LAPORAN PENELITIAN DIBIAYA DENGAN DANA MASYARAKAT FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA TAHUN 2011
Judul Penelitian:
INVENTARISASI TOKOH DAN PEMIKIRAN TENTANG PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN
Oleh: Sartini
FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena dengan karunia dan petunjukNya penulis dapat menyelesaikan karya penelitian ini dengan tepat waktu. Tentu saja karya ini terselesaikan atas bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis hendak menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Filsafat selaku pimpinan Fakultas Filsafat dan jajarannya yang sudah melaksanakan program penelitian ini dengan baik. 2. Teman-teman dosen atas masukannya dalam diskusi kecil. 3. Para mahasiswa peserta kuliah Filsatat Kebudayaan seluruh semester yang saya ampu yang telah memberi inspirasi perlunya menulis bahasan ini dan tema-tema sejenis yang nantinya dapat didokumentasikan secara lebih lengkap dalam bentuk buku. 4. Teman-teman karyawan Perpustakaan dan IT Fakultas Filsafat yang sudah membantu kelancaran kerja penelitian ini. 5. Suami dan anak-anak yang sangat dengan senang hati mendukung terselesainya tugas penelitian, tugas-tugas kelembagaan lain serta kemajuan penulis. 6. Teman-teman sejawat, mahasiswa,
dan semua pihak yang mendukung kerja
penelitian. Demikian disampaikan ucapan ini. Oleh karena karya ini masih jauh dari sempurna, demi kemajuan yang lebih bagi penulis, sumbang saran dapat disampaikan langsung kepada penulis lewat e-mail:
[email protected]. Yogyakarta, Januari 2011 Penulis Sartini
2
DAFTAR ISI
Halaman sampul Kata Pengantar
iii
Daftar Isi
iv
Intisari
vi
Abstract
vii
BAB I PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang Penelitian
1
1. Permasalahan
1
2. Keaslian penelitian
3
3. Manfaat penelitian
3
B. Tujuan Penelitian
4
C. Tinjauan Pustaka
4
D. Kerangka Teori
7
BAB II METODE/CARA PENELITIAN
9
A. Materi/bahan penelitian
9
B. Alat
9
C. Cara pelaksanaan
9
D. Analisis hasil
10
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
11
A. Ibnu Khaldun (1332-1406)
11
1. Profil dan karyanya
11
2. Pandangannya: fiksafat sejarah dan Teori Siklus
13
3. Arti perkembangan
18
B. Auguste Comte (1798-1858)
19
1. Profil dan Karyanya
19
2. Tahap Pemikiran (Kebudayaan) Manusia
19
3. Setelah Pentahapan
22
C. Oswald Spengler (1880-1936)
20 3
1, Profil dan karyanya
20
2. Tahap perkembangan (lahir, tumbuh dan mati)
26
3. Arti perkembangan
28
D. Arnold J. Toynbee (1889-1975)
29
1. Profil dan karyanya
29
2. Tahap perkembangan (lahir, tumbuh, mati, lahir)
30
3. Arti perkembangan
33
E. Pitirim A, Sorokin (1889-1968)
33
1. Profil dan karyanya
33
2. Teori Siklus Perubahan Sosial
36
3.
40
Arti perkembangan: ideasional-idealistik-keinderawian
F. Julian H. Steward (1902-1972)
41
1, Profil dan karyanya
41
2. Pemikirannya: evolusi kebudayaan
41
3. Arti perkembangan: kemajuan (progress)
43
G. Cornelis A. van Peursen (1920-199..)
43
1. Profil dan karyanya
44
2. Tiga tahap perkembangan dan strategi kebudayaan
44
3.
44
Setelah Pentahapan
BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
49
DAFTAR PUSTAKA
51
4
INTISARI Tujuan penelitian ini adalah untuk menginventarisasi tokoh-tokoh pemikir/filsuf yang membahas perkembangan kebudayaan. mendeskripsikan, dan menunjukkan kekhasan pemikirannya. Kebudayaan dalam penelitian ini meliputi unsur-unsur kebudayaan yang luas yang berkaitan dengan artefak, perilaku dan pemikiran atau gagasan manusia. Mencakup di dalamnya implementasinya dalam kehidupan negara baik dalam arti kehidupan sosial, lembaga negara maupun kehidupan budaya dalam perjalanan sejarah yang panjang. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan melakukan pembacaan sumber-sumber informasi berupa hasil penelitian, buku teks, tulisan dalam blog, dan tulisan lain yang dimanfaatkan secara saling melengkapi. Analisis dilakukan dengan melakukan interpretasi, analisis, sistematisasi dan deskripsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat cukup banyak tokoh yang membahas mengenai perkembangan kebudayaan dalam arti luas dengan kekhasan pemikirannya. Hal ini didasarkan pada fokus kajian, latar belakang bidang ilmu, kehidupan pribadi dan juga aspek eksternal seperti faktor lingkungan sosial dan politik. Masih ditemukan beberapa tokoh yang pernah disebut dalam beberapa literatur berkaitan dengan masalah ini dan memerlukan eksplorasi.
5
ABSTRACT The purpose of this study was to inventory figures thinker / philosopher who discusses cultural development. describe, and demonstrate specificity thoughts. Culture in this study includes the elements of a broad culture related to artifacts, behavior and human thought or idea. Includes the implementation in the life of the country both in terms of social and cultural life, state institutions and life in the course of a long history. This research is a library research. The research was done by reading the sources of information in the form of research, textbooks, writing in the blogs, and other writings which utilized complementary. The analysis was done by interpretation, analysis, systematization and description. The results showed that there are quite a lot of thinkers/philosophers that discussed the development of culture in the broad sense to the specific thoughts. This is based on the focus of study, science background, personal life and also the external aspects such as environmental factors, social and political. Still found a few figures have ever referred to to this issue and require exploration .
6
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Permasalahan Terdapat cukup banyak pemikir kebudayaan, dari yang sangat antropologis, filosofis, sampai pemikir yang sesungguhnya berangkat dari dunia yang seolah-olah ”kurang nyambung” dengan persoalan budaya. Yang dimaksud terakhir ini adalah para pemikir budaya yang berangkat dari dunia saintis semacam fisikawan dan ahli teknologi yang merasa dampak dari keilmuwan yang mereka kembangkan menyebabkan manusia dan dunianya mengalami kriris tertentu. Sebagai bentuk ”tanggung jawab” sosial atas nuraninya mereka kemudian mencoba memikirkan secara spekulatif
bagaimana nasib perkembangan
kebudayaan. Karena tidak hanya ilmuwan sosial yang mencoba menjelaskan eksistensi kebudayaan sehingga semakin banyak koleksi pemikir tentang kebudayaan. Pemikir lain akan mengkaitkan kebudayaan dengan bidang ilmu mereka misalnya politik, hukum, psikologi, atau bidang-bidang ilmu yang lain. Dari sekian banyak pemikir tentang kebudayaannya ini, ada beberapa di antaranya yang memiliki konsep yang agak mirip atau bahkan bertentangan tentang hal yang sama. Misalnya tentang peristilahan kebudayaan dan peradaban, sejauh ini ditemukan berbagai variasi jawaban. Begitu juga mengenai pertumbuhan kebudayaan, apakah kebudayaan lahir, tumbuh, mati selesai atau bagaimana selanjutnya, bentuk perkembangannya bagaimana, dan ternyata terdapat perbedaan-perbedaan pendapat. Begitu juga dengan pemikiran tentang perkembangan kebudayaan, dalam hal ini dapat diartikan perkembangan pemikiran atau sistem nilai budaya yang membangun wujud kebudayaan yang lainnya seperti perilaku dan artefaknya. Setidaknya dalam hal ini dikenal beberapa tokoh pemikir yang mencoba menjelaskan tahap-tahap ini misalnya Auguste Comte yang terkenal dengan Positivismenya, 7
C. A. Van Peursen yang terkenal dengan tiga bagan kebudayaannya dan juga Pitirim A. Sorokin yang juga terkenal dengan tiga tahap perkembangan kebudayaannya. Bahkan pemikiran Comte disinyalir juga terpengaruh oleh beberapa pendahulunya. Arif Wibowo (2008) mengatakan bahwa Comte antara lain dipengaruhi oleh Saint Simon, Turgot dan Condorcet seorang filsuf sejarah. Menurutnya, Simon mengikuti pandangan tiga tahap Turgot dan kemudian merumuskan pandangannya tentang tiga tahap perkembangan masyarakat, yaitu tahap teologis (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme), dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri. Bila dicermati, tiga tahap perkembangan Simon dan Comte tidak terlalu berbeda. Tidak hanya para pemikir yang sudah disebut, masih ada pemikiran-pemikiran yang membahas pertumbuhan atau perkembangan budaya ini. Toeri-teori ini ada yang menyebutnya teori siklus, teori perubahan sosial, teori perkembangan, teori kebudayaan, tahap pemikiran, tahap kebudayaan dan semacamnya. Di bagian lain tulisannya. Arif Wibowo (2008), dalam blognya juga mengatakan bahwa ada kemiripan pandangan yang diajukan George Gudorf . Gudorf mengajukan skema tiga tahap perkembangan masyarakat yaitu: kesadaran mitik, kesadaran intelektual dan kesadaran eksistensial, Khaldun, Spengler, Steward dan Toynbee merupakan pemikir yang sangat terkenal sehingga sejauh penelusuran awal, karya dan informasi tentangnya cukup mudah diperoleh. Meskipun pemikiran-pemikiran tersebut disebut dengan istilah-istilah yang berbeda, secara umum hal ini dapat dikaitkan satu sama lain karena bagaimana pun manusia hidup dalam sejarah, perkembangan pemikiran, perkembangan sosial dan perkembangan budaya – dalam diskursus kebudayaan, sebagian pemikir menyamakan dan sebagian membedakan pengertian kebudayaan dan peradaban- baik dalam konteks pemikiran maupun perilaku dan wujud fisiknya.
8
Sebagai upaya memperjelas pemikiran-pemikiran tersebut dan menunjukkan bagaimana persamaan dan perbedaan pandangan-pandangan tersebut maka perlu dilakukan inventarisasi dan pengkajian secara lebih cermat. Meskipun terdapat persamaan pasti akan ditemukan catatan-catatan khusus mengenai konsepsi yang serupa tersebut. Penelitian kecil ini dimaksudkan untuk menjelaskan hal ini.
2. Keaslian penelitian Sejauh penelusuran pustaka, belum ditemukan studi yang mencoba mengumpulkan dan membandingkan pemikiran-pemikiran yang mirip dan khususnya di antara ketiga tokoh ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi, menginventarisasi,
dan memperjelas
pemahaman konsep tersebut. Belum ditemukan inventarisasi dan kajian yang melakukan studi komprehensif sebagaimana yang diajukan ini. Analisis mengenai perkembangan kajian tentang pemikiran-pemikiran tokoh ini selanjutnya akan diuraikan dalam Tinjauan Pustaka.
3. Manfaat penelitian Manfaat penelitian ini ditujukan sebagai berikut. a. Bagi pengembangan ilmu, secara akademik penelitian ini akan membantu para pembelajar dan mahasiswa untuk memperjelas peta konsep yang ditawarkan oleh banyak pemikir. Penelitian ini diharapkan dapat membantu pemahaman dengan mengkategorikan jenis konsep yang sama. Dengan dilanjutkan dengan model penelitian sejenis diharapkan dapat dihasilkan referensi yang cukup komprehensif dari tema-tema kebudayaan yang dapat dikembangkan dalam kajian kebudayaan utamanya Filsafat Kebudayaan. Dengan demikian, akan lebih mudah untuk mengidentifikasi dan memahami pemikiran yang beraneka.
9
b. Bagi lembaga, penelitian ini akan melengkapi naskah-naskah yang sudah ada dan membangun atmosfir riset meskipun dari hal-hal yang sederhana. c. Bagi masyarakat, penelitian ini akan membantu meningkatkan pemahaman akan perbedaan konsep dan memaknai perbedaan tersebut secara arif bijaksana.
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menginventarisasi tokoh yang memiliki kemiripan pemikiran tentang perkembangan pemikiran, peradaban, kebudayaan, dan atau sejarah manusia. 2. Mendeskripsikan pemikiran tersebut. 3. Menunjukkan kekhasan masing-masing pemikiran tersebut.
C. Tinjauan Pustaka Sejauh penelusuran pustaka yang sudah dilakukan, kajian yang dilakukan terkait pemikiran tentang tokoh yang disebut dalam penelitian ini cukup banyak ditemukan di koleksi perpustakaan Fakultas Filsafat UGM. Paling populer dikaji apakah sebagai objek kajian (objek material) maupun dipakai sebagai kerangka teori untuk melihat suatu kasus (objek formal) adalah pemikiran C.A. Van Peursen, kemudian Auguste Comte. Pitirim Sorokin belum banyak dibahas. Penelusuran melalui internet menunjukkan eksplorasi pemikiran lebih banyak pada Auguste Comte. Pemikiran Comte cukup populer dan menjadi banyak bahasan terutama di lingkungan kajian sosiologi. Tokoh-tokoh lain cukup ditemukan beberapa tulisan tetapi tentang George Gudorf nyaris tidak ditemukan tulisan mengenai pemikirannya, bahkan namanya kurang dikenal baik di ensiklopedia maupun dalam sitasi yang dimuat mesin google.com.
