LAPORAN AKHIR PENELITIAN DIBIAYAI DENGAN DANA MASYARAKAT FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA TAHUN 2012
Judul Penelitian: NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL PADA HUBUNGAN ANTARA MITOS DEWI SRI DAN EKSISTENSI SENI TRADISIONAL DI INDONESIA
Oleh: Sartini NIP: 196803281993032002
FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA TAHUN 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena dengan karunia dan petunjukNya penulis dapat menyelesaikan karya tulis eksplorasi kearifan lokal Nusantara ini. Semoga karya ini dapat memperkaya dan mempunyai andil pengembangan kajian lebih lanjut. Tentu saja karya ini terselesaikan atas bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis hendak menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Filsafat selaku pimpinan Fakultas Filsafat dan jajarannya yang sudah melaksanakan program penelitian ini dengan baik. 2. Teman-teman dosen khususnya reviewer atas masukannya. 3. Teman-teman karyawan Perpustakaan dan IT Fakultas Filsafat yang sudah membantu kelancaran kerja penelitian ini. 4. Suami dan anak-anak yang sangat dengan senang hati mendukung terselesaikanya tugas penelitian, tugas-tugas kelembagaan lain serta kemajuan penulis. Demikian disampaikan ucapan ini. Oleh karena karya ini masih jauh dari sempurna, demi kemajuan yang lebih bagi penulis, sumbang saran dapat disampaikan langsung kepada penulis lewat e-mail:
[email protected]. Yogyakarta, 29 Juli 2012 Penulis
Sartini
DAFTAR ISI Halaman Judul
i
Pengantar
ii
Lembar Pengesahan
iii
Daftar Isi
iv
Intisari
vi
Abstract
vii
BAB I PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang Penelitian
1
1. Rumusan masalah
1
2. Keaslian penelitian
2
3. Manfaat penelitian
2
B. Tujuan Penelitian
3
C. Tinjauan Pustaka
3
D. Kerangka Pikir
8
E. Metode/Cara Penelitian
11
1. Materi/bahan penelitian
11
2.
Alat
11
3.
Cara pelaksanaan
12
4.
Analisis hasil
12
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
13
A. Varian Cerita Mitos Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan
13
B. Mitos Dewi Sri dan Kesenian Tradisional Petani di Indonesia
25
C. Analisis Nilai-nilai Kearifan Lokalnya
41
1. Aspek religius (hubungan manusia dengan Tuhan)
41
2. Aspek kosmis (hubungan manusia dengan alam)
43
3. Aspek etis (hubungan manusia dengan manusia lain)
44
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran 47 DAFTAR PUSTAKA 48
46 46
INTISARI Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan varian mitos Dewi Sri yang berkembang di masyarakat, menjelaskan varian kesenian tradisional petani yang berhubungan dengan mitos tersebut, dan menjelaskan nilai-nilai kearifan lokalnya khususnya berkaitan dengan aspek nilai religius, aspek kosmis dan aspek etis. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan model analisis filsafati dengan beberapa langkah metodis yaitu: deskripsi, interpretasi, deduksi-induksi, koherensi internal dan refleksi. Hasil penelitian ini adalah: pertama, terdapat berbagai varian cerita mitos Dewi Sri yaitu pada naskah, cerita pewayangan yang biasa dilakonkan pada acara Bersih Desa dan cerita yang berkembang di masyarakat. Dari beberapa versi cerita ini sebagian mempunyai kemiripan dan sebagian yang lain berbeda baik dalam tokoh maupun alur ceritanya. Kedua, terdapat berbagai varian bentuk-bentuk kesenian yang merupakan implikasi dari adanya mitos Dewi Sri seperti seni rupa patung (cili) di Bali, Rinding Gumbeng di Beji Ngawen Gunung Kidul, Tari Seblang di Banyuwangi, Karinding, Tarawangsa, Jentreng dan Angklung di Jawa Barat. Ketiga, dari sisi nilai kearifan lokal, aspek religinya cukup bervariasi di berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada kekuatan religi yang berkembang. Aspek religius ini berpengaruh kepada aspek kosmis yaitu sikap hidup masyarakat yang harmonis dengan alam dan dari aspek etis dan sosialnya merupakan pendukung bagi munculnya kohesivitas sosial pada masyarakat pendukungnya. Kata kunci: Mitos Dewi Sri, kesenian, kearifan lokal.
ABSTRACT The purposes of this study are to explain the myth of Dewi Sri variants developed in the community, explain the traditional peasant art variants associated with these myths, and explain the values of their local wisdom, particularly in relation to religious, cosmic and ethical aspects. This study is a library research with a model of philosophical analysis with methodical steps are: description, interpretation, deduction, induction, internal coherence and reflection. The results of this study are: first, there are different variants of Dewi Sri myth which are in the scripts, shadow puppet story that played on Bersih Desa ceremonies and common stories developed in the community. Of the several versions of this story have some similarities and some others differ both in character and plot. Second, there are different variants of art forms that is an implication of the myth of Dewi Sri as fine art sculpture (cili) in Bali, Rinding Gumbeng in Beji Ngawen Gunungkidul, Dance of Seblang in Banyuwangi, Karinding, Tarawangsa, Jentreng and Angklung in West Java . Third, in terms of the value of local wisdom, its religious aspect is quite variable in different groups of people, depending on the strength of a growing religion. This religious aspect affects the cosmic aspects in the attitude of the people for living in harmony with the earth and of the ethical and social aspects supports the emergence of social cohesiveness in the community.
Key words: Myth of Dewi Sri, the arts, local wisdom.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian 1. Rumusan masalah Ide awal penelitian ini muncul setelah peneliti melakukan penelitian tentang konservasi dan etika lingkungan studi kasus di Beji Ngawen Gunung Kidul (Sartini, 2009). Peneliti menemukan musik tradisional yang disebut Rinding Gumbeng. Rinding Gumbeng merupakan alat musik tradisional khas masyarakat agraris yang berkembang di wilayah penelitian tersebut, bahkan sampai sekarang. Awal dimainkannya alat musik tersebut dihubungkan dengan upacara yang berkaitan dengan pertanian khususnya padi. Konon pelaksanaannya berhubungan dengan mitos yang berkembang tentang Dewi Sri yang dipahami oleh banyak masyarakat Jawa sebagai Dewi Padi.. Berdasarkan pembacaan dan pelacakan dari berbagai sumber, ternyata terdapat banyak varian musik dan kesenian yang dilakukan oleh para petani di berbagai daerah. Ditemukan juga terdapatnya varian cerita mitos mengenai Dewi Sri itu sendiri di berbagai daerah di Indonesia. Dari penelusuran dan pembacaan pustaka awal tersebut, terlihat ada hubungan antara mitos Dewi Sri, kesenian dan atau alat musik tradisional di berbagai daerah, dan bentuk-bentuk pemahaman lokal masyarakatnya masing-masing. Mitos Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan berkembang di berbagai wilayah Nusantara, khususnya
Jawa dan bahkan di luar negeri. Hal ini akan
ditunjukkan dalam kajian pustaka. Mengapa cerita ini demikian berkembang dan berkaitan dengan berbagai kegiatan yang mengikutinya mestinya karena hal tersebut berguna dan dianggap baik oleh masyarakat pendukungnya. Penelitian ini akan menginventarisasi dan menjelaskan varian cerita tentang mitos Dewi Sri, varian musik tradisional petani yang berhubungan dengan Dewi Sri, dan
menganalisis nilai-nilai nilai kearifan lokal yang terkait di dalamnya khususnya yang berhubungan
dengan nilai religius (hubungan manusia dengan Tuhan), nilai kosmis
(hubungan manusia dengan alam sekitanya, dan nilai etis yang berhubungan dengan nilai hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya.. 2. Keaslian penelitian Kajian Dewi Sri sudah banyak dilakukan terutama berhubungan dengan mitologinya, penjelmaannya pada karya seni, eksistensinya sebagai salah satu manifestasi pemikiran Jawa, upacara yang dilakukan terkait dengannya dan implikasi sosial budayanya. Belum ditemukan kajian yang menjelaskan hubungan mitos Dewi Sri dengan kesenian para petani serta nilai kearifan lokal yang ada di dalamnya. Uraian selengkapnya akan diuraikan dalam kajian pustaka. 3. Manfaat penelitian Kajian ini mengandung manfaat antara lain: a.
Manfaat bagi ilmu pengetahuan, sebagai upaya mengeksplorasi kekayaan intelektual yang berkembang di Indonesia.
b.
Manfaat bagi filsafat, mengembangkan kajian filsafat yang berbasis pada budaya yang berkembang di masyarakat serta melakukan kajian kritis atas pemikiran yang tumbuh di dalamnya.
c.
Manfaat bagi masyarakat adalah untuk menunjukkan kekayaan budaya bangsa yang tidak hanya sebagai karya seni fisik tetapi juga karya seni rohani yang mempunyai makna adiluhung.
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mendeskripsikan varian cerita mitos Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan
2. Menjelaskan varian kesenian tradisional di berbagai daerah yang berhubungan dengan mitos Dewi Sri. 3. Menganalisis nili-nilai kearifan lokal yang berkaitan dengan aspek nilai religius hubungan manusia dengan Tuhan, nilai kosmis hubungan manusia dengan alam, dan nilai etis hubungan manusia dengan manusia.
