LAPORAN PENELITIAN DIBIAYAI DENGAN DANA MASYARAKAT FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA TAHUN 2011
AJARAN TASAWUF SUNAN KALIJAGA DAN PENGARUHNYA BAGI PERKEMBANGAN PERTUNJUKAN WAYANG KULIT DI INDONESIA
OLEH IVA ARIANI 197610202009122002
FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011 i
LAPORAN PENELITIAN DIBIAYAI DENGAN DANA MASYARAKAT FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA TAHUN 2011
JUDUL PENELITIAN : AJARAN TASAWUF SUNAN KALIJAGA DAN PENGARUHNYA BAGI PERTUNJUKAN WAYANG KULIT DI INDONESIA
1. PENELITI a. Nama Lengkap b. NIP c. Pangkat/Gol d. Jabatan e. Bidang / Spesialisasi f. Tempat penelitian g. Alamat Rumah & Telp
: Dr. Iva Ariani : 197610202009122002 : Penata / IIIc : : : Kotamadya Yogyakarta : Jogonegaran GT I/968 Yogya 55271, (0274)583044
2. JANGKA WAKTU PENELITIAN : 7 Oktober 2010 – 3 Januari 2011 3. BIAYA YANG DISETUJUI :Rp 1.500.000,00 (Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)
Yogyakarta, 3 Januari 2011
Mengetahui/Menyetujui Dekan Fakultas Filsafat UGM
Peneliti
Dr. M. Mukhtasar Syamsuddin NIP. 132105699
Dr. Iva Ariani NIP. 197610202009122002
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa bahwa saya telah menyelesaikan tugas penelitian dalam rangka melaksanakan tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai staf edukatif di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini mencoba menelaah tentang pengaruh ajaran Sunan Kalijaga yang berkembang di lingkungan masyarakat Jawa pada khususnya terhadap perkembangan dunia pagelaran wayang kulit purwa yang juga memiliki posisi khusus dalam hati masyarakat Jawa. Dalam penyusunan penelitian ini, tidak sedikit hambatan yang saya hadapi. Namun saya menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan laporan penelitian ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan semua pihak. Semoga penelitian ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat dalam rangka mengenal ilmu filsafat sebagai bagian yang bermanfaat dalam kehidupan manusia, dan tentunya penelitian ini masih sangat jauh dari sempurna, untuk itu kritikan dan saran yang diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas penelitian ini akan sangat saya harapkan demi kemajuan penelitian ini. Yogyakarta, 3 Januari 2011
Iva Ariani
iii
DAFTAR ISI Judul ……………………………………………………………………… Lebar Pengesahan ………………………………………………………. Kata Pengantar …………………………………………………………. Daftar isi …………………………………………………………………. Intisari …………………………………………………………………… Abstract …………………………………………………………………..
i ii iii iv v vi
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………… A. Latar Belakang ……………………………………………… 1. Permasalahan …………………………………………… 2. Rumusan Masalah ……………………………………… 3. Keaslian Penelitian ……………………………………… 4. Manfaat Penelitian ……………………………………… B. Tujuan Penelitian …………………………………………… C. Tinjauan Pustaka …………………………………………… D. Landasan Teori ………………………………………………
1 1 5 6 6 7 7 12
BAB II METODE PENELITIAN ……………………………………… A. Bahan dan Materi Penelitian ………………………………... B. Jalannya Penelitian ………………………………………….. C. Analisis Hasil …………………………………………………
16 16 16 17
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………….. 18 A. Riwayat Hidup Sunan Kalijaga …………………………… 18 B. Makna Filosofis Ajaran Sunan Kalijaga……………………… 23 C. Sejarah Pertunjukan Wayang Kulit ……….………………. 31 D. Penerapan Ajaran Sunan Kalijaga Dalam Seni Wayang Kulit …………………….................................................................. 45 BAB IV PENUTUP …………………………………………………….. A. Kesimpulan …………………………………………………. B. Saran …………………………………………………………
50 50 51
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………
53
iv
INTISARI
Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sebagian besar memeluk agama Islam. Sejarah masuknya agama Islam ke tanah Jawa jelas tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dan peranan Wali Songo terutama Sunan Kalijaga. Pengaruh ajaran Sunan Kalijaga merasuk hampir di seluruh kehidupan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa. Penelitian ini dilakukan untuk menelaah bagaimana pengaruh ajaran Sunan Kalijaga terhadap perkembangan kebudayaan wayang di Indonesia. Hal itu tentu saja tidak dapat dipisahkan karena wayang dan ajaran Sunan Kalijaga samasama berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Jawa. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan buku yang menjelaskan ajaran-ajaran Sunan kalijaga dan buku-buku lain yang berhubungan dengan dunia wayang. Penelitian ini menghasilkan suatu kesimpulan bahwa perkembangan dunia wayang saat ini banyak dipengaruhi oleh ajaran Sunan Kalijaga. Kata kunci : Sunan Kalijaga, wayang, budaya jawa
v
ABSTRACT
The javanese society is a people that mostly embrace islamic religion. A history of islamic religion can not be released from influence and guardian from Wali Songo especially Sunan kalijaga. The influence of Sunan Kalijaga’s ideas scattered almost in all indonesian society’s life especially javanese society. This research is done to know the influence of Sunan Kalijaga’s ideas towards leather puppet’s culture developt in Indonesia. The things of course inseparable because leather puppet and Sunan Kalijaga’s ideas is the same big influential towards javanese society life. This research is a qualitative research that use book that explains Sunan Kalijaga’s ideas and other books that related to leather puppet world. This research produces a conclusion that leather puppet as a Javanese culture in this time development by Sunan Kalijaga’s ideas. keyword: Sunan Kalijaga, leather puppet, javanese culture
vi
A. LATAR BELAKANG
Kedatangan Islam di Jawa bersamaan dengan goncangan kosmologis yang sekalipun secara historis, sebagaimana bunyi sangkakala “sirna ilang ketaning bumi” yang disamping menyandra tanda-tanda zaman waktu itu, yakni hilangnya kemakmuran di bumi, juga mengacu ke tahun-tahun 1499(S), atau 1478 (M). Mengenai goncangan kosmologis itu mengapa dan kemana, informasi yang ada hanya memberi petunjuk bahwa keseimbangan akan tercapai kembali setelah 500 tahun, tepatnya pada tahun 1478 (M) + 500 = 1478 (M) (Mark R Woodward,1999;xvii). Melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia bukanlah urusan mudah. Tak banyak jejak yang bisa dilacak. Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh termasuk ke Nusantara. Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara (Mashudi Oentoro,2010;-). Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya 1
yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya (Mashudi Oentoro,2010;-). Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai. Kedua teori di atas mendatangkan kritikan yang cukup signifikan dari teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin. Selain di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga dilakukan dalam waktu yang bersamaan di Pulau Jawa. Prof. Hamka dalam Sejarah Umat Islam mengungkapkan, “Pada tahun 674 sampai 675 masehi duta dari orang-orang Ta Shih (Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah sendiri sMuawiyah bin Abu Sofyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga 2
ke Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat Umayyah ini menyamar sebagai pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu. Ekspedisi ini mendatangi Kerajaan Kalingga dan melakukan pengamatan. Maka, bisa dibilang Islam merambah tanah Jawa pada abad awal perhitungan hijriah” Jika demikian, maka tak heran pula jika tanah Jawa menjadi kekuatan Islam yang cukup besar dengan Kerajaan Giri, Demak, Pajang, Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon. Proses dakwah yang panjang, yang salah satunya dilakukan oleh Wali Songo atau Sembilan Wali adalah rangkaian kerja sejak kegiatan observasi yang pernah dilakukan oleh sahabat Muawiyah bin Abu Sofyan. Peranan Wali Songo dalam perjalanan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa sangatlah tidak bisa dipisahkan. Jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat dimana akan dibangun pemerintahan Islam yang berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah Jawa yang paling terkenal memang adalah Kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri tak bisa dilepaskan dari sejarah kekuasaan Islam tanah Jawa. Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintah. Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang termasuk sebagai Walisongo, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu: Sunan Gresik, Sunan Ampel, 3
Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunann Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Muria dan Sunan Gunungjati Salah satu dari kesembilan walisongo yang sangat terkenal dan ajarannya banyak menjiwai seluruh kehidupan masyarakat di Jawa bahkan hingga saat ini adalah Sunan Kalijaga. Selain Syekh Siti Jenar, hanya beliau yang aktif menyebarkan agama Islam dengan menggunakan kultur Jawa sebagai medianya. Sunan kalijaga adalah nama yang akrab di kalangan Islam jawa. Kisah kewalian menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga dikenal sebagai orang yang menciptakan “pakaian takwa”, tembang-tembang Jawa dan seni memperingati Maulid Nabi yang lebih dikenal dengan sebutan Gerebeg Maulud. Upacara Sekaten yang dilakukan setiap tahun untuk mengajak orang Jawa masuk Islam. Tembang-tembang
yang
diciptakan
Sunan
Kalijaga
sebenarnya
merupakan ajaran makrifat, ajaran mistis dalam agama Islam. Meski banyak tembang yang telah diciptakannya, tetpi hanya tembang Ilir-Ilir yang dikenal oleh masyarkat Jawa (AchmadChodjim,2003;13). Sebagai suatu hasil karya seni yang menjiwai seluruh kehidupan masyarakat Jawa pada saat itu hingga sekarang ini, sudah barang tentu keberadaan wayang sebagai budaya yang dipengaruhi oleh kekuatan budaya agama Hindu mengalami perubahan dengan masuknya budaya agama Islam. Sunan Kalijaga sebagai seorang wali penyebar agama Islam yang masuk ke Pulau Jawa pada masa itu memiliki langkah yang bijaksana. Sunan Kalijaga tidak 4
berusaha untuk menghilangkan tradisi Hindu dalam pagelaran wayang tersebut, namun berusaha dengan bijak mengkolaborasikannya sehingga ajaran-ajaran Islam yang pada saat itu baru dikenal oleh masyarakat Jawa menjadi suatu ajaran yang bisa dipahami dan dinikmati oleh masyarakat pada masa itu. Penelitian ini mencoba mengkaji sejauhmana pengaruh ajaran Sunan Kalijaga terhadap perkembangan seni pewayangan di Indonesia. Hal inilah yang membuat peneliti merasa terarik untuk mengkaji dua hal besar yang secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran dan kehidupan masyarakat Jawa hingga saat ini, yaitu ajaran Sunan Kalijaga dan ajaran-ajaran yang diberikan dalam pagelaran seni wayang kulit.
1. Rumusan Masalah Uraian-uraian tersebut di atas akan membawa pada persoalan-persoalan yang dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah makna filosofis ajaran Sunan Kalijaga? 2. Bagaimanakah relevansi ajaran Sunan Kalijaga bagi dunia kesenian khususnya Wayang Kulit Purwa?