10
Kajian tentang Auguste Comte dilakukan oleh Koento Wibisono, sebuah kajian yang dilakukan dalam rangka penulisan disertasi untuk meraih Doktor sekitar tahun 1982. Kajiannya berjudul Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. Sesuai dengan judulnya, kajian ini menguraikan seluk beluk pemikiran Comte dan interpretasi tentang perkembangan tahap pemikiran yang digagaskan Comte dan detail pemikiran Comte yang lainnya. Kajian berikutnya dilakukan oleh Shodiq (1991) yang mencoba mengeksplorasi pemikiran Comte pada salah satu sisi yang lain dengan judul Pandangan Positivisme Auguste Comte tentang Agama. Penelitian ini merupakan satu hal yang menarik bagaimana penulis mencoba menginterpretasi persoalan agama dalam konteks pemikiran Comte. Kajian selanjutnya dilakukan oeh Pramono Ekayanto (1994). Penelitian ini mencoba mendudukkan konsep tahap perkembangan yang dibangun Auguste Comte dalam bingkai Filsafat Sosial. Sartini (1996) mencoba menghubungkan pemikiran Comte dengan pemikiran tahap-tahap kebudayaan C. A. Van Peursen, suatu kemungkinan keterpengaruhannya. Salahuddin (2003) mengangkat konsep ini untuk menjelaskan pembangunan yang berkembang di era Orde Baru. Ini merupakan penelitian aplikatif dengan memanfaatkan konsep Comte untuk menjelaskan suatu fenomena kebijakan dan implementasiya pada sebuah negara. Seperti dijelaskan di depan, bahwa pemikiran Peursen ini paling populer di Fakultas Filsafat. Sebagian kajian meletakkan pemikiran Peursen sebagai objek analisis sebagian yang lain memakainya sebagai perspektif untuk menjelaskan fenomena tertentu. Yang terakhir ini misalnya yang dilakukan Budiono (2005), memakai pemikiran Peursen untuk menjelaskan kasus hukum adat kawin selarian di Lombok Tengah. Devina Whike Rahmanida (2010), menjelaskan perkembangan fungsi bangunan istana air Tamansari Keraton Jogjakarta dalam perspektif tahap-tahap kebudayaan Peursen ini.
11
Interpretasi umum atas pemikiran C. A. van Peursen mengenai bagan tiga tahap perkembangan kebudayaan ini juga pernah dilakukan oleh Farid (1996), Armaidy Armawi (2010), Hermansyah (1985)
menganalisis pemikiran Peursen ini dengan menyebutnya
sebagai perkembangan nilai budaya. Teguh Sunaryo (1990) menjelaskan pandangan tahap kebudayaan ini dalam perspektif Filsafat Sejarah. Sedangkan kajian yang mengambil aspekaspek khusus dari pemikiran Peursen dilakukan oleh beberapa peneliti. Wiji Saksono (1991) menjelaskan aspek ketegangan imanensi dan transendensi dalam kebudayaan. Istilah imanensi dan transendensi ini memang khas bagi Peursen. Penelitian Wiji ini menghubungkan istilah khusus tadi dengan konsep-konsep lain yang ditawarkan Peursen. Muslih (1993) secara lebih aplikatif dalam penelitiannya menjelaskan tentang persoalan totalitas kemanusian dalam kebudayaan fungsional Peursen. Peneliti ini mengangkat istilah totalitas kemanusiaan dan menghubungkannya dengan salah satu tahap yang diajukan oleh Peursen. Pemikiran Pitirim Sorokin belum banyak dikaji. Salah satu teks ditulis Chuzort (1994) dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Kemelut Era Kita. Buku tipis ini cukup membantu untuk membaca pemikiran Sorokin. Buku Sorokin sendiri berisi banyak konsep sehingga mengesankan tidak sederhana atau sangat luasnya apa yang dipikirkan. Penelusuran di internet menunjukkan bahwa pemikiran Sorokin juga cukup dikenal di kalangan kajian-kajian ilmu sosial tetapi di Fakultas Filsafat belum ditemukan penelitian yang secara serius mengeksplorasinya. Kajian tentang Khaldun sudah dilakukan antara lain oleh Toto Suharto (2003) berupa tesis di IAIN Sunan Kalijaga dan diterbitkan dengn judul Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. Karya ini terbagi dalam dua bagian. Yang pertama berisi biografi Khaldun dan yang kedua mengenai pemikiran sejarahnya. Cukup luas yang diulas dalam kajian ini sehingga dengan ditambah referensi buku Mukaddimah karya Khaldun dapat dijadikan bahan yang cukup untuk melakukan inventarisasi pemikiran tentang perkembangan sejarah dan 12
kebudayaan manusia. Tentang pandangan Jullian Steward belum ditemukan suatu kajian atasnya, tetapi informasi mengenai sekilas pemikirannya dapat mengarahkan pada model pemikiran yang sama. Dengan ditambah referensi dari buku karya Steward sendiri maka penelitian itu akan mengeksplorasi pemikirannya.
D. Kerangka Konsep Kebudayaan adalah keseluruhan hasil karya manusia yang diperoleh dengan cara belajar. Wujudnya dapat erupa artefak, perilaku dan nilai, gagasan atau pemikiran (Koenjaraningrat, 1990). Kebudayaan juga merupakan keseluruhan kehidupan manusia dalam konteks sejarah, termasuk dalam aspek yang lebih kecil misalnya perkembangan atau hidupnya satu mayarkat, negara atau dinasti. Kebudayaan juga dimaknai dalam arti baik fisik (artefak), perilaku (sistem sosial) maupun sistem berpikir atau gagasan (sistem nilai budaya)nya. Artinya, perkembangan kebudayaan di sini dimaknai sebagai perkembangan seluruh kehidupan manusia baik dari aspek fisik, sosial maupun nilai budayanya dan perkembangannya itu dalam kerangka sejarah yang panjang. Membaca pemikiran, memerlukan suatu metode. Metode umumnya yang digunakan untuk membaca hamparan pemikiran baik dalam bidang sastra maupun filsafat adalah hermeneutik, penafsiran, yaitu memahami pemikiran para tokoh dengan kekhasannya masingmasing sehingga dalam hal ini diperlukan ketajaman pandangan yang memungkinkan satu peneliti dapat berbeda dengan peneliti lain (Sumaryono, 1993: 23). Sebagai suatu analisis konsep filsafat maka diperlukan beberapa metode (langkah-langkah metodis) untuk melakukan analisis tersebut. Langkah utama yang digunakan dalam kajian ini adalah Interpretasi, menafsirkan.
Hal ini dilakukan mengingat tidak mudahnya memahami
pemikiran filsuf. Sebagaimana yang diungkapkan Sumaryono, dengan hermeneutika, maka kemungkinan munculnya banyak interpretasi dapat saja terjadi. Deskripsi sangat diperlukan 13
karena interpretasi tidak cukup di dalam pikiran, tetapi perlu dipertegas dalam ungkapan. Uraian atau ungkapan digunakan untuk memudahkan pemahaman yang diperlukan untuk melanjutkan interpretasi ini. Jelas, pemikiran-pemikiran ini akan dijelaskan secara lebih mudah dimengerti. Cara menjelaskan dan mengurutkan pemikiran para tokoh akan dilakukan dengan pendekatan historis. Tokoh yang ditemukan masa hidupnya akan diurutkan sesuai dengan waktu hidup tokoh. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan
pemahaman tentang letak
pemikiran tersebut dalam kerangka historis. Selanjutnya dengan melihat kenyataan tersebut akan diberikan sedikit ulasan mengenai pemikiran-pemikiran tersebut.
14
BAB II METODE/CARA PENELITIAN
A. Bahan/materi Materi penelitian ini adalah buku-buku teks, artikel dalan jurnal dan sumber/karyakarya tulis lain yang memuat pemikiran ketiga tokoh yang diangkat, yaitu: Auguste Comte, C.A. vam Peursen dan Pitirim A. Sorokin dan tokoh-tokoh lain yang pemikirannya yang berkaitan dengan konsep pentahapan pemikiran dan atau kebudayaan.
B. Alat Secara umum penelitian ini tidak memanfaatkan alat-alat khusus kecuali perlengkapan tulis sebagaimana umumnya.
C. Cara Pelaksanaan Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut, a. Membaca dan mengumpulkan kajian seputar pemikiran tiga tokoh. b. Menganalisis sejauhmana kemajuan penelitian yang ada. c. Membuat kerangka konsep untuk menjelaskan pemikiran tokoh. d. Mendeskripsikan profil, karya dan pemikiran tokoh. e. Menuangkannya dalam draft kerangka/sistematika laporan, melengkapi kajian dan mengecek isi dan kelengkapan data. f. Menyusun dan memastikan sebagai laporan yang lengkap.
15
D. Analisis hasil Penelitian ini dilakukan dengan metode hermeneutika (Bakker, 1990:41-54) dengan langkah-langkah metodi 1. Interpretasi, dilakukan untuk memahami pemikiran para tokoh. 2. Deskripsi, dilakukan untuk menguraikan pemikiran para tokoh. 3. Sistematisasi, yaitu melakukan pendeskripsian profil dan pemikiran tokoh sesuai desain/kerangka konsep kajian yang disusun. 4. Analisis yaitu melakukan kajian tentang aspek-aspek pemikiran tokoh yang diangkat.
16
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
H. Ibnu Khaldun (1322-1406) Uraian tentang Ibnu Khaldun ini disarikan dari Ensiklopedi elektronik Encarta dan blog Http://aton29.wordpress.com (namun sumber terakhir ini perlu dicermati karena penguraian dan data di beberapa tempat kurang valid) dan sebagian isinya merupakan terjemahan dari Ensiklopedi Encarta, ditambah sumber lain yang secara jelas dikutip.
1. Profil dan karyanya
Ibn Khaldun, bernama lengkap Abu Zayd Abd-Ar-Rahman Ibn Khaldun. Dalam buku terjemahan Mukaddimah Jilid I (1982:1) nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Khaldun Al-Hadlrami. Sumber lain menuliskan nama lengkapnya adalah „Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn „Usman ibn Hani ibn al-Khatab ibn Kuraib ibn Ma‟dikarib ibn alHarish ibn Wail ibn Hujr. Nama kecilnya „Abd al-Rahman. Ketika berkeluarga sering dipanggil dengan Abu Zaid. Zaid adalah anak sulungnya. Ibnu Khaldun adalah nama yang dinisbatkan dari kakeknya yang kesembilan (Toto Suharto, 2003:30). Ia merupakan sejarawan Islam Abad Pertengahan yang terbesar. Ia dilahirkan pada bulan 27 Mei 1332 di Tunis (sekarang Tunisia), dari keluarga Spanyol-Arab1. Sejak kecil ia sudah mengenal kehidupan intelektual dan politik. Ayahnya, Muhammad bin Muhammad seorang mantan perwira militer yang gemar mempelajari ilmu hukum, teologi, dan sastra. Bahkan di usia 17, Khaldun telah menguasai ilmu Islam klasik termasuk ulum, aqliyah (ilmu kefilsafatan, tasawuf, dan 1
Dalam buku terjemahan Mukaddimah, mengenai asal-usul kelahiran Khaldun diberbincangkan karena dia sering dianggap kurang simpatik terhadap Arab sehingga dianggap berasal dari kaum Barbar dengan jiwa Spanyolnya sangat nampak.
17
metafisika). Tunisia ketika itu merupakan pusat para ulama dan sastrawan yang memungkinkan Ibn Khaldun muda banyak belajar dari mereka.
Selain menggemari dunia pengetahuan, Ibn Khaldun juga terlibat dalam dunia politik. Keterlibatannya dengan politik memberikannya pengalaman tidak mengenakkan. Ia mendapatkan pengalaman penjara di sini. Ia pernah menjabat Shabib al‟Allamah (penyimpan tanda tangan) pada pemerintahan Abu Muhammad ibn Tafrakin di Tunis. Ketika ia menduduki jabatan tersebut usianya baru menginjak 20 tahun. Usia yang masih sangat belia. Tetapi situasi politik yang tidak menentu membuat Ibn Khaldun harus berpindah-pindah pekerjaan. Situasi politik tersebut juga mempengaruhi karir hidupnya. Ketika ia menjabat sebagai sekretaris Kesultanan di Fez Maroko, ia menerima tudingan sebagai komplotan politik yang hendak menyerang Sultan. Khaldun akhirnya masuk penjara selama 21 bulan gara-gara tudingan tersebut.
Ia pernah memegang posisi di pengadilan (court) di negara-negara yang sekarang dikenal dengan Tunisia, Algeria, Moroko, Granada dan Spanyol. Ia juga pernah dipenjara dua kali. Pada tahun 1375, ia pergi mengasingkan diri ke Frenda modern, Argeria, untuk menulis karya monumentalnya. Muqaddimah, selama empat tahun. Karya ini merupakan volume pendahuluan dari kitab Kitab al-Ibar (Universal History). Buku ini merupakan panduan berharga bagi sejarah Muslim Afrika Utara dan orang yang bermukim di Afrika Utara (Barbar).
