1�4 UHU LAPORAN AKHIR PENELITIAN RISBIN IPTEKDOK 2012 Jdeotifikasi Marker Sel Ostfoblast pada Defek Vertebra Spoodilitis Tuberkulosis Kelinci yang Diterapi Sel Ponca Mesenkimal sebagai Tanda Terjadinya Diferensiasi Sel Menuju Pembentukan Tulang Baru
PENYUSUN Rahyussalim Tri Kurniawati Arni Diana Fitri
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jl. Salemba Raya No.6, Jakarta 10430 2012
•
SUSUNAN TIM PENELITI
I . Peneliti Utama
: dr. Rahyussalim, SpOT (K) Spine
2.
Peneliti Pertama
: Tri Kumiawati, Ssi
3.
Penclti Kedua
: drh. Ami Diana Fitri
\ .
.
( .,;2.
·
L
•
·
�
: i
11 - cJ-.6 /J
/(; lf4 (?1Jt3 l£ttv CfMu
,
• Lampiran:2
surat nomor LB.03 04/11/ /2013
BALAI LITBANG, BP2 GAKY, MAGELANG 1
Sri Nuryani Wahyuningrum, S.Si
Pengaruh Suplementasi Mikroalgae Spirulina terhadap Status Klinis GAKI dan Fungsi Tiroid
BALAI LITBANG. P2B2 BANJARNEGARA 2
Dyah Widiastuti. S.Si. MSc
1
Produksi Antibodi Monoklonal Spesifik Leptospira
FK UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG 3
1
Desmawati. dr
?engaruh Retriksi Natrium dan Ekspresi Gen AGT M235T terhadap Tekanan Darah pada Penderita Hipertensi Etnik Minangkabau
4
2
Eka Nolita. dr
ldentifikasi Subtipe Blastocystis pada lndividu dengan Diare dan Tanpa Oiare dengan Menggunakan PCR
FK UNIVERSITAS ATMAJAYA, JAKARTA 5
1
Stefanus Lembar, d:, Sp.PK
Studi Protein Disulfide Isomerase Family A Member 4 (PD!A4) pada
Karsinoma Mammae: ldentifikasi Mutasi Gen PDIA4 sebagai l ndikator pada Deteksi Dini Metasta�is Karsinoma Mammae
6 7
FK UNIVERSITAS BRAWIJAYA, MALANG 1
Yulian Wiji Utami, S.Kp, M.Kes
2
Titin Andri Wihastuti. S Kp, M.Kes
Respon imun slgA molekul adhesin Shigella dysenteriae 7.9 kDa dan 49,8 kDa terhadap sekresi cairan usus mencit
Optimalisasi dan Uji Potensi Mesenchymal Stem Cell (MSC) untuk Perbaikan Pankreas Pada Tikus Model Diabetes Mellitus yang Diinduksi Streptozotocyn
8 '
9
10
3
Dian Hasanah. dr. M. Biomea
Hubungan Kadar Vitamin D dengan Aktivasi Sel Dendritik dan Jumlah Sel Th17 pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik
FK UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG Ninung Rose Diana K. dr. SpA Msi.Med
1
Pengaruh lntervensi Diet pada Fibrosis Cirrhosis Index (FCI) Penderita Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD)
Galuh Hardaningsih. dr
2
Pengaruh Suplementasi Kapsul Ekstrak lkan Gabus
striatus) Dibandingkan lnfus Human Albumin
(Ophiocepha/us
pada Sindroma Nef rotik
0
11
12
3
4
Ratnasari Dwi Cahyanti. dr. MSi.Med,
Hubungan Kadar Vitamin D dan Vascular Endothelial Growth Factor
SpOG
(VEGF) dalam Memicu Progresifitas dari Preeklampsia Berat
Eko Adhi Pangarsa. dr,SpPD
Kadar P Selection. ADAMTS13 dan faktor von Wilebrand. pada gangguan hemostasis penderita Leptospirosis dengan pendarahan
•
Lampiran:
•: ;
13
5
Awal Prasetyo, dr, M.Kes. SpTHT-KL
sural nomor LB.03.04/1.1/ /2013 �-
Perbandingan Faktor Resiko, Titer Antibodi Serum Epstein Bar Virus, Ekspresi LMP-1 dan CD 99 antara Penderita Nasofaring dengan lndividu Sehat Beresiko
14
15
FK UNIVERSITAS GADJAH MADA, YOGYAKARTA 1
Hevi Wihadmadyatami, drh, MSc
Pengembangan prototipt kit diagnosis Leptospirosis dengan menggunakan metode ELISA berbasis pada protein rekombinan lipl32
2
Narendra Yoga Hendarta, ST. M.Biotech
Pengembangan multiplex dipstik untuk deteksi dini HIV-1 dan HBV berbasis kombinasi multiplex Reverse Transcript Loop Mediated
Isothermal Amplification (mRT-LAMP) dan Lateral Flow Distick (LFD)
16
3
Retno Arianingrum, Dra, M.Si
Pengembangan senyawa de rivat kalkon MPHKA sebagai agen ko
kemoterapi pada sel Kanker Payudara yang Resisten Doxorubicin
17
4
Shanti Listyawati. S.Si, M.Si
Potensi ekstrak etanol temu kunci (Boesenbergia pandurata) sebagai agen kemoprovensi kanker kulit terinduksi UVB
18
FK UNIVERSITAS HASANUDDIN, MAKASAR 1
Nadirah Rasyid Ridha. dr. MKes SpA
Hubungan Antar Kadar Hepcidin dan Status Besi dengan lnflamasi pada
2
Anang S. Otoluwa, dr. MPI"'M
Pengaruh Pemberian Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera) kepada lbu
Anak Obesitas 19
Hamil terhadap Kerusakan DNA lbu dan Berat Bayi Lahir
...
20
3
Mardiana. dr
Resistensi Insulin penderita prediabetes
FK UNIVERSITAS INDONESIA, JAKARTA 21
Pengaruh pemberian kombinasi Fish Oil dan kurkumin pada Perbaikan
1
Erfi Prafiantini. dr. M.Kes
Pengaruh Pemberian Makanan Uji ±350 Katon terhadap Kadar Hormon GLP-1 Endogen pada Subjek DM Tipe 2 dan Non DM
22
2
Esthika Dewiasty, Dr,SpPD
23
3
Rahyussalim, dr,SpOT (K)
Distribusi Serotype Streptococcus pneumoniae pada Pasien HIV di RSCM Jakarta ldentifikasi Marker Sel Osteoblast pada Defek Vertebra Spondilihs TB Kelinci yang diterapi Sel Punca mesenkimal sebagai Ianda terjadinya diferensiasi sel menuju pembentukan tulang baru
24
4
Nadia Ayu Mulansari. dr.SpPD
Perbandingan antibodi anti glikoprotein permukaan trombosit dan anti HLA pada purpura trombositopenia imun primer dengan trombositopenia pada infeksi virus hepatitia C
'
Lampiran:·,
sural nom or LB.03.04/I. 11
M. Bio me d
25
5
Syarifah Dewi, dr,
26
6
Wulyo Rajabto, dr, SpPD
/2013
Penekanan eks pres i gen Mangan ese superoxide dismutse (MnSOD)
pada set punca kanker payudara : dampaknya terhadap stres oksidatif dan pluripotensi Kailan Ekspresi Receptor Activator of Nuclear Faclor-k� (RANK) d an Osteoprotegerin pada Sei-Sel Kanker Payudara Pra-Terapi serta Trombositosis Pra-Terapi dalam kaitannya dengan Kejadian Metastasis Tulang
FK UNIVERSITAS JEMBER, JEMBER
27
28
1
FK UNIVERSITAS LAM BUN G MANGKURAT, BANJARMASIN 1 T riawanti, dr, M.Kes
FK UNIVERSITAS 29
Peran Ekstrak Buah Pare (Momordica charantia) terhadap Regenerasi Sel Endctel Pembuluh Darah pada Obesitas: Studi pada Tikus Wistar Jantan dengan Diet Atherogenik
Azham Purwandhono. dr
1
Peran Creb dalam proses Adipogenesis melalui aktivasi P70s6ki oleh mammalian target of Rapamycin complesx 1 (mTORC1)
MULAWARMAN, SAMARINDA
Potensi Ekstrak Etanol Batang Dracontomelon dao sebagai Antibakteri, Antioksidan. dan lmunotimulator
Nurul Hasanah, dr., M.Kes
FK UNIVERSITAS PADJAJARAN, BANDUNG
...
30
1
Sumartini Dewi, dr, SpPD-KR, M.Kes
31
2
Silvita Fitri Ris wari,
dr,
M.K�s
antara lndeks Massa Tubuh (IMT) dan lnflamasi Kronik Sistemik dengan Kepadatan Massa Tulang pada Laki-laki usia lanjut dengan penyakit paru obstruktif kronik
Hubungan
Pengembangan atat uji ELISA berbasis lgM untuk mendeteksi infeksi virus Chikungunya
FK UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA
32
1
Kus madewi Eka Damayanti,
dr
Analisis Genetik Matriptase-2 sebagai Usaha Mencari Penyebab Su pieme nt asi 5esi pada ibu Hamii
Ketidakberhasiian FK UNIVERSITAS SYIAH KUALA, ACEH
33
1
FK UNIVERSITAS
" '
UDAYANA, DENPASAR
I Wayan Suardana, drh., M Si
34
35
Tristia Rinanda. dr. M.Si
2
Made Agus Hendrayana. dr, M.Ked
Analisis Molekuler Res iste ns i I son iazid, Rif am pis in, Pirazinamid, Etambutol, dan Streptomicin dari isolat My cobacte rium tuberculosis pada penderita tersangka TB paru resisten ganda di Aceh Pe nge mbanga n Probe Di<> gnos tik
Berbasis Kloning Gen untuk Deteksi Like Toxin-2 Producing Escherichia coli sebagai A ge n Zoonosis Penyebab Gaga! Ginjal Karakterisasi molekuler molekul adhesin He lic obac ter py lo ri me ngg unak an kultur sellambung mencil (Mus musculus) dan sel Caco-2 Sh ig a
•
Lampirar•.• se•at
FKIK UNIVERSITAS JEND. SOEDIRMAN, PURWOKERTO
36
1
Agung Saprasetya Dwi Laksana, dr. M Sc. PH
37
2
Pugud Samodro. dr, SpPD
nr:>'T'Of
LB.03 04/1.1/
/201 3
: -'-
�
� -' •
· -'
·-�.
Pengaruh Polimorfisme Gen Na+/K+ ATP-Ase a2, Reseptor Vitamin D serta 15-ALAD terhadap Kejadian Hipertensi Akibat Paparan Pb pada
Awak Angkutan Kota Purwokerto Polimorfisme Gena Transcription Factor 7- Like 2 (TCF7L2). Fat Mass and Obesity Associated (FTO) dan Potassium lnwardly-Reactifying
Channel Sub Family J Member 11 (KCNJ11) pada Pengidap DM Tipe 2 ·
38
3
Fitranto Arjadi, dr, M.Kes
Obes Efek polimorftsrne gena nitrit oksida sintase3 (NOS3) dan matriks
metaloproteinase-9 (MMP-9) !erhadap pe�ingkatan resiko aterosklerosis pada pasien denQan hipertensi LPPM UNIVERSITAS AIRLANGGA, SURABAYA
Ade Wilan Krisna, Ssi,M Ked
39
1
Luh
40
2
Priyo Budi Purwono. dr
Ekspresi CD95 dan Apoptosis pada Sel yang Terinfeksi Virus Influenza A subtipe H1N1 dan H5N1 (Studi lnvitro) Studi Analisis Molekuler Genotipe dan SubTipe serta Vaccine escape Mutant virus Hepa
LPPM UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA
41
1
Yulia San. Ss1 Mst
RSU KUPANG 42
Simeon Penggoam, Ssi
Protem Rekombinan Virus hepatitis 8 Core (HBc) -Virus Hepatitis C
Core yang berpotensi mernbentuk Virus like particle (VLP)
Penderita TB dengan MDR MTB di Kupang dan distribusi beri.>agai
polimorphism pada gen TLR2,VD R2 , NRAM1,1FN,TNF,INFGR dalam panel infeksi-!mmunoiOQi metode PCR Beads
'
•
SURAT KEPUTUSAN PENELITIAN
•
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wataala sudah sepantasnya kami haturkan. Demikian pula Salam dan Shalawat kepada Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassalam. Akhimya rangkaian kegiatan pcnelitian ini dapat kami selesaikan. Pada kesempatan ini izinkanlah kami berbagi rasa senang dan mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu selama proses penelitian ini sehingga kami dapat mcnyclesaikannya sesuai waktu dan anggaran yang telah ditetapkan. Terima kasih dan pcnghargaan kami sampaikan kepada : 1.
Kepala Balai Penelitian dan Pengcmbangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI dan Panel Pakar Risbin Iptekdok 2012 yang telah melakukan seleksi dan memfasilitasi ketersediaan dana penelitian ini sehingga penelitian ini dapat betjalan tanpa kendala pembiayaan yang bermti.
2.
Pimpinan
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia,
Kepala
Departemen
Orthopaedi dan Traumatologi FKUI, Kepala Departemen Mikrobiologi Klinik FKUI dan Kepala Departemen Patologi Anatomi FKUI yang telah mengizinkan tenaga dan berbagai fasilitas yang ada untuk kami gunakan selama penelitian. 3. Pimpinan Rumah Sakit Hewan (RSH) Institut Pertanian Boger dan Kepala Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) h1stitut Pertanian Boger yang telah mengizinkan tenaga dan fasilitas yang tersedia untuk kami gunakan selama penelitian. 4.
DR. Dr. Ismail SpOT, Prof. dr Agus Syahrurachman, SpMK, PhD, Sajuthi, MST, PhD, Dr. drh. Diah Iskandriati, dr. Nuryati Chairani
Prof. drh. Dondin
S, MS, SpA(K), PhD,
DR. Adriansjah Rukmana, M.BioMed, Silmi Mariya, MSi dan Pak Junaedi yang telah terlibat langsung dalam berdiskusi dan penyelesaian penehtian ini baik dalam ide, maupun dalam pelaksanaan penelitian. Tanpa mereka penelitian ini tentu tidak akan dapat berjalan dengan baik. Kepada seluruh pihak baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam penelitian ini yang namanya
tidak mungkin disebutkan satu persatu, kami mengucapkan ribuan
terima kasih atas segala jerih payahnya. Akhirnya dengan segala kerendahan hati kami mohon dibukakan pintu maaf
yang
sebesar-besamya atas segala khilaf yang tidak sengaja dan atas segala perbuatan yang disengaja, karena memang tidak ada gading yang tidak retak, manusia tidak luput dari segala kesalahan. Scmoga Allah SWT senatiasa melimpahkan taufik dan hidayahnya kepada kita scmua. Aamiin. Jakarta, Februari 2 0 1 3 Rahyussalim, Tri Kumiawati, Ami Diana Fitri
,
ABSTRAK
Transplantasi Sci Punca Mcsenkimal Pada Lesi Spondilitis Tuberkulosis Kelinci : Tclaah Pada Aktifitas Sel Osteoblas Melalui Biomarker CBFA-1, ALP dan OPN. 2 1 Rahyussalim, Tri Kumjawati, 3Amj Diana Fitri 1 Departemen Medik Orthopaedi dan Traumatologi FKUI-RSCM. 2Kiastcr Stem Cell & Tissue Engineering MERC FKUt ·1Rumah Sakit Hewan IPB Latar Belakang
:
Debris bakte1i Mycobacterium tuberculosis tidak memengaruhi
pertumbuhan sel punca mesenkimal secara in vitro. Penelitian ini ingin mengamati secara in vivo pengaruh bakteri Mycobacterium tuberculosis terhadap ckspresi marker core binding factor alfa- 1 (CBFA- 1 ), sekresi alkaline phosfatase (ALP) dan osteopontin (OPN). Metode
:
Enam ekor kelinci spondilitis tuberkulosis dibagi menjadi dua kelompok yaitu
kelompok kultur, PCR, dan histopatologi (KPH) positif sebagai perlakuan (n=3) dan kelompok PCR dan histopatologi (PH) positif sebagai kontrol (n=3). Kedua kelompok ini menjalani prosedur intervensi penatalaksanaan, transplantasi SPM dan pemberian obat anti tuberkulosis (OAT). Setelah enam minggu dilakukan evaluasi terhadap marker CBF A- 1 , ALP dan OPN. Hasil pemeriksaan diuji secara statistik dan dievaluasi total skor aktifitas osteoblas. :
Hasil pemeriksaan Elisa ALP dan OPN darah kelinci keduanya nihil. Hasil pemeriksaan IHK ALP dan OPN se1uruh sampel kelompok perlakuan dan kontrol Hasil
seluruhnya positif. Hasil pemeriksaan IF CBF A-1 jaringan lesi kelompok perlakuan positif pada seluruh sampel (3/3), sedangkan pada kelompok kontrol hanya 2 dari 3 sampcl yang positif (2/3). Rerata total skor kelompok perlakuan dan kontrol berturut-turut adalah 1 60 dan 145. Kesimpulan
:
Kcberadaan bakteri Afycobacterium tuberculosis memberikan pengaruh
yang berbeda terhadap aktifitas sel osteoblas dalam mengekspresikan dan rnensekresikan markemya. Pada kedua kelompok kelinci terlihat bahwa ekspresi marker C B F A-1 dan sekresi marker OPN tidak terhambat oleh keberadaan bakteri, tetapi sekresi marker ALP tampak mengalami hambatan. Hasil skoring memperlihatkan keberadaan bakteri Mycobacterium tuberculosis justru mendukung aktifitas sel osteoblas. Kata
Kunci
:
Mycobacterium
tuberkulosis,
spondilitis
tuberkulosis,
mesenkimal, aktifitas osteoblas, CBFA - 1 , ALP, OPN .
•
,
sel
punca
DAFTAR lSI
Kata Pengantar Daftar lsi 1 . Pendahuluan ........................................................................................... . 2. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... . 3. I . Tujuan Penelitian ............................................................................ . 3. 2. Manfaat Penelitian .......................................................................... . 4. Hipotcsis Pcnelitian ................................................................................ . 5. Metode Penclitian .................................................................................... 5. 1 Desain Penelitian ............................................................................. 5. 2 Waktu Penelitian .............................................................................. . 5. 3 Tempat Penelitian ........................................................................... 5. 4 Besar Sampel Penelitian .................................................................. 5. 5 Alokasi Sa1npel ................................................................................ . 5. 6 Metodologi Penelitian ...................................................................... 5. 7 Definisi Operasional ....................................................................... . 5. 8 Cara Kerja Penelitian ....................................................................... 5. 8. 1 Persiapan Penelitian ..................................................................... . 5. 8. 2 Pengajuan Etik ............................................................................. 5. 8. 3 ldentifikasi Subjek Penelitian ....................................................... . 5. 8. 4 Pengelompokan Subjek ............................................................... 5. 8.5 Penelitian Tahap I. Isolasi, Kultur dan Karakterisasi Sel Punca Mesenkimal Kelinci . . . .. .... .. .... .... ........... ......... .... ..... .... ......... ..... ..... 5. 8. 6 Penelitian Tahap II. Identifikasi Marker Sel Osteoblast pada Defek Vertebra Spondilitis Tuberkulosis Kelinci yang Diterapi Sel Punca Mesenkimal sebagai Tanda Terjadinya Diferensiasi Sel Menuju Pembentukan Tulang Baru ..... ... ....................... ... ........ . 5. 8.7 Manajemen Data ,......................................................... 5. 8. 8 Intepretasi Hasil Data Pengukuran . . . . . ... ... ...... ..... . ........ 5. 8. 9 Rencana Analisis Data .. . .. ...... .. . . . .. .. . . . .. . . 6. Hasil Penehtian ......................................................................................... 6. 1 Persiapan Penelitian ........................................................................... . 6. 2 Pemenuhan Kaji Etik ......................................................................... .. 6. 3 Identifikasi Subjek Penelitian ............................................................. . 6. 4 Pengelompokan Sam pel ..................................................................... 6. 5 Penelitian Tahap I. Jsolasi Kultur dan Karakterisasi Sel Punca Mesenkitnal Kelinci ....... . .............................. .. .......... ... . .. .... .. . 6. 5. 1 Karakterisasi Hewan Coba . . 6. 5. 2 Evaluasi Pengambilan Sumsum Tulang ...................................... 6. 5. 3 Teknik Aspirasi ........................................................................... 6. 5. 4 Teknik Eksisi Tulang Panjang ...................................................... 6. 5. 5 Evaluasi Kultur Sel Stromal Sumsum Tulang .............................. . 6. 5. 6 Karakterisasi Sel Punca Mesenkimal dati Sel Stromal Sumsum Tulang 6. 6 Penelitian Tahap 1 1 . Identifikasi Marker Sel Osteoblast pada Defek Vertebra Spondilitis Tuberkulosis Kelinci yang Diterapi Sel Punca Mesenkimal sebagai Tanda Terjadinya Diferensiasi Sel Menuju Pembentukan Tulang Baru ... ....... .... . ............ .................. .
.
..
..
.
.
.
.
..
..
.
.
....
...
.
.
.
..................
.
.
.....
.
.
..
.......
.
.
..
.
..
.
...
..
.
...
...
.
....
.
...
.
...
.
..
.
..
.
...
.
..
...............
..
..
.
.
.
.
.
............................................
..
..
.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
.
•
.
.
1 6 10 10 10 12 13 13 13 13 13 14 14 15 16 16 17 17 17 18
24 34 35 35 36 36 36 38 38 39 39 39 39 39 40 42
43
6. 1 Prosedur Inokulasi Bakteri Mycobacterium tuberculosis . . . ... .... 6. 2 Angka Morbiditas dan Mortalitas Kelinci .................................... 6. 3 Berat Badan Pasca Inokulasi Bakteri Mycobacterium tuberculosis 6. 4 Suhu Badan Pasca Inokulasi Bakteri i\lfycobacterium tuberculosis 6. 5 Keberhasilan Inokulasi Bakteri Mycobacterium tuberculosis Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi . 6. 6. 6 Evaluasi Histopatologi . ........ . ........... .. ... ....... ..... .......... . ... . . . .. 6. 6. 7 Evaluasi Terciptanya Model Kelinci Spondilitis tuberkulosis ...... 6. 6. 8 Teknik Tatalaksana Subroto Sapardan . . ....... ...... ....... ... . ... ..... ... . . .. 6. 6. 9 Pengamatan Terhadap Kesembuhan Kclinci Spondilitis Tuberkulosis ... . . .. . . .. . ... . . .. . . .. . ... . . .. . . .. . . .. . . . ... .. . . ... . . ........ ... . . ....... ..... .. 6. 6. 1 0 Pengamatan Terhadap Penanaman Sel Punca Mesenkimal Pada Defek Kelinci Spondilitis tuberkulosis ................................ 6. 6. 1 1 Pengamatan Proses Osifikasi Pada Lingkungan Mikrokopis Bakteri Mycobacterium tuberculosis . .. . ... . ..... ..... .. . . ... . ........ ... . . ... 6. 6. 1 2 Pengamatan Proses Fusi Pada Lingkungan Mikrokopis Bakteri Mycobacterium tuberculosis . ..... .. . ..... ..... .. . . ... . .... ... . ..... .... 7. Pembahasan 7. I Kultur dan Karakterisasi Sel Punca Mesenkimal . ... . . . . .. . . . . 7. 2 Pembuatan Model Kelinci dengan Korpus Terinfeksi Bakteri Mycobacterium tuberculosis . ............ ......... ........ . .... ................. ......... 7. 2. 1 Teknik Inokulasi Bakteri .. ....... ...... ... ..... .... ... . ..... ......... .... ......... .... .. 7. 2. 2 Morbiditas dan Mortalitas . ... ..... ..... .. . . ... . ........ ..... ......... .... ... . .... ...... 7. 2. 3 Terciptanya Model Kelinci Spondilitis tuberkulosis . 7. 3 Penilaian Tranplantasi Sel Punca Mesenkimal pada Defek Spondilitis Tuberkulosis : Telaah pada Biomarker Set Tulang, pembentukan Tulang Baru dan Eradikasi Infeksi ... . . ... . . .. . . .. . .. . . ... . . . . . . ... . ... . . . . . . .. . . .... 7. 3. 1 Evaluasi Biomarker Sel Tulang (Aktivitas Sel Tulang) 7. 3. 2 Evaluasi Pembentukan Tulang Baru (Osifikasi) .... ....... . .............. 7. 3. 3 Evaluasi Fusi (Jembatan Tulang) . . 7. 3. 4 Eradikasi lnfeksi . . . .. .. . . . ... . . . . . .. . . .. . . . .. . . . . . .. . . . . 8. Simpulan dan Saran ................................................................................. 8. I Sitnpulan . .. . .. . . . . ...... . . . . . . . .. ... . . . . .. . . 8. 2 Saran. . . . . . ........... ............................................................... 8. 3 Kelemahan Penelitian . .. ... ............................................................... 9. Ucapan Terimakasih ................ ............................................................... 1 0. Daftar Pustaka . .. . .. . . . ..... .............................................................. 6. 6. 6. 6. 6.
.............
.
.
.
.
...............
.
.
.
..
.
.
.
...............................................................................................
.
..
...
..
..
.
.
....
.
..
..................
.
................
.
..........
..
.
.
..
.
.
..
...
...........
.
..
.
.
...
.
.
..
..
.
.
.
.
•
.
.
.
...
.
..
.
.
.
.
...
.
..
.
..
....
..
.
.
.
....................
..
...
..
.
.
..
......
.
.
.
.
...
..................
.
..
..
...
...
..
.......
..
..
43 43 44 45 46 47 48 49 52 56 65 68 74 74 76 76 77 79
84 84 86 87 88 95 95 95 96 97 98
DAFTAR TABEL
Sistem Skoring Aktivitas Osteoblas ....................................................... 3 1 Sistem Penilaian Skoring Osifikasi ........................................................ 32 Sistem Penilaian Skoring Fusi 33 Sistem Penilaian Kesembuhan . 34 Grup Perlakuan Kelinci 38 Prosentase Mortalitas dan Morbiditas Kelinci Pasca Prosedur Inokulasi Bakteri Mycobacterium tuberculosis . .. .. .. . .. .. . .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. ... .. .. .. .. .. 44 Tabel 7. Hasil Uji t Berpasangan dari Rerata Berat Badan Kelinci Sebelum 44 dan Sesudah Prosedur Inokulasi Bakteri j\1ycobacterium tuberculosis Tabel 8. Hasil Uji t Berpasangan dari Rerata Suhu Badan Kelinci Sebelum Sesudah Prosedur Inokulasi Bakteri J\1ycobacterium uberculosis.. .. .... . 45 Tabel 9. Prosentase Keberhasilan Prosedur Inokulasi Berdasarkan Hasil Pewarnaan BTA, Kultur, PCR dan Histopatologi . 49 Tabel 10. Rerata Volume Defek Kelinci ST Pada Grup yang Diberikan SPM dan Tidak Diberikan SPM .. ... .. .... .. .. ... .... .. .. .. . .... ... .. . ..... .. .... ... .. ..... ... . . .. . 50 Tabel ll .Rerata Luas Area Sisi Lateral Defek Kelinci ST pada Grup yang Diberikan SPM dan tidak Diberikan SPM 50 Tabel 12. Hasil Uji Fisher terhadap Jumlah Kelinci yang Mati Sesudah Prosedur Debrideman dengan Pendekatan TISSA6 ............................... 5 1 Tabel 13. Hasil Uji Fisher terhadap Jumlah Kelinci yang Lumpuh Sesudah Prosedur Debrideman dengan Pendekatan TTSSA6 .... ................. ...... .... 52 Tabel 1 4 Rerata Berat Badan Kelinci ST Sebelum dan Sesudah Diberikan SPM 53 Tabel 15 Rerata Suhu Badan Kelinci ST Sebelum dan Sesudah Diberikan SPM 53 Tabel 1 6. Hasil Pemeriksaan secara M ikrobiologi untuk Evaluasi Kesembuhan Kelinci Spondilitis tuberkulosis. .... .... ... . ... .... .... ..... .... ..... .... ..... .... .... ..... .. 54 Tabel 1 7. Hasil Eva]uasi Kesembuhan Kelinci ST Berdasarkan Hasil Pemeriksaan M ikrobiologi dan Histopatologi . . ... . . ........... .... .... ......... ......... .... ..... . ....... 55 Tabel 1 8. Hasil Penghitungan Nilai Skoring Kesembuhan Kelinci ST Setelah 6 Minggu Pasca Intervensi Penatalaksanaan TTSSA6 .. .. ...... . . . 55 Tabel 19 Distribusi Sampel Penelitian Berdasarkan Modalitas Pemeriksaan Diagnostik Bakteri Mycobacterium tuberculosis ................................ .... . 57 Tabel 20. Evaluasi Marker Osteoblas : ALP, OPN dan CBFA-1 dalam Darah dan Lesi 58 Tabel 21 Hasil Penghitungan Total Skor Aktifitas Sel Osteoblas Per Kelompok Lingkungan M i kroskopis . . . . ...... . ...... . .... ........ ........ .... .... ... ... . . . ..... 64 Tabel 22. Evaluasi Variabel Osifikasi : Hitung Osteoblas, Hitung Osteosit dan Kadar Kalsium Jaringan Lesi .................................................................. . 6 5 Tabel 23. Hasil Pcnghitungan skoring osifikasi setiap sampel kelinci ST yang diberikan SPM per sub kelompok lingkungan mikroskopis MTb ... . . .. 67 Tabel 24. Evaluasi Variabel Fusi pada Lingkungan Mikroskopis MTb .......... . . ... 6 8 Tabel 25. Hasil penghitungan total skoring fusi setiap sampel kelinci ST ............ 7 3 Tabel l . Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6.
...............................................................
..............................
...............................
.........................................................................
.
................................
.
.
..............................................
.
.
.
.
....
..
.....
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
..
.
.
..
.
.
..
.
.
•
t
.
.
.
.
DAFTAR GAMBAR
Gambar l . Prosedur aspirasi sumsum tulang ..................................................
20
Gambar 2. Prosedur eksisi tulang femur dan tibia ..........................................
21
Gambar 3. Proseclur inokulasi bakteri M. tuberculosis pada korpus kelinci
26
.....
Gambar 4. Prosedur TTSSA6 dan Transplantasi Sel Punca Mesenkimal ......
27
Gambar 5. Proses Nekropsi dan Pengambilan Sampel Material Lesi, Jaringan Tulang dan Korpus Vertebra Kelinci yang Mengandung Defek ...
28
Gambar 6 Tahapan Proses Pembuatan Slide Pulasan HE................................ Gambar 7. Perkembangan Kultur SSST . . . . .. ... .... .............................
30
.
..
......
..
.
.
...
.
42
.
Gambar 8. Hasil Karakterisasi SSST . .. . Gambar 8. Grafik perubahan berat badan rata-rata grup kelinci dari 0-97 hari.. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . .
........
.
Gambar 9. Grafi.k perubahan suhu badan kelinci dari 0-97 hari ........................ Gambar 1 0. Hasil Peme1iksaan Mikrobiologi . . .. . . .. . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
....
...
...
.
.
.
Gambar 1 1 . Hasil Peme1iksaan Histopatologi Infeksi Bakteri MTb . .............. Gambar 12 . Hasil pemeriksaan Elisa ALP .......... ..................... ........ . ......... . Gambar 1 3 . Hasil pemeriksaan Elisa OPN ......................................................... ..
.
.
.
.
.
.
Gambar 14. Pengamatan IHK ALP Jaringan Lesi ST Kelinci. ........................... Gambar 15. Pengamatan IHK OPN Jaringan Lesi ST Kelinci ............................ Gambar 1 6. Pengamatan l munofluoresen CBFA-1 terhadap Jaringan Lesi ST Kelinci
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
43 45 46 47 48 59
60 61 62 63
Gambar 1 7. Pengamatan Terhadap Slide Pulasan HE Menggunakan Mikroskop Dengan Pembesaran 400x ..............................................................
65
Gambar 1 8 . Pengamatan terhadap slide pulasan HE menggunakan mikroskop dengan pembesaran 400x ..............................................................
69
Gam bar 1 9. Memperlihatkan gam bar foto rontgen dan arsiran kalus
71
...............
Gambar 20. Memperlihatkan gambar foto rontgen dan arsiran kalus ................