2. Keaslian penelitian
5
Judul penelitian ini sepanjang pengetahuan penulis belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Sekalipun demikian banyak terdapat buku-buku ataupun hasil karya penelitian lain yang membahas seputar masalah Sunan Kalijaga. Bukubuku tersebut dalam pandangan penulis lebih bersifat memahami pandangan Sunan Kalijaga secara umum dan bukannya kajian filosofis dari ajaran Sunan Kalijaga
dan
pengaruhnya
bagi
perkembangan
kebudayaan
di
Indonesia.khususnya budaya Wayang Kulit Purwa.
3. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat antara lain : 1.
Bagi perkembangan budaya di Indonesia yang sampai saat ini sudah banyak dilupakan dan tidak lagi dianggap sebagai suatu bahan yang menarik untuk dijadikan objek penelitian ilmiah.
2.
Bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu Filsafat khususnya Filsafat Nusantara, penelitian ini memberikan wawasan dan pemahaman baru tentang pemikiran filosofis Sunan Kalijaga dan penerapannya dalam dunia kebudayaan.
3.
Bagi masyarakat, khususnya masyarakat Jawa, agar dapat dijadikan pedoman dalam memahami setiap makna dalam kebudayaan jawa dalam kaitannya dengan tradisi dan ajaran keIslaman.
B. TUJUAN PENELITIAN 6
Bertitik tolak dari penjabaran latar belakang masalah, maka penelitian ini bertujuan antara lain : 1. Memahami secara lebih mendalam makna filosofis ajaran Sunan Kalijaga. 2. Memperoleh pemahaman tentang relevansi ajaran Sunan Kalijaga bagi perkembangan kebudayaan khususnya kebudayaan Wayang Kulit Purwa.
C. TINJAUAN PUSTAKA Pandangan
keagamaan
orang
Jawa
menurut
Koentjaraningrat
berhadapan dengan berbagai istilah yang oleh banyak penulis dikaitkan dengan masalah seperti “kejawen”, “Islam Kejawen”, “Islam Abangan”,”Sinkretsme Jawa”, “Kebatnan”,”Aliran Keperayaan”,”Mistik”, “Ilmu Klenik”, “Agama Jawa”, dan lain-lain. Masing-masing dengan alasannya sendiri-sendiri, berdasarkan
pengamatan,
analisis
ataupun
mungkin
juga
berdasarkan
penghayatan yang bersangkutan. Istilah-istilah itu ada yang dipakai sebagai nama diri ada pula yang dipakai sebagai nama umum yang sekadar menunjuk pada suatu kecenderungan umum saja (Koentjaraningrat,1984;310). Boleh dikatakan sikap keagamaan masyarakat Jawa bersifat nominal, dalam arti kata bahwa tidak sepenuhnya saleh entah agama apapun yang dianutnya. Tentu dengan pengecualian orang-orang yang memang benar-benar beriman sesuai dengan agama yang dianutnya. Pada dasarnya, masih banyak orang Jawa yang berpikir sebagai orang Buddha dan orang Hindu dengan pelbagai macam upacara yang sampai sekarang masih tampak dilakukann oleh 7
mereka dalam menghayati kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Suat penghayatan yang banyak bercampur dengan sejumlah tata cara yang berbau takhyul daripada tatacara yang bisa didekati secara rasional. Hal seperti itu bisa dijumpai dalam upacara-upacara perkawinan, menujuh bulan kehamilan, kelahiran bayi, khitanan, kematian dan semacamnya yang bersifat gugon tuhon yang sulit diterima oleh agama-agama yang peraya pada Tuhan Yang Maha Esa yang sungguh-sungguh menghayati iman kepercayaannya sesuai dengan agama itu. Filsafat Jawa sepanjang masa berkesimpulan bahwa Tuhan merupakan Sangkan paraning Dumadi dan Manungsa yaitu usaha manusia untuk kembali kepada asalnya atau Tuhan, yang dilakukan baik dengan jalan jasmani maupun rohani, atau dengan jalan lahir maupun batin (Maria.A.Sarjono,1992;24). Manusia Jawa gemar melakukan mawas diri. Kegemaran ini bersumber pada kesadaran atau kemampuannya berintrospeksi mengenai kekurangan-kekurangannya sebagai mahkluk di dunia. Ia merasa kecil selalu, karena nasibnya Pinesti Dening Pangeran, sudah dtentukan oleh Tuhan. Maka pada dasarnya, sikap hidup manusia Jawa bisa dikatkan bersifat fatalistik, merasa terbatasi kemampuannya untuk berindak atau berbuat. Dan dapat dikatakan pula bahwa karena kesadaran semacam itulah, kesadaran akan keterbatasannya itu, menyebabkan mereka kurang memiliki daya dobrak dan lekas sampai pada sikap kompromistik. Dan itu pula mengapa orang Jawa sukar berkontroversi tajam dan cenderung sampai pada penyelesaian secara damai (Hardjowirogo,1984;24). 8
Sejarah Islam Jawa tidak sekedar soal konversi saja, tetapi juga soal penegakan Islam sebagai agama kerajaan, suatu proses yang mengakibatkan penghancuran banyak kebudayaan hindu Buddha yang ada dan sub ordinasi ulama atas kekuasaan kraton, kendati mungkin detail-detail yang tepat mengenai sejarah Islam Jawa akan tetap diliputi misteri, tetapi sumber-sumber Islam Asia selatan bisa banyak mengungkapkan watak proses yang berbelit-belit tersebut (Mark.R.Woodward,1999;81). Budaya Jawa telah dibangun dalam proses historis yang sangat panjang sejak jaman Jawa Klasik, Jawa Islam, jaman Surakarta bahkan sampai jaman modern sekarang ini. Porses perjalanan dan interaksi ini dilalui melalui berbagai pintu interaksi: kultural, ekonomi, agama, pendidikan, sosial budaya. Keberhasilan misi dakwah Islam di tanah Jawa selain merupakan kehendak Allah sudah barang tentu juga ditentukan oleh adanya kesungguhan dan kegigihan para dai, muballigh, serta guru agama yang dikenal luas oleh masyarakat dengan sebutan Wali Songo. Merekalah perintis jalan dakwah yang berhasil membuka pintu dialog dan mempertemukan Islam dengan budaya Jawa yang kental dengan praktek animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha. Penyebaran agama Islam sejak abad 15 makin cepat meluas di kepulauan Indonesia adalah berkat para sufi (penganut tasawuf). Kalau sinyalemen ini benar, maka suka atau tidak harus diakui para sufilah yang sangat besar andilnya memasukkan dakwah Islam pada masa awal penyebaran agama Islam di negeri ini. Dan jika hal ini benar, maka ajaran-ajaran yang diberikan oleh para juru 9
dakwah pada masa itu akan banyak diwarnai oleh konsep dan ajaran tasawuf (Ardani,1996;60). Penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh Walisongo (Agus Wahyudi,2008;70). Para wali masing-masing mempunyai pesantren sebagai tempat para santri belajar agama Islam. Mereka bukan saja sebagai pembuka babak baru Islam di Jawa, tetapi mereka juga menguasai jaman berikutnya yang kemudian dikenal dengan jaman kewalen (jaman kewalian) (Ridwan,2005;20). Manunggaling kawula-gusti adalah salah satu konsep dan ajaran tasawuf yang membumi di kalangan pelaku mistik jawa. Ditemukan banyak sekali konsep dan ajaran manunggaling kawula-gusti dalam serat atau suluk jawa. Salah satunya adalah Serat Wirid Hidayat Jati tulisan Raden Ngabehi Ronggowarsito, seorang pujangga Surakarta. Konsep teologi Syaikh Siti Jenar juga berangkat dan disemangati oleh kesadaran manunggaling kawula-gusti. Serta masih banyak lagi ngelmu makrifat kejawen yang mengacu pada konsep dan kesadaran manunggaling kawula-gusti. Pertunjukkan wayang kulit purwa sebagai teaater lokal terdiri dari beberapa unsur seni, seperti : seni musiks (karawitan), seni rupa, seni sastra dan sebagainya. Dan unsur-unsur tersebut diolah menjadi satu kesatuan yang utuh dan selaras sehingga dapat memotivasi timbulnya pengalaman estetis yang memuaskan. Dalam pertunjukkan tersebut tersirat ajaran moral, ajaran kemanusiaan, ajaran religius dan sebagainya. Tak jarang dalam pertunjukkan
10
wayang tersirat aspek-aspek seperti aspek etika, aspek metafisika, aspek epistemologis dan aspek antropologis dalam penampilan lakon tertentu. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa setiap karya seni tidak dapat dilepaskan dengan lingkungan sosial budayanya. Dengan kata lain bahwa antara seniman, karya seni dan masyarakat adanya pengaruh timbal balik dan tak dapat dipisah-pisahkan. Hal ini juga berlaku dalam dunia pewayangan. Dapat dikatakan bahwa seni selalu menyertai perjalanan hidup manusia. Sepanjang perspektif sejarah, tidak mungkin kehidupan masyarakat tanpa seni, demikian
pula
seni
tanpa
makna
sosial,
sampai
dengan
saat
ini
(H.B.Sutopo,1991:2). Zaman kedatangan agama Islam di tanag jawa menggunakan wayang sebagai alat dakwah, alat komunikasi, sumber sastra dan budaya, dan sebagai hiburan. Cerita diambil dari cerita-cerita babad yakni percampuradukkan antara Epos Ramayana versi Indonesia dengan cerita-cerita Arab/Islam. Wayang juga berbentuk pipih menyerupai bentuk bayangan seperti yang kita lihat sekarang. Wayang kulit purwa disempurnakan bentuknya (cara pembuatannya, alat kulit, debog,blencong, dan lain-lainnya) agar tidak bertentangan dengan agama. Pertunjukkan wayang dipimpin oleh seorang dalang. Jumlah wayang ditambah, antara lain wayang Batara Guru, Buta Cakil, dan lain-lainnya (Hazim Amir,1997;35). Ajaran-ajaran yang disampaikan dalang pada masa kehidupan Sunan Kalijaga dan para Walisongo inilah yang kemudian mempengaruhi perkembangan pagelaran wayang kulit purwa hingga saat ini. 11