Pada tahun 1382 ia naik haji ke kota suci Mekkah. Dia ditawari oleh Sultan Kairo untuk menjadi rektor di universitas Islam terkemuka, Universitas Al Azhar. Khaldun juga ditunjuk sebagai hakim (qadi) Syekh Maliki . Pada 1400 dia menemani pengganti sultan ke Damaskus dalam ekspedisi menahan serangan invasi dari penguasa Turki, Tamerlane (Timur Lenk). Ibn
18
Khaldun menghabiskan beberapa minggu sebagai tamu agung Tamerlane sebelum kembali ke Kairo. Ia meninggal pada 17 Maret 1406.
Ibnu Khaldun dilekati dengan berbagai predikat keilmuan antara lain sejarawan, ahli filsafat, sosiolog, ekonomom, ahli geografi, ilmuwan politik dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa ragam keilmuan yang dikuasai Khaldun sangat luas. Meskipun demikian dikatakan bahwa predikat sebagai sejarawan dan ahli filsafat sejarah lebih mendapat perhatian khusus dari bidang-bidang lain. Penghargaan diperoleh dari banyak pemikir antara lain Toynbee, Robert Flint, dan itu menunjukkan bahwa Khaldun adalah seorang ilmuwan besar (Toto Suharto, 2003:5-6).
2. Pandangannya: filsafat sejarah dan teori siklus Pandangannya tentang perkembangan sejarah antara lain ditulis dalam Ensiklopedi elektronik Encarta:
Ibn Khaldun outlined a philosophy of history and theory of society that are unprecedented in ancient and medieval writing and that are closely reflected in modern sociology. Societies, he believed, are held together by the power of social cohesiveness, which can be augmented by the unifying force of religion. Social change and the rise and fall of societies follow laws that can be empirically discovered and that reflect climate and economic activity as well as other realities. Kerangka pemikiran tentang filsafat sejarah dan teori masyarakat Khaldun dianggap tidak linier dengan pemikiran yang berkembang pada jaman kuno dan abad pertengahan, tetapi sebaliknya secara lebih dekat terefleksikan pada pengetahuan sosiologi modern. Maksudnya, bahwa pemikiran Khaldun tersebut kurang mendapat sambutan dan tanggapan dari pemikiran yang ada pada waktu itu. Akan tetapi justru pandangannya muncul sebagai inspirasi atau bibit munculnya pemikiran-pemikiran besar yang tumbuh abad 19. Sebagaimana dijelaskan dalam Http://aton29.wordpress.com,
pemikiran Khaldun tentang
sejarah kritis ini merupakan satu pemikiran yang melandasi pemikiran modern orang Eropa 19
tentang sejarah pada periode selanjutnya seperti Jean Bodin (1530-1596), Jean Mabilon (1632-1707), Betrhold Georg Niebur (1776-1831), hingga Leopald van Ranke (1795-1886). Dikatakan, membaca atau tidak Muqaddimah, pemikiran mereka sejalan dengan pemikiran Ibnu Khaldun.
Menurut sumber yang dikutip di atas, dalam pandangan Khaldun, masyarakat dikuasai oleh kekuatan kohesivitas sosial yang dapat diperkuat oleh kekuatan agama sebagai penyatu. Perubahan sosial, naik dan turunnya masyarakat mengikuti hukum yang secara empirik dapat ditemukan dan terefleksikan dalam aktivitas dan kondisi ekonomi sebagai realitas.
Pandangan Ibnu Khaldun terkait dengan sejarah dan perkembangan masyarakat di bawah ini disarikan dari satu tulisan yang dimuat dalam Http://aton29.wordpress.com dengan judul Ibnu Khaldun dan sebagian dari konsep Khaldun diambil dari Mukaddimah.
Khaldun melakukan studi penting tentang faktor sosiologi, psikologi, dan faktor ekonomi
yang berpengaruh terhadap
pembangunan, perkembangan, dan jatuhnya
peradaban. Hampir semua kerangka konsep pemikiran Ibnu Khaldun tertuang dalam Muqadddimah. Khaldun menjelaskan bahwa sejarah adalah catatan tentang masyarakat manusia atau peradaban dunia, tentang perubahan-perubahan yang terjadi, perihal watak manusia. Watak manusia ini seperti keliaran, keramahtamahan, solidaritas golongan, tentang revolusi, dan pemberontakan-pemberontakan suatu kelompok kepada kepada kelompok lain. Efek dari beranekaragamnya perilaku manusia ini berakibat pada munculnya kerajaankerajaan dan negara-negara dengan tingkat yang bermacam-macam. Di dalamnya terdapat pelbagai kegiatan dan kedudukan orang, baik dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup maupun kegiatan mereka dalam ilmu pengetahuan dan industri, serta segala perubahan yang terjadi di masyarakat. Berbekal pada kajiannya tentang berbagai bidang menyebabkan
20
pemikiran Khaldun sangat luas dan kaya mengenai seluk beluk perkembangan masyarakat, terutama berkaitan dengan terbentuknya dan eksistensi negara.
Teori Khaldun ini sering disebut juga Teori Siklus. Teorinya bermula dari pandangannya bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya. Maka menurut Khaldun,
kehidupan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan
(dharury). Setelah organisasi masyarakat terbentuk, maka inilah yang disebut peradaban. Masyarakat tidak akan hidup sendiri-sendiri tetapi bersekutu. Pada keadaan ini maka akan terjadi benturan kepentingan dan konflik di antara anggota masyarakat. Masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat betindak sebagai penengah dan pemisah. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali/ wazi‟ ()عزاولا. Dengan bahasa sederhana dapat disimpulkan bahwa sebuah komunitas atau kelompok masyarakat memerlukan seorang pemimpin. Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang kuat dan berpengaruh sehingga mampu menjadi penengah dan pemisah di antara anggota masyarakat yang terlibat konflik. Secara umum pemimpin yang dimaksud seharusnya mampu mengelola kepentingan-kepentingan dan konflik yang muncul di masyarakat.
Akibat perkembangan dan pertumbuhan masyarakat, maka kebutuhan akan pemimpin ini menjadi meningkat sehingga diperlukan pembantu-pembantu. Dibutuhkanlah tentara yang kuat dan loyal, perdana menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk). Dalam perkembangannya, negara, atau dinasti atau kerajaan ini mengalami perkembangan, dan bahkan pasang surut atau timbul tenggelam.
21
Tahap ini didasarkan atas teori ‘ashabiyyah. Ibnu Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu:
a. Tahap sukses atau tahap konsolidasi
Tahap ni adalah tahap ketika otoritas negara didukung oleh masyarakat („ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
b. Tahap tirani
Tahap ini adalah tahap ketika penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut.
c. Tahap sejahtera
Yaitu tahap ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara.
d. Tahap kepuasan hati, tentram dan damai
Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya.
e. Tahap hidup boros dan berlebihan.
Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu:
22
a. Generasi Pembangun,
Generasi ini dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk di bawah otoritas kekuasaan yang didukungnya.
b. Generasi Penikmat
Yaitu generasi yang diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan dan kemudian menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.
c. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara.
Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa mempedulikan nasib negara.
Sebagai pembanding tentang pemahaman siklus suatu sejarah atau peradaban ini peneliti kutipkan tulisan Toto Suharto (2003:101-105) sebagai berikut.
Terlepas dari diskusi mengenai apakah konsep pentahapan sejarah Khaldun ini siklus, linier, enmalig, spiral atau bahkan dengan istilah spiral dengan corak dialektis, dasar penjelasan sejarah ini adalah pada sejarah suatu dinasti. Khaldun mengatakan bahwa perjalanan kedinastian (daulah) terjadi dalam tiga generasi dengan umur alamiah 120 tahun. Asumsinya, setiap periode kepemimpinan akan berjalan selama 40 tahun, dan pada usia raja 40 thun itulah puncak perkembangan dan kejayaan suatu dinasti. Umur dinasti ini dianggap cukup untuk tumbuh dan berkembang, dan dikatakan bahwa sangat jarang ditumukan dinasti yang melebihi umur tersebut. Ketiga generasi tersebut dijelaskan sebagai berikut.
a. Generasi pertama, adalah generasi yang hidup mengembara dan hidup dalam kekasaran. Generasi ini dianggap sifat ‘ashabiyah-nya masih kuat untuk menyatukan 23
rakyat. Hal ini membuat mereka disegani dan memiliki kekuatan untuk menguasai bangsa lain. b. Generasi kedua, adalah generasi yang sudah menetap. Mereka meninggalkan hidup dengan kekasaran dan sudah hidup dengan kemewahan. Mereka merasa puas dengan apa yang dimiliki. Ikatan ‘ashabiyah-nya sudah semakin longgar. Mereka masih memiliki sifatnya yang asli meskipun sebagian sifat aslinya sudah ditinggalkan dan diduga sifat asli pendahulunya masih melekat. c. Generasi ketiga, adalah generasi yang sudah lupa sama sekali kehidupan pengembara dan kasar. Kehidupan mewahnya telah melupakan ‘ashabiyah-nya. Generasi ini diyakini tidak mempunyi kekuatan untuk mempertahankan diri. Pada tahap ini umur dinasti dianggap cukup tua, ibarat orang tua yang berpenyakit kronis, tak akan mampu mempertahankan diri.
Dalam Mukaddimah (1982:238-248) dijelaskan beberapa hal yang terkait dengan penjelasan di atas. Apa yang disebut sebagai generasi pertama di atas mungkin dapat disetarakan dengan istilah bangsa-bangsa primitif yang lebih sanggup memerintah dengan kegagahan, dan terkait dengan istilah ‘Ashabiyah adalah bahwa yang dituju adalah kewibawaan pemerintah. Dan kewibawaan yang dimaksud adalah berlomba untuk melakukan perbuatan yang terpuji. Generasi awal nampaknya yang dapat dikatakan mampu melakukan hal tersebut.
3. Arti perkembangan
Siklus yang diungkap di atas akan terjadi dalam satu kedinastian dan akan berulang lagi dengan kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain. Tahapan-tahapan di atas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus. 24
I. Auguste Comte (1798-1858) 1. Profil dan Karyanya Uraian profil ini disusun dari berbagai sumber yang menulis tentang tokoh ini yang akan disajikan di dalam daftar pustaka. Nama lengkap filsuf ini adalah Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte. Ia lahir di Montpellier Prancis tahun 1798 dan meninggal 1857. Ia berasal dari keluarga bangsawan Katolik. Kondisi masyarakat ketika ia hidup adalah pada masa pergolakan Revolusi Prancis. Comte banyak dikenal sebagai ahli sosiologi tetapi ia juga dikenal sebagai filsuf. Bidang yang digeluti adalah matematika dan masalah kemasyarakatan. Para pemikir yang mempengaruhi pemikirannya menurut catatan Arif Wibowo (2008) adalah Turgot mengenai tahap-tahap perkembangan pemikiran, Condorcet mengenai filsafat sejarahnya dan de Bonald mengenai pemikiran kemasyarakatannya. Karya Comte yang terkenal adalah: a. Course of Positive Philosophy, 6 jilid, tahun 1842. b.
System of Positive Politics, merupakan buku persembahan untuk Clothilde de Vaux kekasihnya.
2. Tahap Pemikiran (Kebudayaan) Manusia Pemikiran Comte dapat dikelompokkan menjadi dua hal yaitu masalah metode positif dan tahap perkembangan. Dasar pemikiran positivisnya mengarahkan pada teori pentahapan yang pada puncaknya adalah tahap positif. Data di bawah disarikan dari tulisan Arif Wibowo (2008) dengan berbagai penyesuaian dan ditambah referensi sebagaimana dikutip. a.
