LAPORAN AKHIR KAMPANYE BANGGA KONSERVASI LERENG SELATAN GUNUNG MERAPI
Maskot Elang Jawa bersama salah satu tokoh masyarakat di desa Glagaharjo
Ulie Rakhmawati Kanopi Indonesia 2008-2009 Magister Profesi Pendidikan Konservasi Institur Pertanian Bogor Cohort 2 “Magic 7”
1. Latar Belakang Lokasi Pendahuluan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan salah satu kawasan yang menjadi bagian dari Kampanye Bangga Konservasi (Pride Campaign). Kawasan ini terletak di 4 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Kawasan dengan luasan 6.410 Ha ini memiliki fungsi sebagai daerah tangkapan air bagi 4 kabupaten tersebut. Kawasan ini memiliki keanekaragaman yang tinggi. Selain itu juga menjadi habitat bagi lebih dari 100 jenis burung yang salah satunya adalah burung Elang Jawa, salah satu satwa endemik Jawa yang dilindungi. Fungsi ekologis kawasan yang sangat penting dan keanekaragaman hayati yang tinggi inilah yang menyebabkan kawasan ini penting untuk dilestarikan.
Gambar 1. Taman Nasional Gunung Merapi
1.1
Batasan kawasan target
Posisi geografis kawasan TNGM adalah pada koordinat 07°22'33" - 07°52'30" LS dan 110°15'00" - 110°37'30" BT. Luas totalnya adalah 6.410 ha, dimana 5.126,01 ha berada di wilayah Jawa Tengah dan 1.283,99 ha di Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara administratif, kawasan TNGM tersebut termasuk ke dalam wilayah kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten di Jawa Tengah, serta Sleman di Yogyakarta (Gambar 2).
Gambar 2. Peta kawasan TNGM (Sumber: ESP-USAID, 2007)
Mengingat luasnya kawasan, kampanye Pride yang akan dilakukan oleh Yayasan Kanopi Indonesia akan dilakukan hanya di 7 kelurahan, yaitu Girikerto dan Wonokerto di Kecamatan Turi, Purwobinangun dan Hargobinangun di Kecamatan Pakem, Umbulharjo, Kinahrejo dan Glagahrejo di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Ketujuh kelurahan ini dipilih karena kawasan hutannya masih cukup baik namun demikian kegiatan masyarakat yang berjalan disana dapat mengancam keutuhannya.
1.2
Iklim dan cuaca
Tipe iklim di wilayah ini adalah tipe C menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson, yakni agak basah dengan nilai Q antara 33,3% - 66%. Besar curah hujan bervariasi antara 875 - 2527 mm pertahun. Variasi curah hujan di tiap-tiap kabupaten adalah sbb.: Magelang: 2.252 – 3.627 mm/th Boyolali: 1.856 – 3.136 mm/th Klaten : 902 – 2.490 mm/th Sleman : 1.869,8 – 2.495 mm/th
1.3
Deskripsi ekosistem dan keanekaragaman hayati Taman Nasional Gunung Merapi
Ekosistem Merapi secara alami merupakan hutan tropis pegunungan yang terpengaruh aktivitas gunung berapi. Berdasarkan ketinggiannya serta pembagian berdasarkan jenis flora yang ada dan diantaranya mencirikan karakterisik spesifik (Whitten dkk, 1999;
Kartawinata, 2007) hutan pegunungan Merapi tidak memiliki hutan subalpin (> 3000 m dpl), namun demikian ekosistemnya dibagi menjadi: a) Hutan pegunungan bawah (1200 – 1800 m dpl) Hutan pegunungan bawah didominasi oleh pohon yang tingginya mencapai 60 meter. Pakis dan paku banyak yang tumbuh melekat pada pohon hingga ketinggian pohon 15 m, jenis ini merupakan komponen yang umum di daerah pegunungan, terutama pegunungan bawah (Whitten dkk, 1999). b) Hutan pegunungan atas (1800 – 3000 m dpl) Ciri yang mencolok dari hutan pegunungan atas yaitu banyaknya lumut Aorobryum yang menutupi permukaan tanah dan menempel disetiap ranting pepohonan yang terdapat 2-3 m di atas permukaan tanah. Di atas zona yang terselimuti kabut, epifit yang sering dijumpai adalah Usnea sp. atau lumut janggut yang merupakan lumut kerak (Lichens) (Whitten dkk, 1999). c) Ekosistem Ladang Merupakan wilayah yang berdekatan dengan perkampungan. Ekosistem buatan ini dominasi tanaman palawija seperti ketela, cabai merah, jagung. Ekosistem Gunung Merapi ini merupakan kombinasi biosystem, geosystem dan sociosystem yang unik, menarik dan dinamis : § Biosistem, hutan tropis pegunungan yang terpengaruh aktivitas gunung berapi, dengan jenis endemik Castanopsis argentia, Vanda tricolor dan merupakan habitat elang jawa dan macan tutul §
Geosistem, komplek gunung berapi aktif dari tipe khas strato/andesit dari sesar transversal dan longitudinal pulau jawa
§
Sociosistem, yang merupakan interaksi manusia dengan lingkungan alam berikut pandangan hidup dan budaya bernuansa vulkan
1.3.2. Keanekaragaman flora Hutan pegunungan bawah didominasi oleh Lithocarpus sp, Castanopsis sp dan Quercus sp serta sejumlah besar jenis pohon salam. Beberapa pohon yang membentuk tajuk hutan antara lain: Acer laurinum, Engelhardia spicata, Schima wallchii, Weinmannia blumei. Jenis tumbuhan yang menjulang tinggi antara lain: Altingia excelsa, Podocarpus spp. yang ketinggiannya mencapai 60 m. Pakis dan paku banyak yang tumbuh hingga ketinggian pohon 15 m, jenis ini merupakan komponen yang umum di daerah pegunungan, terutama pegunungan bawah (Whitten dkk, 1999). Jenis pohon yang dijumpai di hutan pegunungan atas antara lain: Dacycarpus imbricatus, Rhododendron sp, Vaccinium sp, Gaultheria sp, Myria javanica, Weinmannia fraxinea. Lantai hutan kaya akan semak belukar dan tumbuhan perdu, di tempat terbuka dapat ditemukan terna yang indah (Whitten dkk, 1999). Jenis anggrek yang ditemui di Taman Nasional Gunung Merapi ada beranekaragam, kurang lebih 52 jenis baik jenis endemik maupun terancam punah. Jenis Vanda tricolor merupakan contoh anggrek yang terancam punah di kawasan meskipun statusnya tidak dilindungi oleh CITES maupun tercantum dalam Redlist Book. Jenis ini sudah tidak dapat ditemui di habitatnya tetapi dapat ditemui di halaman rumah penduduk. Jenis lain yang cukup banyak adalah paku-pakuan. Menurut penelitian Purnomo (1998) terdapat 73 jenis paku-pakuan di wilayah ini contohnya Adiantum sp, Nephrolepis sp.
1.3.3. Keanekaragaman Fauna Taman Nasional Gunung Merapi memiliki keanekaragaman satwa yang cukup tinggi. Di wilayah ini terdapat beberapa jenis satwa endemik dan dilindungi undang-undang, antara lain Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Tesia Jawa (Tesia superciliaris), dan Macan Tutul (Panthera pardus). Berdasarkan penelitian Matalabiogama (2002) terdapat 99 jenis burung yang terdapat di TNGM, antara lain Elang Bido (Spilornis cheela), Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Merbah cerucuk (Pycnonotus goiavier), Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), Ayam hutan (Gallus gallus). Sedangkan mammalia yang ada antara lain Lutung Budeng (Trachypithecus auratus), Rusa (Cervus sp), Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis).
1.4
Gambaran umum masyarakat di target lokasi
1.4.1. Demografi dan Populasi Ketujuh kelurahan yang menjadi sasaran Kampanye Bangga terdapat di 3 kecamatan dengan total penduduk 44.489 jiwa. Secara rinci, data populasi di kawasan target ini adalah: Tabel 1. Data Penduduk di Kawasan Target dan Jumlah ternak (Data Monografi Desa tahun 2006) Nama Kecamatan Cangkringan
Turi Pakem
Nama Desa
Jumlah Penduduk (jiwa)
Jumlah KK
Jumlah Ternak Sapi Perah
Sapi Biasa
Kambing
Domba
Kerbau
Kepuharjo
3.478
902
na
na
na
na
na
Umbulharjo
4.865
1.175
na
na
na
na
na
Glagaharjo
3.754
815
na
na
na
na
na
Girikerto
7.657
2.175
376
139
1.729
568
52
Wonokerto
8.633
2.350
41
180
72
1.728
36
Purwobinangun
8.833
2.472
561
277
296
708
30
Hargobinagun
7.269
2.458
2.215
396
665
430
18
1.4.2 Sosial-budaya dan ekonomi Masyarakat merupakan etnis Jawa dengan bahasa Jawa sebagai bahasa pergaulan, tetapi saat ini bahasa Indonesia juga sering digunakan. Secara umum masyarakat beragama Islam dengan budaya Jawa yang masih kental. Kelompok-kelompok agama banyak tersebar di sekitar kawasan kajian. Secara umum mata pencaharian masyarakat adalah petani dan peternak. Di lereng bagian atas petani bercocok-tanam dengan sistem ladang yang mengandalkan air hujan sehingga pada umumnya jenis tanaman yang ditanam adalah palawija, ketela dan buah-buahan seperti pisang dan nangka. Sebagian lainnya, terutama di daerah utara dan barat daya yang airnya melimpah, para petani menanam sayuran dan daerah tersebut menjadi salah sentra sayuran untuk wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Petani yang tinggal di lereng bagian bawah bercocok-tanam dengan mengolah sawah. Sedangkan peternakan yang dikembangkan oleh masyarakat adalah peternakan sapi, terutama sapi perah dan kambing. Peternak di bagian utara memelihara sapi perah sedangkan di bagian timur dan sebagian selatan serta tenggara beternak ikan darat (empang).
Meskipun secara umum masyarakat desa target adalah petani dan peternak, tetapi tiap wilayah (Turi, Cangkringan dan Pakem) memiliki karakteristik sosial ekonomi yang berbedabeda. Masyarakat Cangkringan hampir seluruhnya bergantung pada peternakan, terutama sapi perah. Dalam sehari produksi susu yang dihasilkan mencapai 20-30 liter per sapi per hari dengan nilai jual susu per liternya adalah Rp 2.000,00 (FGD 3 dan 4, 2008). Dari pendapatan inilah mereka mencukupi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Sebelum tahun 1990an, masyarakat bergantung pada hasil ladang dan sapi potong atau sapi jawa sebagai hewan peliharaan, tetapi sejak adanya program sapi perah mereka beralih pada peternakan sapi perah. Adanya peralihan ini berdampak cukup signifikan terhadap kondisi kawasan Gunung Merapi, sebab jumlah pakan rumput yang diambil dari kawasan menjadi lebih banyak. Sapi perah lebih banyak membutuhkan pakan rumput daripada sapi potong atau sapi jawa. Setiap harinya, seekor sapi perah membutuhkan rumput 30-40 kg, sedangkan sapi ptong atau sapi jawa tidak membutuhkan sebanyak itu. Akan tetapi dengan adanya peralihan ke peternakan sapi perah, tingkat ekonomi masyarakat meningkat. Masyarakat yang tadinya tidak memiliki pendapatan tetap tiap harinya menjadi memiliki pendapatan tetap dari penjualan susu. Oleh karena itu perkembangan peternakan sapi perah di wilayah ini cukup pesat, selain itu banyak bantuan dari pemerintah yang diberikan untuk memacu peternakan tersebut. Perekonomian masyarakat juga berasal dari pertambangan pasir, meskipun hanya didaerah tertentu saja. Pada daerah ini (Glagaharjo, Kepuharjo) terdapat mendapat aliran lahar dingin yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tambang pasir.
Gambar 3. Aktivitas penambangan pasir di sungai Gendol, lereng selatan Gunung Merapi
Gambar 4. Aktivitas pengambilan rumput di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merapi
Masyarakat Turi hampir seluruhnya adalah petani salak. Proses pengembangan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah hampir sama dengan yang di Cangkringan. Bila Cangkringan yang dikembangkan adalah sapi perah, maka di Turi yang dikembangkan adalah salak pondoh. Salak ini dikembangkan mulai tahun 1980an dengan maksud meningkatkan perekonomian masyarakat yang tadinya hanya berladang palawija. Adanya salak cukup mengangkat perekonomian masyarakat. Salak dapat dipanen sepanjang tahun dan pada waktu tertentu dipanen dalam jumlah yang sangat besar. Ketika panen raya (bulan Desember-Januari), masyarakat dapat memperbaiki kehidupan ekonominya meskipun saat ini nilai penjualan tidak terlalu tinggi. Saat ini nilai penjualan salak per kg mencapai Rp 2.500,00 dan jumlah salak yang dipanen tiap harinya mencapai 30-40 kg. Tetapi berkembangnya pertanian salak juga memberikan dampak buruk yaitu banyaknya lahan yang dikonversi menjadi lahan salak, termasuk daerah penangkap air. Dengan demikian debit air jauh berkurang bila dibandingkan 10-20 tahun yang lalu. Saat ini debit air berkurang hingga sepersepuluhnya (FGD 1). Masyarakat Pakem merupakan masyarakat yang lebih sering berhubungan dengan orang luar. Hal ini disebabkan adanya objek wisata yang berkembang cukup bagus di wilayah ini (objek wisata Kaliurang). Dengan adanya objek wisata ini masyarakat di dekat objek wisata cenderung berbisnis dengan membuka warung atau penginapan. Bila dibandingkan dengan kedua wilayah lainnya, masyarakat di wilayah ini lebih plural begitu pula dengan sumber perekonomiannya. Tingkat perekonomian masyarakat Pakem lebih beragam, ada yang berdagang, bertani, beternak, buruh, penambang pasir, karyawan bahkan banyak pula pendatang yang turut meramaikan di wilayah ini. Pada kawasan target terdapat dua koperasi ternak yang cukup besar yang cakupan wilayahnya meliputi hampir seluruh kawasan target. Koperasi ini menangani pengumpulan susu, penjualan susu dan simpan pinjam bagi anggotanya. Pengelolaan pakan ternak belum menjadi salah satu aspek kajiannya. Jelas tergambarkan disini bahwa perekonomian masyarakat sangat bergantung pada keberadaan kawasan ini, maka bila terjadi kerusakan kawasan, merekalah orang yang pertama kali merasakan akibatnya. Oleh karena itu masyarakat memiliki potensi untuk dilibatkan dalam menjaga dan melindungi kawasannya.