72
Gambar 2 1 . Ke1umpuhan pada Kelinci Setelah Prosedur Inokulasi Bakteri MTb
78
Gambar 21. Nekropsi Kelinci yang Mati Setelah Prosedur Inoku1asi Bakteri MTb 79
•
t
1. PENDAHULUAN
Spondilitis tuberkulosis adalah penyakit infeksi pada tulang belakang yang disebabkan
oleh
mengakibatkan
bakteri
kerusakan
Mycobacterium korpus
atau
tuberculosis. juga
disebut
lnfeksi defek,
ini
dapat
yang
akan
menimbulkan instabilitas tulang bclakang dan gangguan struktur di sekitarnya ( Moesbar, 2006). Penyembuhan infeksi bakteri pada kasus spondilitis tuberculosis dipengaruhi oleh seberapa berat kerusakan korpus dan infeksi bakteri tersebut di tulang belakang (Nachimutu et al, 2000). Selama ini penatalaksanaan kasus spondilitis tuberculosis yang disertai kerusakan korpus clilakukan
melalui
pendekatan operatif dan penempatan graft baik graft yang diambil dari tubuh penderita sendiri maupun graft buatan (Sapardan, 2004). Tetapi penatalaksanaan ini pada beberapa kasus membetikan basil yang belum memuaskan karena tidak tercapainya fusi akibat tidak terjadinya pembentukan tulang baru (Candeda et al, 2008), sehingga perlu terus dikembangkan metode-metode baru untuk mencapai penatalaksanaan yang lebih memuaskan. Pada spondilitis TB, terjadinya infeksi dapat berasal dati infeksi pnmer, dimana baktcri langsung menginfeksi korpus, ataupun infeksi sekunder dimana bakteri menyebar secm·a hematogen atau limfogen dari lokasi terjadinya infeksi ptimer ke korpus tulang belakat1g. Infeksi yang terjadi pada kasus spondilitis TB umumnya merupakan infeksi sekunder dari Mycobacterium tuberk.ulosis di tempat lain (umumnya paru) yang menyebar secara hematogen melalui plexus Batson atau melal ui penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta melalui jalur limfatik ke tulang dari tokus tuberkulosis yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang, tetapi pada bcbcrapa kasus dapat ditcmukan bahwa infeksi yang terjadi merupakan infeksi primer dimana bakteri Jangsung menginfeksi korpus tulang belakang (Ordway et al, 2008 dan Schlossberg, D, 2006). Pembuatan
model
hewan
sponclilitis TB
dapat dilakukan melalui
pendekatan infeksi primer maupun infeksi sekunder. Pendekatan infeksi sekunder dianggap yang paling ideal mengingat patofisiologi umum yang terjadi pada spondilitis TB adalah infeksi sekunder. (Ordway et al, 2008 dan Schlossberg, D, 2006). Namun masalah waktu, prosedur dan biaya menjadi pertimbangan sehingga
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
1 t
pcmbuatan model hewan spondilitis TB pacla penclitian ini ticlak clilakukan melalui penclekatan infeksi sekunder, melainkan melalui penclekatan infeksi primer atau langsung pada tulang vertebra T l 2 (Schulz et al, 200 1 , Bierry et a!, 2008). Penatalaksanaan spondilitis tuberculosis eli
Indonesia merujuk pada
pendekatan penatalaksanaan total yang dikcmbangkan olch Professor Subroto Sapardan. Pendekatan ini disebut sebagai Total Treatment Subroto Sapardan (TTSS). Eva]uasi yang dilakukan terhadap 700 pasien spondilitis tuberculosis yang telah dilakukan penatalaksanaan menggunakan prosedur distraksi dan fusi (TTSS altematif 9 dan
1 0), menunjukkan 35 kasus atau 5% diantaranya
mengalami pseudoarthrosis, yaitu tidak mengalami fusi yang stabil pada tulang belakang sehingga mengakibatkan terjadinya berbagai komplikasi yang sangat menurunkan kualitas hidup penderitanya, seperti implant yang patah, masalah nyeri punggung yang hebat akibat ketidak stabilan tulang belakang, sampai pada masalah
psikis
akibat
gangguan
neurologi.
Faktor
risiko
terjadinya
pseudoarthrosis ini terjadi pada kasus spondilitis tuberculosis aktif dengan kerusakan tulang belakang satu korpus atau lebih (Sapardan, 2004). Perkembangan set punca yang pesat akhir-akhir ini memberikan inspirasi untuk menerapkan sel punca sebagai salah satu cara mencapai fusi tulang belakang yang stabil (Gottfried e t a!, 2008). Sel punca merupakan kelompok sel yang memiliki banyak potensi dan mampu membuat salinan sel yang identik dengan dirinya sendiri serta mampu berdiferensiasi menjadi sel matur dengan karakteristik morfologis dan fungsi tertentu menurut lingkungan tempat sel itu hidup sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki suatu organ (Nurul et al, 2009). Sel
punca
mesenkimal
yang
berasal
dari
sumsum
tulang
dapat
berdiferensiasi menghasilkan osteoblas, yaitu sel penghasil molekul pembentuk matriks mineralisasi tulang. Beberapa penelitian pada hewan percobaan dan manusia pada kasus non infeksi menunjukkan bahwa sel punca mesenkimal berperan dalam pembentukan tulang baru dan pencapaian fusi pada operasi tulang belakang dengan prosedur fusi badan dan lamina vertebra (Vats et al, 2004). Hal ini memberikan peluang penggunaan sel punca mesenkimal untuk mengatasi
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
2 t
clefek
pacla kasus sponclilitis tuberculosis sehingga perlu cliteliti Jebih lanjut.
Sayangnya penclekatan kombinasi terapi penggunaan sel punca mesenkimal pacla kasus infeksi bakteri ini belum clapat cliterapkan pada manusia karena belum banyak diteliti, selain itu penelitian eksperimental spondilitis tuberculosis pada manusia (penderita) masih sulit dilakukan terkait dengan masalah etik yang menganjurkan suatu penelitian tcrhadap manusia didahului dengan pcnclitian pada hcwan
percobaan (Zhang et al, 20 1 0), masalah
penelitian infeksi yang tidak
menghendaki suatu penelitian mengurangi hak penderita dalam mendapatkan pengobatan yang akurat, masalah insiden kasus spondilitis tuberkulosis dengan kerusakan korpus yang lebih dari 1 korpus tidak banyak, sehingga dikhawatirkan jumlah sampel tidak terpenuhi, masalah beragamnya variabel pada manusia yang sulit dikontrol (Schulz et al, 200 1 ) dan masalah pendukung penelitian pada manusia yang belum memadai. Sementara penelitian ekperimental menggunakan hewan percobaan eli laboratorium memungkinkan dilakukan kontrol terhadap beragam variabel yang ada. Saat ini marmot, tikus dan kelinci merupakan model yang sering digunakan sebagai hewan percobaan pada berbagai penelitian ditinjau dari manfaat relatif dan konteks historis dengan penyakit pada manusia. (Schulz et al, 2001 dan Zhang et al, 201 0). Penelitian Mana be et al, 2003, Converse et al, 1 996, dan Tsenova et al, 2006 menunjukkan bahwa kelinci putih galur New Zealand dapat terinfeksi bakteri 6-33
Mycobacterium tuberculosis menggunakan
sistem infeksi aerosol setelah
minggu terpapar. Sedangkan sebagai model hewan spondilitis TB, kelinci
dipilih karena memiliki ukuran tulang belakang yang tidak terlalu kecil sehingga akan memudahkan saat dilakukan induksi infeksi atau intervensi lainnya. Penatalaksanaan infeksi tulang belakang akibat bakteri Mycobacterium tuberculosis (spondilitis tuberculosis) pada manusia yang masih menyisakan masalah pseudoarthrosis menjadi tantangan eli masa depan. Di sisi Jain, kemampuan sel punca mensenkimal dalam proses pembentukan tulang baru memberikan harapan clalam mencapai dan meningkatkan kualitas fusi pada defek tulang
belakang.
Untuk
memperoleh
suatu
konsep
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara keilmuan maka diperlukan suatu rancangan penelitian in vivo pada spondilitis tuberkulosis kelinci dengan tujuan mengetahui
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
3 t
pengaruh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis tcrhadap diferensiasi sel punca mesenkimal, melihat adanya komplikasi-komplikasi lain yang tidak diinginkan seperti munculnya reaksi alergi, kondisi infeksi yang semakin berat, terjadinya neoplasma, non union dan lain scbagainya. Hasil penelitian in vitro yang telah dilakukan oleh Rahyussalim et al, 20 I I , menunjukkan bahwa debris dan supematan dari bakteri Mycobacterium tuberculosis tidak mempengaruhi pertumbuhan sel punca mesenkimal setelah dikeduanya diinteraksikan dan dikultur bersama dalam medium yang sesuai. Pembentukkan tulang baru merupakan salah satu faktor yang menentukan tercapainya fusi pada penatalaksanaan kasus spondilitis TB dengan pendekatan operatif. Osteoblas mempakan sel yang dapat mensintetis matriks pembentuk tulang untuk kemudian bersinergi dengan osteoclast membentuk tulang baru. Diferensiasi sel punca mesenkimal menjadi osteoblas secm·a in vivo dapat diidentifikasi dengan mengamati terbentuknya marker alkali fosfatase (ALP), osteopontin dan osteoblast lineage specific transcription factor (CBF A- 1 ) terhadap jaringm1 bam yang terbentuk pada defek spondilitis TB setelah kurun waktu tertentu. Pada penelitian ini digunakan hewan coba kelinci sebagai model dan dilakukan dalam tiga tahap penelitian. Pada penelitian tahap pe11ama dilakukan injeksi bakteri M. tuberculosis ke dalam korpus vet1ebra T l 2 dengan tujuan mendapatkan model kelinci spondilitis TB. Diagnosis pasti spondilitis TB pada kelinci dipastikan dengan mendapatkan basil positif dari salah satu pemeriksaan (PCR, BTA, kultur dan histopatologi) terhadap lesi spondilitis yang diperoleh pada prosedur deb1idement setelah 8 minggu inokulasi bakteri M. tuberculosis. Pada tahap kedua dilakukan pengambilan sumsum tulang kelinci donor melalui proscdur aspirasi dan eksisi tulang panjang, serta dilakukan kultur dan karakterisasi sel punca mesenkimal. Tahap kedua ini dimulai pada minggu kedua dmi inokulasi bakteri lvl. Tuberculosis untuk mendapatkan kultur
set punca
mesenkimal dengan jumlah yang optimal pada saat transplantasi di tahap ketiga. Pada tahap ketiga dilakukan intervensi pembuatan defek dengan prosedur debridemen, penempatan graft serta transplantasi sel punca mesenkimal pada defek bersamaan dengan penambahan skafold serta pemasangan alat stabilisasi
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
4
tulang belakang (stapler modifikasi). Selanjutnya dievaluasi adanya diferensiasi set punca mesenkimal menjadi osteoblast dan pembentukan tulang baru melalui pemeriksaan marker alkali fosfatase (ALP), osteopontin, osteoblast lineage specific
transcription factor
(CBFA - 1 )
,
pemeriksaan
klinis,
radiologis,
laboratorium dan histopatologi pada defek spondilitis tuberkulosis pada akhir minggu ke-14. Diharapkan terjadi perbedaan kuantitas marker-marker ostcoblas yang tcrbentuk serta basil pemeriksaan klinis, radiologis dan histopatologi antara kelompok kelinci perlakukan terhadap kelompok kelinci kontrol.
•
5
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012 t
2. TINJAUAN PUSTAKA
Permasalahan infeksi tulang belakang (spondilitis) eli Indonesia merupakan suatu masalah eli bidang orthopaedi yang sampai saat ini belum dapat dientaskan. Total Treatment Subroto Sapardan (TTSS) telah membagi
1 0 pendekatan
penatalaksanaan spondilitis terhadap beragam komplikasi yang mungkin terjadi. Tetapi sampai saat ini masih ditemukan suatu komplikasi yang bclum dapat diatasi dengan baik yaitu komplikasi pseudoarthosis (Sapardan, 2004 dan Rahyussalim et al, 20 1 1 ). Pseudoarthrosis pasca pcnatalaksanaan TTSS merupakan kondisi yang diakibatkan oleh kegagalan pembentukan jembatan antar tulang (Gregory et al, 2005). Kondisi pseudoarthrosis masih sulit diatasi dan hingga kini masih menyisakan 5% kasus yang memerlukan tindakan operasi
berulang kali.
Komplikasi pseudoarthosis akan sangat menunmkan kualitas hidup penderita, mulai dari masalah nyeri punggung yang hebat sampai pada masalah psikis akibat gangguan neurologi. Risiko pseudoarthrosis ini diketahui terjadi pada kasus spondilitis tuberkulosa aktif dengan kerusakan tulang belakang lebih dari satu korpus (Sapardan, 2004). Sel punca mesenkimal diketahui mampu mcndorong terjadinya fusi tulang belakang (Gottfried et al, 2008 dan Cheng et al, 2008). Penelitian in vitro menunjukkan bahwa debris dan supematan bakteri Mycobacterium tuberculosis tidak mempengaruhi pertumbuhan sel punca mesenkimal. Berbeda halnya dengan debtis dan supcmatan bakteri Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis yang mcnghambat pertumbuhan sel punca mesenkimal (Rahyussalim, 20 I I ). Data ini menginclikasikan terbukanya peluang aplikasi mesenkimal
pada
defek
korpus
tulang
belakang
akibat
sel
infeksi
punca bakteri
Mycobacterium tuberculosis (sponclilitis tuberculosis). Penelusuran literatur menunjukkan bahwa pcnelitian dan aplikasi sel punca pacla kasus infeksi bakteri masih sangat sedikit. Penelitian Tyndall et al, 2009 memperlihatkan bahwa sel punca mesenkimal dapat digunakan pada kasus sepsis untuk melihat kemampunan sel punca mcsenkimal dalam menurunkan beratnya sepsis yang diderita oleh pasien. Penelitian Krasnodembskaya et al, 2 0 1 0, memperlihatkan efek sel pw1ca mesenkimal dalam menciptakan kondisi
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
6 ,
sensitif antibiotika pada kasus bakteri resisten antibiotika. Kekhawatiran bahwa bakteri akan mampu mengendalikan diferensiasi sel punca hematopoietik telah diteliti secara in vitro oleh Kolb-Maurer et at, 2002, 2003, 2004, menggunakan bakteri Listeria enterocolitica. Pada kasus tuberculosis paru, Erokhin et al, 2008, telah melaporkan hasil transplantasi autologous sel punca mesenkimal yang diisolasi dari sumsum tulang terhadap pasien dengan kasus multi-drug resisten. Berbagai penelitian aplikasi sel punca mcsenkimal pada kasus infeksi bakteri yang telah ada masih belum dapat membe1ikan kesimpulan yang memadai untuk dikorelasikan dengan kasus infeksi spondilitis tuberculosis, tetapi peluang ini akan sangat mcnarik dan bermanfaat untuk diteliti lebih lanjut. Karenanya diperlukan suatu penelitian yang sistematis dan sesuai dengan tahapan praktek klinis terbaik untuk mengungkapkan konsep penerapan sel punca mcsenkimal pada kasus spondilitis tuberculosis, mulai dari pengkajian literatur, uji in vitro di laboratorium, uji in vivo pada hewan coba, uji translasional sampai uji klinis pada manusta.. Pembuatan model hewan terinfeksi bakteri pada tulang telah dilakukan oleh Schulz et al, 200 1 , yang menyuntikkan 0, I mL suspensi bakteri Staphylococcus aureus dengan kuantitas 3 x l 06 cfu/mL menggunakan jarum biopsi ke dalam proksimal femur kelinci. Schulz melakukan insisi
<
1 em di
daerah fosa intratrochanteric, melakukan pengeboran dan penyedotan material di daerah korteks untuk menyediakan tempat bagi bakteti di dalam tulang setalah sebelurnnya kelinci dibius menggunakan injeksi campuran rompun dan ketalar. Setelah inkubasi selama 6-8 m ingu, Schulz berhasil menghasilkan kelinci osteomyelitis kronis. Poelstra et al, 2000, juga berhasil membuat model kelinci 3 osteomyelitis dengan cara menyuntikkan bakteti MRSA ( l 0 - 1 05 cfu/mL) pada rongga tulang belakang kelinci di level T 1 3, L3 dan L6 setalah pembiusan intramuskular menggunakan ketamin, xylazin clan acepromazine maleat. Teknik yang dipakai Poelstra adalah insisi kulit eli daerah dorsal secara longitudinal, insisi tw1ggal di fasia dan parsial laminektomi. Sementara Bierry et al, 2007, berhasil mengembangkan teknik inokulasi bakteri Staphylococcus aureus secara perkutan eli cliskus intervertebra kelinci menggunakan jarum suntik steril pada diskus intervertebra L3/L4 dan LS dengan teknik pendekatan posterolateral.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
7
Sampai saat ini kajian tentang pembuatan model hewan terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis di tulang belakang (spondilitis tuberculosis) belum dilaporkan, tetapi pembuatan model hewan tcrinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis di paru-paru telah dilakukan oleh Tsenova et al, 2006 yang berhasil membuat model kelinci tuberculosis paru menggunakan sistem pompa aerosol tertutup setelah inkubasi selama 1 4-42 hari, begitu pula yang dilaporkan oleh Converse et al, 1 996, dan Manabe et al, 2003. Pada pcrcobaan pembuatan model kelinci tuberculosis paru, digunakan sistem pompa aerosol tertutup yang mewajibkan seluruh prosedur percobaan dilakukan di dalam fasilitas Animal Bio Safety level 3 (ABSL3) dcngan tujuan memenuhi aspek biosafety dan biosecurity. Sedangkan pada penelitian infeksi bakteri yang sama pada korpus tulang belakang dengan metode inokulasi langsung (non-aerosol), masih menjadi perdebatan apakah prosedur percobaan tersebut j uga wajib dilakukan dalam fasilitas ABSL3. Pada kondisi tertentu dimana fasilitas ABSL3 terbatas atau tidak dimungkinkan penggunaannya, perlu dipelajari peluang untuk melakukan infeksi primer pada fasilitas diluar ABSL3. Penelitian
in
vivo
pada spondilitis
tuberkulosis diperlukan
untuk
mengetahui pengaruh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis terhadap diferensiasi set punca mesenkimal, selain untuk melihat adanya komplikasi komplikasi lain yang tidak diinginkan seperti munculnya reaksi alergi, kondisi infeksi yang semakin berat, tetjadinya neoplasma, non union dan Jain scbagainya. Evaluasi dilakukan melalui pengukuran marker-marker osteoblas yang terbentuk, yaitu alkali fosfatase, osteopontin dan cbfa- 1 ( Mariot et al, 2005), pengamatan klinis, pemeriksaan laboratorium dan pemriksaan radiologi. Alkali fosfatase merupakan enzim yang diproduksi terutama oleh epitel hati dan osteoblas atau sel-sel pembentuk tulang baru (Cheng et al, 2008). Beberapa penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang erat antara aktifitas osteoblas dengan konsentrasi alkaline fosfatase di dalam plasma, di mana aktifitas enzim ini bertanggung jawab tcrhadap proses klasifikasi fibril kolagen sebagai bahan dasar dari tulang. Osteopontin (OPN), juga dikenal sebagai bone sialoprotein I (BSP-1 atau BNSP), early T-lymphocyte activation ( ETA- I ), secreted phosphoprotein 1 (SPPl ), atau Rickettsia resistance (Ric), merupakan
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
8 t
salah satu komponen organik tulang berupa glikoprotein yang berfungsi sebagai protein pcnghubung pada proses pembentukan tulang (Kawakami et a!, 1998). Osteoblast lineage spec(fic transcription factor (CBFA - 1 ) merupakan faktor transkripsi spesifik yang penting untuk diferenisasi osteoblas dan pembentukan tulang (Thirunavukkarasu et al, 2000).
..
laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
9 t
3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3. 1 Tujuan Penelitian
3 . I . I Tujuan Umum Membuat model kelinci spondilitis TB dan d iketahuinya pcngaruh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis terhadap diferensiasi sel punca mesenkimal menjadi osteoblas secara in vivo pada kelinci spondilitis TB.
3. 1 . 2 Tujuan Khusus 1 ) Diketahuinya peran penanaman langsung sel punca mensenkimal pad a kasus spondilitis TB kelinci dalam mendukung proses fusi tulang belakang. 2) D iketahuinya peran penanaman langsung sel punca mensenkimal pada kasus spondilitis TB kelinci dalam mendukung proses osifikasi tulang belakang. 3 ) Diketahuinya peran penanaman langsung sel punca mensenkimal pada kasus spondilitis TB kelinci dalam mendukung aktivitas osteoblas di tulang belakang. 4) Diketahuinya peranan penanaman langsung sel punca mensenkimal pada kasus spondilitis TB kelinci dalam mendukung penyembuhan infeksi tulang belakang.
3. 2 Manfaat Penelitian
3. 2. 1 Manfaat Metodologis Penelitian
tm
diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
dalam
menyelesaikan suatu masalah di bidang ortopaedi yang menghendaki transplantasi set punca mesenkimal pada kasus infeksi tulang belakang.
3 . 2. 2 Manfaat Tcoritis Penelitian ini cliharapkan dapat menambah pemahaman teoritis dan cara pandang penggunaan
sel
punca mesenkimal
pada kasus
infeksi bakteri
lvfycobacterium tuberculosis di tulang belakang, tennasuk aplikasi implan,
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
10 t
prosedur kultur bakteri untuk kcpcntingan diagnostik maupun terapi serta histopatologi jcuingan lesi.
3. 2. 2 Manfaat Aplikatif Penelitian ini diharapkan menjadi dasar penggunaan sel punca mesenkimal pada kasus infcksi bakteri Mycobacterium tuberculosis di tulang belakang terutama kasus dengan kerusakan korpus vertebra lebih dari 1 ruas dan komplikasi pseudoarthrosis.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
11
4. H I POTESIS PENELlTIAN Hipotesis pada penelitian ini adalah : 1 ) Penanaman langsung sel punca mensenkimal pad a kasus spondili tis TB kelinci dapat mendukung tercapainya fusi tulang belakang. 2) Penanaman Jangsung sel punca mensenkimal pada kasus spondilitis TB kelinci mcndukung proses ossifikasi tulang belakang. 3) Penanaman langsung sel punca mensenkimal pada kasus spondilitis TB kelinci mendukung aktivitas eli osteoblas tulang belakang. 4) Penanaman langsung set punca mcnsenkimal pada kasus spondilitis TB kelinci mendukung penyembuhan infeksi tulang belakang.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
12 t
5. M ETOOOLOGI PENELITIAN
5. J Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental (Experimental Study) pada kelinci dan dibagi menjadi 2 tahap : 1 . Tahap I . Isolasi, Kultur dan Karakterisasi Sel Punca Mesenkimal Kelinci 2. Tahap II. Identifikasi Marker Sel Osteoblast pada Dcfck Ye1tebra Spondilitis Tubcrkulosis Kelinci yang Diterapi Sel Punca Mesenkimal sebagai Tanda Terjadinya Diferensiasi Sel Menuju Pembentukan Tulang Baru (pre-post control Group Desain).
5. 2 \Vaktu Penelitian
Ap1il - Oktober 20 1 2
5. 3 Te mpat Penelitian 1 . Laboratorium M ikrobiologi Klinik, Departemen M ikrobiologi FKUI untuk penyiapan bakteri Mycobacterium tuberculosis, pewamaan BTA, pemeriksaan PCR dan kultur bakteri Mycobacterium tuberculosis. 2. Rumah
Sakit
pemeriksaan
Hewan klinis,
(RSH)
lPB
pemeriksaan
untuk
pemeliharaan
radiologi
dan
kelinci,
pemeriksaan
histopatologi. 3.
Laborator:ium M i krobiologi dan lmunologi Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB untuk penyiapan sel punca mesenkimal serta pemeriksaan osteopontin dan alkali posfatase.
4. Laboratorium
Patologi
Anatomi FKUI/RSCM untuk pemeriksaan
imunohistokimia CBFA- 1 , hitung ostcosit dan osteoblas.
5. 4 Bcsar sampel pcnelitian Besar sampel untuk penelitian tahap I ditentukan oleh peneliti dan bukan berdasarkan pcrhitungan. Besar sampel untuk penelitian tahap II dihitung menurut rumus Federer sebagai berikut: (n-l)(k-1) � 15
•
laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
13 t
Dimana, n k
sampel tiap kelompok jumlah kelompok perlakuan (3)
=
Didapatkan basil n 2:: 8.5 - 9
Dari perhitungan didapatkan basil n 2:: 8,5
�
9, artinya tiap kelompok perlakuan
memcrlukan 9 ekor kelinci. Untuk mengantisipasi kasus drop out dan kcgagalan, ditambahkan 30 % dari jumlah yang dibutuhkan, sehingga total digunakan 9 ekor kelinci sebagai cadangan. Karena angka mortalitas untuk grup I (infeksi) pada intervensi petiama dan intervensi kedua diperkirakan mencapai 50 %, maka seluruh kelinci cadangan ditambahan ke grup I , dengan pembagian 4 ekor kelinci ditambahkan ke grup l A dan 5 ekor kelinci di tambahkan ke grup 1 B
5. 5 Alokasi sampel Pada prosedur ini digunakan 36 ekor kelinci putih galur New Zealand yang telah mcmenuhi kriteria inklusi.
5. 6 Metodologi Penelitian Pe r:Uap3n PeneiiUan
Krlterla
•
- Pelo;tt lhRn Utn penelltl �
Se r-tifli k.asi labor�toriwn
•nklosi
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
14 t
5. 7 Definisi Ope1·asional 5. 7. 1 Variabel Kesembuhan lnfeksi No
Pemeriksaan
Pcngukur
Alat uh1r
Skala pengukuran
Cara pengukuran
Pewamaan BTA
Laboratoriwn M i krobiologi
lesi T l 2
Klinik FKUJ
2
Pemcriksaan PCR TB lesi T l 2
Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI
PCR
Ekstraksi DNA, pohmerisasi, elektroforesis
Kategorik
3
Pemeriksaan hlltur TB lesi Tl2
Laboralorium Mikrobiologi Klinik FKUI
Bactcc
Kultur dalam medium spesifik dan uji biokimia
Kategorik
Pemeriksaan histopatologi TB lesi T12
Laboratorium Patologi Anatomi FKUI-RSCM
Mikroskop
Pulasan HE terhadap slide yang berasal dari pemotongan blok paraffin
Alat ukur
Cara pengukuran
1
4
Mikroskop
Pewamaan Ziehl
Kategorik
Nielsen
K ategorik
5. 7. 2 Variabel Aktifitas Osteoblas Skala pengukuran
No
Pemcriksaan
5
Pemeriksaan Osteopontin darah Pemeriksaan Osteopontin lesi Tl2
Laboratoriurn Mikrobiologi dan lmmunologi PSSP IPB Lab Patologi Anatomi FKUI-RSCM
Spektro fotom eter Mikroskop
Elisa IHK
Numerik Katagorik
6
Pemcriksaan Alkalin fosfatase darah Pemeriksaan Alkalin fosfatase lesi T l 2
Laboratorium Mikrobiologi dan lmmuno logi PSSP IPB Lab Patologi Anatomi FKUJ-RSCM
Spektrofotom eter Mikroskop
Elisa lHK
N umerik
Pemeriksaan cbfa1 lesi T 1 2
Lab Patologi Anatomi FKUI-RSCM
Mikroskop t1uoresensi
7
Pengukur
Kategorik
[f
Kategorik
5. 7. 3 Variabel Fusi dan Osifikasi No 9
•
Pemeriksaan Fusi T 1 2 secm·a radiologi (FR)
Pengukur Unit radiologi RSCM, dibaca oleh ahh radiologi
Alat ukur Foto roentgen, Soft ware Image J
M engukur luas kalus
Kategorik
dalam dan kalus luar defek
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
15 t
-------
Skala pengukuran
Cara pengukuran
-
-
10
Fusi T 1 2 secara histopatologi (FH)
Laboratorium Patologi Anatomi FKUI-RSCM
Mikroskop
11
Osifikasi atau
Laboratorium Patologi
Mikroskopi
penulangan Secara histopatologi
Mengamati luas area penulangan· pada lima lapang padang di dalam defek pada slide pulasan HE
Kategorik
Membandingkan
Numerik
jumlah osteosit terhadap osteoblast pada lima lapang pandang di dalam defek pada slide pulasan HE
Anatomik FKUJ-RSCM
(OPH)
5. 8 Cara Kerja Penelitian 5. 8. 1 Persiapan Penelitian a.
Pelatihan tim peneliti. Pelatihan Biosafety dan Biosecurity dilakukan terhadap semua tim peneliti yang terdiri dokter bedah, dokter hewan, perawat, petugas laboratorium, petugas roentgen dan kordinator penelitian.
b.
Sertifikasi Jaboratorium Dalam penelitian ini digunakan 4 laboratori um yang telah tersertifikasi, yaitu laboratorium M ikrobiologi Klinik FKUI, laboratorium M ikrobiologi dan Imunologi Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) TPB, dan laboratorium Patologi Anatomik FKUI/RSCM. Khusus untuk laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI, selain terscrtifikasi WHO, juga merupakan laboratorium tuberculosis rujukan nasional. Sedangkan fasilitas hewan dan laboratorium di PSSP, selain tersertifikasi juga terakreditasi Intemational AAALAC.
c.
Pengembangan sistem skoring Untuk mengukur va1iabel aktivitas osteoblas, fusi tulang belakang, osifikasi tulang belakang dan penyembuhan infeksi dikembangkan sistem skoring. Diperoleh 4 sistem skoring yaitu skoring aktivitas osteoblas, skoring fusi tulang belakang, skoring osifikasi tulang belakang dan skoring penyembuhan infeksi.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
16 t
5. 8. 2 Pengaj uan Etik
Diajukan 3 berkas permohonan etik penelitian, yaitu : 1 . Persetujuan etik Aspirasi sumsum tulang iliaka kelinci di PT. Bimana Indorncdical yang beratiliasi dengan Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB. 2. Persetujuan etik Prosedur inokulasi baktcri Mycobacterium tuberculosis dan Intervensi Total Treatment Subroto Sapardan Altematif 6 (TTSSA6) di Rumah Sakit Hewan (RSH) IPB. 3. Persetujuan etik penelitian ke Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI RSCM
5. 8. 3 ldentifikasi Su bjel< Penelitian
Subjek adalah kelinci putih galur murni New Zealand White yang terpilih dan terpelihara dengan baik yang berasal dati penangkaran kelinci PT. Indo Anilab Bogor. ldentifikasi dilakukan oleh doktcr hewan RSH IPB Bogor. Bakteri Mycobacterium tuberculosis ATCC H3 7RV yang digunakan untuk rnenginfeksi tulang belakang kelinci pada penelitian
ini adalah koleksi Laboratorium
M ikrobiologi Klinik FKUI. Perlakuan tcrhadap kelinci dan bakteri mengikuti Standar Operating Procedure (SOP) yang berlaku di masing-masing laboratorium.
5. 8.
4 Pengelompokan Subjck Subjek penelitian dibagi atas 3 kelompok, discbut grup l A [n=9], grup 1 B
[n=9] dan grup 2 [n=9]. Grup 1 A dan 1 B [n= l 4] mcndapat perlakuan inokulasi bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Semen tara grup 2 [n=9] mendapatkan
perlakuan inokulasi media A1ycobacterium tuberculosis sebagai kontrol.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
17 t
-
�
--
-
5. 8. 5
Pcnelitian Tahap I. Isolasi, Kultur dan Karaktcrisasi Sel Punca Mesenkimal Kelinci
5. 8. 5. I Protokol Penelitian 3 ekor keli nci Selandia baru putih
Prosedur: anestesi IM, pencukuran bulu, prosedur a & antisepsis
Pemeriksaan klinis & rontgen
Prosedur: eutanasia. eksposur &
Aspirasi sumsum tulang dari krista iiiaka
eksisi tulang panjang
Sumsum tulang
Sumsum tulang
+ PBS ( 1 : 1 ) ficol, gradient
+ PBS ( 1 : 1 ) ficol, gradient
sentrifugasi
sentrifugasi
Sel mononuklear
Sel mononuklear
Kultur dalam DMEM lengkap
Kultur dalam DMEM lengkap
lnkubasi 37°C, 02(20%) & C02
lnkubasi 37°C, 02(20%) & C02
(5%), 1 minggu, dicuci PBS & rekultur dalam DMEM
(5%), 1 minggu, dicuci PBS & rekultur dalam DMEM
Sub Kultur
Sel stroma sumsum tulang
Sel stroma sumsum tulang
5. 8. 5. 2 Isolasi Sumsum Tulang dengan Mctode Aspirasi Krista Iliaka dan Eksisi Tulang Panjang
Kelinci
ditempatkan diatas
meJa opcras1,
dianastesi
menggunakan
campuran ketamin HCI ( 44 mglkg) dan xylazine (5 mg/kg) secara intramuskular dan disiapkan dalam posisi ter1elungkup. Daerah kulit krista iliaka dicukur dan dilakukan prosed ur aseptis dan antiseptis menggunakan alkohol 70%, selanjutnya dipasang kain steril. Sejumlah heparin ( 1 -2 mL) dimasukkan ke dalam spuit 20 mL sebagai
antikoagulan
untuk
persiapan
tahap aspirasi. Jarum
aspirasi
ditusukkan ke krista iliaka posterior superior dengan sudut 45°, hub (logam di pusat jarum) dil epaskan dari jarum dan diganti dengan spuit 20 mL yang telah berisi heparin.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
18 t
-- --
--------
- -
Cairan sumsum tulang (bone marrow) diaspirasi dengan menarik karet plunger spuit ke belakang secara cepat dan memutar jarum beberapa kali untuk aspirasi sumsum tulang di posisi yang baru. Sumsurn tulang basil aspirasi dipindahkan ke dalam tabung pengumpul polipropilen 50 mL steril dan jarum aspirasi dilepaskan dengan membe1ikan tekanan pada kulit. Sumsum tulang selanjutnya di bawa kc laboratorium, diencerkan dcngan larutan buffe r saline posfate (PBS) dengan perbandingan 1
:
I , dan dicampur merata dengan cara
dihisap dari arab atas ke bawah menggunakan pipet. Ke dalam campuran selanjutnya ditambahkan f1col histopaque secara perlahan melalui dinding tabung dan disentrifugasi dengan kecepatan 1 500 rpm selama 1 5 menit pada suhu 20 °C. Lapisan sel mononuklear (huffy coat) diambil secara hati-hati dan dipindahkan ke dalam tabung yang berisi PBS kemudian dicuci 2-3 kali dengan PBS dan disentri fugasi 1 500 rpm selama 6 men it pad a suhu kamar (24 °C).