D. LANDASAN TEORI Wayang secara harfiah berarti bayangan. Ia merupakan istilah untuk menunjukkan teater tradisional di Indonesia. Ada yang berpendapat, wayang berasal dari India dan rekaman pertama pertunjukan wayang telah ada sejak 930 M. Namun, ada pula yang meyakini wayang kulit sebagai salah satu dari berbagai akar budaya seni tradisional Indonesia. Wayang merupakan media yang digunakan Wali Songo, untuk menyebarkan Islam di nusantara. Cikal bakal wayang berasal dari wayang beber, yang gambarnya mirip manusia dan lakonnya bersumber dari sejarah sekitar zaman Majapahit. Saat itu Kerajaan Demak, sebagai kerajaan Islam, melarang wayang dipertunjukkan dengan gambar mirip manusia hingga kemudian Wali Songo berinisiatif mengubah gambar wayang menjadi gambar karakteristik. Islam di Jawa di samping sangat sibuk mengkaji kitab-kitab kuning, juga kurang mengerti tentang masalah strategi kebudayaan. Bagi para Kiai pengikut tarekat yang penting adalah menyiarkan agama dan mengajar mengaji. Sebaliknya para sastrawan dan pujangga Kejawen, mereka ini harus berkarya, dan untuk mengembangkan sastra kejawen masa itu (zaman Islam) di samping dengan mengubah cerita-cerita Jawa Kuna, perlu pula diperkaya dan diperhalus dengan menyadap dan mengolah unsur-unsur Islam di samping pelaksanaannya strategi kebudayaan, juga merupakan sumber bahan-bahan baru bagi karya-karya
12
mereka. Strategi ini bisa dipandang sebagai peng-Islam-an warisan sastra Jawa agar dapat dipasarkan di lingkungan masyarakat pesantren. (Simuh,2000;-). Usaha ini berhasil mencuatkan perkembangan sastra Jawa Baru, di mana bahasa dan sastra Jawa menjadi semakin bergaya feodal dengan menciptakan bahasa Jawa ngoko (untuk klas rendahan), kromo untuk (menghormati orangssorang tua), dan kromo inggil (untuk menghormati klas priyayi). Penciptaan cerita mitos tentang Walisanga di atas, oleh para pujangga Kejawen berhasil pula menyodorkan mitologi Walisanga, sekaligus menyodorkan proses peralihan zaman, dari zaman Kabudan (zaman Majapahit, Hindu) ke zaman Kewalen (zaman Islam). Maka pada zaman Kewalen (zaman Islam), apabila ada priyayi atau orang bertapa yang memberi wangsit (wahyu) bukan dewa lagi, tetapi Sunan Kalijaga (Wali). Wayang yang ceritanya bersumber dari serat Mahabarata dan Ramayana yang jelas-jelas Hinduisme saja dicoba untuk di-Islamkan. Misalnya dikatakan bahwa wayang itu bikinan para Wali, dan bahwa raja Ngamarta punya azimat yang sangat keramat, yaitu serat Kalimasada (Kalimat Syahadat). Lebih aneh lagi cerita dalam Serat Paramayoga karya Ranggawarsita. Di dalam serat ini diceritakan bahwa Iblis punya anak perempuan bernama Dajlah. Pada suatu ketika Dajlah disulap oleh Iblis, punya rupa seperti isteri nabi Sis, putra Nabi Adam. Kemudian isteri Nabi Sis disembunyikan Iblis, dan Dajlah bisa tidur bersama dengan Nabi Sis hingga mengandung, dan punya anak laki-laki dinamakan Sayid Anwar (berupa cahaya). Karena Sayid Anwar punya darah 13
Iblis, maka tidak patuh pada ayahnya, pergi mengembara ke Timur atau India, dan menurunkan para Dewa dalam Hinduisme (dalam cerita wayang) (Simuh,2000;-). Para Sunan Walisongo memberikan makna menarik untuk kesenian wayang. Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh Walisongo yang mengatur sedemikian rupa kesenian ini menjadi tiga bagian. Pertama, Wayang Kulit di Jawa Timur, memberi syarat dan makna kepada masyarakat, mana yang hanya kulit (Wayang Kulit). Kedua, Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, member isyarat pada masyarakat, mana yang berisi (Wayang Wong). Ketiga adalah Wayang Golek di Jawa Barat, yang member isyarat, mana yang harus dicari (Golek). Di tangan Walisongo, wayang bisa dijadikan sebagai alat dakwah yang sarat makna. Meskipun masyarakat Jawa pada waktu itu masih banyak yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, namun para penyebar ajaran Islam di tanah Jawa tidak kurang akal untuk mendekatkan ajaran-ajaran Islam melalui kesenian yang digandrungi oleh masyarakat Jawa pada waktu itu. Sunan Kalijaga atau Raden Said misalnya. yang tak lain adalah putera dari Adipati Tuban, selalu memilih tempat yang tidak jauh dari masjid ketika menggelar pagelaran wayang. Di sekeliling tempat pagelaran wayang itu ia lalu membuat parit yang mengalir di dalamnya air yang jernih. Parit ini dibuat untuk melatih para penonton wayang agar mencuci kaki sebelum masuk masjid. Sebuah makna simbolis tentang widhu yang disampaikan dengan bijak 14
(http://www.ruangmuslim.com/pendidikan/3958-wayang-jejak-dawahwalisongo.html) Dengan kehadiran para Walisongo ini, wayang yang dulunya masih menggambar wujud manusia utuh diubah polanya agar tidak menyerupai manusia lagi. Para wali kemudian membuat wayang yang dibuat dari kulit kambing sednga kedua tangan sejajar kedua kakinya. Maka wayang juga diubah sehingga tak menyerupai manusia.
BAB II 15
METODE PENELITIAN
A. Bahan Dan Materi Penelitian Penelitian ini terutama meneliti pustaka dengan buku utamanya ialah Mistik dan makrifat Sunan Kalijaga karya Achmad Chodjim . buku-buku lain yang dijadikan pendukung penelitian adalah buku-buku yang membahas tentang tasawuf dan ajaran-ajaran Sunan Kalijaga serta buku-buku yang menceritakan sejarah perkembangan wayang di Indonesia.. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan buku-buku pendukung lain seperti Pandangan Hidup Orang Jawa karya Sujamto, Dunia Wayang Kanti Waluyo, Islan Jawa oleh Mark.R.Woodward,Sejarah Pedhalangan karya Soetarno, dan buku-buku lain tentang wayang, tasawuf dan filsafat.
B. Jalannya Penelitian Penelitian ini dibagi ke dalam beberapa tahap, yaitu mencari format mengenai riwayat hidup dan ajaran Sunan Kalijaga, kemudian mencari nilainilai filosofis yang terkandung dalam ajaran Sunan Kalijaga dan mengkaji bagaimanakah pengaruh ajaran Sunan Kalijaga terhadap perkembangan dunia pewayangan di Indonesia Tahap penelitian ini dimulai dengan pengumpulan data ajaran tasawuf Sunan kalijaga yang selanjutnya diolah dengan tahap pengolahan data, meliputi penerapan metode penelitian ilmiah untuk mengolah data yang 16
tersedia dengan cara mengklasifikasikan data ke dalam sub-sub tema dan menyusunya ke dalam bentuk konsep yang runtut dan utuh. Ketiga, tahap penyajian hasil penelitian secara sistematis dan lengkap untuk dipertanggungjawabkan dalam mimbar akademik dan publikasi ilmiah.
C. Analisi Hasil Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan menggunakan buku-buku tentang ajaran Suna Kalijaga dan buku-buku tentang sejarah dan perkembangan wayang kulit di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian filosofis yang akan memandang pandangan Sunan Kalijaga sebagai suatu ajaran untuk memaknai hidup dan kehidupan selain juga ajaran untuk proses pengenalan dan pemahaman manusia akan keberadaan Tuhan Sang Maha Pencipta. Nilai filosofis
yang sudah ditemukan tersebut kemudian
diaplikasikan ke dalam perkembangan dunia wayang kulit purwa yang ada di Indonesia. Kesimpulan dari penelitian ini akan diambil melalui metode interpretasi, hermeneutika dan deskripsi hingga pada akhirnya akan diperoleh penelitian ilmiah yang runtut dan jelas.
BAB III 17
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. RIWAYAT HIDUP SUNAN KALIJAGA Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putera adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilwatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain adalah Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Pangeran Abdurrahman. Memang terdapat beberapa versi terkait gelar yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon
berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan jawa yang lain mengkaitkan namanya dengan kesukaannya untuk berendam (kungkum) di sungai (kali). Pendapat lain yang muncul adalah istilah Kalijaga berasal dari bahasa Arab Qadli Dzaqa yang menunjukkan statusnya sebagai penghulu suci kesultanan . Posisi Qadli atau hakim yang dijabat oleh Kalijaga alias Joko Said menjadi bukti bahwa Demak merupakan sebuah kawasan pemerintahan yang menjalankan syariah Islam. Hal ini diperkuat oleh kedudukan Sunan Giri sebagai wali di Demak. Istilah Qadli merupakan nama-nama jabatan di dalam Negara Islam. Sunan Kalijaga adalah ulama yang namanya paling banyak disebut dalam perkembangan kehidupan masyarakat Jawa. Nama Sunan Kalijaga dapat
18
dikatakan sebagai tokoh yang paling menonjol bagi perkembangan agama Islam di tanah Jawa. Sunan kalijaga lahir sekitar tahun 1450 Masehi, ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati tuban, keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit. Riwayat masyhur mengatakan bahwa Adipati Arya Wilatikta sudah memeluk Islam sejak sebelum Sunan Kalijaga lahir. Namun sebagai muslim ia dikenal kejam dan sangat takluk kepada pemeruntah pusat Majapahit yang menganut agama Hindu. Sebagai Adipati ayah Sunan Kalijaga kerap menetapkan pajak yang sangat tinggi untuk rakyatnya. Joko Said (Kalijaga) muda yang tidak setuju pada kebijakan ayahnya sebagai Adipati sering membangkang pada kebijakan-kebijakan ayahnya. Pembangkangan Joko Said kepada ayahnya mencapai puncaknya saat ia membongkar lumbung kadipaten dan membagi-bagikan padi dari dalam lumbung kepada rakyat Tuban yang pada saat itu dalam keadaan kelaparan akibat kemarau panjang. Tindakan Joko Said seperti itu tentu saja membuat ayahnya Adipati Wilatikta marah dan malu. Adipati Wilatikta kemudian menggelar “sidang” untuk mengadili Joko Said dan menanyakan alasan perbuatannya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Joko Said untuk mengatakann pada ayahnya bahwa, karena alasan ajaran agama, ia sangat menentang kebijakan ayahnya untuk menumpuk makanan di dalam lumbung sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kelaparan.