C. Tinjauan Pustaka Mitos Dewi Sri cukup dikenal di masyarakat Jawa khususnya, dan bahkan Indonesia. Kajian yang dilakukan oleh Sri Trisna Dewi Hartati (2012), dalam judul makalahnya ”Peranan Dewi Sri dalam Pertanian Indonesia” menjelaskan bahwa di berbagai masyarakat agraris terdapat kepercayaan bahwa tanaman berasal dari tubuh seorang wanita. Antara lain, mengutip pendapat Hidding, di Sunda disebut Nyi Pohaci Sanghyang Sri, dan di Flores, mengutip Saren Oti Bao, dari seorang gadis yang atas permintaannya mengorbankan diri sehingga dari tubuhnya tumbuh tanaman padi. Ia adalah Ine Pane atau Ine Mbu. Menurut Daeng (2008: 113) di Minangkabau, dikenal istilah Saningsari atau Induang Padi dan etnik Tomori Tanah Toraja mengenal Ineno Pae sebagai penjamin tumbuh suburnya padi. Di etnik Lio Flores Tengah dikenal dengan Ine Pare. Keberadaannya sering disimbolisasikan dan dihubungkan dengan berbagai rupa upacara dan bentuk kesenian tradisional yang dilakukan oleh para petani. Tidak hanya ada dalam tuturan, mitos Dewi Sri ternyata juga dimuat dalam teks. Berbagai kajian tentang Dewi Sri sudah dilakukan sebagaimana dijelaskan dalam kajian di bawah ini. Setidaknya terdapat dua naskah tentang Dewi Sri sebagaimana dikaji Suwardi dalam penelitian berjudul ”Makna Simbolik Mitos dalam Masyarakat Jawa Kajian Model Linguistik Levi-Strauss”. Dua naskah yang memuat cerita Dewi Sri, yaitu Asal Mula Padi dari Banyumas, dan Sri Sadana dari Yogyakarta. Kajian khas linguistik ini antara lain
mengungkapkan bahwa dalam kedua teks memuat konsep khas aspek kosmologi dalam nalar Jawa. Dewi Sri sangat berhubungan dengan nalar/pemikiran Jawa, kosmologi Jawa, pertanian dan para petaninya. Kiranya ada beberapa naskah Jawa yang lain memuat cerita ini, misalnya di dalam Purwakandha Brangtakusuma. Penelitian Heru Murdiyanto (2006) dengan judul ”Filosofis Patung Loro Blonyo Expresi Simbolisme Mitos Dewi Sri dan Raden Sadono dalam Sistem Kepercayaan Masyarakat Jawa’ dijelaskan bahwa Dewi Sri dan Raden Sadana merupakan simbol kesuburan (biologis manusia dan tanaman) dan kemakmuran yang disimbolisasikan dalam patung loro blonyo. Dalam adat Jawa, patung ini dipasang di depan senthong tengah dalam konstruksi rumah Jawa. Hal ini berhubungan dengan fungsi magis tertentu dari bilik rumah Jawa (Joglo) tersebut. Sekarang, simbolisasi patung tersebut juga sering tampak dipasang di perkantoran sebagai simbol harapan akan kemakmuran dan kesejahteraan. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Slamet Subiyantoro dkk (2009), dengan judul ”Pengembangan Model Pelestarian Nilai Keharmonisan dalam Tata Hidup sebagai Upaya Menunjukkan Ketahanan Lingkungan Sosial Budaya Masyarakat Jawa Melalui Pemahaman tentang Simbolisme Patung Loro Blonyo”. Penelitian ini menelusuri keberadaan patung Loro Blonyo dalam konteks keseimbangan nilai lingkungan sosial budaya. Patung Loro Blonyo diyakini sebagai penjelmaan pasangan harmonis Dewi Sri dan Sri Sadana sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran. Di dalam tulisan ini juga diungkapkan beberapa versi cerita Dewi Sri. Salah satu versi menjelaskan bahwa Loro Blonyo adalah Dewi Sri dan Sadana yang merupakan titisan Syiwa dan Laksmi atau Wisnu dan Dewi Uma, menjadi Candra Kirana dan Inu Kertapati, atau nama lain Kamajaya dan Kamaratih. Simbolisme patung dikatakan dapat menjadi sarana menyeimbangkan nilai sosial budaya Jawa. Loro Blonyo tidak sekedar patung tetapi dianggap dapat menyelaraskan kosmis. Dewi Sri merupakan simbolisasi ibu yang melahirkan kesuburan tanaman dan Sadana melahirkan kepatutan sandang dan busana. Hal
ini dikatakan merupakan pasangan kesimbangan kosmis yang dilambangkan dengan lingga dan yoni. Penelitian Sumintarsih (2007) dengan judul ”Dewi Sri dalam Tradisi Jawa” menjelaskan bahwa dalam kepercayaan Jawa terdapat simbolisasi penghormatan Dewi Sri. Hal ini nampak dalam ritus perkawinan (midodareni), tata ruang (bangunan) dan ritus pertanian. Dinyatakan bahwa dalam struktur berpikir Jawa, asal-usul benih kehidupan berasal dari dunia atas (dewa) yang diberikan pada dunia bawah (manusia) Supaya benih kehidupan tersebut tetap terjaga sebagai manifestasi hubungan dunia atas dan bawah
maka
dilaksanakanlah ritus-ritus. Dewi Sri dipahami sebagai dewi yang bertugas memelihara tanaman. Sejauh kajian di atas, mitos Dewi Sri tesebar di banyak wilayah Indonesia, dan sebagian besar tersebar di Jawa, disimbolisasikan dalam bentuk patung dan bahkan dihubungkan dengan konsep arsitektural rumah, juga mempunyai nilai kearifan lokalnya sendiri. Setiap masyarakat memahami dengan pengetahuan khasnya masing-masing. Dewi Sri juga banyak dihubungkan dengan pertanian dengan segala ritus atau upacaranya. Dari sekian banyak upacara terkait dengan mitos Dewi Sri, sebagian berhubungan dengan karya seni yang dilaksanakan oleh masyarakat. Bagaimana pun, kesenian yang tumbuh di suatu masyarakat merupakan manifestasi masyarakat penyangga kepercayaannya. Sudah ada beberapa kajian yang mewacanakan hubungan mitos Dewi Sri, pertanian dan kesenian sebagaimana akan diuraikan di bawah. Penelitian yang dilakukan oleh Yuli Handayani (2010:29) menyebutkan ada beberapa jenis pertunjukan tari yang berhubungan dengan padi atau pertanian misalnya Tarawangsa di Sumedang, Ngarot di Indramayu, Seren Taun di Sukabumi. Mengutip tulisan dari Bagong Sutoyo, ia menyebutkan bahwa para petani perempuan keturunan Jawa di Lampung juga mengadakan kegiatan serupa. Hal ini dungkapkan dalam tulisan Bagong
dengan istilah ”Bikin tereh dan panggil Sri Sedono”. Sri Sadana, biasa ditulis demikian, merupakan tokoh lain selain Dewi Sri dalam mitos yang berhubungan dengan kesuburan tanaman padi para petani ini. Kajian ini juga menunjukkan bahwa, mitos Dewi Sri yang berawal di Jawa masih dipahami oleh masyarakat keturunan Jawa yang sudah bermigrasi. Tentu saja dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kegiatan seni yang melengkapinya. Yuliawan Kasmahidayat (2007:14) melakukan penelitian dengan judul ” Seni Pertunjukan Ritual Cermin Hakikat Hidup masyarakat Religius Banten Selatan”. Penelitian ini dilakukan di desa Mekar Wangi Saketi Pandeglang Jawa Barat. Kajiannya mengungkap bahwa beberapa seni tradisional yang berkembang di daerah tersebut antara lain Pencak Silat, Saman, Debus dan Dodod. Dodod merupakan upacara khas petani yang sering juga disebut Nanen, yaitu tanam dan panen padi. Upacara tersebut dianggap sebagai suatu bentuk pengkultusan pada Sang Hyang Dewi Sri (Dewi Sri) atau leluhur mereka Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Upacara yang dilakukan para petani padi ini terdiri dari tatanen (mengawali tanam padi), ngalaksa (upacara pada saat tanaman padi tumbuh), dan rasulan (upacara pada saat panen dan menyimpan padi ke lumbung/leuit). Rangkaian upacara ini disimpulkan sebagai gambaran tahapan hidup manusia Penelitian dari Cucup Cahripin (tanpa tahun: 3, 7) dengan judul ”Musik Tradisi Tarawangsa dalam Upacara Ritual Penghormatan Dewi Sri di Desa Rancakalong Kabupaten Sumedang Jawa Barat”, menunjukkan adanya beberapa musik petani yang berkembang misalnya sondari, calempung, kecapi, tarawangsa yang menurut anggapan masyarakat merupakan gambaran hubungan dengan Dewi Sri. Tarawangsa dan Rengkong dimaknai sebagai pengungkapan syukur kepada Tuhan dan terima kasih kepada Dewi Sri. Menurut beberapa sumber, ada musik lain yang mirip satu sama lain, yang dimainkan petani dan di antaranya memiliki fungsi mitologis hubungannya dengan eksistensi Dewi Sri, misalnya Rinding Gumbeng di Gunung Kidul, Barinding di daerah Jawa Barat.
Juga dikenal Robe di etnik Ndora Kabupatan Ngada Timur Flores (Hans Daeng, 2008: p.113.). Musik para petani ini belum dieksplorasi secara memadai baik fungsi maupun latar belakang kulturalnya. Berbeda dengan penelitian yang sudah ada, penelitian ini akan melakukan inventarisasi
dan
deskripsi
varian
mitos
yang
berkembang
tentang
Dewi
Sri,
menginventarisasi dan menjelaskan varian kesenian tradisional petani yang berhubungan dengan nitos Dewi Sri tersebut, serta menjelaskan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalamnya khususnya yang berhubungan dengan aspek nilai religi hubungan manusia dengan Tuhan, aspek nilai kosmis tentang hubungan manusia dengan alam sekitarnya dan aspek etis tentang hubungan sosial antra msyarakat pendukungnya,
D. Kerangka Pikir Manusia sangat berhubungan dengan seni, misalnya musik. Menurut Ian Cross (2001:28-42), musik akan berbeda di setiap kebudayaan dan musik dapat diidentifikasi sebagai aktivitas human. Musik, seperti juga perkataan, merupakan produk interaksi biologis dan sosial sehingga musik berdimensi integral dalam perkembangan manusia. Musik bahkan dimungkinkan mempunyai peran sentral dalam evolusi pemikiran manusia. Merujuk pada pandangan di atas, keberadaan musik sangat berhubungan dengan perkembangan pemikiran dan kebudayaan. Termasuk dalam hubungannya dengan aspek religi yang menjadi bagian dari kebudayaan. Menurut pendapat Geertz (1973: 126), religi merupakan pancaran kesungguhan moral sehingga dalam hubungannya dengan musik religius, isi dan perkembangan subtansi musik tersebut juga berhubungan dengan aspek spiritual sekaligus etis yang berhubungan dengan fungsi religi tersebut. Seni memang berhubungan erat dengan agama. Dari beberapa definisi agama dan seni, Simatupang (2010:5-6) menyimpulkan hubungan seni dan agama sebagai berikut:
1. Agama memerlukan perwujudan dalam bentuk benda dan tindakan, baik untuk mengungkapkan maupun membangkitkan emosi keagamaan di kalangan pemeluk kepercayaan suatu agama, agar agama benar-benar dirasakan/dihayati manusia. 2. Kemampuan suatu benda atau tindakan untuk mengungkap atau membangkitkan emosi keagamaan bersandar pada daya simbolik yang dimiliki oleh benda atau tindakan tersebut. 3. Daya simbolik suatu benda atau perilaku keagamaan bertumpu pada sistem kepercayaan manusia terhadap keberadaan Yang Maha Kuasa. 4. Kemampuan suatu benda atau perilaku untuk membangkitkan atau mengungkapkan emosi keagamaan, pada dasarnya selaras dengan daya pesona (enchantment) yang dimiliki oleh benda atau perilaku seni. 5. Pesona yang dimiliki oleh benda atau perilaku agama/seni tersebut merupakan efek dari penerapan suatu teknologi (teknik) tertentu pada material. 6. Oleh karenanya, benda atau perilaku agama sebenarnya berkelindan (overlap) dan berkorelasi dengan benda atau perilaku seni. 7. Perbedaan dan pergeseran tanggapan (transition) terhadap gejala benda atau perilaku seni/agama terjadi karena berlangsungnya transit yakni perubahan atau pergeseran konteks keberadaan gejala yang dimaksud. 8. Pergeseran tersebut dapat berlangsung dalam dua arah: dari seni ke arah agama, dan sebaliknya; dapat pula terjadi pergeseran ke arah penggabungan yang tidak saling meniadakan (sekaligus agama dan seni) 9. Konteks-konteks tersebut meliputi konteks publik (komunal) maupun konteks personal (individual). Dengan demikian sangat terlihat hubungan antara agama, seni, simbolisasi, ekspresi emosional, baik pada tingkat individu maupun sebagai kelompok. Termasuk pelaksanaannya berhubungan dengan rasa agama yang sangat mendalam. Yang demikian ini cukup jelas terlihat pada masyarakat tradisional. Mengutip pendapat Simatupang, Suwardi (2006:1) mengatakan bahwa dalam mistisisme (istilah ”mistisisme” ini digunakan untuk menjelaskan ritual atau upacara tradisional seperti tradisi Merti Desa yang masih menggunakan tata cara dan doa-doa tradisional), seni dari sisi budaya bukanlah seni sebagai seni, melainkan seni dalam konteks. Mengutip Redfield selanjutnya Suwardi (2006:7) mengatakan bahwa seni merupakan pengalaman yang diperluas. Seni akan memuat pola-pola pengalaman imajinatif. Misalnya seni religius seperti wayang kulit pada upacara-upacara Bersih Desa berbeda dengan seni populer. Wayang kulit dalam seni religius merupakan wujud seni yang kompleks. Seni religius melukiskan tema spiritual. Demikian itu dapat dilihat dalam berbagai upacara tradisional di masyarakat.
Sebagaimana lazimnya manusia sebagai entitas yang hidup dalam kebudayaan, hubungan kehidupan fisik, sosial, budaya, dan juga secara khusus religi akan menemukan kekhasannya sendiri pada masing-masing kelompok masyarakat. Ini menjadi suatu bentuk kearifan lokal masyarakat. Mengutip kesimpulan Sartini (2009:24), kearifan lokal merupakan pandangan hidup yang ditemukan di dalam suatu masyarakat lokal tertentu yang merupakan suatu konsep berpikir tentang segala sesuatu. Kearifan lokal sebagai bentuk filsafat dalam pengertian produk, berisi konsep tentang bagaimana manusia memposisikan diri di hadapan Tuhan, bagaimana manusia berhubungan satu sama lain, bagaimana hubungannya dengan alam lingkungannya dengan pemahaman dan pengalaman khasnya. Sebagai suatu konsep kebudayaan, kearifan lokal merupakan cara berpikir dan menyesuaikan masyarakat dengan keadaan lingkungan dan sejarah hidupnya masing-masing.