1.4.3 Hubungan masyarakat dan sumberdaya alam Masyarakat sekitar Merapi memanfaatkan hutan di kawasan tersebut utamanya sebagai sumber rumput untuk pakan ternak dan sebagian untuk kayu bakar (terutama akasia dan tanaman yang sakit) sebagai bahan pembuatan arang yang dijual di wilayah mereka. Beberapa hal konservasi yang sudah tampak diantara masyarakat, dan dapat dijadikan pendukung pilar-pilar konservasi adalah : (a) Kesepakatan diantara masyarakat: bila ingin mengambil / menebang tanaman, harus menanam dulu dari jenis yang sama minimal 5 pohon. (b) Adanya pendapat: bila hutan dihijaukan oleh masyarakat maka warga masyarakat tidak akan kelaparan; serta pendapat : bila hutan ditanami palawija (jagung, ketela dll) maka warga masyarakat sekitar kawasan akan mengalami kekurangan makan (tidak akan pernah merasa kenyang). (c) Adanya keyakinan hubungan spiritual dan supranatural antara Merapi, Kraton Yogya dan Laut Selatan yang didasari atas anggapan Merapi bukan ancaman tapi sebagai sumber kehidupan.
1.5. Konservasi Alam dan Kawasan Target 1.5.1. Sejarah dan Status Kawasan Seperti dijelaskan di awal, Gunung Merapi merupakan kawasan lindung sejak tahun 1931 untuk perlindungan sumber air, sungai dan penyangga sistem kehidupan kabupaten/kota Sleman, Yogyakarta, Klaten, Boyolali, dan Magelang. Sebelum ditunjuk menjadi TNGM di wilayah DIY, kawasan ini terdiri dari beberapa kawasan dengan status yang berbeda (Tabel 2). Tabel 2. Status Kawasan sebelum ditunjuk menjadi TNGM No.
Status kawasan
Luas area (Ha)
Keterangan
1.
Hutan Lindung
1.041,38
Saat ini banyak dilakukan penghijauan di kawasan ini, umumnya didominasi oleh tanaman seperti Acasia decuren, Calliandra spp., Erythrina sp., Schima sp.
2.
Cagar Alam Plawangan-Turgo
146,16
Lokasinya berdekatan dengan hutan wisata. Jenis tanaman lebih bervariasi
3.
Taman Wisata Alam Plawangan-Turgo
95,65
Banyak dikunjungi oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara.
Kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui SK Menhut 134/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 dengan luasan 6.410 ha (1.283,99 ha di DIY dan 5.126,01 ha di Jateng). Kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan alasan kekhasan Gunung Merapi yang sangat aktif dan merupakan tipe tersendiri serta adanya ekosistem yang unik, menarik dan dinamis dari kombinasi biosistem, geosistem dan sociosistem. Penetapan kawasan ini menjadi Taman Nasional pada awalnya menimbulkan polemik dan konflik pro-kontra. Pihak yang pro berpendapat bahwa dengan ditetapkan sebagai Taman Nasional maka kawasan ini akan lebih terjaga karena memiliki pengelolaan yang lebih teratur, sedang pihak yang kontra mempermasalahkan cara penetapannya yang top-down dan merisaukan masalah zonasi kawasan. Zonasi disini maksudnya adalah pembagian kawasan berdasarkan fungsi dan kondisi daerah (kehati tinggi atau tidak). Secara umum zonasi dibagi menjadi zona pemanfaatan, zona inti dan zona rimba. Bagi masyarakat yang kehidupan sehari-harinya bergantung terhadap kawasan, zonasi tidaklah menjadi satu permasalahan, karena yang mereka perlukan hanyalah akses untuk mendapatkan manfaat dari kawasan seperti kayu, rumput, air, pasir. Dalam perkembangannya, batasan TNGM belum tersosialisasikan kepada masyarakat secara menyeluruh. Akibatnya banyak masyarakat yang tinggal disekitar kawasan belum mengerti batasan TNGM dan sering beraktifitas di dalam kawasan.
1.5.2. Nilai Penting Kawasan Sesuai dengan tujuan pembentukannya, Taman Nasional Gunung Merapi memiliki peranan yang sangat penting dalam ekosistem dan masyarakat. Secara umum, ada dua nilai penting kawasan ini yaitu: (a) Merupakan sumber mata air bagi kehidupan sebagian masyarakat di Klaten, Yogyakarta, Sleman, Boyolali dan Megelang.
(b) Mempunyai fungsi laboratorium alam untuk pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan, peningkatan kesadaran konservasi alam, dan mendukung kepentingan budidaya
1.5.3. Ancaman terhadap Kawasan Secara umum ancaman di TNGM dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ancaman alami dan ancaman akibat aktivitas manusia 1. Ancaman alami Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api teraktif di dunia. Dalam jangka waktu pendek sering mengalami aktivitas vulkanik yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Berdasarkan sejarah, Gunung Merapi mulai tampil sebagai gunung api sejak tahun 1006, ketika itu tercatat sebagai letusannya yang pertama (Data Dasar Gunungapi Indonesia, 1979). Sampai letusan Februari 2001, sudah tercatat meletus sebanyak 82 kejadian. Secara rata-rata Merapi meletus dalam siklus pendek yang terjadi setiap 2 – 5 tahun, sedangkan siklus menengah setiap 5 – 7 tahun. Memasuki abad 16 catatan kegiatan Gunung Merapi mulai terjadi secara terus menerus dan terlihat bahwa siklus terpanjang pernah dicapai selama 71 tahun ketika jeda antara tahun 1587 dan kegiatan 1658. Letusan pada November 1994 menyebabkan hembusan awan panas (wedhus gembel) ke bawah hingga menjangkau beberapa desa dan memakan korban puluhan jiwa manusia. Letusan 19 Juli 1998 cukup besar namun mengarah ke atas sehingga tidak memakan korban jiwa. Catatan letusan terakhir gunung ini adalah pada tahun 2001-2003 berupa aktivitas tinggi yang berlangsung terus-menerus (vsi.esdm.go.id). 2. Ancaman aktivitas manusia §
Penambangan pasir. Karena aktivitas vulkanik yang tinggi maka pada kawasan ini banyak terdapat pasir yang ditambang oleh masyarakat sekitar. Penambangan ini terkadang tidak menghiraukan kondisi bentukan lahan, sehingga bentukan lahan menjadi berubah, contohnya bentukan lahan yang pada awalnya adalah tebing berubah menjadi dataran.
§
Perumputan. Pada musim penghujan jumlah rumput sebagai pakan alami cukup banyak, tetapi ketika musim kemarau, masyarakat sekitar mengambil pakan ternaknya sampai daerah yang cukup tinggi bahkan hingga batas vegetasi, tanpa mengindahkan jenis tumbuhan yang diambil (pembahasan lebih lanjut mengenai perumputan ini dapat dilihat di bab 3).
§
Konversi hutan alam menjadi ladang dan untuk budidaya rumput. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dan diskusi informal dengan beberapa tokoh masyarakat, kegiatan pembukaan lahan dengan mengkonversi hutan di kawasan TNGM semakin meluas. Di beberapa daerah terjadi pembukaan kawasan hutan yang digunakan untuk budidaya pakan ternak (HMT).
1.5.4. Program Konservasi Lain dan Lembaga yang terlibat Masyarakat kawasan ini sudah melakukan beberapa upaya perlindungan kawasan walaupun sifatnya masih sporadis dan belum ada program khusus yang sifatnya sustainable. Beberapa lembaga yang telah dan sedang melakukan kegiatan di kawasan ini antara lain: (a) Yayasan Kanopi Indonesia telah melakukan program pembinaan kelompok petani anggrek bersama BKSDA DIY (Balai Konservasi Sumberdaya Alam Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta). Dalam hal ini Kanopi Indonesia ikut membantu dalam program pemberdayaan masyarakat melalui program pelatihan budidaya anggrek. (b) Yayasan Kutilang Indonesia sering melakukan kegiatan pendataan burung di TNGM dan juga melakukan monitoring secara berkala. Ketika diketahui adanya anakan burung yang dilindungi, maka yayasan ini segera melakukan pengamanan untuk mencegah terjadinya perburuan satwa liar. (c) Yayasan Hijau-GPL sering mengadakan kegiatan pendidikan lingkungan yang diarahkan kepada anak-anak dan orang tua di wilayah sekitar TNGM. Melalui kegiatan ini maka pengetahuan lingkungan dapat diberikan sejak dini kepada anak-anak. (d) Forum Masyarakat Turi, Cangkringan, Pakem (TuCangKem) merupakan gabungan masyarakat dari 3 kecamatan yang ada. Forum ini melakukan pembahasanpembahasan mengenai kondisi Merapi secara keseluruhan, baik mengenai pengamanan terhadap ancaman letusan Gunung Merapi maupun kesejahteraan masyarakat. (e) BKSDA DIY merupakan instansi pemerintah yang bertanggung-jawab terhadap sebagian wilayah Gunung Merapi (terutama lereng Selatan) sebelum terbentuknya Balai Taman Nasional Gunung Merapi, yakni di Hutan Lindung dan Cagar Alam Plawangan-Turgo.
1.5.5. Potensi Kawasan Wisata Alam Taman Nasional Gunung Merapi memiliki potensi wisata yang cukup tinggi. Selain daya tarik keanekaragaman hayatinya seperti flora dan fauna, daya tarik bentang alam (landscape) seperti pemandangan alam yang indah di kawasan tersebut dan daya tarik geografis memiliki potensi untuk dikembangkan. Potensi yang dimiliki oleh TNGM : § Obyek wisata alam (ecotourism) dan budaya yang menjadi obyek pariwisata yang dapat memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. § Peluang pengembangan jasa lingkungan dan wisata alam untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah Obyek wisata yang ada di kawasan TNGM antara lain : Objek Wisata Kaliurang Kaliurang berada pada ketinggian 878 m dpl dan terletak di lereng selatan Gunung Merapi sekitar 25 km dari Kota Yogyakarta. Udaranya yang sejuk, antara 20o-25oC, mengundang orang berdatangan untuk beristirahat. Fasilitas yang ditawarkan Kaliurang adalah Taman Bermain seluas 10.000 m3 yang dilengkapi arena bermain untuk anak-anak. Selain itu ada kolam renang Tlogo Putri dengan sumber air alami dari lereng Bukit Plawangan. Untuk melihat-lihat Merapi disediakan tempat yang dikenal dengan Gardu Pandang yang berlokasi ditepi Kali Boyong yang terkenal karena terlanda awan panas pada tahun 1994. Objek Wisata Turgo-Plawangan Bukit Turgo dan Plawangan menawarkan pemandangan alam yang asri dan arena olah raga lintas alam. Wisatawan dapat menikmati hutan tropis yang masih tertata rapi serta batuan Merapi tua yang berumur sekitar 40.000 tahun. Dicelah dua bukit ini, yaitu sisi timur Turgo dan sisi barat Plawangan pernah dilanda awan panas pada Letusan November 1994 Objek Wisata Kaliadem Arena panjat tebing dan perkemahan adalah paket wisata lainnya di lereng tenggara Merapi. Kaliadem adalah salah satu pintu pendakian puncak Merapi yang dikenal dengan Jalur Kinarejo.
Acara budaya sekali setiap tahun, antara Oktober – November, dilakukan upaca tradisi dari Kraton Yogyakarta yang dikenal dengan Upacara Labuhan. Pada Zaman Kerajaan Mataran upacara Labuhan dilaksanakan dengan maksud agar raja dan penduduk mendapatkan kesejahteraan.
2. Penilaian Kawasan 2.1 Matriks stakeholder Proses perencanaan kampanye ini melibatkan banyak pihak, baik lembaga pemerintah, LSM (lembaga swadaya masyarakat), maupun tokoh masyarakat lokal. Hal ini dilakukan untuk membangun rasa ”kepemilikan” masyarakat terhadap program kampanye ini yang dapat memotivasi mereka untuk berpartisipasi aktif didalam pelaksanaannya serta untuk menggali informasi langsung dari sumbernya untuk mendapatkan informasi yang valid. Analisis stakeholder dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai kelompokkelompok stakeholder yang dapat mewakili kepentingan semua pihak. Adapun analisis ini meliputi kepentingan yang dibawa, potensi serta konsekuensi dari kehadiran pemangku kepentingan tersebut dalam perencanaan program. Keluaran dari analisa stakeholder adalah suatu matriks yang disebut dengan matriks analisa stakeholder. Berdasarkan matriks ini, peserta pertemuan stakeholder ditentukan. Tidak semua peserta atau individu atau wakil kelompok masyarakat yang ada di dalam matriks ini akan dilibatkan.