19
Adipati Wilatikta tentu saja tidak dapat menerima alasan ini karena menganggap Joko Said ingin mengguruinya dalam masalah agama, oleh karena itu Ayahnya kemudian mengusirnya keluar dari istana kabupaten seraya mengatakan bahwa ia baru boleh pulang jika sudah menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur‟an. Maksud dari menggetarkan seisi Tuban di sini ialah bilamana ia sudah memiliki banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya. Riwayat masyhur kemudian menceritakan bahwa setelah diusir dari istana kabupaten, Joko Said beubah menjadi seorang perampok yang terkenal dan ditakuti di kawasan Jawa Timur. Sebagai perampok, Joko Said selalu memilih korbannya dengan seksama. Ia hanya merampok orang kaya yang tak mau mengeluarkan zakat atau sedekah. Dar hasil rampokannya itu, sebagian besar selalu ia bagi-bagikan kepada orang miskin. Kisah ini mungkin mirip dengan cerita Robin Hood dari Inggris. Begitulah riwayat masyhur tentang beliau dan diperkirakan saat menjadi perampok itulah ia diberi gelar
“Lokajaya” atau
“Perampok yang Budiman”. Kehidupan Joko Said sebagai perampok mengalami perubahan saat dirinya bertemu dengan seorang ulama ternama bernama Syeh Maulana Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Sunan Bonang inilah yang kemudian menyadarkannya bahwa perbuatan baik tidak dapat diawali dengan perbuatan buruk. Sesuatu yang Haq tidak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil, sehingga akhirnya Joko said alias Lokajaya bertobat dan berhenti menjadi 20
perampok. Joko said kemudian berguru kepada Sunan Bonang hingga akhirnya dikenal sebagai ulama dengan gelar “Sunan Kalijaga”. Sebagai proses penyucian diri, sunan Bonang memerintahkan Sunan Kalijaga untuk bertafakur di pinggir sungai (kali) untuk mrnili dan mengevaluasi perbuatannya selama ini. Sunan Bonang lantas menancapkan tongkatnya di tanah, dan meminta Sunan Kalijaga untuk bertafakur menjaga tongkat tersebut. Kisah tersebut terjadi di pinggir sungai, dan dari ketafakurannya selama bertahun-tahun Joko Said, atau Raden Sahid, atau Lokajaya, atau Sunan Kalijaga berhasil menghayati arti kehidupan, dan ketika Sunan Bonang menemuinya kembali segeralah ia diberi pelajaran tentang kehidupan dan ilmu agama (Iman Anom, 1993;-). Peristiwa penting dalam riwayat Sunan Kalijaga terlihat dalam kasusu saka tatal yang sangat terkenal. Diriwayatkan bahwa para wali bergotong royong membangun masjid Demak, dan Sunan Kalijaga mendapatkan bagian untuk mendirikan salah satu dari empat tiang utama Masjid. Entah kenapa, Sunan Kalijaga yang sudah sangat terlambat ketika memulai pekerjaannya, sehingga dengan “kesaktiannya” ia terpaksa menggantikan balok kayu besar itu dengan potongan-potongan balok kecil, yang disebut tatal, dan ternyata tiang yang tampaknya darurat itu mampu menyangga atap masjid, sama kuat dengan tiangtiang utama lainnya. Tradisi lisan Jawa menyatakan bahwa tatal itu adalah bukti kedigdayaan Sunan Kalijaga, tetapi bagi peneliti ilmiah persoalannya menjadi lain. Qurtuby 21
mengatkan bahwa tesis yang meneliti peranan Tionghoa dalam penyebaran Islam di Indonesia menyebutkan bahwa teknik perakitan yang digunakan Sunan Kalijaga untuk menyangga atap masjid dengan himpunan tatal itu sama dengan cara penyambungan potongan kayu untuk tiang kapal Jung Cina. Slamet Mulyana dalam bukunya Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islamdi Nusantara (1968;32) dengan yakin pernah menyebutkan nama lain Sunan Kalijaga sebagai Gan Si Cang. Dakwah Sunan kalijaga kemudian bergerak menuju Kadilangu Demak. Di daerah inilah diyakini Sunan Kalijaga menetap lama hingga akhir hayatnya. Kadilangu merupakan tempat Sunan Kalijaga membina kehidupan rumah tangga. Isterinya yang paling terkenal adalah Dewi sarah, puteri Maulana Ishak. Pernikahannya dengan Dewi Sarah membuahkan tiga orang anak, satu diantarnya adalah Raden Umar Said yang kelak bergelar Sunan Muria. Sunan Muria dan Sunan Kudus tergolong satu aliran dalam berdakwah dengan Sunan Kalijaga. Metode dakwah aliran Kalijaga itu sangat keras ditentang oleh Sunan Ampel mertuanya sendiri, dan Sunan Drajat, kakak iparnya. Sunan Kalijaga pada akhirnya meninggal dan dimakamkan juga di desa Kadilangu Demak. Hingga kini makam Sunan Kalijaga masih banyak didatangi oleh para peziarah yang menginginkan Ziarah kubur atau wisata religi untuk mengenang kembali kejayaan Sunan Kalijaga B. MAKNA FILOSOFIS AJARAN SUNAN KALIJAGA
22
Ajaran Sunan Kalijaga yang sangat popular dalam kehidupan masyarakat adalah ajaran-ajaran yang dikemas dalam bentuk kidung atau tembang. Salah satunya adalah kidung rumeksa Ing Wengi, seperti berikut : Ana kidung rumeksa ing wengi Teguh hayu luputa ing lara Luputa bilahi kabeh Jim setan datan purun Paneluhan tan ana wani Miwah panggawe ala Gunaning wong luput Geni atemahan tirta Maling adoh tan ana ngarah ing mami Guna duduk pan sirna Yang artinya: Ada kidung melindungi di malam hari Penyebab kuat terhindar dari segala kesaktian Terhindar dari segala petaka Jin dan setanpun tidak mau Segala jenis sihir tidak berani Apalagi perbuatan jahat Guna-guna dari orang tersingkir Api menjadi air Pencuri pun menjauh dariku Segala bahaya akan lenyap
Kidung ini disusun dalam serat sastra macapat dhandhanggula. Menurut Achmad Chodjim (2003;), kata-kata yang tersusun rapi dalam sebuah doa, sebenarnya untuk menjadi titik perhatian dan tujuan dari pelafal doa. Titik perhatian inilah yang akan membangkitkan konsentrasi dan dengan itu menjelmakan kekuatan pikiran. Kekuatan pikiran akan menghasilkan sebuah medan biogravitasi yang dapat berinteraksi dengan dan dapat mengubah medan gravitasi yang mengendalikan materi. Teori ini terbukti dengan populernya 23
kidung gubahan Sunan Kalijaga sebagai penolak bala kejahatan yang dilakukan di malam hari. Mulai dari kejahatan yang “tampak” hingga kejahatan yang “tidak tampak” oleh mata. Achmad Chodjim dalam bukunya mengatakan bahwa kidung Rumeksa Ing Wengi masih berlaku sampai pada masa kini untuk kebutuhan praktis, msalnya mengusir hama tikus di sawah. Dikisahkan bahwa pelafal doa berpuas 24 jam, makan sahur dan buka tengah malam, lalu kidung ini dibacakan sambil mengelilingi ladangnya. Alhasil tikus sawah benar-benar tidak akan berani datang lagi ke sawah tersebut. Menurut Chodjim, doa bukan untuk merusak, melainkan untuk menjaga keharmonisan alam. Dalam hal ini doa bukanlah sihir atau mantra negatif dan yang disebut doa secara sungguh-sungguh memiliki kesakralan dan kesucian. Hubungan Sunan Kalijaga dengan kidung Rumeksa Ing Wengi digambarkan bukan sebagai hubungan yang formalitas kaku. Sunan kalijaga lebih mementingkan terbangunnya keyakinan dalam beragama daripada hafalan atas doa-doa itu sendiri, dank arena orang Jawa abad XV tidak mudah mengucapkan apalagi memahami bahasa Arab, dalam memperkenalkan orang Jawa terhadap keindahan dan kebesaran agama, Sunan Kalijaga mengacu pada alam pikiran tersebut. Ajaran Sunan kalijaga yang lainnya yang berbentuk kidung atau tembang adalah tembag Lir Ilir, seperti berikut : Lir ilir, lir ilir, tandure wis sumilir 24
Tak ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar Cah angon-cah angon penekna blimbing kuwi Lunyu-lunyu penekna, kanggo masuh dodotiro Dodotiro, dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir Domono, jlumatana kanggo seba mengko sore Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane Yuk surak a…..surak hore Lagu atau tembang ini menceritakan tentang perjuangan kaum muslim untuk
bisa menjadi manusia baik seutuhnya. Dlam tembangtersebut, disebutkan
bahwa…tandure wis sumilir yang artinya sudah saatnya. Tak ijo royo-royo tak sengguh penganten anyar, dapat dikiaskan sebagai lambing agama Islam yang baru masuk ke tanah Jawa dan diibaratkan seperti pengantin baru. Warna hijau juga melambangkan warna yang melambangkan agama Islam. Cah angon penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dodotiro, diartikan sebagai ajakan kepada seluruh manusia untuk memanjat dan mengambil buag belimbing. Buah belimbing yang bergerigi sejumlah lima buah diibaratkan sebagai lambing ajaran agama Islam sebagai 5 Rukun Islam. Meski susah dan berat manusia harus bisa mencari buah belimbing tersebut untuk “mencuci” hati dan pakaiannya. Ajaran tersebut pada akhirnya sangat berkembang dan terkenal di kehidupan masyarakat Jawa hingga ekarang. Pesan-pesan dan ajaran Snan Kalijaga yang lainnya adalah ajarannya yang berbunyi : “Lamun sira menek, aja menek andha, awit lamun sira menek andha, sira ancik-ancik untu, lan tekan ndhuwur sira ketemu alam suwung. Nanging lamun sira menek, meneka wit galinggang, sira bakal ngliwati tataran, lan ngrangkul (ngrungkepi) wit galinggang. Tekan ndhuwur sira ketemu apa? Sira bakal ketemu who, ya wohing galinggang. 25
Wohing galinggang wiwit saka ing jeroning mancung, ya kuwi manggar, sakwise kuwi dadi bluluk, terus cengkir, dhegan, njur krambil. Perangan njaba sira ketemu apa? Sira ketemu tepes sing watake enteng. Perangan njero meneh sira ketemu apa?Sira bakal ketemu bathok sing watake atos. Perangan njero meneh sira ketemu apa?Sira bakal ketemu jatine wohing galinggang. Perangan njero meneh sira ketemu apa?Sira bakal ketemu banyu yo banyu perwita sari. Ing sakjeroning banyu, sira ketemu apa?Sira bakal ketemu rasa ya jatining rasa. Lamun sira menek maneh, sira ketemu apa?Sira bakal ketemu janur sing tegese jatining nur, ya nur Muhammad” Makna dari ajaran ini adalah petunjuk yang diberikan kepada manusia untuk memanjat pohon galinggang. Pohon galinggang dalam pesan ini adalah pohon kelapa. Pohon kelapa menjadi istimewa bagi Sunan kalijaga karena sejak dari bagian paling bawah hinggadaunnya yang sering disebut dengan nama janur, semuanya bermanfaat. Pohon kelapa juga sangat kuat dan kokoh sehingga tidak mudah roboh. Jika manusia memanjat pohon kelapa, maka kita akan mendapatkan buahnya. Maka kita akan bertanggung jawab, tidak sombong, tidak mudah jatuh, kita akan mengikuti tataran yang ada dalam pohon kelapa itu. Kita akan selalu terus ke atas, kita akan memanjat dengan hati-hati sampai ke atas. Lantas apakah yang dimaksud dengan tataran dalam ajaran Sunan kalijaga itu? Tataran dapat dimaknai sebagai aturn-aturn yang berlaku. Kalau kita ingin selamat di dunia, maka kita harus mengikuti aturan-aturan atau tatarantataran yang berlaku. Jika kita ingin selamat di akhirat, maka kitapun harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku di akherat, maka jika kita ingin selamat
