LAPORAN AKHIR KAMPANYE BANGGA KONSERVASI TAMAN NASIONAL LAUT WAKATOBI SULAWESI TENGGARA, INDONESIA
Partisipasi Kampanye Pride dalam Festival Budaya Wakatobi
La Ode M. Saleh Hanan The Nature Conservancy 2008-2009 Magister Profesi Pendidikan Konservasi Institur Pertanian Bogor Cohort 2 “Magic 7”
DESKRIPSI KAWASAN TARGET 1.1.
Pendahuluan
”Ambil Ikannya tinggalkan karangnya” (lagu maskot kampanye pride di pulau Kapota). Nama kepulauan Wakatobi diambil dari singkatan pulau-pulau utama berpenghuni di dalam gugusan ini yakni pulau Wangi-Wangi (Wa), pulau Kaledupa (Ka), pulau Tomia (To), pulau Binongko (Bi). Selain keempat pulau tersebut masih ada pulau Kapota di Wangi-Wangi; Lentea, Darawa dan Hoga di Kaledupa; Tolandona dan Runduma di Tomia yang berpenghuni meskipun lebih kecil ukuran pulaunya. Dalam peta dan literatur nasional kepulauan ini sebetulnya memiliki nama resmi Kepulauan Tukang Besi. Kepulauan Wakatobi tahun 2003 berdiri menjadi sebuah kabupaten terpisah dari kabupaten Buton. Wilayah kabupaten persis sama dengan wilayah Taman Nasional Wakatobi yang ditunjuk pemerintah pada tahun 1996. Perairan Kepulauan Wakatobi berada pada wilayah “Coral Triangle” atau wilayah ”pusat” segitiga terumbu karang dunia. Memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati lainnya (termasuk ikan) tertinggi di dunia. Kawasan segitiga terumbu karang dunia meliputi Philipina, Indonesia sampai kepulauan Solomon. 1.2.
Karakteristik Fisik Kawasan
1.2.1. Batasan Lokasi Kepulau Wakatobi berada pada jazirah tenggara propinsi Sulawesi Tenggara memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : wilayah bagian utara dan timur berbatasan dengan laut Banda, bagian barat dan selatan berbatasan dengan laut Flores. Lokasi target kampanye ‘Pride’ adalah pulau Kapota yang terdiri dari 5 desa yakni desa Wisata Kolo, desa Kabita, desa Kabita Togo, desa Kapota, dan desa Kapota Utara. Pulau Kapota adalah salah satu pulau dalam kompleks kepulauan Wangi-Wangi.
1.2.2. Topografi pulau dan Laut Pulau-pulau dalam gugusan kepulau Wakatobi memiliki topografi datar sampai berbukit dengan puncak tertinggi 250 meter dari permukaan laut.
1
Topografi laut Wakatobi umumnya datar dilepas pantai, dan di luar karang tepi dan daerah gosong merupakan tubir terjal. Dari hasil citra landsat dasar perairan laut merupakan gabungan jurang dan gunung-gunung bawah laut dengan variasi kedalaman 250 – 5000 meter (masuk perairan laut Banda). Empat pulau utama memiliki luas sebagai berikut : Pulau Wangi-wangi 156,5 km2; Pulau Kaledupa 64,8 km2; Pulau Tomia 52,4 km2, Pulau Binongko 98,7 km2. Khusus pulau Kapota memiliki luas . 30,4 km2... dengan topografi berbukit dibagian barat dan tengah, bagian timur dan selatan merupakan dataran rendah. 1.2.2. Kondisi Hidrogeologis Sebagaimana karakter pulau-pulau atol, pulau-pulau di kawasan Wakatobi kekurangan sumber air tawar. Sumber air tawar berada didalam gua-gua atau celah batu dan sumur gali yang umumnya mengalami infiltrasi air laut pada saat pasang surut. Pulau-Wang-Wangi merupakan pulau dengan sumber air gua alam terbanyak. Sumber air lainnya adalah sungai Tindoi yang merupakan sungai musiman di pulau Wangi-wangi. Dari sekian pulau yang berpenghuni pulau yang memiliki sumber air paling minim adalah pulau Binongko, pulau Runduma, pulau Tomia, pulau Tolandona.
Kepulauan Wakatobi keseluruhan memiliki 39 pulau, 3 gosong dan 5
atol. Terumbu karang terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan atol. Dari proses pembentukannya, atol yang berada di sekitar kepulauan Wakatobi berbeda dengan atol daerah lain. Atol yang berada di kepulauan ini terbentuk oleh adanya penenggelaman dari lempeng dasar. Terbentuknya atol dimulai dari adanya kemunculan beberapa pulau yang kemudian diikuti oleh pertumbuhan karang yang mengelilingi pulau. Terumbu karang yang ada di sekeliling pulau terus tumbuh ke atas sehingga terbentuk atol seperti beberapa atol yang terlihat sekarang, antara lain Atol Kaledupa, Atol Kapota, Atol Tomia.
2
1.3.
Gambaran Masyarakat dan Ekonomi
1.3.1. Demografi dan Populasi Jumlah penduduk Wakatobi sekitar 100 ribu jiwa. Penduduk mayoritas adalah suku Buton dan sekitar 6 ribu jiwa terdiri dari orang Bajo. Kampanye Pride fokus sasarannya adalah masyarakat di 5 desa di pulau Kapota dengan komposisi jumlah sebagai berikut : Desa Kolo 689 jiwa. Desa Kapota 1.255 jiwa Desa Kabita 1.094 jiwa Desa Kapota Utara 827 jiwa Desa Kabita Togo 513 jiwa
1.3.2. Ekonomi Mayoritas penduduk Wakatobi bekerja sebagai petani, nelayan dan pedagang. Kegiatan pertanian umumnya budidaya tanaman pangan yakni ubikayu (singkong) dan jagung. Masa panen tanaman ubi kayu 1 – 3 tahun, ditanam pada tanah yang berada di sela-sela batu. Disamping bertani pada lahan daratan, mereka juga melakukan budidaya rumput laut dan bermata pencaharian sebagai nelayan. Alat tangkap yang digunakan umumnya jaring, bubu, sero, pancing. Khusus masyarakat Bajo kegiatan mata pencaharian utamanya adalah sebagai nelayan. Sebagaian kecil masyarakat Bajo (sekitar 40 – 60 KK) penambang karang dan pasir laut pada perairan yang sekaligus dimanfaatkan sebagai tempat-tempat mencari ikan bagi para nelayan. Kegiatan perdagangan dilakukan antar pulau menggunakan kapal bermotor atau perahu layar sebagai sarana angkut. Para pedagang Wakatobi biasanya mengangkut barang-barang dari Singapura, Malaysia dan P. Jawa untuk didistribusikan di Wakatobi maupun pulau-pulau lainnya kawasan timur Indonesia. Khusus penduduk pulau Kapota terdapat kelompok masyarakat pengrajin dinding bambu atau jelaja, kerajinandan mata pencaharian yang tidak dilakukan penduduk Wakatobi lainnya.
3
1.3.3. Sosial Budaya Penduduk kepulauan Wakatobi adalah suku Buton. Suku Buton adalah salah satu suku lokal Sulawesi Tenggara disamping suku Moronene, Tolaki, Mekongga, dan Muna. Suku Buton sendiri menyebar pada beberapa tempat yakni, pulau Buton, pulau Muna, dan kepulauan Wakatobi dan terdiri dari puluhan sub antropologis. Suku Buton yang menghuni Wakatobi umumnya dikenal dengan sebutan Orang Pulo atau Buton Pulo, bahasa yang digunakan disebut bahasa Liwuto Pasi. Liwuto artinya kampung sedangkan pasi artinya karang (Abubakar, 2000). Selain suku Buton, pada laut pesisir pulau Wang-Wangi, Kaledupa dan Tomia bermukim suku Bajo. Kehadiran suku Bajo di Wangi-Wangi menurut sumber-sumber lisan merupakan migrasi dari pemukiman Bajo Mantigola di pantai barat Kaledupa karena adanya gangguan pemberontakan DI/TII. Komunitas Bajo saat ini di Wangi-Wangi sudah bercampur dengan Bajo pendatang baru dari Sulawesi Selatan (disebut Bajo Bugis), dan sebagian dari Kupang, Togian, Muna, dan Kendari. Perbedaan antara Bajo Wakatobi dan pendatang adalah, Bajo Wakatobi dapat menggunakan Bahasa Wakatobi sementara Bajo pendatang jarang yang mengetahui bahasa Wakatobi. Orang Wakatobi daratan jarang menyebut Bajo sebagai suku tetapi menyebutnya dengan Orang Bajo saja. Secara keseluruhan kelompok bahasa yang digunakan penduduk Wakatobi adalah bahasa Pulo yang terdiri dari beberapa dialek. Di Wangi-Wangi terdiri dari dialek Liya, Wanci, Mandati, dan Kapota. Pulau kaledupa terdiri dari dialek Langge, Buranga. Pulau Tomia terdiri dari dialek Timu, Tongano, Onemay. Sedangkan di pulau Binongko terdiri dari dialek Popalia dan Palahidu. Masyarakat pulau Binongko pantai timur dan selatan menggunakan bahasa Cia-Cia. Kelompok bahasa Cia-cia sebenarnya merupakan bahasa yang dipergunakan penduduk bagian selatan dan timur pulau Buton (disebut Orang Cia-Cia). Antara dialek dalam kelompok bahasa Pulo terdapat perbedaan beberapa suku kata. Komunitas Bajo menggunakan bahasa tersendiri yakni bahasa Bajo. Secara keseluruhan penduduk Wakatobi baik yang Orang Pulo maupun Orang Bajo menganut agama Islam. 1.3.4. Gambaran spesifik sosial budaya masyarakat desa target kampanye Pride
Kompleks kepulauan Wangi-Wangi secara adat terbagi dalam tempat kadie yakni wilayah adat Kapota, Mandati, Liya dan Wanci. Masyarakat adat Mandati, Wanci bermukim di pulau
4
Wangi-Wangi dan rumpun adat Liya bermukim di pulau Wangi-Wangi dan Kapota.
Dengan
demikian pulau Kapota sebagai lokasi pride terbagi dalam dua komunitas yang disebut orang Kapota (meliputi desa Kabita, Kabita Togo, Kapota dan Kapota Utara) dan orang Liya (meliputi desa Kolo). Belakangan penduduk Kolo sudah bercampur dengan pendatang nelayan Bugis, Bajo dan desa-desa di rumpun Kapota setelah melakukan hubungan perkawinan dengan orang Liya di Kolo. Jarak pulau Kapota dan pulau Wangi-Wangi sekitar 3 mil laut dengan kondisi dangkal pada bagian selatan dan laut dalam di bagian timur dan utara pantai Kapota. Diantara pulau Kapota dan Wangi-Wangi inilah bermukim suku Bajo, tepatnya dilaut yang merupakan wilayah adat Mandati. Bajo merupakan mayoritas pengguna sumber daya di pesisir pulau Kapota. Sarana pendidikan yang ada di pulau Kapota terdiri dari 1 SD di desa Kolo, 1 SD di desa Kabita, 1 SD di desa Kapota, 1 SD di desa Kapota Utara, 1 buah SMP di desa Kapota Utara, 1 buah SMP satu atap di desa Kolo dan 1 buah SMA di Kapota Utara. Masyarakat desa target pride sangat menghormati tradisi leluhur. Di pulau Kapota sendiri terdapat kompleks benteng yang dikeramatkan warga dengan nama Togo Molengo yang berarti kampung lama, berada di daerah bukit (100 dpl). Benteng itu terdiri dari susunan batu, terdapat makam yang diyakini sebagai leluhur orang Kapota. Konon setiap kampung mengalami masalah pelik seperti wabah penyakit, kemarau berkepanjangan, kesulitan pangan, panen rusak atau musim berombak, bahkan ketika sanak saudara mereka berada dalam situasi bermasalah di rantau orang, warga Kapota sering menggunakan kompleks tersebut untuk berdoa kepada Allah SWT (doa ditempat-tempat keramat dalam bahasa lokal disebut ammala). Disamping itu laut di tanjung barat laut pulau Kapota yang disebut saru-sarua dipandang sebgai tempat keramat. Sementara di pantai selatan pulau Kapota terdapat situs yang diyakini sebagai tempat shalat Lakina Liya (raja Liya yang berkuasa di awal abad 20). Kesenian daerah yang sampai saat ini masih berkembang di pulau kapota adalah Manari Banda atau badenda sebuah tari tradisional yang umumnya dilakoni kalangan berumur, menggunakan alat musik rebana tunggal atau gendang, biola dan pantun-pantun berbahasa daerah, dimainkan pada acara-acara perkawinan, hajatan dan pada malam hari. Kesenian lainnya adalah tari Kenta-kenta yang artinya tari mencari ikan. Tarian ini dimainkan satu grup anak-anak dan remaja.
