yang dialami oleh penelitian sekarang dan penelitian sebelumnya. Untuk mengetahui valid apabila nilai r hitung lebih besar sama dengan r tabel. Tabel 4.5 Uji Validitas Pertanyaan
r hitung
R tabel
Keterangan
X1.1
0.144
0.115
Valid
X1.2
0.189
0.115
Valid
X1.3
0.139
0.115
Valid
X2.1
0.567
0.115
Valid
X2.2
0.253
0.115
Valid
X2.3
0.292
0.115
Valid
X2.4
0.264
0.115
Valid
X2.5
0.238
0.115
Valid
X2.6
0.227
0.115
Valid
X3.1
0.383
0.115
Valid
X3.2
0.399
0.115
Valid
X3.3
0.383
0.115
Valid
X3.4
0.369
0.115
Valid
X3.5
0.315
0.115
Valid
X3.6
0.318
0.115
Valid
X4.1
0.489
0.115
Valid
X4.2
0.420
0.115
Valid
X4.3
0.438
0.115
Valid
X4.4
0.423
0.115
Valid
X5.1
0.355
0.115
Valid
X5.2
0.343
0.115
Valid
X5.3
0.369
0.115
Valid
X5.4
0.341
0.115
Valid
X6.1
0.484
0.115
Valid
X6.2
0.476
0.115
Valid
X6.3
0.439
0.115
Valid
X6.4
0.488
0.115
Valid
X6.5
0.496
0.115
Valid
X6.6
0.421
0.115
Valid
X6.7
0.438
0.115
Valid
X6.8
0.485
0.115
Valid
Berdasarkan Tabel di 4.5 menunjukkan bahwa pada pengujian validitas untuk masingmasing variabel komitmen organisasi, komitmen profesional, motivasi, kesempatan kerja, kepuasan kerja dan pengalaman organisasi hasil yang diperoleh menunjukkan valid. Hal ini dibuktikan dengan semua nilai hasil r hitung pada indikator variabel tersebut diperoleh melebihi nilai r tabel sehingga dengan demikian masing-masing indikator pada masingmasing variabel tersebut dapat dilakukan langkah penghitungan selanjutnya.
4.2.2.2 Uji Reliabilitas Reliabilitas menunjukkan konsistensi alat ukur didalam mengukur gejala yang sama. Suatu alat pengukur dikatakan reliable bila nilai Cronbach Alpha > 0,60 untuk setiap masingmasing variabel. Tabel 4.6 Hasil Uji Reliabilitas Variabel
Jumlah butir pertanyaan
Croncabh Alpha
Komitmen Organisasi
6
0,3139
Komitmen Profesi
6
0,8119
Motivasi
7
0,5303
Kesempatan Kerja
4
0,8709
Kepuasan Kerja
4
0,6420
Pengalaman Organisasi
10
0,6256
Sumber: data primer yang telah diolah Dari hasil uji reliabilitas terlihat bahwa variabel komitmen profesi, kesempatan kerja, kepuasan kerja dan pengalaman organisasi telah memenuhi persyaratan nilai Cronbach alpha yaitu lebih dari besar dari 0,6 maka instrumen yang digunakan oleh semua variabel tersebut diatas adalah reliable. Variabel yang lain yaitu komitmen organisasi dan motivasi memiliki nilai Cronbach Alpha kurang dari 0,60, sehingga diperlukan pengujian kembali.
Tabel 4.6 Hasil Uji Reliabilitas Variabel
Jumlah Pertanyaan
Cronbach Alpha
Komitmen Organisasi
3
0,7725
Motivasi
6
0,7662
Sumber: data primer yang telah diolah 4.2.3
Pengujian Hipotesis
4.2.3.1 Uji Independet t-test Analisis ini digunakan untuk menganalisis perbedaan kinerja auditor yang meliputi komitmen organisasi, komitmen profesi, motivasi, kesempatan kerja, kepuasan kerja dan pengalaman organisasi. Rumusan hipotesisnya adalah : H0
: Tidak ada perbedaan kinerja auditor pria dan wanita yang meliputi komitmen
organisasi, komitmen profesi, motivasi, kesempatan kerja, kepuasan kerja dan pengalaman organisasi Ha
: Ada perbedaan kinerja auditor pria dan wanita yang meliputi komitmen organisasi,
komitmen profesi, motivasi, kesempatan kerja, kepuasan kerja dan pengalamanan organisasi Langkah Pengujian 1. Mengumpulkan data dan mengolah data hasil kuesioner yang telah disebar dalam bentuk tabel 2. Menentukan level signifikan α = 5% 3. Menetapkan kriteria pengujian yaitu :
a. H0 diterima jika signifikansi t ( probabilitas > 5%) artinya tidak ada perbedaan kinerja auditor pria dan wanita yang meliputi komitmen organisasi, komitmen profesi, kesempatan kerja, kepuasan kerja dan pengalaman organisasi. b. Ha diterima jika signifikansi t (probabilitas ≤ 5%) artinya ada perbedaan kinerja auditor pria dan wanita yang meliputi komitmen organisasi, komitmen profesi, kesempatan kerja, kepuasan kerja dan pengalaman organisasi.