26
dunia akherat, maka kita harus mengikuti aturan-aturan dunia akherat yang berlaku. Buah kelapa menggambarkan secara kronologis kehidupan manusia dari mulai manggar diibaratkan janin, bluluk bermakna bayi, cengkir bermakna balita, deghan bermakna remaja dan kerambil bermakna dewasa. Falsafah ini memberikan pencerahan makna hidup manusia yang harus dijalankan secara hatihati, dari mulai janin sampai dewasa. Karena pada setiap tahapan tersebut bisa saja terjadi musibah dari yang kecil sampai meninggal dunia. Untuk ini kehatihatian ini harus dijabarkan dalam mempersiapkan diri pada hidup dan kehidupan di dunia. Yaitu selalu berpegang teguh pada aturan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara agar selamat di dunia. Sejalan dengan itu juga berpegang teguh pada aturan keagamaan berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadist agar selamat di akherat nanti. Jika pegangan tersebut dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen maka manusia tidak perlu gentar menghadapi takdir kematian kapan saja karena sudah siap untuk hidup dunia akherat. Dalam memanjat pohon kelapa, kita harus bekerja keras, berhati-hati dan disiplin menelusuri tataran pohon kelapa untuk mencapai puncak hingga dapat menggapai buah pohon kelapa yang dapat diambil manfaatnya. Hal itu dapat kita petik hikmahnya bahwa dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kita harus memiliki niat yang baik, bekerja keras, mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku-baik peraturan dunia maupun
27
akherat- dan hati-hati untuk mewujudkan kesejahteraan,ketentraman, kedamaian, dan kemakmuran kita, masyarakat dan bangsa. Oleh Karena itu, implementasi filosofi kehidupan Sunan Kalijaga sangat bermakna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menuju tercapainya kesejahteraan, ketentraman, kedamaian, dan kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia. Intisarinya adalah, kita sebagai bangsa harus memiliki niat yang baik, bekerja keras, mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku –baik peraturan dunia maupun akherat- dan hati-hati (tidak ceroboh) dalam menjalankan kehidupan demi tercapainya esensi rahmatan lil „alamin, tujuan berbangsa dan bernegara, di bumi nusantara tercinta dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ajaran Sunan Kalijaga yang lainnya adalah ajaran tentang Cupu Manik Astagina. Ajaran ini menerangkan bahwa setiap orang, terutama seorang pemimpin harus berpegang pada Asta Brata, yaitu Delapan pedoman bagi tindakan manusia. Jika manusia berpegang pada Asta Brata, maka akan terwujudlah masyarakat yang sejahtera. Adapun Asta Brata tersebut digambarkan sebagai : 1. Wanita, artinya seorang perempuan, yang elok dan cantik, siappun yang melihatnya pasti ingin memilikinya. Maka yang dimaksudkan dengan wanita ini adalah suatu keindahan, sebuah cita-cita yang tinggi. Agar cita-cita tersebut dapat tercapai, maka orang perlu berusaha sekuat tenaga, belajar,
28
tirakat dan sebagainya, sebagaimana seorang pemuda yang ingin menggaet dan memiliki gadis cantik. 2. Garwa, artinya jodoh, suami atau isteri yang sehati. Garwa sering diartikan Sigaraning Nyawa, belahan jiwa, jiwa satu dibelah dua, atau dua badan satu nyawa. Jadi garwa mengandung arti bahwa setiap orang harus dapat menyesuaikan diri, bisa bergaul dengan siapapun, semua orang dianggap sebagai kawan,hidup rukun dan damai, mencintai sesame, tidak membedabedakan orang. Semuanya dianggap sebagai garwa, teman sehidup semati. 3. Wisma, artinya rumah. Rumah adalah tempat berlindung yang memiliki ruangan luas berpetak-petak untuk menyimpan aneka macam barang. Semuanya dapat dimasukkan ke dalam rumah. Demikianlah setiap orang hendaknya bersifat seperti rumah, yakni dapat menerima siapapun yang membutuhkan perlindungan, sanggup menyimpan dan mengatur segala sesuatu, pun dapat mengeluarkan pikiran dan bertindak bijaksana dan teratur menurut tempat, waktu, dan keadaannya. 4. Turangga, artinya tunggangan yang kuat dan bagus. Kuda tunggangan bisa berlari cepat, bisa berlari pelan, bisa berjalan sambil menari-nari. Sebaliknya kuda tunggangan juga bisa berlari cepat dengan arah yang tidak menentu, bisa terguling ke dalam jurang, tergantung orang yang memegang tali kekang. Demikian halnya diri : badan jasmaniah, panca indera dan nafsu kita merupakan kuda tunggangan. Sedangkan jiwa adalah pengendaranya. Bila jiwa dapat menguasai diri, maka pergaulan hidup kita akan teratur dengan 29
baik. Sebaliknya bila jiwa tidak dapat menguasai diri, maka hidup kita akan seperti kuda tunggangan yang liar, berlari kesana kemari dan akhirnya tergelincir. 5. Curiga, yang artinya keris, senjata tajam yang dipuja-puja. Maka perlulah setiap orang terutama para pemimpin memiliki persenjataan hidup yang lengkap, kepandaian, keuletan, ketangkasan dan lain-lain. Begitu pula pikiran harus tajam, mampu menebak dengan tepat, agar dapat bertindak tepat pula untuk membahagiakan masyarakat. 6. Kukila, artinya burung perkutut yang dipelihara di Jawa, untuk didengarkan suaranya, yang merdu, enak didengar, menentramkan sanubari. Demikianlah setiap kata yang keluar dari mulut hendaknya enak didengar, lemah lembut, menentramkan orang yang mendengarkannya. Setiap kata yang keluar harus tegas dan bersifat memperbaiki dan membangun, agar siapapun yang mendengar bisa terpikat dan mengindahkannya. 7. Waranggana, artinya tandak atau ronggeng untuk pandangan waktu menari. Pada zaman dewa-dewa hal ini disebut Lenggot bawa. Peraturannya adalah waranggana menari di tengah kerumunan orang, bersama seorang lelaki yang ikut menari. Makna gambaran suasana tersebut adalah dalam usaha meraih cita-cita yang mulia (menggapai waranggana) pasti akan banyak kita jumpai godaan yang mencoba menghalang-halangi pencapaian cita-cita tersebut. 8. Pradangga, yang berarti gamelan atau bunyi-bunyian berirama. Hal ini mengandung maksud bahwa dalam kehidupan manusia suara atau bunyi30
bunyian selalu akan mengiringi. Namun hendaknya suara atau bunyi-bunyian yang merdu yang dapat membantu manusia untuk dapat menikmati hidup dengan indah dan nyaman. Suara dapat juga diartikan sebagai suara hati. Suara hati yang bersih, merdu, dan baiklah yang akan membawa manusia pada keselamatn dunia akherat, dan suara hati yang tidak baik sudah barang tentu akan membawa manusia pada kehancuran dan kekacauan hidup.
C. SEJARAH PERTUNJUKKAN WAYANG KULIT Wayang adalah bagian tak terpisahkan dari budaya bangsa hasil karya para empu dan pujangga serta merupakan khazanah peninggalan kebudayaan bangsa. Wayang mengandung unsur-unsur filosofis, budi pekerti yang perlu disampaikan kepada generasi muda penerus cita-cita bangsa (Bambang Susilo,1993:v). Wayang merupakan salah satu dari sekian banyak budaya tradisional yang hingga saat ini masih banyak digemari oleh masyarakat Indonesia. Wayang juga sangat mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat khususnya masyarakat Jawa hingga saat ini. Jenis wayang yang sangat populer di masyarakat hingga saat ini adalah jenis wayang kulit, sedangkan jenis wayang yang lain kurang begitu populer dan kurang mendapat tempat di hati masyarakat. Mengenai sejarah asal mula pertunjukkan wayang kulit awalnya tertulis dalam Prasasti Kuti tahun 762 Saka (18 Juli 840), seperti ditulis Timbul Haryono (2004:5) dalam bukunya Seni Pertunjukan Pada Masa 31
Jawa Kuno. Prasasti yang ditemukan di Joho, Sidoarjo (Jawa Timur) ini terdiri atas 12 lempengan. Pada lempengan IVa dijumpai keterangan sebagai berikut : Hanapuka. Warahan. Kêcaka. Tarimba. Hatapukan. Haringgit. Abañol salahan. Istilah Hanapuka, Hatapukan menunjuk pada topeng dan Haringgit pada wayang. Pertunjukan wayang juga sudah ada sejak abad IX dibuktikan oleh adanya istilah “haringgit” dalam prasasti Kuti 840 M. Padanan kata haringgit adalah “awayang” dijumpai dalam prasasti Tajigunung 910 M. Sampai sekarang kata ringgit dan wayang masih digunakan. Pertunjukan wayang tentu saja masih menggunakan media (wayang), namun sumber tertulis ketika itu tidak memberikan keterangan. Barangkali media dalam pertunjukan wayang pada waktu itu semacam boneka-boneka kecil. Keterangan menarik diberikan oleh prasasti Wukajana bahwa pertunjukan wayang pada waktu itu adalah “mawayang buat hyang” yang artinya pertunjukan wayang untuk Hyang adalah sosok yang dihormati yaitu dewa atau nenek moyang. Hal ini berarti bahwa pertunjukan wayang bukan semata-mata hiburan tetapi lebih bersifat seremonial keagamaan. Cerita Bhima dan cerita Ramayana sudah cukup populer pada abad X sebagaimana dijelaskan dalam prasasti “macarita bhima kumara”
dan
“macarita ramayana” (Haryono,2004:25).
32
Bukti
lainnya
keberadaan
pertunjukan
wayang
kulit
adalah
ditemukannya Kakawin Arjunawiwaha abad ke 11 Masehi bait 59 sebagai berikut : “ Hanãnonton ringgit manangis asêkêl muda hidêpan huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap hatur ning wang trêsnèng wisaya malah tan wihikana tatwan jan maya sahan-kahaning bahwa siluman” (Hazeu,1979:41).