5
Tiap pulau di Wakatobi memiliki tradisi dan budaya baik seni, adat dan kearifan dalam mengelola sumber daya yang berbeda-beda tiap rumpun adat.
1.5.
Konservasi Alam dan Kawasan Target
1.5.1. Sejarah kawasan
1.5.1.1. Masa kerajaan Buton Kepulauan Wakatobi sebelum kemerdekaan Indonesia adalah wilayah Kesultanan Buton (± 1211 – 1950). Pengaturan wilayah pada masa kesultanan dikenal dengan istilah Barata dan Kadie. Barata adalah kerajaan bagian dalam tatanegara kesultanan sedangkan Kedie adalah distrik dalam daerah pemerintahan pusat kerajaan. Di kepulauan Wakatobi terdapat Barata Kaledupa yang memiliki wilayah otonom seluruh pulau Kaledupa meliputi daratan pulau, laut dan karang Kaledupa. Kesultanan Buton secara keseluruhan terdiri dari empat Barata yakni Barata Kaledupa, Tiworo, Muna dan Kulisusu. Saat ini Barata Kaledupa menjadi bagian wilayah Kabupaten Wakatobi, Barata Tiworo dan Muna menjadi wilayah Kabupaten Muna dan Barata Kulisusu menjadi Kabupaten Buton Utara. Tidak semua wilayah Wakatobi masuk wilayah Barata Kaledupa. Ada desa yang merupakan kadie atau distrik dari pemerintahan pusat Wolio, ibukota kerajaan Buton. Wilayah kadie juga meliputi darat, hutan, gunung, laut dan karang. Di masa lalu, setiap warga luar barata dan kadie melakukan pengambilan hasil laut dalam wilayah kadie dan barata harus mendapat izin pemerintah lokal. Pelanggaran dari ketentuan itu akan dikenai sanksi setara dengan pencurian atau masuk secara ilegal dalam kawasan. 1.5.1.2. Penunjukkan sebagai Taman Nasional
Kepualauan Wakatobi sejak tahun 1996 ditunjuk pemerintah sebagai Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/KPTS-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996, dan penetapannya melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Agustus 2002 meliputi kawasan seluas 1,39 juta hektar meliputi wilayah laut dan darat. Luas wilayah laut meliputi 93 % dan total luas dari 39 buah pulau kecil adalah 3 % wilayah Wakatobi. Peraturan menteri kehutanan No. P.29 tahun
6
2006 menetapkan perubahan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) menjadi Taman Nasional Wakatobi (TNW) dengan wilayah hanya meliputi lautan dan pesisir. 1.5.2.
Sejarah Desa target
1.5.2.1. Desa Kapota, Kapota Utara, Kabita dan Kabita Togo Keempat desa target yakni desa Kapota, Kapota Utara, Kabita, kabita Togo, pada zaman kerajaan Buton merupakan wilayah kadie Kapota dibawah pimpinan seorang Bonto (pimpinan masayarakat adat). Wilayah Kapota meliputi pulau Kapota bagian utara. Kepulauan Wangi-Wangi (P. Wangi-Wangi dan P Kapota) terbagi menjadi empat wilayah adat yakni wilayah adat Liya meliputi pulauWangi-Wangi bagian selatan dan pulau Kapota bagian selatan, wilayah adat Mandati terletak di bagian tengah Wangi-Wangi, wilayah adat Wanci terletak di bagian utara pulau Wangi-Wangi dan wilayah adat Kapota di bagian utara pulau kapota . 1.5.2.2. Desa Kolo Liya Desa target Wisata Kolo definitif tahun 2007. Sebelum menjadi desa, Kolo adalah dusun IV dari desa Liya Mawi. Sejarah wilayah Kolo menjadi wilayah adat Liya atas perjanjian dua dewan adat yakni Sara Liya dan Sara Kapota dimasa pemerintahan Lakina Liya Laode Taru ( berakhir 1940an). Lakina adalah sebutan untuk Raja yang memimpin daerah-daerah kadie. Tidak semua Kadie dipimpin Lakina, sebagain lagi dipimpin oleh Bonto. Perbedaan Bonto dan Lakina adalah, Lakina merupakan pejabat pemerintah yang ditunjuk dan mewakili pemerintah kerajaan pusat sedangkan Bonto adalah ditunjuk dari kepala adat setempat.
1.5.3. Permasalahan Konservasi Ancaman kelestarian sumber daya di wilayah ini adalah tingginya penggunaan bom ikan, potasium sianida, penambangan batu karang dan penangkapan ikan berlebih (overfishing). Perdagangan ikan hidup, gurita, lobster, pengambilan kima dan perdagangan ikan asin yang berbahan baku ikan karang dan eksloitasi nelayan luar menjadi penyebab tingginya tekanan terhadap sumber daya terumbu karang Wakatobi.
Sejak ditetapkan sebagai taman nasional timbul permasalahan baru yakni pemahaman masyarakat bahwa taman nasional adalah sama dengan pelarangan, pembatasan dan pengambil alihan hak kelola tradisional. Disamping itu adanya pihak yang terus mempermasalahkan status kawasan sebagai TN, mempersoalkan
7
kewenangan antara kabupaten yang dibentuk melalui UU dan TN yang dibentuk dengan SK Menhut menyebabkan minimnya dukungan politik atas ekstistensi TNW sebagai instrumen konservasi kawasan.
8
BAB II PENILAIAN LOKASI 2.1. Perkenalan dan pembentukan tim kecil pride Kepemilikan dan keterlibatan masyarakat merupakan target strategis kampanye pride. Dengan keterlibatan para pemangku kepentingan sejak awal, diharapkan mereka dapat mengidentifikasikan masalah yang dihadapinya sendiri, terlibat untuk mencari pemecahan permasalahan secara bersama-sama dan melaksanakan kampanye. Tahapan pertama adalah mendapatkan tokoh kunci di masyarakat (stakeholder kunci) yang dapat mengidentifikasi lapisan atkeholders. Langkah menentukan stakeholders yang dapat mewakili suara dan kepentingan warga tidak mudah mengingat pada saat yang sama lima desa lokasi kampanye sedang dalam persiapan pemilihan kapala desa dan pemilihan gubernur. Warga sudah terkelompokkan secara politik menjadi tim sukses calon kepala desa maupun tim sukses calon gubernur. Tantangan kedua adalah konflik tiga kelompok keluarga dengan masyarakat Kapota secara kolektif mengenai status kebun kelapa dari kelompok warga tersebut. Menurut lembaga adat dan warga Kapota pada umumnya kebun kelapa telah memasuki kawasan hutan adat (pada saat stakeholders meeting pertama mau dimulai masalah tersebut sudah dalam penyidikan polisi). Ketiga, kebiasaan program dan proyek lain yang memberi imbalan uang setiap partsisipasi warga dalam program, misalnya imbalan pembuatan jalan usaha tani. Keadaan tersebut melemahkan semangat gotongroyong dan partsisipasi secara cuma-cuma dari warga.
Foto 1 : Worksop perkenalan pride
Pendekatan yang digunakan untuk memilih keterwakilan stakeholders dilakukan melalui workshop perkenalan kampanye pride dihadiri perwakilan pemerintah desa, BPD, tokoh-
1
tokoh masyarakat dalam desa, guru, perempuan, pemuda, tani dan nelayan. Kegiatan ini berlangsung di aula SMP Negeri Kapota. Hasil pemilihan wakil stakeholders dalam forum perkenalan berbeda dari perencanaan awal. Disepakati tiap desa diwakili 10 orang yang terdiri dari
wakil pemerintah, BPD, tokoh adat, nelayan, petani, guru, pemuda, majelis
taklim. Forum memberi mandat kepada 1 orang wakil tiap desa untuk mengorganisir peserta dan selanjutnya tim ini diberi nama Tim Kecil Pride. Anggota tim terdiri dari : La Wawa (wakilo desa Kapota), La Ode Muhqrimu (wakil desa Kapota Utara), La Manisi (wail desa Kabita Togo), Agus (wakil desa Kabita) dan La Harisi (wakil desa Kolo). Total peserta untuk workshop stakeholders kedua adalah 50 orang. Untuk meningkatkan pemahaman kampanye bangga dan melakukan analisis stakeholders dilakukan pelatihan tim kecil.
2.2. Stakeholders Workshop
Tujuan workshop memetakan permasalahan yang ada di kawasan target melalui konsep model. Walaupun secara umum masyarakat telah mengenal masalah di kampung mereka tetapi workshop membuat masalah tersebut dalam sistematika faktor-faktor yang mempengaruhi, mengenal hubungan sebab dan dampak masalah lebih terperinci. Hal ini sangat penting karena jika masyarakat tidak mampu mengidentifikasi bahwa masalah yang kita akan pecahkan adalah masalah mereka maka keterlibatan mereka dalam program akan kecil. Akhirnya, keberhasilan kampanye Pride untuk merubah perilaku masyarakat juga akan minimum. Workshop stakeholder (kedua) pada 20 November 2008
berhasil membangun konsep model. Karena dibangun bersama mereka, maka
konsep model mencerminkan pandangan mereka terhadap kawasan.
2.3. Metode Survey Persiapan pre survey Survey dilakukan oleh 20 orang. Terbagi dalam dua tim. Tim survey pulau Kapota dilakukan 10 orang sukarelawan dari masyarakat 5 desa target terdiri dari ibu rumah tangga, aparat desa, guru, nelayan, petani dan pengrajin bambu. yang beragam Sedangkan tim survey pulau Wangi-Wangi dilakukan 12 relawan pemuda dari beberapa desa. Baik 2
tim pulau Kapota maupun tim pulau Wangi-Wangi sebelum melakukan survey dilakukan persiapan yakni membahas bersama draf materi survey, pelatihan metodologi survey, menyusun time schedule. Pelatihan tim survey dilakukan di sekretariat pride pulau Kapota (rumah pak Wawan) dan di kantor TNC/WWF untuk tim survey pulau WangiWangi.
Survei adalah suatu metoda pengumpulan data kuantitatif yang digunakan untuk menguji ulang temuan-temuan yang diperoleh dari proses sebelumnya. Selain itu, survei ini juga dilakukan untuk mendapatkan data base line (awal) yang pada akhir program nanti dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan. Survei ini mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat di area target yang ada di dua kecamatan di TN Wakatobi. Kedua kecamatan itu adalah Kecamatan Wangi-Wangi dan Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Karateristik responden adalah masyarakat dengan usia berkisar antara 15 – 64 tahun yang tinggal di sekitar kawasan TN Wakatobi yang bergantung langsung dan tidak langsung kepada kawasan. Sebagian besar masyarakat mendapatkan manfaat langsung maupun tidak langsung dari kawasan, setidaknya sumber daya perikanan disini yang menjadi tumpuan penghidupan mereka. Kondisi socio ekonomi masyarakat desa target adalah sebagai berikut: masyarakat yang pekerjaan utamanya nelayan, dengan tingkat pendidikan berada dalam taraf menengah ke bawah. Untuk kelompok kontrol dipilih Desa dengan karateristik masyarakat dan kondisi sosio ekonomi masyarakatnya memiliki kesamaan dengan masyarakat di area target. Jumlah sampel atau responden dihitung berdasarkan tingkat keyakinan (level of confident) 95% dengan interval kesalahan (confidence interval) 5%. Untuk jumlah responden per desa didapatkan dengan metoda sampling technique dengan proporsional per desa target. Dengan jumlah populasi sebanyak sekitar 45.768 maka didapatkan jumlah sampel sebanyak 381. Hasil survey diprosentasekan dalam workshop ketiga.