4.2.3.2 Hasil Pengujian Hipotesis 4.2.3.2.1
Perbedaan Kinerja Auditor Pria dan Wanita pada Komitmen
Organisasi Dari 39 auditor yang dijadikan sampel, terdiri dari 17 responden pria dan 16 responden wanita, telah memberikan penilaian pada variabel komitmen organisasi seperti ditunjukkan pada tabel Tabel 4.8 Hasil uji independen t-test
Dari tabel 4.8 diatas menunjukkan bahwa auditor pria memiliki nilai rata-rata komitmen organisasi lebih rendah yaitu sebesar 9,0588 dibandingkan dengan auditor wanita yang memiliki rata-rata komitmen organisasi sebesar 9,8750. Berdasarkan output SPSS bahwa F hitung Levene Test sebesar 0,046 dengan probabilitas 0,832 karena probabilitas > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa varians populasi komitmen organisasi antara responden pria dan wanita adalah sama. Hasil analisis uji beda t-test bahwa nilai t pada equal variance assumed adalah -0,874 dengan probabilitas signifikansi 0,389 (two tail). Jadi dapat disimpulkan bahwa rata-rata komitmen organisasi tidak berbeda secara signifikan antara responden pria dan wanita. Dengan demikian H1 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan komitmen organisasi antara auditor pria dan wanita ditolak. Kenyataan ini bermakna bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan kinerja auditor pria dan wanita dalam hal komitmen organisasi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kinerja auditor dilihat dari faktor komitmen organisasi tidak ada perbedaan antara auditor pria dan wanita. Hal ini berarti telah terjadi kesetaraan dalam hal gender untuk faktor komitmen organisasi.Komitmen organisasi wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria kondisi ini bisa terjadi karena wanita saat ini sudah menyadari perannya dalam dunia pekerjaan sehingga mempunyai komitmen organisasi yang lebih tinggi dibandingkan pria. 4.2.3.2 Perbedaan Kinerja Auditor Pria dan Wanita pada Komitmen Profesi
Dari 39 auditor yang dijadikan sampel, terdiri dari 17 responden pria dan 16 responden wanita, telah memberikan penilaian pada variabel komitmen profesi seperti ditunjukkan pada tabel
Dari tabel 4.8 diatas menunjukkan bahwa auditor pria memiliki
nilai rata-rata komitmen profesi lebih tinggi yaitu sebesar 24,2353 dibandingkan dengan auditor wanita yang memiliki rata-rata komitmen profesi sebesar 23,6875. Berdasarkan output SPSS bahwa F hitung Levene Test sebesar 1,486 dengan probabilitas 0,232 karena probabilitas > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa varians populasi komitmen profesi antara responden pria dan wanita adalah sama. Hasil analisis uji beda t-test bahwa nilai t pada equal variance assumed adalah 0,628 dengan probabilitas signifikansi 0,535 (two tail). Jadi dapat disimpulkan bahwa rata-rata komitmen profesi tidak berbeda secara signifikan antara responden pria dan wanita. Dengan demikian H2 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan komitmen profesi antara auditor pria dan wanita ditolak. 4.2.3.3 Perbedaan Kinerja Auditor Pria dan Wanita pada Motivasi Dari 39 auditor yang dijadikan sampel, terdiri dari 17 responden pria dan 16 responden wanita, telah memberikan penilaian pada variabel motivasi seperti ditunjukkan pada tabel
Dari tabel 4.8 diatas menunjukkan bahwa auditor pria memiliki nilai rata-rata
motivasi lebih tinggi
yaitu sebesar 24,2353 dibandingkan dengan auditor wanita yang