Pelet yang
terbentuk selanjutnya dilakukan prosedur kultur scl punca mesenkimal. Kelinci yang telah dilakukan pengambilan sumsum tulang dengan metode aspirasi krista iliaka dieuthanasia menggunakan injeksi Euthal 1 50 mg/kg secara intra vena pada daerah vena sephalica antibracii. Kelinci selanjutnya dibaringkan di atas meja pemeriksaan dan diamati responnya terhadap obat euthanasia dengan mengamati pupil bola mata, pernafasan dan detak jantung. Obat euthanasia dianggap telah bekerja apabila pupil bola mata telah mengecil, pemafasan dan detak jantung berhenti. Kelinci selanjutnya dinekropsi setelah terlebih dahulu didesinfeksi dengan alkohol 70% mulai dari pertengahan badan sampai dengan seluruh regio ekstremitas bagian belakang kanan dan kiri yang telah dicukur sebelurnnya. Insisi dibuat pada garis keliling tungkai belakang tempat pertemuan dengan badan, kemudian kulit dilepaskan dcngan cara ditarik ke arah kaki dan dipotong pada daerah pergelangan kaki. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah kontak
tungkai belakang dengan
bulu
kelinci,
yang merupakan
sumber
kontaminasi bakteri. Tungkai belakang selanjutnya dipisahkan dari badan dengan memotong daerah sepanjang medula spinalis secara hati-hati agar tidak merusak femur. Diseksi pada tungkai belakang selanjutnya dilakukan pada biosafety cabinet level 2 (BSC L-2). Pemisahan tulang tibia dan femur dilakukan secara aseptik di bagian sendi lutut dan diseksi dari jaringan lunak sekitamya. Lempeng
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
19 t
pertumbuhan tulang tibia proksimal di osteotorni (dipotong) dan otot-otot yang melekat dibersihkan untuk selanjutnya tulang dipotong pada perbatasan tibia dan fibula. Pemisahan kondilus femur dilakukan dengan cara memotong daerah lempeng pertumbuhan, sedangkan
pernisahan otot dan jaringan ikat pada femur
dilakukan dengan mengerik diafisis tu]ang sampai bersih dengan gunting atau scalpel, kemudian menarik jaringan ke arah ujung tulang. Tulang kemudian dipotong sedekat mungkin dengan femoral neck dengan gergaji/pisau. Seluruh tulang kemudian disimpan dalam harvest buffer dengan es di dalam tabung kerucut 50-ml. Sel-sel sumsum tulang diambil dengan menggunakan rnetode Dobson dengan meletakkan tulang-tulang tersebut pada tabung sentrifuge dan dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 2000 rpm selama 5 detik. Pelet yang terbentuk di dasar tabung merupakan sel-sel sumsum tulang yang selanjutnya dilakukan prosedur kultur sel punca mesenkimal.
Gambar l. Prosedur aspirasi sumsum tulang
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
20 t
Gambar 2.
Prosedur eksisi tulang femur dan tibia
S. 8. S. 3 Kultur Sel Punca Mesenkimal
Pelet diresuspensi dalam medium DMEM (Dubelcco's Modified Eagles Medium)
berkadar glukosa rendah dan dipindahkan ke dalam beberapa botol
kultur (Tc-Fiask) untuk dikultur dalam medium DMEM yang mengandung 1000 mg/L D-Glukosa, 1 000 mg/L L-Glutarnin, 1 1 0 mg/L sodium piruvat dan 1 0% Fetal Bovin Serum (FBS), untuk selanjutnya diinkubasi selama satu minggu pada suhu 37 °C dengan aliran oksigen 20% dan C02 5%. Pada akhir mjnggu pertama, medium dikeluarkan dengan hati-hati dan kultur dicuci beberapa kali dengan PBS untuk memb uan g sel darah merah dan sel lain yang tidak melekat. Setiap tiga hari medium diganti dengan medium kultur yang segar dan botol kultur diperiksa untuk melihat perlekatan sel bemukleus sampai dicapai
kerapatan 75-80%
(confluent). Sel dilepaskan penempelannya dari botol kultur dan dilakukaan pemanenan dengan mencuci sd punca menggunakan 20 mL PBS untuk selanjutnya dilepaskan dari permukaan flask dengan penambahan 4 mL trypsin EDTA dan diinkubasi dalam inkubator C02 bersuhu 37 °C selama 5 menit. 1 0 mL medium DMEM yang mengandung 10% FBS ditambahkan untuk menghentikan reaksi tripsinasi dan suspensi sel disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 3000 rpm.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
21 t
5. 8. 5. 4 Sub Kultur Sel Punca l\-fesenkimal
Seluruh medium kultur primer dibuang, sel monolayer yang menempel dicuci satu atau dua kali dengan PBS secukupnya untuk membuang FBS yang dapat menghambat kerja tripsin. 2 m L cairan tripsin-EDTA ditambahkan ke dalam kultur untuk menutupi Japisan sel. Kultur diinkubasi selama 5-7 menit pada suhu 37°C, dasar botol ditcpuk-tepuk agar sci dapat lepas. Kultur dipctiksa di bawah mi kroskop inversi untuk memastikan sel mengumpul dan terlepas dari pennukaan botol. 4 mL medium komplit (medium yang mcngandung serum) ditambahkan untuk menghentikan aktivitas tripsin yang dapat merusak sel. Suspensi sel dihisap dua tiga kali dengan pipet agar sel yang melekat bcnar-benar terlepas. Suspensi sel dibagikan secara merata (� 3 mL) pada botol-botol kultur baru yang telah ditandai tanggal subkultur dan nomor passage-kulturnya. Masing-masing suspensi sel ditambahkan 8- 1 2 mL medium
baru pada tiap botol kultur dan diinkubasi
pada suhu 37° C, inkubator 5% C02. Sel kemudian
dihitung dengan
hemositometer dan diencerkan sampai kepadatan sel yang diinginkan sehingga jumlah sel yang spesifik dapat ditambahkan pada tiap tempat kultur. Konsentrasi sel
akhir sebesar 5
x
104 sellmL sudah memadai untuk suatu sub kultur. Jika
diperlukan, sub kultur yang agak padat, setelah 3 atau 4 hari medium kultur diganti untuk memberi asupan makanan yang adekuat untuk sel
5. 8. 5. 5 Karaktcrisasi Set Punca Mcscnkimal
Seluruh medium kultur primer dibuang kcmudian sel dikultur diatas slide berkamar sampai konflucns tercapai. Sel difiksasi menggunakan aseton kemudian d itambahkan antibodi monoklonal p1imcr dan diinkubasi. Antibodi monoklonal primer yang digunakan adalah CD 1 05 (Endoglin) M-20 (St. Cruz SC-1 9739) dan CD73 V-20 (St. Cruz SC 1 4682) untuk penanda sel mesenkimal dan CD34 (St. Cruz SC-7342) untuk penanda sel hematopoietik, sedangkan yang dipakai sebagai antibodi monoklonal sekunder adalah Mouse anti-rabbit goat IG-g (St. Cruz SC 53800) yang
telah dimarker dengan FITC. Proses inkubasi dengan antibodi
primer dikerjakan pada suhu 40 °C selama l jam atau selama satu malam, scmentara inkubasi dengan antibodi sekunder dilakukan selama 45-60 menit pada suhu 3 7 °C. Slide dirancang dengan medium antipudar yang mengandung DAPI
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
22 t
-
-
- -
-
--
agar dapat menunjukkan keberadaan inti sel dan selanjutnya diperiksa dengan Mikroskop f1uoresensi. 106 Hasil pengukuran sampel harus menunjukkan hasil negatif tcrhadap penanda (marker) permukaan hematopoetik CD34 yang mengindikasikan bahwa set kelompok ini bukanlah berasal dari set hematopoetik, dan harus memberikan hasil positif terhadap penanda (marker) untuk pctmukaan C D 1 05 dan CD 73 yang mengindikasikan bahwa sel kclompok ini aclalah berasal dati sel mesenkimal.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
23 t
-------
5. 8. 6
Tahap ( 1 . Jdcntitikasi Mad::er Sel Osteoblast pada Defek Vertebra Spondilitis
Tuberkulosis
yang
Kelinci
Punca
Sci
Diterapi
Mcsenkimal scbagai Tanda Tcrjadinya Diferensiasi Sel Menuju Pembentukan Tulang Baru 5. 8. 6. 1 Protokol Penelitian
Kelir'lci Selandia Baru putlh n=J6 ekor
Pf>meriks&an
Ronlgt!O, 'ffil.Th�
�--N��1�- 1 - -·
r -�
Grup2
Grup 1B N; 13 ekor
.
N=9 ekor
---�,_.....-..
r----��ll
--, _ _ _
i Prosedur i nokulasi 0,2 mL baldet
Proseo'ur inokulasi 0,2
�
mL NaCI fisio!ogls di
Mycobat�tium tuberculosis (100 CFU/ml) di korpus vertebra 1\elinci
-
__
Pemenk.mn R
Thl, Thl, S'TA Kultur. PCR & Hi!.iQPtjttllogl
l,
i
dan pembuatan
punca mesenkimal
r·
STA. Kultw. PCR, Hi!itoratoil:lgi. IHK
penambahan sel punca mesenkimal
peoambahan sel
·
Petne.rib.aan �ontgen, Th 1. Thl,
1
Prosedur TISSA6 dan pembuatan defek tanpa
defek dengan
- -1
korpus vertebra kelinci
1
'---- [
l
., J
�
-
lnkubasi selama 6 mi11ggu
__
l.
_
eutanasia
ALP&, OPN. IF CBfl<·l
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
C
24 t -------- -
5. 8. 6. 2 Perlakuan AwaJ
a. Bakteri Mycobacterium tuberculosis diaktivasi, dibuat suspensi dengan cara memindahkan I tabung inokulum bakteri dalam medium agar miring ke dalam 5 mL medium cair dan diinkubasi pada shaker dengan kecepatan 1 50 rpm, suhu 37 °C selama 1 8 jam. b.
14
ekor kelinci dibagi menjadi 2 grup, yaitu grup infeksi ( G l , n=7) dan
grup non infeksi (G2, n=7). b. Sebelurn dilakukan intervensi, kelinci G 1 menjalani pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologis, pencukuran bulu dan dipuasakan selama minimal 6 jam. c.
Kelinci dianestesi menggunakan Ketamin HCl (44 mg/kg) dan xylazine (5 mg/kg) secara intra vena.
d. Setelah anestesi bekerja, dilakukan insisi melintang mencapai tulang belakang di level T l 2, dimulai dari proscsus spinosus selebar 3-5 em ke arab lateral kiri menembus kutis dan sub kutis. Otot paraspinal dipisahkan mencapai iga ke-12, proses us transversus dan lamina thorakal 1 2 . e.
Korpus thorakal diinokulasikan
1 2 dilubangi menggtmakan high speed drill dan 0,2 mL suspensi bakteri Mycobacterium tuberculosis
dengan kuantitas 1 08 cfu/mL. f.
Luka operasi ditutup lapis demi lapis dan kulit dijahit satu persatu menggunakan benang vycril 3.0 kemudian ditutup verban.
g. Kelinci dikembalikan ke kandang dan diberikan ketoprofen (3mglkg) secara intra muskular (setiap 1 2 jam) selama 3 hari dan dipelihara dalam kandang individual selama 8 minggu. h. Grup 2 (G2) dilakukan prosedur inokulasi yang sama dengan grup 1 (G l ) namun menggunakan media Mycobacterium tuberculosis saja (tanpa bakteri). e.
Dilakukan pcmeriksaan klinis setiap tiga hari terhadap semua kelinci.
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
25 t
Gambar 3. Prosedur inokulasi bakteri M. tuberculosis pada korpus kelinci 5. 8. 6. 3 Perlakuan Lanjut
a.
Menjelang minggu ke-8, seluruh kelinci menjalani pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologis, pencukuran bulu dan pra perlakuan.
b . Pada minggu ke-8, seluruh kelinci (G l dan
G2)
dianestesi menggunakan
Ketarnin HCI (44 mg/kg) dan xylazine (5 mg/kg) secara intra vena. c. Dilakukan intervensi Total Treatment Subroto Sapardan Alternatif 6 (TISSA6) dengan cara melakukan insisi melintang pada sisi kiri setinggi iga
12
iga
12
mencapai vertebrae
Tl2
sampai L l , dilakukan pemotongan ujung
(kostektorni) sisi vertebra sepanjang
korpektorni pada bagian caudal
T l 2,
T12
em, dilakukan parsial
disektomi total pada bagian
parsial korpektomi pada bagian cranial stabilitas tulang belakang
1,5
Ll
T12-Ll,
dan dilakukan identifikasi
terhadap LI secara manual palpasi.
d. Material lesi yang berasal dari proses debridemen pada prosedur TTSSA6 dikirim ke laboratorium rnikrobiologi klinik FKUI untuk dilakukan pewarnaan
BT A,
pemeriksaan PCR dan pemeriksaan kultur, serta ke
laboratorium Patologi Anatomik RSCM untuk pemeriksaan histopatologi jaringan lesi.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
26 t
e. Bila ditemukan instabilitas tulang belakang T 1 2 terhadap L 1 , dilanjutkan dengan pemasangan implan staple modifikasi. f.
Kelinci G 1 dibagi menjadi 2 grup, yaitu grup 1A (G 1 A, n=14) dan grup I B (Gl B, n=13); (i) Pad a kelinci G 1 A dilakukan pengismn defek menggunakan skafold hidroksi apatit. (ii) Pada kelinci G 1
B dilakukan pengisian defek menggunakan
skafold hidroksi apatit yang telah ditransplantasi sel punca mesenkimal. g. Kelinci G2 dilakukan pengisian defek menggunakan skafold hidroksi apatit. h. Kelinci dikembalikan ke kandang individual dan dipelihara, dilakukan pemeriksaan klinis dan pemberian OAT khusus pada kelinci G 1 .
Gambar 4.
Prosedur TTSSA6 dan Transplantasi Sel Punca Mesenkimal
5. 8. 6. 4 Prosedur Euthanasia dan Nekropsi Kelinci
Pada akhir minggu ke-14, semua kelinci dilakukan pemeriksaan radiologi kemudian seluruh kelinci dieutanasia menggunakan injeksi Eutha1 1 5 0 mg/kg secara intra vena pada daerah vena sephalica antebrachii. Apabila pupil bola mata telah mengecil, pernafasan dan detak jantung berhenti, kelinci selanjutnya dinekropsi setelah terlebih dahulu didesinfeksi dengan alkohol 70%.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
27 t
Gambar 5. Proses Nekropsi dan Pengambilan Sampel Material Lesi, Jaringan Tulang dan Korpus Vertebra Kelinci yang Mengandung Defek.
Kelinci diposisikan dorso ventral untuk dilakukan penyayatan kulit bagian dorsal, mulai dari os skapula sampai vertebra lumbalis ke-4. Setelah kulit terbuka, dibersihkan daerah subkutis dan di persiapkan otot Longisimus dorsi. Setelah otot bersih dilakukan pemotongan untuk pengambilan os vertebra torakal ke- 1 1 , 12, dan lumbalis ke-1. Setelah pengambilan sampel selesai, cadaver dikumpulkan dalam kantong plastik cadaver dan langsung di krerriasi. Vertebra T1 1 , T12 dan L1 selanjutnya dipisahkan dengan prosedur disartikulasi
2 sendi faset dan 1 sendi intervertebralis menggunakan skapel
untuk mendapatkan ruas vertebra yang telah dii nokulasi bakteri dan dibuat defek sebagai sampel untuk pemeriksaan. Bahan pemeriksaan yang didapat dalam prosedur ini dibagi menjadi 5 bagian
:
1 pot berisi material lesi untuk pemeriksaan
BTA, kultur dan PCR dikirim pada hari yang sama ke Laboratorium Mikrobologi Klinik FKUI; 1 pot berisi jaringan tulang di sekitar lokasi defek difiksasi dalam buffer formalin 1 0% netral untuk pemeriksaan histopatologi di Laboratorium Patologi Anatomi RSH IPB; 1 pot berisi tulang vertebra dengan defek difiksasi dalam buffer formalin
1 0% netral
untuk
pemeriksaan histopatologi dan
imunohistokimia di Laboratori um Patologi Anatomik FKUI, 1 pot berisi jaringan
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
28 t
Gambar 6 Tahapan Proses Pembuatan Slide Pulasan HE. a. Tulang korpus kelinci dalam larutan EDTA 10%, diperlukan waktu perendaman 1 6 hari sampai tulang benar-benar lunak dan dapat dipotong. B. Tulang setelah dipotong sebelum dilakukan pembuatan blok parafin, bagian lberwarna putih merupakan defek yang terisi skafold dengan atau tanpa SPM. c. Blok parafin sebelum dilakukan pembuatan slide dengan proses pemotongan menggunakan mikrotom. d. Slide setelah dilakukan pulasan HE dan siap diamati di bawah mikroskop
5. 8. 6. 7 Prosedur Pemeriksaan Imunohistokimia Alkaline Phosfatase dan Osteopontin
Slide yang telah djdeparafinasi pada kaca objek dilakukan pewarnaan dan pelabelan
imunohistokimia
menggunakan
metode
Streptavidin-HRP
menggunakan antibodi primer ALP dengan pengenceran l :200 dan counter stained DAB chromogen. Sebagai kontrol negatif digunakan PBS sebagai antibodi
primer dan jaringan sarcoma sebagai kontrol positif, kemudian slide diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 400x. Untuk pemeriksaan OPN dilakukan prosedur yang sama menggunakan osteopontin antibodi dengan pengenceran 1 : 200.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
30 t
tulang di sekitar lokasi defek dikirim ke Laboratorium Atiliasi Departemen Kimia FMIPA UI dan 1 bagian terakhir berisi jaringan tipis defek difiksasi menggunakan gel khusus dalam alumunium foil dan disimpan dalam dry ice untuk pemeriksaan imunot1uoresen di Laboratorium Patologi Anatomik FKUI.
5. 8. 6. 5 Prosedur Pembuatan Sediaan l l istologi
Potongan jaringan tulang difiksasi menggunakan bufcr fonnalin netral 1 0 % dan dibawa ke laboratorium. Setelah paling sedikit 24 jam diilakukan dekalsifikasi tulang menggunakan larutan EDTA 1 0% selama 1 6 hari. Dilakukan pencucian dengan aquades dilanjutkan dalam alkohol 70 % dan proses dehidrasi dengan alkohol bertingkat 80 %, 90 %, 96 % dan alkohol absolut sebanyak 3 kali, masing-masing 2 jam. Tulang selanjutnya direndam dalam xylol sebanyak 3 kali, masing-masing 30 menit, kemudian dimasukkan ke dalam paraffin cair bersuhu 63 °C sebanyak 4 kali, masing-masing 30 menit. Dilakukan bloking dengan parafin dan sampel tulang siap dipotong menggunakan mikrotom.
5. 8. 6. 6 Prosedur Pewarnaan H ematoxilin-Eosin (HE)
Blok jaringan tulang dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 3-5 mikron, direkatkan pada kaca objek dan diinkubasi dalam inkubator selama 1 malam. Pewarnaan dimulai dengan rehidrasi xylol bertingkat
1 , 2 dan 3,
dimasukkan ke dalam alkohol absolut sebanyak 3 kali, dilanjutkan dengan alkohol 96 %, 90 %, 80 % dan 70 %, baru kcmudian dengan air. Dilakukan pewarnaan dengan larutan hematoxilin sclama 3 menit, dicuci dengan air keran selama 5 menit
kemudian
dibilas
dengan
akuades
dilanjutkan
dengan
pewamaan
menggunakan larutan eosin selama I menit. Dimasukkan ke dalam alkohol 70 %, 80 %, 90 %, 96 % dan alkohol absolut sebanyak 3 kali dan ke dalam xylol sebanyak 3 kali, diberikan "entelian" sebagai fiksator dan ditutup dengan kaca penutup kemudian dilakukan pengamatan di bawah mikroskop.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
29 t
-
- -
-
5. 8. 6. 8 Prosedur Pemcriksaan Imunofluoresen CBFA-1
Sampel jaringan beku di imprin ke atas kaca objek agar sel-selnya terlepas dan menempel kcmudian dikeringkan menggunakan kipas angin. Slide dicuci dengan PBS dan dikeringkan kemudian iinkubasi dalam antibodi rabbit CBFA-1 selama 2 jam, dicuci dengan PBS dan dikeringkan. 1nkubasi dilanjutkan menggunakan Goat anti rabbit lgG-CFL selama I jam, dicuci dalam PBS dan dikeringkan. Dilakukan proses mounting dengan glise1in dan ditutup dengan cover
glass. Slide selanjutnya diamati eli bawah mikroskop fluoresens dengan
pembesaran 400x.
5. 8. 6. 9 Sistem Skoring Aktifitas Osteoblas (SSAO)
Dikembangkan
suatu
sistem
skoring
untuk
mengevaluasi
aktifitas
osteoblas pada jaringan lesi defek kelinci ST. Skoring aktifitas osteoblas dalam penelitian ini memperhitungkan basil pemeriksaan ALP jaringan dan darah, OPN jaringan dan darah dan CBFA - 1 jaringan. Dari sistem skoring aktifitas osteoblas ini dapat diketahui apakah osteoblas dalam keadaan tidak aktif, kurang aktif ataupun dalam keadaan aktif. Tabel 1 Sistem Penilaian SkoringAktifitas Osteoblas
OPN
ALP
CBFA-1
Hasil
Skor
lesi T l 2
5
Darah
5
lesi T l 2
5
Darah
5
lesi T l 2
5
basil
N
N
Skor
20
20
Total
basil
Skor
>N
50
>N
50
>N
50
>N
50
>N
50 250
Ketarangan : Nilai skor < I 00 tidak aktif; nilai skor 100 sd 175 aktif; nilai skor > 175 lebih aktif
5. 8. 6. 10 Sistem Skoring Osifikasi (SSO)
Dikembangkan suatu sistem skoring untuk mengevaluasi hasil osifikasi berdasarkan parameter yang berkaitan langsung dengan proses penulangan. Sistem skoring ini digunakan untuk menilai proses pembentukan tulang dengan
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
31 t
mengevaluasi aktifitas jumlah sel tulang di dalam dcfck sc1ia produksi kalsium. Skoring osifikasi dalam penclitian ini memperhitungkan hasil pemeriksaan hitung j umlah osteoblas, hi tung jumlah osteosit dan kadar kalsium jaringan tulang. Dari sistcm skoring osifikasi ini dapat diketahui apakah proses osifikasi mengalami hambatan, berjalan nonnal atau be1jalan baik. Tabel 2. Sistem Penilaian Skoring Osifikasi Hasil
Skor
Hasil
Skor
Hasil
Skor
Hi tung Osteoblas
lesi TI2
Negatif
Normal
5
positif
l5
Hitung Osteosit
lesi T I 2
Negatif
Normal
5
positif
15
Kadar Kalsium
Vert T l 2
Negatif
Normal
5
positif
15
Total 45 Keterangan : skor 1 8 osifikasi terhambat; skor 18 sd 30 = osifikasi normal; skor > 30 osifikasi baik Negatif bila dibawah nilai minimal kontrol; nonnal bila antara nilai minimal dan maksimal; positifbila lebih besar dari nilai maksimal =
=
5. 8. 6. 1 1 Sistem Skoring Fusi (SSF)
Dikembangkan suatu sistem skoring untuk mengevaluasi parameter pembentukan jembatan tulang atau fusi. Sistem skoring ini menilai terbentuknya jembatan tulang dengan mengevaluasi luas tulang yang terbentuk dengan pemeriksaan klinis dengan palpasi manual, pemetiksaan histopatologi dengan menghitung luas tulang yang terbentuk, dan pemeriksaan radiologi dengan menghitung kalus yang terbentuk didalam defek baik proyeksi anteroposterior maupun lateral.
Dari sistcm skoring fusi
ini dapat diketahui apakah proses
pembentukan jembatan tulang tidak berhasil (mendapat hambatan), tercapai wajar atau tercapai lebih baik.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
32 t
Tabel 3. Sistem Penilaian Skoring Fusi. Variabel Palpasi manual
Vert T l 2 Sesuai nekropsi
Hasil tidak kaku
Skot· 3
Hasil Kaku
Skor 30
Ilasil lebih kaku
Skor 45
Hasil Sangat kaku
skor 135
PLTlD
Lesi T I 2
3
N
5
>N
10
>> N
20
LTPLP
Lesi T l 2
3
N
5
>N
10
>> N
20
LTSLO
Lesi T l 2
3
N
5
>N
10
>> N
20
LKAP
Vert T l 2
3
N
5
>N
10
>> N
20
LKL
Vert T l 2
3
N
5
>N
10
>> N
20
Total 235 < N adalah nilai dibawah nilai minimum kontrol positif; N adalah dari nilai minimum sampai dengan nilai maksimum kontrol positif; > N aclalah cliatas nilai maksimum kontrol positif; >> N adalah nilai berada jauh dari nilai maksimum kontrol positif (lebih clari dua kali nilai maksimum); Skor kurang dari 94 artinya fusi terhambat; skor 94 sci 1 4 1 artinya fusi clalam baas t normal; skor diatas 1 4 1 artinya fusi tercapai lebih baik. 5. 8. 6. 1 2 Sistem Skoring Kesembuhan (SSK)
Untuk menentukan secara objektif kesembuhan kelinci ST pasca tindakan intervensi penatalaksanaan berupa TTSSA6, pemberian OAT, penambahan skafold dan penambahan SPM, dikembangkan suatu sistem skoring. Sistem skoring ini disebut sebagai Sistem Skoring Kesernbuhan (SSK). Sistem ini menganalisis kesernbuhan dari
beberapa faktor risiko yang kerap digunakan
dalam penegakan diagnosis dan cvaluasi kemajuan capaian pengobatan yaitu pemetiksaan mikrobiologi dalam hal ini adalah pemeriksaan pewarnaan BTA, pemeriksaan kultur dan PCR; serta perneriksaan histopatologi dalarn hal ini pemeriksaan jmingan lcsi dengan pewarnaan HE seperti yang diperlihatkan tabel 4. Dari tabel ini juga dapat dilihat nilai skor masing-masing hasil pemeriksaan. Total skor penelitian ini adalah 300, nilai batas kesembuhan ditetapkan oleh pcneliti yaitu tidak dikatakan sembuh bila nilai skor kurang dari 1 05, sementara dikatakan sembuh bila nilai skor sarna atau lebih daripada 1 05.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
33 t
Tabel 4. Hasil
Sistcm
Pcnilaian Skoring Kesembuhan Skor Hasil Hasil Skor
Skor
Hasil
skor
M-14
Positif3
Posi tif 2
15
Positif I
30
Ncgati f
50
Kultur
M-14
Positif3
Positif2
15
Positif 1
30
Negatif
50
PCR
M-14
Posi tif 3
Positif2
15
Positif 1
30
Negati f
50
Lesi T12
Positif3
Positif2
15
Positif 1
30
Negati f
50
Pewamaan BTA
H istopatologi
Total
200
Nilai skor <1 05 tidak sembuh; Ni lai skor >= 105 sembuh/
5. 8. 7 Manajemcn Data
Pada minggu ke- 1 5 data dikumpulkan dan divalidasi. Tidak ada satupun data
yang boleh
hilang dan
data harus dapat dipertanggung jawabkan
keberadaannya. Pada penelitian 1111 data diperoleh dengan melakukan pcngukuran dan observasi terhadap scmua variabel bebas dan variabel terikat. Seluruh data disimpan dalam map tertutup dan dilakukan analisis hila seluruh data telah lengkap. 1 . Data radiologi terdapat dalam bentuk hard copy (film) dan soft copy (file). Setelah dilakukan pemotretan, fllm disimpan ke dalam amplop tertutup, diberi label dan dikirim ke bagian Radiologi RSCM. 2. Data
pewamaan
BTA,
pemeriksaan
kultur
dan
PCR
bakteri
Mycobacterium tuberculosis terdapat dalam bentuk soft copy (file) yang dilengkapi foto, disimpan ke dalam amplop tertutup dan diberi label. 3 . Data pemeriksaan osteopontin, alkali posfatase dan CBFA-1 terdapat dalam bentuk soft copy (file) yang dilengkapi foto, disimpan ke dalam amplop tertutup dan diberi l abel. 4. Data pemeriksaan histopatologi terdapat dalam bentuk hard copy (foto) dan soft copy (file), disimpan dalam amplop teliutup dan diberi label.
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
34 t
5. 8. 8 lntcprctasi Data Hasil Pengukuran
Penulisan data hasil pengukuran dibedakan bcrdasarkan sistem numerik dan sistcm skoring. Sistem skoring dibuat olch pcneliti untuk memudahkan dalam menganalisis data.
5. 8. 9 Rcncana Analisis Data
Analisis data dilakukan peneliti dcngan bcrkonsultasi pada ahli statistik., scdangkan pcngolahan data menggunakan software SPSS versi 20. No
Data
I
H ubungan an tara terjadinya fusi (secara
Prioritas
Altematif
Analitik
Chi square
Uji Fisher; Kolmogorof;
pemberian sel punca mcnsenkimal
katcgorikal
Smimov
I lubungan antara terjadinya ositikasi
tidak berpasangan Analitik
Chi square
Uji Fisher;
sccara histopatologi dan kimia dengan
komparatif
Kolmogorof;
pemberian scl punca mesenkimal
katcgorikal
Smimov
melalui prosedur TTSSA6 kelinci
tidak
spondihtis TB. H ubungan antara peningkatan kuantitas
bcrpasangan Analitik
Chi square
Uji Fisher;
marker osteoblas (OPN, ALP dan
komparatif
Kolmogorof;
C B F A- 1 )
katcgorikal
Smirnov
dengan pemberian sel punca
menscnkirnal melalui prost:d ur 4
Pcnclitian komparatif
spondilitis TB.
3
Anal isis
histopatologi dan radiologi) dengan melalui prosedur ITSSA6 pada kelinci 2
Masalah
tidak
TTSSA6 pada kelinci spondilitis TB.
bcrpasangan
Hubungan antara proses kesembuhan
Analitik
Chi square
Uji Fisher;
spondilitis TB (histopatologi,
komparatif
Kolmogorof;
pewamaan BTA, Kultur TB dan PCR
katcgorikal
Smimov
TB) dengan pernberian sel punca mesenkimal melalui prosedur ITSSA6
tidak berpasangan
pada kelinci spondilitis TB.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
35 t
6. HASJL PENELITIAN 6. 1
Persiapan Penelitian
Pelatihan Biosafety dan B iosecurity dilakukan di Pusat Studi Stawa Primata (PSSP) IPB dan diikuti oleh seluruh tim peneliti yang terdiri dokter bedah, dokter hewan, perawat, petugas laboratorium, petugas roentgen dan kordinator penelitian. Tujuan pelatihan ini aclalah agar semua tim pcneliti dapat memahami clan menerapkan aspek Biosafety dan Biosecurity dalam menangani subjek penelitian (kelinci, bakteri }vfycobacterium tuberculosis clan sel punca mesenkimal) schingga diharapkan clapat meminimalisasi potensi penularan dati, oleh clan pacla subjek penelitian ke lingkungan.
6. 2
Pemenuhan Kaji Etik
Penelitian ini merupakan penelitian intervensi pada hewan kelinci yang telah memenuhi kaji etik clan mendapatkan persetujuan dati Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI/RSCM untuk penelitian secara keseluruhan, Komite Animal Care and Use Committee (ACUC) PT. Bimana lndomeclical untuk proseclur aspirasi sumsum tulang kelinci dan Rumah Sakit Hewan (RSH) IPB untuk prosedur perlakuan terhadap sampel kelinci. Sebagian besar penelitian ini menggunakan fasilitas hewan eli RSH IPB, PT Bimana Indomedical, laboratorium M ikrobiologi Klinik FKUI clan laboratorium Patologi Anatomi FKUl-RSCM.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
36 t
---
Komite Etlk Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sa kit Cipto Mangunkusumo Ht!alch Research Ethics Committe£'
l of Medicine Universitas Indonesia Facuty CiptoMangunkusumo Hospital
JG)ao Sd�mba R.1yl No. 6.JakartaPusat 104.30. Telp. 021·3157008.£.-mail:
[email protected]
KETERANGAN LOLOS KAJI ETIK ETHICAL APPROVAL Komitt: Etik Penclitian Keschatan fakultas Kedokteran Universitas indonesia dalam upaya melindungi hak usasi dan kcsejahtcraan
dengan teliti protokol berjudul:
subyek penelifian
kt'doktcran. tcbh
mengkaji
f.ll
research protucol entitled:
i l pAda Defek Vertebra Spondilitis Toberkulo � "ldentifikasi Marker Sci O$ttobas Kclinci y:mg Oitcrupi Sci Puncn Mestnkimnl Scbagai Tanda Tcrjndinya Dcferensi:ui Sci Pmu:a .MI!nuju Pentbcntukan Twang .B.aru".