2.1. Analisis pemangku kepentingan Berikut adalah matriks pemangku kepentingan beserta kepentingan yang dibawa, potensi serta konsekuensi dari kehadiran pemangku kepentingan tersebut dalam perencanaan program. Tabel 3. Matriks analisa pemangku kepentingan (pada pertemuan pertama) No.
Lembaga/instansi
Nama
Isu yang dibawa
Motif
Potensi kontribusi
Konsekuensi
1.
Balai Taman Nasional Gunung Merapi
Ir. Tri Prasetyo
Integrasi kegiatan spesifik Pride dalam mendukung konservasi kawasan Merapi
Program yang saling berkaitan, tidak ada kontra dalam pengelolaan TN
Informasi data, integrasi kegiatan, dukungan, personel lapangan,
Kerjasama & integrasi program yang baik dan kesepahaman mengenai pendekatan Pride
2.
Balai Taman Nasional Gunung Merapi
Silvana Nurwidi
Integrasi kegiatan spesifik Pride dalam mendukung konservasi kawasan Merapi
Program yang saling berkaitan, tidak ada kontra dalam pengelolaan TN
Informasi data, integrasi kegiatan, dukungan, personel lapangan,
Kerjasama & integrasi program yang baik dan kesepahaman mengenai pendekatan Pride
3.
Balai Taman Nasional Gunung Merapi
Nuryadi
Integrasi kegiatan spesifik Pride dalam mendukung konservasi kawasan Merapi
Program yang saling berkaitan, tidak ada kontra dalam pengelolaan TN
Informasi data, integrasi kegiatan, dukungan, personel lapangan,
Kerjasama & integrasi program yang baik dan kesepahaman mengenai pendekatan Pride
4.
Balai Taman Nasional Gunung Merapi
Sutrisno
Integrasi kegiatan spesifik Pride dalam mendukung konservasi kawasan Merapi
Program yang saling berkaitan, tidak ada kontra dalam pengelolaan TN
Informasi data, integrasi kegiatan, dukungan, personel lapangan,
Kerjasama & integrasi program yang baik dan kesepahaman mengenai pendekatan Pride
5.
Camat Cangkringan
Sanyoto, B.A.
Dukungan pelaksanaan Kampanye Pride
Dukungan penuh pelaksanaan Kampanye Pride, sosialisasi kegiatan
Informasi data, personel lapangan, dukungan
Beberapa desa di Kecamatan menjadi site learning (?)untuk desa yang lain mengenai konservasi
6.
Karang taruna
Angga
Dukungan pelaksanaan
Dukungan penuh pelaksanaan
Personel lapangan,
Keterlibatan
No.
Lembaga/instansi
Nama
Hargobinangun
Isu yang dibawa
Motif
Kampanye Pride
Kampanye Pride, sosialisasi kegiatan
Potensi kontribusi dukungan kegiatan kampanye
Konsekuensi dalam program
7.
Karang taruna Glagaharjo
Poniman
Dukungan pelaksanaan Kampanye Pride
Dukungan penuh pelaksanaan Kampanye Pride, sosialisasi kegiatan
Personel lapangan, dukungan kegiatan kampanye
Keterlibatan dalam program
8.
Forum Tucangkem
Drs. Widjanto
Konservasi kawasan Merapi
Mengembangkan konservasi kawasan berbasis masyarakat
Informasi data, personel lapangan, dukungan
Dukungan program
9.
Forum Tucangkem
Suryanto
Konservasi kawasan Merapi
Mengembangkan konservasi kawasan berbasis masyarakat
Informasi data, personel lapangan, dukungan
Dukungan program
10.
PKK Kec. Cangkringan
Badriyah
Pemberdayaan perempuan; kegiatan memberi keuntungan/manfaat bagi perempuan
Pembelajaran konservasi untuk pelestarian sumberdaya alam; mencari kesempatan pengembangan diri & peningkatan pendapatan alternatif
Peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam; alternatif kegiatan untuk peningkatan kapasitas perempuan Pengambilan keputusan dalam kehidupan seharihari yang berimbang gender Dukungan aktivitas program
Perspektif perempuan dalam pengelolaan SDA di kawasan; kontak person; keterlibatan dalam program
11.
PKK Kec. Pakem
Maryuni
Pemberdayaan perempuan; kegiatan memberi keuntungan/manfaat bagi perempuan
Pembelajaran konservasi untuk pelestarian sumberdaya alam; mencari kesempatan pengembangan diri & peningkatan pendapatan alternatif
Peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam; alternatif kegiatan untuk peningkatan kapasitas perempuan Pengambilan keputusan dalam kehidupan seharihari yang berimbang gender Dukungan aktivitas program
Perspektif perempuan dalam pengelolaan SDA di kawasan; kontak person; keterlibatan dalam program
12.
Kelompok tani ternak
Sigit Ariyanto
Pengelolaan ternak dan pengadaan pakan ternak
Kebutuhan pakan ternak tercukupi tanpa merusak ligkungan lebih besar
Dukungan publik, data-data kehati, pemetaan partisipatif
Konflik kepentingan antara kebutuhan pakan ternak dan konservasi
13.
Polhut
Haryono
Pengelolaan kawasan hutan Merapi
Kawasan hutan terjaga
Dukungan personel lapangan, dukungan kegiatan, informasi kawasan
Dukungan program
14.
Tokoh masyarakat Kaliadem
Ponimin
Tokoh masyarakat, sosialisasi kegiatan
Sosialisasi Kampanye Pride, dukungan dan kerjasama kegiatan
Dukungan kampanye Pride, personel lapangan
Dukungan program
15.
Tokoh masyarakat Glagaharjo
Warnomijan
Tokoh masyarakat, sosialisasi kegiatan
Sosialisasi Kampanye Pride, dukungan dan kerjasama kegiatan
Dukungan kampanye Pride, personel lapangan
Dukungan program
16.
Tokoh masyarakat
Purwo H.S.
Tokoh
Sosialisasi
Dukungan
Dukungan
No.
Lembaga/instansi
Nama
Hargobinangun
Isu yang dibawa
Motif
masyarakat, sosialisasi kegiatan
Kampanye Pride, dukungan dan kerjasama kegiatan
Potensi kontribusi kampanye Pride, personel lapangan
Konsekuensi program
17.
Kecamatan Pakem
Sunarni
Dukungan pelaksanaan Kampanye Pride
Dukungan penuh pelaksanaan Kampanye Pride, sosialisasi kegiatan
Informasi data, personel lapangan, dukungan
Beberapa desa di Kecamatan menjadi site learning untuk desa yang lain mengenai konservasi
18.
Camat Pakem
Drs. Budiharjo
Dukungan pelaksanaan Kampanye Pride
Dukungan penuh pelaksanaan Kampanye Pride, sosialisasi kegiatan
Informasi data, personel lapangan, dukungan
Beberapa desa di Kecamatan menjadi site learning untuk desa yang lain mengenai konservasi
19.
LKPK
Uyung P.
Pemberdayaan masyarakat dalam potensi ekonomi selain kayu
Dukungan penuh pelaksanaan Kampanye Pride, sosialisasi kegiatan
Informasi data, personel lapangan, dukungan
Dukungan program
20.
LKPK
Robi
Pemberdayaan masyarakat dalam potensi ekonomi selain kayu
Dukungan penuh pelaksanaan Kampanye Pride, sosialisasi kegiatan
Informasi data, personel lapangan, dukungan
Dukungan program
21.
Hijau-GPL
Kendal
Pendidikan Lingkungan, Seni
Kerjasama dalam pengembangan pendidikan lingkungan dan seni
Dukungan material, personel lapangan, pola pengembangan pendidikan lingkungan
Kerjasama dalam berkegiatan dan mengembangkan pendidikan lingkungan bersama
Stakeholder workshop atau pertemuan masyarakat Lereng Selatan Gunung Merapi pertama kali dilaksanakan pada tanggal 27 September 2007 di Aula Kecamatan Pakem. Pertemuan ini dihadiri oleh 21 orang yang mewakili masyarakat dari 7 desa target (Girikerto, Wonokerto, Purwobinangun, Hargobinangun, Umbulharjo, Kepuharjo dan Glagaharjo), instansi pemerintah, dan LSM. Pada pertemuan pertama ini dilakukan sosialisasi mengenai program Kampanye Bangga Konservasi serta model konsep awal tentang kondisi Gunung Merapi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Gambar 5. Proses fasilitasi dalam penentuan Model Konsep pada pertemuan stakeholder pertama
Gambar 6. Peserta pertemuan stakeholder membuat model konsep
2.2 Focus group discussion (FGD) 2.2.1 Proses FGD Sebagai salah tahap perencanaan Kampanye Pride, diskusi Kelompok Terfokus (focus group discussion/FGD) dilakukan dengan tujuan menggali informasi sedalam-dalamnya mengenai ancaman yang ada di kawasan seperti kelangkaan air1, pengambilan rumput, wisata dan sampah yang berpengaruh terhadap kelestarian alam Gunung Merapi. FGD ini dilaksanakan sebanyak 6 kali yang dilaksanakan di 3 tempat pada tanggal 12 – 14 November 2007. Proses ini diawali dengan pembentukan tim fasilitator FGD dan tim kerja lainnya. Pada tahap pembentukan tim fasilitator ini didiskusikan mengenai tujuan FGD, mekanisme FGD serta pertanyaan panduan yang akan ditanyakan. Hasilnya dikonsultasikan kepada pihak Rare. Sementara itu juga dilakukan pembagian tim yang akan menghubungi peserta FGD. Penentuan peserta dibantu oleh Pak Widjanto (Ketua Forum Tucangkem, Kasi ekobang Kecamatan Pakem), Pak Tugiman (Forum Tucangkem, pegawai Kecamatan Cangkringan) dan Pak Dukuh Kamijo (Dukuh Kinahrejo). Bantuan ini sangat bermanfaat bagi pelaksanaan FGD karena mereka berperan sebagai mediator untuk mencapai kelompok target. Setelah mendapat nama-nama calon peserta, dilakukan pemilahan/seleksi untuk memilih peserta yang berhubungan dengan tema FGD. Penyebaran undangan sebagian dibantu oleh pihak kecamatan dan kelurahan, sebagian lagi dilakukan oleh tim Kanopi. Ketika memberikan undangan dijelaskan pula mengenai tujuan kegiatan Kampanye dan latar belakang Kanopi dan kegiatan yang akan dilaksanakan sehingga masyarakat tidak berpikiran negatif tentang kegiatan Kampanye yang akan dilakukan dan diharapkan dapat memberikan dukungan penuh. Pada saat pendistribusian undangan, kendala yang terjadi di lapangan adalah undangan yang dibawa pihak kecamatan dan kelurahan terlambat atau tidak sampai pada orang yang bersangkutan sehingga ada banyak peserta yang tidak mampu hadir. Meskipun demikian jumlah yang hadir masih dapat mewakili kepentingan masyarakat dan memenuhi tujuan diadakannya FGD ini. Pembelajaran yang dapat diambil dari proses pelaksanaan FGD ini antara lain adalah diperlukannya persiapan yang matang dari tim FGD, terutama ketika berinteraksi dengan peserta. Pemilihan waktu juga harus hati-hati dan memperhatikan kesibukan atau agenda yang ada di masyarakat desa target. Dalam pendistribusian undangan sebaiknya tetap 1
Lebih tepatnya menggali informasi yang melatarbelakangi atau menyebabkan kelangkaan air
terkoordinasi dan dimonitor perkembangannya meskipun sudah dititipkan kepada pihak kelurahan dan kecamatan.
2.2.2 Deskripsi Peserta Gambaran karakteristik peserta yang mengikuti FGD adalah sebagai berikut : Tabel 5. Karakteristik peserta Focus Group Discussion (FGD) Grup FGD
Karakteristik
Tema/faktor
1
Pria dan wanita, usia diatas 30 tahun, masyarakat Turi pemakai air
Kelangkaan air
2
Pria dan wanita,usia diatas 30 tahun, masyarakat Pakem dan Cangkringan pemakai air
Kelangkaan air
3
Pria, usia diatas 30 tahun, pencari rumput
Pengambilan rumput
4
Wanita, usia diatas 30 tahun, pencari rumput
Pengambilan rumput
5
Pria dan wanita, usia diatas 30 tahun, pelaku wisata
Wisata dan sampah
6
Pria dan wanita, usia diatas 30 tahun, masyarakat sekitar lokasi wisata
Wisata dan sampah
Gambar 7. Peserta FGD 3 di Pelemsari, Umbulharjo, Cangkringan (Foto oleh: Kanopi Indonesia)
Uraian lebih detil mengenai pelaksanaan FGD adalah: §
FGD hari pertama dilaksanakan di dusun Tunggularum, Desa Wonokerto, Kecamatan Turi pada tanggal 12 November 2007 pukul 20.00-22.30 WIB. FGD (Group 1) ini menitikberatkan pada tema kelangkaan air, diikuti warga dari desa Wonokerto dan Girikerto, Kecamatan Turi dan warga dari Srumbung, Magelang.
§
FGD hari kedua dilaksanakan pada tanggal 13 November 2007 di dusun Pelemsari, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan pada pukul 20.00-22.00 WIB. Pada hari itu dilakukan 2 FGD sekaligus, yakni FGD 3 yang dihadiri oleh bapak-bapak dari desa Glagaharjo, Kepuharjo, dan Umbulharjo. Sedangkan FGD 4 dihadiri oleh ibu-ibu dari desa Glagaharjo, Kepuharjo, dan Umbulharjo. Tema yang diangkat adalah pengambilan rumput untuk kedua FGD tersebut.