Post survey Berbeda dengan pre survey, survey diakhir kampanye hanya dilakukan 5 orang pewawancara., 1 orang untuk survey di pulau Kapota, 4 orang untuk survey di pulau WangiWangi. Perbedaan lain adalah tidak lagi dilakukan proses training karena palaksana survey adalah
3
mereka yang terlibat menjalakan kampanye. Survey menggunakan pertanyaan yang sama dengan jumlah sampel 384 responden dilakukan selama 10 hari pada tanggal 30 Juli – 8 Agustus 2009. Tujuannya untukmengetahui tingkat perubahan yang ada pada masyarakat target.
Untuk
mengetahui dampak media yang digunakan selama kampanye terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat target digunakan survey dengan lembar quisioner yang berbeda.
2.4. FGD 2.4.1 Latar Belakang Focus Group Discussion atau FGD adalah suatu metoda yang digunakan untuk mendapatkan kualitatif data mengenai suatu isu spesifik atau isu sensitif dari kelompok masyarakat tertentu yang akan dijadikan kelompok sasaran. Berbeda dengan interview biasa, FGD berpegangan kepada suatu struktur pertanyaan atau suatu kerangka isu yang dirancang dengan hati-hati. Tujuan umum dari sebuah FGD adalah mengumpulkan informasi untuk suatu topik tertentu dari kelompok spesifik dalam suatu forum informal dan suasana yang kondusif. Pada awalnya FGD dipakai sebagai perangkat dalam penelitian pasar (marketing tool) yang kemudian diadaptasikan untuk bidang-bidang yang lain termasuk dalam soical marketing.
3.2. Pelaksanaan FGD dilakukan sebanyak 5 kali (1 kelompok perempuan, 3 kelompok nelayan dan 1 kelompok tokoh masyarakat). Dalam membuat analisa FGD, pertama-tama ditentukan factorfaktor yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku. Faktor-faktor tersebut adalah: 1. Manfaat-manfaat yang dirasakan (perceived benefits) Suatu perubahan perilaku terjadi jika kelompok sasaran (target audience) merasakan manfaat dari perubahan yang dilakukan tersebut. Misalnya masyarakat yang tinggal di TN Wakatobi mengerti manfaat dari upaya perlindungan kawasan terumbu karang yang ada di sini. 2. Kerugian yang akan diterima atau kerentanan kepada suatu bencana Faktor ini juga dapat mendorong terjadinya suatu perubahan perilaku bagi suatu kelompok sasaran. Jika suatu kelompok masyarakat berpikir bahwa kerusakan terumbu karang dapat merusak kehidupan mereka, mereka akan mudah di dorong untuk merubah perilakunya. 3. Faktor-faktor luar (external factors) yang mempengaruhi perubahan perilaku
4
Kedua faktor di atas sebelumnya lebih dikatakan sebagai faktor internal, ada pula faktorfaktor external seperti kebijakan, ekonomi yang mempengaruhi perubahan perilaku. Perubahan perilaku tidak dapat terjadi misalnya jika ada kelompok lain yang memberi tekanan atau ancaman. Perubahan perilaku juga tidak akan terjadi jika ada suatu kebijakan yang justru kontraproduktif atau tidak memfasilitasi perubahan perilaku.
3.3. Hasil FGD 1. Manfaat kawasan dan dampak kerusakan terumbu karang Seperti umumnya masyarakat pesisir, ketergantungan mereka kepada sumberdaya laut sangat tinggi. Akan tetapi yang terjadi saat ini adalah kondisi sumberdaya alam yang sudah rusak karena pola pemanfaatan yang tidak bijaksana terutama penggunaan alat tangkap yang merusak. Sebagian besar masyarakat sudah dapat mengkaitkan kerusakan terumbu karang dengan berkurangnya hasil tangkapan ikan mereka. Dari semua peserta diskusi, penggunaan bom, racun (istilah lokal: bius) dan pencungkilan karang muncul sebagai isu yang menyebabkan rusaknya terumbu karang. 2. Faktor luar yang mempengaruhi (external factors) Adanya tekanan suatu kelompok masyarakat terhadap sekelompok masyarakat lainnya. Hal ini memberikan ketakutan kepada kelompok yang tertekan tadi sehingga membuat mereka membiarkan (ignorance) terjadinya perusakan terhadap terumbu karang. Lemahnya penegakan hukum (law enforcement), terutama oleh otoritas pengelola, yang menyebabkan masyarakat berpikir bahwa tidak ada gunanya mereka melindungi terumbu karang dan melaporkan segala bentuk pelanggaran. Lemahnya penegakkan hukum atau ketidak percayaan kepada sistem hukum ini yang memunculkan ketidakpedulian (ignorance). Hilangnya sistem tradisional pengelolaan sumberdaya alam (terutama hutan motika) yang pernah berlaku di masyarakat ini yang menyebabkan masyarakat tidak tahu lagi apa yang dilarang dan apa yang boleh dilakukan.
2.3 Model Konsep Final
5
Konsep model awal menggambarkan pemahaman satkeholders tentang kegiatan yang mereka ketahui merusak terumbu karang dan hutan adat di kawasan mereka (human induced activities). Faktor-faktor kerusakan sumber daya alam itu dilatar belakangi keserakahan dan kurangnya kesadaran. Motifnya ekonomi dan indikasi kurang pengetahuan. Penangkapan ikan dengan cara merusak seperti menggunakan bom dan racun ikan (potas), mencungkil batu karang untuk bahan bangunan dan membuang jangkar sembarangan di daerah terumbu karang adalah kegiatan yang langsung merusak ekosistem terumbu karang. Masyarakat sadar bahwa terumbu karang yang rusak mengakibatkan ikan hilang (hasil tangkapan menurun), hilangnya fungsi penahan gelombang dan tempat untuk budidaya rumput laut rusak. Masyarakat juga mengidentifikasi masalah yang muncul di kawasan hutan motika (hutan adat) mereka. Kegiatan seperti kebun berpindah-pindah, penebangan kayu ilegal, tebang tidak pilih dan pembakaran merupakan ancaman yang ada di sana. Dampak yang diterima pulau kecil itu adalah kehilangan sumber-sumber mata air, erosi, hasil hutan non kayu (aneka umbi hutan). Bagi komunitas adat Kapota kehilangan sumber daya hutan sama dengan kehilngan simbol-simbol kebanggaan komunal. Faktor langsung dalam konsep model menyebutkan kurangnya pengetahuan manfaat hutan, kurangnya kesadaran melindungi hutan dan motif ekonomi mendorong munculnya kegiatan perusakan kawasan hutan. Perusakan terumbu karang maupun hutan adat memilki kesamaan penyebab yakni rendahnya penegakkan hukum. Kenyataan ini membuat penggunaan alat tangkap yang merusak dan perusakan hutan berlanjut. Hilangnya kuasa pengaturan sumber daya oleh masyarakat adat dengan kearifan tradisinya menyebabkan kontrol masyarakat atas sumber daya laut mapun hutan melemah. Gambar berikut menggambarkan konsep model yang telah direvisi.
6
Bom ikan Motif ekonomi
Racun ikan Kearifan tradisional
Terumbu Karang Pengetahuan fungsi terumbu karang / hutan
Cungkil karang
Buang jangkar
Kesadaran melindungi terumbu karang / hutan Sistem pengawasan / patroli
Ladang berpindah
Lemahnya penegakkan hukum
Tenaga / kelompok pelindung
Pembakaran
Hutan Motika
Penebangan
Memori kolektif masyarakat melihat penggunaan bom ikan sebagai penyebab rusaknya terumbu karang. Demikian juga dengan penggunaan racun atau potasisum cianida. Pencungkilan karang dan kebiasaan nelayan membuang jangkar tampa memperhitungkan apakah mengenai kawasan karang atau tidak dianggap masyarakat sebagai faktor langsung kerusakan terumbu karang. Pencungkilan karang di pesisir selatan pulau Kapota atau pantai Usuno sebenarnya tidak dilakukan oleh warga pulau Kapota tetapi oleh warga dari 5 desa Bajo yang bermukim di pesisir barat pulau Wangi-Wangi. Itulah sebabnya sistem pengawasan atau patroli direkomendasikan stakeholders sebagai faktor yang dapat mempengaruhi ancaman. Faktor pengawasan atau patroli yang kurang dan faktor kearifan tradisional yang kurang mendapat pengakuan sebagai intrumen kawasan secara langsung menjadi indikator lemahnya penegakan hukum dalam kawasan.
7
BAB III MASKOT (FLAGSSHIP SPECIES) Gurita dipilih menjadi maskot kampanye bangga karena hewan ini mewakili integrasi pelestarian alam dan pemanfaatan berlanjut. Disamping sebagai bahan makanan yang dikenal luas masyarakat Wakatobi, gurita
memiliki nilai ekonomi tinggi dan
hidupnya bergantung pada terumbu karang yang sehat.
Gurita juga memiliki ikatan
kultural dengan orang Kapota. Masyarakat Wangi-Wangi non Kapota memanggil orang Kapota sebagai koropunda, sapaan khas tanda bersahabat bila bertemu. Koropunda adalah nama lokal yang hanya dipakai dipulau Kapota untuk hewan gurita. Jadi pemilihan gurita sebagai maskot kampanye setidaknya karena pertimbangan hewan tersebut dikenal luas, bahan makanan, benilai ekonomi, ekologi, dan relasi sosial budaya dengan masyarakat lokasi target. Dalam bahasa lokal Wakatobi gurita disebut simbuku, solo-solo dan koropunda. Diantara 100 desa dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW) hanya masyarakat Kapota menyebut gurita sebagai koropunda atau koro-koropunda untuk jenis gurita kecil yang ditemukan mengasuh di padang lamun dan pasir dasar laut. Sedangkan desa-desa lainnya menyebut gurita sebagai simbuku untuk gurita dewasa dan solo-solo untuk gurita kecil atau anak gurita. Sejak dulu masyarakat Wangi-Wangi mengenal pulau Kapota dengan beberapa ciri khas seperti buah kenari, dinding bambu atau jela, opi, dan gurita. Keempatnya merupakan mata dagangan tradisional penduduk pulau Kapota. Kenari dijual dalam takaran kulu-kulu. Nama ini sebenarnya alat tangkap ikan berupa bubu kecil dengan lubang bundar diatasnya, berukuran sekitar 40x40 cm, berbentuk mirip bantal segi empat dimana runcing pada semua sudut dan cembung makin ketengah. Dinding bambu atau jelah juga khas Kapota karena di desa-desa Wakatobi lain tidak diproduksi. Sementara opi yang populer disebut opi kapota adalah lempengan padat ubi kayu parut, dibungkus dalam karung palstik, dibentuk membundar atau segi empat dengan volume 20x20x10 cm lalu dijepit diantara dua bilah papan agar santannya terperas. Padatan ubi parut ini merupakan bahan makanan lokal kasoami. Bahan makanan kasoami dibuat dari lempengan ubi setelah 6 – 12 jam menjadi bahan padat. Untuk menjadi makanan, padatan ubi parut jepit
tersebut mula-mula sihancurkan dan diayak sampai halus. Hasil ayakan menyerupai tepung tersebut dikukus seperti nasi tumpeng. Setelah masak disebut kasoami, makanan pokok setara dengan fungsi nasi yang menjadi pasangan lauk lainnya. Gurita biasanya dijual ke pasar Wangi-Wangi dalam bentuk gurita kering atau segar. Perairan pesisir pulau Kapota memang memiliki populasi gurita melimpah. Kondisi dasar laut berupa hamparan pasir, padang lamun membentuk dataran luas sekitar 800 – 1000 meter dari bibir pantai
dengan terumbu karang tepi yang membatasi dengan
perairan laut dalam merupakan lapangan luas favorit tempat asupan hewan gurita. Pada kondisi laut surut seluruh padang lamun dan pasir dasar akan mengering sampai karang tepi, dan pada kondisi pasang akan terisi air sampai ke pantai. Alur pasang surut-surut membawa nutrien melimpah pada area pasir dan lamun secara kontinyu menyebabkan gurita menjadikan pesisir Kapota sebagai habitat hidupnya. Diduga karena masyarakat Kapota secara monoton memperkenalkan gurita sebagai dagangan di pasar tradisional Wangi-Wangi dengan nama berbeda dari desa-desa lainnya maka orang Kapota dipanggil dengan julukan koropunda.