memiliki rata-rata motivasi sebesar 23,6875. Berdasarkan output SPSS bahwa F hitung Levene Test sebesar 1,486 dengan probabilitas 0,232 karena probabilitas > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa varians populasi motivasi antara responden pria dan wanita adalah sama. Hasil analisis uji beda t-test bahwa nilai t pada equal variance assumed adalah 0,628 dengan probabilitas signifikansi 0,535 (two tail). Jadi dapat disimpulkan bahwa rata-rata motivasi tidak berbeda secara signifikan antara responden pria dan wanita.Dengan demikian H3 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan motivasi antara auditor pria dan wanita ditolak. 4.2.3.4 Perbedaan Kinerja Auditor Pria dan Wanita pada Kesempatan Kerja Dari 39 auditor yang dijadikan sampel, terdiri dari 17 responden pria dan 16 responden wanita, telah memberikan penilaian pada variable kesempatan kerja seperti ditunjukkan pada tabel
Dari tabel 4.8 diatas menunjukkan bahwa auditor pria memiliki nilai
rata-rata kesempatan kerja lebih rendah yaitu sebesar 13,9412 dibandingkan dengan auditor wanita yang memiliki rata-rata kesempatan kerja sebesar 14,4375. Berdasarkan output SPSS bahwa F hitung Levene Test sebesar 0,903 dengan probabilitas 0,349 karena probabilitas > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa varians populasi kesempatan kerja antara responden pria
dan wanita adalah sama. Hasil analisis uji beda t-test bahwa nilai t pada equal variance assumed adalah -0,436 dengan probabilitas signifikansi 0,666 (two tail). Jadi dapat disimpulkan bahwa rata-rata kesempatan kerja tidak berbeda secara signifikan antara responden pria dan wanita.Dengan demikian H4 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan kesempatan kerja antara auditor pria dan wanita ditolak. 4.2.3.5 Perbedaan Kinerja Auditor Pria dan Wanita pada Kepuasan Kerja Dari 39 auditor yang dijadikan sampel, terdiri dari 17 responden pria dan 16 responden wanita, telah memberikan penilaian pada variable kepuasan ditunjukkan pada tabel
kerja seperti
Dari tabel 4.8 diatas menunjukkan bahwa auditor pria memiliki nilai
rata-rata kepuasan kerja lebih tinggi yaitu sebesar 14,6471 dibandingkan dengan auditor wanita yang memiliki rata-rata kepuasan kerja sebesar 14,4375. Berdasarkan output SPSS bahwa F hitung Levene Test sebesar 0,253 dengan probabilitas 0,618 karena probabilitas >0,05 maka dapat disimpulkan bahwa varians populasi kepuasan kerja antara responden pria dan wanita adalah sama. Hasil analisis uji beda t-test bahwa nilai t pada equal variance assumed adalah 0,256 dengan probabilitas signifikansi 0,800 (two tail). Jadi dapat disimpulkan bahwa rata-rata kepuasan kerja tidak berbeda secara signifikan antara responden pria dan wanita.Dengan demikian H5 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan kepuasan kerja antara auditor pria dan wanita ditolak. 4.2.3.6 Perbedaan
Kinerja
Auditor
Pria
dan
Wanita
pada
Pengalaman
Organisasi Dari 39 auditor yang dijadikan sampel, terdiri dari 17 responden pria dan 16 responden wanita, telah memberikan penilaian pada variable kepuasan ditunjukkan pada tabel
kerja seperti
Dari tabel 4.8 diatas menunjukkan bahwa auditor pria memiliki nilai
rata-rata pengalaman organisasi lebih tinggi yaitu sebesar 33,2353 dibandingkan dengan auditor wanita yang memiliki rata-rata pengalaman organisasi sebesar 32,8750. Berdasarkan output SPSS bahwa F hitung Levene Test sebesar 0,260 dengan probabilitas 0,614 karena probabilitas > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa varians populasi pengalaman organisasi antara responden pria dan wanita adalah sama. Hasil analisis uji beda t-test bahwa nilai t pada equal variance assumed adalah 0,393 dengan probabilitas signifikansi 0,697 (two tail). Jadi dapat disimpulkan bahwa rata-rata kepuasan kerja tidak berbeda secara signifikan antara responden pria dan wanita. Dengan demikian H6 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan pengalaman organisasi antara auditor pria dan wanita ditolak.