E. Metode/Cara Penelitian 1. Materi/bahan penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pustaka. Data penelitian merupakan data pustaka yang dikumpulkan dari berbagai sumber, yaitu: hasil penelitian, buku teks, tulisan ilmiah, tulisan populer baik dari media cetak maupun elektronik. Sumber tulisan ini terutama berkaitan dengan objek materi di samping juga buku teks dan hasil penelitian ilmiah sebagai sumber teori yang melandasi penelitian. 2. Alat Tidak diperlukan alat khusus kecuali perlengkapan pengumpulan data berupa kertas lepas, blocknote dan perlengkapan olah data tulis. 3. Cara pelaksanaan Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan urutan kegiatan sebagai berikut:
a.
Penemuan ide penelitian dan pengayaan materi untuk mendapatkan kejelasan fokus kajian penelitian.
b.
Menentukan tujuan penelitian
c.
Mempertegas dasar dan fokus perspektif teoritis yang akan dipakai sebagai pijakan penelitian.
d.
Menuangkan konsep dalam proposal penelitian.
e.
Melakukan pengumpulan data sesuai dengan tujuan penelitian
f.
Melakukan analisis dari data yang sudah dikumpulkan. 4. Analisis hasil Analisis dilakukan dengan beberapa langkah metodis:
a.
Deskripsi, dilakukan untuk menjelaskan varian cerita mitos Dewi Sri yang berhubungan dengan pertanian dan kesuburan, menjelaskan varian kesenian yang berhubungan dengan mitos Dewi Sri.
b.
Analisis, dilakukan untuk mengkategorikan aspek-aspek dalam pendeskripsian materi kajian sebagaimana disebutkan di atas.
c.
Interpretasi, dilakukan untuk memaknai fungsi kesenian hubungannya dengan mitos Dewi Sri yang berkembang dan nilai-nilai kearifan lokal yang berhubungan dengan nilai religius, nilai kosmis, dan nilai etis.
d.
Koherensi internal, dilakukan dalam rangka membangun satu pemahaman yang utuh mengenai hubungan mitos Dewi Sri, eksistensi kesenian tradisional dan nilai-nilai kearifan lokalnya.
e.
Refleksi, dilakukan untuk melihat nilai-nilai kearifan lokal yang ada dihubungkan dengan kondisi sekarang yang sedemikian penuh tantangan yang dapat merusak nilainilai kearifan lokas tersebut. BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
C. Varian Cerita Mitos Dewi Sri Menyimpulkan dari pandangan J. van Baal, Syukur Dister dan C.A. van Peursen, Daeng (2008 : 81) menjelaskan bahwa mitos merupakan cerita dalam kerangka suatu sistem religi yang di masa lalu dan kini berlaku sebagai suatu kebenaran (keagamaan). Ilmu pengetahuan tentang mitos atau mitologi merupakan suatu cara untuk menghadirkan atau mengungkapkan Yang Ilahi melalui bahasa simbolik. Melalui pengetahuan ini memungkinkn manusia memberi tempat kepada bermacam kesan dan pengalaman hidup. Berdasarkan acuan yang diberikan mitos, manusia dapat berorientasi dalam kehidupan, ia tahu dari mana datang dan kemana akan pergi, asal-usul dan tujuan hidupnya dijelaskan dalam mitos. Mitos menyediakan suatu pegangan hidup. Mitos adalah cerita pemberi pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Mitos, juga menyadarkan manusia akan kekuatan-kekatan gaib. Demikian juga yang terjadi pada mitos Dewi Sri. Cerita Dewi Sri yang dimitoskan di berbagai daerah, khususnya wilayah Nusantara, ternyata menunjukkan variasi yang beragam. Misalnya, Dewi Sri hubungannya dengan Sri Sadana dalam beberapa tulisan digambarkan sebagai kakak dan adik, tetapi di dalam versi yang lain mereka digambarkan sebagai pasangan, suami dan istri, sehingga mitos yang berkembang berkaitan dengan kesuburan. Di antara cerita tersebut terdapat unsur pernikahan tetapi yang lainnya kurang jelas hubungan keduanya. 1. Mitos Dewi Sri dalam serat Purwakandha Brangtakusuma Naskah tebal ini pada beberapa bagiannya memuat cerita tentang Dewi Sri. Karena banyak yang dipaparkan dalam naskah tersebut, dalam penelitian ini akan diuraikan secara singkat cerita tersebut.
Suatu saat ketika Batara Guru sedang bercengkrama melihat-lihat keadaan di kahyangan terlihat ada sesuatu yang bercahaya, yang sinarnya hingga menembus ke surga tingkat tujuh. Berita ini telah menggemparkan keadaan di kahyangan. Batara Guru merasa penasaran terhadap benda itu lalu mendekatinya. Ternyata cahaya itu berasal dari buah bunga kastuba. Oleh Batara Guru buah itu lalu dipetiknya, disimpan dan dijaga secara baik. Keajaiban terjadi, buah tersebut menjilma menjadi seorang bayi wanita yang berparas cantik jelita. Bayi tersebut diberi nama Dewi Sri. Dewi Sri dirawat dan dijaga secara baik oleh Batara Guru. Ia dianggap sebagai anak sendiri. Dewi Sri tumbuh berkembang menjadi seorang gadis remaja yang kecantikannya tersohor di kahyangan, tiada bandingannya. Parasnya halus baunya harum mewangi. Siapa pun yang melihat pasti terpesona dan tergilagila hasratnya. Batara Guru, sang ayah angkatnya, tak terkecuali juga mulai tertarik ingin memperistri Dewi Sri. Keinginan Batara Guru tersebut dihalang-halangi, dicegah oleh Batara Narada. Kalau hal itu terjadi maka akan menurunkan martabatnya sebagai dewa. Batara Guru akhirnya mengikuti nasihat Batara Narada bahwa tidak baik memperistri Dewi Sri, anaknya. Dewi Sri lalu dititipkan pada Batara Surya, anaknya. Dewi Sri dipingit agar tidak digoda oleh para dewa yang lain, karena kecemburuan Batara Guru. Dewi Sri tidak boleh bergaul dengan teman-temannya. Selanjutnya diceritakan ada salah seorang putra Batara Guru yang ragil bernama Batara Wisnu. Ia mempunyai wajah yang tampan, menarik, dan sangat disayangi oleh ayahnya. Wisnu dianugerahi pusaka berupa bunga kastuba yang bernama wijayakusuma. Suatu ketika, Wisnu bercengkrama melihat-lihat suasana keindahan di kahyangan dan secara tak sengaja bertemu dengan Dewi Sri. Kedua dewa dewi tersebut saling terpikat hatinya lalu jatuh cinta. Percintaan mereka akhirnya diketahui oleh Batara Guru. Batara Guru menjadi sangat marah. Mereka berdua dipanggilnya lalu diusir disuruh turun ke bumi. Mereka turun
ke bumi tepatnya di kerajaan Mendhangkamolan yang ketika itu sedang diperintah oleh raja Makukuhan. Dewi Sri terlihat sedih. Diceritakan bahwa bila Dewi Sri sedang sedih atau marah ditandai dengan perubahan pada payudaranya menjadi besar, sebesar kendi. Itu adalah keistimewaan Dewi Sri dibanding yang lainnya. Tanda-tanda tersebut juga terjadi pada wanita-wanita titisannya, yaitu misalnya Dewi Sumbadra dan Dewi Candrakirana. Lambat laun pasangan Wisnu dan Dewi Sri dapat hidup bahagia di bumi Mendhangkamolan. Diceritakan juga bahwa atas kegagalannya akan menikahi Dewi Sri, Batara Guru jatuh cinta pada Dewi Tisnawati. Menurut asal usulnya, Dewi Tisnawati ini dulu ditemukan oleh Batara Guru dari dalam cupu manik yang mengeluarkan cahaya yang ada di dasar laut. Dewi Tisnawati dirawat oleh Batara Guru. Setelah dewasa menjadi gadis yang cantik jelita Batara Guru tergoda ingin memperistri Dewi Tisnawati. Dewi Tisnawati menyampaikan prasyarat pada Batara Guru. Prasyarat yang harus dipenuhi adalah: menyediakan pakaian yang tak pernah kusut, menyediakan makanan tetapi sekali makan merasa kenyang selamanya, dan gamelan kethoprak. Batara Guru menyuruh Kalagumarang, anak Batara Kala, untuk mencari ketiga prasyarat tersebut. Dalam perjalanan sebagai utusan Batara Guru, Kalagumarang tak sengaja bertemu dengan Dewi Sri yang ketika itu sedang mandi di laut Nilawening. Kalagumarang jatuh cinta pada Dewi Sri. Ia terus mengejar Dewi Sri, bahkan menghadap pada Wisnu, suami Dewi Sri, meminta agar Dewi Sri menjadi istrinya. Oleh Wisnu, Dewi Sri disuruh menyelinap dan lari dari kejaran Kalagumarang. Wisnu terus berusaha menghalangi niat Kalagumarang. Setiap akan tertangkap, Wisnu memperdaya Kalagumarang, misalnya menjadi akar pohon sehingga membuat Kalagumarang terjerat lalu jatuh, merangkak lalu dikutuk menjadi babi hutan. Oleh karena tak kunjung terpenuhi prasyarat tersebut, Batara Guru tak kuat menahan hasrat memperistri Dewi Tisnawati. Akhirnya ia memaksa Dewi Tisnawati supaya bersedia
menjadi istrinya. Dewi Tisnawati berusaha menolaknya hingga akhirnya bunuh diri mati di pangkuan Batara Guru. Mayat Dewi Tisnawati dimakamkan di bumi, tepatnya di Mendhangkamolan. Keajaiban telah terjadi, dari mayat tersebut tumbuh bermacam-macam tanaman. Dari kepala tumbuh pohon kelapa, selanjutnya dari akar pohon kelapa yang tercabut dan terbuang tumbuh menjadi pohon pete, jengkol, dan kemlanding. Dari telapak tangannya tumbuh pohon pisang, bagian payudaranya tumbuh pohon pepaya, bagian giginya tumbuh menjadi tanaman jagung, bagian pusarnya tumbuh menjadi pohon arcu, bagian hatinya tumbuh pohon sawo dan tanjung, dan bagian matanya tumbuh padi. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya roh Dewi Tisnawati ini sudah menyatu masuk
ke dalam diri Dewi Sri
sehingga keduanya sudah tidak bisa dipisahkan. Kalagumarang yang terkutuk menjadi babi hutan tak henti-hentinya mengejar Dewi Sri di Mendangkamolan. Ia marah karena gagal mendapatkan Dewi Sri sehingga dalam perjalanan ia sambil merusak tanaman padi dan lainnya. Di samping itu, Pritanjala, dewa penunggu bagian Timur laut,
juga terkutuk menjadi beraneka binatang seperti burung,
walang sangit, menthek, dan sebagainya. Binatang-binatang tersebut bersama babi hutan terus merusak tanaman di sekitarnya. Mereka menjadi hama tanaman. Wisnu tidak tinggal diam. Ia mengikuti dan melindungi Dewi Sri dan tanaman-tanaman tersebut dari amukan binatang-binatang hama. 2. Dewi Sri versi Wikipedia Ensiklopedi populer Wikipedia memuat penjelasan tentang Dewi Sri. Meskipun bukan karya ilmiah, ensiklopedia ini merupkan salah satu sumber bacaan yang paling sering dan bahkan paling awal ditemui pembaca ketika melakukan perburuan informasi di internet. Selanjutnya, nanti akan dikutipkan cerita Dewi Sri dari sumber-sumber lain yang lebih mempunyai kekuatan akademis.