Metode Positif Gagasan positivisme Comte sering dianggap sebagai sebuah ensiklopedi tentang evolusi
filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan sistematis yang terwujud pada 25
tahap akhir suatu perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika. Statika dimaksudkan sebagai keterkaitan organis antara gajala-gejala (diinspirasi de Bonald), dan dinamika merupakan urutan gejala-gejala tersebut (diinspirasi filsafat sejarah Condorcet). Bagi Comte, menciptakan masyarakat adil pun harus mengikuti hukum positif yang kepastiannya tidak bisa digugat. Metode ini mempunyai empat ciri, yaitu: (1). Diarahkan pada fakta-fakta (2). Diarahkan pada perbaikan terus-menerus dari syarat-syarat hidup (3). Berusaha ke arah kepastian (4). Berusaha ke arah kecermatan Keempat metode ini mempunyai sarana bantu, yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama dilakukan oleh ilmu-ilmu alam, dan metode historis khusus berlaku di masyarakat yaitu untuk mengunggapkan hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan. b. Tiga Tahap Perkembangan Comte digolongkan dalam pemikir Positivis yang memegang pendapat bahwa strategi pembaharuan termasuk dalam hal kemasyarakatan dapat dilakukan berdasarkan hukum alam. Para positivis mempercayai hukum alam yang mengendalikan manusia dan gejala sosial sehingga hukum alam dapat digunakan untuk pembaharuan sosial dan politik, untuk menyelaraskan hubungan institusi-institusi dalam masyarakat dengan hukum-hukum alam. Comte menganggap bahwa masyarakat merupakan keseluruhan yang bersifat organistik, saling bergantung satu dengan lainnya. Masyarakat pun merupakan bagian dari alam sebagaimana halnya gejala fisik. Ia pun berusaha untuk melakukan pengamatan terhadap masyarakat dengan model kajian ilmu alam, fisika dan biologi yaitu dengan pengamatan dan eksperimen. Dengan metode ini Comte merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi tiga kelompok tahapan, yaitu theologis, metafisis dan positif. 26
(1). Theologis Tahap ini merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia. Periode ini dibagi dalam tiga subperiode, yaitu: (a). Fetisisme, periode ketika bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. (b). Politheisme, periode ketika muncul adanya anggapan bahwa ada kekuatankekuatan yang mengatur kehidupannya atau disebut gejala alam. (c). Monotheisme, periode ketika kepercayaan akan dewa mulai digantikan dengan kekuatan tunggal, yang puncaknya ditunjukkan dengan Katholisisme. Pada tahap ini satuan sosial yang paling berpengaruh adalah keluarga. (2). Metafisis Tahap ini merupakan tahap transisi antara tahap Theologis ke tahap Positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi. Pada tahap ini tatanan sosial yang paling berperan adalah kekuatan negara-bangsa yang memunculkan rasa nasionalisme/kebangsaan. (3). Positif Tahap ini ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Pengetahuan ini bersifat sementara dan selalu terbuka dan mengalami perubahan dengan munculnya data-data baru. Dengan kenyataan ini maka didapatkan dinamika yang tinggi. Analisis rasional tentang data empiris akan memungkinkan manusia memperoleh hukum-hukum alam yang bersifat uniformitas. Pada tahap ini keteraturan sosial ditandai dengan munculnya masyarakat industri. Pada masyarakat industri yang dipentingkan adalah sisi 27
kemanusiaan sehingga Comte mengusulkan Agama Humanitas untuk menjamin terwujudnya keteraturan sosial pada masyarakat positif. Menurut Comte, pada setiap tahapan terjadi konsensus di antara anggota masyarakat dalam hal pandangan dan kepercayaan bersama sehingga akan terjadi keteraturan sosial. Suatu masyarakat dikatakan melampaui suatu tahap tertentu bila seluruh anggotanya telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada. Menurut Koento (1982:23-24), Comte mengakui bahwa terjadi tumpang tindih antara tahap-tahap tidak dapat dihindari. Comte mengakui bahwa sesuatu tahap tidak dapat bebas sama sekali dari pengaruh tahap yang lain. Dan setelah tahap positif tercapai seakan perkembangan terhenti. Comte memang tidak pernah menggambarkan bagaimana keadaan masyarakat selanjutnya.
3. Arti Pentahapan Arti pentahapan ini antara lain sebagaimana ditulis oleh Arif dalam blognya sebagai berikut. - Tahap Positif artinya telah melampaui tahap Theologis dan Metafisis - Sebagai perkembangan sejarah, tidak jelas bersifat linier atau spiral. - Menekankan progres/kemajuan, kemajuan tahap terjadi setelah melampaui tahap sebelumnya. - Kedua karya ini penting
Comte menekankan adanya Agama Humanitas, yaitu
pentingnya sisi kemanusiaan dalam mencapai masyarakat positivis. Koento Wibisono (1982:1, 21-22) mempunyai pemaknaannya sendiri. “Positif” diartikan sebagai lawan yang negatif. Sedangkan makna dari hukum tiga tahap tersebut adalah bahwa perkembangan jiwa masyarakat berlangsung dalam garis linier menuju ke arah kemajuan, dan kemajuan tersebut digambarkan sebagai masyarakat tahap positif atau 28
masyarakat industrial. Dengan keyakinan atas kebenaran hukum tiga tahap tersebut, Comte melihat sejarah sebagai derap/gerak perkembangan yang dapat mengantarkan setiap orang atau masyarakat ke masa depan yang baru yaitu kemajuan atau progres. Semboyannya, “Savoir pour prevoir” disertai motto “Ordre et progres”, mengandung arti makna perkembangan bersifat “positif” atau kemajuan. Citra masyarakat yang dibayangkan telah mencapai tahap positif adalah masyarakat terbaik, kaum elit cendekiawan dan industrialis dengan sikap rasional dan ilmiahnya membentuk rejim yang akan mengatur kehidupan masyarakat atas dasar cinta kasih sebagai pedoman, ketertiban sebagai landasan dan kemajuan sebagai tujuan. Menurutnya, dalam masyarakat positif ini moral akan selalu menuju arah cinta kasih universal. Cita-cita yang sering dianggap utopis dari Comte ini memang belum terwujud karena menurutnya saat itu pun belum terwujud dan dia bersama Saint Simon sedang berusaha untuk mewujudkannya. Boleh jadi, apa yang diramalkan Comte sampai ia meninggal pun tidak tercapai. Apa yang dibayangkan sebagai masyarakat positif terbaik sangat berbeda dengan kondisi masyarakat industri modern yang dibahas oleh banyak pemikir. Koento (1982: 25) menyebut nama-nama seperti: Oswald Spengler, Kal Lowith, Melsen, Herbert Marcuse dan tentu saja masih banyak pemikir lain. Pada umumnya para pemikir ini melakukan koreksi terhadap kondisi masyarakat modern dan efek industrialisasi. Sebagai contoh, Marcuse mengajukan kritik masyarakat modern yang cenderung one dimentional man. Artinya, kehidupan masyarakat dan manusia tidak dipandang sebagai suatu paduan komprehensif tetapi terkotak-kotak oleh spesialisasi. Dengan membandingkan dengan pemikiran C. A. van Peursen, Koento (1982:26) mengatakan bahwa bagi Peursen, persoalannya bukan berkisar pada perkembangan yang mempunyai makna sebagai gerak peningkatan ke tahap yang lebih baik atau tinggi, melainkan diarahkan pada strategi yang lebih luas. Setiap tahap mengantikan tahap sebelumnya, tetapi 29
suatu tahap tidak dapat dianggap lebih tinggi atau lebih baik dari tahap sebelumnya. Artinya, kesadaran religi, metafisik dan sejenisnya pada tahap tertentu ditinggalkan manusia, dan tidak berarti bahwa bertindak secara teknis atau berpikir logis hanya terdapat pada tahap yang lebih tinggi. Menurut Peursen, lahirnya suatu tahap karena meniadakan segi-segi negatif tahap sebelumnya. Bukan suatu utopi yang idealistik/positivistik, melainkan untuk menuju kenyataan akan adanya konflik-konflik, ketegangan dalam setiap tahap.
J. Oswald Spengler (1880-1936) 1. Profil dan karyanya Profil Oswald Spengler di bawah ini disusun berdasarkan dua sumber utama yaitu Microsoft Encarta Ensiklopedi 2009 dan blog
Http://ton29.wordpress.com yang memuat
uraian dengan judul Oswald Spengler, juga blog Http://itsnasahma.blogspot, yang pada tahun 2010 memuat informasi tentang Spengler dengan judul Life Circle of Culturef from Oswald Spengler.
Oswald Spengler adalah filsuf Jerman yang dilahirkan di Blankenburg Jerman Tengah dan merupakan satu-satunya anak laki-laki dari empat bersaudara. Ayahnya pejabat di jawatan pos dan semula merupakan teknisi pertambangan. Ia hidup dalam kehidupannya yang sederhana dalam kenyamanan kelas menengah. Ketika usianya sepuluh tahun, keluarganya pindah ke kota tempat berdirinya universitas Halle. Ia kemudian terdidik di universitas Halle, Munich dan Berlin. Spengler menerima pendidikan Gymnasium klasik, mempelajari bahasa Yunani, Latin, matematika, ilmu alam (science), sejarah, dan seni, khususnya puisi, drama, dan musik. Atas dasar keluasan wawasan belajarnya inilah kelak ia memformulasikan suatu sistem pemikiran filosofis yang menawarkan eksplanasi tentang sejarah budaya manusia (human culture). Ide Spengler ini dipengaruhi oleh metode 30
komparatif studi sejarah yang dikembangkan oleh seorang filsuf Italia Giambatista Vico. Karya pemikirannya yang menohok perkembangan dunia Barat khususnya dengan ilmu dan teknologinya menjadi sangat kontroversial dan membuatnya terkenal di seluruh dunia.
Informasi tentang kehidupan Spengler yang lain, usia 21 ia mempelajari budaya klasik, matematika dan ilmu fisik. Ia gagal dalam ujian pertamanya, tetapi ia lulus di ujian kedua pada tahun 1904. Ia menulis tugas yang disebut disertasi sekunder yang diperlukan untuk memenuhi syarat sebagai guru sekolah tinggi. Ia pindah ke Düsseldorf dan akhirnya ke Hamburg untuk
mengajar matematika, fisika, sejarah dan sastra Jerman. Selanjutnya ia
tinggal di Munich untuk menjalani kehidupan sebagai sarjana yang independen dengan menulis.
Perjalanan menulisnya
disarikan dari
blog
Http://aton29,wordpress.com
yang
memerlukan penafsiran karena bahasanya yang kurang baik. Termasuk juga diperlukan tambahan informasi dari sumber lain untuk menyesuaikan kebenarannya. Ia menulis buku pengamatan politik dengan menjelaskan tentang kondisi Eropa saat itu, tentang percepatan perlombaan senjata dan apa yang disebut “pengepungan” Jerman, suatu krisis internasional, polaritas bangsa-bangsa yang bahkan mereka (bangsanya) pimpin. Satu pemikiran yang melihat lokalitas Jerman. Tetapi pada tahun 1911 ia melihat kondisi Jerman dalam skala global, internasional. Ia menganggap bahwa Jerman sedang berjalan untuk “bunuh diri” dan menuju budaya terakhir Eropa dan dalam sejarah dunia. Ia berpikir, Perang besar 1014-1918 membenarkan tesisnya. Tahun 1922 ia membuat revisi atas karyanya dan puas dengan hasilnya itu. Spengler meyakini bahwa dia dapat memecahkan teka-teki sejarah.
Karya Oswald Spengler yang dianggap satu karyanya dan terkenal memuat pikirannya adalah “The Decline of the West (1918-22, revised ed. 1923; trans. 1926-28) The Decline of the West (1918-22, revised ed. 1923; trans. 1926-28)”. Didapatkan judul buku ini berbahasa 31
Jerman, Der Untergang des Abendlandes (Decline of the West) atau Keruntuhan Dunia Barat/Eropa), Dengan membaca data ini maka karya Spengler ini pertama ditulis dalam bahasa Jerman, mengalami revisi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
2. Tahap perkembangan (Lahir, tumbuh dan mati)
Dalam penjelasan profil di atas sudah sedikit disinggung tentang perjalanan menulis bukunya. Informasi tentang detail pandangan Spengler akan dimulai dengan kutipan dari Ensiklopedi elektronik Encarta (2009) menulis sebagai berikut: In his single important work, The Decline of the West (1918-22, revised ed. 1923; trans. 1926-28), Spengler attempted to prove that each individual culture possesses a unique “soul,” or style of art and thought, and that all cultures pass through a life cycle of growth and decay comparable to the biological cycle of living organisms. In his analysis of the history of Western Europe, Spengler argued that the culture of Europe had entered the final stage of its existence that was to be chiefly a period of technological and political expansion. Spengler
berusaha
untuk
membuktikan
pandangannya
bahwa
masing-masing
kebudayaan mempunyai ”jiwa” yang unik atau suatu model seni dan pemikirannya. Sampai di sini ia tidak membedakan antara kebudayaan dan peradaban, dua istilah khas yang sering diperdebatkan di antara para pengamat dan penggagas budaya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa setiap kebudayaan mempunyai kekhasannya masing-masing yang sulit disamakan dengan budaya lain dan dirasakan hanya oleh pemangku budayanya masingmaisng. Tetapi Spengler meyakini bahwa setiap kebudayaan akan melalui satu siklus kehidupan yaitu tumbuh (growth) dan busuk (decay) atau mati. Ia mengibaratkan seperti siklus biologi suatu kehidupan organisme. Menurutnya, budaya Eropa sudah memasuki tahap final dari eksistensinya yaitu dengan ekspansi teknologi dan politik. Tesisnya yang keras inilah yang membuat pandangannya mendapat sorotan banyak pihak dan disebut kontroversial di atas. Bagaimana argumentasi Spengler mengenai hal ini sehingga dengan mantapnya ia mengemukakan tesisnya? 32
Analisisnya tentang perkembangan kebudayaan juga nampak dari penjelasannya tentang perbedaan
antara
pengertian
kebudayaan
dan
peradaban.
Satu
blog,
Http://itsnasahma.blogspot, 2010, yang menjelaskan teori siklus Spengler menguraikan sebagai berikut.