Pcneliti Utama
: dr.
frincipol hrvesligmors
Rabyussalim,
pOT(K), Spine
:'\am2 lditm
;. t • �TSt •., \.Lor., a{tiN: l m dan tdah menyetujui protokol 1.:rsebut di ata�. and
c1pprm:ed the abOI't'-memir.JJlt'cl pnlfOt·u/.
! •
' ·
i·'·.;-
, ·
"'� ""' I . . ., . ,.,,�,_. ... .. af;; 3 J1 � ctua / ., .., °K -'\ ·.
!\SJt
'\
·
.
�/f
. . . . . . . .... L . . ..
1'
Chair
'·j)vtW" � ..
.
K F p ,S y etf:iiiud toS J>mf. J>r. dt·. R i.tn
•lf)htttJI •ppToo'o/ btrbk.u $al• 1>hondarl l>ft#•l ptrulu)u•n il b
:ln tl t!l l' .. • Ma•J>&l �...�idc:ntil.u •ubyt!Jo: penetilillll L 2. Mernlx-�tt.;dw""'•4htw.l pmc\tllWtbkun)-.. k� k>� kaJi euk. pc.-n<:ltu.:m nl3'.th htllltn �lr·�ni, (hl.,:m hft1 in�ttltk�tl (/�(Jranu
g m4 hax � j
� li!i»>�dl� .C b l'
P(JlChH ud� OOkftmt:�ti� �.,.,ubyck !:
•
37
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012 , -
-- --
-
�
-
�c:....wu-� )1(:10'1���1.11,�
KJX!l..F'(IIo. .,.,.u;l� A n !> ..
hroW J"o.f'
. "' .... .. ''"'"illll)o W..:�)bt.,.t �4h-"loo,,....ftrloh, .. . . ....Lo . ,... � .... . ,,. ••lloo('""i'l"'d ,...,.�..'"-c ...� t.w� f;� � -...t \lr "• I • '� 1 .... .. Mitt• '
MEMOIWID1!M
To
, .,_ .....,_,.. ) .... .��
FI!OIItr
A AJtm:..lew...octv.�<>�.vr. •�m-�
lhlw
!
Pftlltf.CIIIl'O!St �����-. .,, ... t ... • , M M:o4rd ? i� (f% w.< � .. la- 1.,.,..... �-� .... �·¥'�:lrf' \ ��t.t-:....ut.....,...,.,...,
,_,..,., lOll
,� ....... ._ '1. PT.��ACl'ICYwa
�
� ���At,.!Jna.c.-.•tXhr«.od•� �-"t'W�Vcl1rlbb.e
n .. �o-.-*ttM.���•·•�•Jf'!IW_,'Wilt-t "f'P"l"u..a, � .ul�� � o r �-.. .... ,_.,. ""' � ttt r-i- ao ��.···�k�'ll!'llllh.ia_ __,..,
!
\tlh- o.k'� 1bt � $N ._ �Jt:� .. � .pSorM Mh au � 11. u-.ba
....,... .. ..... � ., ...... a.. ... n.. c:-..o.... n. _,�..... ... ... ,..,-..,,.....f .., l
� �.,..... · "' · � - � --- � . ...... .� kll' � �,-. YtM wlii N���� � � lOtl, _,..rlntj m. \Mtlribf*-�J l.(U..JJ..ll
ACUc�
6. 3
ldentifikasi Subjek Penelitian
Kriteria inklusi untuk subjek pada penelitian ini adalah : Kelinci putih galur New Zealand sehat dengan bobot 2000-3500 gram, matur secara skeletal. Sedangkan kriteria ekslusinya : Kelinci putih galur New Zealand yang memiliki kelainan bawaan tulang belakang dan atau mengalami kelainan di tulang belakang akibat infeksi, trauma, dan neoplasma.
6. 4
Pengelompokan Sampel
Pcnelitian ini menggunakan 39 ekor kelinci putih galur New Zealand yang yang telah memenuhi kriteria inklusi. 3 ekor digunakan sebagai donor sumsum tulang pada penelitian tahap I, sementara 36 ekor digunakan sebagai sampel pada penelitian tahap II dengan pembagian grup sebagai berikut :
Tabel 5. Grup perlakuan kelinci Grup
n (Jumlah
Prosedur perlakuan
kelinci/grup)
•
Gl A
14
Infeksi, TTSSA6 + skafold
Gl B
13
Infeksi, TTSSA6 + skafold + sel punca mesenkimal
G 2
9
TTSSA6 + skafold
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
38 t
-
------ - -
-
�
-
6. 5
Tahap I. Isolasi, Kultur dan Karaktcrisasi Sel Punca Mcsenkimal Kelinci
6. 5. 1 Karakteristik Hewan Coba
Tiga ekor kelinci Selandia baru putih berumur kurang dari 6 bulan dengan berat badan rata-rata 2500 gram digunakan sebagai donor sumsum tulang.
6. 5. 2 Evaluasi Pengambilan Sumsum Tulang
Untuk mencapai jumlah SPM yang diperlukan untuk transplantasi, terhadap ketiga ekor kelinci donor tersebut dilakukan 2 prosedur pengambilan sumsum tulang, yaitu proscdur aspirasi sumsum tulang di daerah krista iliaka setelah kelinci di anestesi dan prosed ur eksisi tulang panjang setelah kelinci dieutanasia. Sumsum tulang yang diperoleh dari 2 prosedur pengambilan tersebut selanjutnya dikultur dalam flasks terpisah, untuk selanjutnya digabungkan setelah pasase pertama. 6. 5. 3 Teknik Aspirasi
Aspirasi sumsum tulang dilakukan menggunakan spuit 5 mL dan jarum G1 8 di daerah krista iliaka setelah kelinci dianestesi menggunakan injeksi ketamin. Spuit terlebih dahulu dibilas dengan Jarutan heparin untuk mencegah koagulasi sumsum tulang. Dari kelinci pertama didapatkan 20 mL aspirat sumsum tulang, dari kehnci kedua didapatkan 25 mL aspirat sumsum tulang dan dari kelinci ketiga didapatkan 1 7 mL aspirat sumsum tulang. Semua sumsum tulang yang didapat dari l ekor kelinci dipindahkan ke dalam tabung sentrifuge 50 mL bertutup dan dikirim ke laboratorium kultur.
6. 5. 4 Teknik Eksisi Tulaug Panjang
Pengambilan sumsum tulang dengan prosedur eksisi tulang panJang dilakukan setclah kelinci dieutanasia menggunakan injeksi euthal dan dilakukan isolasi terhadap tulang tibia dan femur kaki depan dan belakang kelinci. Tulang tulang tersebut kemudian dimasukkan kc dalan flasks yang berisi larutan PBS dan dikirim ke laboratorium kultur.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
39 t
- ---
Di dalam BSC, tulang-tulang tersebut dibcrsihkan dari jaringan lunak yang melckat kemudian kedua ujungnya dt patahkan menggunakan pemotong tulang dan dimasukkan ke dalam tabung 50 mL bertutup untuk sclanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 1 500 rpm selama 1 0 menit. Sumsum tulang akan terpisah dan mengendap di bagian bawah tabung untuk selanjutnya dilakukan prosedur kultur sel.
6. 5. 5 Evaluasi Kultur Sel Stromal Sumsum Tulang (SSST) 6. 5. 5. I Kultur Sel Stromal Sumsum Tulang dad Aspirasi Sumsum Tulang
Sumsum tulang yang berasal dari prosedur aspirasi dicampurkan secara merata dengan larutan PBS ( 1
:
I ), kemudian ditambahkan Fico! Histopaque
untuk memisahk:an sel mononuklear dengan cara menginduksi agregasi eritrosit dan rneningkatkan osrnolaritas serta densitas cairan jika dibantu dengan gradient sentrifugasi. Dari hasil sentrifugasi didapatkan cairan yang terbagi dalam beberapa lapisan, yaitu lapisan bawah yang betisi populasi sel eritrosit dan neutrofil, di atasnya terdapat lapisan Ficoll-Hystopaque dan lapisan plasma platelet dan di antara kedua lapisan tersebut terdapat lapisan tipis yang merupakan populasi sel mononuklear yang dikenal sebagai bu./Jy coat. Lapisan huffy coat yang berisi sel mononuklear dipisahkan dan dicuci 2-3 kali dengan larutan PBS, kemudian pelet yang terbentuk diresuspensi dalam DMEM yang telah diperkaya dan dipindahk:an ke dalam 36 buah flasks kultur 75 mL (masing-rnasing berisi ± 7 2,6 x 1 0 sel) untuk diinkubasi dalam inkubator C02 bcrsuhu 37 °C. 6. 5. 5. 2 Kultur Sel Stromal Sumsum Tulang dari Eksisi Tulang Panjang
Sumsum tulang yang berasal dari prosedur eksisi tulang panjang langsung dicampurkan secara merata dengan larutan PBS ( 1 : 1 ) , disentrifugasi dan dicuci 2-3 kali dengan larutan PBS (tanpa penambahan Fico! Histopaque). Pelet yang terbentuk diresuspensi dalam medium DMEM yang mengandung FBS dan dipindahkan ke dalam 44 buah flasks kultur 75cc (masing-masing berisi ± 2.6 1 0 7 sel) untuk diinkubasi dalam inkubator C02 bersuhu 37 °C.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
x
40 t
6. 5. 5. 3
Kultur Sci Stromal Sumsum Tulang Gabungan (Aspirasi dan Eksisi)
Pengamatan terhadap masing-masing flasks kultur dilakukan setiap ha1i untuk melihat pertumbuhan sel dan kemungkinan kontaminasi. Sampai akhir minggu pertama, kultur sel yang berasal dari prosedur aspirasi tidak ada yang mcngalami kontaminasi, sedangkan kultur scl yang berasal dari eksisi tulang panjang didapatkan 9 flasks kultur mengalami kontaminasi sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel dalam flasks yang tidak terkontaminasi dilakukan pencucian dengan PBS sebanyak 3 kali dengan tujuan membuang sel darah merah dan sel lain yang tidak melekat, kemudian ditambahkan medium segar dan diinkubasi kernbali. Setiap tiga hari medium diganti dengan medium segar dan flasks kultur diperiksa untuk melihat perlekatan set bemukleus berbentuk spindle like sampai dicapai kerapatan 75-80 % (konfluen) yang dicapai pada akhir minggu ke-2. Dilakukan pasase pertama (sub kultur) dengan cara mencuci sel menggunakan PBS, kemudian ditambahkan trypsin-EDTA untuk melepaskan sel dari perrnukaan flasks kultur. Selanjutnya ditambahkan medium segar untuk menghentikan reaksi tripsinasi dan suspensi kultur sel disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Untuk suspensi sel yang berasal dari prosedur eksisi tulang panjang terlebih dahulu digabungkan antara flasks nomor l dan 5, serta flasks 2, 3, 4 dan 6 sehingga didapatkan 2 flasks kultur besar berukuran 250cc. Ke dalam pelet yang terbentuk selanjutnya ditambahkan medium segar dan dihitung jumlah selnya, kemudian dibagi ke dalam flasks kultur baru yang masing-masing mengandung ± l x 1 0 6 set untuk selanjutnya di inkubasi kembali dalam inkubator C02. Rata-rata kultur sel mencapai konfluen kembali di akhir minggu ke-3, kemudian dilakukan pasasc kedua dengan prosedur yang sama dengan prosedur pasase pertama. Pada akhir minggu ke-4 semua kultur konfluen dan total dihasilkan 1 22.9 x 10 6 sel yang dibagi dalam 6 flasks kultur 1 50cc. Untuk setiap 6 kclinci grup 1 B dilakukan transplantasi menggunakan 6 x 1 0 sel / 1 50 )lL serum darah kelinci.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
41 t
6. 5. 5. 3 Perkembangan dan Petumbuhan Kultur Sel Stromal Sumsum Tulang
Perkembangan dan pertumbuhan kultur SSST kelinci dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Perkembangan Kultur SSST A: sel sebelum disentrifugasi, ditambahkan Fico! Histopaque dan dicuci dengan PBS, masih tampak sel-sel lain seperti sel darah merah. B : sel setelah disentrifugasi dan dicuci PBS dengan penambahan Fico[ Histopaque, tampak sel mononuklear yang telah bersih dari sel-sel lain. C : flasks berisi kultur sel dalam incubator C02. D : sub kultur sel kedua (P-2) hari ke-3, tampak adanya sel berbentuk spindle like yang menempel pacta flasks. E : sub kultur sel kedua (P-2) hari ke-7, tampak sel berbentuk spindle like yang semakin banyak dan menempel pacta flasks. F : sub kultur sel kedua (p-2) hari ke-14, tampak sel berbentuk spindle like yang telah konfluen dan siap dipanen. 6. 5. 6
Karakterisasi
Sel Ponca Mesenkimal dari Sel Stromal Sumsum
Tulang
Hasil karakterisasi terhadap SSST menggunakan metode imunofluoresen menunjukkan bahwa sel yang tumbuh adalah SPM kelinci karena menunjukkan hasil positif terhadap marker SPM yaitu C D 1 05 dan CD73 yang ditandai dengan timbulnya pendar fluoresensi berwarna hijau, serta menunjukkan hasil negatif terhadap marker sel punca hematopoietik yaitu CD34 yang ditandai dengan tidak timbulnya pendar fluoresensi berwarna hijau ketika slide diamati menggunakan mikroskop fluoresensi.
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
42 t
Gambar 8. Hasil Karakterisasi SSST A : hasil positif CD105 ditandaj dengan pendar tluoresensi berwama hijau dari sel yang terwarnai. B : hasil positif CD73 ditandai dengan pendar tluoresensi berwama hijau dari sel yang terwarnai. C hasil negatif CD34 ditandai dengan pendar fluoresensj berwama merah dari sel yang terwarnai. 6. 6
Tahap
II: Penelitian Pembuatan
Model
Kelinci dengan Korpus
Terinfeksi Bakteri Mycobacterium tuberculosis 6. 6. 1 Prosedur Inokulasi Bakteri Mycobacterium tuberculosis
Teknik inokulasi dilakukan sesuai dibagi dalam tiga tahap seperti pada gambar 3. Pengeboran dilakukan menggunakan (gambar 3 . 1 a), selanjutnya
mata bor berukuran 1 mm
disuntikkan 0, 1 mL larutan NaCl fisiologis yang
mengandung 1 06 cfu/mL bakteri MTb H37RV (gambar 3 . 1 b). Lubang bekas bor ditutup menggunakan
lemak bawah kulit kemudian luka operasi ditutup lapis
demi lapis. Kelinci dikembalikan ke kandang sambil diobservasi sarnpai dipastikan kembali sadar dan bebas dari obat bius. Diberikan infus NaCl fisiologis secara subkutan dan ketoprofen 3 mg/kg selama 3 hari pertama pasca prosedur inokulasi bakteri (gambar 3 . 1 c).
6. 6. 2
Angka Morbiditas dan Mortalitas Kelinci
Dua puluh tujuh
kelinci disiapkan untuk dilakukan prosedur inokulasi
bakteri MTb. Pasca prosedur inokulasi ditemukan kematian pada 2 ekor kelinci (2/27), yaitu satu ekor mati pada minggu ke-4 dan 1 ekor mati pada minggu ke-7. Selain kematian ditemukan pula kelurnpuhan pada tiga ekor kelinci (3/27), yaitu satu ekor lumpuh pada minggu ke-2 dan dua ekor pada minggu ke-4 (tabel 4.8).
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
43 ,
Tabel 6. Prosentase Mortalitas dan Morbiditas Kelinci Pasca Prosedur Inokulasi Bakteri MTb Jumlah Morbiditas N % Kematian
2
7,4
Kelumpuhan
3
1 1,1
6 . 6. 3 Berat Badan
Pasca Prosedur lnokulasi Bakteri Mycobacterium
tuberculosis
Dari dua puluh tujuh ekor kelinci yang dilakukan prosedur inokulasi, hanya empat belas ekor kelinci yang memenuhi syarat dan dapat dianalisis, sehingga untuk basil-basil penelitian selanjutnya hanya data dari keempat belas ekor kelinci tersebut yang dianalisis. Dilakukan pengamatan terhadap perbedaan berat badan kelinci sebelum dan sesudah dilakukan prosedur inokulasi selama delapan minggu waktu inkubasi dan didapatkan hasil tetjadi peningkatan rerata berat badan kelinci dari 2342,86 gram (SD =
=
253,3) sebelum prosedur inokulasi, menjadi rerata 2828,57 gram (SD
284,00) sesudah delapan minggu prosedur inokulasi bakteri (p
<
0,05).
Peningkatan rerata berat badan ini bermakna secara statistik yang menunjukkan bahwa prosedur inokulasi bakteri MTb tidak memengaruhi berat badan kelinci, karena apabila prosedur ini memengaruhi berat badan maka seharusnya tcrjadi penurunan berat badan yang signifikan atau berat badan kelinci sebelum inokulasi sama dengan berat badan sesudah inokulasi. Tabel 7. Basil Uji t Berpasangan dari Rerata Bcrat Badan Kelinci Sebelum dan Sesudah Prosedur Inokulasi Bakteti MTb Perbedaan rerata ± 11 Reraa t ± SO IK95% p so
Rerata berat badan sebelum prosedur inokulasi Rerata berat badan setelah prosedur inokulasi
•
14
2342,86 ± 253,33
14
2828,57 ± 284,00
-485,71
J.
339,36
-68 1 ,65 - -289,77
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
< 0,05
44 ,
3500 3000 2500 E 1.!
tiO
2000 1500 1000
0
-lt- 1B
-+- lA
500
0 1 4 7 101316192225283134374043464952555861646770737679828588919497
Gambar 8. Grafik perubahan berat badan rata-rata grup kelinci dari 0-97 hari. Grafik memperlihatkan terjadinya penurunan berat badan yang nyata pada kelompok terinfeksi ( 1 A dan IB) selama minggu pertama yang berbeda dengan kelompok kontrol. Pada minggu kedua sampai akhir penelitian, ketiga kelompok menunjukkan peningkatan berat badan dengan pola yang mirip
6. 6. 4 Suhu
Badan Pasca Prosedur Inokulasi Bakteri Mycobacterium
tuberculosis
Rerata suhu badan kelinci sebelum dilakukan prosedur inokulasi adalah 39,31°C (SD
=
0,47) dan sesudahnya menjadi 39, l l °C (SD
=
0,46). Infeksi
bakteri MTb diharapkan akan meningkatkan suhu tubuh kelinci, tetapi hasil pengamatan menunjukkan tetjadinya penurunan rerata suhu badan kelinci walaupun nilainya tidak bermakna secara statistik (p
=
0,226). Hal ini berarti
prosedur inokulasi bakteri MTb tidak menyebabkan perubahan suhu badan kelinci sampai pengamatan minggu ke delapan.
Tabel 8. Hasil Uji t Berpasangan dari Rerata Suhu Badan Kelinci Sebelum dan Sesudah Prosedur Inokulasi Bakteri MTb
Rerata suhu badan sebelum prosedur inokulasi Reraa t suhu badan setelah prosedur inokulasi
•
11
rerata ± SO
perbedaan rerata ± SO
IK95%
p
14
39,31 ± 0,47
0, I 92 ± 0,570
-0, 135 - 0,520
0,226
14
39, 1 1 ± 0,46
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
45 ,
40 39,5 39
� 38,5 38 -+- 1A
37,5
-II- 1B
-2
37 0 1 4 7 101316192225283134374043464952555861646770737679828588919497 Gambar 9. Grafik perubahan suhu badan kelinci dari 0-97 hari. Tampak penurunan suhu
badan kelinci mencapai di bawah 38.5 pada kelompok terinfeksi, sedangkan pada rninggu ke-2 hingga akhir penelitian suhu badan kelompok terinfeksi selalu berada di atas suhu badan kelinci kelompok kontrol.
6. 6. 5
Keberhasilan
lnokulasi
Bakteri
Mycobacterium
tuberculosis
berdasarkan Pemeriksaan Mikrobiologi
Prosedur inokulasi bakteri Mycobacterium tuberculosis ke dalam korpus vertebra kelinci dimaksudkan untuk mendapatkan model kelinci yang menderita spondilitis tuberkulosis .
Pada kondisi ini ditemukan proses aktif dari bakteri
Mycobacterium tuberculosis di dalam area jaringan tulang korpus vertebra.
Proses aktif ini dapat ditandai dengan ditemukannya bakteri yang hidup di dalam jaringan tulang korpus vertebra ataupun ditemukannya material utuh atau sebagian dari tubuh bakteri yang telah mati diantara jaringan tulang korpus vertebra tersebut. Dari basil pewarnaan BTA diperoleh 3 sampel (3/14) jaringan lesi tulang korpus vertebra kelinci teridentifikasi mengandung bakteri tahan asam (MTb). Sementara dari 1 1 sampel lainnya ( 1 1114) tidak teridentifikasi adanya bakteri tahan asam. Dengan melakukan kultur dalam medium MGIT dan Lowenstein J eensen terhadap sampel jaringan lesi tulang korpus kelinci didapatkan 9 sampel (9/14) yang teridentifikasi mengandung bakteri MTb hidup. Sementara dari 5 sampel lainnya (5/14) tidak ditemukan adanya bakteri MTb hidup.
•
Laporan Akhir Risbin Jptekdok 2012
46 ,
Dari basil pemeriksaan PCR diperoleh 13 sampel ( 1 3/14) memberikan gambaran pita DNA yang sesuai dengan gambaran pita DNA bakteri MTb H37RV, yaitu bakteri yang sama yang dinokulasikan kedalam korpus vertebra lk:elinci. Sedangkan 1 sampel (1/14) lainnya tidak memperlihatkan gambaran pita DNA yang sesuai dengan gambaran pita DNA bakteri MTb H37RV.
toa7
a
K+
b
Gambar 10. Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi. a. Hasil Pewamaan BTA positif menggunakan pembesaran l OOOx, tampak adanya bakteri tahan asam berwarna merah berbentuk batang yang didapat setelah sampel difiksasi dan diwarnai dengan pulasan Ziehl Neelsen. b. Hasil pemeriksaan kultur positif. Tampak adanya pertumbuhan koloni bakteri berwarna putih yang berpendar pacta permukaan medium padat yang ada dalam tabung MGIT setelah tabung diinkubasi dalam inkubator Bactec MGIT 980. c. Hasil pemeriksaan PCR positif ditunjukkan oleh sampel 10625 dan 10627, hasil negatif ditunjukkan oleh sampel 10612. (K-) adalah kontrol negatif yaitu air steril, (K+) adalah kontrol positif yaitu DNA bakteri MTb H37RV, sedangkan M adalah pelarut.
6. 6. 6 Evaluasi Histopatologi
Berdasarkan basil pemeriksaan histopatologi terhadapl 4 sampel jaringan tulang yang sama dengan sampel untuk pewarnaan BTA, pemeriksaan kultur dan pemeriksaan PCR bakteri MTb, diperoleh gambaran adanya sel datia Ianghans, sel radang kronik dan adanya turberkel pada seluruh sampel kelinci 1 4 (14/14).
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
47 t
Gambar 1 1 . Hasil Pemeriksaan Histopatologi Infeksi Bakteri MTb, pengamatan terhadap slide yang berasal dari jaringan lesi setelah dilakukan dekalsifikasi dengan larutan asam nitrat dan dilakukan pulasan Hematoksilin-Eosin tampak adanya granuloma dan giant sel yang menunjukan terjadinya infeksi oleh bakteri MTb (pemeriksaan di lakukan di laboratorium Patologi Anatomi RSH dan menggunakan asam nitrat sebagai larutan dekalsifikasi)
6. 6. 7 Evaluasi Terciptanya Model Kelinci Spondilitis Tuberkulosis
Prosedur inokulasi bakteri MTb ke dalam
korpus vertebra kelinci
dimaksudkan untuk mendapatkan model kelinci yang menderita ST. Pada penelitian ini diperoleh
1 4 kelinci ST yang memenuhi tujuan dan syarat
penelitian. Tabel 9. Prosentase Keberhasilan Prosedur Inokulasi Berdasarkan Hasil Pewarnaan BTA, Kultur, PCR dan Histopatologi keberhasilan inokulasi
•
IK 95%
N
%
BTA
3
21,4
7,1 - 42,9
Kultur
9
64,3
35,7 - 92,9
PCR
I3
92,9
78,6 - !00
Histopatologi
14
100
100 -lOO
48
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012 t
6. 6. 8 Tcknik Tatalaksana Total Subroto Sapardan Altcrnatif 6 (TTSSA6)
Prosedur tatalaksana total Subroto Sapardan adalah salah satu prosedur penatalaksanaan ST
pada man usia yang terdiri dari l 0 altematif pendekatan
penatalaksanaan, salah satunya adalah prosedur TTSSA6 yang terdiri dari debrideman, evakuasi abses, dan pemasangan
implant
baik anterior maupun
posterior. Dalam keadaan terbius umum kelinci dibaringkan dalam posisi right lateraL decubitus, untuk kemudian dilakukan prosedur pembedahan dengan mengikuti level vertebra yang tetinokulasi. Setelah kulit diinsisi, dilakukan identifikasi level vertebra dilanjutkan dengan pembersihan jaringan mati, nanah serta jaringan tulang yang hancur. Jaringan ini kemudian diperiksa untuk evaluasi mikrobiologi (pewamaan BTA, pemeriksaan PCR dan kultur) dan pemeriksaan histopatologi. Prosedur TTSSA6 sesuai dengan gambar 3. 2 .
6 . 6. 8 . 1 Pembuatan Defek
Pada penelitian ini prinsip TTSSA6 digunakan dengan sedikit modifikasi dalam melakukan
debrideman sekaligus pembuatan defek dan pemasangan
modifikasi
(stapler)
yang
dilakukan dengan
pertimbangan
implan
kemudahan
pemasangan dan faktor ekonomis. Defek dibuat berbentuk kubus persegi panjang pada vertebra tempat dilakukan inokulasi bakteri MTb menggunakan microspeed menyesuaikan anatomi koepus vertebra dan lesi yang terbentuk. Defek lalu diukur dimensi
panjang, Iebar dan kedalamannya dengan menggunakan Calliper.
Prosedur ini akan menghasilkan defek yang dapat ditentukan volumcnya. Setelah itu dilakukan pemasangan stapler untuk stabilisasi tulang belakang kelinci (gambar 4).
6. 6. 8. 2 Volume Defek
Volume defek didapat dengan cara mcngalikan panJ ang, Iebar dan kedalaman (tinggi) dalam satuan milimeter bcrdasarkan hasil pengukuran defek menggunakan Calliper. Rerata volume defek kelinci ST kultur positif adalah 3 3 1 8 1 ,00 mm (SD 3 5,68) pada grup yang diberikan SPM (n 4) dan 220,40 mm =
•
=
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
49 t
(SD
=
5 1 ,47) pada grup yang tidak diberikan SPM (n
tidak bcrbeda secara bennakna (p
=
=
5), hasil ini secara statistik
0,23 7).
Tabel 10. Rerata Volume Defek Kelinci ST Pada Grup yang Diberikan SPM dan Tidak Diberikan SPM Volume Oefek Modalitas Den�an SPM Tanpa SPM p Pemeriksaan N rerata ± SD N rerata ± SD Kultur
4
1 8 1 ,00 ± 35,68
0,237
220,40 ..1: 5 1 ,47
5
uji t tidak berpasangan
6. 6. 8. 3 Luas Sisi Lateral Defck
Luas sisi lateral defek didapat dengan cara mengalikan panjang dengan Iebar defek sisi lateral dalam satuan mili meter berdasarkan hasil pengukuran defek menggunakan Calliper. Rerata luas sisi lateral defek kelinci ST kultur positif adalah 30,00 mm2 (SD 2,3 1 ) pada grup yang diberikan SPM (n 4) dan 2 50,80 m m (SD 1 2 ,93) pada grup yang tidak diberikan SPM (n 5), dan hasil =
=
=
=
ini secara statistik berbeda secara bennakna (p
=
0,047).
Tabel I I . Rerata Luas Area Sisi Lateral Defek Kelinci ST pada Grup yang Diberikan SPM dan tidak Diberikan SPM Luas Area Sisi Lateral Defek Modalitas Tanpa SPM Dengan SPM p pemeriksaan N rerata ± SD rerata ± SD n Kullur
4
3 0,00 ±
2,31
5
50,80 ± 12,93
0,047(p < 0,05) uji mann whitney
6. 6. 8. 4 Transplantasi Sel Punca Mesenkimal
Prosedur transplantasi SPM dilakukan pada kelompok kelinci ST yang telah dilakukan TTSSA6. Urutan prosedurnya seperti yang dijelaskan pada gambar 3 . 7. Sebanyak 1 50 mg serbuk H A ditempatkan ke dalam defek yang telah terbentuk pada korpus vertebra kelinci, selanjutnya diteteskan 1 50 ).lL serum darah kelinci yang mengandung 6
x
10
6
SPM menggunakan mikropipet steril.
Prosedur dilanjutkan dengan pemasangan stapler kemudian dilakukan penutupan luka operasi.
..
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
50 t
6. 6. 8. 5 Pemasangan Stapler Modifikasi
Stapler modifikasi terpasang dengan baik pacta tulang vertebra dua puluh lima ekor kehnci dan tidak ada satupun yang mengalami gaga! pasang ataupun pulL out sampai akhir penelitian
6. 6. 8. 6 Mortalitas
Dari hasil pengamatan terhadap 25 ekor kelinci yang dilakukan prosedur debrideman dengan penclekatan TTSSA6 ditemukan kematian pada 6 ekor diantaranya (6/25). Tiga ekor kelinci mengalami kematian pada minggu ke-9 (satu minggu setelah dilakukan prosedur debrideman), satu ekor kelinci mati pada minggu ke- 1 2 (em pat minggu setelah dilakukan prosedur debrideman) dan dua ekor kelinci mati pada minggu ke- 1 3 (5 minggu setelah prosedur debrideman). Tidak ditemukan
kelumpuhan setelah prosedur debiideman dan sebelum
kematian, juga tidak ditemukan tanda-tanda khusus yang mencurigakan baik sebelum maupun sesudah kematian. Namun dari pengamatan harian memang terlihat adanya penurunan nafsu
makan dan aktifitas sebelum kelinci-kelinci
tersebut mengalami kematian (Tabel 4. 1 6). A utopsi klinis untuk mengetahui penyebab kematian tidak dilakukan pacla kelinci-kelinci yang mati, tetapi penyebab kematian cliduga akibat low intake akibat stress pasca perlakuan (inokulasi bakteri dan TTSSA6).
Tabel 12. Hasil Uji Fisher terhadap Jumlah Kelinci yang Mati Sesudah Prosedur Debrideman dennan Pendekatan TTSSA6 Morbiditas p Mati HiduE ( 1 -sided) n % N % lntervensi
Grup perlakuan
6
24,0
19
7 6,0
TTSSA6
Grup control
2
22,2
7
77,8
8
23,5
26
76,5
Total
0,649
Kejadian kematian sesudah prosedur debrideman dengan pendekatan TTSSA6 pada kelinci kontrol adalah 22,2% (2/9). Angka kejadian kematian ini secara statistik tidak berbeda bermakna dibandingkan kejadian kematian sesudah
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
51 t
prosedur debrideman dengan pendekatan TTSSA6 pada kelinci perlakuan (p
=
0,649).
6. 6. 8. 7 Morbiditas
Kelumpuhan kelinci pasca prosedur debrideman dengan penclekatan TTSSA6 dilakukan dengan mengamati refleks kedua alat gerak bagian belakang sejak kelinci bebas dari pengaruh obat bius serta mobilitas kclinci selama dalam kandang. Satu ekor kelinci dari 33 ekor kclinci yang dilakukan prosedur debrideman dengan pendekatan TTSSA6 diketahui mengalami kelumpuhan sesaat setelah terbebas dari pengaruh obat bius ( 1 /33, 95%IK 0,0% - 1 6,7%) (Tabel 4. 17). Hal ini mengindikasikan bahwa kelumpuhan tetjadi akibat prosedur debrideman dan pemasangan stapler. Tabel 13. Hasil Uji Fisher terhadap Jumlah Kelinci yang L ump uh Sesudah Prosedur Debrideman dengan Pendekatan TTSSA6 Morbiditas P Lumpuh Tidak lumpuh ( 1 -sided) N % % N lntervensi
Gmp perlakuan
TTSSA6
Grup control
0
Total
4,2
23
95,8
0,0
9
1 00,0
3,0
32
97,0
0,727
Kejadian kelumpuhan sesudah prosedur debrideman dengan pendekatan TTSSA6 pada kelinci kontrol adalah 0.0% (0/9). Angka kejadian kelumpuhan ini secara statistik tidak berbeda bcnnakna dibandingkan kejadian kelumpuhan sesudah prosedur debrideman dengan pendekatan TTSSA6 pada kelinci perlakuan (p
=
0,727).