§
FGD hari ketiga dilaksanakan pada tanggal 14 November 2007 di aula kelurahan Hargobinangun, kecamatan Pakem, pukul 20.00-22.00 WIB. Pada hari itu dilakukan 3 FGD sekaligus, yakni FGD 2 tentang kelangkaan air, FGD 5 dan 6 tentang wisata dan sampah. FGD ini dihadiri oleh masyarakat disekitar Pakem dan Cangkringan, terutama yang berkaitan dengan kelestarian air, pelaku wisata dan pengelolaan sampah.
Pada saat pelaksanaannya, peserta yang hadir ada beberapa yang tidak sesuai seperti yang direncanakan. Misalnya pada FGD 1, 2, 5 dan 6 hanya dihadiri oleh bapak-bapak. Pada FGD 1 dan 4 yang menghadiri tidak hanya yang berusia 30 tahun ke atas tetapi ada yang berusia 20 tahunan.
Gambar 8 Peserta FGD 4 di Pelemsari, Umbulharjo, Cangkringan (Foto oleh:Kanopi Indonesia)
2.2.3 Hasil FGD Pertanyaan utama di dalam penelitian ini adalah: faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya kelangkaan air, meningkatnya pengambilan rumput pakan ternak, meningkatnya dampak negatif dari wisata dan meningkatnya sampah yang tidak terkelola dengan baik. Dalam 6 kali FGD dengan 3 topik diskusi berbeda, terdapat beberapa persamaan pandangan terhadap kelestarian kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Persamaan tersebut adalah: 1. Masyarakat desa target beraktivitas setiap hari di kawasan Gunung Merapi, seperti melakukan kegiatan pengambilan rumput, pengumpulan kayu bakar, dan membuka kebun.. Hal ini seperti diungkapkan oleh Bu Udi (FGD Kel. 4, topik pengambilan rumput): “nek orang dusun niku memang tiap hari, tapi itu kegiatan nyari rumput” (“kalau orang dusun itu memang tiap hari, tapi itu kegiatan mencari rumput”). 2. Hutan di Gunung Merapi dipandang penting bagi keberlangsungan mata air yang airnya dimanfaatkan seluruh warga desa target dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini semakin lama masyarakat merasakan semakin sulit untuk mendapatkan air. Pandangan seperti ini didapatkan dalam hampir setiap diskusi, seperti yang disampaikan oleh Agralno (Kel. 5 Topik wisata dan sampah) :”...karena disana tempat apa pusat penghidupan dari warga kami... karena airnya berasal dari sana... utamanya pada waktu air ga ngalir ataupun kena erupsi kemarin tu hampir tiap hari ke mudal sana ...”, maupun Sukir (Kel 6, Topik wisata dan sampah), ”kalo musim hujan cukup mas, tapi kalo musim kemarau kurang jadi harus naik …”. Sementara ini, sudah ada inisiatif dari beberapa warga untuk menjaga mata air di kawasan tersebut seperti misalnya melakukan
penanaman di sekitar mata air, seperti pernyataan Sugito (Kel. 1 Topik kelangkaan air): “…sumber mata airnya itu sendiri dimanfaatkan oleh masyarakat. Jadi masyarakat menjaga kelestarian sumber air itu….”. Namun demikian, jumlah pasokan air tidak selalu tersedia, Karjiyo (Kel. 2 topik kelangkaan air) menyatakan: ” kalau kemarau panjang itu langka air betul. untuk masak harus ambil di sungai, untuk nyuci mandi kemudian untuk minum.” 3. Kegiatan penyadaran masyarakat, baik mengenai pengelolaan sampah, wisata, kelestarian air maupun pengambilan rumput sangat diperlukan mengingat bahwa dampak yang ditimbulkan pada akhirnya harus dirasakan oleh masyarakat desa target yang kehidupannya sangat bergantung pada sumber daya alam. Hadi dari Kel. 5 topik wisata dan sampah, contohnya, menyatakan: ”...memotivasi masyarakat.. ya mungkin selama ini masyarakat yang peduli kan sedikit sekali tapi yang merusak banyak sekali”, sementara Karjiyo dari Kel. 2 topik kelangkaan air menyatakan: ”…. asal tanaman itu dipelihara dengan baik, pasti air cukup. Namun kalau tidak , saya yakin musim kemarau panjang pasti kesulitan. Itu perlu dikontrol”. Ngadiyono (Kel. 2, topik kelangkaan air) memperkuat hal ini dengan menyatakan, “.. masih perlu sekali apa ya .. pengertian untuk disosialisasikan ke masyarakat, jangan yang namanya pepohonan itu sangat penting bagi kita dan bagi masyarakat yang e sini lereng itu daerah resapan air dan juga sangat berguna buat masyarakat yang lain.” Sementara itu, hasil temuan terhadap setiap topik spesifik adalah seperti di bawah ini: Pengambilan Rumput 1. Dalam kelompok yang mendiskusikan mengenai penambilan rumput, frekuensi kegiatan ini dalam satu hari tergantung pada kebutuhan pakan. Namun demikian, terdapat kesamaan pendapat di antara responden, bahwa dalam sehari mereka dapat mengambil rumput dua kali. Bu Udi menyatakan, ”Tiap hari… sehari 2 kali.” (FGD Kel. 4) 2. Jumlah kebutuhan pakan ternak tergantung pada jumlah ternak yang dimiliki oleh setiap rumah tangga. Hampir setiap rumah di desa Kepuharjo, Glagaharjo dan Umbulharjo memiliki ternak sapi perah minimal satu ekor, bahkan ada beberapa yang memiliki hingga 12 ekor. Hal ini seperti diungkapkan oleh Marniah, “Ya minimal satu…. Tapi paling banyak ada yang 10…. Ada yang 12” (FGD Kel. 4). Sementara itu, dalam satu hari satu ekor sapi perah membutuhkan 50-60 kg rumput, seperti yang disampaikan oleh Pak Asih (FGD Kel. 3), “Minimal dalam satu hari dibutuhkan minimal 50 kg rumput untuk 1 ekor sapi”. Pernyataan ini senada dengan yang disampaikan oleh Wanti (FGD Kel. 4), “50 kilo…. 60 kilo juga ada mbak… satu hari aja itu ndak cukup” 3. Jenis rumput yang diambil untuk pakan merupakan jenis yang bernutrisi tinggi seperti PB, Lampung, Inggris, Kalanjana Terkadang pakis juga diambil. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Pak Sukir (FGD Kel. 3), ”…rumput yang dipilih adalah rumput yang nutrisinya tinggi” dan secara bergantian oleh ibu-ibu dari Kelompok 4 menyebutkan jenisnya, yaitu “Inggris, Kalanjana, Pb, Lampung, alang-alang, pakis” 4. Lahan yang digunakan untuk mengambil rumput pada umumnya merupakan lahan kehutanan atau lahan di gunung yang masuk ke dalam kawasan TNGM dan sudah dianggap sebagai lahan sendiri. Lahan ini merupakan lahan warisan turun temurun. Seperti yang disampaikan oleh Bu Udi (Kelompok 4) , “kebanyakan lahan sendiri…. Lahan sendiri yo punya kehutanan juga…”. Sementara itu, Marniah (Kel. 4) menyatakan, ”babatnya itu dapat seberapa terus …Nanem rumputnya itu dapat seberapa” didukung oleh Maryati dari kelompok diskusi yang sama, ”kalo babatnya luas ya kita punya tempat rumputnya itu luas”. 5. Lahan yang dimanfaatkan tidak hanya di satu tempat tetapi ada beberapa tempat, tergantung dari kemampuan untuk membuka lahan. Hal ini seperti disampaikan oleh Narti (FGD Kel. 4), “…tergantung… 2-3 tempat” . Pernyataan ini senada dengan yang
disampaikan oleh Bu Udi (Kel. 4),”3 tempat ya ada, 5 tempat ya ada… 1 tempat ya ada… yang ga punya tempat ya ada…”. 6. Pada umumnya masyarakat tetap mengambil rumput di kawasan Gunung Merapi karena lahan milik pribadi atau pekarangan yang dimiliki tidak cukup luas sehingga rumput yang ada tidak mencukupi kebutuhan pakan ternak. Seperti yang disampaikan oleh Sukir (Kelompok 3),” Ya tidak cukup mas…karena lahan yang dimiliki masyarakat kecil-kecil mas jadi kalau yang ukuran hektar hampir tidak ada. Padahal kalau dihitung-hitung sapi satu sehari 50 kg, kalau punya 5 ekor sapi saja, nanti rumput sudah habis kebutuhan untuk sapi masih kurang ya memang kurang” . Pendapat dari Bu Udi (Kelompok 4), ”ya ndak cukup kalo cuman punya sendiri di deket rumah, ga cukup…”. Sementara itu batasan kawasan yang digunakan untuk mengambil rumput hampir tidak ada. Pengambilan rumput bahkan terus naik ke atas hingga ke batas vegetasi2 (kendhit) ketika musim kemarau. Hal ini seperti dinyatakan oleh Sukir (Kelompok 3)”…memang tidak ada batasan, bahkan sampai kendhit (batas vegetasi) pernah juga…” 7. Cara-cara atau teknologi yang digunakan untuk mengumpulkan rumput bervariasi mulai dari yang mengambil secara manual maupun menggunakan alat bantu. Penggunaan alat bantu bukan saja mengurangi tenaga yang digunakan dan mempercepat pengambilan, tetapi juga memperbanyak jumlah pengambilan. Marniah (Kel. 4) menyatakan, ” kalo dulu kan kita itu nyabit itu kalo… kebutuhan rumputnya itu 3 iket kan harus 3 kali balik, kalo sekarang kan udah rada enak, terus kita pake gerobak ya… satu gerobak itu dikasih 3 iket sekaligus sekali…”. Sementara itu, Pak Asih dan Pak Ramijo (Kelompok 3) sepakat bahwa.” Justru kalau cari rumput kebawah lebih enak. Memang jauh juga tetapi tinggal naik motor tidak capek…”. Dilain pihak, koperasi pengelolaan sapi yang memiliki sapi dalam jumlah cukup besar memenuhi kebutuhan pakan ternaknya tidak dari hutan. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Maryono (Kelompok 3), “…dari koperasi punya sewa lahan sedikit untuk memenuhi 80 sapi dengan teknologi tertentu tanpa harus merumput ditempat orang lain atau bahkan ke hutan” Kelangkaan Air 1. Hampir seluruh peserta diskusi sepakat bahwa pasokan air dari mata air semakin lama semakin berkurang debitnya, dan bahwa di musim kemarau sangat sulit untuk mendapatkan air. Diungkapkan oleh Ngadiyono (Kel. 2), ” Kalau boleh dikatakan sekarang itu air sudah beli .....” Bardi dari kelompok 1 memberikan gambaran yang lebih spesifik: “…Selanjutnya kondisi alam yang ada memang air ini semakin lama semakin surut dibandingkan tahun sebelum tahun 61, sebelum tahun 61 jauh sekali bahkan tinggal seper sepuluhnya.” 2. Penyebab berkurangnya air , menurut peserta diskusi, disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya adalah karena berkurangnya tutupan vegetasi di sekitar mata air yang disebabkan oleh erupsi lahar dingin serta ulah manusia yang menebangi pohon yang ada dan dampak dari kegiatan penambangan pasir. Hal ini berbeda untuk setiap wilayah. Misalnya, di Turi disebabkan oleh erupsi lahar dingin, meluasnya penanaman salak, dan penambangan pasir di sekitar kawasan. Untuk wilayah Pakem hal ini lebih disebabkan karena kurangnya sarana prasarana untuk mengalirkan air. Karena hanya mengandalkan swadaya mayarakat murni pengaliran air di wilayah ini hanya bisa menggunakan kualitas pipa yang rendah, yang mudah patah dan seringkali hilang. Sambyah dari Kel. 1 menyatakan, ”… airnya habis karena meskipun di sungai terus diduduk tidak hanya ambil pasir gunung, tapi tanahnya itu selain diduduk sampai ke bawah, bahkan samping kanan dan kiri bahkan sungainya diluaskan juga termasuk jurang” (diduduk – bahasa Jawa, artinya: digali). Sementara itu, Heru (Kel. 1) menuturkan, ”… lahan yang semula berbukit-bukit diolah menjadi tanaman salak 2
Batas vegetasi adalah istilah yang digunakan untuk daerah peralihan dimana vegetasinya sudah sangat berkurang; tidak ada pohon tinggi, yang dapat ditemukan adalah vegetasi sejenis Vaccinium sp. dan lumut