Dewi Sri, dalam bahasa Jawa ditulis dengan nama Dewi Shri, dalam bahasa Sunda disebut Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Diceritakan, konon, di Kahyangan, Sang Bathara Guru yang menjadi dewa penguasa tertinggi kerajaan langit memerintahkan gotong royong kawulanya untuk membangun istana baru. Warga yang tidak bergotong royong dianggap tidak taat dan pemalas. Mereka akan dipotong tangan dan kakinya. Salah satu dewa di Khayangan tidak berkaki dan tangan, yaitu Antaboga, dewa ular. Ketakutannya karena tidak bisa bekerja dengan tangan dan kakinya membuatnya menangis tersedu-sedu. Air matanya yang jatuh ke tanah ternyata menjadi mustika seperti permata berkilauan. Atas nasehat Narada, maka dipersembahkannya tiga butiran itu kepada Bathara Guru. Antaboga membawanya dengan mengulumnya di mulut. Dengan mengulum tiga butiran tersebut ia tidak bisa berbicara, maka ketika bertemu gagak ia diam saja dan dianggap sombong oleh lawan bicaranya. Maka, marahlah gagak dan gagak menyerangnya sampai dua butiran di mulutnya jatuh dan pecah. Tinggal satu butir mustika diserahkan kepada Bathara Guru. Karena Bathara Guru mengerti bahwa butiran itu telur ajaib, maka diperintahkanlah Antaboga mengeraminya. Menetaslah telur itu dan ternyata keluar putri cantik yang kemudian menjelma menjadi gadis
cantik dan baik hati yang diberi nama Ny Pohaci
Sanghyang Sri atau Dewi Sri. Karena kecantikannya, terpesonalah Bathara Guru. Karena para dewa lain takut akan polah tingkah melenceng Bathara Guru, maka dicarilah akal untuk meracun Dewi Sri. Kemudian, para dewa merasa bersalah dan ketakutan, maka dikuburkanlah jasad Dewi Sri di bumi, di tempat yang jauh dan tersembunyi. Ajaibnya, dari bagian-bagian tubuh Dewi Sri yang dikubur tersebut tumbuh banyak tanaman antara lain kelapa dari kepalanya, bambu, aren, enau, dari bagian tubuh yang lain dan dari pusarnya tumbuhlah padi. Pada sumber ini juga disebut munculnya berbagai versi cerita. Nyi Pohaci yang dianggap sebagai dewi tertinggi pada masyarakat agraris, kadang keberadaannya dihubungkan dengan ular sawah sedang Sadhana atau Sedana atau Sadono dihubungkan
dengan burung sriti atau walet. Ular sawah merupakan ular pemangsa tikus yang merupakan hama pertanian. Dalam mitos yang mirip, di Thailand, mitos kesuburan pelindung sawah adalah ular sendok. 3. Dewi Sri versi cerita wayang kulit dalam Bersih Desa di Prangkokan Kulon Progo. Upacara Bersih Desa di Prangkokan Purwosari Girimulyo Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta, selalu diikuti dengan pergelaran wayang kulit. Pergelaran dimulai pada siang hari dengan cerita Sri Mulih (Sri Kondur) sebagai unsur ritual mengawali kenduri. Pada malam harinya dipergelarkan semalam suntuk dengan cerita khusus yang biasanya berkaitan dengan turunnya wahyu yaitu Baratayuda, Wahyu Makutharama, Wahyu Purwa Sejati, Wahyu Gada Inten. Lakon Dewi Sri menggambarkan tokoh Dewi Sri dan Raden Sadana anak Prabu Maha Punggung, raja Medhang Kamulyan. Dikisahkan, Dewi Sri meninggalkan istana karena dimarahi raja, Raden Sadana (adiknya) kemudian menyusul kepergian kakaknya. Lama mereka tidak segera bertemu, dan mereka berkelana ke desa-desa sambil bercocok tanam. Setelah lama berkelana, maka bertemulah mereka. Kemudian Dewi Sri kembali ke Kahyangan, sementara Raden Sadana diambil sebagai menantu oleh raja Wiratha. Diceritakan pula kembalinya Dewi Sri ke Wiratha.
Dewi Sri juga berada di negara
Platalaretna yang dikuasai oleh raja Darmasara. Prabu Suryakumara, raja Guwa Rajeng, juga menginginkan Dewi Sri. Dewi Sri menjadi obyek perebutan, tetapi kemudian Nagatatnala, anak Sanghyang Anantaboga (dalam cerita versi sebelumnya dijelaskan sebagai dewa ular), atas bantuan Bagawan Abiyasa dapat memboyong Dewi Sri ke Wiratha. Kisah Dewi Sri ini
sebagai lambang kebersihan, simbolisasi warga desa
mendapatkan bersih desa dalam pertanian. Bersih desa diibaratkan sebagai anugerah rejeki
karena adanya keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos (atau disebut jagad gedhe dan jagad cilik). 4. Mitos Nyi Pohaci Sanghyang AsriVersi Sunda menurut Jacob Sumardjo Jacob Sumardjo adalah guru besar pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Tulisannya yang berjudul “Mitos Nyi Pohaci/Sanghyang Asri/Dewi Sri” dikutip oleh beberapa blog pada tahun 2008, 2010, 2011. Menurutnya, mitos Dewi Sri berkaitan dengan sangkan paran, asal-usul atau genesis ekologi Sunda tempat nenek moyang orang Sunda hidup. Di Sunda terdapat berbagai versi cerita, begitu juga daerah lain. Cerita di bawah ini diambil menurut penuturannya diambil dari tiga sumber tertulis yakni Pantun Sulanjana (transkripsi Ajip Rosidi), Wawacan Nyi Pohaci (versi Bandung), dan Wawacan Pohaci Terus Dangdayang (versi Bandung). Ceritanya mirip dengan cerita Dewi Sri versi Wikipedia yang sudah dituliskan di atas dengan beberapa perbedaan nama tokoh. Disebutkan, bahwa Dewi Sri tidak terlahir dari siapa pun melainkan dari tetesan air mata dewa Naga Anta yang menangis karena tidak bisa ikut bergotong-royong membangun Bale Mariuk - Gedong Sasaka Domas. Dewa Naga Anta tidak bisa melaksanakan titah Dewa Guru karena ia tidak punya tangan untuk bekerja.
Tetes mata kesedihannya menjelma
menjadi tiga butir telur dan kemudian dipersembahkan kepada Dewa Guru. Sayang, dalam perjalanannya ia diserang elang karena dianggap sombong. Naga Anta tidak menyahut sapaan elang karena menggigit ketiga telur. Maka jatuhlah dua telur tersebut dan menjadilah ia makhluk yang kemudian diberi nama Kakabuat dan Budug Basu (semacam babi hutan). Hanya sebutir telur sampai di depan Dewa Guru. Sebutir telur itu kemudian dierami oleh Naga Anta atas perintah Dewa Guru. Menetaslah telur itu menjadi putri cantik yang diberi nama Nyi Pohaci. Bayi itu disusui sendiri oleh istri Dewa Guru, yaitu Dewi Umah. Ketika remaja dan menjadi gadis catik Dewa Guru berkeinginan untuk memperistrinya. Tetapi malang nasib Nyi Pohaci, ia jatuh sakit dan
akhirnya meninggal. Atas perintah Dewa Guru, Nyi Pohaci dikuburkan di bumi tempat tinggal manusia. Tempat tinggal manusia ini disebut dunia tengah, sedangkan tempat Dewa Guru di dunia atas, dan tempat Naga Anta di dunia bawah. Dari bagian-bagian tubuh Nyi Pohaci yang dikubur inilah muncul tumbuh-tumbuhan seperti pohon kelapa, padi putih, padi merah, padi ketan, enau, bambu, rumput-rumputan dan lainnya. Sayangnya, tumbuhnya tetumbuhan ini mendapat gangguan dari Kakabuat dan Budug Basu. Yang Maha Wenang juga menciptakan Jaka Sadana (Sulanjana), Sri Sdana, dan Rambut Sadana, yang juga disebut Talimenar dan Talimenir. Ketiganya berasal dari tiga tetes air matanya. Jaka Sadana (Sulanjana), Sri Sdana, dan Rambut Sadana mendapat tugas memelihara segala tanaman yang dibutuhkan masyarakat Sunda. Dewa Guru kemudian memerintahkan Batara Semar untuk mengembangbiakkan tanam-tanaman tersebut di Kerajaan Pajajaran. Demikianlah salah satu cerita versi Sunda. Nama Sadana muncul dalam tiga nama yaitu Jaka Sadana (Sulanjana), Sri Sdana dan Rambut Sadana. Tidak jelas apakah satu di antara ketiganya adalah Sri Sadana atau Raden Sadana yang pada cerita versi lain adalah seorang laki-laki saudara atau suami Dewi Sri. 5. Cerita Dewi Sri versi Madura Jawa Timur Dalam kajian tentang krobongan sebagai ruang sakral dalam tradisi Jawa, Rahmanu Widayat (tanpa tahun: 11) menjelaskan cerita Dewi Sri menurut masyarakat Madura Jawa Timur dijelaskan selanjutnya. Secara singkat kalau diperhatikan, alur cerita dan tokohnya relatif dengan nama yang berbeda dari cerita-cerita mitologis yang sudah dijelaskan sebelumnya.. Cerita Dewi Sri dimulai ketika Batara Guru menciptakan seorang putri yang cantik jelita yang kemudian diberi nama Retna Dumilah. Begitu cantiknya membuat Batara Guru jatuh cinta. Keinginan Batara Guru tidak tersampai karena ia tidak mampu memenuhi tiga permintaan Retna Dumilah, yaitu makanan yang tidak membosankan, pakaian yang tidak
pernah rusak dan gamelan yang dapat berbunyi sendiri. Karena Batara Guru tidak memenuhi permintaannya, maka ketika ia akan menjamahnya, Retna Dumilah meninggal.
Tempat
dikuburkannya Retna Dumilah ini tumbuh aneka tanaman seperti kelapa, padi, enau, bambu, umbi-umbian, padi gogo dan lainnya. Kegagalan Batara Guru memenuhi permintan Retna Dumilah ini disebabkan karena utusannya tidak memenuhi tugas dengan baik. Ia bertemu Dewi Sri (istri Wisnu), merasa tertarik dan terus mengejar kemana pun Dewi Sri pergi. Pengejar kemudian dikutuk menjadi babi hutan, tetapi meskipun sudah berubah wujud ia tetap mengejar Dewi Sri. Ketika Dewi Sri tidak kuat lagi, ia memohon untuk dikembalikan ke Kahyangan. Tempat musnahnya Dewi Sri ini kemudian juga tumbuh tanaman padi yang kemudian biasa tumbuh di sawah. Dari babi hutan tersebut tumbuh hama tanaman seperti belalang, tikus, dan sebagainya. Untuk mengatasi hal ini Dewi Sri sering mengirim ular sawah ke bumi. Oleh karenanya, para petani biasanya tidak membunuh ular sawah. Pada cerita versi ini tidak ditemukan nama Sadana. Ceritanya ada beberapa kemiripan tetapi relatif bercampur dengan beberapa versi lain. 6. Cerita Dewi Sri versi Banyumas Cerita Dewi Sri di Banyumas berkaitan dengan Wiji Widayat. Mengutip Suharto, Rahmanu Widayat (tanpa tahun: 12) menjelaskan cerita Dewi Sri sebagai berikut. Ceritanya cukup berbeda dengan beberapa versi lain yang sudah ditulis. Diceritakan, Di Kahyangan Batara Guru menurunkan Wiji Widayat, yaitu benih kehidupan, kepada semua dewa. Akan tetapi, pada saat itu ada satu dewa yang bernama Ramadi tidak hadir karena sedang mengerjakan pembuatan senjata. Oleh karena kurang satu dewa maka para dewa yang ada tidak mampu menahan dan menerima Wiji Widayat tersebut sehingga melesatlah Wiji Widayat tersebut ke bumi, bahkan sampai lapis ke tujuh. Batara Guru terkejut dan memerintahkan para dewa untuk mengejarnya. Ternyata Wiji Widayat masuk ke dalam mulut Nagaraksa Hyang Ananta Boga (dalam versi sebelumnya dikenal
sebagai dewa ular) yang sedang menganga. Lunglailah Ananta Boga, maka diperintahkan oleh Batara Guru untuk memuntahkannya. Ternyata, setelah dimuntahkan, muncullah dua bayi mungil laki-laki dan perempuan. Yang perempuan diberi nama Sri dan yang laki-laki diberi nama Sadana. Mereka diangkat menjadi anak Batara Guru. Ketika dewasa, ternyata Sadana hanya ingin memperistri adikknya, Sri dan keinginannya tidak diijinkan. Maka dikutuk matilah Sadana tersebut. Jadilah bangkainya menjadi hama tanaman seperti monyet, babi hutan, gajah dan lainnya menjadi binatang laut. Sri merasa susah dan sedih, maka ia mengajukan permintaan dibuatkan gamelan dari kayu yang disebut Gedobrog. Nasibnya sama seperti kakaknya, terkena kutukan dan mati. Diperintahkanlah Batara Narada untuk membawa Sri ke dunia dan memberikannya kepada petani yang sedang bersemedi untuk mendapatkan Wiji Widayat. Dipesankannya oleh Narada agar petani tersebut menguburkan Sri dan menyiraminya tiap pagi dan sore. Setelah tujuh hari, dari kuburan Sri tersebut muncullah tumbuh-tumbuhan termasuk padi. 7. Dewi Sri versi Tisnawati dan Jakasudana Cerita yang dianggap sebagai mitologi Jawa ini dikutip dari tulisan Suraji (2006: 8). Informasi ini dijelaskan dalam tulisannya tentang kesenian Lengger di Banyumas. Dijelaskan bahwa cerita Dewi Sri berawal dari cerita cinta Tisnawati dan Djakasudana. Tisnawati adalah anak perempuan Batara Guru, raja para dewa, sedang Djakasadana adalah manusia biasa. Batara Guru marah karena Tisnawati yang juga disebut Dewi Sri terlibat percintaan dengan manusia, Djakasadana, maka dikutuklah Dewi Sri menjadi batang padi. Mengetahui kekasihnya dikutuk menjadi tanaman padi, maka Djakasudana sangat susah hatinya. Ia sangat menderita dan selalu duduk tiap hari memandangi tanaman padi tersebut. Melihat keadaan tersebut, Batara Guru merasa kasihan dan dijadikanlah Djakasadana menjadi batang padi pula. Karenanya, dipercaya oleh masyarakat Jawa padi yang mulai berisi adalah hasil perkawinan
Dewi
Sri
dan
Djakasadana.