Oswald(o) Spengler, memandang kultur sebagai pertumbuhan jiwa manusia yang bermasyarakat, dalam makna yang serba asli, mengandung kehidupan dan bersifat mulia, kuat, dan kaya. Spengler berusaha menarik garis yang jelas antara budaya dan peradaban. Budaya, yang dominan adalah nilai spiritual, menekankan perkembangan individu di bidang mental dan moral. (Yunani kuno sebagai budaya); Sedangkan peradaban yang dominan adalah nilai material, menekankan kesejahteraan fisik dan material. (Romawi kuno sebagai peradaban). Spengler menyebut Zivilization (peradaban) sebagai produk akhir di mana budaya di situ telah menjadi steril, suatu kondisi yang akhirnya akan dialami oleh semua budaya yang ada. Ini berbeda dengan pendapat Huntington, bahwa civilization adalah puncak-puncak dari kultur. Dalam tafsiran Spengler justru sebaliknya, yakni bahwa Zivilization adalah lebih rendah daripada kultur karena merupakan hasil dari pemerosotannya. Oswald Spengler, dalam bukunya Decline of the West (1922) mengatakan bahwa peradaban adalah suatu tingkat kebudayaan yang sudah tidak memiliki energi produktif lagi, sudah beku dan mengkristal, sedangkan Budaya (Kebudayaan) adalah sesuatu yang hidup dan kreatif. Spengler meneruskan pemikiran Nietsche, Kebudayaan sebagai sesuatu yang dalam proses “menjadi”, sedangkan peradaban adalah sesuatu yang sudah “selesai”. Kebudayaan bisa terekspresikan dalam bentuk yang berbeda-beda, unik, subjektif, sebaliknya “peradaban” itu sifatnya universal. Kebudayaan adalah sesuatu yang sedang berkembang, sedang tumbuh sedangkan peradaban adalah sesuatu yang telah mencapai puncaknya. Istilah kebudayaan dibedakan dengan istilah peradaban. Hal ini berbeda dengan Huntington (Menurut catatan peneliti: dalam bukunya yang diterjemahkan menjadi Benturan Peradaban, The Clash of Civilization,
Huntington menjelaskan istilah peradaban dan
kebudayaan serta mengelompokkan budaya-budaya besar di dunia). Kebudayaan identik dengan spiritual dan peradaban identik dengan material fisik. Perkembangan sejarah manusia berangkat dari nilai-nilai ”lokal” yang cenderung spriritual, dunia mental dan moral. Ini juga berarti keragaman karena setiap kebudayaan dikatakannya sebagai ”unik” dan mempunyai rohnya sendiri-sendiri. Kebudayaan selalu mempunyai energi produktif dan kreatif. Kebudayaan merupakan sesuatu yang sedang tumbuh, proses ”menjadi”. Pada perjalanannya, kebudayaan akan mengarah pada nilai universal, yang berlaku global, sebagai puncak budaya 33
(kultur). Ia adalah peradaban, suatu tingkat kebudayaan yang sudah tidak mempunyai energi untuk berkembang, beku dan mengkristal, sesuatu yang sudah ”selesai”. Peradaban berhubungan dengan dunia material, ketika manusia mengalami kesejahteraan fisik dan material. Ini mungkin merupakan hasil dari apa yang dikatakannya sebagai ekspansi teknologi dan politik. Dengan ekspansi teknologi dan politik atau dapat dikatakan sebagai kekuasaan, manusia mampu memenuhi kebutuhan fisik dan materinya. Dan berkaitan dengan perbedaan istilah kebudayaan dan peradaban di atas, maka ketika di puncak ini persoalan spiritual, mental dan moral menjadi terkesampingkan. Dan dalam kondisi seperti ini perkembangan dianggap busuk (decay) atau mati. Atas pandangan ini pemikirannya dianggap sebagai pemikiran yang pesimistis.
3. Arti perkembangan Tentang apakah arti siklus tersebut? Dijelaskan dalam sumber yang sama di atas bahwa perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang terus akan berulang dan tidak berarti kumulatif. Oswald Spengler menjelaskan bahwa manusia dicirikan oleh kemajuan dan kemunduran yang berulang kali. Peradaban manusia dapat diumpamakan turun-naiknya gelombang lautan, atau kehidupan organ manusia yang menempuh tahapan dari kelahirankanak-kanak-dewasa-tua-dan kematian. Jadi, yang ditekankan di sini adalah adanya pertumbuhan dari budaya ke peradaban, dan itu terjadi berulang-ulang, Artinya, suatu peradaban akan lahir, tumbuh, dan mati, kemudian akan lahir lagi kebudayaan dengan wujud baru, tumbuh dan mati. Tidak didapatkan penjelasan maksud matinya kebudayaan.
Apakah busuk atau mati di sini berarti hilang atau sebenarnya mandeg? Mengacu pada pandangan di atas hal ini lebih mengarah pada kemandegan. Sayangnya, pandangan Spengler tidak diteruskan dengan argumentasi lanjutan untuk mengkritisi kondisi ini. Boleh jadi pemikirannya dapat juga dihubungkan dengan kecenderungan manusia modern yang berpikir 34
untuk kembali ke alam, kembali ke dunia spiritual, kepada kehidupan yang lebih holistik dan pandangan yang sejenis. Herbert Marcuse, Albert Camus, Fritjof Capra, filsuf penggagas alienasi manusia modern sebagai implikasi masyarakat industrial, dan banyak filsuf lain mengagas penyelesaian hal ini.
K. Arnold Joseph Toynbee (1889-1975) 1. Profil dan karyanya Profil di bawah ini disarikan dari
Microsoft Encarta Premium (2009), sebuah
ensiklopedi elektronik, dari Http://aton29.wodrpress.com
sebagai pembanding – karena
beberapaa bagian tulisan ini kurang valid -- dan kutipan dari buku-buku tentang profil dan pemikiran Toynbee sebagaimana ditulis dalam daftar kepustakaan. Arnold Toynbee atau lebih lengkapnya Arnold Joseph Toynbee, adalah keponakan dari seorang sejarawan ekonomi yang bernama sama, Arnold Toynbee. Di berbagai bukunya namanya sering ditulis tanpa J (Joseph). Ia lahir pada tanggal 14 April 1889. Ia seorang ahli sejarah Inggris, lebih dikenal pandangannya tentang masa lalu sebagai suatu suksesi peradaban daripada entitas-entitas politik. Ia terdidik Winchester College dan Balliol College, Oxford. Tahun 1912 sampai 1915 ia adalah sarjana dan tutor dalam bidang sejarah kuno di Balliol College. Ia mengabdi sebagai profesor bidang sejarah Yunani Modern dan Bizantium (modern Greek and Byzantine history) di University of London dari tahun 1919 sampai 1924. Sejak tahun 1925 sampai pensiun tahun 1955 ia adalah direktur di Royal Institute of International Affairs dan profesor riset tentang sejarah internasional di University of London. Ia juga bekerja di kantor Urusan Luar Negeri (Foreign Office) pada pemerintah Inggris selama Perang Dunia I dan II dan mewakili pemerintah Inggris pada konferensi perdamaian dari kedua perang tersebut. Ia menulis banyak buku antara lain A Study of Hstory yang berisi 12 volume dan merupakan karya monumental. Karya ini merupakan studi perbandingan dari 35
26 peradaban dan menganalis awal mula, pertumbuhan dan keruntuhan peradaban-peradaban tersebut. Ia meninggal di York, England, pada tanggal 2 Oktober 1975. Buku-buku yang pernah ditulisnya antara lain adalah: a. A Study of History (1934-1961), 12 volume. b. The Western Question in Greece and Turkey (1922) c. The World and the West (1953) d. Civilization on Trial The world and The west (1958) e. Acquaintances (1967) f. Experiences (1969). g. Mankind and Mother Earth a Narrative History of the West (1976), diterjemahkan menjadi Sejarah Umat Manusia.
2. Tahap perkembangan (Lahir, Tumbuh, Mati, Lahir)
Sebagaimana dikutip oleh Ensiklopedi Encarta, bahwa pemikiran Toynbee dalam buku A Study of History (1934-1961) telah mempunyai pengaruh kuat pada perilaku modern ke arah sejarah, agama dan hubungan internasional. Karya ini didasarkan atas tesis Toynbee bahwa sejarah merefleksikan suatu kemajuan peradaban atau masyarakat daripada sebuah negara. Sebagamana dijelaskan di atas, karya ini merupakan analisis atas lahir, tumbuh dan disintegrasinya peradaban dari suatu sejarah dunia. Baginya, kegagalan peradaban untuk tetap hidup merupakan hasil dari ketidakmampuan peradaban tersebut untuk merespon tantangan moral dan religius.
Munculnya kebudayaan (tidak terlalu dibedakan istilah kebudayaan dan peradaban) menurut Toybee (1956: 271) dikarenakan adanya tantangan dan jawaban (challenge and response). Penjelasannya cukup meluas sehingga pokok-pokok infomasi dikutip dari sumber 36
lain. Sejarah peradaban dimulai dari adanya tantangan. Tantangan pertama biasanya berupa tandangan fisik. Situasi sulit yang dihadapi manusia akan memantik kreativitas manusia. Dalam situasi ini manusia ditantang dan dirangsang untuk berbuat sesuatu. Maka peradaban berkembangkan karena manusia berjuang dan mampu mengatasi tantangan. Civilization come to birth and proceed to grow by succesfully responding to succesive challenges (Toynbee, 1958:58).
Tantangan pertama akan muncul sebagai jawaban terhadap tantangan lingkungan
fisik. Tantangan berikutnya yang mungkin muncul pada generasi kedua atau ketiga adalah tantangan dari lingkungan manusiawi (u interregnum), suatu kekacauan sosial setelah keruntuhan dan disintegrasi pendahulunya. Tidak selalu terjadi, semakin besar tantangan jawaban tidak mungkin terjadi dan itu artinya tantangan yang sangat lemah dianggap baik. Tantanggan yang sangat lemah jurtru dapat tidak membangkitkan peradaban. Kebudayaan semacam ini disebut kebudayaan abortif (Muji Sutrisno, 2008: 110).
Sedangkan
pertumbuhan
-- meskipun
ada beberapa kebudayaan yang tidak
berkembang, yang berhenti (arrested civilization), misalnya polynesia, eskimo dan nomade – terjadi karena ada anggota yang kreatif menanggapi aspek pertumbuhan. Ada dua aspek dalam pertumbuhan kebudayaan yaitu, aspek lahiriah (outward) yang nampak sebagai penguasaan secara progresif lingkungan luar dan aspek batiniah yang terwujud dalam penentuan diri (self determination). Penguasaan lingkungan luar dapat berupa penaklukan militer dan ekspansi geografis di satu sisi dan perbaikan teknik material dengan munculnya teknologi. Tetapi, aspek lahiriah ini disinyalir justu tidak membawa pada pertumbuhan peradaban, sebaliknya akan mengarah pada gejala jatuhnya (disintegrasi) peradaban.
2
Maka
yang menjadi penentu pertumbuhan peradaban adalah adanya penentuan diri yang progresif (proggresive self-determination). Di sini teknologi pun berperan membuka jalan tetapi 2
Pada bukunya yang lain Mankind and Mother Earth (Toynbee, 2005:29), ia menjelaskan tentang kejatuhan (descent) manusia. Kejatuhan dapat diartikan secara fisik, jatuhnya manusia hidup di atas pohon kepada hidup di tanah, dan kejatuhan secara moral ketika kesadarannya bangkit.
37
semakin manusia menguasai teknik material, mereka juga mampu menjawab tantangan spiritual. Keadaan ini yang disebut etherialization. Selanjutnya dijelaskan, bagaimana melakukannya, yaitu dengan adanya individu atau komunitas kreatif yang melakukan withdrawl and return. Artinya, individu atau komunitas kreatif ini mengundurkan diri dari kehidupan sosial dan kemudian kembali lagi ke masyarakat dengan tugas untuk memberikan terang, pencerahan kepada masyarakat. Dengan upaya ini diharapkan akan muncul upaya mengevaluasi apa yang sudah dilakukan dan inspirasi untuk mengajukan rencana masa depan yang lebih baik. Dicontohkan individu yang sudah melakukannya misalnya St. Paulus, Buddha dan juga Machiavelli. Tujuan withdrawl and return ini hanya akan tercapai bila upaya yang dilakukan oleh aktornya dapat diterima oleh masyarakat. Penerimaan masyarakat berarti diikutinya ide cemerlang yang dibawa aktor untuk diikuti oleh warga masyarakat dengan mencontoh/meniru (mimesis) (Muji Sutrisno, 2008: 111).