sehingga tidak menutup kemungkinan jika tanaman keras itu dipertahankan karena terkadang pingin punya lahan yang lebih sehingga tanaman keras itu tersingkir, dipotong untuk diolah..” . Penebangan pohon dan berkurangnya tanaman keras didorong oleh kebutuhan ekonomi sehari-hari. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Karjiyo (Kel. 2), ”… Karena terkejar kebutuhan, anak sekolah dan sebagainya masih segini segini [menjelaskan diameter pohon sebesar kepalan tangan] udah yang penting sekarang laku dijual, dijual….” 3. Wilayah desa yang berbeda memanfaatkan sumber mata air yang berbeda. Masyarakat Turi banyak mengambil air dari Krasak, sedangkan masyarakat Pakem mengambil air dari Umbul Klethak, dan masyarakat Cangkringan mengambil air dari Umbul Bebeng, Umbul Wadon dan Kali Kuning. 4. Jika sumber mata air sudah tidak lagi dapat mengalirkan airnya, responden dalam diskusi ini belum mengetahui alternatif yang harus dipilih dan cenderung pasrah dengan keadaan. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Suryanto (Kel. 1), “Itu hanya tinggal satu, tergantung Yang Maha Kuasa ( ha ha ha .........semua tertawa!!!) ketika wis raono air tenan njur kepiye ?” (kalau air sudah tidak ada lalu apa yang dilakukan?). Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Sugito dari kelompok diskusi yang sama, ” untuk membuat sumur, sumur sumber air ndak mungkin. Misal gambaran aja disini buat sumur untuk sumber air, sumur itu katakanlah bor dan sebagainya, manual, 30 meter itu belum tentu ada airnya.”. Lebih lanjut, Karjiyo dari kelompok 2 menyatakan, “Apalagi seperti kemarin karena pipa putus, semua beli air, pakai tangki itu” 5. Walaupun responden terlihat belum bisa membayangkan jika terjadi kelangkaan air, namun mereka memahami bahwa kegiatan pelestarian lingkungan merupakan cara untuk menghindari kelangkaan air. Kegiatan penanaman pohon sudah cukup banyak dilakukan di daerah ini, tetapi untuk perawatan masih sangat kurang dilakukan. Sambyah (Kel. 1) menuturkan, :”… untuk tahun 2007 ini baru saja selesai itu 4000 batang, tiap tahun kita menanam ... dan mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk perbaikan reklamasi sekitar 6 hektar waktu itu...” Pernyataan ini senada dengan yang diungkapkan Bardi (Kel. 1), “akhir 2006 kami swadaya dari orang kami yaitu mengadakan penghijauan 1000 pohon di petak 4 ...” Sutarman (Kel. 2) menjelaskan lebih jauh,” … ulah kita, yang tidak bisa merawat, dengan alasan ekonomi biasanya…. karena saya jelas dengan tahu dengan mata kepala saya sendiri mereka itu membunuh memotong apa jenenge tanaman itu dimatikan, … “ . Pernyataan ini didukung juga oleh Ngadiyono (Kel, 2), ”… nanam pohon itu yang kurang perawatannya” 6. Responden memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai jenis-jenis pohon yang memiliki nilai ekologis. Jenis pohon seperti cangkring (Erythrina sp), gayam (Inocarpus edulis), beringin (Ficus sp), dadap (Erythrina sp) disebutkan peserta diskusi sebagai pohon yang memiliki fungsi ekologis penting. Lebih lanjut, Sutarman dari kelompok 2 menyatakan, ”... mau ada penanaman pohon spatodia, spatodia itu pohon kayunya sangat tidak berguna untuk bangunan, daunnya sangat tidak berguna buat ternak, tapi dia punya nilai konservasi.” Wisata dan Sampah 1. Terdapat berbagai kegiatan wisata alam yang dilakukan di kawasan Taman Nasional Gn. Merapi, terutama di bagian utara, antara lain: trekking, sekedar berjalan-jalan, kegiatan outbound, berkemah, atau pun wisata desa. Hadi (Kel. 5) menyatakan ”kalo di Hargo ini... kalo saya boleh memilah-milah... ada tiga sektor, sektor utara itu lebih bekerja di sektor pariwisata... sektor tengah itu di peternakannya... sektor bawah di pertaniannya...”. Ditambahkannya, ” ..di Cangkringan ada lava tour” 2. Pengelolaan wisata di Kaliurang dikelola oleh 3 pihak yaitu propinsi, kabupaten dan swasta. Bejo (Kel. 5) menyatakan, ”pengelolaan pariwisata itu sendiri ada Dinas
Pariwisata Sleman kemudian propinsi ada 2 jadi PT Anindya juga dan ada dinas kehutanan...” 3. Secara umum pengelolaan sampah di kawasan desa target belum ada kalau boleh dikatakan masih sangat terbatas. Sampah belum dikelola dengan baik, hanya diambil oleh pemulung, ditimbun di pekarangan atau dibakar. Masalah yang dirasakan oleh masyarakat adalah kebingungan membuang sampah karena belum memiliki Tempat Pembuangan Sementara (TPS) maupun Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Suroto dari kelompok 5 dengan tegas menyatakan, ”...masalah utamanya adalah Sleman ga punya TPA”. Pernyataan ini senada dengan Bejo (Kel. 5), ”sampah ini memang belum dikelola secara profesional... tapi yaa... mungkin kalau e... dari kotoran hewan itu sudah ada kesadaran untuk merintis tapi kalo sampah yang dari wisatawan... ataupun sampahsampah dari rumah tangga, rumah biasa, bukan rumah makan ya? Itu memang belum dikelola secara profesional”. 4. Rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan sampah, dukungan pemerintah, maupun rendahnya partisipasi dan minat dari pengelolan rumah makan dan penginapan untuk turut mengelola sampah adalah beberapa hal yang menyebabkan timbulnya masalah sampah. Bejo (Kel. 5) mengungkapkan, ”...untuk pemda sendiri untuk memfasilitasi tempat sampah saja mnim sekali, terus yang kedua mayoritas... mayoritas masyarakat itu e... kesadaran untuk membuan sampah pada tempatnya itu juga tidak ada...” Usaha mengelola sampah yang telah dinisiasi belum terlaksana secara optimal, seperti dikatakan oleh Hadi (Kel. 5), ”...sampah limbah rumah tangga itu sebenarnya kami pernah memfasilitasi di sebelah selatan balai desa ini, jadi kita buatkan bak itu... namun itu kurang lebih ada 3 tahun, tapi lama kelamaan itu malah sampah dibawa keatas, jadi bak TPS. Bak penampungan sementara kami yang kami buatkan untuk warga Hargo itu malah warga di luar Hargo itu membawa sampah dari bawah itu, merlokke (=memerlukan) untuk dibuang disini” Temuan Lain Hasil FGD di atas memberikan beberapa pemikiran baru dan juga merubah beberapa asumsi awal yang sudah dibangun, misalnya: 1. Asumsi awal bahwa kegiatan agrofarming dapat memberikan solusi bagi permasalahan konservasi di kawasan ini tampaknya akan mengalami tantangan, karena rendahnya kepemilikan lahan masyarakat dan ketika musim kemarau permasalahan kelangkaan air menyebabkan masyarakat masih tetap akan mencari rumput di dalam kawasan. 2. Koperasi ternak menggunakan teknologi tertentu untuk memenuhi kebutuhan pakan ternaknya dan tidak mengambil rumput dari hutan. Teknologi ini perlu dipelajari dan diteliti kemungkinannya untuk dapat diadopsi oleh pemilik sapi di tingkat rumah tangga. 3. Adanya pengenalan sistem biogas sebagai bahan bakar alternatif. Di Cangkringan baru ada satu contoh, dan hasilnya cukup memuaskan karena dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. 4. Diperlukan upaya untuk merubah pola pendidikan tradisional yang berdasarkan kepada informasi turun temurun menjadi pendidikan yang lebih sistematis sehingga pemahaman masyarakat akan lebih baik.”… Seharusnya pemerintah punya satu program yang dapat mengalihkan perhatian dari pendidikan masyarakat yang berasal dari nenek moyang. Sehingga terarahkan ke pola pikir yang lebih bagus.” (Maryono, Kel. 3) 5. Perlu adanya sistem penegakan hukum yang lebih baik atau sanksi dan insentif bagi yang membuang sampah sembarangan. Misran mengungkapkan, ” Mungkin juga perlu adanya sangsi dan juga ada ancaman bagi yang buang sampah sembarangan.” 6. Perlu penambahan papan informasi peringatan dan penyediaan tempat sampah di tempat-tempat wisata dan warung makan.
7. Pengembangan wisata bagi daerah yang sedang merintis dan ide untuk pembentukan badan pengelola pariwisata desa. Agralno (kel. 5) menyatakan, ”…setelah apa yang kita rasakan juga dari pariwisata itu makmur gitu lo, saya lihat dari bapak bapak, juga, .. semuanya juga ingin mengembangkan pariwisata. Seandainya itu ada badan pariwisata desa.”; Juga disampaikan oleh Warno (Kel. 5), ” saya pesen tolong perhatikan untuk badan pegelola pariwisata desa.” 8. Pengembangan agrowisata khusus durian di wilayah Glagaharjo. Agralno menyampaikan, “kalau bisa diusulkan untuk wilayah Glagahharjo dijadikan agro , ee ... agrowisata dikhususkan duren, kalo salakkan sudah miliknya Turi..”
2.3 Survei masyarakat 2.3.1 Proses survei pra kampanye Survei masyarakat pada Kampanye Bangga Konservasi terbagi dalam 2 tahap, yaitu pada awal kegiatan kampanye (pre-suvey) dan pada akhir kegiatan kampanye (post survey). Survei awal kegiatan kampanye ini merupakan survei kuantitatif yang bertujuan untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat mengenai kawasan dan kegiatan konservasi di kawasan. Hasil pra-survei yang dilaksanakan di 7 desa target di sekitar Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi ini akan menjadi baseline atau data awal yang berguna untuk mengukur keberhasilan kampanye Pride disini. Survei serupa juga dilakukan di desa lain yang bukan merupakan desa target, yaitu di 2 desa di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, sebagai populasi kontrol. Desa kontrol merupakan desa pembanding untuk mengukur tingkat keberhasilan Kampanye Bangga Konservasi di desa target dibandingkan dengan desa kontrol yang tidak terpengaruh oleh kegiatan kampanye yang dilakukan di desa target, termasuk kegiatan media. Pemilihan desa kontrol ini cukup sulit sebab hampir seluruh kawasan sekitar Gunung Merapi sudah terjangkau oleh media seperti radio dan televisi. Namun demikian ada beberapa stasiun radio yang siarannya tidak dapat ditangkap di daerah kontrol. Survei ini dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terstruktur, dimana kuisioner dibacakan oleh enumerator kepada responden. Lembar kuisioner dibuat dengan SurveyPro 3.0, dengan jumlah pertanyaan 54 point. Adapun pertanyaannya meliputi data demografi, sumber informasi, pengetahuan tentang lingkungan, sikap dan praktek yang berhubungan dengan lingkungan sekitar kawasan. Jumlah enumerator yang terlibat dalam pengumpulan data adalah sebanyak 35 yang berasal dari masyarakat lokal dan anggota Kanopi sendiri. Sebelum melakukan survei dilakukan pelatihan dan koordinasi dengan para enumerator. Pelatihan ini berfungsi untuk menjelaskan teknik survey dan koordinasi dengan para enumerator. Responden di populasi target dipilih secara random, yaitu dipilih berseling 3 orang atau berseling 5 rumah. Maksudnya, bila sudah melakukan wawancara pada responden pertama maka responden kedua adalah orang ketiga yang ditemui kemudian, bukan orang berikutnya yang langsung ditemui. Pelaksanaannya selama 4 hari mulai tanggal 28 November–1 Desember 2007 untuk daerah target dan selama 5 hari mulai tanggal 12 Desember–16 Desember 2007 untuk daerah kontrol. Sebelum kegiatan survei dilakukan pemberitahuan kepada pihak kecamatan dan kelurahan pada masing-masing desa target dan desa kontrol. Desa target diambil dari 7 kelurahan yang nantinya menjadi target kampanye Bangga Konservasi yaitu Desa Girikerto, Wonokerto, Purwobingun, Hargobinangun, Umbulharjo, Kepuharjo, dan Glagaharjo.
Sedangkan untuk desa kontrol dipilih Desa Tarubatang dan Samiran. Kedua desa ini merupakan daerah yang masuk kawasan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Data kuisioner yang valid dimasukkan pada SurveyPro 3.0 sebanyak 381 untuk desa target dan 147 untuk desa kontrol. Jumlah ini dihitung secara statistik (www. surveysystem.com/sscalc.htm) untuk jumlah total penduduk 42.820 jiwa untuk desa target dan 6323 jiwa untuk desa kontrol. Tingkat kepercayaan (LOC) yang digunakan 95% dengan confidence interval (CI) + 5 untuk desa target dan + 8 untuk desa kontrol.
2.3.2 Proses survei pasca kampanye Proses survei pasca kampanye yang dilakukan persis sama dengan proses survei pra kampanye. Survei ini menggunakan daftar pertanyaan yang sama dengan tujuan untuk melihat tingkat perubahan yang ada di masyarakat target, hanya ditambah mengenai efektifitas media dan kegiatan yang telah dilakukan pada saat kampanye. Jumlah distribusi kuesioner di kedua kecamatan target juga sama yaitu 440 buah. Survei ini dibantu oleh 18 orang relawan dari kalangan mahasiswa dan masyarakat lokal. Sebelum pelaksanaan survei pasca kampanye dilakukan briefing dengan para pengambil data untuk menjelaskan teknik pengambilan data mengingat sebagian pengambil data adalah relawan baru. Survei Pasca Kampanye dilaksanakan pada tanggal 27 Juli – 3 Agustus 2009 di 7 desa target. Survei serupa juga dilakukan di desa kontrol dengan jumlah kuesioner 155 buah. Data kuesioner yang valid diisikan ke program SurveyPro sebanyak 381 buah dari desa target dan 147 buah dari desa kontrol.
2.4 Model Konsep Model Konsep adalah suatu pemahaman diagramatis terhadap kondisi suatu kawasan, dalam hal ini adalah kawasan Gunung Merapi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Model Konsep dapat menggambarkan sudut pandang masyarakat terhadap kawasannya. Model Konsep yang baik setidaknya dapat dinilai dari enam faktor yaitu: menampilkan gambaran situasi kawasan, memperlihatkan kaitan antara faktor-faktor yang mempengaruhui target kondisi, menggambarkan ancaman langsung dan tidak langsung yang mempengaruhi target kondisi, menampilkan hanya faktor-faktor yang relevan, merupakan hasil kerja tim dan berdasarkan kepada informasi dan data yang baik. Model konsep ini diadopsi dari konsep yang dicetuskan oleh Richard Margoluis dan Nick Salafsky (1998) dalam bukunya ”Ukuran Keberhasilan”. Berdasarkan hasil pertemuan stakeholder, focus group discussion (FGD) dan survei masyarakat, maka diperoleh sebuah model konsep mengenai kawasan kerja kampanye Pride. Model konsep ini merupakan suatu peta konseptual mengenai keterkaitan berbagai faktor langsung dan faktor tidak langsung yang mempengaruhi kelestarian kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.