4.2.4
Rangkuman Hasil Dari keenam analisis diatas rangkuman dari hasil analisis independent t-test seperti
pada tabel 4.9 berikut : Tabel 4.9 Rangkuman Hasil Uji Independet t-test Variabel
T hitung
P value
Keterangan
Komitmen
-0,874
0,389
H1 ditolak
Komitmen Profesi
0,628
0,535
H2 ditolak
Motivasi
0,628
0,535
H3 ditolak
Kesempatan Kerja
-0,436
0,666
H4 ditolak
Kepuasan Kerja
0,256
0,800
H5 ditolak
Pengalaman
0,393
0,697
H6 ditolak
organisasi
Organisasi
Berdasarkan hasi rangkuman tabel diatas dapat diketahui bahwa untuk atribut komitmen organisasi, komitmen profesi, motivasi, kesempatan kerja, kepuasan kerja dan pengalaman organisasi tidak terdapat perbedaan signifikan kinerja auditor antara pria dan wanita. Dengan demikian hipotesis 1, hipotesis 2, hipotesis 3, hipotesis 4, hipotesis 5 dan hipotesis 6 tidak diterima. 4.2.5
Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan kinerja auditor tidak ada perbedaan berdasarkan
gender dilihat dari faktor komitmen organisasi, komitmen profesi, motivasi, kesempatan kerja, kepuasan kerja, dan pengalaman organisasi. Hasil penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa gender tidak mempengaruhi secara signifikan dalam mengukur kinerja auditor di Kantor Akuntan Publik (KAP). Hal ini menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan kinerja auditor pria dan wanita. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis 1 menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan kinerja auditor pria dan wanita dalam hal komitmen organsisasi. Hal ini
disebabkan antara pria dan wanita sama-sama memiliki ikatan yang cukup kuat dengan pekerjaannya sehingga akan menimbulkan loyalitas yang tinggi dalam pekerjaannya. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Trisnaningsih (2004) dimana tidak ada perbedaan atau terdapat kesetaraan kinerja auditor pria dan wanita dilihat dari faktor komitmen organisasi. Namun hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian Shorea (2005) bahwa terdapat perbedaan komitmen organisasi antara auditor pria dan wanita. Hasil pengujian hipotesis 2 menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan kinerja auditor pria dan wanita dalam hal komitmen profesi. Hal ini menjelaskan bahwa pria dan wanita sama-sama memiliki ikatan yang kuat terhadap pekerjaannya. Kedudukan auditor pria dan wanita setara dalam menjalankan profesinya dan mendapatkan peluang yang sama dalam posisi atau jabatan di Kantor Akuntan Publik (KAP). Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Trisnaningsih (2004) dimana terdapat kesetaraan antara auditor pria dan wanita terhadap komitmen profesi, namur tidak mendukung penelitian Shorea (2005). Pengujian hipótesis 3 menunjukkan hasil bahwa tidak ada perbedaan signifikan kinerja auditor pria dan wanita dalam hal motivasi. Hal ini disebabkan KAP selalu memberikan kompensasi dan penghargaan kepada karyawannya secara adil, dalam arti sesuai dengan hasil kerja para auditor, sehingga tidak terjadi perbedaan atau adanya kesetaraan antara pria dan wanita. Auditor pria dan wanita sama-sama termotivasi untuk bekerja lebih giat lagi karena mendapatkan reward yang sebanding dengan pekerjaannya tanpa membedakan gender.Hasil penelitian ini consisten dengan penelitian Trisnaningsih (2004) dimana terdapat kesetaraaan dalam hal motivasi antara auditor pria dan wanita, namun tidak konsisten dengan penelitian Shorea (2005). Hasil pengujian hipótesis 4 menunjukkan hasil tidak terdapat perbedaan signifikan kinerja auditor pria dan wanita dalam hal kesempatan kerja. Hal ini disebabkan auditor pria dan wanita saat ini memiliki kesetaraan dalam mendapatkan kesempatan kerja di lingkungan KAP. Kantor Akuntan Publik dalam hal ini tidak lagi memandang gender dalam menempatkan auditornya untuk job atau pekerjaan tertentu selama auditor tersebut mempunyai kapabilitas dan kompetensi yang memadai. Hasil ini mendukung penelitian Trisnaningsih (2004) yang menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan kesempatan kerja antara auditor pria dan wanita. Pengujian hipótesis 5 yang menyatakan tidak ada perbedaan kinerja auditor pria dan wanita terhadap kepuasan kerja. Hal ini menjelaskan bahwa auditor pria dan wanita tidak