6. 6. 9
Pengamatan
terhadap
Kescmbuhan
Kelinci
Spondilitis
tuberkulosis 6. 6. 9. 1 Evaluasi Bcrat Badan
Rerata berat badan kelinci ST kultur positif sebelum diberikan SPM adalah 2650,00 gram (SD
•
=
341 ,57), dan 6 minggu sesudah pemberian SPM meningkat
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
52 t
menjadi 2850.00 gram (SD
7 1 8,80), tetapi pcningkatan rcrata bcrat badan ini
secara statistik tidak bermakna (p
Tabel 14 Rcrata llcrat
Badan
=
0,707).
Kclinci ST Sebdum dan Sesudah Dibcriknn
n
rerata ± SD
Kultur
4
2650 ± 341 ,57
p
Sesudahpernb erian SPM
Sebelum pcmbcrian SPM
Modalitas Pcmeriksaan
SPM
rera la ± SO
n
2850 ± 71 8,80
0,707
6. 6. 9. 2 Evaluasi Suhu Badan
Rcrata suhu bad an kelinci ST kultur positi f sebelum dibcrikan SPM adalah 39,08 °C (SD
=
0,57), dan 6 minggu sesudah pemberian SPM tidak terjadi
peningkatan (tctap) yaitu 39,08 °C (SO bermakna {p
=
=
0,21 ) sehinga secara statistik tidak ,
I ,000).
Tabel 1 5 Rerata Suhu
Badan Kelinci ST Sebelum dan Sesudah Dibcrikan
Modalitas Pemeriksaan
N
rcrata ±
Kultur
4
39,07 ± 0,57
6. 6. 9. 3
SPM
Scsudahpemberian SPM
Sebelumpemberian SPM SO
n
rerata ± SO
4
39,07 ± 0,21
P 1 ,000
Evaluasi Kcsembuhan Kelinci Spondilitis tubcrkulosis secara Mikrobiologi dan l l istopatologi
Diagnosis kelinci ST sccara mikrobiologi ditegakknn apabila didapatkan minimal satu dari tiga modalitas pemeriksaan yang dilakukan (pcwamaan BTA, pemeriksaan PCR dan kultur) memberikan hasil positif. Kelinci yang pada minggu ke-8 scsudah proscdur inokulasi dinyatakan mengalami ST berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi berjumlah empat bclas ekor (tabcl 4. 1 8).Dari kc cmpat belas ckor kelinci tersebut dilakukan proscdur penatalaksanaan TTSSA6 dcngan pembcrian SPM (Grup I 8, n
=
7); dan proscdur penatalaksanaan TISSA6
tanpa pembctian SPM (Grup I A, n penatalaksanaan
TTSSA6
dilakukan
=
7). Enam minggu sctelah prosedur
pemcriksaan mikrobiologi
ulang dan
diperoleh kesembuhan pada tiga ekor kelinci (317, 42,9%) yang bcrasal dari grup yang diberikan SPM, dan pada empat ekor kelinci (417, 57, I %) yang berasal dari grup yang tidak dibcrikan S P M . Uji mikrobiologi
material lcsi
Fisher terhadap hasil
pemeriksaan
menunjukkan bahwa secara statistik tidak ada
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
53 t
perbcdaan yang bcnnakna pada kesembuhan grup kelinci yang terinfeksi bakteri MTb yang dilakukan penatalaksanaan TTSSA6 dengan penambahan SPM di bandingkan
dengan
penarnbahan SPM (p
=
yang
dilakukan
pcnatalaksanaan
TTSSA6
tanpa
0,500).
Tabel 16. Hasil Pemeriksaan secara Mikrobiologi untuk Evaluasi Kesembuhan Kelinci ST Kode kelinci BTA Kultur PCR Kelompok Kriteria K0520 Neg Neg Neg tanpa SPM Sembuh K3364
Neg
Neg
Neg
tanpa SPM
Sembuh
K2664
Neg
Neg
Neg
tanpa SPM
Sembuh
K0525
Neg
Neg
Neg
tanpa SPM
Sembuh
K0505
Neg
Neg
Neg
dengan SPM
Sembuh
K0964
Neg
Neg
Neg
dengan SPM
Sembul1
K2964
Neg
Neg
Neg
dengan SPM
Sembuh
KOSO!
Neg
Neg
Pos
tanpa SPM
Tidak sembuh
K05 1 7
Pos
Neg
Neg
tanpa SPM
Tidak sembuh
K2764
Pos
Neg
Pos
tanpa SPM
Tidak sembuh
K3164
Neg
Neg
Pos
dengan SPM
Tidak sembuh
K0509
Neg
Neg
Pos
dengan SPM
Tidak sembuh
K3264
Neg
Neg
Pos
dengan SPM
Tidak sembuh
K0519
Neg
Neg
Pos
dengan SPM
Tidak sembuh
Kelinci yang pada rnmggu ke-8 sesudah prosedur inokulasi dinyatakan mengalami ST berclasarkan hasil pemeriksaan histopatologi berjumlah empat belas
ekor.
Dari
ke
ernpat belas
ekor kelinci
tm
penatalaksanaan TTSSA6 dengan pernbcrian SPM (n penatalaksanaan TTSSA6 tanpa pemberian SPM (n
=
dilakukan =
prosedur
7); dan prosedur
7). Enam minggu setelah
prosedur penatalaksanaan TTSSA6 dilakukan pemeriksaan histopatologi ulang dan diperoleh kesembuhan pada dua ekor kelinci (2/7, 28,6%) yang berasal dari grup yang diberikan SPM (Grup l A), dan pada dua ekor kelinci (2/7, 28,6%) yang berasal clari
grup yang tidak diberikan SPM.
Uji Fisher terhadap hasil
pemeriksaan histopatologi material lesi menunjukkan bahwa secara statistik tidak ada pcrbedaan yang bermakna pada kesembuhan grup kelinci yang terinfeksi bakteri MTb yang dilakukan penatalaksanaan TTSSA6 dengan penambahan SPM dibandingkan
dengan
penambahan SPM (p
•
=
yang
dilakukan
penatalaksanaan
TTSSA6
tanpa
0, 720).
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
54 t
Tabel l7. Hasil Evaluasi Kesembuhan Kelinci ST Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi dan Histopatologi Prosentase kesembuhan Dengan SPM Tan12a SPM N % N %
Modalitas Pemeriksaan
p
Mikrobiologi
3 (3/7)
42,9
4 (4/7)
57,1
0,500
Histopatolgi
2 (2/7)
28,6
2 {2/7)
28,6
0,720
6. 6. 9. 4 Hasil Skoring Kesembuhan
Tabel 18. Hasil Penghitungan Nilai Skoring Kesembuhan Kelinci ST Setclah 6 Minggu Pasca l ntervensi Penatalaksanaan TTSSA6. Thl Darah
Th2 Darah
Pewarnaan BTA
Kultur
PCR
Histopatologi MTb
skor
Skor
Skor
Skor
skor
Skor
KOSO!
50
30
50
50
30
K0520
50
30
50
50
K0517
50
30
30
K3364
50
50
K2764
50
K2664
Total skor
Ket
30
240
Sembuh
50
30
260
Sembuh
50
50
50
260
Sembuh
50
50
50
30
280
Sembuh
50
50
50
30
50
280
Sembuh
50
50
50
50
50
30
280
Sembuh
K0525
50
50
50
50
50
30
280
Sembuh
K3164
50
50
50
50
30
30
260
Sembuh
K0509
na
Na
50
50
30
30
Na
K0505
50
50
50
50
50
30
280
K0964
na
Na
50
50
50
50
Na
K2964
50
50
50
50
50
30
280
Sembuh
K3264
50
30
50
50
30
30
240
Sembuh
K05 1 9
50
50
50
50
30
30
260
Sembuh
Kode kelinci
Sembuh
Nilai skor <1 05 tidak sembuh; nilai skor >= I 05 sembuh
Tabel 16 memperlihatkan hasil penghitungan skoring kesembuhan masing masing kelinci. Terdapat dua ekor kelinci (K0509 dan K0964) yang tidak memenuhi syarat dalam penghitungan skoring kesembuhan karena ketidak lengkapan data pemcriksaan Thl dan Th2 akibat sampel darah yang beku, sehingga kelompok kelinci ST yang diberikan SPM hanya memiliki sampel 5 ekor (n
=
5) dan kelompok kelinci ST yang tidak diberikan SPM tetap memiliki sampel
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
55 t
7 ekor (n
=
7). Nilai skoring kescmbuhan masing-masing kelinci ST baik yang
diberikan SPM maupun yang tidak diberikan SPM (n
=
>
105, artinya seluruh kelinci
12) menunjukkan kesembuhan setelah dilakukan penatalaksanaan TTSSA6
baik diberikan SPM maupun tidak. Walaupun secara statistik tidak bennakna (p
=
0.595), nilai rerata skor kelompok kelinci yang tidak diberikan SPM temyata
lebih besar (n
=
7; rerata skor 268,57; SD
=
1 5 ,74) dibandingkan dengan nilai
rerata skor kelompok kelinci yang diberikan SPM (n
=
5; rerata skor 264,00; SD
=
1 6,73).
6. 6. 10
Pengamatan Terhadap Penanaman Sel Punca Mesenkimal pada Defek Kelinci Spondilitis tuberkulosis
6. 6. 10. 1 Lingkungan Mikroskopis Lesi Kelinci Spondilitis tuberkulosis
Lingkungan mikroskopis lesi kelinci ST pada penelitian ini dapat dikategorikan berdasarkan kombinasi hasil pewarnaan BTA, pemeriksaan kultur, PCR dan histopatologi. Dari empat belas ekor kelinci yang dilakukan pemeriksaan menggunakan ke-4 modalitas tersebut, diperoleh empat kombinasi kelompok hasil pemeriksaan (tabel 4. 25) yaitu : Kelinci ST dengan hasil pewarnaan BTA, pemeriksaan kultur, PCR dan histopatologi positif disebut sebagai kelompok BKPH positif Kelinci ST
dengan hasil pemeriksaan kultur dan histopatologi positif
disebut kelompok KH positif Kelinci ST dengan hasil pemeriksaan PCR dan histopatologi positif disebut kelompok PH positif Kelinci ST dengan hasil pemeriksaan kultur, PCR dan histopatologi positif disebut kelompok KPH positif
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
56 t
Tabel 1 9
Distribusi Sampel Penelitian Berdasarkan Modalitas Pemcriksaan Diagnostik Bakteri Ml1J
Kelompok
Distribusi sampel (n) Dengan SPM Tanpa SPM
BKPI-I positif
Proporsi
Jumlah
21%
3
2
KH positif
0
PH positif
3
2
36%
5
KPH positif
3
2
36%
5
Jumlah
7
7
100%
14
7%
Berdasarkan pcnghitungan proporsi kombinasi pemetiksaan, kelompok PH positif (36%) dan kclompok KPH positif (36%) adalah yang paling banyak, diikuti oleh kelompok BPKH positif ( 2 1 %) dan kelompok KH positif (7%). Empat kombinasi kelompok ini menceminkan micro environment jaringan lesi ST pada korpus vertebra kelinci. Kelompok KH positif hanya memiliki n
=
I , yaitu dari grup kelinci yang
diberikan SPM. Pada korpus vertebra kelinci kelompok KH positit� secara teoritis tercipta
lingkungan
yang
dipengaruhi
oleh
adanya
kelompok
bakteri
Mycobacterium tuberkulosis yang hidup disertai mw1culnya reaksi jaringan seperti sel radang, sel datia Ianghans dan perkijuan. Karena jumlah n terlalu sedikit maka kelompok ini tidak dapat dianalisis (tabel 4. 25). Pada k orpus vertebra kelinci kelornpok BKPH positif, secara teoritis tercipta lingkungan mikroskopis yang dipengaruhi oleh membran sel bakte1i tahan asam, terdapat kelompok bakteri MTb yang hidup dan didukung oleh materi DNA yang sesuai dengan bakteri MTb setia munculnya reaksi jaringan seperti sel radang, sel datia Ianghans dan perkijuan. Terdapat tiga ekor kelinci yang memenuhi l.Giteria kelompok BKPH positif, yaitu dua ekor dari grup kelinci yang dibetikan SPM dan satu ekor sebagai kontrol dari grup kehnci yang tidak diberikan SPM. Pada korpus vertebra kelinci kelompok PH positif, secara teoritis tercipta lingkungan mikroskopis yang dipengaruhi oleh adanya materi DNA yang sesuai dengan bakteri MTb disertai munculnya reaksi jaringan seperti sel radang, sel datia Ianghans dan perkijuan. Terdapat lima ekor kelinci yang memenuhi kriteria
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
57 t
- -
-
--
kclompok PH positif, yaitu dua ckor dari grup kclinci yang dibcrikan SPM dan tiga ekor sebaga i kontrol dari grup kclinci yang tidak dibcrikan SPM. Pada korpus vertebra kclinci kelompok KPH positif, secara tcoritis tercipta lingkungan mikroskopis yang dipcngaruhi olch kclompok baktcri hidup dan didukung oleh
MTb yang
matcri DNA yang scsuai dengan baktcri MTb serta
munculnya rcaksi jaringan scpcrti sel radang, sci datia Ianghans dan perkijuan. Tcrdapat lima ckor kelinci yang rnemenuhi kritcria kelompok PH positif, yaitu dua ekor dari grup kelinci yang diberikan SPM dan tiga ekor scbagai kontrol dari grup kelinci yang tidak diberikan SPM.
6. 6. 10. 2
Hasi l
Pcngamatan
Aktifitas
Ostcoblas
pada
Lingkungan
Mikroskopis Mycobacterium tuberkulosis.
Tabel 20. Evaluasi
Marker Osteoblas : ALP, OPN dan CBfoA - 1 BKPH posit i f PH posi t i f
n=l
rerata ±
Kadar ALP Darah ALP Jaringan
dalam Darah dan
Lcsi.
p
KP I J positif
n=3
rcrata ± SD
n=3
rerata ± SD
0
3
0
3
0
Na
Ill
3
3/3
3
3/3
Na
0
3
0
3
0
Na
Ill
3
3/3
3
3/3
Na
Il l
3
2/3
3
3/3
Na
SD
Tulang
Kadar OPN Darah OPN
Jar Tulang
CBF A-1
Jar Tulang
BKPH = BTA, Kultur, PCR,
Histopatologi;
PH
PCR,
Histopatologi;
KPI-I = Kul tur
,
PCR,
Histopatologi
Dcngan tujuan mengamati aktifitas ostcoblas pada lingkungan mikroskopis lcsi ST, maka dilakukan evaluasi terhadap 3 marker osteoblas yaitu C B FA- 1 , ALP dan OPN baik pada jaringan lesi maupun d i dalam darah. Khusus CBFA-1 evaluasi hanya dilakukan pad a jaringan Jesi karcna CBFA- 1 tidak bcredar didalam clarah. Kclinci ST yang ditransplantasi SPM kedalam dcfeknya berdasarkan lingkungan mikroskopis lesi ST dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok BKPH positif, kclompok P l l positif dan kelompok KPH positif seperti dapat dilihat pacla tabcl 1 8.
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
58 t
6. 6. 10. 3 HasH Pemeriksaan ALP Darah
Gambar 1 2 .. Hasil pemeriksaan Elisa ALP : Jarutan berwama biru menunjukkan adanya aktifitas enzim ALP dalam Jarutan. Panah merah dan biru menunjukkan warna larutan standar alkalin phosfatase, panah kuning menunjukkan warna larutan sampel yang mengandung ALP yang tidak terdeteksi oleh optical density meter
Hasil pemeriksaan ALP menggunakan metode Elisa dari darah kelinci ST pacta semua kelompok kelinci tidak dapat terukur karena konsentrasinya lebih rendah dari konsentrasi standar terendah yang digunakan sehingga hasil ini secara statistik tidak dapat dianalisis.
6. 6. 10. 4 Hasil Pemeriksaan Osteopontin Darah
Begitu pula dengan basil pemeriksaan OPN menggunakan metode Elisa dari darah kelinci ST pada semua kelompok kelinci tidak dapat terukur karena konsentrasinya lebib rendab dari standar terendah yang digunakan, sehingga basil ini secara statistik tidak dapat diana}jsis
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
59 ,
Gambar 13. Hasil pemeriksaan Elisa OPN : Jarutan berwarna kuning menunjukkan keberadaan osteopontin dalam Jarutan. Panah merah dan biru menunjukkan warna larutan standar osteopontin, panah kuning menunjukkan warna larutan sampel yang mengandung osteopontin yang tidak terdeteksi oleh optical density meter.
6. 6. 10. 5 Hasil Pemeriksaan ALP Jaringan Tulang
Untuk melihat keberadaan ALP pada jaringan lesi korpus kelinci, terutama di daerah defek, dilakukan pemeriksaan IHK dengan metode Streptavidin-HRP. Slide diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 400x dan hasilnya dibandingkan dengan kontrol positif. Hasil dinyatakan positif jika terdapat gambaran berwarna kecoklatan yang sesuai dengan gambaran kontrol yang berasal dari jaringan sarcoma (gambar 1 3).
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
60 t
Gambar 14. Pengamatan IHK ALP Jaringan Lesi ST Kelinci. Hasil pemeriksaan ALP lesi dari kelompok kelinci ST yang ctiberikan SPM ctapat dilihat pacta gambar 4. 2 l a-g; tampak jejeran sel sel osteoblas (panah biru) yang dikelilingi oleh matriks tulang berwarna cokJat (panah cokJat) menyerupai gambaran pacta kontrol positif (gambar 4. 21 w). Hasil pemeriksaan lesi dari kelompok kelinci ST yang tictak ctiberikan SPM dapat ctilihat pacta gambar 4. 21 h-n: walaupun jejeran sel sel osteoblast (panah biru) tidak sebanyak pacta gambar 4. 21 a-g namun gambaran matriks tulang berwarna coklat (panah coklat) ctapat kita temui menyerupai gambaran matriks kontrol positif IHK (panah cokJat) seperti yang terlihat pacta gambar 4. 2 1 w. Hasil pemeriksaan lesi ctari kelompok kelinci non infeksi yang tidak diberikan SPM dapat ctilihat pacta gambar 4. 2 l o-u: walaupun jejeran sel sel osteoblast (panah biru) tidak sebanyak pacta gambar 4. 21 a namun gambaran matriks tulang berwarna coklat (panah coklat) dapat k.ita temui menyerupai gambaran matriks kontrol positif IHK (panah coklat) seperti yang terlihat pada gambar 4. 21 w. Sementara gambar 4. 2 l c adalah hasil positif pemeriksaan IHK alkaline phosphatase dari sampel jaringan sarcoma.
Dari basil pemeriksaan IHK ALP jaringan yang diambil dari kelinci ST kelompok BKPH positif (n= 1 ) kelompok PH positif (n=3) dan kelompok KPH ,
positif (n=3)
selurubnya menunjukkan adanya gambaran berwarna kecoklatan
yang menyerupai kontrol positif.
6. 6. 10. 6
HasH Pemeriksaan Osteopontin Jaringan Tulang
Seperti balnya pada perneriksaan IHK ALP pada jaringan, perneriksaan OPN pada jaringan dilakukan dengan metode Streptavidin-HRP. Slide diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 400x dan hasilnya dibandingkan dengan kontrol positif. Hasil dinyatakan positif jika terdapat garnbaran berwama kecoklatan yang sesuai dengan gambaran kontrol.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
61 t
Gambar 15. Pengamatan IHK OPN Jaringan Lesi ST Kelinci. Hasil pemeriksaan OPN lesi dari kelompok kelinci ST yang diberikan SPM dapat dilihat pada gambar 4. 22a-g: tampak sel sel jejeran sel osteoblast (panah bin1) yang dikelilingi oleh matriks tulang berwarna coklat (panah coklat) menyerupai gambaran pada kontrol positif (gambar 4. 22w), juga tampak sebagian daerah pembentukan tulang baru yang sudah selesai (panah hijau) yang tidak dijumpai pada gambar 4. 22h-n Hasil pemeriksaan OPN lesi dari kelompok kelinci ST yang tidak diberikan SPM dapat dilihat pada gambar 4. 22h-n: walaupun jejeran sel sel osteoblast (panah biru) tidak sebanyak pada gambar 4. 22a-g namun gambaran matriks tulang berwarna coklat (panah coklat) dapat kita temui menyerupai gambaran matriks kontrol positif JHK (gambar 4. 22w). Hasil pemeriksaan OPN lesi dari kelompok kelinci non infeksi yang tidak diberikan SPM dapat dilihat pada gambar 4. 22o-v: walaupun jejeran sel sel osteoblast (panah biru) tidak sebanyak pada gambar 4. 22a-g namun gambaran matriks tulang berwarna coklat (panah coklat) dapat kita temui menyerupai gambaran matriks kontrol positif IHK (gambar 4. 22w). Semenara gambar 4.22w adalah kontrol positif t hasil pemeriksaan IHK osteopontin dari j aringan breast cancer.
6. 6. 10. 7 Ha sil Pemeriksaan CBFA-1 Jaringan Tulang
Untuk melihat keberadaan CBFA-1 di jaringan lesi terutama di daerah defek dilakukan pemeriksaan irnunofluoresen dengan cara melekatkan jaringan lesi ST segar di atas kaca objek, kemudian direaksikan dengan antibodi primer CBFA- 1 , diinkubasi dan dicuci menggunakan PBS, selanjutnya ditambahkan antibodi sekunder berlabel fluoresens (goat anti rabbit IgG-CFL) dan diinkubasi kembali sebelum dikeringkan. Slide selanjutnya diamati dengan mikroskop fluoresens menggunakan pembesaran 400x dan hasilnya dibandingkan dengan kontrol positif (gambar 4. 23). Hasil dinyatakan positif jika terdapat gambaran sel yang berpendar hijau yang sesuai dengan gambaran kontrol. Dari hasil pemeriksaan CBFA-1 jaringan Iesi yang diambil dari kelinci ST kelompok BKPH positif (n= l ) dan kelompok KPH positif (n=3) menunjukkan adanya pendar hijau pada sel osteoblas yang menyerupai kontrol positif,
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
62 t
sementara pada kelinci ST sub kelompok PH positif (n=3) hanya 2 dari 3 sampel yang menunjukkan adanya pendar hijau pada sel osteoblas.
_ ! . 'I
� II
t
II
II
a
· �
J
a
a
--�·
I
a
I
i; '-'...
II t
a
II
I
I
a
I
,.
I
IJI
•
1!1
a
II
Gambar 16. Pengamatan lmunotluoresen CBFA-1 terhadap Jaringan Lesi ST Kelinci. Hasil pemeriksaan lesi dari kelompok kelinci ST yang diberikan SPM seperti yang terlihat pada gambar 4.23a memperlihatkan pembentukan tulang (panah hijau), skafold yang tersamar (panah kuning), kumpulan sel osteoblas (panah biru) dan pendaran hijau yang menunjukkan CBFA- I positif (panah coklat). Hasil pemeriksaan lesi dari kelompok kelinci ST yang tidak diberikan SPM terlihat pada gambar 4.23b memperlihatkan pendaran hijau CBFA-1 positif (panah coklat), kumpulan sel osteoblas (panah biru) dan skafold yang tersamar (panah kuning) . Sementara gambar 4. 23c adalah kontrol positif CBFA- 1 . Dari gambar 4. 23a dan 4. 23b terlihat baik kelompok kelinci ST yang diberikan SPM maupun yang tidak diberikan SPM sama sama memberikan pendar hijau fluoresensi.
6. 6. 10. 8
Hasil Skoring Aktititas Osteoblas
TabeJ 19 menunjukkan basil penghitungan skoring aktifitas osteoblas pada keJinci ST yang diberikan SPM pada masing-masing sub kelompok Jingkungan mikroskopis MTb. Dari basil terlihat bahwa ketiga sub kelompok lingkungan mikroskopis MTb tidak memengaruhi aktifitas osteoblas.
63
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012 t
Tabel 2 1 Hasil Penghitungan Total Skor Aktifitas Sel Osteoblas Per Kelompok Lingkungan M ikroskopis OPN
Kclinci
Suh Kelompok
Skor
K0964
OPN
lesi
darah
BKPH positif
K0505
ALP
ALP
CBFA-1
lcsi
Total
Skor
lesi
Skor
darah
Skor
Skor
50
5
50
5
50
160
Aktif
PH positif
50
5
50
5
50
160
Aktif
K3164
PH positif
50
5
50
5
5
1 15
Aktif
K2964
PH positif
50
5
50
5
50
160
Aktif
K0509
KPH positif
50
5
50
5
50
160
Aktif
K3264
KPH positif
50
5
50
5
50
160
Aktif
K05 1 9
KPH positif
50
5
50
5
50
160
Aktif
Kode
Nilai skor < I 00
tidak aktit; nilai skor I 00 sd
skor
Kctcrangan
175 aktif; nilai skor > 175 lebih aktif
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
64 t
Pengamatan Proses Osifikasi pada Lingkungan Mikroskopis
6. 6. 1 1
Mycobacterium tuberculosis
Untuk mengamati proses osifikasi pada lingkungan mikroskopis MTb maka dilakukan evaluasi terhadap 3 variabel osifikasi yaitu jumlah osteoblas, jumlah osteosit dan kadar kalsium.
Kelinci ST yang ditransplantasikan SPM
kedalam defeknya berdasarkan lingkungan mikroskopis MTb dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok BKPH positif, kelompok PH positif dan kelompok KPH positif seperti dapat dilihat pada tabel 20. Tabel 22. Evaluasi Variabcl Osifikasi : Hitung Osteoblas, Hitung Osteosit dan Kadar Kalsium Jaringan Lesi. Variabel
BKPH positi f ( n = l ) n=l
Jumlah sel Osteoblas Jumlah Sel Osteosit Kadar Kalsium
PH positif (n=S)
KPH positif(n=3)
p
rerata ± SD
n=3
rerata ± SD
n 3
rerata ± SD
300
3
207 ± 3 1
3
220,33 ± 73,46
Na
0
3
3 1 ,00 ± 26,87
3
18,33 ± 30,04
Na
2,29
3
2,51 ± 0,13
3
2,94 ± 0,89
Na
=
BKPH BTA, Kultur, PCR, Histopatologi; PH = PCR, Histopatologi; KPH = Kultur, PCR, Histopatologi =
6. 6. 1 1 . 1 Hasil Hitung Sel Osteobias
a
b
Gambar 1 7 . Pcngamatan Terhadap Slide Pulasan liE Menggunakan Mikroskop Dengan Pcmbesaran 400x. Jaringan dipersiapkan dari pemotongan sagittal melewati defck yang terbentuk dari arah sisi lateral. a. Slide dari kelompok kclinci spondilitis yang dibcrikan sel punca mensenkimal ke dalam defeknya, tampak area kosong yang terisi skafold, ada pula area berupa pulau-pulau tulang. Tampak pula di bcberapa area ditempati serbukan sel radang. Jelas terlihat sel sel osteoblas yang membentuk formasi bcrjejer di sekeliling pulau tulang, demikian pula tampak sel-sel osteosit yang menunjukkan sudah tcrjadinya proses penulangan yang sempuma. b. Slide dari kelompok kclinci terinfeksi yang tidak diberikan sci punca mesenkimal, sebagian area tampak scrbukan sel radang, tampak pula area kosong yang terisis skafold. Tidak tampak area pulau-pulau tulang, tampak scl-sel ostcoblas berjejcr rnengelilingi skafold, tidak tampak gambaran sel oslcosil.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
65 t
. Sel osteoblas diamati dan dihitung jumlahnya pada lima lapang pandang oleh dua orang pengamat yang berbeda, kemudian basil penghitungan tersebut dirata-ratakan. Dari pengamatan terhadap pulasan HE menggunakan pembesaran 400x diperoleh rerata jumlah sel osteoblas intra defek kelinci ST kelompok BKPH
positif (n positif (n
=
=
I ), rerata jumlah scl osteoblas intra defck kclinci ST kelompok P H 3 ) dan kelompok KPH positif (n
207,00 sel (SD
=
3 1 ,00) dan 220,33 sel (SD
=
=
3 ) berturut turut adalah 300,00 sel,
73,46).
6. 6. 1 1 . 2 Hasil Hitung Sel Ostcosit
Seperti halnya pada pengamatan sel ostcoblas, sel osteosit diamati dan dihitung jumlalmya pada lima lapang pandang oleh dua orang pengamat yang berbeda, kemudian hasil penghitungan tersebut dirata-ratakan. Dari pengamatan terhadap pulasan HE menggunakan pembesaran 400x tidak ditermukan satupun sel osteosit pada kelinci ST kelompok BKPH positif (n = 1 ) , Sementara ditemukan 3 1 sel (SD (SD
=
=
26,87) pada kelinci ST kelompok P H positif dan 1 8,33 sel
30,04) pada kelinci ST kelompok KPH positif (n
=
3).
6. 6. 1 1 . 3 Pengamatan Kadar Kalsium
Sampel tulang kelinci didestruksi dengan cara basah menggunakan campuran HCI04 dan H N 03 pekat dan pemanasan di atas hot plate. Larutan yang dihasilkan dari proses clestruksi selanjutnya cliencerkan dan diukur cmisinya menggunakan
instrumcntasi
Atomic
Emision
Spectrofotometer
(AES).
Spektrogram yang didapatkan clari read out alat dihitung tinggi puncaknya dan dibanclingkan antara stanclar clan sampel menggunakan pcrsamaan least square. Kadar kalsium tulang kelinci ST kelompok BKPH positif (n
=
1 ) aclalah 2,29%,
rerata kadar kalsium tulang kelinci ST kelompok P H positif (n = 3) clan kelompok KPH positif (n
=
3) berturut turut adalah 2,5 1 % (SD
=
0, 1 3) dan 2,94% (SD
=
0,89).
•
66
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012 , - --
·
6. 6. 1 1 . 4 Hasil Skoring Osifikasi
Tabel 2 1 menunjukkan basil pengbitungan skoring osifikasi pada kelinci yang diberikan SPM pada masing-masing sub kclompok lingkungan mikroskopis MTb.
Berdasarkan penghitungan skoring osifikasi didapatkan basil babwa
kelompok BPKH positif dan kelompok KPH positif mengalami proses osifikasi yang bctjalan dengan baik, sedangkan pada kelompok PH positif terdapat I kelinci mengalami proses osifikasi yang terhambat, 1 ekor kelinci mengalami proses osifikasi yang berjalan normal dan 1 ekor lainnya mengalami proses osifikasi yang betjalan baik.