Berbagai hal yang
menciptakan kelekatan gurita dengan masyarakat Kapota juga dapat dilihat dari masak tumis gurita segar berbumbu daun kedondong hutan yang menjadi sajian kerap kali orang berkunjung ke Kapota. Memang dalam tradisi penduduk pulau Wangi-Wangi (termasuk Kapota) rentetan kalimat pertama untuk menyambut keluarga atau orang yang bertamu ke rumah adalah mengajaknya naik ke dalam rumah untuk makan. Perlu diperhatikan bahwa ajakan masuk dalam rumah umumnya di Wakatobi menggunakan kata naik bukan kata masuk karena pada awalnya rumah-rumah penduduk terdiri dari rumah panggung. Dengan demikian masuk ke dalam rumah harus dengan cara naik tangga. Demikian juga di Kapota. Tradisi menyajikan teh atau kopi dan kue-kuean tidak di kenal dalam masyarakat tradisional Wakatobi, yang ada adalah ajakan untuk makan di rumah. Gurita ditangkap pada siang hari dan pada malam hari. Penangkapan gurita pada siang hari pada wilayah pesisir umumnya dilakukan para perempuan (ibu rumah tangga) menggunakan alat pengait yang dalam bahasa lokal disebut kai-kai. Alat tangkap tradisional kai-kai terbuat dari kawat besi berukuran panjang 30 – 75 cm,, melengkung dan runcing pada bagian ujung, memiliki gagang kayu, berfungsi untuk menusuk dan
mengait gurita dalam lubang karang. Penangkapan gurita juga dilakukan dengan tangan kosong untuk gurita yang ditemukan bermain di area pasir dan padang lamun.
Foto : alat tangkap kai-kai
Tradisi menangkap gurita, ikan dll pada saat pasang surut dalam bahasa lokal disebut tunga-tunga. Lima tahun terakhir ini hasil tunga berbeda dibanding pengalaman mereka sepuluh tahun sebelumnya. Jumlah tangkapan dan ukuran gurita mengalami penurunan. Perusakan terumbu karang termasuk penggalian batu karang dibawah pasir dan padang lamun berangsur-angsur menyempitkan ruang hidup gurita. Sementara disaat yang sama kebutuhan pasar gurita semakin tinggi dan kecilnya resiko panen menarik banyak minat masyarakat untuk menangkap gurita. Nelayan pencari gurita bukan hanya masyarakat lokal Wakatobi. Nelayan dari pulau Menui Sulawesi Tengah dengan peralatan tangkap seperti linggis, gancu didukung armada-armada kapal yang memungkinkan mobilitas tinggi merambah seluruh perairan Wakatobi. Alat tangkap seperti linggis dan gancu digunakan untuk mencungkil karang-karang tempatt gurita bersembunyi. Terumbu karang hancur, rumah gurita banyak yang rusak. Seorang nelayan Kapota, La Muis, 45 tahun, menjelaskan penangkapan dengan alat bantu linggis sangat merusak terumbu karang. Padahal berdasarkan pengetahuan empiris mereka menunjukkan bahwa lubang tempat persembunyian gurita pada permukaan terumbu karang akan dihuni gurita baru dalam jangka waktu 2-3 hari setelah penangkapan gurita yang pertama. Proses pengisian rumah gurita bergantian ini dapat terjadi terus-menerus pada lubang karang yang sama
jika penangkapan gurita dilakukan tanpa menimbulkan kerusakan pada permukaan karang. Peralatan tradisional kai-kai selama turun temurun telah digunakan terbukti mampu mempertahankan kondisi fisik karang. Peralatan tradisional ini hanya mengenai tubuh gurita, tidak memecahkan dinding dan permukaan karang sarang gurita. Lain halnya jika penangkapan gurita dilakukan dengan linggis, gurita baru calon penghuni sarang tidak akan pernah menggunakan sarang yang telah menampakkan tanda-tanda kerusakan fisik akibat penggunaan alat linggis tersebut. Ada perbedaan cara memasarkan gurita antara nelayan lokal dan nelayan dari luar kawasan. Jika hasil tangkapan nelayan lokal dikumpulkan oleh pengepul yang mendatangi rumah nelayan atau nelayan sendiri yang mengantar ke tempat penimbangan, tidak demikian dengan hasil tangkapan nelayan luar kawasan. Nelayan luar kawasan bergerak secara berkelompok dalam armada kapal kecil bersisi 2 – 4 orang nelayan. Kapal-kapal tersebut dimodali para juragan yang menampung hasil tangkapan. Antara nelayan lokal yang bergerak mencari gurita secara individu dan nelayan luar kawasan yang bergerak secara group dalam armada kapal jelas memiliki motivasi menangkap yang berbeda. Selain motivasi mendapatkan hasil banyak, nelayan luar kawasan yang dimodali juraganjuragan terbebani capaian kuota tangkapan untuk menutupi utang modal. Waktu yang dibutuhkan nelayan luar untuk melakukan penangkapan juga lebih lama, 2 – 3 hari satu kali melaut karena dalam kapal-kapal mereka tersedia ruangan penampungan, persiapan es balok sebagai pengawet dan stok bahan makanan. Gurita termasuk kedalam hewan tidak bertulang belakang, dalam kelompok yang sama dengan siput, tiram dan abalon. Satwa yang termasuk cerdas ini cenderung memiliki ukuran yang kecil di perarian yang hangat dan berukuran lebih besar di perairan dingin. Cephalopoda adalah sub species satwa ini yang arti harfiahnya adalah kaki ke kepala; menggambarkan delapan kaki gurita yang tumbuh di kepalanya. Satwa yang makanan utamanya adalah udang-udangan atau satwa kecil lainnya ini memiliki usia hidup 3-4 tahun. Gurita memiliki banyak teknik untuk menghidar dari atau menakuti penyerangnya. Satwa ini dapat menyamarkan warna tubuhnya dengan lingkungan. Menggunakan sel warna (pigmen) dan otot khusus di kulitnya gurita dapat secara cepat merubah tekstur dan pola warna tubuhnya sehingga predator seperti ikan hiu, belut laut dan lumba-lumba
tidak dapat mengenalinya. Bahkan ketika penyerang dapat mengenalinya, gurita akan mengeluarkan tinta hitam untuk menghalangi penglihatan penyerangnya sehingga gurita memiliki waktu untuk lari menjauh. Gurita juga dapat berenang dengan cepat dengan cara mendorong air melalui mulut yang terletak dibawah kepalanya dan menggerakkan seluruh tangannya. Tubuhnya yang lembut (tidak bertulang keras) memudahkannya untuk menyelinap atau masuk ke dalam celah yang sempit atau sudut karang. Akhirnya, kalau semua mekanisme pertahanan ini gagal, gurita akan memutuskan tangannya yang di kemudian hari dapat tumbuh lagi (seperti mekanisme pertahanan diri yang dilakukan oleh cicak dengan memutuskan ekornya). Gurita atau octopus ditemukan dalam 289 spesies dengan klasifikasi ilmiah sebagai berikut :
Kerajaan
: Animalia
Filum
: Moluska
Kelas
: Cephalopoda
Subkelas
: Coleoidea
Superordo
: Octopodiformes
Ordo
: Octopoda
TNW tidak menargetkan hewan ini sebagai target konservasi. Spesies ini juga tidak termasuk kategori spesies yang dilindungi undang-undang. Tetapi terumbu karang
sebagai habitat gurita merupakan target konservasi. Gurita terpilih sebagai flegspesies karena merupakan spesies yang
menjembatani isu konservasi, yaitu relasi antara
pelestarian, pemanfaatan dan sosial budaya masyarakat Kapota.
BAB VI MATERI, SALURAN KOMUNIKASI DAN KEGIATAN-KEGIATAN KAMPANYE PRIDE
1. Workshop perencanaan materi dan kegiatan kampanye Hasil survey diprosentasekan dalam workshop stakeholders kunci yang ketiga. Rekomendasi workshop adalah pembentukan tim perencana kegiatan yang akan bekerja menjabarkan hasil konsep model, FGD, Survey dalam bentuk kegiatan dan materi kampanye. Tim perencana terdiri dari perwakilan desa masing-masing dua orang tiap desa dengan kriteria anggota tim survey adalah warga masyarakat yang belum terlibat pada FGD maupun survey. Workshop perencanaan berlangsung dua kali. Pertama berlangsun tanggal 14 Februari di rumah pak Agus desa Kabita, diikuti 10 anggota tim perencana dan 5 anggota tim kecil pride. Workshop kedua berlangsung tanggal 16 Februari di rumah mertua pak Haris desa Kolo diikuti 10 tim perencana dan 4 anggota tim kecil prider.
Foto : Perencanaan Kegiatan tahap I oleh Tim Perencana
Foto : Tim Perencanaan Kegiatan Tahap II menuju desa Kolo tempat diksusi tahap II
2. Pleno Rencana Kegiatan dan Pembentukan Tim Kerja Hasil-hasil perencanaan diprosentasekan dalam pertemuan stakeholders tanggal 8 Maret 2008 di SMP Negeri Kapota. Pertemuan ini menghasilkan dua rekomendasi yakni butir-butir rencana kegiatan kampanye dan tim kerja yang akan mengorganisir setiap kegiatan kampanye yang terbagai menjadi : - Tim guru berjumlah 10 orang sebagai panitia yang akan melaksanakan kegiatankegiatan yang berhubungan dengan kegiatan sekolah. Anggota tim guru berasal dari SD, SMP se Kapota. - Tim kerja sepak bola dan penjahit berjumlah 4 orang tiap desa bertugas mengorganisir kegiatan sepak bola, pembuatan bilboard sebagai pagar stadion. Khsusus tim penjahit beranggota ibu-ibu yang memiliki keterampilan menjahit, bertugas merancang dan menjahit mascot gurita. - Tim Tani dan Nelayan mengorganisir kegiatan pelatihan untuk nelayan, tim kerja petani mengorganisir pemetaan, penanaman pohon (bersama pemerintah desa). - Tim kerja pemerintah desa (pemdes, BPD), tokoh masyarakat (tokoh adat, agama) bertugas mengorgansisir pelatihan perdes, pertemuan desa, kegiatan kebudayaan dll. - Tim kerja seniman kampung mengorganisir kegiatan kesenian pemuda, dll. - Tim kerja Media berjumlah 15 orang bertugas mengorganisir perancangan media, pre test media dan distribusi media. - Tim kerja ibu-ibu (PKK, majelis taklim, pengrajin) bertugas mengorganisir partisipasi perempuan.
Foto : Suasana Pleno Hasil Perencanaan A. Adapun kegiatan yang dilaksanakan adalah : No Materi/kegiatan
Target Audiens
Jumlah/Freqwensi
Kejuaraan sepak bola pelestarian alam
masyarakat luas
Dihadiri 4 tim juara tiap kecamatan pada kejuaraan 17 Agustusan ditambah 1 tim tuan rumah pulau Kapota selection.
2
Pemutaran film
anak-anak dan masyarakat umum
Berlangsung 4 kali malam hari diKapota, 4 kali siang hari, 2 kali di desa Kolo.