Lahan untuk budidaya pakan ternak tidak mencukupi
Tidak ada sistem pengelolaan pakan ternak
Pakan ternak tidak mencukupi
Kekurangan air
Pengambilan rumput didalam kawasan TNGM Budaya masyarakat
Tidak ada sistem pengelolaan wisata yang baik
Tidak ada sistem pengelolaan sampah
Lemahnya penegakan hukum
Terbatasnya sumber pendapatan ekonomi masyarakat
Kebijakan pemerintah dan tata-guna lahan yang tidak sesuai
Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai keanekaragaman hayati
Perencanaan dan pengawasan pembangunan yang lemah
Sampah yang mencemari kawasan TNGM
Penambangan pasir didalam kawasan TNGM
Kelangkaan kayu diluar kawasan TNGM
Kurangnya kesadaran masyarakat
Kegiatan wisata didalam kawasan TNGM yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan
KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI YANG LESTARI
Penebangan liar didalam kawasan TNGM
Kebakaran hutan dan lahan didalam kawasan TNGM
Pembangunan pemukiman didalam kawasan TNGM yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan
Pembangunan villa/cottage didalam kawasan TNGM yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan
keterangan :
: faktor yang akan dipengaruhi
: kawasan target
Gambar 9. Model Konsep kawasan Taman Nasional Gunung Merapi
Faktor yang akan dipengaruhi melalui kegiatan yang direncanakan adalah kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai keanekaragaman hayati, kurangnya pengetahuan mengenai pengelolaan kawasan taman nasional, kurangnya kesadaran masyarakat, pakan ternak tidak mencukupi dan tidak adanya sistem pengelolaan pakan ternak.
Dengan mengatasi faktor pakan ternak (HMT) yang tidak cukup dan manajemen pengelolaan pakan ternak akan mengurangi kegiatan pengambilan rumput yang tidak terkelola dengan baik. Dengan demikian mengurangi ancaman terhadap kawasan. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang keanekaragaman hayati terbukti dari kecenderungan masyarakat untuk mengutamakan rumput daripada tanaman lainnya, contohnya dengan mengganti pohon di lahan dengan rumput untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak. Padahal keberadaan pohon dibutuhkan untuk menjaga debit air. Dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang keanekaragaman hayati diharapkan masyarakat tidak hanya menanam rumput . Selain itu juga akan mengurangi kegiatan pengambilan rumput yang tidak terkelola dengan baik. Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan kawasan taman nasional terlihat dari adanya kenyataan tidak diketahuinya/tidak adanya batasan pengambilan rumput di dalam kawasan TNGM. Hasil survey telah menunjukkan bahwa responden tidak mengetahui secara pasti batasan kawasan pengambilan rumput. Rendahnya pengetahuan ini juga terlihat dari kurang diketahuinya dampak yang mungkin ditimbulkan terhadap keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati dari pengelolaan wisata dalam TNGM.
3. Flagship Spesies : Elang Jawa 3.1. Klasifikasi taksonomi Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924) adalah burung nasional Indonesia, karena kemiripannya dengan burung Garuda dan juga merupakan jenis simbol satwa langka di Indonesia. Sebagai predator puncak, Elang Jawa memainkan peran yang penting dalam menjaga keseimbangan dan fungsi dan bioma hutan di Jawa. Elang Jawa merupakan salah satu jenis burung pemangsa terlangka di dunia dan secara global terancam punah.
Gambar 10: Elang Jawa (Kanopi Indonesia)
Secara ilmiah, klasifikasi Elang Jawa adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Aves (burung) Ordo : Falconiformes Familia : Acciptridae Genus : Spizaetus Species : Spizaetus bartelsi Stresemann,1924 Nama lokal : Elang Jawa (Indonesia), Elang Bido Jali (Jawa), Elang Bido Kucir (Yogyakarta) Nama lain dalam bahasa lain : Javan Hawk-Eagle (Inggris) Aigle de Java (Prancis), Aguila-Azor de Java (Spanyol) Elang Jawa pada awalnya diidentifikasi sebagai Spizaetus bartelsi berdasarkan publikasi Streseman (1924) dan nama jenis ini merupakan bentuk penghormatan kepada Max Bartels yang dianggap pertama kali menemukan jenis ini pada tahun 1900-an. Sejak penemuannya sampai 90 tahun kemudian penelitian burung ini tidak begitu intensif. Pada masa tersebut catatan penyebarannya kebanyakan diperoleh dari catatan ringkas yang dibuat oleh pengamat burung yang berkunjung ke suatu daerah tertentu dan menjumpai Elang Jawa. Banyak tempat yang hanya terdapat satu kali catatan dan puluhan tahun kemudian tidak pernah dicek ulang. Sejak sekitar 20 tahun yang lalu hingga saat ini catatan keberadaan Elang Jawa yang cukup lengkap dilakukan oleh van Balen (Setiadi, 2000). Penelitian lebih intensif dilakukan sejak awal tahun 1990-an walaupun masih perorangan. Penelitian yang cukup intesif meliputi perilaku dan aspek ekologi dan daerah persebaran yang lebih ekstensif dilakukan oleh Sozer dan Nijman (1995). Mereka melakukan penelitian
hampir di seluruh wilayah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Barat dan Timur. Aspek yang diteliti terus berkembang mulai dari bioekologi, konservasi meliputi kerusakan habitat, perburuan dan perdagangan serta kajian berupa upaya pelibatan masyarakat dalam pelestarian satwa ini (Setiadi, 2000). Sebelumnya elang ini memiliki nama latin Spizaetus bartelsi, tetapi sejak 2007 terdapat perubahan nama menjadi Nizaetus bartelsi. Menurut penelitian terdapat perbedaan DNA yang cukup signifikan antara jenis Elang Jawa dengan elang lain dari genus Spizaetus (percom Wawan, Kutilang Indonesia, 2007), sehingga klasifikasinya berubah menjadi : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Aves (burung) Ordo : Falconiformes Familia : Acciptridae Genus : Nisaetus Species : Nisaetus bartelsi
3.2. Morfologi Satwa ini memiliki ciri morfologi (MacKinnon dkk., 1998). sebagai berikut : § Ciri yang mendasar dari burung ini diantaranya mempunyai jambul di kepala yang tegak cukup panjang serta warna tubuh coklat yang kontras. §
Secara garis besar Elang Jawa mempunyai tubuh yang cukup besar untuk ukuran genus Spizaetus tetapi lebih kecil dari kebanyakan elang pada umumnya. Badan langsing dengan total panjang tubuh 60-70 cm.
§
Terdapat beberapa fase warna tubuh sesuai dengan perkembangan usia. Pada burung dewasa jambul terlihat panjang berjumlah dua sampai empat bulu berwarna coklat kehitaman dan pada ujung jambul ada garis keputihan. Bulu bagian atas kepala coklat kehitaman terlihat garis pada pinggir paruh. Bulu pada dagu memutih dan tampak garis kehitaman pada dagu tersebut. Bulu dadanya putih pucat dan terlihat titik-titik bulat panjang berwarna coklat kehitaman. Remaja, bagian dadanya berwarna berontok putih dan coklat karat. Strip hitam di dada dan kaki belum nampak dan berangsur-angsur akan semakin jelas menjelang dewasa.
§
Paruh berwarna abu tua sampai hitam dan lubang hidung agak kecil yang menandakan lebih kecilnya kemampuan terbang daripada bertengger.
§
Iris mata burung dewasa kelihatan kuning bersih dan retina mata kecil dan terkadang membesar apabila terkena sinar matahari.
§
Bagian atas kepala coklat karat tanpa garis pinggir pada paruh dan dagu tidak ada
3.3. Distribusi Elang Jawa merupakan species endemik di Jawa, umumnya dijumpai pada hutan primer, dan terkadang dapat dijumpai pada hutan sekunder, hutan produksi, hutan tropis semideciduous dengan ketinggian dapat mencapai 3000 m (MacKinnon, 1998; Nijman dan Sozer, 1996). Berikut ini adalah peta penyebaran Elang Jawa :
Gambar 11. Peta Penyebaran Elang Jawa (Sumber: IUCN Redlist 2006)
Keberadaan Elang Jawa sudah tercatat di 66 lokasi di seluruh Pulau Jawa. Beberapa catatan perjumpaan berasal dari kawasan berhutan yang masih luas. Catatan perjumpaan Elang Jawa banyak berasal dari hutan perbukitan dan mungkin karena itulah satwa ini secara ekologis disebut “spesies lereng” (Wells, 1985 dalam Sozer dkk., 1998). Pendapat ini mungkin tidak sepenuhnya benar karena ada juga catatan perjumpaan di dataran rendah, barangkali ketika seluruh Pulau Jawa masih tertutup hutan, sehingga daerah sebarannya meliputi seluruh pulau (Sozer dkk., 1998). Sebaran elang ini terbatas di Pulau Jawa, dari ujung barat yaitu di Taman Nasional Ujung Kulon hingga ujung timur di Semenanjung Blambangan Purwo. Namun demikian penyebarannya kini terbatas di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan. Elang jawa tersebar di hutan tropika basah di pulau Jawa yang berbukit-bukit sampai ketinggian 3000 m. Di beberapa tempat seperti di Taman Nasional Gunung Merapi burung ini hidup di hutan pegunungan. Mereka tidak hidup berkelompok seperti halnya burung emprit, melainkan berpasangan. Setiap pasangan mempunyai daerah kekuasaan (teritorial) sendiri-sendiri yang akan selalu dipertahankan dan bila ada yang masuk ke wilayahnya, akan segera diusir. Batas daerah teritorial ditandai dengan melakukan gerakan terbang turun naik yang disebut displai (display) di sepanjang batas wilayahnya.
3.4. Perilaku Berburu Elang Jawa berburu dari tempatnya bertengger didalam hutan atau terbang rendah di atas tajuk kemudian terbang turun ke dalam dedaunan (Bartels, 1931; Sozer dan Nijman, 1995; Rov dkk., 1997 dalam Sozer dkk., 1998). Sambil terbang dekat kanopi, Elang Jawa mengawasi mangsa dengan melihat ke bawah dan bila mangsa telah terlihat, elang langsung menukik (diving) atau lurus ke dalam dedaunan. Menunggu mangsa di tempat tenggeran di dalam hutan juga sering dilakukan terutama bila kondisi cuaca mendung atau udara panas tidak tersedia. Selain itu pencarian mangsa juga dilakukan dengan cara terbang rendah didalam kanopi di sela-sela pohon yang tidak terlalu rapat dalam hutan. Pemangsaan di tanah juga terkadang dilakukan setelah sebelumnya meluncur (gliding). Perilaku terbang sambil membawa mangsa sering terlihat terutama pada elang yang sedang berbiak (Setiadi dkk., 2000).
Gambar 12. Elang sedang terbang rendah diantara kanopi pohon (Dok. Kanopi Indonesia)
Elang Jawa seperti halnya burung pemangsa lain adalah burung pemakan daging. Burung tersebut memiliki paruh yang melengkung berujung runcing untuk mencabik makanan dan menggunakan kakinya untuk menangani mangsa sebelum dimasukkan kedalam mulut.
3.5. Makanan Tercatat beberapa jenis hewan yang menjadi makanan dari Elang Jawa, terutama dari jenis mamalia pohon berukuran kecil hingga sedang seperti tikus, tupai, kelelawar, dan anak monyet, dan agak jarang memangsa aves atau burung seperti kerabat merpati dan ayam kampung serta jenis-jenis reptil atau binatang melata seperti ular, dan kadal. Cakar keduanya berukuran relatif pendek merupakan bukti bahwa species ini tidak terbiasa menangkap burung-burung sewaktu terbang, dan tentu saja burung-burung yang kuat tidak terlalu takut terhadap Elang Jawa dibandingkan dengan alap-alap atau jenis elang lainnya (Mooney, 1997 dalam Sozer dkk., 1998). Akan tetapi, secara langsung Elang Jawa dapat mengendalikan beberapa jenis hama yang sering merugikan petani jika populasinya melimpah, contohnya kera ekor panjang (Macaca fascicularis), tikus.
3.6. Kebutuhan Habitat Species ini erat kaitannya dengan hutan primer, namun terkadang anak elang atau pasangan tetap, terlihat di hutan-hutan yang agak tidak terganggu (van Balen, 1991, Sozer & Nijman, 1995 dan Sozer, 1998). Hasil pengamatan tahun 1997 menunjukkan bahwa species ini juga memanfaatkan hutan sekunder untuk berburu dan bersarang, tetapi yang lokasinya berdekatan dengan hutan primer yang luas karena sangat mempengaruhi keberhasilan pembiakannya (Rov dkk., 1997 dalam Sozer, 1998). Hal ini berhubungan erat dengan ketersediaan makanan Elang Jawa yang dapat diitemukan di area-area tersebut. Umumnya area pertanian ataupun hutan kaliandra sebagai area berburu Elang Jawa berdekatan dengan hutan alami. Kebutuhan Elang Jawa pada hutan alami selain untuk tempat berburu, juga sebagai tempat bersarang.