Tabei 23. Hasil .Penghitungan skoring ositikasi setiap sampel kelinci ST yang dibcrikan SPM per sub kelompok lingkungan mikroskopis MTb
Kode Kelinci K0964
Kelompok
BK.PH
positif
IIi tung osteoblast
IIitung osteosit
Kadar kalsium
Skor
Skor
Skor
15
5
Total skor
Keterangan
15
35
Osifbaik
K3164
PH positif
5
15
15
35
Osifbaik
K0505
PH positjf
5
5
15
25
Osif normal
K2964
PH positif
15
17
Osif terhambat
K0509
KPH positif
15
31
Osifbaik
K3264
KPH positif
15
31
Osifbaik
K0519
KPH positif
15
31
Osi f baik
15 15 15
Total skor 1 8 disebut osifikasi terhambat; Tota l skor 1 8 sd 30 discbut osifikasi normal, Total skor > 30 disebut osifikasi baik
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
67 t
-
� --
-
6. 6. 12
Pcngamatan
Proses
Fusi
pada
Lingkungan
Mikroskopis
Mycobacterium tuberculosis
Untuk mengamati fusi atau pembcntukan jembatan
tulang
pada
lingkungan mikroskopis MTb dilakukan eva]uasi terhadap variabel fus] yaitu palpasi manual (kaku atau tidak kaku), luas tulang yang terbentuk (prosentasc LTID, LTPLP, LTSLD), scrta luas ka!us (AP dan lateral). Kclinci ST yang ditransplantasikan SPM kedalam defeknya bcrdasarkan lingkungan mikroskopis MTb
dibagi atas 3 kelompok yaitu kelompok BKPH positif, kclompok PH positif
dan kelompok KPH positif scsuai tabel 22. Tabcl 24. Evaluasi Variabel Fusi Eada Lin&kungan Mikroskoeis MTb BKPH positif
Variabel
PH positif
KPII positif
p
rerata ± SO
n=3
rcrata J SD
n=3
rcrata ± SO
PM
0/J
3
J/3
3
1/3
Na
PLTID
40
3
40,67 l: 12,50
3
30,00 ± 14.00
Na
LTPLP
0,06
3
0,067 ± 0,021
3
0,047 ± 0,021
Na
LTSLD
0,227
3
0,23 ± 0,07
3
0,155 ± 0,067
Na
LKAP
75,73
3
25,77 ± 9,79
3
34,297 ± 7,422
Na
LKL
2 1 ,79
3
23,71 ± 8,34
3
25,187 ± 5,607
Na
n
I
BKPH BTA, Kultur, PCR, l l istopatologi; PH PCR, Histopatologi; KPH Kultur. PCR, Ilistopatologi; PM = Palpasi manual; PLTID Prosentase Luas tulang intra defek; LTPLP Luas tulang pcrlapang pandang; LTSLD Luas tulang sisi lateral defek; LKAP Luas kalus proyeksi antero-posterior; LKL = Luas kalus proyeks lateral =
=
=
=
=
=
Keterangan untuk palpasi manual: angka yang ditunjukkan adalah angka yang lebih kaku. Jadi angka 1/3 menunjukkan ada I kelinci yang menunjukkan hasil lebih kaku diantara 3 kelinci
6. 6. 12. 1 Basil Palpasi Manual (PM)
PM dilakukan pada saat kelinci ST dinckropsi. Vertebra yang mendapat perlakuan (inokulasi dan TTSSA6) berikut satu vertebra sehat disisi kran]al dan kaudal dipisahkan dari organ tulang belakang. ldentifikasi dilakukan dengan memperhatikan posisi stapler kemudian stapler dilepaskan. Dilakukan manipulasi fleksi, ekstcnsi, lateral bending kiri dan kanan, dan manipulasi krcpitasi ke segala arah. Ditentukan secara subjektif apakah terdapat pergerakan yang memiliki kesan tidak kaku, kaku atau lebih kaku. Pada tabel 23 diperlihatkan hasil P M pada kelinci ST kelornpok BKPH positif, PH positif dan KPH positif. Hasil PM pada kelompok BKPH positiftidak
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
68 ,
ada yang positif, artinya tjdak tercapai proses fusi dengan kekakuan yang diharapkan. Hasil PM dari kelompok PH positif menunjukkan terdapat 1 kelinci dengan PM positif sementara 2 kelinci lainnya sama dengan kelompok kontrol. Demikjan pula hasil palpasi
manual pada kelompok KPH positif yang
menunjukkan terdapat 1 kelinci dengan PM positif sementara 2 kelinci lainnya hasil pa1pasi manualnya sama dengan kelompok kontrol. 6. 6. 12. 2
Hasil Penghitungan Prosentase Luas Tulang yang Terbentuk Intra Defek
Prosentase luas tulang yang terbentuk intra defek dihitung berdasarkan proporsi tu1ang yang terbentuk di setiap lapang pandang. Untuk setiap slide dilakukan pengamatan pada lima lapang pandang oleh dua pengamat yang berbeda kemudian dihitung rerata prosentasenya. Prosentase luas tulang yang terbentuk intra defek pada kelinci ST kelompok BKPH positif (n Rerata
=
1 ) adalah 40%.
prosentase luas tulang yang terbentuk intra defek pada kelinci ST
kelompok PH positif (n
=
3) adalah 40,67% (SD
=
1 2,50). Rerata prosentase luas
tulang yang terbentuk intra defek pada kelinci ST kelompok KPH positif (n
=
3)
adalah 30,7% (SD = 1 4,00).
Gambar L8. Pengamatan terhadap slide pulasan HE menggunakan mikroskop dengan pembesaran 400x. Jaringan dipersiapkan dari pemotongan sagittal melewati defek yang terbentuk dari arah sisi lateral. a. Slide dari kelompok kelinci spondilitis yang diberikan sel punca mensenkimal ke dalam defeknya. Pada gambar tampak pulau pulau tulang yang terbentuk di antara skafold. b. Slide dari kelompok kelinci terinfeksi yang tidak diberikan sel punca mesenkimal. Tampak area tulang berupa pulau pulau diantara skafold. Dibandingkan dengan slide dari kelompok kelinci yang diberikan sel punca mesen.kimal, pulau pulau tulang yang terbentuk pacta slide kelompok yang diberikan sel punca mesen.kimal lebih dominan
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
69 t
6. 6. 12. 3 Luas Area Tulang yang Terbentuk Per Lapang Pandang
Luas area tulang yang terbentuk per lapang pandang adalah luas area tulang yang sesungguh.nya terbentuk pada satu lapang pandang yang diperolch dengan cara mengalikan prosentase luas area tulang dengan faktor konversi luas area per lapang pandang sesuai luas area sesungguhnya. Diketahui bahwa faktor konversi luas area satu lapang pandang pe111besaran 400x (menggunakan lensa 2 objektif 40x dan len sa okuler I Ox) adalah 0, 1 6 m111 , sehingga dengan mengalikan prosentase area tulang dengan 0, 1 6 111aka diperoleh angka luas area tulang yang terbentuk dalam millimeter persegi. Luas tulang perlapang pandang yang terbentuk intra defek pada kelinci ST 2 kelompok BK.PH positif (n I ) adalah 0,06 111111 . Rerata luas tulang perlapang =
pandang yang terbentuk intra defek pada kelinci ST kelompok P H positif (n adalah 0,07 mn/ (SD
=
0,02). Rerata
luas tulang perlapang pandang
terbentuk intra defek pada kelinci ST kelompok KPH positif (n (SD
=
=
=
3)
yang
3) adalah 0,05%
0,02).
6. 6. 1 2. 4 Luas Area Tulang Sisi Lateral yang Terbentuk per Luas Defek
Luas area tulang sisi lateral yang terbentuk per luas defek adalah luas area tulang yang terbentuk pada setiap luas area sisi lateral defek korpus kelinci yang diperoleh dengan cara 111embagi luas area sisi lateral yang terbentuk dengan luas area sisi lateral defek pada korpus masing masing kelinci. Luas tulang sisi lateral defek pada kelinci ST kelompok BKPH positif (n 2 I ) adalah 0,227 mm . Rerata I uas tulang sisi lateral defek pad a kelinci ST kelompok PH positif (n = 3) adalah 0,230 rnm2 (SD 0,07). Rerata luas tulang
=
=
sisi lateral defek pada kelinci ST kelompok KPH positif (n mm2 (SD 0,067).
=
3) adalah 0,1 55
=
6. 6. 12. 5
Luas Kalus Intra Defek Proyeksi Antero Posterior
Luas area kalus intra dcfek proyeksi anteroposte1ior adalah luas area kalus yang tidak beraturan dari foto rontgen anteroposterior enam minggu setelah prosedur TTSSA6, pembuatan defek, penambahan skafold dan atau penambahan SPM. Luas kalus ini dihitung dengan menggunakan software image J. Caranya
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
70 t
adalah dengan menghitung luas arsiran kalus intra defek (berwarna merah) dan kalus ekstra defek (berwarna biru) menggunakan foto scanner hasil dupliksasi foto rontgen menggunakan kertas kalkir. Luas area kalus intra defek proyeksi anteroposterior pada kelinci ST sub kelompok BKPH positif (n
=
I ) adalah 75,73
mm2.
Rerata luas area kalus intra
defek proyeksi anteroposterior pada kelinci ST sub kelompok PH positif (n adalah 25,77 mm2 (SD
=
9,79). Rerata
(SD
=
3)
luas area kalus intra defek proyeksi
anteroposterior pada kelinci ST sub kelompok KPH positif (n mm2
=
=
3) adalah 34,30
5,61).
b
c
d
Gambar 1 9 . Memperlihatkan gambar foto rontgen dan arsiran kalus a. Foto rontgen anteroposterior daerah thorakolumbal kelinci pada enam minggu setelah prosedur ITSSA6, pembuatan defek, penambahan skafold dan SPM. a. Pada lesi T 1 2 tampak pertumbuhan kalus intra defek dan ekstra defek. b. Hasil arsiran korpus vertebra T l 2 proyeksi anteroposterior (gambar 4. 1 1 a). Arsiran berwarna merah menunjukkan area kalus intra defek T l 2 . Arsiran berwarna biru menunjukkan area kalus ekstra defek. c. Foto rontgen anteroposterior daerah thorakol umbal kelinci pada enam minggu setelah prosedur TTSSA6, pembuatan defek, penambahan skafold tanpa pemberian SPM.Pada lesi T 1 2 tampak pertumbuhan kalus intra defek dan ekstra defek. d. Hasil arsiran korpus vertebra T 1 2 proyeksi anteroposterior ( gambar 4. 1 1 c). Arsiran berwarna merah menunjukkan area kalus intra defek T l 2 . Arsiran berwarna biru menunjukkan area kalus ekstra defek.
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
71 t
6. 6. 12. 6
Seperti
Luas Kalus Intra Defek Proyeksi Lateral
halnya pengukuran
luas area kalus intra defek
anteroposterior, luas area kalus intra defek proyeksi
proyeksi
lateral juga diukur
menggunakan software image J. Luas area kalus intra defek proyeksi lateral pada kelinci ST kelompok BKPH positif (n
=
2 1) adalah 2 1 ,79 mm . Rerata luas area
kalus intra defek proyeksi lateral pada kelinci ST kelompok PH positif (n = 3) 2 adalah 23,71 mm (SD 8,34). Rerata luas area kalus intra defek proyeksi lateral =
pada kelinci ST kelompok KPH positif (n
=
mm2
3) adalah 25,87
(SD = 5,61).
b
d Gambar 20. Memperlihatkan gambar foto rontgen dan arsiran kalus, a. Foto rontgen lateral daerah thorakolumbal kelinci pacta enam minggu setelah prosedur TTSSA6, pembuatan defek, penambahan skafold dan SPM. Pacta Jesi T12 tampak pertumbuhan kalus intra defek dan ekstra defek. b. Hasil arsiran korpus vertebra T 1 2 proyeksi lateral (gambar 4.12 a). Arsiran berwarna merah menunjukkan area kalus intra defek Tl2. Arsiran berwarna biru menunjukkan area kalus ekstra defek. c. Foto rontgen lateral daerah thorakolumbal kelinci pacta enam minggu setelah prosedur TTSSA6, pembuatan defek, penambahan skafold tanpa pemberian SPM.Pada lesi Tl2 tampak pertumbuhan kalus intra defek dan ekstra defek. d. Hasil arsiran korpus vertebra Tl2 proyeksi lateral ( gambar 4.12 c). Arsiran berwarna merah menunjukkan area kalus intra defek Tl2. Arsiran berwarna biru menunjukkan area kalus ekstra defek.
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
72 t
Tabel 24 mcnunjukkan hasil penghitungan skoring fusi pada kelinci yang diberikan SPM pada masing-masing kelompok lingkungan mikroskopis MTb. Berdasarkan skoring ini pada kelompok BPKH positif diperoleh pembentukan jembatan tulang yang wajar, pada kelompok KPH positif terdapat dua ekor kelinci dari tiga ekor kelinci yang mengalami gangguan fusi dan satu kelinci mengalami fusi yang lebih baik. Pada kelompok PH positif terdapat satu ckor kelinci yang mengalami proses fusi yang terhambat, satu ekor kelinci yang mengalami proses fusi yang normal dan satu ekor lainnya mengalami proses fusi yang berjalan lebih baik.
Kode kelinci
Tabel 25. Hasil penghitungan total skoring fusi setiap sampel kelinci ST PM PLTID LTPLP LTSLD LKAP LKL Total Sub kelompok Skor skor skor skor Skor Skor skor
K0964
BKPH positif
Keterangan Fusi
30
20
20
20
20
5
115
Normal
K3164
PH
positif
30
10
10
20
3
5
108
Nonnal
K0505
PH positif
30
10
10
20
3
3
76
Terhambat
K2964
P H positif
135
5
5
20
3
10
178
lebih baik
K0509
KPH positif
30
3
3
5
5
3
49
Terhambat
K3264
KPH positif
135
3
10
10
3
3
164
lebih baik
K0519
KPH
3
3
3
5
3
3
20
Terhambat
positif
Skor kurang dari 94 artinya fusi tcrharnbat; skor 94 sd 1 4 1 a11inya fu�i dalam batas normal; skor diatas 141 artinya fusi tercapai lebih baik
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
73 t
7. PEMBAHASAN 7. 1 Kultur dan Karakterisi Sci Punca Mesenkimal Kelinci
Untuk mendapatkan hasil kultur sel yang optimum diperlukan perhatian menyangkut sumber bahan, proses kultur dan proses karakterisasi. Untuk mendapatkan sumsum tulang pada penelitian ini dilakukan prosedur aspirasi dari tulang iliaka dan proscdur eksisi tulang panjang dati kelinci donor. Prosedur ini dipihh dengan tujuan untuk mcndapatkan bahan kultur sebanyak-banyaknya sehingga mencukupi untuk ditransplantasikan ke dalam defek kelinci ST. Dari hasil pengamatan kul tur pad a minggu pertama terlihat bahwa kultur SSST yang berasal dari prosedur aspirasi krista iliaka menunjukkan pertumbuhan yang cepat dengan morfologi miri p spindle-like yang men empel pada permukaan flasks kultur. Hal ini sedikit berbeda dengan hasil kultur sumsum tulang yang berasal clari prosedur eksisi tulang yang menunjukkan pertumbuhan yang cepat, tetapi hanya sedikit yang morfologinya mirip spindle like dan menempel di permukaan
flasks kultur.
Hal
ini
kemungkinan
disebabkan
oleh
terlalu
padat/banyaknya sel sehingga tidak dapat tumbuh dengan optimum akibat kekurangan nutrisi. Perbedaan lain antara kultur sel yang berasal dari proseclur aspirasi krista iliaka dan prosedur eksisi tulang adalah tidak ditemukan adanya kontaminasi pada kultur sel yang berasal dari prosedur aspirasi k1ista iliaka, sementara pada kultur sel yang bcrasal dati prosedur eksisi tulang ditemukan 9 flasks kultur (9/44) yang terkontaminasi bakteri maupun jamur sehingga tidak dapat cligunakan (dibuang). Kontaminasi ini berkaitan dengan prosedur pengambilan dan persiapan jaringan. Proseclur eksisi tulang berpeluang besar terkontaminasi karena pada prosedur ini memungkinkan terjaclinya eksposure jaringan yang luas. Setelah melalui proses pencucian dengan PBS, pemberian medium segar dan pasase pertama pada minggu ke-2, semua kultur sel tumbuh clengan baik dengan morfologi semakin mirip dengan spindle-like dan menempel eli permukaan flasks kultur. Pasase kedua dilakukan pada minggu ke-2 clan pada akhir minggu ke-4 semua kultur konfluen clengan jumlah total SSST yang dihasilkan 1 22,9 x 1 0 6 sel yang selanjutnya clibagi dalam 3 flasks besar. Dari jumlah sel yang
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
74 t
--
---
------ �-
----
----
.
dihasilkan, diputuskan untuk setiap kelinci grup 1 B dilakukan transplantasi SPM menggunakan 6 x 1 06 sel / 1 50 IlL serum. Sebelum
dilakukan
transplantasi
dilakukan karakterisasi
sel
punca
mesenkimal menggunakan metode i munofluoresen. SPM berbentuk fus�form, seperti fl.broblas dan pada pertumbuhan awal in vitro membentuk koloni (analog dengan sel induk hematopoetik : CFU-f. Sel ini akan memberikan hasil negatif terhadap marker pcnnukaan hematopoietik : CD34, CD45, CD 14, CD3 1 , CD 1 33, dan basil positif terhadap marker permukaan mesenkimal : CD 1 3, CD44, CD 54, CD55, CD7 1 , CD73, CD90, CD 1 05 , C D 1 20a, CD1 24, dan C D 1 66. Sel yang telah difiksasi menggunakan aseton ditambahkan antibodi primer spesifik rabbit CD I 05 dan rabbit CD73 sebagai penanda permukaan sel punca mesenkimal, dan antibodi primer spesifik rabbit CD 34 sebagai penanda permukaan sel punca hematopoietik. Sebagai antibodi sekunder berlabel fluoresen digunakan mouse anti goat lgG FITC. Slide berisi sel yang telah dilabel selanjutnya diamati di bawah mikroskop fluoresensi. Hasil positif didapatkan jika dihasilkan pendar fluoresensi berwarna hijau, sedangkan basil negatif didapatkan jika tidak dihasilkan pendar fluoresensi berwama hijau. Hasil karakterisasi terhadap
SSST yang akan
digunakan
untuk
transplantasi
defek
kelinci
menunjukkan bahwa SSST tersebut adalah SPM, hal ini ditandai dengan hasil positif pada slide yang ditambahkan antibodi CD105 dan CD73 dan hasil negatif pada slide yang ditambahkan antibodi CD34. Sebagai skafold dan carrier S P M pada penelitian ini digunakan serbuk HA yang berasal dari Bank Jaringan Dr. Sutomo Surabaya.
Pemilihan skafold ini
mempertimbangkan toksisitas jaringan, bentuk sediaan dan kemudahan prosedur penggunaan. A.F Kamal dalam penelitiannya membuktikan bahwa serbuk H A yang berasal dari Bank J atingan Dr Sutomo Surabaya termasuk kedalam kategori skafold yang memiliki toksisitas yang rendah. Selain itu untuk kemudahan aplikasi penempatan, sediaan skafold berbcntuk serbuk lebih sesuai untuk ditempatkan di dalam defek kecil dengan volume kurang dari 1 0 mm
x
1 0 mm
x
1 0 mm. Karena protokol penelitian ini menghendaki penempatan SPM dengan cara melakukan penetesan langsung ke area defek menggunakan mikro pipet,
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
75 t - ------- -�
maka sediaan serbuk HA akan sangat flcksibcl dalam membcrikan ruang bagi sel untuk dapat menyebar dan mengisi defek.
7. 2
Pcrnbuatan
Model
Kelinci
dengan
Korpus
Terinfeksi
Bakteri
Mycobacterium tuberculosis 7. 2. 1 Teknik Inokulasi Bakteri
Bakteri MTb secara mikroskopis berhasil diinokulasikan ke dalam korpus vertebra kelinci. Keberhasilan inokulasi ini mencapai angka 1 00% karena paling tidak terdapat satu hasil positif (berhasil mendeteksi keberadaan bakteri MTb pada lesi korpus) dari empat modalitas pemeriksaan diagnostik yang dilakukan setelah delapan minggu prosedur inokulasi. Hasil ini sangat berbeda dengan hasil pra penelitian yang angka keberhasilannya hanya 50%. Peningkatan basil inokulasi yang mencapai 1 00% ini disebabkan karena adanya perbaikan terhadap protokol dan prosedur inokulasi bakteri antara lain: peningkatan kuantitas bakteri MTb yang diinokulasikan, pembuatan Jubang inokulasi dengan ukuran diameter lebih besar dan pemaparan lubang inokulasi dengan udara luar melalui penundaan proses penutupan luka selama 1 5 sampai 20 menit. Selain itu waktu inkubasi selama delapan minggu sebclum dilakukan pemeriksaan diagnostik juga memberi peluang pada bakteri MTb untuk tumbuh di dalam korpus vertebra dan menunjukkan eksistensinya. Jumlah populasi bakteri MTb sebanyak 1 08 cfu/mL merupakan k uantitas bakteri MTb tertinggi yang dapat dibuat di laboratorium mikrobiologi klinik FKUI berdasarkan Mc-Farland Nephelometer Standard. Kuantitas sebesar ini mcnjadi pilihan terakhir yang dapat digunakan pada penelitian ini dengan tujuan untuk meningkatkan jurnlah bakteri yang bertahan hidup dalam menghadapi sistem imun kelinci sekaligus dapat berkembang biak dalam korpus vertebra kelinci. Lubang inokulasi pada penelitian ini diperlebar menjadi 1 ,5 mm, dari diameter pada pra penelitian yang hanya I ,0 mm dengan tujuan untuk memperluas permukaan dimana bakteri terpapar pada lingkungan mikroskopis korpus vertebra. Demikian pula pemaparan lubang inokulasi dengan udara luar selama 1 5 sampai 20 menit dilakukan dengan tujuan rnemberikan kesempatan pada bakteri MTb untuk dapat memanfaatkan oksigen sebanyak mungkin dari luar.
Sejumlah faktor diatas
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
76 t
-
-
- -
mendukung bakteri MTb untuk dapat hidup dalam lingkungan korpus vertebra sehingga meningkatkan keberhasilan inokulasi mencapai 1 00%.
7. 2. 2 Morbiditas dan Mortalitas
Pada
prosedur
inokulasi
bakteri
MTb,
risiko
cidera saraf yang
mcngakibatkan pcnurunan kckuatan motorik dapat disebabkan oleh cidera langsung maupun cidera tidak langsung. Yang dimaksud dengan cidera langsung adalah cidera yang diakibatkan oleh keteledoran prosedur yang mengakibatkan gangguan mekanik pada saraf dapat berupa luka, penekanan atau robekan. Cidera langsung ini akan mengakibatkan penurunan kekuatan motorik yang diketahui segera setelah kelinci bebas dari pengaruh obat anestesi. Sedangkan yang dimaksud dengan cidera tidak langsung adalah cidera saraf akibat proses infeksi lv!Tb.
Cidera jenis ini tidak diketahui selama prosedur dikerjakan sampai pada
masa inkubasi bakteri MTb terlewati. Kelinci yang mengalami cidera tidak langsung akan langsung beraktifitas kembali sesaat setelah terbebas dari pengaruh obat anestesi pada prosedur inokulasi. Cidera tidak Iangsung pada saraf ini dapat terjadi akibat invasi langsung bakteri MTb kc dalam saraf, akibat destruksi pada struktur tulang yang mengakibatkan munculnya ketidakstabilan tulang sehingga menggangu Saraf, ataupun akibat terbentuknya pus dan jaringan nekrotik akibat proses infeksi, yang menumpuk di dalam kanalis spinalis kemudian menekan saraf Dua puluh ekor kelinci yang digunakan scbagai sampel pada penelitian ini tidak mengalami pcnurunan kekuatan motorik langsung setelah prosedur inokulasi bakteri MTb di korpus vertebra selesai dilakukan, artinya kesalahan akibat prosedur inokulasi dapat diantisipasi clengan baik mclalui penyempumaan prosedur dan latihan yang memadai bagi para operator yang terlibat prosedur inokulasi bakteri MTb saat pra penelitian berlangsung. Evaluasi selama 8 minggu sejak prosed ur inokulasi selesai dilakukan memperlihatkan 3 dari 27 ekor kelinci mengalami penurunan kekuatan motorik bcberapa minggu setelah dilakukan prosedur inokulasi. Penurunan kekuatan motorik pacla satu kelinci
tcrjadi pada minggu ke-2 pasca prosedur inokulasi
bakteri, sementara pada dua kelinci lainnya terjadi pada minggu ke-4 pasca
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
77
-J------------------�
prosedur inokulasi bakteri MTb. Kejadian ini menunjukkan bahwa selama waktu inkubasi 8 minggu, berlangsung proses infeksi pada minggu ke-2 dan ke-4 yang dapat
menimbulkan
gangguan
saraf
dan
penurunan
kekuatan
motorik.
Pemeriksaan nekropsi pada ketiga kelinci ini menunjukkan terjadinya invasi bakteri ke medula spinalis, tidak terdapat kerusakan yang mengakibatkan destruksi luas pada tulang belakang. Demikian pula tidak ditemukan tumpukan pus dan jaringan nekrotik didalam kanal yang mengganggu hantaran saraf.
Gambar 2 1 . Kelumpuhan pada Kelinci Setelah Prosedur Inokulasi Bakteri MTb
Selain terjadi penurunan kekuatan motorik pada tiga ekor kelinci, terjadi pula kematian pada dua ekor kelinci dari dua puluh tujuh ekor kelinci yang dilakukan prosedur inokulasi. Kematian kelinci ini terjadi pada minggu ke-4 dan mmggu
ke-7 setelah prosedur inokulasi, dan kedua kelinci mengalami
kelumpuhan sebelum akhirnya mati. Nampaknya kejadian kelumpuhan ini berhubungan erat dengan kejadian kematian kelinci selama observasi karena kelumpuhan menyebabkan penurunan kualitas hidup kelinci. Observasi pada kedua kelinci ini menunjukkan bahwa pada awalnya kelinci tersebut mengalarni gangguan huang air besar, gangguan buang air kecil, dan gangguan mobilitas. Ketiga gangguan ini mengakibatkan gangguan higienis kelinci dan penurunan nafsu makan dibandingkan kelinci lainnya. Bulu-bulu di daerah ekor setinggi tulang panggul tampak mengalami kerontokan. Pada pemeriksaan nekropsi tidak terdapat tanda-tanda infeksi selain di daerah lesi sesuai lokasi inokulasi bakteri. Diperkirakan kematian kelinci ini disebabkan oleh gangguan kualitas hidup karena perburukan nutrisi bukan karena proses infeksi yang merusak organ vitaL
•
Laporan Akhir Risbin lptekdo k 2012
78
Gambar 2 1 . Nekropsi Kelinci yang Mati Setelah Prosedur Inokulasi Bakteri MTb
7. 2. 3 Terciptanya Model Kelinci Spondilitis tuberkulosis
Keberhasilan inokulasi bakteri MTb diamati dengan melihat tanda-tanda aktifitas bakteri tersebut secara mikrobiologi di jaringan yang diinokulasi dan melihat respon jaringan terhadap eksistensi bakteri secara histopatologi. Terdapat empat modalitas pemeriksaan yang digunakan untuk kepentingan pengamatan ini yaitu pewarnaan BTA, pemeriksaan kultur, pemeriksaan PCR dan pemeriksaan h istopatologi. Pada penyakit infeksi bakteri, sifat dan perilaku bakteri penyebab infeksi menjadi hal yang sangat menentukan terkait dengan gejala penyakit itu sendiri ataupun keluhan pasien, sehingga upaya diagnostik dalam mencari jenis bakteri penyebab atau yang terlibat dalam proses infeksi sangat penting untuk 129 diketahui. Untuk kepentingan pelayanan pasien, diagnosis ST ditegakkan jika salah satu dari ke empat modalitas pemeriksaan ini memberikan hasil positif dan menjadi acuan penatalaksanaan penelitian
m1
sehingga
ST. Pendekatan ini juga digunakan pada
diagnosis
kelinci
ST
ditegakkan
berdasarkan
ditemukannya hasil positif minimal pada satu modalitas pemeriksaan diagnosis tersebut. Dengan demikian diperoleh empat belas ekor kelinci ST sebagai model pada penelitian ini. Secara metodologi terdapat perbedaan yang nyata antara keempat modalitas pemeriksaan yang digunakan. Pada pewarnaan BTA substansi yang rnenjadi target pewarnaan adalah dinding sel bakteri MTb yang telah mati pada saat proses fiksasi. Sernentara pada pemeriksaan kultur target yang diperiksa adalah bakteri MTb yang masih hidup. Demikian pula pada pemeriksaan PCR
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
79
dimana target yang dipcriksa adalah materi genetik (DNA) bakteri MTb yang diperoleh dari proses ekstraksi. Sementara pemeriksaan histopatologi ditujukan untuk melihat reaksi spesifik pada jaringan akibat keberadaan bakteri MTb. Perbedaan metodologi ini mendasari perbedaan capaian keberhasilan inokulasi bakteri MTb. Kebcrhasilan prosedur inokulasi pada pcnelitian ini tercennin dari hasil pemeriksaan
diagnosik
menggambarkan
yang
temuan
pemeriksaan
atas
keberadaan bakteri mati, bakteri hidup dan reaksi jaringan. Hasil pemetiksaan pewamaan BTA mencenninkan temuan bakteri hidup walaupun pada prosesnya bakteri tersebut d imatikan' saat proses fiksasi dan pewarnaan. Bakteri yang sejak ·
awal tclah mati, tidak dapat diwarnai dengan pewamaan BT A. Pemeriksaan PCR mencerminkan temuan bakteri hidup dan atau bakteri mati, karena pemeriksaan PCR mampu mendeteksi keberadaan DNA bakteri baik yang berasal dari bakteri hidup maupun bakteri mati. Hasil pemeriksaan kultur mencerminkan temuan bakte1i hidup dan kemampuannya untuk dapat hidup dalam medium secara in vitro. Ketiga modalitas pemeriksaan mikrobiologi ini memiliki sensitivitas dan kemampuan
deteksi
yang
berbeda-beda.
Sementara
hasil
pemeriksaan
histopatologi mencetminkan terjadinya reaksi jaringan akibat interaksi jaringan tersebut dengan bakteri. Pemeriksaan histopatologi memperlihatkan bahwa Janngan tidak hanya memberikan reaksi terhadap bakteri hidup tetapi juga memberikan reaksi terhadap bakteri yang sudah mati termasuk materi genetiknya. Diantara ke empat modahtas pemeriksaan diagnostik tersebut, pemeriksaan kultur dianggap lebih mencerminkan keberhasilan prosedur inokulasi karena hasil pemeriksaan ini menggambarkan eksistensi bakteri, kemampuan proliferasi, dan daya hidup secara in vitro dalam medium, selain bahwa secara umum pemeriksaan kultur merupakan standar emas untuk diagnostik penyakit infeksi bakteri. Pada penelitian ini angka keberhasilan prosedur inokulasi berdasarkan hasil pemeriksaan kultur adalah 64,3%. Hasil pemetiksaan kultur pasca prosedur inokulasi di minggu ke-8 memperlihatkan bahwa bakteri MTb berhasil tumbuh pada korpus vet1ebra sembilan ekor kelinci, sementara pada lima ekor kelinci lainnya bakteri MTb tidak berhasil tumbuh. Jika hasil pemeriksaan kultur ini dihubungkan denga11 hasil
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012 ..
80
_J__--------------�
pemeriksaan imunologi akan terlihat bahwa jumlah populasi Th I , Th2 dan rasio populasi Th l /Th2 dari kelompok kelinci kultur negatif lebih tinggi dibandingkan dcngan jumlah populasi Th 1 , Th2 dan rasio populasi Th 1 /Th2 kelompok kelinci kultur positif. Tampaknya jumlah populasi Th 1 dan Th2 darah berhubungan dengan keberhasilan prosedur inokulasi bakteri. Artinya jika pada suatu kelompok kelinci memiliki jumlah populasi Th 1 dan Th2 yang rendah, maka peluang keberhasilan tumbuhnya bakteri MTb akan semakin besar, sayangnya pada penclitian ini tidak diketahui pada kisaran nilai berapa populasi T h l dan Th2 yang memberikan peluang bakteri MTb dapat tumbuh lebih baik dan hidup pada korpus vertebra kelinci. Analisis terhadap lima ekor kelinci yang mengalami kegagalan inokulasi berdasarkan basil pemeriksaan kultur di minggu ke-8 memperlihatkan basil pemeriksaan PCR positif dengan teramatinya pita DNA yang menyerupai DNA bakteri MTb, artinya meskipun bakteri J\1Tb tidak berhasil tumbuh pada kelima ekor kelinci ini, namun materi genetik DNA-nya masih dapat ditemukan. Hal ini dapat menjelaskan bahwa sesungguhnya bakteri MTb dapat tumbuh dan berkembang di dalam defek korpus vertebra kelinci yang dibuktikan dengan munculnya reaksi jaringan dan ditemukannya sel radang, sel datia Ianghans serta proses
perkijuan
pada
kehma
ekor kehnci
tersebut
(hasil
pemeriksaan
histopatologi memberikan basil positif). Reaksi imun tubuh kelinci terlihat dari
kcberadaan populasi Th 1 dan Th2 yang tinggi di dalam darah yang mampu mematikan sebagian besar bakteri atau paling tidak melemahkan bakteri MTb sehingga ketika bakte1i ditumbuhkan di media kultur, maka bakteri tersebut tidak berhasil tumbuh. Dari mikrobiologi
hasil untuk
pemeriksaan diagnostik
berdasarkan bakteri
tiga
diperoleh
modalitas empat
pemeriksaan
kombinasi
hasil
pemeriksaan yaitu : a) Basil pewamaan BTA positif, pemeriksaan kultur positif dan pcmriksaan PCR positif disebut kombinasi BKP positif. Kombinasi ini kemungkinan terjadi karena bakteri
MTb yang diinokulasikan dapat hidup dan
berkembang biak secara lokal didalam defek korpus vertebra kelinci dan sistem imun tubuh kelinci tidak mampu membendung berkembang
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
81 ,
biaknya bakteri, sehingga baktcii dapat tumbuh disana. Hasil pemeriksaan PCR juga berhasil mendeteksi adanya materi genetik (DNA) bakteri MTb yang kemungkinan discbabkan karena terjadinya pemaparan materi genetika (DNA) bakteri MTb pada lingkungan Iesi. b) Hasil pemeriksaan kultur positif dan PCR positif disebut kombinasi KP positif. Kombinasi ini kemungkinan terjadi ketika bakteri MTb yang diinokulasi dapat hidup dan berkembang biak secara lokal di dalam defek korpus vertebra kelinci namun sistem imun mampu membendung sebagian perkembang biakan bakteri dan mampu mematikan sebagian bakteri lainnya. Hasil pewamaan BT A memberikan hasil negatif kemungkinan disebabkan karena jumlah bakteri tidak mencapai batas sensitifitas pemeriksaan atau karena sam pel yang tidak homogen. Pewarnaan BTA hanya dapat mendeteksi dan mewarnai bakteri
dengan jumlah yang
mencukupi, misalkan pada dahak jumlah minimal bakteri yang dapat dideteksi adalah 5000 bakteri dalam 1 cc dahak. Sebagian bakteri dapat tumbuh pada medium kultur sehinga d iperoleh hasil pemeriksaan kultur positif, sedangkan bakteri hidup dan bakteri mati yang terpapar pada lingkungan lesi dapat dideteksi dengan pemeriksaan PCR yang akan mcmberikan basil positif. c) Hanya hasil pemeriksaan kultur SaJa yang positif sementara kedua pemeriksaan lainnya memberikan hasil negatif. Kombinasi
llll
secara
te01itis tidak mungkin terjadi karena pemetiksaan PCR lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan kultur bakteri, artinya jika suatu sampel memberikan hasil positif pada pemeriksaan kultur maka seharusnya pemeriksaan PCR juga akan membetikan hasil positif. Kemungkinan hal ini disebabkan karena kesalahan pada saat ektraksi DNA atau akibat pengambilan sampel PCR dati sampel induk yang kurang homogen. d) Hanya
hasil
pemeriksaan
PCR
saja yang
positif.