3
poster
masyarakat luas
Produksi 2000 lembar.
1
foto
4
5
6
7
fact sheet
masyarakat luas
Produksi 2000 lembar.
kostum maskot
masyarakat luas, anak sekolah
ditampilkan setiap ivent masal dan sekolah.
T-shirt bergambar gurita
kelompokkelompok kerja, tim Prosuksi 250 lembar TNC/WWF dalam 3 versi. Wakatobi dan panitia bola
Pemetaan partisipatif
petani, aparat desa
Kegiatan dilakukan 2 kali. Dimulai dengan pelatihan tim pemetaan untuk perwakilan masing-masing desa 2 orang
Diskusi serial
pemdes, tokoh masyarakat, kelompok perempuan
Berlangsung tiap minggu bergilir pada 5 desa. Diorganisir 5 orang anggota tim kecil pride.
9
Pertunjukan seni lomba lagu dangdut
kelompok pemuda karang taruna, masyarakat umum
Dilaksanakan 1 kali.
10
Pesantren Ramadhan
siswa SMU, SMP, SD
Dilaksanakan di 4 SD, 1 SMP 1 Atap Kolo, 1 SMP Kapota, 1 SMA.
Pelatihan selam
kelompok pemuda, nelayan
Dilaksanakan 1 kali dikuti 4 orang
8
11
12
Cerdas cermat, siswa SMU, pengisian soal dan SMP, SD analisis media
Cerdas cermat 1 kali diikuti 4 SD se pulau Kapota. Kegiatan yakni pengisian soal dan analisis media diikuti murid SD dan siswa SMP se Kapota.
4 SD se pulau Kapota
Dilaksanakan 1 bulan dan penilaian serempak 1 hari.
13
Lomba sekolah indah
14
Pelatihan bahan bakar briket ibu rumah arang dari sampah tangga laut
15
Pelatihan pembuatan peraturan desa partisipatif
kepala desa, Pelatihan berlangsung 1 anggota kali. BPD
16
Partisipasi dalam Festival budaya
masyarakat luar desa target
1 kali mengikuti festival tingkat kabupaten
17
Kampanye pride dalam kegiatan gerak jalan 17 agustus 2008
masyarakat luar desa target dan masyarakat kapota
Peserta gerak jalan dari pulau Kapota 15 grup. SD 7 grup, SMP 2 grup, SMA 2 grup, Majelis Ta'lim 4 grup.
Dilaksanakan pada 5 kali pada 5 desa.
Peringatan hari bumi bersama stakeholdesr lainnya dan penanaman bakau
masyarakat luas
Total peserta sekita 2000 orang. Dilaksanakan 1 kali
19
Workshop Moratorium penambangan terumbu karang
masyarakat umum, penambang karang, pemerintah desa 13 desa
Berlangsung 2 kali.
20
Workshop hutan adat dan penanaman pohon
pemerintah desa dan tokoh adat
Workshop 1 kali, peserta 25 orang.
21
Pelatihan MPA
nelayan, aparat desa
1 kali peserta 25 orang.
18
B. Kegiatan Yang direncanakan tetapi tidak dilaksanakan : No
1
Materi/kegiatan
Map bergambar maskot dan pesan kampanye
Taraget Audiens
Anak sekolah, guru, perangkat desa
Keterangan Percetakan tidak tersedia bahkan diibukota propinsi Kendari. Materi yang sama biasanya dipesan di pulau Jawa atau Makassar tetapi belajar dari pengalaman memesan poster memakan waktu lama
2
Tas sekolah
murid SD dan siswa SMP, SMA
3
Buku tulis plus cerita konservasi bergambar
murid SD dan siswa SMP
4
Pin maskot dan semboyan kampanye
Guru, siswa, pemuda
5
Ceramah dan buka puasa bersama
Masyarakat umum dan majelis ta'lim
6
Kegiatan sekolah
guru dan siswa
7
Festival budaya Wakatobi
masyarakat umum
8
seri diskusi perdes
tokoh masyarakat, pemerintah desa, BPD
9
Lomba lingkungan sehat
Ibu rumah tangga, masyarakat umum di pulau Kapota
Percetakan tidak tersedia bahkan diibukota propinsi Kendari. Materi yang sama biasanya dipesan di pulau Jawa atau Makassar tetapi belajar dari pengalaman memesan poster memakan waktu lama Percetakan tidak tersedia bahkan diibukota propinsi Kendari. Materi yang sama biasanya dipesan di pulau Jawa atau Makassar tetapi belajar dari pengalaman memesan poster memakan waktu lama Percetakan tidak tersedia bahkan diibukota propinsi Kendari. Materi yang sama biasanya dipesan di pulau Jawa atau Makassar tetapi belajar dari pengalaman memesan poster memakan waktu lama Tidak terorganisir. Kebiasaan ceramah sehabis magrib tidak pernah terjadi di desa. Kegiatan direschedule ke jadwal ceramah regular Ramadhan tetapi pebceramah selalu datang dari ibukota Kabupaten dan tidak dapat diorganisir lagi. Digabung kedalam cerdas cermat, pesantrean Ramadhan, dan lomba sekolah indah Tidak dilaksanakan sendiri karena pemerintah kabupaten juga menyealenggarakan kegiatan yang sama dan diikuti warga se Wakatobi. Kampanye dilakukan diajang yang dibuat pemda ini Inklud dalam kegiatan setial diskusi kampung dan diskusi paska pelatihan perdes. Pemerintah kabupaten menyelenggarakan lomba desa serempak se Wakatobi, jadi gagasan-gagasan kebersihan lingkungan diikutkan dalam
persiapan desa-desa menyongsong lomba desa.
10
Pekan penanaman pohon
petani sekitar hutan dan pemerintah desa
11
Pelatihan budidaya laut, perikanan tangkap dan pengolahan hasil laut.
Kelompok kerja nelayan
Penanaman menunggu musim hujan bulan Desember. Bibit, lahan sudah ada. Kesepakatan penyerahan kebun-kebun sudah ada (lihat aktivitas yang dilaksanakan) Pelatihan ini terkategori pelatihan keterampilan dan pemateri tidak tersedia di Wakatobi maupun ibukota propinsi. Usaha untuk mendatangkan nara sumber dari luar propinsi terhalang cutting budget.
C. Deskripsi Kegiatan Yang Dilaksanakan 1. Kejuaraan Sepak Bola Pelestarian Alam Gagasan ini dihasilkan dalam workshop perencanaan dan disahkan dalam pleno yang diikuti semua stakeholders yang menghasilkan konsep model. Kegiatan sepak bola merupakan pilihan terbanyak jenis kegiatan yang digemari masyarakat berdasarkan survey. Kejuaraan direncanakan mempertemukan kesebelasankesebelasan 8 juara kecamatan hasil kejuaraan 17 Agustus ditambah 1 kesebelasan tuan rumah pulau Kapota yang merupakan hasil seleksi pemain terbaik dari 5 desa. Lapangan tempat pelaksanaan kejuaraan dipagari dinding bambu menyerupai bilboard lapangan profesional dengan tulisan ajakan melestarikan sumber air, ikan dll yang dibuat oleh sekumpulan tim kerja seniman desa dipimpin Pak Bante. Pembelajaran penting dalam kegiatan ini adalah pelaksanaan tanggal 19 – 28 Agustus ternyata merupakan puncak musim timur sehingga peserta dari pulau Tomia (2 kecamatan) dan pulau Binongko (2 kecamatan) terpaksa tidak dapat mengikuti kejuaraan. 2. Pemutaran film Berlangsung setiap malam ketika kejuaraan bola berlangsung. Setelah pemutaran film hari kedua yakni desa Kapota Utara dan desa Kabita, pemutaran dihentikan sementara karena ada warga desa yang meninggal dunia dan harus menunggu sampai lewat hari ketujuh orang yang meninggal tersebut baru pemutaran film dilakukan lagi. Ternyata ketika tiba giliran pemutaran film untuk desa Kolo bertepatan dengan malam pertama 1 Ramadhan. Oleh karenannya pemutaran film di desa tersebut baru dapat dilaksanakan pada malam 13 puasa. Film-film yang tayangkan diawali dengan film
yang berisi rekaman kegiatan gerak jalam yang diikuti anak sekolah dan majelis taklim pada moment 17 Agustus di Kabupaten. Setelah fil tersebut dilanjtkan dengan filmfilm tentang keindahan terumbu karang Wakatobi dan dampak perusakan terumbu karang. Pembelajaran dari kegiatan ini, masyarakat sangat antusias menyaksikan film yang menampilkan wajah-wajah mereka atau bagian-bagaian kampung mereka. Pembelajaran penting adalah pemutaran film yang kelihatannya sederhana tetap harus menyesuaiakan dengan penghormatan atas tradisi tidak dapat membuat keramaian ketika ada warga yang meninggal dunia. Di desa seorang warga meninggalpun merupakan duka seluruh desa. Sebelum pemutaran film yang mengikuti jadwal kegiatan sepak bola, pada tempat-tempat yang terbatas dilakukan pemutaran film melalui laptop. Kegiatan seperti ini berlangsung siang hari, disamping listrik tidak menyala siang hari juga dapat menjangkau target pada kelompok-kelompok terkecil. Film yang disajikan beragam bahkan fil-film umum yang tidak berhubungan dengan isu lingkungan seperti film AyatAyat Cinta. Pemutaran film melalui laptop mpada siang hari biasanya dilakukan untuk mengawali diksusi dengan isu-isu lingkungan kampung. 3.