Cerita
ini
memberikan
inspirasi
bagi
dilangsanakannya tradisi tarian Lengger di Banyumas. Kesenian ini dilaksanakan pada saat Bersih Desa. Sebagai catatan penyimpul, cerita Dewi Sri yang berkembang di berbagai wilayah di Jawa khususnya ternyata menunjukkan variasi yang tinggi. Ceritanya biasanya, dihubungkan dengan acara Bersih Desa dengan cerita pewayangan yang terkait, juga muncul pada upacara tertentu yang tersimbolisasi pada kesenian.
D. Mitos Dewi Sri dan Seni Tradisional Petani di Indonesia Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, salah satu definisi seni adalah (1) keahlian membuat karya yang bermutu (baik dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dan sebagainya); (2) karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa, seperti tari, lukisan, ukiran; seniman tari sering juga menciptakan susastra yg indah. Istilah “kesenian” di sini dipakai sepadan dengan kata seni yang dapat berwujud tari, musik atau karya indah yang lain misalnya yang tampak dalam wayang. Mengutip Eliade, Suraji (2006:9) mengatakan bahwa mitos menjadi dasar kehidupan sosial dan kebudayaan bagi masyarakat. Mitos mengungkapkan cara beradanya manusia di dunia atau terjadinya sesuatu. Mitos merupakan realitas kultural yang kompleks dan sulit diberikan batas definitif. Eliade memandang mitos sebagai usaha manusia melakukan lintasan kegiatan yang berhubungan dengan yang supranatural ke dalam dunia. Kaitannya dengan kesenian, pada masyarakat yang mempercayai mitos, maka mereka akan membuat doa-doa, nyanyian, dan tarian, sebagai upacara ritual untuk menghadirkan tokohtokoh magis tersebut di hadapan mereka. Widnyana (2009) dalam abstrak penelitiannya menjelaskan bahwa manusia dan seni tidak dapat dipisahkan karena mereka merupakan satu keterkaitan yang bersifat integrital dan mengkristal. Manusia sering membutuhkan siraman rohani melalui sen, dan seni
memerlukan kreativitas manusia untuk mengolahya.
Seni bahkan menjadi parangkat
penghubung antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan manusia dengan manusia yang lain.
Kebermaknaan seni merupakan salah satu motivasi untuk mencari
identitas dan perkembangan seni. Oleh karena itu, motivasi lahirnya seni ditunjang oleh faktor dari dalam dan luar diri senimannya Faktor dari dalam berupa kehendak atas perasaan, pikiran, indra, intuisi atau cipta, rasa, karsa, untuk berekpresi, berestetik, bereligius (berspiritual), berkomunikasi dan berpraktis. Sedangkan faktor dari luar merupakan pantulan makna dari lingkungan atau kenyataan alam yang memberikan banyak pengalaman hidup. Maka benarlah bila kesenian pun tumpuh atas dorongan spiritualitas tertentu yang tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan budaya dan sejarah masyarakatnya. Sesuai dengan fungsi seni bagi religi, kesenian biasanya dilaksanakan sebagai salah satu unsur ritual tertentu atau terdapat ritual tertentu dalam kesenian yang digelar. Ditemukan beberapa bentuk kesenian yang berhubungan atau dikaitkan dengan mitos Dewi Sri di berbagai daerah. Meskipun data ini belum lengkap menjangkau wilayah-wilayah di Nusantara, tetapi setidaknya dapat memberikan gambaran yang cukup mengenai peta kesenian yang berbasis mitos Dewi Sri khususnya di Jawa. 1. Wayang dengan lakon Sri Mulih pada Bersih Desa di Yogyakarta Upacara Bersih Desa beberapa ditemui di sekitar Yogyakarta dan biasanya dihubungkan dengan pertunjukan wayang kulit. Hal ini sebagaimana penelitian dengan judul “Transformasi Mitos Dewi Sri dalam Masyarakat Jawa”, sebagaimana diunggah dalam ontar.ui.ac.id/opac/themes/m/abstrak.jsp?id=20277831&lokasi
=lokal,
dijelaskan
bahwa
dalam masyarakat Jawa, mitos Dewi Sri bertransformasi dalam wayang purwa lakon Sri Sadana dan Sri Mulih yang biasanya dipagelarkan dalam upacara Bersih Desa. Masyarakat Jawa sering menyebut lakon Sri Sadana dengan Mikukuhan (Mikukuhan Dewi Sri) dan lakon Sri Mulih disebut juga Sri Boyong. Informasi ini sesuai dengan apa yang sudah diungkapkan
di bagian Kajian Pustaka, bahwa lakon wayang Dewi Sri biasa dimainkan dalam acara Bersih Desa di Prangkokan Kulon Progo Yogyakarta. Pada Bersih Desa di Prangkokan, lakon Dewi Sri, Sri Mulih, Sri Kondur atau Sri Kembang dimainkan pada siang hari dan pada malam harinya dipentaskan lakon Baratayuda yang melambangkan sisi baik dan buruk (Suwardi, 2006:7). Dijelaskan, bahwa rutinitas ini merupakan tradisi untuk membersihkan desa dari gangguan baik fisik maupun non-fisik, dan sejauh ini menunjukkan kekhawatiran apabila tradisi tersebut tidak dilaksanakan oleh masyarakat. Kondisi ini disebut sebagai situasi krisis. Dengan pelaksanaan Bersih Desa diharapkan akan berdampak positif bagi pertanian mereka sejak tanam hingga panen. Upacara ini merupakan simbolisasi sikap pasrah diri pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Pementasan lakon Dewi Sri (Sri Mulih) juga dilaksanakan dalam rangkaian upacara Bersih desa di Ponjong Gunung Kidul (Rizkawati, 2008: 27-33). Kisah Dewi Sri. setting budaya yang melatarbelakangi, lakon-lakon yang dimainkan dan kisah yang mengalir dalam lakon Sri Mulih
yang dijelaskan dalam penelitian ini relatif sama dengan apa yang
dilaksanakan di Prangkokan Kulon Progo. 2. Rinding Gumbeng di Beji Ngawen Gunung Kidul Rinding Gumbeng merupakan salah satu musik tradisional masyarakat agraris yang masih berkembang sampai saat ini di Gunung Kidul, khususnya di Beji Ngawen Gunung Kidul. Belum ditemukan kajian ilmiah terkait keberadaan alat musik tersebut. Beberapa sumber informasi berasal dari data penelitian (Sartini, 2009) dan beberapa sumber informasi wisata di Gunung Kidul Yogyakarta. Menurut Sartini (2009: 25), masyarakat Beji Ngawen masih mengenal ritual-ritual tradisional antara lain upacara-upacara adat seperti: kelahiran, perkawinan, dan kematian. Di samping itu mereka mewarisi upacara labuh yaitu upacara mulai menanam padi, sampai upacara panen yang disebut ”Mboyong Dewi Sri” (membawa Dewi Sri – Dewi Padi dari
sawah ke rumah. Upacara pesta panen yang lain yang masih dilaksanakan hingga kini disebut Bersih Dusun atau Sedekah Bumi atau Rasulan. Di dalam keramaian upacaranya sering dimainkan Rinding Gumbeng yang menjadi ciri khas kesenian masyarakat Beji. Alat musiknya terdiri dari Rinding dan Gumbeng yang terbuat dari bambu dan konon juga merupakan kesenian bawaan dari Majapahit. Rinding terbuat dari sebilah bambu yang dipotong sedemikian rupa dan diberi tali untuk ditarik. Cara memainkannya ditiup, mirip seperti harmonika tetapi dengan menarik talinya. Bila dimainkan secara bersama-sama dengan nada yang berbeda maka akan tercipta irama yang harmonis. Irama ini dapat juga dipakai untuk mengiringi lagu-lagu modern. Musik ini menjadi lengkap bila diiringi Gumbeng. Gumbeng mirip dengan kentongan dan dibunyikan dengan cara dipukul. Fungsi Gumbeng mirip dengan gong dalam gamelan Jawa. Ia berfungsi menutup satu atau beberapa rangkaian nada. Sampai saat ini musik tersebut masih dilestarikan utamanya oleh masyarakat dusun Duren Beji. Sumber lain dari http://www.wisatamelayu.com/id/tour/1085-Kesenian-RindingGumbeng/navcat, memuat info wisata Gunung Kidul menjelaskan sebagai berikut. Sekarang, Rinding Gumbeng biasanya ditampilkan dengan enam pemain Rinding, enam pemain Gumbeng dan beberapa penyanyi perempuan (penyekar) yang berpakaian ala petani jaman dulu, dengan kain lurik, kebaya dan caping. Para pemain laki-laki menggunakan pakaian petani berwarna hitam dan berikat kepala. Asal-usul kesenian ini tidak diketahui, sangat tua, dan diperkirakan sejak masyarakat sekitar belum mengenal logam dan masih mempercayai mitos Dewi Sri sebagai Dewi Padi. Rinding Gumbeng pada awalnya dimainkan pada saat panen padi pertama. Dipersembahkan sebagai ungkapan syukur atas panen padi yang melimpah dan bunyi-bunyian yang dihasilkannya merupakan upaya untuk membuat Dewi Sri merasa bahagia sehingga akan selalu memberikan hasil padi yang terbaik dan berlimpah. Sekarang ini, Rinding Gumbeng tidak dimainkan pada saat panen padi, tetapi lebih banyak
dimainkan pada saat Nyadran Wonosadi. Nyadran Wonosadi merupakan upacara ritual besar yang dilaksanakan masyarakat berkaitan dengan eksistensi hutan Wonosadi yang mempunyai mitosnya sendiri. Rinding Gumbeng dianggap mempunyai nilai kearifan sosial dalam kehidupan masyarakat Gunung Kidul. Ia melambangkan kesederhanaan, keuletan dan menyatunya manusia dengan alam. Sederhana dan dekat dengan alam dilihat dari bahan, cara memainkan dan penampilannya. Ulet ditunjukkan dengan keahlian memainkannya yang perlu dilakukan dengan belajar sunggung-sungguh karena alat musik ini tidak memiliki notasi yang jelas tetapi lebih menggunakan rasa. 3. Tari Seblang di Banyuwangi Sumber ini berasal dari informasi pariwisata dan budaya dengan judul Mitos antara Seni
Seblang
dan
Dewi
Sri
sebagaimana
diuraikan
dalam
http://dotcomcell.