Yang artinya : “Ada orang melihat wayang menangis, kagum serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara, yang melihat wayang itu umpamanya orang yang bernafsu dalam keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan hati. Ia tidak mengerti bahwa semua itu hanyalah bayangan seperti sulapan, sesungguhnya hanya semu saja”.(Soetarno,dkk,2007:1).
Istilah wayang juga terdapat dalam Kitab Baratayuda karya Empu Sedah tahun 1157 Masehi pada bait ke 664 sebagai berikut : “ Têkan rit lwah ikang taluktak atarik saksat salundhing wayang/pring bungbang muni kanginan manguluwang, yêkan tudung-yangi ring/gêndhing stri nyapa bandungi prasamaning kungkang karèng wing jurang/cênggèrèt nya walangkrik atri kamanak tan patarangangsyani” (Hazeu,1979:43).
33
Yang artinya : “Apabila sungai katak-katak mendekung seperti bunyi saron untuk mengiringi wayang, bambu yang berlubang terkena tiupan angin suaranya seperti seruling (tudhung) yang mengiringi pertunjukkan, suara (konser) katak yang terdengar di sela-sela gunung dipersamkan dengan nyanyian wanita, suara belalang yang terus menerus, seolah-olah merupakan suaranya kemanak” (Soetarno,dkk.,2007:2).
Arti harafiah dari wayang sendiri adalah bayangan, tetapi dalam perjalanan waktu pengertian wayang itu berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukan panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan panggung dimana sutradara ikut bermain. Jadi berbeda dari sandiwara atau film dimana sutradara tidak ikut muncul sebagai pemain. Adapun sutradara dalam pertunjukan wayang itu dikenal sebagai dalang, yang perannya dapat mendominasi pertunjukan seperti dalam wayang Purwa di Jawa, wayang Parwa atau wayang Ramayana di Bali dan wayang Banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dalam wayang orang peranan dalang tidak begitu menonjol (Guritno,1988:11). Hal ini dikarenakan dalam pergelaran wayang orang lebih didominasi oleh gerakan gemulai para penari yang berperan dalam pergelaran itu. Pengertian wayang dalam arti yang luas secara harafiah berarti sebuah bayangan, sedangkan kalau dilihat dari wujudnya adalah sebuah boneka bertangkai terbuat dari kulit yang dipahat pipih diberi warna atau dilukis sesuai 34
dengan karakter dari tokoh-tokoh yang digambarkan. Bentuknya sendiri yang distilisasi dari boneka jawa tidak berlebihan seperti sebuah bayangan, bentuk manusia Jawa yang alami. Orang dapat mengatakan bahwa bayangan dari pertunjukkan wayang kulit tersebut cukup tajam, jelas dan seolah-olah apabila digerakkan dapat bergetar serta memunculkan sebuah bayangan yang hidup (Soetrisno,2004:88). Kata-kata wayang juga terdapat dalam Tantu Panggêlaran yang terbuat dari kulit dan dipahat. Kitab Tantu Panggêlaran ini ditulis pada pertengahan abad ke-12 Masehi. Adapun bunyi tulisannya adalah sebagai berikut: “Rêp saksama bhatara Içwara-Brahma-Wisnu umawaro panadah bhatara Kaludra (Kala-Rudra), tumurun maring madhya pada awayan sira, umucapakên tatwa bhatara mwang bhatariri bhuwana; mapanggung makêlir sira;walulang hinukir maka wayang-nira, kinudungan panjang langon-langon. Bhatara Içwara sira hudipan, rinaksa sira dè Hyang Brahma-Wisnu; midêr sira ri bhuwana, masanggina hawayang, tinèhèr habandagina hawayang. Mangkana mula kacaritanya nguni. Muwah pangawara bhatara içwara-Brahma-Wisnu ri Bhatara Kala. Mindêra ring Bhuwana. Bhabalé, lumawu-lawu hawaknira. Sang Hyang Içwara dadi éwari, Sang Hyang Brahma dadi pédé rat, Sang Wisnu dadi têkês, midêr mangidung hamênamên;tinêhêr bandagina mèn-mèn ngaranya. Mangkana mulaning hanakandagina mên-mên” (Hazeu, 1979:145)
Makna tulisan di atas kurang lebih menceritakan turunnya para dewa ke alam Arcapada yaitu Bathara Ciwah, Bathara Brahma dan
Bathara Wisnu
mempergelarkan wayang dengan perlengkapannya seperti panggung (gawang), kêlir (layar), kemudian wayang terbuat dari bahan kulit yang dipahat.
35
Perlengkapan itu oleh para dewa di bawa kemana-mana mengelilingi dunia, serta di berbagai tempat para dewa tersebut mempertunjukan pagelaran wayang (Soetarno,dkk.,2007:3). Pergelaran wayang purwa dalam pemahaman intersubjektif masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya dipahami sebagai tontonan sekaligus tuntunan karena di dalamnya terkandung ajaran-ajaran moral yang luhur (Sujamto,1992:18-19). Pesan-pesan moral dalam pertunjukan wayang menjadikan wayang bukan lagi sekedar tontonan bayang-bayang atau „shadow play‟ melainkan sebagai „wewayangané ngaurip‟ yaitu bayangan hidup manusia. Dalam suatu pertunjukan wayang dapat dinalar dan dirasakan bagaimana kehidupan manusia itu, dari lahir hingga mati. Perjalanan hidup manusia untuk berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan yang salah. Dari pertunjukan wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal saleh guna mendapatkan keridhoan Illahi. Wayang juga secara nyata menggambarkan konsepsi hidup „sangkan paraning dumadi‟, manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya. Uraian berikut dimaksudkan untuk mengungkapkan serta menganalisis ajaran-ajaran atau norma moral yang terkandung dalam wayang serta mengkritisi mengapa suatu ajaran atau norma moral dipandang sebagai suatu tuntunan yang baik. Umar Kayam (2001:83) mengatakan bahwa pertunjukan wayang awalnya dipergunakan untuk pemujaan terhadap arwah leluhur. Penyembahan leluhur itu
36
diduga tampil dalam bentuk penceritaan tentang kebesaran dan kehebatan leluhur oleh seorang dalang kepada para anggota keluarga yang duduk di depannya. Dalam perkembangan
selanjutnya diduga
bentuk
itu berubah dengan
menambahkan gambar-gambar untuk membuat suatu pertunjukan wayang kulit dengan memakai epos Ramayana dan Mahabharata sebagai sumber lakonnya. G.A.J.Hazeu berpendapat bahwa orang Jawa pada zaman dahulu mempunyai kepercayaan menyembah roh leluhur yang telah meninggal. Menurut kepercayaan mereka roh-roh nenek moyang itu dapat menampakkan diri di dunia sebagai bayangan. Oleh karena itu, untuk menghormati arwah nenek moyangnya, orang Jawa membuat gambar yang menyerupai bayangan nenek moyangnya. Gambar-gambatr itu dijatuhkan pada kelir dan dalang dilakukan oleh seorang pendeta, karena hanya pendetalah yang dapat menghadirkan roh-roh leluhur. Jadi menurut Hazeu pertunjukan wayang berasal dari upacara penyembahan roh nenek moyang (Hazeu, 1979:45). Prasasti Wukajana yang tidak berangka tahun, akan tetapi berdasarkan bentuk huruf diperkirakan berasal dari masa Balitung menguraikan “Kicaka si jaluk macarita ramayana mamirus mabañol si mungmuk si galigi mawayang buat hyang macarita ya kumara …”
37
yang berarti “Kicaka,si Jaluk bercerita Ramayana, menari topeng (mamirus) dan melawak dilakukan oleh si Mungmuk, si Galigi memainkan wayang untuk hyang bercerita (bhima?) kumara” (Haryono,2004:13).
Uraian tersebut menyebutkan bahwa pertunjukan wayang pada awalnya dipentaskan untuk arwah nenek moyang. Penggunaan kêlir (layar) dalam pertunjukan wayang disebutkan dalam kitab Wrêta Sancaya yang ditulis pada pertengahan abad ke-12 Masehi bait 93 sebagai berikut: “Lwir mawayang tahèn gati nikang wukir kinèliran himarang anipis/bungbung ikang pêtung kapawanan, jatèka tudungan ja munya ngarangin/paksi kêtur sêlundingan ika kinang syani pamungsal ing kidang alon/madrakala sabda ing mrak alango sawang pangidungnya mangrai hati” (Hazeu,1979:42).
Yang artinya : “Ketika itu gunung-gunung memberikan kesan seolah-olah pohonpohonan seperti lukisan pertunjukan wayang dan kabut halus seperti layar. Bambu-bambu yang berlobang kena angin bertiup, semuanya seperti bunyi kidungan, berkicaunya burung puyuh seperti saron yang berselang-seling bunyi menguak Kijang yang terdengar sayup-sayup, berkicaunya burung merak yang bercinta seperti nyanyian Madraka” (Soetarno,dkk.,2007:2).
38
Rassers berpendapat bahwa pertunjukan wayang kulit berasal dari totemisme yang ada di Jawa pada zaman dahulu. Totemisme merupakan kebudayaan pra sejarah, yaitu suatu kepercayaan segolongan manusia pada benda-benda keramat. Pada zaman totemisme itu manusia hidup masih terpecah belah, bergerombol menjadi beberapa golongan kecil. Pada waktu menjalankan upacara totemis para wanita dan anak-anak tidak boleh ikut dan hanya menunggu di belakang rumah. Kaum laki-laki yang menjalankan upacara berada di depan rumah. Dari upacara totemisme itu kemudian menjadi pertunjukan wayang. Layar (kelir) pada mulanya merupakan dinding sekat antara rumah depan dan rumah belakang (Rassers,1959:197). Fungsi wayang kulit secara tradisional tidak hanya untuk tontonan dan hiburan, tetapi juga untuk upacara ruwatan guna menangkal marabahaya baik bagi manusia maupun lingkungannya. Penampilan di layar bayangan para dewa dan ksatria yang memerangi musuh-musuh mereka dahulu serupa dengan sebuah doa bagi roh-roh leluhur serta dewa-dewa yang perkasa untuk meningkatkan kemakmuran. Di antara cerita-cerita yang khusus dari siklus wayang purwa yang dianggap sangat tepat untuk penyucian ritual guna mencegah kejahatan yaitu upacara yang disebut ruwatan di Jawa. Lakon Murwakala dianggap sebagai berbahaya secara magis karena diyakini dapat menolak bala Batara Kala dengan bentuk wajah raksasa yang menyeramkan dan Betari Durga bentuk destruktif dari istrinya Uma, tampil dalam cerita ini. Lakon-lakon tentang dewi padi yaitu Dewi
39
Sri, dipertunjukkan untuk memberkahi panen padi dan menghindari kehancuran dari serangan hama yang akan berakibat gagal panen dan menimbulkan kelaparan. Cerita Prabu Watu Gunung, adalah cerita seorang raja yang tidak sengaja melakukan pelanggaran perkawinan atau incest. Istri yang juga ibunya berusaha menghancurkannya dengan mengirimnya ke tempat tinggal para dewa, tempat ia akan tewas, dipertunjukkan di jawa Timur sebagai salah satu upacara ritual untuk mendapatkan hujan. Kadang-kadang cerita tentang Brayut yang begitu populer di Bali, yaitu tentang sepasang orang tua dengan sekelompok anak, dipertunjukkan dalam wayang kulit untuk perayaan-perayaan perkawinan. Pada saat yang sama pertunjukan-pertunjukan wayang adalah juga hiburan yang mempunyai nilai-nilai tinggi atau adiluhung. Bila pertunjukkan itu disiarkan di Jawa lewat radio, masyarakat umum sudah puas apabila dapat menikmati suara dalang dan karawitan atau gamelan wayang saja. Akan tetapi, ada pula sebagian pecinta karawitan selalu berkumpul, demikian pula kerumunan kecil para pecinta wayang selalu berkumpul di sebuah studio siaran di Jakarta atau Yogyakarta untuk menyaksikan pertunjukkan wayang yang sesungguhnya. Sifat sakral dari pergelaran wayang dan kemujaraban magisnya masih dirasakan kuat bukan saja oleh dalang yang kadang-kadang dapat berfungsi pula sebagai dukun, tetapi juga oleh masyarakat pecinta dan penikmat pertunjukkan wayang kulit purwa (Sutrisno,2004:93-94).