Poster Pre test poster dilakukan dua kali. Hasil pre test pertama setelah didiskusikan dengan mas Hary dari RARE mendapat masukan untuk mengganti gambar maskot gurita dengan foto yang lebih terang dan mencolok. Hasil konsultasi ini kemudian dilakukan lagi pre test sampai menghasilkan draf yang disepakati. Pre test dilakukan tim kerja media kampanye pride yang terdiri dari wakil-wakil warga 2 orang tiap desa. Materi yang disepakati kemudian diserahkan kepada kami (manager kampanye) untuk dicetak. Poster akhirnya dicetak 2000 lembar di Malang Jawa Timur atas bantuan Magianto (manager kampanye pride Bromo Tengger). Distribusi poster dilakukan pada saat kejuaraan sepak bola, anak sekolah, rumah penduduk sebanyak 1500 lembar. Poster yang diframe kaca menjadi hadiah kejuaraan sepak bola, didistribusi ke kantor-kantor pemerintah Wakatobi, hadiah lomba sekolah indah dan menjadi pajangan dalam iventivent yang diikuti tim kampanye pride seperti festival budaya. Sisa yang tidak terdistritribusi selalu dipakai sebagai pemberian bagi tamu-tamu kantor TNC/WWF Wakatobi dan didistribusi stand pemerintah daerah dalam pameran pembangunan ditingkat propinsi. 4. Fact sheet Proses pretest fact sheet lebih cepat dari poster. Metode pelaksanaan pretest sama yakni contoh materi diprint dan disebarkan dalam map yang berisi kertas masukan. Proses cetak dan distribusi factsheet juga bersamaan dengan poster. Fact sheet merupakan alat kampanye yang paling sering didistribusikan (berulangulang) dalam banyakm moment. 5. Kostum maskot Kaos maskot dijahit 5 orang ibu rumah tangga yang tergabung dalam kelompok kerja sepak bola. Penggunaan maskot pertama kali dilakukan dalam pembukaan
kampanye pride di pelabuhan Kapota. Setelah itu semua ivent pride maskot kerap muncul dan selalu diikuti anak-anak. Tokoh dalam maskot gurita adalah Saharudin (fasilitator masyarakat pada program regular TNC/WWF Wakatobi). Ketika maskot muncul bukan hanya sekedar berjalan dan bermain-main tetapi juga diiringi lagu singkat ”ambil ikannya tinggalkan karangnya,” yang diikuti audiens lain. Maskot gurita juga dalam ivent lain oleh kelompok-kelompok seni di desa luar lokasi pride, dipakai dalam pawai peringatan HUT RI tahun 2009 oleh Coremap Wakatobi di ibukota kabupaten. 6. T-shirt bergambar gurita Atribut pertama kampanye yang diluncurkan pada khalayak. Pertama dicetak 24 lembar dengan tulisan ”Kampanye Bangga Melestarikan Alam” dan gambar gurita. Baju ini terdistribusi kepada 5 anggota tim kecil pride, 5 kepala desa di lokasi pride, 10 anggota tim survey dan tim outreach TNC/WWF Wakatobi, diluncurkan bulan Desember 2007. Edisi kedua bertuliskan ”Kampanye Bangga Melestarikan Alam – Manfaatkan tanpa Merusak” di bawah gambar gurita. Edisi dua tercetak 200 lembar, didistribusi kepada semua tim kerja pride (tim guru, media, dll), diluncurkan pada saat pembukaan kampanye oleh Wakil Bupati Wakatobi. Rombongan Wakil Bupati, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Anggota DPRD dari pulau Kapota, Camat Wangi-Wangi Selatan serta beberapa anggota pengamanan dan protokoler pemda turut memakai baju ”gurita” ketika pembukaan kampanye, diluncurkan tanggal 16 April 2008. Dan edisi ketiga bertulis ”Karang Kapota Cup” di atas gambar gurita tercetak 50 lembar dan didistribusikan untuk panitia kejuaraan sepak bola, diluncurkan tanggal 19 Agustus 2008. Pembelajaran penting dengan baju kaos ini adalah warga masyarakat yang tidak mendapatkan baju hampir saja memposisikan diri sebagai bagian lain dari kampanye, merasa bukan bagian dari kegiatan karena tidak mendapat baju. 7. Pemetaan Partsisipatif Kegiatan pemetaan merupakan kegiatan yang memakan waktu lama dibanding kegiatan lainnya. Disamping itu kegiatan ini berurutan, artinya kegiatan yang pertama dikerjakan metupakan bahan untuk kegiatan lanjutan. Kegiatan pemetaan dimulai dengan pelatihan tim yang terdiri dari utusan desa masing-masing diwakili 2 orang ditambah anggota tim kecil pride. Pelatihan berlangsung di ruang kelas SDN 1 Kapota pada tanggal 9 – 11 April 2008. Kegiatan pelatihan dilanjutkan dengan pembuatan sketsa desa dan pulau. Hasil sketsa desa dan pulau kemudian diputar dalam kampung untuk mendapat masukan. Kemudian tahap berikutnya adalah pengambilan titik koordinat atas obyek-obyek yang tertuang dalam sketsa awal. Pemetaan titik berlangsung 1 bulan, dari tanggal 16 Februari 2009 – 16 Maret 2009. Tim pengambilan titik beranggotakan perwakilan desa dan tim kecil pride. Tim terbagi menjadi dua tim yakni tim logistik dan tim peta. Tim logistik bertugas mengantar bahan makanan jadi setiap jam makan dengan panduan radio handy talky yang masing-masing dipegang kedua belah pihak. Pemetaan dimulai setiap pagi jam 06.00 sampai 16.00
wita. Pada hari-hari yang disepakati tim istirahat untuk menjalani aktivitas utama sebagai petani dan nelayan. 8. Serial Diskusi Berlangsung tiap minggu pada 5 desa. Diorganisir 5 orang anggota tim kecil pride pada masing-masing desa mereka, berlangsung di balai adat Bante, atau tempat istirahat dalam pekarang rumah Goje-goje. Kegiatan berkumpul dalam balai adat Bantea maupun Goje-goje merupakan kebiasaan sehari-hari setelah pulang dari kebun atau laut. Diskusi akan berlangsung spontan dengan tema yang liar dan fungsi anggota tim kecil pride adalah mengarahkan pada fokus isu tertentu untuk memancing pendapat warga. Tema diskusi berfariasi, mulai dari pembentukan kelompok nelayan, usaha bersama, hutan adat, pengambilan batu karang sampai peraturan desa. Diskusi juga dilakukan dirumah penduduk atau pantai tempat kerja dengan tema-tema fokus seperti pengembangan usaha nelayan. Diskusi semacam ini dipandu pak Armin, anggota kelompok nelayan Potau-tau dari pulau Tomia yang memiliki usaha mandiri lebih maju dari nelayan-nelayan Kapota. 9. Pertunjukan seni lomba lagu dangdut Dalam daftar kegiatan yang berada pada project plan judul kegiatan adalah drama, sedangkan pada kertas kerja hasil pleno tim perencanaan tertulis ”drama dan pertunjukan seni lainnya.” Kegiatan lomba dangdut berlangsung 5 hari dengan format acara mirip konteks KDI di TPI, dimana juri yang menilai juga memberikan masukan dan komentar secara terbuka. Bedanya juara ditentukan juri bukan sms. Setiap peserta juga membawa rombongan suporter yang terdiri dari rombongan ibu-ibu, anak-anak dan teman sejawat sehingga arena lomba ramai dengan riuh, sorak, tepuk dan bunyi-bunyian lainnya. Kegiatan berlangsung di desa Kapota Utara dan diikuti peserta dari seluruh desa se pulau Kapota. Hadiah untuk pemenang lomba disamping dari manajer kampanye pride juga berasal dari beberapa penyumbang dalam bentuk jam dinding, payung, tas dll. Bahkan salah seorang juri yang menghendaki salah seorang peserta menjadi juara, naik panggung dan mengumumkan sendiri juara versi dirinya dengan sebutan juara favorid I, II dan III, diluar katregori juara yang diputuskan juri secara kolektif dan memberikannya hadiah dari kantungnya sendiri. 10. Pesantren Ramadhan Berlangsung tanggal 1 - 6 September 2008, tempat pelaksanaan masing-masing sekolah, diikuti 400 murid SD (kelas IV - VI), 120 siswa SMP dan 100 siswa SMA.. Jenis kegiatan ceramah agama, pembagian lembar dakwah agama dan lingkungan, lomba menulis surat dan puisi bertema pelestarian alam. 11. Pelatihan Selam Direncanakan 5 orang tetapi hanya diikuti 4 orang dari 4 desa. 1 peserta mengundurkan diri karena sakit. Berlangsung tanggal 26-30 Maret 2008, instruktur dari TNC/WWF. Peserta mendapat sertifikat dan sim selam dari ADS.
12. Cerdas cermat, pengisian soal dan analisis media Cerdas cermat berlangung tanggal 3 januari 2009 diikuti 4 SD se pulau Kapota. Kegiatan yakni pengisian soal dan analisis media diikuti murid SD dan siswa SMP se Kapota berlangsung tanggal 5 Januari. Tempat pelaksanaan aula SMP Kapota 13. Lomba Sekolah Indah Menilai kebersihan sekolah, sampah plastik dan wawancara dengan murid-murid apakah sekolah mereka menjadikan kebesihan lingkungan sekolah sebagai kebijakan sehari-hari. Penilaian berlangsung tanggal 9 Januari 2009 bekerjasama dengan UKS Kab. Wakatobi 14. Pelatihan membuat bahan bakar briket arang Dilaksanakan pada 5 desa bulan Mei tahun 2009, peserta ibu-ibu rumah tangga. Tanggal 19 Mei di desa Kabita, 20 peserta. Tanggal 20 Mei di desa Kapota Utara , 20 peserta. Tanggal 21 Mei di desa Kabita Togo, 20 peserta. Tanggal 23 Mei di desa Kapota, 20 peserta. Tanggal 25 Mei di desa Kolo, 15 peserta. 15. Pelatihan pembuatan peraturan desa partsisipatif Peserta 3 orang 1 desa. Total peserta 15 orang. Berlangsung tanggal 12 Juli 2009 di SD Kapota. Tindak lanjutnya adalah identifikasi obyek perdes dalam desa masing-masing peserta. 16. Partsisipasi dalam festival budaya Berpartisipasi dalam festival budaya pada hari ulang tahun kabupaten Wakatobi di lapangan ibu kota Wangi-Wangi. Berlangsung tanggal 1 Desember 2008. 17. Kampanye pride dalam gerak jalan HUT RI tahun 2008 Peserta gerak jalan dari pulau Kapota 15 grup. SD 7 grup, SMP 2 grup, SMA 2 grup, Majelis Ta'lim 4 grup. Tanggal 13 agustus berlangsung mengelilingi 4 desa di Kapota, tanggal 14 Agustus untuk murid SD - SMA di ibukota Kabupaten bersama grup gerak jalan se pulau Wangi-Wangi dan tanggal 15 Agustus diikuti grup Majelis ta'lim bersama group masyarakat se pulau Wangi-Wangi. 18. Peringatan hari bumi Dilaksanakan di pantau Usuno desa Kolo pulau Kapota tanggal 28 April 2009. Peserta siswa SMP se Wangi-Wangi, Kapota, Mahasiswa, pramuka, instansi pemerintah, masyarakat umum. Total peserta sekita 2000 orang. Dihadiri wakil Bupati Wakatobi dan duta WWF artis Nugi serta si Bolang Wakatobi. Kegiatan
didukung joint program TNC/WWF Wakatobi, Coremap Wakatobi, Pemda, TNW, DKP dan Dinas Lingkungan Wakatobi. 19. Workshop moratorium penambangan karang Berlangsung dua tahap. Pertama tanggal 31 Juli 2009, kedua tanggal 9 Agustus di aula Wisata Wangi-Wangi. Peserta perwakilan Bappeda, DKP, TNW, Camat Wangi-Wangi Selatan, Kepala desa lokasi pride, 5 kades dari seluruh desa pelaku penambangan karang, 4 desa lokasi penambangan Karang diluar desa lokasi pride. 20. Workshop hutan adat dan penanaman pohon Berlangsung tanggal 10 Agustus 2009 di SD Kabita. Peserta 4 Kades se wilayah adat Kapota, 4 orang dari Lembaga Adat Kapota, 12 kepala dusun dari 4 desa se Kapota, tim kecil pride 5 orang. Penanaman phon akan dilakukan di musim hujan. 21. Pelatihan MPA Berlangsung di balai desa Kapota tanggal 7 – 8 Maret 2009. Peserta 25 orang nelayan, aparat desa dan kelompok ibu-ibu pengrajin jelajah.
BAB V HASIL
A. Sasaran yang berorientasi pada perubahan pengetahuan dan sikap : Objektif 1 : Pada akhir program terjadi peningkatan pengetahuan dan dukungan masyarakat tentang status kawasan Taman Nasional Wakatobi dari 22% menjadi 60% dan ditandai juga dengan lahirnya kelompok masyarakat pelindung hutan dan terumbu karang. Jumlah masyarakat yang tidak mengetahui status kawasan pada awal survey 43,83 %, dan yang tahun status kawasan sebagai TNW 22,31% (N = 382). Namun pada saat post survey dilaksanakan diakhir kampanye menujukkan jumlah warga masyarakat yang tidak mengetahui status kawasan turun menjadi 18,85 % dan yang mengetahui status kawasan sebagai TNW berubah menjadi 55,76% (N=382). Ilustrasi sebagai berikut : Gambar : Pengetahuan status kawasan presurvey
Gambar : Pengetahuan status kawasan post survey
Intervensi kampanye dalam dua tahun berkontribusi pada perubahan pengetahuan masyarakat terhadap status kawasan.
Penjangkauan yang dilakukan dengan berbagai
kegiatan dan materi kampanye membuat masyarakat akrab dengan istilah seperti taman nasional. Selain itu lahirnya kelompok monitoring sumber daya di 5 desa target mengambarkan pengetahuan yang kuat dari masyarakat terhadap manfaat sumber daya bagi kehidupan mereka. Inisiatif untuk melindungi dapat diasumsikan sebagai peningkatan rasa memiliki sumber daya. Pembentukan sikap tersebut merupakan dampak dari kuatnya pengaruh kampanye terhadap sikap masyarakat.