com/BANYUWANGIONLINE/SEBLANG/. Tari Seblang terdapat di Banyuwangi Jawa Timur dan tarian yang dikategorikan sebagai kesenian Jawa non-Mataraman.. Tari ini merupakan salah satu tari tradisional yang merupakan simbolisasi ungkapan syukur akan kesuburan tanah yang diperoleh oleh suatu kelompok masyarakat. Menurut sumber ini, tarian sejenis ada banyak di Indonesia dan bahkan di dunia. Makna kesuburan ini disimbolkan oleh mahkota berupa bunga-bunga yang dipakai oleh sang penari. Taria Seblang biasanya dilaksanakan dalam acara Bersih Bumi, Di beberapa daerah lain sering disebut “Sintren”, atau “Tayub”. Simbol kesuburan inilah yang dilambangkan dengan dewi yang cantik, Dewi Sri yang di Sunda disebut Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Meskipun tarian Seblang ini dianggap sebagai media simbolik ungkapan syukur akan berkah kesuburan, tetapi sumber ini tidak cukup menjelaskan bagaimana hubungan mitos ini dalam tarian. Satu informasi menjelaskan bahwa media tari sering digunakan untuk memanggil tokoh yang dimitoskan. Dalam hal ini, memang dalam beberapa
adegan tari dilakukan pemanggilan roh, tetapi tidak jelas sebagai penggambaran Dewi Sri yang dipersonifikasikan dalam badan fisik penarinya. 4. Tarawangsa, Jentreng, Karinding di Jawa Barat Beberapa penelitian yang sudah dilakukan dan didokumentasikan oleh Universitas Pendidikan Indonesia pada umumnya berkaitan dengan seni itu sendiri, berkaitan dengan muatan pendidikan dan praktek memainkannya. Meskipun dapat dibaca uraiannya, tetapi karya tersebut tidak dipublikasikan secara utuh dan tidak ditemukan judul dan nama penulisnya. Uraian asal-usul seni ini berhubungan dengan aspek nilai justru ditemukan pada beberapa tulisan populer. Untuk memperkuat data penelitian ini ke depan harus dilakukan penelitian
lapangan
sehingga
data
akan
semakin
lengkap
dan
lebih
dapat
dipertanggungjawabkan. Tarawangsa merupakan salah satu alat musik yang masih dimainkan oleh para petani tradisional di Rancakalong Sumedang dan beberapa tempat di Banten. Menurut informasi yang ditulis oleh Yusandi (2011) dalam tulisannya yang berjudul Tarawangsa (dalam http://wacananusantara.org/tarawangsa/) menjelaskan bahwa Tarawangsa merupakan alat musik yang terbuat dari kayu yang berbentuk seperti biola. Alat musik ini dilengkapi dengan dua dawai yang satu digesek dan dimainkan seperti biola, yang lainnya dipetik dengan jari telunjuk. Alat musik tradisional masyarakat Sunda ini relatif tua, dan menurut sumber informasi ini namanya bahkan sudah muncul dalam naskah lama
Sunda Kuno seperti
Jatiraga dan Sewa ka Darma yang ditulis pada masa Kerajaan Sunda-Pajajaran. Kebenarannya perlu menjadi bahan kajian lebih lanjut. Menurut versi lisan di Rancakalong, musik ini ada sejak jaman Kerajaan Maratam Kuno, kira-kira abad 8 atau 9 Masehi. Dikisahkan, konon Mataram, sekitar Jawa Tengah dan Yogyakarta, merupakan kerajaan yang kaya dengan tanaman padi. Terdapat pengamen dari Sunda yang membawa musik seperti celempung, rengkong dan tarawangsa. Para pengamen berkeinginan untuk memperoleh benih
padi dan dilakukannya dengan mengambil dan menyembunyikan di dalam alat musik tersebut supaya tidak terlihat oleh orang Mataram. Usahanya berkali-kali tidak berhasil dan yang berhasil sampai Sunda adalah yang dimasukkan di dalam lubang tarawangsa. Setelah itu, mulainya masyarakat Sunda berhasil mengembangkan pertanian padi. Di dalam informasi ini tidak ada informasi hubungan tarawangsa dan alat musik lainnya dengan mitos Dewi Sri kecuali sebagai tempat menyimpan benih padi yang dibawa dari tanah Mataram. Tarawangsa biasanya dimainkan bersama Jentreng. Jentreng adalah sejenis kecapi atau siter pada masyarakat Jawa. Jentreng dibuat dari kayu dengan dawai sebanyak tujuh buah. Suara musiknya dihasilkan dengan dipetik. Masyarakat Sumedang, sebagaimana masyarakat yang berbudaya petani memiliki beberapa musik dan kesenian yang khas. Belum ditemukan sumber tulisan ilmiah yang mengekslorasinya. Beberapa informasi di bawah ini ditemukan dari sumber informasi mengenai budaya Sunda antara lain dari
http://www.ladangview. com/seni-budaya-
sumedang.html. Seperti halnya daerah Sunda yang lainnya, Sumedang mempunyai berbagai alat musik dan kesenian yang di antaranya sama dengan yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya. Ada alat musik lain yang mirip dengan Rinding di Gunung Kidul. Namanya Karinding. Karinding merupakan alat musik tiup yang dianggap unik, terbuat dari pelepah enau atau bambu. Suaranya sangat ditentukan oleh kepekaan rasa peniupnya karena tidak ada nada permanen. Namanya diambil dari nama salah satu serangga sawah yang nyaring bunyinya yang disebut Karindingan. Alat musik ini biasanya digunakan untuk mengusir kebosanan saat bekerja dan juga berfungsi untuk mengusir hama. Tidak dijelaskan di sini bahwa alat musik ini dipakai untuk keperluan ritual. Alat musik lain yang juga tidak dijelaskan dengan ritual khusus dan eksistensi mitos Dewi Sri adalah Seni Beluk, sejenis nyanyian acapela yang merupakan ekspresi komunikasi para petani dan Tutunggulan, yang dilaksanakan pada saat
menumbuk padi menjadi beras (nutu), dengan alunan suara khas pukulannya supaya tidak membosankan. Seni Gondang atau disebut Gondang Sunda atau Tabuh Lisung (di Jawa Tengah dan sekitarnya, lisung disebut lesung). Disebutkan, seni ini sangat khas kesenian masyarakat agraris yang ditujukan sebagai pengungkapan rasa syukur atas keberhasilan pertanian mereka. Pertunjukannya biasanya dilakukan pada saat panen padi melimpah. Pada awalnya kesenian ini dilakukan sebagai upacara menghormati Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang dipercaya pada masyarakat Sunda sebagai Dewi Kesuburan dan Dewi Padi. Biasanya upacara dilaksanakan pada saat pertama kali menumbuk padi, sebagai ungkapan kegembiraan setelah panen dan berfungsi sosial sebagai arena pertemuan pemuda dan pemudi untuk mendapat pasangan. Jentreng atau Tarawangsa, dari sumber lain kedua nama ini dibedakan sebagai dua buah alat musik. Satunya (tarawangsa) adalah alat musik yang berbentuk seperti rebab, mirip biola, sedangkan Jentreng untuk menunjuk alat musik yang dipetik seperti kecapi (di Jawa Tengah
dan
sekitarnya
disebut
Siter).
Dari
sumber
http://blogs.unpad.ac.id/suria12/tag/jentreng/, Tarawangsa disamakan dengan Jentreng. Di Rancakalong Sunda yang masih kuat dengan budaya ngahuma atau berladang, masih mengaitkan keberadaan alat musik ini dengan mitos Dewi Sri. Seni Jentreng dilakukan sebagai media penyelenggaraan upacara Nyalin atau panen padi. Upacara magis ini dilakukan sebagai ritual untuk menghormati Dewi Sri yang oleh masyarakat Rancakalong Sumedang disebut Kersa Nyai. Dengan upacara ini diharapkan Dewi Sri akan tetap tinggal di Rancakalong, yang tujuan implisitnya supaya membawa kelimpahan panen padi mereka. 5. Angklung Sejauh pelacakan dari berbagai sumber, hanya ditemukan satu sumber tulisan hasil penelitian khususnya berkaitan dengan Angklung Buncis, dengan judul “Kajian Gerak dalam
Permainan Angklung Buncis di Argasari Bandung. Selainnya informasi ditemukan dalam beberapa situs website tentang budaya Sunda. Beberapa informasi menunjukkan bahwa munculnya musik angklung dan berbagai atraksi kesenian yang berkaitan dengannya ada hubungan dengan adanya mitos Dewi Sri di dalamnya. Angklung pada awalnya digunakan dalam beberapa ritus yang berhubungan dengan padi dan dipakai sebagai pemikat turunnya Dewi Sri ke bumi sehingga tanaman padi menjadi subur. Demikian kepercayaan masa lalu yang masih terbawa dan ada di dalam mitos masyarakat. Asal-usul terciptanya musik bambu, seperti angklung didasarkan atas pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal inilah yang melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip), sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Musik angklung secara umum dapat dikatakan berasal dari Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai variasi dan kenyatannya bahwa musik tersebut masih dipakai di berbagai wilayah
Jawa
Barat
sampai
sekarang
ini.