Kombinasi
mt
kemungkinan disebabkan karena baktcti MTb yang diinokulasi dapat hidup dan berkembang biak secara lokal didalam dcfek korpus vertebra kelinci namun sistem imun mampu membendung perkembangbiakan ini dan mampu mematikan dan atau melumpuhkan bakteri.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
Seluruh bakteri
82 t
mengalami kematian atau sebagian bakteri hidup tetapi tidak mampu · tumbuh dalam media kultur. Materi genctik bakte1i ini tetap berada pada l ingkungan dan pemeriksaan PCR mampu mendeteksi keberadaan jejak baktcri MTb tersebut.
Terciptanya model kelinci ST dinyatakan dengan hasil pcmcriksaan mikrobiologi bakteri MTb yaitu pewarnaan BTA, pemeriksaan kultur setia PCR dan atau pemcriksaan histopatologi lesi. Minimal satu dari empat rnodalitas pemeriksaan ini memberikan hasil positif sudah cukup untuk menetapkan terciptanya model kelinci ST.
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
83
... ·....................... ' . . .. .. .. ..
...
Tabel 25 . Kombinasi Hasil Pemeriksaan Diagnostik Pewamaan BTA, Pemeriksaan Kultu.r, PCR dan Histopatologi H asil Pemeriksaan Grup Kelinci Kode kelinci H istopatologi PCR Kultur BTA K0501
Neg
Pos
Pos
Pos
K0525
Neg
Pos
Pos
Pos
K0509
Neg
Pos
Pos
Pos
K3264
Neg
Pos
Pos
Pos
K05 1 9
Neg
Pm;
Pos
Pos
K3364
Neg
Neg
Pos
Pos
K2764
Neg
Neg
Pos
Pos
K2964
Neg
Neg
Pos
Pos
K3164
Neg
Neg
Pos
Pos
K0505
Neg
Neg
Pos
Pos
K0964
Pos
Pos
Pos
Pos
K0520
Pos
Pos
Pos
Pos
K05 1 7
Pos
Pos
Pos
Pos
K2664
Neg
Pos
Neg
Pos
KPH positif
P H positif
BKPH positif
KH positif
Pos : Positif, Neg : Negatif
7. 3
PENILAIAN TRANSPLANTASI SEL PUNCA MESENKIMAL PADA DEFEK
SPONDILITIS
TUBERKULOSIS
TELAAH
PADA
BIOMARKER SEL TULANG, PEMBENTUKAN TULANG BARU DAN ERADIKASI INFEKSI 7. 3. 1 Evaluasi Biomarker Sel Tulang (Aktifitas Sel Tulang)
Secara natural usaha penyembuhan defek dengan pembcntukan tulang baru dimulai pada saat defek itu terjadi, dimana terjadi harmonisasi diferensiasi SPM internal menjadi sel osteoblas. SPM internal disini dituliskan dengan maksud untuk membedakan dengan SPM yang ditransplantasi dari luar. Osteoblas melakukan aktifitas dengan cara mengekspresikan CBFA-1, mensekresikan ALP
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
84
dan OPN. Pada tahap awal CBFA-1 dapat dideteksi didalam sel, semcntara ALP dan OPN dapat ditemukan
diluar sel.
Aktifitas sel osteoblas kemudian
menginduksi pembentukan tulang baru dan n:.tenginisiasi aktifitas sel osteoklas sehingga tetjadi proses remodeling. Proses ini terjadi sedemikian rupa sehingga keseimbangan
aktifitas
osteoblas
dan
osteoklas
ini
akan
menghasilkan
pembentukan tulang baru. Namun keseimbangan ini gaga] dipertahankan jika te1jadi gangguan antara lain oleh bakteri dan respon akan
memutus
menyebabkan
rantai
imun tubuh terhadap hakteri. Keberadaan bakteri
keseimbangan
perlambatan
osteoblas
diferensiasi
SPM
dan
osteoklas.
menjadi
sel
Bakteri osteoblas,
mengakibatkan perlambatan proliferasi sel osteoblas dan produksi matriks tulang. Keberadaan bakteri juga akan meningkatkan aktifitas sel osteoklas sehingga terjadi ketidak seimbangan pembentukan matriks tulang dan proses remodeling. Akibatnya terjadi destruksi tulang yang ditandai dengan tururmya produksi tulang dan kalsium. Pemberian OAT yang ditujukan untuk membunuh bakteri MTb dan menghambat proliferasinya serta intervensi TTSSA6 yang di tujukan untuk mengurangi debris dan jaringan nekrotik diharapkan akan memberikan peluang bagi pertumbuhan sel tulang dalam rangka memperbaiki defek korpus. Sementara penambahan skafold dan SPM langsung kedalam defek diharapkan akan semakin membuka
peluang
diferensiasi
SPM menjadi
ostcoblas aktif yang
akan
mendukung proses pembentukan tulang baru pada defek korpus tulang vertebra kelinci ST. Secara in vitro telah dibuktikan bahwa debris dan supematan bakteri MTb tidak memengaruhi pertumbuhan SPM. Hasil penelitian ini menjadi dasar bagi peneliti untuk menjadikan sub kelompok PCR dan histopatologi positif (PH) pada penelitian ini sebagai kontrol. Sementara kelompok kultur, PCR dan histopatologi (KPH) positif dapat dijadikan kelompok pcrlakuan untuk melihat pengaruh bakteri MTb yang hidup terhadap aktifitas osteoblas. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa aktifitas osteoblas dalam mengekspresikan CBF A-1 tidak dihambat oleh bakteti MTb, bahkan dibandingkan dengan kelompok kontrol tampak bahwa keberadaan bakteri MTb ini memberi
•
85
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012 t
dampak baik pada
sel osteoblas dalam mengekspresikan CBFA- 1 . Berbeda
dengan aktifitas sel osteoblas dalam mensekresikan ALP dan OPN, bakteri MTb hidup
tampaknya
menyebabkan
terhambatnya
aktifitas
osteoblas
dalam
mensekresikan ALP, namun keberadaan bakteri MTb hidup ini tidak menghambat aktifitas sel osteoblas dalam mensekresikan OPN. Hasil pemcriksaan kadar ALP dan kadar OPN darah kelinci ST dengan metode Elisa untuk semua grup kelinci yang diberikan SPM maupun yang tidak diberikan
SPM
adalah
nihil.
Hasil
ini
menunjukkan
bahwa
prosedur
penatalakasanan TTSSA6 dan pemberian SPM secara lokal tidak memberikan efek sistemik, sehingga aktifitas osteoblas tidak dapat terdeteksi secara sistemik melalui pemeriksaan darah. Dari hasil skoring aktifitas osteoblas dinyatakan bahwa rerata skor total kelinci kelompok kontrol (PH positif ) adalah 145, sementara rerata skor total kelinci kelompok perlakuan (KPH positif) adalah 1 60.
Kedua kelompok
memperlihatkan aktifitas osteoblas yang sama, artinya keberadaan bakteri MTb tidak memberikan gangguan yang berarti pada sel osteoblas dalam beraktifitas, bahkan mendukung aktifitas sel tersebut.
7. 3. 2 Evaluasi Pembentukan Tulang Baru (Osif.tkasi)
Osifikasi adalah suatu proses pembentukan tulang yang berkatian erat dengan diferensiasi set, aktifitas sel tulang dan deposit kalsium. Bakteri MTb hidup diperkirakan akan memengaruhi diferensiasi SPM menjadi sel osteoblas, akan menghambat aktifitas osteoblas dan mengganggu deposit kalsi urn ke area defek. Oleh karena hal tersebut maka pada penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap proses osifikasi antara lain dengan menghitung jumlah sel osteoblas, sel osteosit dan kadar kalsium di dalam defek. Hasil evaluasi osifikasi setelah prosedur transplantasi SPM ke dalam defek kelinci ST diperlihatkan pada tabel 4. 26. Rerata jumlah sel osteoblas pada sub kelompok kelinci KPH positif lebih banyak dibandingkan dengan rerata jumlah sel osteoblas pada sub kelompok kelinci PH positif (kontrol). Dilain pihak rerata jumlah sel osteosit pada sub kelompok kelinci KPH positif lebih sedikit dibandingkan rerata jumlah sel osteosit pada kelompok kelinci kontrol. Jika
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
86
diamati proses difcrensiasi SPM berdasarkan hasil osifikasi ini terlihat bahwa keberadaan bakteri MTb memengaruhi diferensiasi SPM menjadi sel osteoblas atau diferensiasi sel osteoblas menjadi sel osteosit. Berbeda dengan hasil rerata kadar kalsium lesi pada kelompok kelinci KPH positif menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan rerata kadar kalsium lesi kelompok kelinci kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan bakteti jVfTb berpengaruh positif terhadap produksi atau deposit kalsium pada defek tulang. Dari kctiga data ini dapat diambil pengertian bahwa bakteri JV!Tb pada satu sisi dapat menekan proses diferensiasi sel osteoblas menjadi osteosit, tetapi di sisi lain dapat merangsang metabolisme kalsium di dalam lesi. Untuk jangka panjang bakteri MTb akan menghambat proses pembentukan tulang sehingga akan diperoleh tulang immature. Pada kasus osteomielitis tuberkulosis atau septic arthritis tuberculosis, terbentuknya tulang immature ini sering dijumpai bahkan pada beberapa kasus dapat terjadi fibrous union. Sko1ing osifikasi terhadap kelompok kelinci KPH positif rnenunjukkan bahwa semua kelinci memiliki skor lebih dari 30 yang berarti bahwa proses osifikasi dapat berjalan dengan baik. Bandingkan dengan skoring osifikasi terhadap kelompok kelinci kontrol yang hanya memiliki satu ekor kelinci yang memihki skor lebih dari 30. Dari hasil skoring osifi kasi ini didapat kesan bahwa bakteri MTb memberikan pengaruh yang baik terhadap proses osifikasi.
7. 3. 3 Evaluasi Fusi (Jembatan Tulang)
Tercapainya fusi atau terbentuknya jembatan tulang pada kasus infeksi dengan kelainan defek merupakan tujuan utama dari penatalaksanaan yang dilakukan. Tanda-tanda fusi yang paling signifikan adalah tidak lagi ditemukan pergerakan pada daerah yang sebelum penatalaksanaan terdapat pergerakan. Tanda
lainnya
dapat
diamati
dengan
berbagai
pemeriksaan
antara
lain
pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan histopatologi. Pada pemeriksaan rontgen fusi ditunjukkan oleh seberapa l uas kalus yang terbentuk baik pada proyeksi antero posterior maupun lateral. Pada pemeriksaan histopatologi fusi ditunjukkan dengan melakukan pewamaan HE dan pengamatan hasil pewarnaan tersebut di bawah mikroskop dengan pembesaran 400x.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
87 t
Hasil pemeriksaan palpasi manual pada kelompok kelinci KPH positif dan kelompok kelinci PH positif adalah sama, artinya keberadaan bakteri MTb tidak berpengaruh terhadap kekakuan tulang. Hasil ini bcrbeda dengan hasil yang diperoleh berdasarkan tiga parameter histopatologi yang memperlihatkan bahwa bakteri MTb memberi kesan menghambat pembentukan tulang baru di dalam defek dibandingkan kontrol yang dibuktikan dcngan Jebih kecilnya luas tulang yang terbentuk pada kelompok kelinci KPH
positif dibandingkan dengan
kelompok kelinci kontrol. Hasil perneriksaan radiologi menunjukkan bahwa bakte1i MTb hidup justru mernberikan dampak positif terhadap pernbentukan kalus, artinya pada ke1ompok kelinci KPH positif yang terdapat bakteti hidup di dalam korpus vertebranya justru menunjukkan pembentukan kalus yang lebih Juas (proyeksi antero posterior maupun lateral) dibandingkan kelompok kontrol. Dari hasil skoring diperoleh kesan bahwa keberadaan bakteri MTb hidup akan mengharnbat proses fusi. Hal ini dapat dilihat dari hasil skor total kelompok kelinci KPH positif yaitu terdapat dua dari tiga ekor kelinci yang rnengalarni penghambatan fusi. Sementara pada kelompok kontrol hanya satu dari tiga ekor kelinci yang mengalami penghambatan fusi. Terjadinya gangguan fusi oleh bakteri bakteri MTb sejalan dengan banyak literatur yang mengatakan bahwa keberadaan bakteri menyebabkan gangguan keseimbangan aktifitas osteoblas
yang berdampak nyata pada pembentukan tulang
baru yang dipcrlukan untuk rnencapai fusi atau terbentuknya jembatan tulang.
7. 3. 4 Eradikasi Infeksi 7. 3 4. 1 Teknik TTSSA6
Penatalaksanaan ST di Indonesia banyak menggunakan prosedur yang dikembangkan oleh Prof. Subroto Sapardan dati RS Cipto Mangunkusumo, yaitu prosedur yang dikenal dengan Tatalaksana Total Subroto Sapardan (TTSS). Prosedur
ini
terdiri
dati
10
altematif penatalaksanaan
yang
dibedakan
bcrdasarkan masalah yang ditemukan pada penderita dan ketcrsediaan fasilitas rumah sakit. Ada beberapa prosedur lain yang bcrkaitan dengan penatalaksanaan ST seperti teknik yang dikembangkan di India, H ongkong dan beberapa negara
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
88
Asia Pasifik lainnya. Salah satu pendekatan pada prosedur TTSS ada\ah alternatif 6, yaitu teknik operasi melalui pendek atan posterior, cvakuasi abscs, debrideman, dekompresi dan pemasangan instrumentasi . posterior. Pada manusia TTSSA6 secara prinsip digunakan pada penderita ST di level torakolumbal, bemanah, menyerang jaringan lunak di sekitamya dan ditemukan deformitas pada tulang belakang berupa gibbus kurang dari 60 dcrajat. Dengan alasan bahwa prosedur TTSS adalah prosed ur yang paling sering dikerjakan oleh peneliti dan paling banyak diaplikasikan di pusat penangangan infcksi tulang belakang Departemen Medik Orthopaedi dan Traumatologi RSCM, maka pacta penelitian ini dipilih prosedur TTSSA6 untuk diaplikasikan pada model kelinci ST. Capaian yang diharapkan dari prosedur ini adalah reduksi maksimal tulang belakang dari bakteri, jalingan nekrotik, dan produk inflamasi yang menghambat proses penyembuhan, tulang belakang yang stabil dengan pemasangan penyangga berupa stapler modifikasi. Pemilihan pendekatan TTSSA6 dengan implan stapler sesuai dengan struktur anatomi dan sikap tubuh kelinci yang berkaki empat dengan tulang belakang berada pada posisi holizontal sehingga tidak banyak dipengaruhi oleh beban vertikal yang mengakibatkan timbulnya fraktur kompresi pada korpus vertebra kelinci. Sikap tubuh seperti ini juga akan memperkecil penyebaran bakteri kearah kaudal. Implan stapler dalam hal ini mampu mempertahankan stabilitas tulang belakang kelinci yang lebih dominan ruenahan gaya bending dan rotasi.
7. 3. 4. 2 Mortalitas Pasca Prosedur TTSSA6
Dari hasil pengamatan didapatkan kejadian kematian kelinci pasca prosedur TTSSA6 adalah 24,0%. Dibandingkan dengan kematian kelinci pasca prosedur inokulasi yang hanya 7 ,4%, angka ini jauh lebih besar, yaitu 3 kali lipat lebih banyak. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh prosedur operasi, stress pada kelinci dan proses infeksi itu sendiri. Yang dimaksud dengan prosedur operasi adalah bahwa waktu pcnge1jaan prosedur TTSSA6 jauh lebih lama dibandingkan dengan prosedur inokulasi bakteri, demikian pula resiko cidera jaringan yang jauh Jebih banyak.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
89
Selain itu prosedur TTSSA6 aclalah proseclur operas!
keclua yang
dilakukan pacla kelinci yang sama dalam selang waktu sekitar 8 ming gu, artinya satu ckor kelinci mengalami clua kali cidcra dan ciclera kedua adalah TTSSA6 yang lebih berat. Seperti telah diketahui bahwa kelinci merupakan hewan yang sangat rentan terhadap stress, sehingga prosedur intervensi yang berulang dengan waktu yang cukup lama akan mcningkatkan resiko stress fisik maupun mental yang akan berpengaruh terhadap kejaclian kematian kelinci. Proses infcksi akibat aktifitas bakteri akan mcmengaruhi respon imun dan metabolisme dalam tubuh kelinci sehingga dapat meningkatkan resiko kematian. Resiko ini terutama pada kelompok kelinci ST kultur positif mengingat terdapatnya bakteri MTb yang masih hidup.
7. 3. 4. 3 Morbiditas Pasca Proscdur TTSSA6 Operasi tulang belakang pada manusia meninggalkan risiko salah satunya aclalah penurunan kekuatan motorik (kelumpuhan). Antara tahun 2003 sd tahun 2007 dilaporkan terdapat rata- rata 1 /40
kasus penurunan kekuatan mototik
terjadi pasca operasi ST eli RS Cipto Mangunkusumo Jakarta (presentasi Prof. Subroto Sapardan pacla AOA meeting eli Vietnam).
Pada tahun 2010 angka
penurunan kekuatan motorik ini dapat ditekan menjadi hanya 0,4% pertahunnya. Perbaikan angka ini tet:iadi karena dilakukan penyesuaian implan yang digunakan,
yaitu penggunaan kawat sublaminar, pelat dan sekrup pedikel menjadi hanya sckrup pedikel clan rod tanpa kawat sublaminar. Perubahan penggunaan implan ini diperkirakan mengurangi waktu yang diperlukan selama operasi, dan mengurangi kontak langsung dura dengan kawat. Selain itu penggunaan alat monitoring saraf selama opcrasi berlangsung, persiapan perioperatif yang lebih baik dan seleksi pasien yang ketat semakin menambah keberhasilan operasi ST dalam menghindari kejadian morbiditas penurunan kekuatan mototik. Dari hasil pengamatan didapatkan kejadian kelumpuhan kelinci pasca prosedur TTSSA6 adalah 4,2%. Dibandingkan dengan kelumpuhan kelinci pasca prosedur inokulasi yaitu I I , 1%, angka ini jauh lebih kecil, yaitu 113 kali lipat lebih sedikit. Hal ini kemungkinan disebabkan karena persiapan pada prosedur TTSSA6 lebih matang dan didukung dengan peralatan tambahan yaitu mesin
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
90 t
anestesi, mengingat prosedur TTSSA6 diperkirakan akan memakan waktu lcbih lama
dibandingkan
prosedur
inokulasi.
J ika
dibandingkan
risiko
dalam
menyebabkan kelumpuhan dari kedua prosedur yang dilakukan, maka prosedur TTSSA6 memiliki resiko yang lebih berat
dibandingkan
dengan prosedur
inokulasi bakteri MTb.
7. 3. 4. 4 Kesembuhan Kelinci Spondilitis tuberculosis
Kesembuhan diartikan sebagai perbaikan kondisi klinis, perbaikan hasil pemeriksaan
imunologi,
perubahan
hasil
pemeriksaan
mikrobiologi
dan
perubahan hasil pemeriksaan histopatologi menjadi negatif. Pcrbaikan kondisi klinis dapat diamati dari data pcrubahan berat badan dan suhu badan sesudah dilakukan penatalaksanaan dibandingkan sebelum penatalaksanaan. Perbaikan basil pemeriksaan imunologi diamati dari pcrubahan jumlah populasi Thl, jumlah populasi Th2 dan rasio populasi Thl ffh2 sebelum dan sesudah dilakukan penatalaksanaan.
Perubahan
basil
perneriksaan
rnikrobiologi
dan
basil
pemeriksaan histopatologi diamati sekaligus, yaitu perubaban basil pewarnaan BTA, pemeriksaan kultur, PCR dan histopatologi yang seluruhnya memberikan hasil negatif.
7. 3. 4. 5 Evaluasi Klinis Bcrat Badan Kelinci.
Proses infeksi sistcmik secara tidak langsung berpengaruh terhadap penambahan berat badan kelinci. Pengaruh ini berkaitan dengan faktor nafsu makan, peningkatan kebutuhan nutrisi dalam melawan proses infeksi, daya tahan tubuh dan virulensi bakteri.
Setelab dilakukan penatalaksanaan TTSSA6,
pemberian OAT dan pemberian SPM pada dcfek korpus kelinci ST terdapat peningkatan rerata berat badan kelinci enam minggu kemudian (p
=
0,707).
Terlihat grafik penambahan rerata berat badan kelinci keseluruhan setiap 3 hati. Terjadi penambahan rerata berat badan kelinci pada ketiga kelompok baik yang diberikan SPM (grafik berwama hijau) maupun yang tidak diberikan SPM (grafik benvarna kuning). Demikian pula pada kelompok yang tidak terinfeksi (warna biru). Dari grafik ini terlihat babwa pada kelompok terinfeksi (grafik hijau dan grafik kuning) tetjadi peningkatan rerata berat badan setelah hari ke 43.
•
91
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012 t
Intervensi penatalaksanaan TTSSA6 antara kelompok yang diberikan SPM dengan kelompok yang tidak diberikan SPM menunjukkan garis lurus yang parallel, artinya peningkatan rerata berat badan kelinci terjadi baik pada kelompok yang diberikan SPM maupun pada kelompok yang tidak diberikan SPM. Hal ini memberikan kesan bahwa SPM sesungguhnya tidak berperan langsung maupun tidak langsung dalam peningkatan rerata berat badan kelinci. Bila dibandingkan grafik peningkatan rcrata berat badan kelompok kelinci sebelum dilakukan intervensi terlihat bahwa prosedur inokulasi bakteri tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan rerata berat badan kelinci, sehingga sangat logis jika pemberian SPM dalam upaya mereduksi infeksi pada lesi kelinci ST juga tidak memengaruhi penambahan rerata berat badan kelinci.
7. 3. 4. 6 Evaluasi Klinis Suhu Badan Kelinci.
Peningkatan atau penurunan suhu badan dati suhu nonnal merupakan infom1asi yang penting untuk diketah.ui pada kasus infeksi. Perubahan suh.u badan ini tidak selalu berhuhw1gan dengan proses infeksi, karena perubahan suhu badan dapat pula disebabkan karena trauma, peradangan non infeksi atau proses peningkatan metabolisme lainnya. Pada penelitian ini rerata suhu badan kelinci setelah dilakukan intervensi TTSSA6 dan penambahan SPM adalah sama dengan rerata suhu badan sebelum dilakukan intervensi TTSSA6 dan penambahan SPM (p = 1 ,000). Terlihat perubahan rerata suhu badan
kelinci pasca prosedur inokulasi
yaitu tetjadi penurunan suhu dibawah suhu normal, dan perubahan suhu badan setelah dilakukan intervensi TTSSA6 yaitu terjadi
perbaikan suhu badan
mendekati suhu badan sebelum dilakukan prosedur inokulasi. Fluktuasi perubahan suhu badan kelinci kelompok terinfeksi mendekati rerata suh.u badan kelinci sebelum dilakukan prosedur inokulasi. Fluktuasi rerata suhu badan kelinci pasca intervensi TTSSA6 pada kelompok yang cliberikan SPM dan kelompok yang tidak diberikan SPM berada dalam kisaran suhu badan normal kelinci yaitu antara 39,0 °C dan 39,5 °C. Dati grafik dapat dilihat bahwa penambahan SPM
tidak memberikan
dampak pada perubahan suhu badan kelinci yang terinfeksi. Perubahan suhu
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
92
badan tampaknya lebih didominasi olch pcmberian OAT yang berpengaruh langsung dalam menurunkan aktifitas bakte1i didalam tubuh kelinci dan intervensi TTSSA6 yang berdampak langsung pada reduksi debris di dalam lesi korpus vertebra. Pada periode 6 minggu ini SPM tidak nampak berperan secara sistemik dalam mengantisipasi penurunan suhu badan, namun untuk jangka panjang SPM secm·a
teoritis dapat
menccgah
rckurensi
infeksi
karena
SPM
memiliki
kemampuan dalam aspek imunitas.
7. 3. 4. 7 Evaluasi Mikrobiologi dan Histopatologi
Peme1iksaan
mikrobiologi
dengan
tiga
modalitas
diagnostik yaitu
pewamaan BT A, pemeriksaan kultur dan PCR lebih mendukung asumsi pertama yaitu pada kelompok kelinci ST yang diberikan SPM jumlah kelinci ST yang sembuh hanya 3 dati 7 kelinci ST (42,9%), sementara pada kelompok kelinci ST yang tidak diberikan SPM didapatkan jumlah kelinci yang sembuh lebih banyak yaitu empat dari tujuh kehnci ST (57,1 %). Hasil pemeriksaan mikrobiologi seperti yang terlihat pada tabel 4. 1 8 memperlihatkan kejadian kesembuhan baik pada kelompok kelinci ST yang diberikan SPM maupun kelompok kelinci ST yang tidak
diberikan SPM. Kesembuhan diattikan hila hasil pemeriksaan keempat
modalitas pemeriksaan mikrobiologi dan histopatologi selurulmya menunjukkan hasil negatifpada satu kelinci setclah dilakukan intervensi TTSSA6. Pemeriksaan histopatologi terhadap lesi ST bertujuan mengamati reaksi tubuh terhadap proses infeksi yang berlangsung di jaringan tulang korpus. Hasil peme1iksaan histopatologi jaringan Jesi pada pcnclitian ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh SPM terhadap penurunan reaksi tubuh akibat proses infeksi bakteri
MTb. Tabel
4.
18
memperlihatkan
perubahan basil
pemeriksaan
histopatologi negatif pada kelompok kelinci ST yang diberikan SPM dan yang tidak diberikan SPM. Kclompok lain menunjukkan perubahan yaitu dua dari tujuh ekor sampel kelinci memberikan hasil pemeriksaan histopatologi menjadi negatif (28,6%).
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
93 t
7. 3. 4. 8 Skoring Kesembuhan
Untuk menentukan secara objektif kesembuhan kelinci ST pasca tindakan intervensi penatalaksanaan berupa TTSSA6) pemberian OAT, penambahan skafold dan penambahan SPM, dikembangkan suatu sistem skoring. Sistem skoring ini disebut sebagai Sistem Skoring Kesembuhan (SSK). Sistem ini menganalisis kesembuhan dari beberapa faktor risiko yang kerap digunakan dalam penegakan diagnosis dan evaluasi kemajuan capaian pengobatan
meliputi
pemeriksaan imunologi yaitu pengukuran jumlah populasi Thl dan Th2 dari darah; pemeriksaan mikrobiologi yaitu pewarnaan BTA, pemeriksaan kultur dan PCR dari jaringan lesi; serta pemeriksaan histopatologi dari jaringan lesi dengan pewarnaan HE seperti yang diperlihatkan tabel 5. 4. Dari tabel ini juga dapat dilihat nilai skor masing-masing kelinci berdasarkan basil pemeriksaan yang diperoleh. Total skor maksimal pada penelitian ini adalah 300, nilai batas kesembuhan ditetapkan oleh peneliti yaitu dikatakan tidak sembuh bila nilai skor kurang dari 1 05, sementara dikatakan sembuh bila nilai skor sama atau lebih dari 1 05.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
94 t
8. S I M PULAN DAN SARAN 8. 1 SIMPULAN 1.
Sumsum tulang kelinci bcrhasil diisolasi, dikultur menjadi sel stromal sumsum tulang dan dikaraktcrisasi sebagai sel punca mesenkimal serta ditransplantasi pada defek model kelinci spondilitis tuberkulosis.
2. Model kelinci spondilitis tuberkulosis berhasil dibuat dcngan proscdur inokulasi langsung bakteri Mycobacterium tuberculosis eli korpus tulang belakang kelinci (infeksi primer). 5. Sel
punca mesenkimal
bcrhasil
ditransplantasikan
pada defek kelinci
spondilitis tuberkulosis melalui prosedur TTSSA6 dan stabilisasi posterior dcngan stapler tetapi belum terbukti mendukung proses eradikasi infeksi bakte1i A1ycobacterium tuberculosis. 6. Sel punca mesenkimal terbukti dapat berdifcrcnsiasi menjadi sel ostcoblas pada
lingkungan
mikroskopis
yang
tercemar
bakteri
Mycobacterium
tuberculosis. 7 . Sel punca mesenkimal terbukti berpengaruh negatif terhadap peningkatan kualitas fusi tetapi berpengaruh positif terhadap proses osifikasi pada model kelinci ST.
8. 2 SARAN 1.
Tcknik
dan prosedur i no ku l as i bakteri MTb H37RV perlu disempurnakan
sehingga diperoleh cara yang lebih mudah dengan cidera yang lebih kecil serta keberhasilan tumbulmya bakteri J'v!Tb yang lebih baik. 2. Diperlukan penelitian lebih lanjutan untuk menguji beberapa sistem skoring yang ditampilkan pada penelitian ini antara lain sistem skoring penularan, sistem skoring tertular, sistem skoring kesembuhan, sistem skoring aktivitas osteoblas, sistem sk01ing osifikasi dan sistem skoring fusi. 3. Diperlukan
penyempurnaan
teknik
penyiapan
SPM
agar
SPM
yang
transplantasikan ke dalam defek vertebra diyakini dalam kondisi optimal. 4. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mclihat berbagai aktivitas SPM pada tingkat molekuler dan sel pada lingkungan bakteri MTb H37RV antara lain: arah diferensiasi sel, hasil metabolisme sel, dan proses perbaikan defek.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
95 t
5. Diperlukan penerapan pencitraan sinar-X digital, CT scan mikro, dan MRI yang dapat memberikan data kontinyu untuk mempermudah evaluasi proses pcnycmbuhan dan perbaikan dcfck ST.
8. 3 KELEMAHAN PENELJTJAN
Penelitian ini dilakukan di lokasi terpisah dengan jarak yang be1:jauhan, sementara penelitian ini memerlukan metode penyiapan, penyimpanan dan pengiriman spesimen yang baik, penanganan sel yang cepat dan tepat, animal care yang sesuai, dan fasilitas pencitraan yang memadai. Dengan scgala keterbatasan tersebut penelitian ini dilakukan dengan segala kelebihan dan kekurangan tetapi tetap memperhatikan berbagai kaidah laboratorium yang terstandarisasi.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
96 t
9. UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini dibiayai oleh Riset Binaan llmu Pengetahuan Teknologi Kedokteran (Risbin Iptekdok) Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI.
•
97
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012 t
10. DAFTAR KEPUSTAKAAN
1.
B ien·y G, et al, 2008. Percutaneous Inoculated Rabbit Model of Interveriebral disc space infection:
Magnetic Resonance
Imaging Features with
Pathological Correlation. Joint Bone Spine, 75:465-470. 2.
BieiTy G, Jehl F, Boehm N, Robert P, Prevost G, Dietemann JL, Desai H, Kremer S, 2008.
Macrophage Activity in
Infected Areas og an
Experimental Vertebral Osteomyelitis Model: USP IO-enchanced MR Imaging Feasibility Study. Radiology, 248(1):1 14-123. 3.
Briken
V,
Porcelli
SA, Besra GS, Kremer L, 2004.
lipoarabinomannan
and
related
lipoglycans:
from
Mycobacterial biogenesis
to
modulation of the immune response. Molecular Microbiology, 53(2):391403.
4. Candeda R , Giannoni P, 200 1 . A tissue engineering approach to bone repair in large animal models and in clinical practice. Tissue Engineering Concept Encyclopedia ofmaterials: Science and Technology, 9358-9361.
5.
Capuano SV, et al, 2003. Experimental Mycobacterium tuberculosis Infection of Cynomolgus Macaques Closely Resembles the Various Manifestations of Human M. tuberculosis Infection. Infection and Immunity, 7(10):583 15844.
6.
Chen M, Gan H, Remold HG, 2006. Macrophages Leading to Necrosis Inner Membrane Disruption in Causes Significant Mitochondrial H37Rv, but Not Attenuated H37Ra, Mycobacterium tuberculosis Strain A Mechanism ofVirulence: Virulent. J. 1mmunol, 176;3707-3716.
7.
Cheng X, et al, 2008. Repair of critical bone defects with injectable platelet rich plasma/bone marrow-derived stromal cells composite:experimental study in rabbits. Turkish .Joumal of Trauma & Emergency Surge1y, 14(2):87-95.
8.
Converse P, et al, 1996. Cavitary Tuberculosis Produced in Rabbits by Aerosolized
Virulent
Tubercle
Baci lli.