40
Perkembangan bentuk pertunjukan wayang menurut tradisi lisan dikemukakan dari berbagai sumber seperti Serat Cênthini dan Serat Sastramiruda yang kemudian dikutib oleh Hazeu dalam bukunya yang berjudul Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gêgêpokanipun Kaliyan Agama Ing Zaman Kina. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa pada waktu zaman Islam (Raden Patah menjadi Sultan di Demak) wayang dipergunakan untuk alat dakwah disamping juga untuk hiburan; pada saat itu telah dimulai pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Adapun wayangnya dibuat tidak menyerupai manusia agar tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan tangannya belum dilepas dari badan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1440 Saka atau 1518 Masehi yang ditandai dengan Candrasêngkala “Sirna Suci Caturing Dewa”. Beberpa tahun kemudian, pada tahun 1443 Saka atau 1521 Masehi dengan sengkalan Gêni Dadi Sucining Jagad, para wali berusaha menyempurnakan wayang dan pertunjukan wayang. Sunan Giri menambah tokoh-tokoh kera, Sunan Bonang menciptakan gajah, kuda, dan rampogan, dan Sunan Kalijaga menambahkan perlengkapan pertunjukan, yakni layar, batang pisang, dan lampu bléncong. Kemudian Sultan Demak menambahkan gunungan atau kayon yang biasa ditancapkan di tengahtengah layar. Dengan demikian nampaknya pada waktu itu pertunjukkan wayang kulit sudah menyerupai apa yang ada sekarang ini (Hazeu,1979:37-38). Para wali dan pujangga Jawa mengadakan pembaharuan yang berlangsung terus menerus sesuai perkembangan zaman dan kepentingan pada
41
waktu itu, utamanya wayang yang digunakan sebagai sarana dakwah Islam. Sesuai nilai Islam yang dianut, isi dan fungsi wayang bergeser dari ritual agama Hindu menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan, dan komunikasi massa. Ternyata wayang yang telah diperbaharui kontekstual dengan perkembangan agama Islam dan masyarakat. Wayang purwa menjadi sangat efektif untuk komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta pesan-pesan kepada masyarakat. Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulaupulau Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan, Sumatera dan lain-lainnya baik yang masih populer maupun yang hampir atau sudah punah dan hanya dikenal dalam kepustakaan atau di museum-museum. Menjelang akhir abad yang lalu, seorang Belanda yang menjadi Direktur Museum Etnografi di Leiden, yaitu L.Serrurier mengadakan penelitian angket tentang jenis-jenis wayang yang ada di pulau Jawa dan hasil penelitian itu diterbitkan berupa buku yang berjudul “De Wajang Poerwa”. Dalam buku itu disebut jenis-jenis wayang yang pada masa itu dikenal di pulau Jawa, yaitu wayang Bèbèr, wayang Gêdog, wayang Golèk, wayang Jêmblung, wayang Kalithik (klithik), wayang Karucil (krucil), wayang Langêndria, wayang Lilingong, wayang Lumping, wayang Madya, wayang Pégon, wayang Purwa, wayang Puwara, wayang Sasak, wayang Topèng, dan wayang Wong atau wayang Orang. Pada deretan nama-nama jenis wayang tersebut diatas masih dapat ditambahkan beberapa jenis wayang lain yang
42
dikenal seperti wayang Gambuh, wayang Parwa, wayang Ramayana di Bali, wayang Sasak di Lombok, wayang Banjar di Kalimantan, wayang Palembang di Sumatera, dan yang dikenal dalam abad ini seperti wayang Jemblung Banyumas, wayang Kancil, wayang Pancasila atau wayang Suluh, wayang Wahyu, dan lainlain (Guritno,1988:11-12). Pertunjukan wayang paling banyak dan lengkap tersebar di pulau Jawa. Di Jawa Tengah khususnya di Surakarta, selain wayang kulit purwa,di masa lampau pernah hidup dan berkembang wayang madya, wayang gedog, wayang krucil, wayang klitik, wayang dupara, wayang makripat, wayang kuluk, wayang suluh, wayang kancil, wayang beber, wayang ibel, wayang wahyu, wayang warta, dan wayang sadat. Sebagian besar wayang-wayang itu tinggal dikenal namanya saja, wujud pertunjukannya sudah tidak kenal lagi dan/atau jarang dipentaskan. Dari sekian banyak ragam wayang yang ada tersebut, hanya wayang kulit purwa yang paling populer, dengan beberapa alasan yaitu (1) Wiracarita Mahabharata dan Ramayana lebih populer di masyarakat Indonesia; (2)Tokohtokoh wayang kulit purwa jumlahnya lebih banyak dan karakternya lebih beragam; (3) Alur dan garapan isi cerita wayang kulit purwa selalu dapat mengakomodasi secara aktual berbagai kecenderungan yang berkembang di masyarakat; dan (4) wayang kulit purwa selalu dijadikan frame of reference oleh masyarakat dari masa ke masa (Murtiyoso,dkk.,1988:1-2).
43
Perkembangan
pertunjukan
wayang
dewasa
ini
menunjukkan
peningkatan kuantitas kegiatan pewayangan yang luar biasa. Kondisi ini dapat dikatakan zaman kebangkitan wayang. Hal seperti ini dapat dilihat dari banyaknya berbagai kegiatan yang berhubungan dengan wayang purwa, tumbuhnya dalang-dalang baru, berkembangnya fungsi wayang seiring dengan perkembangan budaya dan teknologi. Kreasi dan inovasi berbagai jenis wayang baru yang terinspirasi dari wayang purwa, banyak bermunculan memperkaya khasanah seni pewayangan Indonesia Pertunjukan wayang kulit purwa dewasa ini telah mengalami perkembangan baik dari bentuk maupun fungsinya. Perkembangan ini dipengaruhi oleh warisan tradisional maupun hasil interaksi dengan pengaruh dari luar, yang akhirnya terjadi adaptasi terhadap lingkungan dan struktur sosial. Dalam masyarakat pendukungnya, wayang sering dijadikan cerminan sikap dan tingkah laku, pada pokoknya begitu kuat mempengaruhi alam pikiran masyarakat, sehingga merupakan sistem nilai budaya, yang didukung secara berurutan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Masyarakat Jawa berpendapat bahwa pertunjukan wayang yang disebut dengan istilah pakêliran, tidak hanya hidup sebagai seni pertunjukan semata, tetapi secara luwes dapat digunakan untuk mewadahi dan menjembatani berbagai kepentingan masyarakat, di antaranya untuk peringatan peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan atau perjalanan hidup manusia sejak dalam
44
kandungan hingga meninggal dunia; untuk sarana pemujaan (upacara agama atau kepercayaan); untuk peringatan hari-hari besar keagamaan atau kenegaraan; untuk kepentingan sosial; untuk sarana penyampaian ide-ide dan pesan pemerintah atau kelompok masyarakat; serta untuk tontonan dan tuntunan. Oleh karena keluwesannya itulah, maka kehidupan pertunjukan wayang kulit di Jawa selalu mendapat tempat di hati masyarakat.