Menurut
uraian
dalam
http://indonesiaindonesia.com/f/90506-alat-musik-tradisional-angklung/, ada berbagai jenis angklung di Jawa Barat, yaitu: Angklung Kanekes, Angklung Dogdog Lojor, Angklung Gubrag, Angklung Badeng, Angklung Bungko, Angklung Buncis, dan Angklung Modern (Padaeng). Angklung Kanekes biasa dimainkan masyarakat Baduy, Angklung Dogdog Lojor dimainkan oleh masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, kesatuan adat Banten Kidul, yang tersebar di sekitar Gunung Halimun
yang berbatasan dengan Jakarta, Bogor, dan
Lebak. Angklung Padaeng dikembangkan oleh Daeng Sutigna. Masing-masing jenis angklung mempunyai fungsinya masing-masing, tetapi pada umumnya dimulai dari keberadaan masyarakat petani. Nama jenis lain angklung diambil dari nama daerah atau pembuat pertamanya. Pembagian jenis lain berdasarkan dari asalnya: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko
(Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Di bawah ini akan diurasikan secara singkat beberapa di antara jenis angklung tersebut. a. Angklung Kanekes Angklung dipakai masyarakat Kanekes dengan aturan tertentu, termasuk cara dan kapan tetabuhan tersebut dibunyikan. Secara umum, penggunaannya dihubungkan dengan padi. Di Baduy Dalam, cara membunyikannya secara bebas sedangkan di Baduy Luar, angklung dibunyikan dengan ritme tertentu. Meskipun masa membunyikannya lebih banyak pada acara ritual, tetapi masih ada masa boleh dibunyikan angklung yaitu sampai tiga bulan setelah tanam. Setelah itu, angklung harus diistirahatkan selama enam bulan dan baru boleh dibunyikan setelah panen. Penyimpanan angklung memerlukan upacara tersendiri yang disebut musungkeun angklung, yaitu menitipkan atau menyimpan (nitipkeun) angklung setelah dipakai. Pada masyarakat Baduy Luar relatif masih dibolehkan membunyikan angklung untuk kepentingan hiburan, tetapi pada masyarakat Baduy Dalam, angklung hanya digunakan untuk kepentingan ritual. Pembuatnya pun harus melalui syarat tertentu dan hanya orang tertentu yang dibolehkan. Orang Baduy Luar akan membeli angklung dari orang Baduy Dalam (Tangtu atau Kajeroan, yang terdiri dari masyarakat kampung Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). b. Angklung Dogdog Lojor Kesenian ini masih dilaksanakan di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Namanya diambil dari salah satu alat musiknya, yaitu dogdog
lojor. Di dalamnya terdapat instrumen musik angklung karena berkaitan dengan ritual padi. Kesenian ini dilaksanakan setelah panen dan upacaranya sendiri disebut Seren Taun atau Serah Taun. Tradisi penghormatan padi masih dilaksanakan masyarakat karena secara keturunan mereka mengakui sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam barisan Pangawinan (prajurit bertombak). Setelah pengaruh Islam dan modernisasi, Dogdog Lojor sekarang tidak hanya dimainkan untuk acara ritual tetapi juga untuk hiburan seperti khitanan dan perkawinan. c. Angklung Gubrag Keberadaan Angklung Gubrag di Cipining Bogor sangat berkaitan dengan ritual padi. Dipercaya adanya cerita atau kejadian pada masyarakat jaman lampau. Suatu ketika terjadi bencana kelaparan, paceklik akibat tanaman padi tidak tumbuh dengan baik. Masyarakat mempercayai keberadaan Dewi Sri yang sedang murung akibat tidak ada yang menghibur yang membuatnya murka pada manusia. Masyarakat setempat kemudian melakukan usaha agar Dewi Sri turun ke bumi memberikan berkahnya sehingga tanaman padi mereka akan tumbuh subur. Dilaksanakanlah pemberian sesajian dan kesenian antara lain dengan pertunjukan seruling dan karinding. Usaha ini kurang berhasil, maka seorang pemuda mencari bambu di gunung Cirangsad dan dibuatnya bambu itu menjadi alat musik angklung. Pembuatannya konon dilakukan dengan laku (syarat) tertentu. Kesenian ini kemudian disempurnakan, dilengkapi dengan dogdog lojor dan dimainkan bersama oleh masyarakat. Setelah upacara dengan perlengkapan angklung dan dogdog lojor tersebut, maka tanaman padi menjadi subur dan padinya bernas. Dipercaya, dengan kesenian angklung tersebut dapat memikat Dewi Sri turun ke bumi (dalam bahasa Sunda disebut Ngagubrag) dan memberikan berkah kesuburan., maka angklung tersebut disebut Angklung Gubrag. Pementasannya dilaksanakan pada upacara besar saat akhir panen, yaitu Seren Taun. Di
samping untuk keperluan ritual, musik angklung ini sekarang dimainkan untuk berbagai kegiatan hiburan pada saat perkawinan dan lainnya. 6. Dewi Sri dan Seni di Bali Di Bali, eksistensi Dewi Sri tidak banyak ditemukan pada beberapa upacara dan bentuk kesenian seperti tari atau wayang sebagaimana di Jawa. Mengutip pendapat Sutawan, Wayan Windia (tanpa tahun: 1) mengatakan bahwa kepercayaan akan
Dewi Sri
dimanifestasikan dengan adanya Pura Bedugul yang merupakan pura pemujaan Dewi Sri yang biasanya ada di persawahan dalam sistem Subak di Bali. Menurut info wisata http://wisata-bali.com/pura-beji.html, di Bali juga terdapat pura khusus pemujaan dewi Sri, yaitu Pura Beji di Desa Sangsit Kecamatan Sawan Buleleng. Di samping itu Dewi Sri diwujudkan dalam bentuk Cili, salah satu karya seni rupa yang sekarang banyak diperdagangkan dalam bentuk cendera mata (I Nyoman Sila, 2009). Dijelaskan dalam penelitiannya dengan judul “Cili : Karya Seni Rupa Tradisional Bali, Sebuah Identitas, Kontinuitas, dan Perubahannya di Kawasan Wisata Kabupaten Gianyar Provinsi Bali (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna)”, bahwa bentuk Cili sesuai dengan kebutuhan sebagai sarana upacara ritual Agama Hindu, fungsinya sebagai karya seni budaya Bali dalam fungsi sosial yang mempunyai makna simbolis. Cili juga sebagai simbol Dewi Sri untuk kesuburan tanaman padi, dan Sri Sedhana untuk kesuburan para pedagang. Hal ini juga diungkapkan oleh Harry Sulastianto dan kawan-kawan, bahwa dalam perkembangan seni rupa (patung) simbolisasi nilai kesuburan dan keterkaitannya dengan mitos Dewi Sri masih tetap bertahan sampai sekarang dalam bentuk cili. Bila disimpulkan, maka di Indonesia ini mitos Dewi Sri sangat berkembang di Jawa dan terdapat berbagai ragam sumber dan penafsiran tentang Dewi Sri. Berbeda dengan di Jawa, Dewi Sri lebih menjadi objek pemujaan. Apa yang ada dan dipahami oleh masyarakat di berbagai daerah ternyata berbeda dengan cerita yang berkembang di daerah lain. Naskah
Purwakandha nampaknya menjadi sumber dari beberapa cerita di berbagai daerah meskipun terdapat beberapa perbedaan nama dan unsur-unsur ceritanya. Sebagian yang lain sangat berbeda satu sama lain. Mitos Dewi Sri luas menyebar di Nusantara. Sebagian merupakan teks tertulis, sebagian lain menjadi cerita dalam dunia pewayangan dan sebagian yang lain menjadi cerita lisan yang berkembang di masyarakat. Utamanya di Jawa, mitos Dewi Sri bahkan menjadi dasar dilaksanakannya upacara-upacara atau ritual tertentu yang kemudian berhubungan dengan aneka bentuk kesenian. Sebagai suatu mitos, Dewi Sri menghiasi ranah-ranah kehidupan manusia yang kemudian termanifestasikan dalam berbagai aktivitas kehidupan sosial dan budaya. Pada masyarakat Jawa, kepercayaan akan mitos Dewi Sri nampak menyatu dalam kehidupan masyarakatnya dalam bentuk simbolisasi ritual. Dewi Sri tidak nampak sebagai objek pemujaan tetapi menjadi perlambang atau simbolisasi kekuatan tertentu yang berhubungan dengan pertanian yang kemudian diwujudkan melalui media seni. Beberapa contoh yang terjadi di Jawa misalnya cerita Dewi Sri pada lakon wayang dalam rangka Bersih Desa. Cerita Dewi Sri menjadi salah satu prasyarat dari pagelaran wayang yang menjadi salah satu rentetan upacara Bersih Desa. Dalam konteks ini Dewi Sri tidak secara langsung menjadi objek pemujaan tetapi eksistensinya masih dihargai dan dihormati melalui media seni wayang. Begitu juga dengan tarian Seblang di Banyuwangi, Lengger, Sintren dan sejenisnya. Pada tarian ini bahkan tidak terlalu jelas sesungguhnya unsur kehadiran dan fungsi mitologis Dewi Sri memenuhi konteks tertentu sebagai suatu mitos. Personifikasi figur penari tidak secara langsung memberikan gambaran akan fungsi Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan dan Dewi Padi kecuali sebagai bentuk penampilan tari saja. Belum ditemukan misalnya ada syair lagu yang mengiringi yang menunjukkan peran Dewi Sri sebagai bagian pengetahuan atau pemahaman masyarakat.
Mitos Dewi Sri yang dekat dengan pertanian lebih nampak manifestasinya pada kepercayaan dan kehidupan masyarakat Jawa Barat. Simbolisasinya muncul dalam berbagai bentuk kesenian baik sebagai media untuk memanggil kehadirannya maupun sekedar menghormatinya. Sedangkan di Bali, Dewi Sri lebih sebagai objek pemujaan, maka didirikanlah pura-pura utamanya di persawahan sebagai tempat padi yang menjadi aspek pokok eksistensinya. Tidak terlalu nampak di sana bahwa eksistensi Dewi Sri didekati dengan kegiatan berkesenian. Hal ini menjadi suatu pertanyaan mengapa eksistensi Dewi Sri di Bali tidak mewujud dalam berbagai kesenian padahal Bali sangat kental dengan budaya berkesenian. Sebagai objek pemujaan, simbolisasi Dewi Sri baru ditemukan dalam perwujudan karya seni rupa patung yang disebut cili yang sekarang bahkan menjadi salah satu bagian produk industri pariwisata. Eksistensi Dewi Sri sebagai objek religi lebih nampak pada beberapa ekspresi seni tetabuhan misalnya Rinding Gumbeng, Karinding, dan utamanya Angklung di beberapa daerah di Jawa Barat. Menjadi penting untuk mempertanyakan dan mengeksplorasi sebab-sebab mengapa terjadi beberapa tanggapan yang berbeda dari kepercayaan akan Dewi Sri tersebu di beberapa kelompok masyarakat tersebut.
E. Analisis Nilai-nilai Kearifan Lokalnya 1. Aspek religius (hubungan manusia dengan Tuhan) Aspek religius di sini dimaksudkan sebagai aspek hubungan manusia dengan Tuhan atau dzat Supra-Natural tertentu. Apabila dilihat dari aspek religi ini, munculnya berbagai kesenian yang berkaitan dengan mitos Dewi Sri menunjukkan adanya kepercayaan masyarakat pada entitas ketuhanan yang khas. Kiranya hal ini cukup berbeda dengan pemahaman agama monoteistik yang sekarang berkembang di Indonesia. Pada masyarakat Bali, Dewi Sri menjadi objek pemujaan yang dilaksanakan di purapura Bedugul atau pura Uluncarik, yang khusus dibangun oleh petani untuk Dewi Sri yang
dipercaya sebagai Dewi Kesuburan dan Kemakmuran. Tempat pemujaan ini juga sering disebut sanggah, tempat prosesi persembahan sesaji. Sanggah pecatu di sawah merupakan harmonisasi hubungan petani, alam, dan Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan. Bagi masyarakat Bali, hal ini tentu saja seturut dengan adat dan kepercayaan yang berlaku di sana. Di Bali juga ditemukan pura khusus pemujaan Dewi Sri sebagaimana pura yang lain yang memang diperuntukkan untuk pemujaan. Salah satu simbolisasi keberadaannya sekarang ditunjukkan dengan patung (cili) yang sekarang sudah menjadi bagian dari barang produksi pariwisata yang sama sekali kurang bermakna ritual. Belum ditemukan simbolisasi eksistensi Dewi Sri dalam bentuk rupa-rupa kesenian yang lain. Menjadi hal yang perlu dipertanyakan mengapa di Bali kurang ada simbolisasi Dewi Sri melalui media seni. Sedangkan di Jawa keberadaan Dewi Sri tidak menjadi objek pemujaan seperti halnya di Bali meskipun ide tentang Dewi Sri masih ada dalam bayang pemikiran masyarakat Jawa. Meskipun demikian, baik dalam bentuk arsitektural rumah, khususnya Joglo, masih dihayati sosok imaginer Dewi Sri sebagaimana kemudian dilakukan penghormatan akan keberadaannya. Fungsi senthong tengah dan simbolisasi loro blonyo menjadi bukti akan hal ini. Meskipun Dewi Sri tidak menjadi objek yang disembah tetapi keberadaannya menempati nilai spiritual tersendiri dalam hidup orang Jawa. Begitu juga kemudian dalam hubungannya dengan beberapa bentuk kesenian yang menjadi media untuk “meminta” berkah kesuburannya atau sekedar bersyukur atas kesuburan pertanian yang diberikannya sebagai manifestasi Tuhan. Meskipun demikian, masih perlu dipertanyakan dan diteliti seberapa banyak dan mendalamnya masyarakat memahami dan mempercayai mitos tersebut. Khususnya di Jawa Barat, dan terlebih lagi pada masyarakat tradisional Baduy, keberadaannya sangat kuat dihayati masyarakat. Hal ini terlihat dari tata cara penghormatannya yang harus mengikuti beberapa persyaratan yang melingkupinya. Setiap masyarakat dengan latar belakang lingkungan fisik, sosial dan kulturalnya masing-masing
akan merespon dan mengembangkannya dengan kemampuan intelektualnya sendiri termasuk dalam merespon ide kepercayaan. 2.