Penjelasan ini dapat
diibaratkan misalnya di suatu daerah tertinggal salah satu anggota masyarakatnya mengikuti pembelajaran dan pelatihan di banyak tempat dengan tujuan perbaikan masyarakat. Bila aktor ini kembali untuk memberikan pencerahan pada masyarakat dengan menularkan dan menerapkan pengalamannya maka ini adalah contoh withdrawl and return yang berhasil. Sebaliknya bila masyarakat menolak atau ide barunya tidak berkembang berarti upaya tersebut dapat dikatakan gagal. Ketika kebudayaan sudah berkembang dan maju maka dimungkinkan kreativitas aktor – yang kemudian menjadi pimpinan masyarakat – mandeg. Sayangnya, minoritas yang dulu kreatif kemudian menguasai masyarakat biasanya akan mempertahankan kekuasaannya – sering dikenal dengan mempertahankan status quo. Mandegnya kreativitas dan hasrat penggenggaman kekuasaan ini nantinya akan memunculkan disintegrasi sebagaimana dijelaskan Muji Sutrisno (2008: 113) sebagai berikut. Dalam kondisi ini disintegrasi mulai terjadi dan muncullah sempalan-sempalan (skisma) dan kelahiran kembali (palingenesis). 38
Selanjutnya kelahiran kembali berarti tantangan baru bagi pelaku budaya. Maka, sejarah akan berjalan berulang dengan mengikuti pola ini. Dari kajiannya tentang peradaban di dunia, Toynbee melihat tiga peristiwa disintegrasi yang merupakan tahap terakhir dari satu siklus yaitu:
a.
Kelompok minoritas yang menciptakan universal state
b.
Kelompok proletariat internal yang menumbuhkan universal church
c.
Pertumbuhan negara besar yang dibarengi dengan agama besar, dan kelompok proletariat eksternal memunculkan barbabarian war bands.
3. Arti perkembangan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola perkembangan atau tahap yang dijelaskan dapat dikatakan merupakan suatu keniscayaan dari suatu kebudayaan. Suatu kebudayaan akan lahir, tumbuh dan mati dengan disusul dengan lahirnya kebudayaan baru. Yang ditekankan oleh Toynbee adalah adanya pengaruh aktor kebudayaan yang dapat membuat kebudayaan tersebut mengalami progres. Melihat penjelasan mengenai tantangan dan jawaban di atas, dapat dikatakan bahwa selain aktor, besar kecilnya tantangan dapat menjadi faktor pemicu (triger) bagi pengembangan kebudayaan. Bagi Toynbee, peradaban adalah suatu gerakan atau proses, bukan suatu kondisi, suatu perjalanan bukan pelabuhan. Civilization is a movement not a condition, a voyage not a harbour (Toynbee, 1958;58).
L. Pitirim A. Sorokin (1889-1968) 1. Profil dan Karyanya Uraian profil ini merupakan hasil kompilasi dari berbagai sumber yang menulis tentang profil Sorokin dan pemikirannya antara lain dalam Http://www.bolender.com, Arif 39
Wibowo, dalam Http://staff.blog.ui.ac.id dan beberapa sumber lain yang disebut. Sumber yang ditulis paling awal merupakan sumber yang paling lengkap menjelaskan perjalanan hidup Pitirim.
Nama lengkapnya adalah Pitirim Alexandrovich Sorokin. Ia adalah ilmuwan Rusia yang lahir tahun 21 januari 1889. Ia terlahir dari keluarga pengrajin yang hidup dari sebuah desa kecil yang terpencil dan berhutan-hutan, masyarakat Komi, di wilayah propinsi bagian utara Rusia, Vologda. Masyarakatnya mencukupi kebutuhan dengan bertani, memancing ikan, mengolah kayu, dan sejenisnya. Mereka saling mencukupi kebutuhan mereka secara mandiri. Ia terbentuk menjadi seseorang dari the village Gemeinschaften of the Komi people of the northern forest. Kondisi ini akan berbeda dengan kehidupannya ketika dewasa.
Ia merupakan tiga bersaudara, yaitu Vassily, Pitirim, and Prokopiy. Ketika Pitirim berusia tiga tahun, ibunya meninggal. Adik bungsunya hidup bersama bibinya, sedangkan ia dan kakaknya tinggal bersama ayahnya. Ayahnya sangat keras dan protektif dan suatu saat mereka tidak tahan karena perlakuan kasar sang ayah. Mereka pun pergi dari rumah dan tidak pernah kembali. Pitirim dan kakaknya hidup berkeliling berbekal pengalaman sebagai perajin dari ayah mereka. Mereka menawarkan barang kepada konsumen untuk memenuhi kebutuhan hidup. Waktu ini Pitirim berusia 10 tahun dan kakaknya 14 tahun. Meskipun hidup nomaden, Pitirim sempat sekolah meskipun dikatakan secara “sporadis”, sekolah berpindah-pindah, Meskipun demikian ia mempunyai kesempatan melanjutkan sekolah di seminari dengan menerima beasiswa dari Khrenovo Teachers' Seminary, sebuah seminari di bawah Gereja Ortodox Rusia. Ia tumbuh menjadi pemuda yang menonjol dan menjadi ketua kelas. Seminari ini lebih maju dibanding yang lain dan biasa mengenalkan guru dan muridnya pada kehidupan masyarakat kota, para intelektual dan para politisi. Membaca buku, jurnal dan surat kabar menjadi santapannya.
Hidup dari dua 40
lingkungan yang berbeda menyebabkan ia tertarik pada dunia politik dan masuk anggota Social Revolutionary (Revolusioner Sosial). Kesempatan ini mengenalkannya pada lingkungan masyarakat industri dan kota besar yang Gesellschaft Rusia dan akhirnya di Amerika Serikat. Kesempatan ini mengenalkan hidupnya pada dunia politik dan intelek. Awal karir politiknya membuat ia harus ditangkap polisi dan dipenjara. Meskipun dipenjara ia bisa belajar tentang pemikiran para tokoh seperti Marx dan Engels, Kropotkin dan Lavrov, Tolstoi, Plekhanov dan Lenin, juga Darwin, Spencer, dan para evolutionis dan "progresif" lainnya. Ketika di penjara ia juga tidak kehilangan kesempatan menyelesaikan seluruh tugas semesternya. Ia dikeluarkan dari sekolah, tetapi oleh guru-guru dan temannya ia dikenal sebagai “a hero of revolution”. Tidak ada sekolah lain mau menerimanya dan juga untuk menjadi pegawai. Pitirim pun kemudian menjadi penyuara revolusi bagi para pekerja, pelajar dan buruh dan menjelma dengan nama lain “Comrade Ivan” . Ia bekerja berpindah dari satu daerah ke daerah lain sampai di daerah asalnya berkejar-kejaran dengan polisi, sampai akhirnya ia meninggalkan daerah terakhir ke Universitas St. Petersburg. Pengalamannya mendekam di penjara selama empat tahun mengarahkan Pitirim memilih spesialisasi kriminologi dan penologi ketika di Universitas St. Petersburg. Pengalamannya ditorehkan dalam tulisan akademiknya, Crime and Punishment, Service and Reward, yang dibukukan tujuh tahun setelah dipenjara. Karirnya terganggu oleh kondisi revolusi karena ia pejuang antikomunisme. Ia sempat dipenjara dan dijatuhi hukuman mati tetapi hukumannya kemudian diganti dengan pengasingan di Cekoslovakia. Beberapa tahun hidup di pengasingan kemudian pada tahun 1924 - sumber lain (www.nilaieka.blogspot.com) mengutip dari Wikipedia mengatakan tahun 1923 - ia pergi dan menetap di Amerika, melakukan naturalisasi tahun 1930. Ia memperoleh pendidikan di Universitas Petersburg, mengajar di sana dan mendirikan Departemen Sosiologi. Sorokin adalah profesor bidang sosiologi di Univeritas Minnesota (1924–1930) 41
dan di Universitas Harvard (1930–1955). Sorokin bergabung dengan Departemen Sosiologi di Universitas Harvard, kemudian ia mendirikan Center for Creative Altruism. Karya-karya Pitirim A. Sorokin antara lain: a. Social Cultural and Dynamics (1941) terdiri dari 4 volume. b.
The Crisis of Our Age (1941),
c.
Society, Culture and Personality (1947).
2. Teori Siklus Sosial: ideasional, idealitas, keinderawian Dari banyak sumber, teori perkembangan kebudayaan atau masyarakat yang diangkat oleh Pitirim banyak disebut sebagai Teori Siklus atau Teori Siklus Perubahan Sosial. Istilah ini, sebagaimana diuraikan di bagian sebelumnya juga dipakai untuk teori yang diajukan oleh Ibnu Khaldun. Teori yang diajukan Khaldun lebih melihat pada perkembangan suatu dinasti atau negara/kerajaan. Kutipan dari Wikipedi dalm Http://www.nilaieka.blogspot.com memuat penjelasan karya Sorokin sebagai berikut yang kemudian akan dijelaskan dan ditambah dengan informasi dari referensi lain.
His writings cover the breadth of sociology; his controversial theories of social process and of the historical typology of cultures are expounded in Social and Cultural Dynamics (4 vol., 1937–41; rev. and abridged ed. 1957) and many other works. He was also interested in social stratification, the history of sociological theory, and altruistic behavior. Sorokin is author of books such as The crisis of our age and Power and morality, but his magnum opus is Social and Cultural Dynamics (1937-1941). His unorthodox theories contributed to the social cycle theory and inspired (or alienated) many sociologists. In his Social and Cultural Dynamics he classified societies according to their 'cultural mentality', which can be ideational (reality is spiritual), sensate (reality is material), or idealistic (a synthesis of the two). He suggested that major civilizations evolve through these three in turn: ideational, idealistic, sensate. Each of these phases of cultural development not only seeks to describe the nature of reality, but also 42
stipulates the nature of human needs and goals to be satisfied, the extent to which they should be satisfied, and the methods of satisfaction. Sorokin has interpreted the contemporary Western civilisation as a sensate civilisation dedicated to technological progress and prophesied its fall into decadence and the emergence of a new ideational or idealistic era.
Menggeluti dunia sosiologi, Sorokin tertarik untuk mengembangkan kajian tentang stratifikasi sosial, sejarah teori sosiologi dan perilaku altruistik, yaitu perilaku yang mementingkan orang lain sebagaimana kesepadanan dengan kata ”Altruism” dalam Encarta Dictionary (2009) diartikan sebagai: al·tru·ism [áltroo ìzzəm] noun 1. selflessness: an attitude or way of behaving marked by unselfish concern for the welfare of others 2.
belief in acting for others' good: the belief that acting for the benefit of others is right and good
Yang terpenting dari pemikirannya adalah mengenai pola-pola kebudayaan atau klasifikasi tiga tipologi masyarakat dalam perkembangan budaya (Cuzzort, 1985:3). Penjelasan teoretiknya mengenai teori siklus soial meskipun sebagian kontroversial tetapi menjadi acuan bagi ahli sosiologi penerusnya. Klasifikasinya didasarkan atas tiga mentalitas budaya (cultural mentality), yaitu ideasional (ideational, yaitu bahwa reality is spiritual), keinderawian (sensate, yaitu bahwa reality is material), atau idealistik (idealistic, yaitu sistem sintesis, a synthesis of the two). Sorokin mengatakan bahwa kebanyakan kebudayaan mengikuti arus perkembangan dari ideasional, keinderawian dan idealistik. Mentalitas yang idealistik merupakan mentalitas yang mempunyai unsur ideational sekaligus sensate, suatu kombinasi. Menurut Cuzzort, bangunan atau pola ini dibuat atas dasar asumsi bahwa suatu kebudayaan sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara mendefinisikan realitas (Cuzzort, 1985:4). Dapat dikatakan bahwa dasar bagi perkembangan pola suatu kebudayaan muncul atas dasar pemahaman ontologis dalam memaknai realitas. Mentalitas pelakunya mempunyai kecenderungan pada realitas ekstrem tertentu atau bahkan kombinasinya. 43
Mengutip pendapat dari Arif Wibowo, Sorokin mengemukakan teori yang berlainan, ia menerima teori siklus seperti hukum fatum3 ala Oswald Spengler dalam karya yang berpengaruhnya Der Untergang des Abendlandes (Decline of the West) atau Keruntuhan Dunia Barat/Eropa. Spengler meramalkan keruntuhan Eropa yang didasarkan atas keyakinan bahwa gerak sejarah ditentukan oleh hukum alam. Dalil Spengler ialah bahwa kehidupan sebuah kebudayaan dalam segalanya sama dengan kehidupan tumbuhan, hewan, manusia dan alam semesta. Persamaan itu berdasarkan kehidupan yang dikuasai oleh hukum siklus sebagai wujud dari fatum. Berbeda dengan dua pemikir tersebut, Sorokin menilai gerak sejarah dengan gaya, irama dan corak ragam yang dikatakan kaya raya, dipermudah, dipersingkat dan disederhanakan sehingga menjadi teori siklus. Sorokin menyatakan bahwa gerak sejarah menunjukkan fluctuation of age to age, yaitu naik turun, pasang surut, timbul tenggelam. Ia menyatakan adanya kebudayaan universal (cultural universal) dan di dalam alam kebudayaan itu terdapat masyarakat dan aliran kebudayaan. Asumsinya, hal ini terjadi pada semua realitas kebudayaan yang berkembang. Bagaimana penjelasan tiga tipe mentalitas budaya dalam masyarakat tersebut? Arif Wibowo menguraikan sebagai berikut. Di alam yang luas ini terdapat 3 tipe yang tertentu, yaitu: a. Mentalitas ideational, mempunyai dasar pemikiran bahwa kenyataan itu bersifat nonmaterial, transenden dan tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Dunia dianggap sebagai suatu ilusi, sementara, dan tergantung pada dunia transenden atau sebagai aspek kenyataan yang tidak nyata, tidak sempurna, tidak lengkap. Kenyataan adalah sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan atau nirwana. Kata kuncinya adalah kerohanian, ketuhanan, keagamaan, kepercayaan. Tuhan merupkan realitas tertinggi. Sistem ini terbagi atas:
3
Fatum adalah kekuatan gaib, disebut juga qadar atau nasib. Semua alam baik manusia (mikrokosmos) maupun alam raya (makrokosmos) akan berjalan melalui proses siklus sesuai ketentuan-ketentuan yang ditetapkan fatum tersebut (Moh Ali dalam Toto Suharto, 2003: 93).