B. Sasaran yang berorientasi pada perubahan perilaku Objektif 2 : Pada akhir program terbentuk satu kesepakatan atau peraturan desa yang disepakati oleh lima desa target dan menguatkan peraturan adat mengenai pengelolaan sumber daya alam Pelaku pencungkilan karang di pantai Usuno desa Kolo atau tepatnya pesisir selatan pulau Kapota dan di sepanjang pantai desa Kabita, Kapota dan Kapota Utara berasal dari suku Bajo. Para pelaku tersebut merupakan warga desa Mola Selatan, Mola
Samaturu Kecamatan Wangi-Wangi Selatan yang bermukim di pantai barat pulau WangiWangi. Kegiatan pencungkilan karang sudah berlangsung selama 20 tahun terakhir ini, dan diperdagangkan sebagai bahan bangunan dalam takaran sampan. Satu sampan dihargai Rp. 90,000 sampai Rp. 120.000. Aktivitas pencungkilan karang biasanya dilakukan mulai pukul 06.00 pagi dan selesai pukul 08.00 pagi. Dalam satu hari setiap orang dapat melakukan kegiatan yang sama sampai dua kali atau dua sampan. Rata-rata setiap hari terdapat 20 – 50 sampan pelaku pencungkilan karang. Masyarakat memiliki pengetahuan yang baik tentang dampak pencukilan karangan serta sikap tidak menginginkan kegiatan tersebut terus terjadi, tetapi tidak mudah bagi mereka untuk mencegah orang lain melakukan perusakan. Hal ini dapat dilihat dalam survey diawal kampanye, 60.9% responden menyatakan sulit untuk mencegah orang mencungkil karang. Namun demikian kemauan untuk melindungi terumbu karang tetap ada, setidaknya menurut survey 51,3% responden menyatakan mudah untuk ikut terlibat dalam penyelamatan terumbu karang. Dalam berbagai diskusi, masyarakat menaruh harapan pada pemerintah kabupaten atau aparat berwenang lainnya untuk mencegah pencungkilan karang. Kampanye bangga menargetkan perubahan atas tingginya ketergantungan masyarakat pada aparat berwenang atau lembaga apapun diluar komunitas mereka dengan mendorongkan dua hal, (1) meningkatkan rasa memiliki sumber daya melalui rangkaian diskusi yang membicarakan tata cara pengelolaan kawasan dimasa lalu oleh masyarakat adat. Topik ini merupakan wacana strategis untuk membangkitkan emosi dan ikatan histories mereka atas kawasan. (2) memberdayakan institusi ditingkat local seperti pemerintah desa dan lembaga adat. Dampak dari diskusi meningkatkan kepercayaan diri masyarakat terhadap hubungan social budaya antara mereka dengan sumber daya alam mulai dari hutan, laut dan pulau. Peningkatan ini memberikan legitimasi yang kuat pada keputusan lembaga pemerintahan local maupun lembaga adat dalam mengelola sumber daya. Ciri-ciri perubahan dapat terlihat pada bagian akhir kampanye. Empat kepala desa di pulau Kapota yakni kepala desa Kapota, Kapota Utara, Kabita, Kabita Togo dan ketua BPD desa Kolo duduk bersama perwakilan DKP Wakatobi, BAPPEDA Wakatobi, Taman Nasional Wakatobi, lima kepala desa se kampung Bajo, dan empat kepala desa sewilayah adat Liya untuk membahas penghentian penambangan karang. Tanggal 31 Juli 2009
merupakan tonggak pertama kesepakatan yang merekomendasikan dua garis besar keputusan bersama : (1) Sosialisasi penghentian penambangan karang pada kawasan perairan sebelah selatan pulau Kapota, pantai Usuno dan pesisir pantai Liya kepada seluruh pelaku dari kampong Bajo. (2) Mengusulkan alternative mata pencaharian bagi penambang karang dan untuk sementara
waktu
para
kepala
desa
dari kampong-kampung
pelaku
penambangan mengarahkan pelaku penambang karang untuk menggali alur pelayaran di depan pelabuhan Kapota dan alur masuk pelabuhan Jabal WangiWangi (laut sawa), untuk membantu masalah pendangkalan alur yang dihadapi masyarakat ketika hendak keluar atau masuk pulau Kapota dan pulau WangiWangi pada saat air surut. Disepakati pula bahwa rekomendasi tersebut dalam tujuah hari dari tanggal kesepakatan wajib disosialisasikan oleh para kepala desa kepada masyarakat diwilayah masing-masing untuk mendapat persetujuan, melakukan observasi bersama lokasi alur pelayaran yang dangkal untuk menghindari penyalah gunaan kesepakatan penggalihan dan pendataan secara komprehensif social ekonomi pelaku penambangan. Untuk mengetahui respon masyarakat peserta menyepakati agenda pertemuan tindak lanjut tanggal 9 Agustus 2009 ditempat yang sama yakni Aula Wisata Wangi-Wangi. Sesuai kesepakatan observasi lokasi dilakukan tanggal 9 Agustus 2009 pagi hari pukul 09.00 – 12.00 pada dua titik alur pelayaran menggunakan pompong sewa milik warga Kapota. Ikut dalam observasi adalah kepala desa Liya Bahari, Liya Onemelangka, Mola Samaturu, Mola Bahari, Kapota Utara, Kapota, aparat desa Kabita, waki,l dari TNW. Tempat pertama yang ditinjau adalah alur Sawa di depan desa Liya Onemelangka dan kedua depan pelabuhan Kapota. Dari hasil peninjauan lapangan alur Sawa tidak memungkinkan dijadikan lokasi pengalihan karena meskipun merupakan alur pelayaran tetapi pada lokasi tersebut terdapat ekosistem terumbu karang yang masih baik secara fisik, kondisi laut dalam dan memiliki arus yang kuat. Tempat kedua adalah alur pelabuhan Kapota. Berdasarkan pengamatan, alur pelayaran dengan lebar 10 meter dan panjang sekitar 200 meter sangat dangkal dan memerlukan pengerukan. Alur ini sering membawa
masalah bagi alat transportasi laut ketika air surut. Penumpang alat transportasi tersebut biasanya harus turun untuk berjalan kaki diatas hamparan pasir, padang lamun, kolamkolam genangan laut, sejauh ± 800 meter ke pelabuhan Kapota. Hal tersebut terpaksa dijalani karena alat transportasi mereka yang menghubungkan pulau Kapota dengan ibukota kecamatan, pasar atau pulau Wangi-Wangi telah kandas. Petemuan dengan nama Workshop Moratorium Penambangan Karang kedua dilanjutkan pukul 13.00 dengan agenda tunggal mendengarkan laporan hasil sosialisasi masing-masing kepala desa kepada warganya masing-masing. Secara umum hasil sosialisasi kepala desa dapat dirangkum dalam resume pendapat para ‘juru runding’ kepala desa berikut ini : 1.
Dari desa pelaku : -
Kepala desa Mola Selatan : Perlu peningkatan pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya berkelanjutan dan keterampilan sesuai dengan akar kultur mereka sebelumnya yakni nelayan.
-
Kepala desa Mola Samaturu : Penambang karang bersedia berhenti dari aktivitas menambang karang dan memerlukan mata pencaharian alternatif.
-
Kepala desa Mola Bahari : Kegiatan perikanan laut dalam merupakan alternatif yang baik dan harus mendapat respon pemerintah.
2.
Dari desa lokasi penambangan : -
Kades Kapota Utara : Masyarakat Kapota menawarkan penggalian jalur pelayaran dengan catatan tidak melampauhi alur yang ditentukan dan setelah galian jalur selesai tidak dibenarkan melakukan penggalian di tempat lain.
-
Kepala desa Kapota : Para pelaku penambangan karang adalah orangorang yang tidak cinta tanah air. Kalau memiliki rasa cinta pada Wakatobi maka biar disuruh merusak pasti tidak mau. Perlu menanamkan sikap cinta tanah air pada para pelaku. Mereka menambang karang dengan bodi besar dan mesin mahal, nelayan Kapota memancing ikan ke bagang hanya menggunakan dayung dan sampan kecil-kecil tetapi bisa menghidupi keluarga juga. Tidak menunggu-nunggu bantuan pemerintah.
-
Kepala desa Liya Onemelangka : Di Liya banyak sekali orang miskin tapi tidak melakukan penambangan karang. Para pelaku itu terbiasa karena kemudahan mendapatkan uang. Liya tertutup untuk penambangan karang. Jadi para kepala desa Bajo harus mengingatkann warganya. Banyak kehidupan lain seperti menjadi nelayan atau bertanam rumput laut.
-
Para penambang karang itu adalah orang mampu secara ekonomi. Melihat sampan dan mesin-mesin yang digunakan kalau miskin tidak mungkin bisa membeli harga yang terhitung jutaan seperti itu. Pendapatan mereka ratarata diatas seratus ribu sehari. Mereka makan dengan cara apapun juga tidak mungkin habis sehingga kalau memiliki kemauan untuk menabung maka dalam 1 – 2 bulan mustahil tidak bisa membeli peralatan pancing atau jaring untuk kembali sebagai nelayan seperti yang lain.
-
Kepala kampung dusun Woru desa Liya Mawi : Kami kasihan dengan kehidupan saudara-saudara kita di Bajo terutama para penambang karang kalau memang mereka miskin. Tetapi saudara-saudara juga harus kasihan kepada kami para nelayan Liya yang terancam lokasi penangkapan ikan karena kegiatan penambangan. Jadi marilah berubah dan silahkan kita gunakan bersama-sama laut di Liya dan Usuno untuk mencari ikan, bukan menambang karang.
Pada akhirnya workshop moratorium penambanan karang yang kedua menghasilkan kesepakatan sebagaimana salinan naskah berikut ini : KESEPAKATAN MORATORIUM PENAMBANGAN KARANG Bismillahirrahmanirrahim. Kami sepakat untuk bersama-sama mengusahakan perubahan perilaku dan pemberdayaan para penambang karang. Jalan untuk menuju perubahan dari penambang karang menjadi nelayan adalah cita-cita dasar dari kesepakatan ini dan untuk sementara para penambang karang akan kami bahu-membahu untuk
mengarahkannya pada lokasi alur pelayaran di Sawa Liya dan alur pelayaran Kapota, menghentikan dari lokasi lama pesisir Liya dan Usuno. Upaya sementara ini dilakukan karena pertimbangan kemanusiaan antara kami dari Liya, Kapota dan Mola karena kami bersaudara dan harus saling bantumembantu mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan. Demikian, semoga Allah senantiasa meridhoi. Wangi-Wangi, 9 Agustus 2009 Kami yang secara sukarela membantu perubahan ini : Ditanda tangani oleh : Kades Kapota La Hasirun WN, kades Liya Bahari La Musu Ali Ode, kades Kapota Utara Sudarlin, kades Mola Selatan La Ode Mustamin, kades Mola Utara Rahim, kades Mola Samaturu Haslim, kades Mola Bahari Efendi, Kades Liya Onemelangka La Hasura, kaur pemerintahan desa Kabita Burhanuddin, wakil desa Liya Mawi La Wiu, wakil BTNW La Fasa, BAPPEDA Wakatobi La Ode A. Ready Putra, Project leader TNC/WWF Wakatobi Veda Santiadji, Tim fasilitator TNC/WWF Arifuddin, Saharuddin Usmi, Ade Lamu dan manager kampanye selaku fasilitator pertemuan Saleh Hanan. Selain lembar kesepakatan di atas, pertemuan juga merekomendasikan pembentukan Tim Tindak Lanjut Pemberdayaan Nelayan beranggotakan para kepala desa baik yang hadir pada workshop kedua maupun workshop pertama, instansi terkait seperti Bappeda Wakatobi, DKP Wakatobi, BTNW, menunjuk TNC/WWF Wakatobi sebagai fasilitator tim tindak lanjut. Kesepakatan juga dicapai dalam Pertemuan Kampung Kapota yang dihadiri Ketua dan anggota Lembaga Adat Kapota, Kepala Desa dan perwakilan desa se Kapota, Ketua BPD, Kepala dusun dari 4 desa se Kapota dan tim kecil kampanye bangga melestarikan
alam. Pertemuan kampung berlangsung di SDN Kabita tanggal 10 Agustus 2009 dengan pokok-pokok kesepakatan sebagai berikut : 1.