3.7. Reproduksi Perilaku kawin Elang Jawa yang pernah teramati berkisar antara bulan Juli-Agustus (Bartels, 1931 dalam Sozer dkk., 1998), akan tetapi masa bertelurnya lebih sering antara bulan Januari-Juni (Bartels 1924, Hoogerwerf 1949, Hellebrekers & Hoogerwerf 1967, van Balen
dk 1994, Sozer & Nijman 1995, Rov 1997 dalam Sozer dkk., 1998). Sarang Elang Jawa umumnya ditemukan di atas pohon rasamala Altingia excelsa (Bartels 1924, van Balen dkk 1994, Sozer & Nijman 1995, Rov kk., 1997 dalam Sozer, 1998), tetapi sarang juga ditemukan pada pohon pasang Lithocarpus sp., Quercus sp., Pinus sp., dan puspa Schima walichii (Rov dkk., 1997 dalam Sozer dkk., 1998). Walaupun dari pengamatan terbaru banyak dijumpai sarang di sekitar tepi hutan dan di habitat primer atau yang terganggu, dimana pada tingkat tertentu elang dapat bertoleransi pada keberadan manusia, lokasilokasi ini berdekatan dengan hutan primer yang luas untuk kebutuhan berburunya (Rov dkk, 1997 dalam Sozer dkk., 1998). Umumnya telur Elang Jawa hanya satu butir, dan masa pengeramannya sekitar 44-48 hari (Hellebrekers dan Hoogerwerf 2967, Sozer & Nijman 1995 dan van Balen 1996 dalam Sozer dkk., 1998). Anak mulai terbang pada umur 60 sampai 70 hari, setelah itu burung masih tinggal di sekitar sarang hingga beberapa bulan (Rov dkk, 1997 dalam Sozer dkk., 1998). Elang Jawa terbukti dapat bertelur kembali pada suatu musim kawin bila anaknya mati atau diambil (Rov dkk, 1997 dalam Sozer dkk., 1998), tetapi dapat pula terjadi bahwa pasangan elang tidak mengalami masa berbiak lagi selama setahun penuh bahkan lebih (Bartels, 1924; van Balen, 1996 dalam Sozer dkk., 1998). Species ini mulai berkembang biak pada fase bulu belum dewasa dan diperkirakan berumur empat tahun (Sozer & Nijman 1995 dalam Sozer dkk., 1998). Anak Elang Jawa pada umur 8 – 30 minggu masih dipelihara oleh induk dan belum bisa memperoleh mangsa sendiri. Anak elang baru dapat keluar dari sarang pada saat berumur delapan minggu. Terdapat dua faktor utama yang saling berhubungan sebagai penyebab anak burung meninggalkan sarang, faktor tersebut adalah keamanan dari sarang dan ukuran berat tubuh anak (Pettinggil, 1985 dalam Setiadi dkk., 2000). Dalam hal ini jika anak terlalu lama tinggal di sarang maka akan mempercepat rusaknya sarang karena ukuran tubuh dan berat badan anak sudah relative besar hamper sebanding dengan induk. Secara umum tahapan perkembangan perilaku anak Elang Jawa pada umur 8 – 30 minggu adalah : Tabel 6. Tahapan perkembangan perilaku anak Elang Jawa pada umur 8 – 30 minggu
No. 1.
Macam tahap Mulai keluar sarang
2.
Mulai terbang keluar 10-11 pohon sarang
3.
Mulai belajar berburu 12-13 mangsa Mulai belajar terbang 18-20 melingkar-lingkar
4.
Umur (minggu) 8-9
5.
Mulai terbang 24-26 membawa ranting
6.
Mulai belajar 27-30 mematikan mangsa
Deskripsi Anak mulai dapat keluar dari sarang hingga mampu bertengger pada bagian perifer Anak mulai dapat bertengger di luar pohon sarang hingga dapat menggunakan pohon lainnya lebih dari lima Anak mulai belajar mendekati mangsa hingga mengejarnya berkali-kali Anak mulai belajar terbang melingkarlingkar (soaring) lebih tinggi daripada pohon sarang sampai dapat terbang melewati sungai (300 m dari pohon sarang) Anak mulai belajar terbang membawa ranting sampai muali dapat terbang menukik (flying-diving) Anak mulai belajar menangkap mangsa di ranting pohon hingga umur 31 minggu
Sumber : Singer, 2000 (Himbio Unpad) dalam Setiadi dkk., 2000
Perkembangan perilaku anak Elang Jawa dipengaruhi oleh perkembangan morfologinya dan aktivitas induk dalam memelihara anak.
3.8. Ancaman Konservasi Berdasarkan data perjumpaan Elang Jawa yang ada pada tahun 1995, diperkirakan populasi yang ada berkisar antara 81-108 pasang, dengan perkiraan 23-31 pasang yang tersebar di beberapa fragmen-fregmen hutan (Sozer & Nijman, 1995 dalam Sozer dkk., 1998). Dengan jumlah populasi yang kurang dari 10.000 ekor dewasa dimungkinkan memilliki tingkat kepunahan sekitar 20% dalam 20 tahun (Collar dkk., 1994 dalam Sozer dkk., 1998). Ancaman yang berpotensi menurunkan jumlah populasi Elang Jawa antara lain adalah adanya kerusakan/hilangnya habitat, dan perdagangan. Selain itu, terdapat faktor pembatas lain seperti penggunaan insektisida, berkurangnya pohon sarang, dan terjadinya inbreeding. Penggunaan insektisida yang terdapat di areal perburuannya, dimungkinkan akan menyebabkan terjadinya akumulasi residu kimia di puncak rantai makanannya. Bila hal ini terjadi, akan mempengaruhi tingkat keberhasilan perkembangbiakan Elang Jawa, seperti menyebabkan cangkang telur menipis. Species ini memiliki kecenderungan bersarang pada beberapa jenis pohon tertentu. Sementara itu, pohon-pohon berukuran besar sangat rentan terhadap penebangan baik legal maupun ilegal, sedangkan untuk regenerasinya sendiri terhambat oleh penggembalaan ternak dan penebangan pohon kecil untuk tiang pancang. In-breeding seringkali terjadi pada jumlah populasi yang kecil dan terpencil. Hal ini merugikan populasi tersebut karena variasi genetik yang ada akan semakin berkurang, sehingga secara perlahan tapi pasti dapat menurunkan jumlah populasi itu sendiri.
3.9. Status Elang Jawa merupakan burung jenis endemik pulau Jawa dengan daerah penyebaran terbatas hanya di daerah hutan hujan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan. Burung ini digolongkan sebagai satwa langka dan diketahui sebagai salah satu burung pemangsa paling terancam punah di dunia (Meyburg, 1986). Menurut kriteria IUCN (tahun 1994), burung ini termasuk ke dalam Checklist of Threatened Bird Species dengan kriteria langka (endangered) (Collar dkk, 1994) serta dimasukkan dalam daftar Appendiks II CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora ) sebagai satwa yang hanya boleh diperdagangkan dari hasil penangkaran dan dalam jumlah terbatas. Indonesia memasukkan burung ini ke dalam kelompok satwa yang dilindungi dengan Undang-undang. Peraturan-peraturan yang memuat perlindungan terhadap burung ini yaitu: 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 43 Tahun 1978 (Lembaran Negara Tahun 1978 Nomor 51), 15 Desember 1978. Tentang pengesahan CITES. 2. SK. Menteri Pertanian No. 775/Kpts/Um/12/1979; Departemen Pertanian, tanggal 5 Desember 1979 3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990; 10 Agustus 1990; mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1993; tentang Flora dan Fauna Nasional, yang menetapkan Elang Jawa sebagai Satwa Kebanggaan Nasional , tanggal 3 Januari 1993. 5. SK. Menteri Kehutanan No. 771/Kpts-II/1996; Departemen Kehutanan, 17 Desember 1996. 6. Peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 7 tahun 1999; Presiden Republik Indonesia, 27 Januari 1999: tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
4. BENTUK KEGIATAN Bentuk kegiatan dan saluran kampanye disusun berdasarkan informasi yang didapatkan melalui pra-survei dan diskusi kelompok kecil (FGD). Kegiatan diawali dengan pengembangan pesan kunci kampanye. Semua bentuk kegiatan dan saluran yang digunakan selalu berisi pesan-pesan kunci kampanye ini. Tabel .. Materi atau kegiatan yang dilaksanakan pada Kampanye Bangga Konservasi Lereng Selatan Gunung Merapi No. 1.
Materi/Kegiatan Pin
2.
Poster
3.
Factsheet
4.
Stiker
Masyarakat umum di seluruh desa target
5.
Kostum
6.
Wayang kardus
Masyarakat sekolah di desa target (9 SD) Masyarakat sekolah di desa target (9 SD)
7.
Diskusi dan pelatihan pengembangan Hijauan Makanan Ternak (HMT) Demplot HMT
8. 9. 10
Video manual pengembangan HMT Workshop video partisipatif
Target audience Masyarakat umum di seluruh desa target, terutama anak sekolah dan pemuda desa Masyarakat umum di seluruh desa target Masyarakat umum di seluruh desa target
Pemilik ternak di desa target
Pemilik ternak di desa target Pemilik ternak di desa target Masyarakat umum di seluruh desa target
11
Pemetaan dan pendataan keanekaragaman hayati Gunung Merapi
Masyarakat umum di seluruh desa target
12.
Rembug Desa
13.
Gerakan tanam pohon
14.
Program radio
15.
Kunjungan sekolah
16.
Pawai konservasi
Pemilik ternak di desa target Masyarakat umum di seluruh desa target Masyarakat umum di seluruh desa target Masyarakat sekolah di desa target (9 SD) Masyarakat umum di seluruh desa target
Jumlah produksi/frekuensi Dicetak 1700 buah, didistribusikan 1700 buah, berbentuk bulat, ukuran 6,5 cm, cetak dove, berwarna Dicetak 3000 lembar, didistribusikan 2500 lembar, A3+, berwarna Dicetak 4000 lembar, didistribusikan 3200 lembar, brosur (3 lipatan), berwarna Dicetak 5000 lembar, didistrikusikan 5000 lembar, berbentuk segi empat, berwarna 1 buah, digunakan untuk kegiatan sekolah dan pawai konservasi 2 set panggung, 9 set wayang kardus, dipentaskan bersama dan dilombakan antar sekolah, ditampilkan juga ketika perpisahan sekolah 5 kali pertemuan, rata-rata peserta 15 orang
1 buah demplot dengan luasan 600 2 m 50 buah, didistribusikan ke 3 kelompok tani Peserta 14 orang, membuat 2 film dengan topik peternakan sapi dan penambangan pasir, 5 kali pertemuan Pemetaan diikuti oleh 15 orang, pendataan diikuti oleh 30 orang, 15 orang diantaranya mahasiswa, objek kajian pendataan yaitu jenis vegetasi, herpetofauna dan burung di sekitar mata air.
Dilakukan sebanyak 3 kali, 2500 pohon Psa 3 kali sehari, talkshow 6 kali, RRI dan GCD FM 10 kali kunjungan Dilaksanakan di desa Glagaharjo, peserta 150 orang
17.
Workshop guru
Masyarakat sekolah di desa target (9 SD) Masyarakat umum di seluruh desa target Masyarakat umum di seluruh desa target Masyarakat umum di seluruh desa target Masyarakat umum di seluruh desa target
18. 19.
Lagu konservasi “Elang Jawa” Topi
20.
Kaos
21.
Mug
22.
Pembuatan instalasi biogas
Pemilik ternak di desa target
23.
Studi monitoring perubahan perilaku masyarakat
Informasi data
Peserta 22 orang dari 9 SD 2 buah lagu 50 buah, didistribusikan pada 3 kelompok tani 320 buah, didistribusikan ke pemuda, dan 3 kelompok tani 60 buah, didistribusikan pada kelompok tani dan sebagai hadiah lomba masak, penelpon radio 1 buah instalasi biogas semipermanen dengan plastik tubuler Mencari tambahan data mengenai kegiatan peternakan, 80 orang di 5 desa (Hargobinangun, Purwobinangun, Umbulharjo, Kepuharjo dan Glagaharjo)
Tabel.. Materi atau kegiatan yang tidak dilaksanakan pada Kampanye Bangga Konservasi Lereng Selatan Gunung Merapi No. 1.
Materi/Kegiatan Booklet keanekaragaman hayati
Target audience Masyarakat umum di seluruh desa target
2.
Booklet Hijauan Makanan Ternak (HMT)
Pemilik ternak
3.
Jurnalis trip
Wartawan
4.
Lomba kelompencapir
Masyarakat umum di seluruh desa target
5.
Inisiasi koperasi pakan ternak
Pemilik ternak
Keterangan Diganti dengan pembuatan modul pendidikan lingkungan yang salah satu materinya mengenalkan keanekaragaman hayati Gunung Merapi Diganti dengan pembuatan video manual pengembangan HMT. Hal ini dikarenakan masyarakat tidak terlalu suka membaca, sehingga booklet tidak efektif untuk penyampaian pesan Tidak dilakukan karena keterbatasan waktu dan tenaga Tidak dilakukan karena sudah tdak ada kelompencapir di masingmasing desa target Tidak dilakukan karena sudah ada koperasi susu, gantinya adalah diskusi dengan pihak koperasi untuk mengembangkan HMT di lahan sendiri
Tabel.. Materi atau kegiatan yang sedang dilaksanakan pada Kampanye Bangga Konservasi Lereng Selatan Gunung Merapi No. 1.
Materi/Kegiatan Billboard
Target audience Masyarakat umum di seluruh desa target
2.