44
Ideasional asketik, yaitu mengurangi kebutuhan duniawi supaya mudah diserap ke dalam dunia transenden.
Ideasional
aktif,
yaitu
mengurangi
kebutuhan
duniawi
sekaligus
mengubahnya agar selaras dengan dunia transenden.
b. Mentalitas sensate, dasar pemikirannya adalah dunia materiil yang ada di sekitar kita adalah satu-satunya kenyataan yang ada. Keberadaan kenyataan yang adi inderawi atau yang trasenden disangkal. Kata kuncinya adalah serba jasmaniah, mengenai keduniawian, berpusat pada panca indera. Sistem ini terbagi atas:
Inderawi aktif, yaitu usaha aktif untuk mengubah dunia fisik guna memenuhi kepuasan dan kesenangan manusia.
Inderawi pasif, yaitu menikmati kesenangan duniawi tanpa memperhatikan tujuan jangka panjang.
Inderawi sinis, yaitu pengejaran tujuan duniawi dibenarkan oleh rasionalisasi idealistik.
c. Mentalitas ideational-sensate, atau idealitas/idealistis. Dasar pemikirannya adalah perpaduan antara kedua mentalitas Ideational dan Sensate. Kata kunci adalah kompromi. Hal ini dapat dipahami sebagai adanya pandangan bahwa realitas ada yang sifatnya transenden dan ada yang jasmaniah. Keduanya melingkupi kebidupan manusia dalam relaitas budaya. Sistem ini terbagi menjadi :
Kebudayaan Idealistis, dasar pemikiran antara ideational dan sensate secara sistematis dan logis saling berhubungan.
45
Kebudayaan Ideasional Tiruan, kedua dasar pemikiran antara ideasional dan sensate saling berlawanan tidak teritegrasi secara sistematis namun hidup berdampingan.
3. Arti perkembangan: ideasional-idealistik-keinderawian Pola-pola kebudayaan yang dibangun Sorokin ini dikatakan bersifat pasang-surut. Apabila sifat ideational dipandang lebih tinggi dari sensate dan sifat idealistic ditempatkan di antaranya, maka terdapat gambaran naik-turun, timbul-tenggelam dan pasang-surut. Dalam gerak sejarah tidak menunjukkan irama dan gaya yang tetap dan tertentu. Dikatakan oleh Arif Wibowo, Sorokin dalam menafsirkan gerak sejarah tidak mencari pangkal gerak sejarah atau muara gerak sejarah, tetapi ia hanya melukiskan prosesnya atau jalannya gerak sejarah. Lebih lanjut, Cuzzort menjelaskan bahwa gerakan sejarah atau realitas kebudayaan berkembang bolak-balik antara dunia dengan mentalitas ideasional dan keinderawian. Masing-masing “kutup” mempunyai efeknya sendiri sehingga ibarat pendulum, perjalanan sejarah akan mengarah ke kutub yang lain. Menurutnya, kebudayaan inderawi dapat saja banyak membuat ekses atau akibat negatif dan dunia ideasional dapat juga berbuat salah.
Ideational-Sensate (idealistik) Ideational (Rohani)
Sensate (Keinderawian)
Melihat perkembangan dunia pada waktu itu (1937), ia menengarai bahwa waktu itu sudah ada kecenderungan mentalitas keinderawian modern. Ekses negatifnya tentu saja sudah nampak. Maka ia meramalkan suatu kejatuhan atau reformasinya. Ia kemudian mengajukan 13 persyaratan bagi jatuhnya dunia dengan mentalitas keinderawian ini (Cuzzort, 1985:1617). Konsepnya yang mengkritik tajam perkembangan dunia modern inilah kiranya yang 46
membuat karyanya ini menjadi sangat kontroversial dan mendapat tentangan banyak pihak. Antara lain karena pemikirannya yang menghebohkan ini, maka Sorokin menyebutnya sebagai ”cerita” yang paling mempesona (Cuzzort, 1985:3).
M. Julian H. Steward (1902-1972) 1. Profil dan karyanya Profil ini dikuti dari The New Columbia Encyclopedia (1975). Jullian Haynes Steward, seorang Antropologis Amerika, dilahirkan di Washington DC tahun 1902. Lulus dari Cornell University tahun 1925 dan mendapat gelar Ph.D dari University of California tahun 1929. Ia mengajar di University of Michigan (1928-1930), University of Columbia (1946-1952), dan University of Illinois mulai 1952 dan beberapa universitas lain. Steward adalah antropologis di Smithsonian Institution dan direktur Institute of Social Antropology. Ia menjadi salah satu eksponen evolusi budaya di Amerika Serikat dan memiliki kontribusi penting bagi studi organisasi sosial dan etnografi Amerika Utara. Karya-karyanya antara lain: a. North American Culture (1948) b. Area Research: Theory and Practice (1950) c. Theory of Culture Change (1955)
2. Pemikirannya: evolusi Budaya Pemikiran Steward tentang budaya dimulai dengan mengajukan istilah evolusi budaya (cultural evolution). Ia membedakan antara evolusi pada makluk hidup atau organisme seperti manusia, tumbuhan dan binatang dengan evolusi yang terjadi pada budaya, atau boleh jadi juga bisa dikaitkan dengan istilah evolusi sosial. Steward (1955:13) menjelaskan pemahamannya: 47
Cultural evolution is extension of biological evolution only in chronological sense (Huxley, 1952), The nature of the evolutionary schemes and of the developmental processes differs profoundly in biology and in culture. In biological evolution it is assumed that all forms are genetically related and that their development is essentially divergent. ........In cultural evolution, on the other hand, it is assumed that cultural patterns in different parts of the world are genetically unrelated and yet pass through parallel sequences.
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa menurut Steward, evolusi biologis dan budaya secara kronologis sama tetapi bentuk-bentuk penyusunnya mempunyai fungsi yang berbeda. Pada evolusi biologis, bentuk-bentuk penyusun terkait satu sama lain sedangkan pada evolusi budaya, aspek-aspeknya
di seluruh bagian dunia berbeda satu sama lain dan
tidak saling berhubungan. Mungkin dengan meminjam istilah filsuf lain, setiap kebudayaan bersifat unik. Yang pertama, satu kecenderungan ke arah peningkatan kompleksitas bentuk dan yang kedua adalah perkembangan kepada bentuk yang lebih superior, lebih lengkap, suatu perkembangan atau kemajuan (development or progress) (Steward, 1955: 12-13). Meskipun demikian, dikatakan bahwa kompleksitas di antara keduanya berbeda. The process of cultural development is an additive therefore accumulative one, whereas the process of organic evolution ia asubtitutive one. Proses biologis bersifat mengganti karena pada umumnya makluk biologi akan mati tetapi kemudian akan muncul entitas baru yang lebih sempurna. Sementara proses budaya dikatakan sebagai penambahan, akumulasi. Hal ini dapat dipahami karena setiap kebudayaan yang tumbuh akan didukung oleh banyak anggota masyarakat yang hidup saling bergantian. Akibatnya, akan terjadi proses pewarisan dari satu generasi ke generasi yang baru. Bagi Steward, perkembangan atau kemajuan (progress) merupakan satu ciri dari bentuk perubahan budaya, apakah itu dipertimbangkan bersifat evolutif atau tidak. Ia juga mengajukan beberapa istilah khusus mengenai hukum budaya yaitu unilinier evolution, universal evolution dan multilinier evolution (Steward, 1955: 14).
48
3. Arti perkembangan: kemajuan (progress) Bagi Steward arti perkembangan kebudayaan adalah kemajuan (progress). Hal ini diasumsikan bahwa kebudayaan yang hidup di dalam suatu masyarakat normalnya akan mengalami perkembangan. Steward tidak mencoba menilik kemungkinan adanya proses budaya yang mandeg sebagaimana Toynbee.
N. Cornelis A. van Peursen (1920-199--) 1. Profil dan Karyanya Nama lengkapnya Cornelis Anthonie van Peursen. Lahir 8 Juli 1920 di negeri Belanda. Ia belajar Hukum dan Filsafat di Leiden dan meraih gelar Doktor di bidang Filsafat. Pada tahun 1948-1950 ia menjabat sebagai wakil ketua hubungan internasional pada Kementerian Pendidikan Belanda. Tahun 1950-1953 menjadi Lektor Filsafat di Universitas Negeri Utrecht, selanjutnya 1953-1960 menjadi Guru Besar Filsafat di Universitas Negeri Groningen dan setelahnya di (universitas) Leiden. Sejak tahun 1963 ia juga menjadi Guru Besar Luar Biasa dalam bidang epistemologi di Universitas Kristen Amsterdam (VU) - Vriej University (?). Peursen juga pernah menjadi dosen tamu di Oxford, Munchen, Wina, Roma, Johanesburg, New Delhi, Tokyo, Manila, Princeton dan California. Beberapa kali memimpin penataran dosen dan persiapan pembukaan fakultas. Sampai tahun 1990 masih menyelesaikan pembimbingan disertasi Damardjati Supadjar di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Karya-karyanya antara lain: a.
Lichaam, ziel en geest (Badan, Jiwa dan Roh), yang juga diterjemahkan dalam berbagai bahasa yaitu Prancis, Jerman, Inggris, Spanyol, Jepang dan Korea.
b.
Strategie van de Cultuur atau Strategy of the Culture, atau Strategi Kebudayaan.
Uraian profil ini dikutip dari buku Strategi Kebudayaan (Peursen, 1992).
49
2. Tiga tahap perkembangan dan strategi kebudayaan Konsep kebudayaan van Peursen dapat diurai sebagai berikut. a. Filsafat kebudayaan dan pergeseran makna kebudayaan Peursen (1992:10-11) mempunyai pandangan khas tentang filsafat kebudayaan dan pergeseran pemahaman tentang kebudayaan. Ia mengatakan bahwa filsafat kebudayaan bukan lagi suatu tujuan tersendiri, melainkan sebuah alat atau sarana. Menurutnya, merenungkan kebudayaan bukan semata-mata sebuah usaha teoritis melainkan menyediakan sarana-sarana yang dapat membantu untuk memaparkan suatu strategi kebudayaan untuk masa depan. Manusia modern haruslah dibuat sadar untuk ikut secara aktif memikirkan dan merencanakan arah yang akan ditempuh oleh suatu kebudayaan yang manusiawi. Baginya, pengertian kebudayaan mengalami pergeseran dari istilah yang mengacu pada masyarakat ”berperadaban tinggi” atau disebutnya ”bangsa-bangsa berbudaya” kepada ”bangsa-bangsa alam” yang lebih primitif. Istilah yang mengacu pada pendapat pertama meliputi segala manifestasi kehidupan manusia yang berbudi luhur dan berisifat rohani. Yang termasuk dalam hal ini misalnya agama, kesenian, ilmu pengetahuan, filsafat, dan tata negara. Pergeseran menuju pada kebudayaan meliputi semua perbuatan manusia, bagaimana manusia menghayati kematian, kelahiran, seksulitas, pertanian, perburuan, pengolahan makanan, sopan santu ketika makan, cara membuat alat, cara menghias rumah dan badannya dan banyak hal lagi. Apa yang dikelompokkan dalam agama, kesenian dan ilmu pengetahuan juga merupakan kebudayaan. b.
Dari kata benda ke kata kerja Pergeseran kedua, menurutnya terjadi
dalam isi konsep kebudayaan. Sekarang ini
kebudayaan lebih dilihat sebagai sesuatu yang dinamis, bukan kaku dan statis. Terjadi perubahan pandangan dari kebudayaan sebagai kata benda kepada kebudayaan sebagai kata kerja. Tidak lagi kebudayaan dianggap sebagai koleksi barang termasuk artefak bukti pernah 50
adanya suatu kegiatan, tetapi kebudayaan dihubungkan dengan kegiatan manusia membuat alat dan senjata, tata cara upacara tari-tarian dan mantera, tata cara ritual, cara mendidik dan memperlakukan orang, aneka pola kelakuan erotik manusia, sidang parlemen, resepsi pernikahan dan kegiatan-kegiatan lain yang menunjukkan ekspresi manusiawi. Kebudayaan merupakan ceritera tentang perubahan-perubahan riwayat manusia yang memberi wujud baru pada pola kehidupan yang sudah ada. c. Imanensi dan Transendensi Istilah khas lain dari Peursen adalah imanensi dan transendensi. Istilah ini agak lain maknanya dengan apa yang secara awam diketahui. Awam memahami, terutama istilah transendensi
berkaitan
dengan
istilah
spiritual-religi.