D. PENERAPAN AJARAN SUNAN KALIJAGA DALAM SENI WAYANG KULIT. Sunan Kalijaga merupakan sosok ulama yang juga menjadi seorang pujangga.ia telah banyak mengarang berbagai macam cerita yang mengandung filsafat serta berjiwa agama, seni lukis yang bernafaskan Islam, maupun seni suara yang berjiwakan Tauhid. Paham keagamaan Sunan Kalijaga cenderung “Sufistik berbasis Salaf” dan bukan “Sufi Panteistik” (Pemujaan Semata). Sunan Kalijaga juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana dakwah. Ia sangat toleran pada budaya local. Sunan Kalijaga berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya, maka mereka harus didekati secara bertahap : mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan
45
sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengajarkan Islam. Sunan kalijaga menggunakan seni ukir wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Sunan Kalijaga juga menciptakan baju takwa, perayaan Sekaten, Grebeg Maulud, Layang Kalimasada, dan lakon Petruk Dadi Ratu. Lanskap pusat kota yang berupa keraton, alun-alun dengan dua beringin, serta masjid diyakini sebagai karya Sunan kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat efektif dan banyak dipercaya oleh sebagian besar kaum muslim di tanah jawa. Dalam berdakwah Sunan Kalijaga juga mempertahankan model kesenian Hindu-Buddha sebagai suatu kesatuan kebudayaan, yang tentu saja hal ini tidak bisa begitu saja segera bisa diterima oleh para sunan yang sangat teguh dalam syariat agama. Dalam kompromi dengan para wali itulah, Sunan kalijaga dengan kearifnya mengubah boneka wayang kulit yang semula tiga dimensi menjadi pipih dua dimensi (Supaya tidak menyerupai patung yang di Saudi Arabia pada masa itu identik dengan berhala)., serta memanfaatkan segala sarana pertunjukkannya seperti layar putih kosong, blencong, baying-bayang, posisi penonton di depan atau di belakang layar, dan menggunakan wayang kulit itu sendiri untuk berfilsafat dan berdakwah menyampaikan ajaran agama Islam dengan cara yang dipahami dan disukai oleh masyarakat Jawa. Sunan
Kalijaga
mengajarkan
ketauhidan
dengan
memberikan
pertanyaan, “Kalau wayang digerakkan oleh dalang, lalu siapakah yang 46
menggerakkan dalang?”. Dengan pertanyaan seperti itulah Sunan Kalijaga berusaha mengenalkan keberadaan Tuhan dalam kehidupan manusia. Kisah di atas menunjukkan bahwa meskipun Sunan Kalijaga adalah seorang yang sangat toleran terhadap kebudayaan asli masyarakat, namun beliau tetap memiliki sikap yang tegas untuk masalah akidah.Selama budaya masih bersifat transitifdan tidak bertentangan dengan budaya Islam, maka Sunan kalijaga akan sangat menerimanya Model wayang kulit purwa yang berbentuk boneka yang menggambarkan manusia secara detail, dirubahnya menjadi wayang kulit yang berbentuk pipih dengan tangan terjuntai ke bawah yang tidak mirip dengan gambaran manusia. Hal ini dilakukan karena menurut pandangan Sunan Kalijaga menggambarkan sesuatu yang sangat mirip dengan manusia sanagt bertentangan dengan ajaran agama Islam dan dianggap haram hukumnya. Lakon-lakon dalam pertunjukkan wayang kulit purwa yang biasanya dibawakan oleh Sunan Kalijagapun juga bukan lakon-lakon Hindu seperti Mahabarata maupun Ramayana, melainkan lakon-lakon yang dia ciptakan sendiri. Meskipun tokoh-tokoh dalam lakok pewayangan masih tetap sama, namun Sunan kalijaga berusaha menyisipkan lakok-lakok atau cerita dan tokohtokoh baru dalam pewayangan. Lakon-lakon yang dibawakannyapun merupakan lakon-lakon ciptaannya sendiri, seperti lakon Layang Kalimasada, Lakon Dewaruci atau lakon Petruk Dadi Ratu yang memiliki ruh Islam yang sangat kuat. Lakon Dewaruci ditafsirkan oleh Sunan Kalijaga sebagai kisahnya Nabi Khidir, sedangkan lakon 47
Layang Kalimasada tak lainmerupakan perlambang dari Kalimat Syahadat. Karakter tokoh yang dibawakannyapun ditambahkan dengan tokoh-tokoh yang memiliki karakter keIslaman yang kuat seperti Punakawan yang terdiri dari : 1. Karakter “Semar” yang diambil dai bahasa Arab “Shimar” yang artinya paku. Dalam hal ini seorang muslim diharapkan memiliki pendirian dan iman yang kuat bagai paku yang tertancap. 2. Karakter “Gareng” diambil dari bahasa Arab “Qariin” yang artinya teman. Maksud dari tokoh ini adalah seorang muslim selalu berusaha mencari teman sebanyak-banyaknya untuk diajak menuju kea rah kebaikan atau “Nalaa Qariin”. 3. Karakter “Petruk”, diambil dari bahasa Arab “Fat-ruuk” yang artinya “tinggalkan”. Maksudnya adalah seorang muslim meninggalkan segala penyembahan kepada selain Allah atau Fat-ruuk kuluu man siwallahi”. 4. Karakter “Bagong”, diambil dari bahasa Arab “Baghaa”,
yang artinya
“berontak”. Maksudnya seorang muslim harus selalu berontak saat melihat kezaliman. Selain mengenalkan ke empat tokoh baru dalam dunia pewayangan, Sunan kalijaga juga menerangkan istilah “Dalang” berasal dari bahasa Arab “Dalla” yang artinya “menunjukkan”. Dalam hal ini seorang Dalang harus menunjukkan kepada para penonton wayang hal-hal yang benar. Man Dalla‟alal Khari Kafa‟ilihi (Barngsiapa menunjukkan jalan kebenaran atau kebajikan kepada orang lain, pahalanya sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri). 48
Sunan Kalijaga juga bertindak sebagai Dalang dalam mengenalkan seni wayang kulit purwa yang sudah dikolaborasikan dengan ajaran Islam. Dalam setiap aksinya mendalang Sunan Kalijaga menggunakan nama Ki Dalang Sida Brangti. Semua orang yang menyaksikan pertunjukkan wayang kulitnya tidak pernah dimintai bayaran, hanya saja para penonton diminta untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebelum pertunjukkan dimulai. Beliau berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap. Pertama berIslam dahulu dengan syahadat selanjutnya berkembang dalam segi-segi ibadah dan pengetahuan Islamnya. Sunan kalijaga berpendapat bahwa bila Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama yang buruk akan hilang. Ajaran Sunan Kalijaga yang disampaikan melalui pertunjukkan seni dan keluar masuk kampong untuk memberikan hiburan gratis kepada rakyat memiliki nilai filosofi yang biasa dilakukan Khalifah Umar Ibn Khattab yang juga suka keluar masuk kampong untuk memantau umat danmemberikan hiburan gratis. Persamaan ini membuktikan bahwa Sunan Kalijaga adalah pemimpin umat yang memiliki karekter, cirri, dan sifat kepemimpinan yang biasa dimiliki oleh para pemimpin Islam sejati.
49
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN Penelitian yang dilakukan dengan mengkaji beberapa hal pada akhirnya membawa kita pada suatu kesimpulan yang menggambarkan tentang kisah hidup dan perjalanan spiritual Sunan Kalijaga yang pada awal mulanya memiliki kehidupan yang keras, namun pada akhirnya berhasil membawa diri pada suatu perjalanan spiritual yang luar biasa, sehingga keberadaan Sunan Kalijaga pada akhirnya membawa pengaruh besar bagi kehidupan umat manusia di Jawa khususnya yang beragama Islam. Sebagai manusia yang hidup di era perpindahan zaman Hindu Buddha menuju ke zaman Islam, Sunan Kalijaga menggunakan seni dan kebudayaan masyarakat yang sudah berkembang lama pada masa itu untuk memperkenalkan agama dan budaya Islam. Sunan kalijaga tidak pernah berusaha menghilangkan tradisi masyarakat yang diwarnai dengan sinkretisme Hindu, namun berusaha mengkolaborasikannya sehingga tanpa disadari masyarakat ikut memahami ajarannya tanpa harus mengalami pemaksaan. Sunan Kalijaga selalu mensosialisasikan ajaran-ajarnnya melalui seni, salah satunya adalah melalui seni pewayangan. Pada masa itu seni wayang kulit merupakan suatu bentuk kesenian yang paling banyak diminati oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Dengan kondisi seperti itulah maka Sunan Kalijaga juga 50
menempatkan diri sebagai seorang Dalang yang mengadakan pertunjukan wayang
kulit
secara
gratis.
Dalam
setiap
aksinya
Sunan
Kalijaga
mengkolaborasikan seni wayang kulit Hindu yang biasanya banyak menampilkan cerita Ramayana dan Baratayuda dengan ajaran keIslaman. Sunan Kalijaga menambahkan tokoh-tokoh baru dalam cerita pewayangan sebagai symbol masuknya ajaran Islam. Tokoh ciptaan Sunan Kalijaga yang hingga saat ini sangat terkenal dalam dunia pewayangan adalah tokoh Punokawan. Selain itu Sunan Kalijaga juga menciptakan lakon-lakon baru untuk ditampilkan dan yang lebih penting lagi Sunan Kalijaga menciptakan Suluk dalam pewayangan bukan lagi sekedar pemujaan semata, namun suluk juga berarti suatu doa dan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
B. SARAN Penelitian ini disadari masih banyak memiliki kekurangan dan masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu peneliti menyarankan agar lebih banyak lagi muncul kajian- kajian terhadap pandangan Sunan Kalijaga terutama jika dihubungkan dengan seni dan tradisi masyarakat di Indonesia dan perkembangan agama Islam saat ini. Ajaran Sunan Kalijaga yang berhasil dianalisa oleh peneliti lebih menekankan pada proses peleburan nilai-nilai keIslaman terhadap budaya masyarakat sekitar yang dalam hal ini adalah budaya masyarakat Jawa. Hasil peleburan ajaran Islam dan budaya yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga sudah 51
barang tentu akan menimbulkan pro kontra di kalangan para pemkir Islam radikal. Oleh karena itu penelitian ini menyarankan adanya penelitian lebih lanjut tentang penggunaan budaya dan tradisi lokal sebagai sarana penyebarluasan agama Islam yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga, sehinggapro kontra yang terjadi terhadap pandangan Sunan Kalijaga yang cenderung dianggap sinkretis dapat terjawab.
52
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Chodjim, 2003, Mistik dan Makrifat Sunan kalijaga, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta Agus Wahyudi,2008, Rahasia Kesempurnaan Makrifat Para Wali, Lingkaran, Yogyakarta Ardani,Moh, 1996, “Warisan Intelektual Jawa” (Prasaran yang disampaikan dalam Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa, 31 Nopember 2000), mengutip Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Islam ke Mistik Jawa ,Bentang Budaya, Yogyakarta Bambang ,Susilo,1993, Senang Wayang Cinta Budaya, Media Wiyata, Jakarta Guritno,Pandam, 1988, Wayang Kebudayaan Indonesia dan Pancasila, UI Press, Jakarta Harjowiroso, Marbangun, 1984,Manusia Jawa, Idayu Press, Jakarta HazeuG.A.J, 1979, Kawruh Asalipun Ringgit sarta Gegepokanipun kaliyan Agami Ing Jaman Kina, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penelitian Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. Hazim Amir, 1997, Nilai-nilai Etis dalam Wayang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta Maria,A,sardjono,1992, Paham Jawa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Mark,R,Woodward,1999, Islam Jawa, LKIS, Yogyakarta Ridwan,2005, “Dialektika Islam Dengan Budaya Jawa,” Jurnal Studi Islam dan Budaya Ibda‟, Januari-Juni, Volume III ,INIS, TT, Jakarta Simuh,2000,Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa, diluncurkan pada acara Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa, 31 Nopember 2000 53
Soetarno, 2007, Sejarah Pedalangan, ISI Surakarta dan CV. Cendrawasih, Surakarta Sujamto, 1990, Sabda Pandhita Ratu, Dahara Prize, Jakarta Soetrisno,R, 2004, Dimensi Etis Tembang Jawa, Disertasi , Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta Rassers,W.H, 1959, Pandji The Culture Hero : “A Structural Study of Religion In Java, The Haque : Martinus Nijhoff Timbul Haryono, 2004, Seni Pertyunjukan Pada masa Jawa Kuno, Pustaka Raja, Yogyakarta. Umar Kayam, 2001, Kelir Tanpa Batas, Gama Media, Yogyakarta http://www.ruangmuslim.com/pendidikan/3958-wayang-jejak-dawahwalisongo.html http://www.alqoimkaltim.com/in/more-about-joomla/29-sejarah-islamnusantara/19-masuknya-islam-di-jawa.html
54