Hutan adat baik Bongkapi, Kaindea, Kolowowa, Ue, Keme dan Motikan adalah satu kesatuan hutan adat Kapota dibawah naungan masyarakat adat Kapota.
2.
Hutan adat tersebut tidak terbagi menjadi milik salah satu desa meskipun berada diwilayah salah satu desa tetapi milik masyarakat Kapota keseluruhan secara adat.
3.
Menanam pohon dalam batas hutan adat dan kebun-kebun pribadi yang memasuki kawasan hutan dan sedang tidak dalam sengketa hukum di pengadilan sebagaimana yang sedang berlangsung antara 2 kelompok keluarga dengan Lembaga adat Kapota. Pohon-pohon tersebut sebagai tanda agar orang tidak membuka lagi hutan adat menjadi kebun pribadi.
Objektif : Sasaran Perilaku 1 Pada akhir kampanye dibentuk masing-masing 1 kesepakatan atau peraturan desa tentang penggunaan alat tangkap ramah lingkungan di 5 desa target Sebagaimana hutan, masayarakat Kapota memposisikan laut juga sebagai milik adat. Hutan dan laut yang menjadi milik adat tidak dapat dituangkan menjadi peraturan desa oleh salah satu desa. Dalam program lain yakni COREMAP II Wakatobi di desa Kabita terdapat satu buah peraturan desa mengenai Daerah Perlindungan Laut (DPL) tetapi wilayah yang dijadikan sebagai lokasi penerapan perdes tersebut tetap tidak tertentu sebagai wilayah salah satu desa di Kapota. Dengan demikian perdes tersebut hanya formalitas projek. Dalam diskusi yang berlangsung pada Lokalatih Pride tentang Pembuatan Peraturan Desa Partsisipatif,
masalah perdes yang dibuat COREMAP II
Wakatobi tersebut kemudian diketahui tidak melalui proses-proses partsisipatif mulai penentuan materi, draf dan rapat-rapat stakeholders desa. Perdes yang digagas COREMAP II berupa draf perdes yang terlebih dahulu dibuat pihak proyek kemudian dibawa kedalam pertemuan desa untuk mendapat persetujuan. Dengan demikian lokalatih pride tentang keterampilan proses pembuatan perdes partsisipatif berfungsi mengisi ruang kosong proses pembuatan perdes yang tidak dilakukan COREMAP
sekaligus menjadi pembelajaran bagi desa-desa lainnya. Sebaliknya lokalatih yang diikuti Kepala desa dan Ketua BPD se Kapota, Ketua BPD Kolo, dan 5 anggota BPD se Kapota dan Kolo tersebut menghasilkan konsensus tidak akan membuat perdes untuk obyekobyek yang kepemilikannya adalah milik masyarakat adat Kapota secara komunal.
Bab VI Refleksi Kampanye Bangga di Pulau Kapota 6.1 Bentuk Pendekayan Yang Efektif Menurut Kushardanto (2008) dalam memantau efektivitas kegiatan maka ada setidaknya 3 elemen penting yang harus ditinjau yaitu Process Monitoring, Performance, dan Outcome Monitoring.
Kampanye bangga di pulau Kapota ditinjau dari pendekatan yang efektif dapat dideskripsikan sebagai berikut : 1. Kejuaraan Sepak Bola Sepak bola merupakan olah raga kegemaran masyarakat Kapota. Lahan perkampungan di Kapota merupakan delta bentukan pasir pantai yang telah menjadi daratan berpuluh-puluh tahun. Dengan struktur tanah terdiri dari gabungan endapan pasir dan tanah maka Kapota memiliki lapangan sepak bola yang ideal. Kondisi tersebut menyuburkan bibit pemain sepak bola terus tumbuh di Kapota generasi demi generasi. Sepuluh tahun yang lalu ketika pulau Wangi-Wangi masih merupakan sebuah kecamatan kesebelasan Kapota bersama kesebelasan Bajo selalu menjadi langganan final sepak bola yang biasa dilaksanakan menyambut HUT RI. Jika kesebelasan Kapota bertemu lawan tandingnya di lapangan kecamatan makan lebih separuh masyarakat akan berbondongbondong memenuhi jonson (sebutan untuk angkutan laut yang terdiri dari bodi batang beratap kayu dengan mesin TS sebagai pendorong), mendayung koli-koli (sampan) menuju lapangan pertandingan. Bagi masyarakat Kapota pertandingan sepak bola yang dilakoni 11 pemain mereka sama dengan peperangan membela nama kampung. Tidak mengherankan seluruh masyarakat yang datang tidak saja membawa bekal makanan, minuman, ramuanramuan dan doa-doa untuk memperkuat fisik pemain tetapi juga selalu dalam posisi siap menggempur kesebelasan dan suporter lawan jika keadaan tidak bersahabat. Pertandingan kesebelasan Kapota dengan kesebelasan manapun juga selalu ditunggu penonton diibukota kecamatan. Kuatnya hubungan emosional sepak bola dengan masyarakat menyebabkan olah raga ini terpilih sebagai media penjangkauan kampanye bangga. Lokasi pelaksanaan sepak bola lapangan Kapota yang terletak di desa kapota Utara diubah oleh panitia menjadi stadion mini. Bilboard dari jelaja (anyaman dinding bambu) dipasang secara gotong royong oleh masyarakat Kapota Utara mengelilingi empat persegi lapangan dengan ketinggian 75 cm. Para seniman desa menuangkan gagasan tentang pemanfaatan dan pelestarian laut, karang, ikan, hutan dan air pada dinding-dinding bilboard. Penonton berdiri diluar bilboar yang berfungsi sekaligus sebagai pembatas lapangan dengan penonton. Sepanjang kejuaraan yang berlangsung dari tanggal 19 – 28 Agustus 2008 poster dan factseheet dibagikan kepada. Maskot gurita juga hadir meramaikan lapangan, diikuti puluhan anak-anak dengan lagu-lagu “ambil ikannya tinggalkan karangnya”. Selama sepuluh hari bilboard, poster, fact seheet dan maskot menimbulkan efek berulang pada pesan kampanye pada khalayak umum yang juga secara kontinyu memadati lapangan sepak bola. Hadiah yang diberikan pada pemenang kejuaraan berupa piala, poster gurita dan foto kesebelasan bersangkutan dengan tulisan : “Ikan sumber protein terbaik, sangat
berguna bagi pemain sepak bola pintar dan kuar. Ambil ikan jangan ambil karang agar pesepak bola pintar dan kuat ada terus.” 2. Poster Poster dibuat dengan bahasa simpel, gaya bertutur dimaksudkan menciptakan ruang dialog audiens dengan subjek poster. Dengan demikian dalam proses baca audiens akan aktif berkomunikasi dengan rasional konteks dalam teks. Dalam proses ini aspek sikap dan perilaku lebih menjadi target audiens poster. Dalam kampanye ini poster efektif mempengaruhi sikap poster karena didisktribusi secara msal, berulang dan bertahan lama dalam rumah penduduk. 3. Fact sheet Isi factsheet mengangkat persoalan lokal, gambar dan foto dikenali dan akrab dengan keseharian, bahasa yang disajikan tipe bertutur dengan penggunaan istilah ilmiah minimalis, ditujukan agar memudahkan dan mendekatkan media dengan audiens lokal. Lembar ini menjadi bahan bacaan dan bahan amatan di rumah oleh satu keluarga dan menjadi bahan diskusi antar keluaraga atau tetangga. Selain memberikan informasi baru atau dari luar komunitas, sebenarnya lembar fakta ini menyalin pengetahuan yang masyarakat miliki ke dalam suatu tulisan, misalnya dampak dari menurunnya jumlah pohon dalam hutan adat, pengambilan batu karang. Bagi masyarakat media ini membantu mengarahkan tindakan selain menambah pengetahuan.
4. Pesantren ramadhan Pesantren Ramadhan bukanlah kegiatan yang dinilai dalam standar kurikulum. Karenanya pesantren Ramadhan lebih pada pengembangan ekspresi guru dan kegemaran siswa. Materi lingkungan dalam pesantren menyatu dalam konteks bahan telaahan kegemaran karena cara pembawaannya yang dilakukan familiar, bermain dan jarak struktural antara guru sekolah, pemateri dari tim kampanye dengan siswa dikemas tidak formal. Beberapa mateti seperti cipta pusis lingkungan dan menulis surat kepada keluarga tentang lingkungan merupakan bagian yang mengapresiasi minat dan kegemaran. 6.2 Bentuk Pendekatan Yang Tidak Efektif Ada beberapa kegiatan yang tidak efektif. Kriteria tidak efektif adalah : a. Tidak merata treatmen pada populasi target. b. Ada kesulitan teknis pelaksanaan 1. Cerdas cermat Audiens cerdas cermat adalah sisiwa, guru dan orang tua sisiwa atau penduduk sekiar. Yang membaut kegiatan ini tidak begitu efektif karena semangat menang lomba lebih menjadi perhatian dari pada materi lomba. Siswa yang mendapat pengetahuan juga hanya fokus pada calon-calon utusan sekolah menyebabkan tidak merata proses peningkatan pengetahuan. 2. Pelatihan Selam
Pelatihan selam dimaksudkan untuk menciptakan sumber daya manusia di desa lokasi target yang dapat melakukan pemantauan kondisi karang di dasar laut Kapota. Dari hasil pemantauan itulah kemudian menjadi sumber informasi bagi keadaan karang laut Kapota. Kendalanya kemudian adalah untuk menjalankan monitoring membutuhkan keterampilan lain lagi seperti pencatatan, pengetahuan tentang terumbu karang dan peralatan pendukung lainnya. Jadi dalam dua tahun kampanye secara efektif para penyelam tidak dapat segera menjalankan fungsi pemantauan. 3. Lomba Sekolah Indah Kampanye tidak dapat merubah kebiasaan pihak sekolah yang menyiapkan segala sesuatunya hanya untuk konteks lomba. Kebersihan sekolah disiapkan untuk menyambut lomba bukan sebagai budaya kesehaharian. Disamping itu harapan untuk membuat sekolah menjadi pembawa perubahan pada rumah warga disekitar sekolah juga tidak terwujud. Sampah-sampah di sekitar sekolah habis tetapi rumah warga yang berbatasan dengan sekolah tidak demikian.
BAB VII REKOMENDASI Keberhasil kampanye baru dapat diukur apabilan capaian akhir kampanye dapat ditindak lanjuti oleh warga : 1. Prinsip : - Kemandisian komunitas melanjutkan kampanye ketika hubungan donatur dari luar komunitas selesai (paska program kampanye). - Pendampingan agar komunitas menerima nilai tambah ekonomi dari sumber daya yang dilindungi sehingga mampu mewujudkan kemandirian. 2. Praktis : - Pengorganisasaian kegiatan ekonomi melalui koperasi atau kelompok nelayan/petani - Edit value komoditi utama (gurita, kerajinan dll) dari segi bentuk produk maupun ekowisata (nilai tidak langsung). - Pendampingan dari pihak luar komunitas (lembaga pendamping) pada hal-hal diluar kemampuan lokal yakni jaringan pasar, peningkatan keterampilan managerial dan mutu produksi. 3. Law inforcement : mendorong kebijakan dari pemilik sumber daya seperti kesepakatan adat dan kesepakatan desa memberikan kuasa untuk mengontrol dan mengatur sumber daya yang ditargetkan kampanye. Tidak semua rencana tindak lanjut diatas sesuai dengan prinsip dasar kampanye ini, masih akan dibahas dengan tiga kriteria : - menjawab persoalan utama - berkesinambungan dengan kegiatan sebelumnya bukan memulai terobosan baru. - Dapat diukur (asumsi, sasaran, kegiatan, indikator dan evaluasi).