Tetapi
Peursen
memberikan
pemahamannya sendiri. Menurut Peursen (1992: 13), kebudayaan merupakan ketegangan antara imanensi dan transendensi, dan hal tersebut dapat dipandang sebagai ciri khas kehidupan manusia seluruhnya. Hidup manusia berlangsung di dalam proses kehidupan (imanensi), yaitu proses yang mengikuti kehendak alam. Tetapi juga muncul dari adanya yang imanen tersebut suatu upaya untuk menilai dan mengevaluasi alam itu sendiri (transendensi), artinya manusia tidak membiarkan dirinya hanyut terbawa irama alam melainkan ia dapat melawan dengan suara hatinya. Manusia akan menilai dan mengevaluasi alam sekitarnya termasuk apa yang dilakukannya, dari apa yang bernilai tinggi seperti ilmu pengetahuan, kesadaran moral, kesadaran sosial, keyakinan religius termasuk hal yang jasmaniah misalnya seksualitas. Evaluasi akan norma yang berlaku di lingkungan budaya tertentu mulai diintensifkan. Pada bagian lain bukunya (Peursen, 1992:24) ia mengatakan bahwa konsep bagan tiga tahap yang akan diuraikan di bawah hendaknya dipandang sebagai sarana untuk pengarahan praktis. Imanensi dan transendensi adalah urusan praktis ketegangan antara sikap terbuka (transendensi) dan sikap tertutup (imanensi dalam pertautan antara manusia dan kekuasaan51
kekuasaan sekitarnya. Kekuasaan di sini diartikan sebagai kekuaran-kekuatan yang menyodorkan diri dan menguasai di dalamnya adalah alam semesta, pola-pola sosial, teknik, seksualitas, kebahagiaan, hal religiusitas. Prinsipnya adalah hal yang bukan pribadi, datang dari luar dan mempengaruhi kita manusia. Manusia harus mampu mengelola diri dan bersikap, kapan harus membuka diri dengan transendensi dan kapan harus menutup diri dan mengikuti apa yang dikatakan lingkungan. Manusia harus mampu mengelola pasang-surut tersebut sehingga Peursen mengatakan bahwa kebudayaan merupakan sekolah umat manuisa dan merupakan ”pendidikan terus-menerus”. d. Bagan tiga tahap dan strategi kebudayaan Dalam rangka memetakan kehidupan manusia dalam budaya, Peursen menawarkan konsep yang disebut ”bagan tiga tahap”. Pada prinsipnya, perkembangan kebudayaan atau masyarakat dapat dikerangkakan dalam tiga tahap yaitu tahap mitis, ontologis dan fungsional. Pandangan ini merujuk pada perjalanan sejarah umum manusia. Tiap tahap mempunyai keunikannya sendiri, dan di dalamnya memuat hal negatif. Karena aspek negatif inilah maka kemudian muncul tahap berikutnya. Bagan tiga tahap perkembangan kebudayaan dalam sejarah manusia adalah sebagai berikut. 1). Tahap Mitis Tahap mitis ialah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleg kekuatankekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa, alam raya atau kekuasaan kesuburan seperti dipentaskan dalam mitologi bangsa primitif. Menurutnya, dalam kebudayaan modern pun sikap ini masih dapat ditemui (Peursen, 1992:18). Hal negatif dari tahap ini adalah adanya praktik magi (Peursen, 1992: 21). 2). Ontologis Tahap ontologis adalah sikap manusia yang tidak lagi hidup dalam kepungan kekuasaan mitis, tetapi secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil j arak 52
tentang segala sesuatu menurut perinciannya. Pada tahap ini berkembang ilmu-ilmu. Tahap ontologis berkembang pada
lingkungan kebudayaan kuno yang sangat
dipengaruhi filsafat dan ilmu pengetahuan. (Peursen:192: 18). Aspek negatif dari tahap ini adalah substansialisme (peursen, 1992:21). 3). Fungsional Tahap fungsionil adalah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern. Manusia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya seperti tahap mtis, manusia juga tidak lagi dengan kepala dingin mengambil jarak terhadap objek penyelidikannya seperti pada sikap ontologis. Manusia mulai mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya (Puersen, 1992:18). Pada tahap ini muncul aspek negatif yaitu operasionalisme (Peursen, 1992:21). Dengan adanya konsep tahap perkembangan kebudayaan ini maka diharapkan ada suatu pemahaman akan kebudayaan yang bersifat aktif. Manusia harus melakukan sesuatu bagi kebudayaannya dan menentukan arah kebudayaan masa depan. Menurut Peursen, kebudayaan jangan dipandang sebagai sebuah titik tamat atau keadaan yang sudah tercapai, melainkan terutama sebagai sebuah petunjuk jalan, sebuah tugas. Kebudayaan diibaratkan sebuah cerita yang belum tamat, yang masih harus disambung. Pemetaan perkembangan kebudayaan diperlukan untuk melukiskan kebudayaan secara skematis dan untuk dapat melihat wajah kebudayaan sehingga kita dapat mempengaruhi proses yang sedang berjalan. Ibarat orang mau memperbaiki mesin akan ia harus terlebih dahulu tahu bagaimana mesin tersebut berjalan (Peursen, 1992:13). e. Perlunya sikap inventif dan nilai etis Bagaimana merancang perjalanan kebudayaan berikutnya, maka perlu ada ide-ide baru yang disebut inventivitas. Manusia pelaku budaya perlu mempunyai ”sikap inventif dan 53
fleksibel”. Manusia sudah merancang kehidupan masa depan maka diharapkan masa depan itu akan berkembang lebih baik bagi manusia. Maka Peursen mengungkapkan perlunya etis, suatu nilai dapat mengendalikan efek-efek perkembangan kebudayaan modern. Masa depan hendaknya diisi secara etis (Peursen, 1992:232).
3. Arti Pentahapan Tiap tahap ke tahap lain tidak berarti mengalami peningkatan, tetapi berlainan sifatnya. Setiap tahap ada sisi negatifnya (Peursen, 1992:21). Dengan melihat tahap-tahap tersebut maka manusia mencari jalan baru bagi masalah lama. Manusia mencari policy baru mengenai kebudayaan yang sedang dijalani, sama sepeti dibuat oleh manusia jaman dulu (Peursen, 1992:19).
54
BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Kesimpulan Berdasarkan eksplorasi yang sudah dilakukan, terdapat beberapa pemikiran yang relatif mirip. Meskipun demikian, pemikiran tersebut mempunyai kekhasannya sendiri tergantung pada ranah yang menjadi basis kajian. Khaldun misalnya, mengungkapkan perkembangan sejarah atau peradaban atas dasar perjalanan sebuah dinasti. Pemikir yang lain melihat perkembangan dengan menyamakan eksistensinya dengan suatu perkembangan organisme. Sebagian pemikir juga melihat perjalanan sejarah sebagai satu paket (setting), tetapi lainnya melihat kemungkinan perkembangan pada tahap selanjutnya. Cukup beragam, dan itu memperkaya wawasan tentang bagaimana sebenarnya perkembangan suatu masyarakat.
2. Rekomendasi Penelitian ini masih dasar, ibarat orang membuat lapangan, baru terlihat luasnya dan itupun belum final diketahui berapa sebenarnya luasnya. Penelitian ini belum lengkap mengingat masih ditemukan beberapa pemikiran yang relatif paralel dengan teori-teori yang diangkat. Di samping itu kajian yang lebih mendalam dengan mencari referensi yang lebih bermutu perlu juga dilakukan. Maih ditemukan nama-nama yang belum tereksplorasi baik karena minimnya sumber maupun keterbatasan waktu. Dalam perjalanan penelitian ini ditemukan nama seperti George Gudorf yang mengangkat istilah kesadaran mitik, kesadaran eksistensial dan kesadaran intelektual, yang nampak senada dengan teori perkembangan C.A. van Peursen. Hanya saja, karena setelah dilacak tidak ditemukan cukup referensi maka
55
eksplorasi pemikiran tokoh ini dibatalkan. Perlu dilacak lebih lanjut kebenaran nama yang memungkinkan tidak dikenalnya informai mengenainya. Meskipun tujuan penelitian ini relatif sudah tercapai tetapi hasil penelitian perlu diperkaya lagi. Masih dangkalnya kajian maka perlu dilanjutnya dengan kajian yang lebih luas dan mendalam. Analisis yang lebih serius perlu dilanjutkan, baik dari masing-masing tokoh maupun melakukan komparasi atau analisis apa pun terkait dengan pemikiran para tokoh yang diangkat dalam penelitian ini.
56
DAFTAR PUSTAKA Armaidy Armawi, 2010, ” Kajian Filosofis terhadap Tiga Strata Pemikiran Budaya C.A. van Peursen”, Laporan Penelitian Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. Budiono, 2005, “Kasus Hukum dam Perspektif Teori Kebudayaan C. A. van Peursen (Studi Kasus Kawin Selarian dan Penyimpangan Seksual di Lombok tengah”, Skripsi pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair, 1990, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet. ke-4, Kanisius, Yogyakarta. Cuzzort, Ray P. dan Edit W. King, 1985, Kemelut Era Kita dalam Pandangan Pitirim A. Sorokin, Saduran: Mulyadi Guntur Waseso, YP2LPM, Malang. Devina Whike Rahmanida, 2010, “Perkembangan Fungsi Bangunan Pesanggrahan Taman Sari dalam Perspektif Tahap Kebudayaan C. A. van Peursen”, Skripsi pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. Farid, 1996, “ Tiga Tahap C.A. van Peursen”, Laporan Penelitian Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. Hermansyah, 1985, “Perkembangan Nilai-nilai Budaya Menurut C.A. van Peursen”, Skripsi pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. Ibnu Khaldun, 1982, Mukaddimah Jilid I, Alih Bahasa: Tk. Ismail Yakub, CV Faizah, Jakarta Peursen, C.A. van, 1992, Strategi Kebudayaan, Alih Bahasa: Dick Hartoko, Kanisius, Yogyakarta. Pramono Ekayanto, 1994, “Filsafat Sosial Auguste Comte”, Skripsi pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. Koento Wibisono, 1982, “Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte”, Disertasi pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. Koentjaraningrat, 1990, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta. Salahudin, 2003, “Pembangunan di Era Orde Baru dalam Perspektif Positivisme Auguste Comte”, Skripsi pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. Sartini, 1995, “ Pengaruh Konsep Hukum Tiga Tahap Auguste Comte terhadap Konsep Bagan Tiga Tahap van Peursen”, Laporan Penelitian Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. Shodiq, 1991, “Pandangan Positivisme Auguste Comte tentang Agama”, Skripsi pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. Steward, Julian H., 1955, Theory of Culture Change, University of Illinois Press, Urbana. 57
Sumaryono, E. 1993, Hermeneutik, Kanisius, Yogyakarta. Teguh Sunaryo, 1990, “Perkembangan Menurut C. A. van Peursen dalam Perspektif Filsafat Sejarah”, Skripsi pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. Toto Suharto, 2003, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, Fajar Pustaka Bau, Yogyakarta. Muji Sutrisno, 2008, Filsafat Kebudayaan Ikhtisar Sebuah Teks, Hujan Kabisat, Jakarta. Muslih, 1993, “Totalitas Kemanusiaan dalam Kebudayaan Fungsional Menurut van Peursen”, Skripsi pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. Toynbee, Arnold, 2005, Sejarah Umat Manusia, Judul asli: Mankind and Mother Earth, Alih bahasa: Agung Prihantoro dkk., cet, ke-2, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. --------------------. 1959, Civilization on Trial, Meridian Books, New York. --------------------, 1956, A Study of History, Oxford University Press, London. Wiji Saksono, 1991, “Ketegangan antara Imanensi dan Transendensi dalam Kebudayaan Menurut C. A. van Peursen”, Skripsi pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. Sumber lain: Arif Wibowo, “Pitirim A Sorokin”, dalam Http://staff.blog.ui.ac.id, ----------------, ”Teori Siklus Perubahan Sosial”, dalam Http://staff.blog.ui.ac.id, NN, “Arnold J. Toynbee”, “Oswald Spengler”, dalam Http://aton29.wodrpress.com NN, “Teori Siklus Pitirim Sorokin”, dalam Http://nasherooy.blogspot.com, Senin, 03 Mei 2010, NN, “Biografi Pitirim A. Sorokin”, www.nilaieka.blogspot.com dari Wikipedia NN, 2010, “Life Circle of Culture From Oswald Spengler”, dalam Http://itsnasahma.blogspot, The New Columbia Encyclopedia ,1975, Columbia University Press. Microsoft Encarta Ensiklopedia, 2009.
58