memiliki perilaku yang berbeda dalam kepuasan atas pekerjaan mereka. Auditor pria dan wanita mendapatkan reward yang sama sebanding dengan tingkat pekerjaan mereka. Hasil ini konsisten dengan penelitian Shorea (2005) dan tidak mendukung peneitian Trisnaningsih (2004). Hasil pengujian hipotesis 6 menyatakan tidak ada perbedaan kinerja auditor pria dan wanita terhadap pengalaman organisasi. Kinerja auditor pria dan wanita sama dilihat dari faktor pengalaman organisasi.Tolok ukur kinerja auditor sekarang ini dilihat dari kapabilitas dan kompetensi mereka dalam melakukan auditing karena tingkat persaingan semakin tinggi. Hasil ini konsisten dengan penelitian Kuntari dan Kusuma (2001) dimana tidak ada perbedaan pengalaman organisasi auditor pria dan wanita
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa 1. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kinerja auditor pria dan wanita dalam hal komitmen organsisasi. Hal ini disebabkan antara pria dan wanita samasama memiliki ikatan yang cukup kuat dengan pekerjaannya sehingga akan menimbulkan loyalitas yang tinggi dalam pekerjaannya. 2. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kinerja auditor pria dan wanita dalam hal komitmen profesi. Hal ini menjelaskan bahwa pria dan wanita sama-sama memiliki ikatan yang kuat terhadap pekerjaannya. 3. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kinerja auditor pria dan wanita dalam hal motivasi. Hal ini disebabkan KAP selalu memberikan kompensasi dan penghargaan kepada karyawannya secara adil, dalam arti sesuai dengan hasil kerja para auditor, sehingga tidak terjadi perbedaan atau adanya kesetaraan antara pria dan wanita. 4. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kinerja auditor pria dan wanita dalam hal kesempatan kerja. Hal ini disebabkan auditor pria dan wanita saat ini memiliki kesetaraan dalam mendapatkan kesempatan kerja di lingkungan KAP. 5. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kinerja auditor pria dan wanita terhadap kepuasan kerja. Hal ini menjelaskan bahwa auditor pria dan wanita tidak memiliki perilaku yang berbeda dalam kepuasan atas pekerjaan mereka. 6. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kinerja auditor pria dan wanita terhadap pengalaman organisasi. Kinerja auditor pria dan wanita sama dilihat dari faktor pengalaman organisasi. Tolok ukur kinerja auditor sekarang ini dilihat dari kapabilitas dan kompetensi mereka dalam melakukan auditing karena tingkat persaingan semakin tinggi.
5.2 Keterbatasan Penelitian Adapun keterbatasan dalam penelitian ini antara lain :
1. Penelitian ini menggunakan metode survey melalui kuesioner, peneliti tidak melakukan wawancara atau terlibat langsung dalam aktivitas di organisasi kantor akuntan publik, sehingga kesimpulan yang diambil hanya berdasarkan pada data yang dikumpulkan melalui penggunaan instrumen secara tertulis. 2. Hasil penelitian ini hanya dapat dijadikan analisis pada obyek penelitian yang terbatas profesi auditor pada kantor akuntan publik di wilayah Semarang sehingga memungkinkan adanya perbedaan hasil dan kesimpulan apabila dilakukan untuk obyek dan profesi yang berbeda.
5.3 Saran Adanya keterbatasan pada penelitian ini yang diungkapkan, maka riset mendatang diharapkan akan memperbaiki kelemahan yang terdapat dalam penelitian ini yaitu menggeneralisasi obyek penelitian misal seluruh Kantor Akuntan Publik di seluruh Indonesia, melakukan wawancara atau terlibat langsung dalam aktivitas di organisasi kantor akuntan publik dan menambah variabel baru sehingga diperoleh model yang lebih lengkap mengenai evaluasi kinerja auditor dilihat dari sisi gender di kantor akuntan publik di kota semarang. 5.4. Implikasi Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menambah wacana dalam pengembangan behavioral accounting. Selain itu diharapkan juga dapat bermanfaat bagi pihak-pihak terkait sebagai dasar dalam mempertimbangkan rekruitmen dan pengembangan sumber daya organisasi di Kantor Akuntan Publik (KAP) sehingga dapat meningkatkan kinerja auditor secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA Abdurahim, Ahim. (1981). Pengaruh Perbedaan Gender Terhadap Perilaku Akuntansi Pendidik FE UGM Aranya, N., J. Pollock, and J. Amemic. (1981). An Examination of Professional Commitment in Public Accounting. Accounting, Organization and Society 6 (4): 271-280 Aranya, N., and K. Ferris. (1983). Organizational- Professional Conflict among U.S, and Israeli Professional Accountans, Journal of Social Psychology 119: 153-161 Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Edisi revisi IV. Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta. Basuki dan Cahyo Widyatmoko Nugroho, 2005, ”Isu-Isu Gender Tentang Akseptabilitas, Komitmen Karir dan Akomodasi Khusus Terhadap Akuntan Perempuan Yang Bekerja di Kantor Akuntan Publik: Sebuah Analisis Wacana Dalam Akuntansi Keperilakuan”, Majalah Ekonomi, No.3A, Tahun XV, hal.441-462. Bem, S. (1974). Sex Difference in Social Behavior: A Social role interpretation, Hillsdale, N.J: Lawrence Earlbaum Assosiation. Dwarawati Shorea. (2005). Analisis Perbedaan Kinerja Karyawan KAP Dilihat dari Segi Gender. Yogyakarta. FE UII Fakih, Mansour. (1996). Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Social. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. --------------,(1999). Gender dan Perubahan Organisasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Gaertner, J,P. Hemmeter, and M. Pitman. (1987). Employee Turnover in Public Accounting: A New Perspective. The CPA Journal (Agust): 30-37. Handoko. T.H., (1995). Management Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi II. BPFE. Yogyakarta. Hasibuan, Chrysanti-Sedyono. (1996). Perempuan di Sektor Formal, dalam Gardiner Mayling, O., wagemann, Mildred L.E., sulcemari, Evelyn, & Sulastri. Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia. Hayes, Robert D., and Holhnan, Kenneth W. (1996). Managing Diversity: Accounting Firms and Female Employees. The CPA. Journal (May): 36-39. Hendrachman, Suad Husnan. (2000). Managemen Personalia. Edisi IV. BPFE. Yogyakarta. Imam Ghozali , 2001. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semrang. Kumalasari Maya. (2006). Pengantar Akuntansi Keperilakuan. Magelang. FE UMM Kuntari, Wijaya. (2001). Pengalaman organisasi, evaluasi terhadap kinerja dan hasil karir pada KAP: Pengujian pengaruh Gender. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol. 16 No. 1: 74-87 Laksmi, Ayu Chairina. (1997). Persepsi akuntan Publik Laki-laki dan Perempuan Terhadap Isisu yang Berkaitan dengan Akuntan Publik Perempuan. FE UGM. Larkin, Joseph M., “ Does Gender Affect Auditor KAPs’ Performance?”, The Women CPA, Spring, (1990), pp.20-24. Murtanto dan Marini, 2003, ”Persepsi Akuntan Pria dan Wanita Serta Mahasiswa-Mahasiswi Akuntansi Terhadap Etika Bisnis dan Etika Profesional Akuntan”, Simposium Nasional Akuntansi VI, 16-17 Oktober 2003.
Reksohardiprodjo, S. (1990). Manajemen Strategi. BPFE. Yogyakarta. Samekto, Agus. (1998). Perbedaan Kinerja laki-laki & Wanita pada Kantor Akuntan Publik. FE UGM. Setiawan Teguh. (2007). Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Kepuasan Kerja Perawat Pelaksana di RS Banyumanik. Semarang. FIK UNNES. Sinta Setiana. (2006). Uji model variabel komitmen organisasional, komitmen Profesional & kepuasan kerja auditor; motivasi sebagai variabel intervening (Studi empiris pada KAP di Jatim dan Jabar). Jurnal Ilmiah Akuntansi vol 5 No. 1:32-49 Schawrtz, Felice N. (1996). Women in the Profession. Jornal of Accountancy (February): 3942. Trapp, Michael W., Hermanson, Roger H., and Turner, Derborah H. (1989). Current Perception of Issues Related to Women Employed in Publik accounting Horrons (March): 71-85. Trisnaningsih. 2003. Pengaruh Komitmen terhadap Kepuasan Kerja Auditor: Motivasi sebagai variabel intervening (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Jatim). Jurnal Riset Akuntansi Indonesia 6 (2): 199-216. Trisnaningsih, 2004, ”Perbedaan Kinerja Auditor Dilihat dari Segi Gender”, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol.7, No.1, hal.108-123. Wibowo, Purwoko. (!996). Analisis Pengaruh Pengalaman Terhadap Profesionalisme Auditor Internal dan Pengaruh Profesionalisme terhadap Komitmen Organisasional. Dorongan Berpindah Kerja, Kepuasan Kerja dan Kinerja Auditor Internal, FE UGM.