Injection
and
Immunity,
64(11):4776-4787.
9.
Danelishvili L. McGarvey J , Li YJ, Bermudes L, 2003. Mycobacterium tuberculosis infection causes different levels of apoptosis and necrosis in
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
98 t
human macrophages and alveolar epithelial cells. Cellular il4icrohiology, 5(9):649-660.
1 0.
Dhcda K, Schwander S, Zhu B, Richard N, Smit V, Zhang Y, 2010. The Immunology
of
Tuberculosis:
From
Bench
to
Bedside.
Respirology,15:433-450.
1 1 . Dietrich J, Doherty M , 2009. Interaction of Mycobacterium tuberculosis with the host: consequences for vaccine development. Journal Compilation APMIS, 1 1 7:440-457.
1 2 . Erokhin et al, 2008. Systemic transplantation of autologous mesenchymal stem cells of the bone marrow in the treatment of patients with multi-drug resistant pulmonary tuberculosis. Prohl Tuberk Bolezn Legk, 10:3-6. 1 3 . Gottfried ON, Dailey AT, 2008. Mesenchymal Stem Cell and Gene therapies
for Spinal Fusion. Topic Review. Neurosurgery 63:3. 14. Gregory AH, Gazit Z, 2005. Future uses of mesenchymal stem cells in spine surgery. Neurosurg Focus 1 9 (6):£13. 1 5 . Ha KY, Chung YG, Ryoo SJ, 2004. Adherence and Biofilm Formation of Staphylococcus Epidennidis and Mycobacterium Tuberculosis on Various Spinal Implants. SPINE, 30(1);38-43. 16. Kawakami T, Kimura A, Hasegawa H, Eda S, 1 998. Immunohistochemical Determination of Osteopontin Expression in Neoplastic Cells. Oral Med Pathol, 3: 75-78.
1 7 . Kolb-Maurer A et al, 2004. Bacterial Infection of human hematopoietic sel puncas induces monocytic differentiation. FEMS Immunology ami Medical Microbiology, 40:147-153.
I 8. Kolb-Maurer A ct al, 2002. Interaction of human hematopoietic sel puncas with bacterial pathogens. BLOOD 100(10). 1 9. Kolb-Maurer A ct al, 2003. Suspectibility of hematopoietic sel puncas to pathogens : role in virus/bacteria tropism and pathogenesis. Mini Revie FEMS Microbiology Lette1·s, 226:203-207.
20.
Kobayashi T, Ito T, Shiomin M , 2 0 1 1 . Roles of the WHHL Rabbit in Translational
Research on Hypercholesterolemia and Cardiovascular
Diseases. Joumal of Biomedicine and Biotechnology, Article ID 406473.
•
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012
99 t
2 1 . Komatsu M, et. al, 20 l 0. Penetration of linezolid into rabbit intervertebral discs and sunounding tissues. Ew· Spine J, 19:2149-2155. 22. Krasnodembskaya, A . Song, Y, Fang, X. Gupta, N . Serikov, V. Lee, JW. Matthay, M, 20 1 0. Antibacterial Effect ofHuman Mesenchymal Stem Cells Is Mediated in Part from Secretion of the Antimicrobial Peptide LL37. Stem Cells, 28:2229-2238. 23. Man·iot l, Rati DM, McCall SH, Tranguch S , 2005. Osteoblasts following Bacterial Challenge Pattern Recognition Receptors in Murine Induction of Nodl and Nod2 Intracellular. Infect. Immun, 73(5):2967. 24. Manabe Y, et al, 2003. Different Strains of Mycobacterium tuberculosis Cause Vatious Spectrums of Di sease i n the Rabbit Model of Tuberculosis. Infection and Immunity, 71(10):6004-6011.
25. McLain RF, lcada C, 2004. Spinal tuberculosis deserves a place on the radar screen. Cleveland Clinic Jomal ofJl!edicine, 71(7):53 7-549. 26. Mensyuknil H , Rahyussalim, Tri K, Effect of Mycobacterium tuberculosis debris and supernatant on bone man-ow stromal cells growth. (belum dipublish) 27. Moesbar, N , 2006. lnfeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang. Suplemen iWajalah Kedokteran Nusantara 39(3):279-289.
28. Nachimuthu S, Gopal LN, Alrawi S, Natesan V, Seenivasan T, Raju SK, 2000. Multicentric Spinal Tuberculosis with a Possible Concomintant Bacterial Infection. Ho�pital Physician, 61-66. 29. Nair SP, Meghji S, Wilson M , Reddi K, White P, Henderson B , 1 996. Bacterially Induced Bone Destruction: Mechanism and Misconception. Infection and Immunity, 64(7):23 71-2380.
30. Nurul A , S. Boenjamin, S. Ferry, 2009. Karakteristik biologis dan diferensiasi sel punca :
fokus pada mesenchymal sel
punca.
Cermin
Dunia
Kedokteran,l 61 (35):64-66.
3 1 . Ordway D, et al, 2008. Animal model of Afycobacterium abscessus lung infection. Journal of Leucocyte Biology, 83. 32. Oxuoglu EA, et al, 2007. Implant-related infection model i n rat spine. Arch Orthop Trauma Surg, 12 7:391-398.
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012 •
100
t
33. Pearce A, Richards RG, Milz S, Schneider E, Pearce SG, 2007. Animal Models for Implant B iomaterial Research in Bone: A Review. European Cells and Material, 13.
34. Poelstra KA, Barekzi NA, Grainger DW, Gristina AG, Schuler TC, 2000. A Novel Spinal Implant Infection Model in Rabbits. SPINE, 25(4);406-410. 35. Rahyussalim, Ismail H, Andriansjah R, Yuyus K, Tti K, 20 1 2. Effect of Staphylococcus aureus and Staphylococcus epidermidis debris and supernatant
on
bone
manow
stromal
cells
growth.
Actamedica
Indonesiana, 1 1 (1)
36. Rahyussalim, Andriansjah R, Ismail H, And1i L, Tri K, 201 1 . New evidence of spondylitis tuberculosis : contaminated by pyogenic microorganism or mixed infection? Proceeding eCJ\1 XII 2011-european
Cells and
Materials C01�{erence - Implant Infection, Davos, Switzerland.
37. Raja A, 2004. Immunology of Tuberculosis. Indian J Med Res, 120:213-232. 3 8 . Rook GA W, Seah G, Ustianowski A, 200 1 . M. tuberculosis: immunology and vaccination. Eur Respir, 1 7:53 7-557. 39. Russel G , 200 1 . Mycobacterium Tuberculosis: Here Today, and Here Tomorrow. Molecular Cell Biology 1:1-11. 40. Sah R, Ratcliffe A, 2 0 1 0. Translational Models for Musculoskeletal Tissue Engineering and Regenerative Medicine. Tissue Engineering, 1 6 (1). 4 1 . Sapardan, S, 2004. Total Treatment of Tubcrculosis ofThe Spine. A Rational Problem Solving Approach. Perpustakaan Universitas Indonesia . 42. Schlossberg, D, 2006. Tuberculosis and Non tuberculous Mycobacterial Infections. Fifth Edition, JlfcGraw-Hill. 43. Schulz S, Steinhart H, Mutters R, 200 1 . Chronic Osteomyelitis in a Rabbit Model. Journal of Investigative Surgery, 14:121-131. 44. Smith I, 2003. Mycobacterium tuberculosis Pathogenesis and Molecular Determinants of Virulence. Clinical ll.ficrobiology Reviews, 463-496 45. Sugawara I, Yamada H, Mizuno S, 2006. Nude rat (F344/N-rnu) tuberculosis. Cellular Microbiology, 8(4):661-667.
46. Tay BKB, Deckey J, Hu SS, 2002. Spinal Infections. J Am Acad Orthop Surg, 10:188-197.
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012 •
101
t
47. Thirunavukkarasu K, et al, 2000. The Osteoblast-specific Transcription Factor Cbfa l Contributes to the Expression of Osteoprotegerin, a Potent Inhibitor of Osteoclast Differentiation and Function. The .Journal of Biological Chemistty, 275(33):25163-251 72.
48. Tsenova L, Harbacheuski R, Ellison E, Manca C, Kaplan G, 2006. Aerosol Exposure System for Rabbits: Application to M Tuberculosis Infection. Applied Biosafety, 11(1) : 7- 14.
49. Tyndall A, Pistoia V, 2009. Mesenchymal stem cells combat sepsis. Nature medicine, 15:18-20.
50. Vats, ATN, Butterfly, LDK, Polak, JM, 2004. The Stem Cell in Orthopaedic Surgery. .J Boint .Joint Surg(Bt� 86-B: 159-164. 5 1 . Wang J, et at, 201 0. Creating a Long-Term Diabetic Rabbit Model. Experimental Diabetes Re!>earch, Article ID 289614.
52. Zhang G, Zhu B, Shi W, Wang M, Da Z, Zhang Y, 2010. Evaluation of Mycobacterial virulence using rabbit skin liquefaction model. Virulence, 1(3);156-163.
53. Zhang M, Gong J, Lin Y, Bames P, 1 998. Growth of Virulent and Avirulent Mycobacterium tuberculosis Strains in Human Macrophages. b�fection and Immunity, 66(2): 794-799.
54. Zhang M, Lin Y, Jyer DV, Gong J, Abrams JS, Barnesi PF, 1 995. T -Cell Cytokine
Responses
m
Human
Infection
with
Mycobacterium
tuberculosis. Infection and Immunity, 3231-3234. 5 5 . Zychowicz ME, 20 1 0. Osteoarticular Manifestasions of Mycobacterium Tuberculosis Infection. Orthopaedic Nursing, 29(6):400-406.
Laporan Akhir Risbin lptekdok 2012 •
102
t
Lampiran J . Persetujuan Etik
Persetujuan Lolos Kaji Etik dari FKUl
Komite Etik PeneUtian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ruman Saklt Clpto Mangunkusumo Health fiestt�rch £thiC$ Committee Foculry ofMl!dlclne Untverslws Indonesia Cipw Mangvnkusumo Hospital
...
•
;alan�� llaya No. 6, Jakarta PUsat 10430. Telp. 021·3157008. E·m•i!:
Smn<>r: t:J:I
IPTUL.J<'lUETJKf2012 KETERANGAN
LOLOS
KAJI ETIK
£TIII CA L APPHOV AL Komitc Etik Pcnclitian Kcst:hatan Fakull:t� Kedokleran Universitas lndone�ia dalrun upaya lllt:lindungi hak asasi dtm kcsej:�hten.Jan suhyck p�neli1ian kedoktcran. relah meugkaji
dcngan
teliti
protokol berjudul:
The Ethics Commillee of the Facuily o{.llr!dicine. Urziver3ity of lnd one;,iu. ailh regards of
rhe Protection oflwnw11 ri;;lils and l>elfar,• in medical research. hm cure/itl/y reviewed the
rt'search protocol entitled:
"ldcntifikasi 1\-f:lrl<er Sel Osteohlas pada Hcfck Vcrtebt·a Spondililis 'Iubcrkumsl$_ Kelinci yang Ditcrapi Sci l'unc.u Mescnkinu1l Scbagai Tnnda Terjadinya Deferensim
Sel Punca Menuju l>cmbentul•lul Tulang Ban1". Pcneliti Utama
Principal lm>esllgaJors
: dr. Rnhyussnirn, l SpOT()(), Spin-e
-.;EthltuJUIJPHI"WJi bc:rlaku UHi t"htm tl.-•·• tan�al penthljt.��tl urt-�tdhi \J<-rli:ewsjlb�n ' }Ykttjn�:;a J..l:lafl.a�i�tt'lli kkn!ttn.t subwk pcnclttJ tul I. 2, Mt.mlx:nlahl•"-l"t JIUl.Ui �""''''""•' upulnal S(ltehdl ll\Mit � t fl'lkur1)1a�<:rllnJ.Wl k k>J.os kijjl e:uk. J"(•tthtran ma.�(h b"'hJm �wl<'""l''· dnh"n h:�l im t-Jhlt.Y1lclroMJJ(;i' •. h:u1.s dipc:rpanJang l'
Laporan Akhir t
Risbin 2012
Persetujuan Etik dati Rumah Sakit Hewan IPB
•
Komisi Pengawasan Kesejabteraan dan Penggunaan Hew an Pcrcobaan RUMAH SAKIT HEWANJNSTITUT J>ERTANIAN BOGOR Animal Care and Usc Committee VETERINARY TEACHING HOSPITAL .11. Agatis Kampus lPB Dr.truaga, Dogor, 16680 Tclp/Fax: 02S1-8425503
PEI�SETUJUAN ATAS PERLAKUAN ETIK Judul Pcnclitian: ldentifikasi Marker Sci Osteoblas pada Oefek Vertebra Spondilitis Tuberkulosis Kelinci yang Diterapi Scl l'unca Mcsenkinml sebagai Tanda Terjadinya Diferensiasi Sci Menuju Pcmebcntukan Tulang Uaru Pencliti Utama: Dr. Rahyussalim, SpOT (K) Spine Bahan Review: I.
Form Aplikasi ACUC RSH-IPB
2. Protokol Pcnclitian 3. Surot Tanggapan Pcncliti kcpada ACUC Dengan memperhatikan: l. Species dan Rclcvansi Hewan Model
2. Justifikasijumlah hewan yang digunakan 3. Prosedttr Penelitian pada hewan coba Kami
menyatakan
bahwa
proscdur
dalam
pcneliti.an ini
mcmperbatikan kescjahtcraan hcwan coba yang digunakan
mcmenuhi
.
Maka, kami membcrikan Ethical Approval pada pcnelitian ini. Nomor: 02-2012 RSH-IPB
Bogor, Mei 2012 Ketua Komisi
PhD
2 Universitas Indonesia t
persyarotan etik
dan
3
Persetujuan ACUC PT. Bimana Indomedical Bogor
Animal Car. and Use ConvnltH Jolon Lodaya 11/5. Bogor 1615. 1ndonesia Telp. +62-251-310031 . Fax. +62-251 -353359
Bf>MANA � tl O O � [
D
I C A I..
Emoi: [email protected]
..brlnos h&allhy living through resean:h........
_,
MEMORANDUM ;
To
d.r. lWlyussalim Jabir, SpOT (K)
From : }anual}' 2012
1. Research Proposal
Subject
�
Protocol Tide
: Rabbit Bone Marrow Aspimtion, Create a Defect and a Stabili2ing
2. PT. Bimana In.domedical ACUC F01n1 Device in
The Rabbit'• Verteb me
The Aninul C.ate and Use Committee lui$ concluded that the lltlitxl2ls in your study will be appropriately used, will receive acceptable levels of Cire, will not be subjected to paiD or
Wsl:n:$8 needlessly, and will, if necesw:y, be t:e.rminated in a bUJ.lW.le manner. When
ordering the aniaWs
for the � zefcrenced &tndy• _please
assigned to your project by Animal Que md Ust Cotni'l'littM protocol :is Jmwxy 2012. Committee tpproval
:is for
additional yems. You will be
the A ·number fox this
with • renewal allowed for two a temindet· b:letn<>t:andw:n December 2012, teq1:1e$ting the
a period of tw&ve months &ent
status of this protocoL
ACUC Number
refer to
The approval date
; R.02-12-1R
PT. Binuna Indomcdical ACUC.
PW��D Chairperson
Laporan Akhir Risbin 2012 •
t
Persetujuan Etik Pra Penelitian dari Rumah Sakit Hewan IPB
•Komisi
Pengawasan Kesejabteraan dan Ptnggunaan Hewan Pereobaan .RUM All SAKIT
11EWAN lNSlTFUT PF.RTANIAN BOOOR
Animal Care and Use Committee VETF.JUNARY TEACHING HOSPITAL 11. Agatl$f
Judul P�itian:
Potensi Penula.Tllll Bakteri MycobacleriJim tllberculosis terfutdap Lingkungu patbl Model Kelincl Spondili.tis TB
Peneliti Utama: Dr. R,ahayussalim. SpOT (K) Spine
Bahan Review: I . Fonn Aplik�i ACUC RSH-lPB
2.
Protokol PeneJitian
3. Surat Tanggapan Peneliti kepada ACUC Dengan memperhatikan: I.
Species dan Relevansi Hewan Model
2. Justitikasi umlah j hewan}'8ll3 digunakan
3.
Prosedur
Penelitian pada hew.an C<>ba
Kami menyatakan l>ahwa
prosedur
daWn
penelitian ini
memperhatik:an kesejahtcraan hcwan
rnemellUhi
Maka, kami memberikan BtJJiaJJ ApprtWttl pad&. penelitian n i i. Nomor. 03 - 20 1 1 RSH-IPB
Bogor, Oktober 20 I I
4 Universitas Indonesia
t
persyaratan etik dan
5
Lampiran 2. Tabel Sistem Skoring
1.
Sistem Pcnilaian Skoring Penularan dan Tertular
BTA
0 :z
.0::: 0 :::£:
(-)
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Feses Urin Saliva lcsi T l 2 Fcses. Urin Saliva Lesi T 1 2
PCR TB
Feses. Urin Saliva Lesi T1 2 Vert Tl2
KulturTB
ell
Roentgen AP
Hasil Pemeriksaan Positif I Positif2 (+2) (+I) 7 4 7 4 7 4 3 I 7 4 7 4 7 4 I 3
Negatif
Sampel
Pemeriksaan
Roentgen Lat Roentgen AP Roentgen Lat
Vert T 1 2 Pant Pant
0 0 0
Histopato1ogi
Lesi T l 2
0
Positif3 ( + 3) 10 10 IO 5 IO 10 10 5
12 12 12 8
21 21 21 14
30 30 30 20
8
14
20
8
14
12 12
21
21
20 30 30
3
5 285
Total
2. Sistem Penilaian Skoring Kesembuhan
Hasil
skor
Hasil
Skor
Basil
Skor
hasil
Skor
Thl Darah
M-I4
N
30
>n
50
Th2 Darah
M-I4
Positif2
Positif 1
30
Negatif
50
Pewamaan BTA
M-14
Positif3
Positif2
15
Positif l
30
Negatif
50
Kultur
M-14
Positif3
Po�itif2
I5
Positif 1
30
Negatif
50
PCR
M-14
Positif3
Positif2
15
Positif 1
30
Negatif
50
Lesi T l 2
Positif 3
Positif2
15
Positif I
30
Negatif
50
Histopatologi MTb
300
Total Nilai skor < 105 tidak sembuh; Nilai skor >= 1 05 scmbuh
Laporan Akhir Risbin 2012 t
3. Sistem Pcnilaian Skoring Variabel Aktifitas Osteoblas Skor Hasil Has il Skor I lasil OPN
ALP
CBFA-1
Iesi T l 2
5
darah
5
lesi T l 2
< N
5
darab
5
lesi T l 2
5
Ketarangan : Nilai skor < I 00 tidak
20
N
20
N
Palpasi
Hasil Vert T l 2
manual
tidak
3
50
>N
50
>N
50
>N
50
>N
50
skor I 00 sd 175 aktif; nilai skor > 175 lcbih aktif
aklif; ni lai
Skor
>N
250
Total
4. Sistem Pcnilaian Skoring Fusi. Variabel
Skor
I-Iasil
Skor
l lasil
30
Skor
Hasil
S kor
Kaku
lcbih
45
Sangat
135
kak u
Sesuai
kaku
PLTID
Lesi T l 2
3
N
5
>N
10
>> N
20
LTPLP
Lcsi T l 2
3
N
5
>N
10
>> N
20
LTSLD
Lesi T l 2
3
N
5
>N
10
>> N
20
LKAP
Vert T l 2
3
N
5
>N
10
>>N
20
LKL
Vert T l 2
3
N
5
>N
10
>> N
20
nekropsi
kaku
Total
<
N adalah nilai dibawah nilai minimum kontrol positif; N adalah dari nilai m inim um
235
sampai diatas nilai maksimum kontrol positif; >> N adalah nilai berada jauh dari nilai maksimum kontrol positif (lebih clari dua kali nilai maksimum); Skor kurang dari 94 arti11ya fusi tcrharnbat; s kor 94 sd 1 4 1 artinya fusi dalam batas normal; skor diatas 1 4 1 artinya fusi tcrcapai lcbih baik. dcngan nilai maksimum kontrol positif; > N adalah
5. Sistem Pcnilaian SkoringOsifikasi l lasil
Skor
l lasil
Skor
l lasil
Skor
l litung Ostcoblas
lcsi T l 2
Nega ti f
Normal
5
positif
15
l litung Osteosit
lesi T l 2
Negati f
Normal
5
positif
15
Kadar Kalsium
Vcrt T I 2
Ncgati f
Nonnal
5
positif
15
Kcterangan
:
Total
skor
1 8 - osifikasi terhambat;
45
skor
18
sd 30 - osilikasi normal;
skor > 30
=
osifikasi baik Ncgatif bila dibawah nilai minimal kontrol; nom1al bila antara nilai minimal dan maksimal; positifbila lebih besar dari nilai maksimal
6 Universitas Indonesia •
,
...... . ......................------------�
7
Lampiran 3. Prosedur PemeriJ<saan I . Prosedur Pewarnaan BTA Bakteri Jl1ycobacterium tuberculosis
a.
Bahan material lesi padat dige1us menggunakan sedikit NaCl tlsiologis, sedangkan material cair dapat langsung dilakukan prosedur pewarnaan basil tahan asam (BTA).
b. Diambi I 1 -2 ose bah an yang telah digerus dengan NaCJ fisiologis/sampel material cair kemudian dibuat \apisan tipis di atas kaca preparat. c.
Ditlksasi singkat di atas api Bunsen, diteteskan larutan karbol fuchsin 0,3 % (BD. TB Carbo/ Fuchsin ZN) kc atas lapisan tipis tersebut, kemudian dipanaskan diatas hotplate selama 5 menit sampai keluar asap tetapi tidak sampai mendidih atau kering.
d. Preparat kemudian dibiarkan dingin selama 5-7 menit, lalu kelebihan zat warna dibuang dan dicuci dengan air mengalir. e.
Dituangkan larutan asam-alkohol 3 % (BD, TB Decolorized) selama 2-4 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir selama 1 -3 menit.
f.
Diteteskan larutan methylen blue 0,1 % (BD, TB Methylene Blue) sampai menutup seluruh permukaan preparat, dibiarkan 1 menit lalu dicuci dengan air mengalir
g. Prcparat dikeringkan dengan kertas hisap untuk selanjutnya diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 1 000
x
meng!:,'lmakan min yak imersi.
h. Bakteri Mycobacterium tuberculosis akan tampak seperti batang merah yang halus dan sedikit melengkung, tersendi1i, berpasangan atau berkelompok dengan latar belakang kebiruan. Pcmbacaan dimulai dari tepi kiri ke kanan atau sebaliknya sampai 100 Ia pang pandang (LP), penilaian sesuai IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Diseases) dapat dilihat pada Tabel 1 .
Laporan Akhir Risbin 2012 •
t
Penilaian BTA Berdasarkan TUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Diseases) Pclaporan hasil Pembacaan dibawah mikroskop Tidak ditemukan BTA dalam 1 00 LP
Negatif
1 -9 BTA dalam 1 00 LP
Tulis jumlah BTA yang ditemukan
1 0-99 BTA dalam 1 00 LP
I+
l - 1 0 BTA dalam l LP
2+
> 1 0 BTA dalam 1 LP
3+
2. Prosedur Pemeriksaan Kultur Bal
8 Universitas Indonesia •
t
9
3. Prosedur Pemeriksaan PCR .Baktcri Mycobacterium tuberculoss i
3. 1 Prosedur Ekstraksi DNA Mycobacterium tuberculosis. a.
Sejumlah sampel dicampur dengan volume yang sama larutan pelisis (NaOH, Na-sitrat dan N-acetyl L-cysteine) dalam tabung mikrosentrifugasi steril dan dikocok dengan horizontal gyrotary shaker selama 20 menit pada 420 rpm.
b. Setelah 1 0 menit disenttifugasi pada 1 2.000 rpm, pelet dicuci dengan akuadest steril dua kali. c. Ke dalam pelet ditambahkan larutan TE dan larutan pelisis (guanidin tiosianat, Tris-HCI, EDTA dan Triton-X) dan 20 �L Diatom kemudian dikocok kembali selama 1 0 menit pada 1 00 rpm dan disentrifugasi 2 men it. d.
Pelet dicuci dengan buffer dan etanol 70 % dingin masing-masing 2 kali dan dengan aseton 1 kali, kemudian pelet dikeringkan pada 56 °C.
e.
Pelet kering ditambahkan larutan TE dan diinkubasi pada suhu 56 OC selama 1 0 menit. Setelah disentrifugasi, supernatmmya digunakan untuk template PCR.
3. 2 Prosedur Amplifikasi DNA Mycobacterium tuberculosis dengan PCR. a.
Sepasang primer oligonukleotida digunakan untuk mengamplifikasi fragmen yang spesifik untuk kompleks M tuberculosis.
b. Primer yang digunakan adalah E l -E2 dan Tbl -Tb2 yang merupakan paten dari laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI. c. Dibuat
master
m1x
yang
terdiri
dari
0,25 �M
masing-masing
deoxynuc]eoside triphosphate (dNTP), 50 mM Tlis-HCI (pH 8.3), 40 mM KCI, 1 ,5 mM MgCI2, gel loading dye dan akuadest. d.
Dilakukan amplifikasi dengan menambahkan 50 �g template DNA sampel dan
20 pmol
masing-masing
primer
ke
dalam
tabung
PCR
yang
mengandung Taq DNA polymerase dan master mix. e.
Kontrol positif adalah DNA dari strain standar M. tuberculosis (H37Rv) dan kontrol negatif adalah akuadest.
f.
Siklus ampliflkasi dilakukan pada Automated thermaL cycler. Profil siklus adalah denaturasi awal 95 OC selama 5 mcnit diikuti 30 siklus terdiri dari Laporan Akhir Risbin 2012
•
t
dcnaturasi pada 95 °C selama 30 detik, annealing pada 60 oC selama 30 detik, dan ekstensi pada 72 °C selama 45 detik. o g. Ekstensi akhir dilakukan pada 72 C selama 5 menit.1 07 3. 3 Prosedur
a. Agarose
Deteksi produk PCR. 1 ,5
%
di larutkan
dalam
l .OX
TAE
(Tris-asetat-EDTA)
mengandung etidium bromide (0.5 J..Lg/mL) dengan cara didihkan dan didinginkan dalam cctakan b. Produk PCR dielektroforesis pada gel agarosc tersebut dengan metode elektroforesis horizontal c.
Hasil
elektroforesis divisualisasi
pada
panJang
gelombang 260
nm
menggunakan UV transiluminator yang dilcngkapi Foto analisis. 4. Prosedur Pcmbuatan Sediaan l munohistokimia
a. Jaringan korpus yang telah disampling difiksasi dalam buffer fonnalin netral 10% minimal selama 24 jam b.
Dilakukan dekalsifikasi dalam larutan EDTA 1 0% selama 1 6 hari, setiap hari larutan EDT A diganti dengan yang baru
c.
Setelah jarungan korpus lunak dilakukan pemotongan awal dengan arah sagital pada daerah tengah defek
d.
Dilakukan proses dehidrasi menggunakan alkohol bertingk:at mulai dari alcohol 70% (30 menit), 95% (30 men it) dan alkohol absolut l 00% (30 mcnit), kemudian direndam dalam alkohol absolut selama 3 jam dan alcohol/xylol selama 3 0 menit.
c. Dilakukan pembeningan menggunakan xylol selama 1 jam (xylol 1 ) dan 2 jam (xylol 2) dilanjutkan dengan pembenaman dalam parafin cair bersuhu 45 °C (2 x 3 jam) dan bloking dalam oven bersuhu 55-57 °C. f.
Blok yang telah jadi dipotong menggunakan mikrotom dan dibuat slide.
10 Universitas Indonesia •
t
I1
5. Prosedu•· Pembuatan Scdiaan Histopatologi
a. Potongan jaringan tulang difiksasi menggunakan buffer neutral formalin 10%.
b. Dilakukan dekalsifikasi tulang menggunakan asam nitrat
1 0% dalam
fonnalin selama 3-5 hari. c.
Dilakukan pencucian dalam alcohol 70 %.
d. Dilakukan proses dehidrasi dengan alkohol bertingkat 80%, 90%, 96% dan alkohol absolut scbanyak 3 kali, masing-masing 2 jam. e.
Tulang direndam dalam xylol sebanyak 3 kali, masing-masing 30 menit.
f.
Tulang climasukkan ke dalam paraffin cair bersuhu 63 °C sebanyak 4 kali, masing-masing 30 menit.
g. Dilakukan bloking dengan parafin dan sampel tulang s1ap dipotong menggunakan mikrotom. h. Blok jaringan tulang dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 35 mikron. r.
Direkatkan pada kaca objek dan diinkubasi dalam incubator selama 1 malam.
J.
Pewamaan di mulai dengan rehidrasi xylol bertingkat 1 , 2 dan 3.
k. Dimasukkan ke dalam alcohol absolut sebanyak 3 kali, dilanjutkan dengan alkohol 96 %, 90 %, 80 % dan 70 %, baru kemudian dengan air. I.
Dilakukan pewamaan dengan larutan hematoksilin selama 3 menit.
m. Dicuci dcngan air keran selama 5 menit kemudian dibilas dengan akuades. n.
Dilakukan pcwamaan dengan larutan eosin selama 1 menit.
o.
Dimasukkan ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, 96% dan alkohol absolut sebanyak 3 kali dan ke dalam xylol sebanyak 3 kali.
q.
Diberikan entelian sebagai fiksator dan ditutup dengan kaca penutup.
r.
Dilakukan pengamatan eli bawah mikroskop.
Laporan Akhir Risbin 2012 •
t
6. Proscdur Pcmcriksaan Elisa Alkalin Phosfatasc
a.
Disiapkan : - 96 welt yang telah berisi antibody rabbit alkaline phosphatase
- Reagen A dan B dibuat dengan cara mengencerkannya I : 1 menggunakan aquabidest -
Larutan pencuci dibuat dengan cara mengencerkan 20 mL stok lmutan pencuci dengan 580mL aquades
- Substrat TMB - Blanko (aquadest) - Standar disiapkan dengan cara melakukan pengenceran dari stok standar menggunakan aquabidest sehingga didapatkan deret konsentrasi 3 . 1 2; 6.25; 12.50; 25.00; 50.00; 1 00.00 dan 200.00 U/L b. 1 00 U L sampel serum kelinci, masing-masing larutan standard an larutan blanko dipipet ke dalam wells. Wells ditutup menggunakan plate sealer dan inkubasi selama 2 jam pada 37 °C. c.
Larutan dibuang , tanpa dicuci.
d. Tambahkan 1 00 uL reagen A pada masing-masing well, inkubasi selama I jam pada 37 °C setelah well ditutup menggunakan plate sealer. e. Pipet larutan dan cuci menggunakan 400 uL larutan pencuci, diamkan selama 1-2 menit, ulangi pencucian sebanyak 3x. f
Tambahkan I 00 UL reagen B pada masing-masing well, inkubasi selama 30 menit pada 37 °C setelah well ditutup menggunakan plate sealer
g. Ulangi pemipetan dan pencucian menggunakan 4 x 400 u L larutan pencuct h. Tambahkan lmutan substrat TMB pada masing-masing well, tutup menggunakan plate sealer dan inkubasi selama 1 5-25 menit dalam ruang gelap (larutan akan berwarna biru)
12 Universitas Indonesia •
t
13
1.
Tambahkan 50 uL larutan penyetop dan campur merata. larutan akan berubah wama menjadi kuning dan absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 450nm
7. Prosedur Pemeriksaan Elisa Osteopontin
Prosedur sama dengan pemeriksaan Elisa alkalin phosphatase, hanya antibody yang digunakan adalah antibody rabbit ostcopontin dan konsentrasi deret standar yang digunakan adalah : 0. 1 56; 0.3 1 2; 0. 625; 1 .25; 2.50, 5.0 dan 1 0.0 UL. 8. Prosedur Pemeriksaan Kadar Kalsium Tulang
a. Sampel tulang dihaluskan menggunakan mortar. b. Ditimbang sejumlah sampel tulang halus dan didestruksi menggunakan asam nitrat pekat di dalam lemari asam. c. Setelah destruksi selesai yang ditandai dengan habisnya uap N02 dan wama cairan sampel menjadi jernih, dilakukan pemindahan sampel secara kuantitatif ke dalam labu ukur 25 mL, ditambahkan 1 m L EDT A 1 0 ppm sebagai
masking
agent
kemudian
diencerkan
sampai
tanda
batas
menggunakan akuades. d. Disiapkan deret standar Ca2+ dengan konsentrasi 0, 1 , 2, 3, 4 dan 5 ppm eli dalam labu ukur 25 mL, ditambahkan 1 mL EDTA I 0 ppm sebagai masking agent kemudian diencerkan sampai tanda batas menggunakan akuades. e. Diukur absorbansi larutan sampel dan standar menggunakan alat Atomic Emision Spektrofotometer (AES) menggunakan lampu katoda kalsium. f. Data absorbansi sampel dan standar dihitung menggunakan persamaan linier dan dihitung kadar kalsium dalam sampel tulang.
Laporan Akhir Risbin 2012 •