Aspek kosmis (hubungan manusia dengan alam)
Aspek kosmis maksudnya adalah hal bagaimana manusia membangun harmonisasi hidup dengan alam. Sosok Dewi Sri, apakah itu dipercaya sebagai sosok yang nyata ada atau hanya tokoh imajiner memunculkan akibat yang baik dalam hubungan antara manusia dengan alam. Misalnya di Bali, dengan dibangunnya pura di sawah menunjukkan hubungan yang baik antara manusia, Tuhan dan alam lingkungannya. Dengan hubungan yang baik maka tentu saja masyarakat yang hidup dengan lingkungan pertanian akan berusaha untuk hidup harmoni karena mereka merasa saling membutuhkan. Masyarakat biasanya secara praktis juga akan berpikir sebagai sebuah hubungan sebab akibat. Kalau manusia tidak hidup secara harmonis dengan alam lingkungannya maka alam juga tidak akan memberikan kebaikan dan kesejahteraan bagi mereka. Begitu juga bila dilihat pada masyarakat Jawa dengan Bersih Desanya. Keberadaan Dewi Sri yang diuraikan dalam lakon Sri Mulih mestinya memberikan dampak tertentu. Setidaknya, tentang fungsi Bersih Desa itu sendiri kemudian akan mengingatkan dan membangkitkan kesadaran mereka akan pentingnya hubungan baik dengan alam lingkungan baik dari sisi fisik maupun secara non fisik. Kesyukuran akan hasil panen dan pembersihan desa dari pengaruh-pengaruh buruk menjadi bagian yang tak terpisahkan dari konsep hidup harmoni dengan alam. Begitu juga dengan masyarakat di Jawa Barat, terlebih lagi masyarakat Kanekes Baduy. Ketentuan-ketentuan adat yang mengiringi adanya kesenian yang berhubungn dengan mitos Dewi Sri menunjukkan masih sangat ketatnya konsep pertanian tradisional yang dilandasi oleh pemahaman akan entitas SupraNatural tersebut. Kepercayaan akan entitas Supra-Natural akan menuntun pada perilaku tertentu pada alam lingkungannya. 3. Aspek etis (hubungan manusia dengan manusia lain)
Aspek etis yang dimaksud di sini terkait dengan aspek hubungan antarmanusia sebagai akibat dari aspek religius di atas. Secara sosial, kehadiran aspek religius akan mempengaruhi bagaimana manusia bersosialisasi satu sama lain. Entah suatu kelompok masyarakat mengetahui atau tidak alasan atau maksud diselenggarakannya suatu upacara dengan segala kesenian yang mengikutinya, hal tersebut akan membuat mereka melakukan suatu mobilitas sosial untuk ikut menyukseskan acara tersebut. Sangat jarang masyarakat yang masih mempunyai berbagai upacara ritual tetapi tidak didukung masyarakat secara sosial sekalipun mungkin sebagian masyarakat tidak mempunyai pemahaman yang sama mengenai kegiatan tersebut. Aktivitas tersebut, apakah dalam bentuk Tari Seblang, Sintren, lengger,
Bersih Desa, Wayang, Seren Taun dan lainnya relatif akan menunjukkan dan
mengarahkan bahwa kohesivitas sosial masyarakat masih tetap kuat. Jadi, dari fungsi etis hubungan antar anggota masyarakat, keberadaan kesenian dan upacara tradisional yang berbasis Dewi Sri tersebut sangat positif bagi masyarakat Indonesia yang memang mempunyai dasar kolektivitas yang kuat. Kesediaan setiap anggota masyarakat untuk mengikuti dan mendukung berbagai acara tersebut merupakan kearifan etis dan sosialnya sendiri. Setiap kelompok masyarakat akan menunjukkan caranya sendiri-sendiri.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian di atas disimpulkan sebagai berikut. 4.
Terdapat berbagai versi cerita yang terbangun dari mitos Dewi Sri yang tersebar di seluruh Indonesia baik dalam bentuk teks naskah, cerita wayang maupun pemahaman mitologis masyarakat yang tersebar sebagai kepercayaan dan sastra lisan.
5.
Berdasarkan mitos yang berkembang tentang Dewi Sri tersebut, sebagian muncul dalam bentuk kesenian seperti Wayang pada acara Bersih Desa di sekitar Yagyakarta, Tari Seblang di Banyuwangi, Lengger, Sintren dan lainnya yang menyebar di daerah pulau Jawa, juga pada Rinding Gumbeng, Karinding, Tarawangsa, Angklung dan lainnya yang banyak dimainkan pada upacara Seren Taun di Jawa Barat.
6.
Beberapa nilai kearifan lokal yang dapat ditangkap, antara lain dari aspek religius menunjukkan bahwa aspek religi masyarakat dan latar belakang sosial budayanya akan mempengaruhi respons akan eksistensi mitos Dewi Sri tersebut. Hal ini ditunjukkan pada realisasi eksistensi mitos dan kepersayaan akan Dewi Sri yang di Bali masuk dalam fungsi pemujaan, dan di Jawa lebih sebagai media penghubung terhadap kepercayaan adanyan hal Supra-Natural atau sekedar penghormatan, penghargaan dengan berbagai simbolisasinya atas eksistensi imajinernya. Pada aspek kosmis, hal ini mendorong pada sikap masyarakat yang lebih menghargai alam. Pada sisi etik, hal ini mendorong kesadaran masyarakat untuk hidup bersosialitas secara lebih kuat.
B. Saran Beberapa rekomendasi tindak lanjut penelitian yang disarankan antara lain:
1. Melakukan penelusuran lebih lanjut hubungan antar cerita Dewi Sri baik dalam bentuk teks, cerita wayang maupun cerita yang berkembang di masyarakat. 2. Melacak sebab berbedanya tanggapan masyarakat terkait dengan eksistensi mitos tersebut. 3. Mengeksplorasi nilai-nilai kearifan lokal secara lebih mendalam dan dari berbagai perspektif yang lain, termasuk dari dimensi cabang-cabang kajian filsafat.
DAFTAR PUSTAKA Anonim,
tanpa tahun, “Alat Musik Tradisional Angklung“, dalam http://indonesiaindonesia.com/f/90506-alat-musik-tradisional-angklung/ diunduh 29 Juli 2012.
Anonim,
tanpa
tahun,
“Seni
Indonesia”, dalam http://www.ladangview.com/seni-budaya-sumedang.html, diunduh 31 Juli 2012. dan
Budaya
Sumedang
–
Anonim, tanpa tahun, “Transformasi Mitos Dewi Sri dalam Masyarakat Jawa”, Laporan Penelitian, Universitas Indonesia, dalam Http://lontar.ui.ac.id/opac /themes/m/abstrak.jsp?id=20277831&l okasi=lokal Anonim, tanpa tahun, “Pura Beji Memuja Dewi Sri”, dalam http://wisata-bali.com/purabeji.html,, diunduh 7 Agustus 2012. Cross, Ian, “Music, Cognition, Culture and Evolution”, dalam Annals of the New York Academy of SciencesVol 930, 2001, pp 28-42.), dalam http://www.mus.cam.ac.uk/~ic108/PDF/IRMCNYAS.pdf Elisabeth Murni. ”Kesenian Rinding Gumberng”, dalam http://www.wisatamelayu.com /id/tour/1085Kesenian-Rinding-Gumbeng/navcat. diunduh 6 Agustus 2012.
Endang Sri Handayani, 2007, ”Makna Simbolis Bentuk Penyajian Wayang Wong Sakral dalam Upacara Tradisi Bulan Sura di Dusun Tutup Ngisor Desa Sumber Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang”, Skripsi, UNES, Semarang, dalam Http://lib.unes.ac.id. Daeng, Hans, 2008, Manusia Kebudayaan dan Lingkungan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Harry Sulastianto, dkk., tanpa tahun, Seni Budaya, Grafindo Media Pratama, dalam http://books.google.co.id/. Heru Murdiyanto, 2006, ”Filosofis Patung Loro Blonyo Ekspresi Simbolisme Mitos Dewi Sri dan Raden Sadono dalam Sistem Kepercayaan Masyarakat Jawa’, Laporan Penelitian Dosen Muda, FSSR ISI, Surakarta. I Nyoman Syila, 2009, “Cili : Karya Seni Rupa Tradisional Bali, Sebuah Identitas, Kontinuitas, dan Perubahannya di Kawasan Wisata Kabupaten Gianyar Provinsi Bali (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna)”, Laporan Penelitian, Universitas Indonesia, dalam Http://lontar.ui.ac.id. Jakob Sumardjo, “Mitos Nyi Pohaci”, dalam http://ceritalegendarakyat.blogspot.com /2010/04/mitos-nyi-pohacisanghyang-asridewi-sri.html diunduh 4 Juli 2012. Rahmanu Widayat, tanpa tahun, ”Krobongan Rumah Sakral Tradisi Jawa”, Naskah Publikasi Penelitian, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, UNS, Surakarta.
Rizkawati, 2008, ”Kasus: Desa Bedoyo Gunung Kidul...”, Laporan repository.ipb.ac.id., diunduh 7 Agustus 2012.
Penelitian, dalam
Sartini, 2009, Mutiara Kearifan Lokal Nusantara, Kepel Press, Yogyakarta. Sartini, 2009, ” Kearifan Ekologis sebagai Implementasi Pandangan Organistik Holistik
(Studi Kasus Masyarakat Hutan Adat Wonosadi Ngawen Gunung Kidul)”, Laporan Penelitian, Fakultas Filsafat UGM. Simatupang, Lono Lastoro G.R, ” Seni dan Agama”, naskah disampaikan dalam Pembekalan Jelajah Budaya, BPSNT Yogyakarta, 12 Juli 2010
Slamet Subiyantoro dkk (2009), ”Pengembangan Model Pelestarian Nilai Keharmonisan dalam Tata Hidup sebagai Upaya Menunjukkan Ketahanan Lingkungan Sosial Budaya Masyarakat Jawa Melalui Pemahaman tentang Simbolisme Patung Loro Blonyo”, Laporan Penelitian Hibah Bersaing, UNS, Surakarta. Sri Trisna Dewi Hartati, 2012. ”Peranan Dewi Sri dalam Pertanian Indonesia”. Makalah Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Universitas Udayana, dalam Http://aiaipusat.wordpress.com/20120., diunduh 4 Juli 2012. Sukarsirnarasa, 2011, “Kesenian Jentreng dari Rancakalong”, http://blogs.unpad.ac.id/suria12/tag/jentreng/, diunduh 6 Agustus 2012.
dalam
Sumintarsih, 2007, ”Dewi Sri dalam Tradisi Jawa’, dalam Jantra Vol. II No. 3, Juni 2007. Suraji, 2006, ”Religiusitas Tari Lengger Desa Gerduren Kecamatan Purwojati Banyumas”, Akademika Jurnal Kebudayaan, Vol. 4 No. 1. April 2006. Suwardi, H., tanpa tahun, ”Makna Simbolik Mtos Dewi Sri dalam Masyarakat Jawa Kajian Model Linguistik Levi-Strauss”, Laporan Penelitian, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.. Yuliawan K. Dkk, tanpa tahun, ”Seni Pertunjukan Ritual Cermin Hakikat Hidp Masyarakat Religius Banten Selatan”, Laporan Penelitian, dalam Http://lppm.upi.edu/penelitian/abstract/Yuliawan, diunduh 4 Juli 2012. Yuli Handayani, tanpa tahun, ”Bab II”, Laporan Penelitian Tesis, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, dalam Http://repository.upi.edu., diunduh 4 Juli 2012. Yusandi, 2011, ”Tarawangsa”, dalam http://wacananusantara.org/tarawangsa/ diunduh 29 Juli 2012. Wayan Windia, dkk., tanpa tahun, “Sistem Irigasi Subak dengan Landasan Tri Hita Karana (THK) sebagai Teknologi Sepadan dan Sistem Beririgasi”, publikasi sebagian Laporan Disertasi UGM dengan judul “Transformasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Trihita Karana”, dalam http://ejournal.unud.ac.id/ abstrak/%2817%29%20soca-windia-sistem%20subak%281%29.pdf
Widnyana, Kompyang Gde, 2009, “Pengertian dan Motivasi Lahirnya Seni”, dalam http://repo.isi-dps.ac.id/408/, Agem (JURNAL ILMIAH SENI TARI), , diunduh 7 Agustus 2012. Lain-lain: Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, dalam http://kamusbahasaindonesia. org/kesenian. Purwakandha Brangtakusuma, diterjemahkan oleh Luwiyanto