Modul pendidikan lingkungan
Masyarakat sekolah target
Keterangan Ada penundaan karena aktivitas pemilu yang padat sehingga proses pembuatan terhambat dan tidak memperbolehkan pemasangan billboard Kegiatan ini merupakan kegiatan tambahan yang dilakukan untuk menjaga komunikasi dengan pihak sekolah
Deskripsi kegiatan 1. Pin Pin merupakan salah satu media yang digunakan. Gambar Elang Jawa sebagai maskot Kampanye Bangga Konservasi mendominasi bagian pin, selain itu juga dimasukkan slogan kampanye “Merapiku Lestari Jogjaku Asri”. Pin ini dibuat berwarna sehingga menarik untuk dilihat.
Gambar 13. Pin yang digunakan sebagai media kampanye dan seorang anak yang suka cita memakai pin di bajunya.
Pin sangat digemari oleh semua kalangan terutama anak-anak dan pemuda. Pin dibagikan bersamaan dengan kegiatan sekolah dan kegiatan lomba sebagai hadiah. Pada kegiatan sekolah, pin dibagikan pada anak-anak yang mampu menjawab pertanyaan mengenai elang jawa, habitat, ancaman serta ajakan pelestarian Gunung Merapi, serta yang mau menyanyikan lagu konservasi “Elang Jawa Kebanggaanku”.Pin banyak dipakai sebagai asesoris pada tas, baju dan kerudung. 2. Poster Proses desain dilakukan di awal kampanye setelah sebelumnya ditentukan pesan konservasi yang akan dimasukkan. Pesan yang dimasukkan adalah nilai penting kawasan Gunung Merapi serta ajakan untuk melestarikannya. Sebagai maskot kampanye dipilih elang jawa (Nisaetus bartelsi) dan slogannya “Merapiku Lestari Jogjaku Asri”. Poster ini didistribusikan kepada masyarakat umum yang ada di desa target, termasuk juga anak sekolah. Selain itu juga ditempelkan di rumah-rumah warga, sekolah, gedung pemerintahan. Poster tidak hanya ditempelkan tetapi juga disampaikan mengenai pesan konservasi yang ada.
Gambar 14. Poster yang digunakan sebagai media kampanye
Gambar 15. Tya dan Dinda sedang menjelaskan pesan konservasi melalui poster di depan kelas
3. Factsheet Salah satu media komunikasi yang menyampaikan lebih banyak informasi adalah factsheet. Dalam factsheet disampaikan informasi mengenai status kawasan Gunung Merapi, fungsi ekologis kawasan, ancaman terhadap kawasan, informasi tentang Elang Jawa dan diakhiri dengan ajakan melakukan hal-hal sederhana untuk pelestarian Gunung Merapi. sebelum dicetak, facstsheet diujicobakan dulu ke beberapa masyarakat untuk mengetahui pendapat mereka. Beberapa hal yang ditanyakan yaitu isi factsheet, desain tampilan, warna, proporsi, jenis dan ukuran huruf. Factsheet dibagikan pada berbagai event, pertemuan dengan masyarakat, kegiatan sekolah. Factsheet menjadi bahan diskusi setiap pertemuan dengan masyarakat dan juga program radio.
Gambar 14. Factsheet Merapiku Lestari Jogjaku Asri
Gambar 15. Talkshow dengan bahan diskusi adalah factsheet
Dalam pelaksanaan kampanye, factsheet tidak efektif karena ternyata masyarakat desa target tidak terlalu suka membaca. Mereka hanya melihat sekilas kemudian factsheet ditinggalkan begitu saja. 4. Stiker Seperti halnya factsheet, poster dan pin, sebelum dicetak stiker diujicobakan pada beberapa masyarakat sebagai sampel. Beberapa hal yang ditanyakan yaitu desain stiker, ukuran huruf, warna, isi pesan, bentuk. Stiker didistribusikan kepada masyarakat umum di desa target pada waktu diskusi, event, kegiatan sekolah dan kegiatan kampanye lainnya. Stiker banyak diminati oleh masyarakat, mereka banyak menempelkan stiker pada motor atau mobil, di rumah-rumah, gedung sekolah dan di buku-buku sekolah.
Gambar 16. Stiker Merapiku Lestari Jogjaku Asri
5. Kostum Kostum Elang Jawa bernama “Elwa” selalu mendapatkan sambutan luar biasa dalam kegiatan kampanye dari berbagai kelompok usia. Kostum ini dibuat oleh Rumah Hijau selama kurang lebih tiga minggu. Kostum Elwa hadir dalam berbagai kegiatan kampanye seperti kunjungan sekolah,pawai konservasi (gelar budaya), pemenasan wayang kardus, kampanye elang jawa dan pameran lingkungan. Masyarakat merasa senang karena seperti melihat elang jawa dalam jarak dekat. Kehadiran kostum Elwa juga membangun emosi kebanggaan dan kecintaan terhadap satwa ini. Mereka bisa memegang, memeluk, bersalaman, dan berfoto bersama tokoh Elwa dengan rasa senang. Anak-anak memanggil Elwa sambil menjerit-jerit kegirangan walaupun ada beberapa anak yang masih takut.
Gambar 17. Pemakaian kostum Elwa pada berbagai event, seperti pada Gelar Budaya dan Kampanye Elang Jawa
6. Wayang kardus Wayang kardus merupakan media komunikasi yang menarik menurut guru dan orang tua murid. Wayang kardus dapat digunakan untuk menyampaikan pesan pelestarian lingkungan dengan lebih mudah, terutama bagi anak-anak, karena mulai dari proses pembuatan, penentuan ide cerita, dan pementasannya dilakukan sendiri oleh anak-anak sehingga efek kelekatannya sangat kuat. Sedangkan naskah wayang kardusnya dibuat bersama-sama antara guru, pemuda lokal dan relawan. Guru diajak berdiskusi tentang ancaman terhadap kawasan, ajakan serta usaha pelestariaan sederhana yang dapat dilakukan bersama. Wayang kardus sangat mudah dibuat bahkan oleh anak-anak sekalipun. Bahan yang digunakan adalah kardus bekas, cat tembok dan sandy. Latihan pementasan wayang kardus dilakukan oleh relawan, guru dan pemuda lokal. Sebagai panggungnya merupakan modifikasi dari panggung boneka, bedanya ada penambahan “gedebok” pisang sebagai tempat menancapkan wayangnya. Untuk meningkatkan keseriusan berlatih dan kompetisi antar sekolah diadakan lomba pementasan wayang kardus yang diikuti oleh seluruh sekolah target (9 sekolah dasar).
Gambar 18. Proses pembuatan wayang kardus yangdilakukan sendiri oleh anak dan wayang kardus yang telah jadi
Gambar 19. Pementasan wayang kardus yang dilakuan oleh anak-anak sekolah dasar
7. Diskusi dan pelatihan pengembangan Hijauan Makanan Ternak (HMT) Untuk mendorong terjadinya perubahan perilaku pemilik ternak dalam pengelolaan HMT maka dilakukan diskusi dan pelatihan ini. Diskusi ini dilakukan terhadap 3 kelompok tani yaitu kelompok Sedya Lestari, Kaliurang Timur; kelompok Kaliadem; dan kelompok Kalitengah Lor. Ada 4 topik yang didiskusikan yaitu mengenai konservasi air dan tanah, teknik konservasi mekanik, budidaya rumput unggul dan teknik pengelolaan pasca panen. Diskusi ini diikuti oleh 18 peserta, tetapi hingga akhir pelatihan hanya 11 orang yang bertahan. Kegiatan diskusi dan pelatihan ini kemudian diikuti dengan praktek pembuatan demplot.
Gambar 20. Kegiatan diskusi dan pelatihan pengembangan hijauan makanan ternak
Kegiatan diskusi dan pelatihan ini dilaksanakan bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta terutama dengan tim Primatani Sleman. Diskusi dilakukan di berbagai tempat mulai dari mushola, tempat pertemuan RT, hingga pintu masuk kuburan yang kebetulan berdekatan dengan lokasi demplot HMT (gambar 20). Diskusi juga membahas evaluasi demplot HMT setelah masa panen dan membuat rencana tindak lanjut (RTL). Berdasarkan evaluasi dan RTL tersebut, demplot HMT yang sudah ada akan dilanjutkan dan diperbaiki bahkan direplikasi pada lahan peserta sendiri. 8. Pembuatan demplot Hijauan Makanan Ternak (HMT) Untuk mempraktekkan hasil pelatihan pengembangan hijauan makanan ternak maka dibuat demplot hijauan makanan ternak (HMT). Demplot dibuat di lahan milik Pak Ngatiman seluas 600 m2 dengan jenis rumput unggul dan legume yang ditanam. Jenis rumputnya yaitu kalanjana biasa, kalanjana thailand, gajahan, cisarua, mexicana, dan setaria. Sedangkan jenis legumenya yaitu kaliandra, Centrosema pubescent, Calopogonium sp.
Gambar 21. Kegiatan pembuatan demplot HMT dan demplot HMT yang sudah jadi (siap panen)
Setelah 3 bulan masa tanam menghasilkan yaitu Gajahan 7 kg/m 2, Kalanjana biasa 2 kg/m2, Kalanjana Thailand 6 kg/m2, Cisarua 2,5 kg/m2, King grass 3 kg/m2, dan Mexicana 3,5 kg/m2. Hasil ini dapat terus meningkat pada panen berikutnya karena umumnya panen pertama jauh lebih sedikit daripada panen selanjutnya. Sedangkan legumenya tidak berkembang dengan baik karena kurang perawatan. Setelah ada evaluasi dan rencana tindak lanjut, direncanakan untuk melanjutkan demplot yang sudah ada dan mengadopsinya di lahan peserta sendiri. Terdapat 8 orang yang mencobanya di lahan sendiri. 9. Video manual pengembangan hijauan makanan ternak (HMT) Video ini merupakan materi pengganti dari booklet pengembangan HMT. Video ini dibuat karena masyarakat target lebih menyukai melihat video daripada membaca (pembelajaran dari factsheet). Video dibuat oleh tim Katamata Production. Video didistribusikan kepada kelompok tani ternak terutama pada 3 kelompok yang mengikuti pelatihan agar dapat menyebarluaskan kepada anggota kelompoknya yang lain.
Gambar 22. Video manual pengembangan hijauan makanan ternak
Untuk selanjutnya video ini akan diperbanyak lagi dan didistribusikan kepada kelompok tani ternak yang ada di desa target setelah terlebih dahulu direvisi terutama pada bagian judul. Judul video yang lama terdapat kata-kata “konservatif” padahal yang dimaksud adalah yang berkelanjutan dan tidak merusak. Oleh karena itu judul film akan diganti menjadi “Pengembangan Hijauan Makanan Ternak yang Berkelanjutan di Kawasan Gunung Merapi”.
10. Workshop video partisipatif Dalam kegiatan ini peserta diajarkan mengenai cara pembuatan film dan nantinya dapat membuat film sendiri dengan bantuan fasilitator. Kegiatan ini diikuti oleh pemuda dari desa Kepuharjo sebanyak 13 orang, tetapi hanya ada 9 orang yang mengikuti sampai pengambilan gambar. Kegiatan ini dibantu oleh teman-teman dari Katamata Production. Kegiatan dimulai dengan pengenalan jenis-jenis film, cara membuat naskah, cara pengambilan gambar, cara wawancara hingga editing. Kemudian peserta diminta untuk membuat film sendiri dengan ide dan naskah yang dibuat sendiri pula. Setelah brainstroming ide diperoleh 2 topik yaitu tentang penambangan pasir dan kehidupan sehari-hari seorang peternak sapi perah. Peserta dibagi dalam 2 kelompok dengan masing-masing kelompok mengerjakan topik yang berbeda. Dalam perjalanannya, proses pembuatan film tidak dapat diselesaikan oleh mereka. Pada saat proses editing tidak ada yang mau melanjutkan lagi sehingga editing tidak dilakukan oleh peserta. Hal ini dikarenakan jadwal latihan sering bersamaan dengan jadwal kegiatan sekolah dan antusiasme peserta dari hari ke hari makin menurun.
Gambar 23. Fasilitator sedang mengajarkan cara pengambilan gambar
11. Pemetaan dan pendataan keanekaragaman hayati Gunung Merapi Gunung Merapi memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, hanya saja tidak semua orang, terutama masyarakat di sekitarnya menyadari hal tersebut. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan potensi keanekaragaman hayati kepada masyarakat terutama keanekaragaman hayati di sekitar mata air yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Pada kegiatan ini juga dijelaskan mengenai hubungan keanekaragaman hayati dengan ketersediaan air. Proses dimulai dengan diskusi dengan pemerintah desa dan masyarakat di Purwobinangun, Hargobinangun, Glagaharjo, Kepuharjo dan Umbulharjo. Kemudian dibuat peta wilayah secara partisipatif hingga diketahui posisi mata air yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Gambar kemudian dijadikan acuan untuk posisi pendataan keanekaragaman hayati di sekitar mata air dan dicocokkan dengan peta kontur dengan skala 1:25.000 yang dimiliki. Adapun objek kajian yaitu jenis vegetasi, burung, dan herpetofauna yang merupakan bioindikator kondisi hutan. Pendataan keanekaragaman hayati diikuti oleh 20 orang mahasiswa dari Fakultas Biologi dan Kehutanan serta 17 orang pemilik ternak yang sering beraktivitas di kawasan hutan Gunung Merapi. Kegiatan ini dibagi dalam 2 waktu dengan lokasi pengambilan data yang berbeda. Rinciannya sebagai berikut :
Tabel .. Jadwal kegiatan pengambilan data keanekaragama hayati di sekitar mata air Gunung Merapi No. Waktu pelaksanaan Lokasi Kegiatan 1. 15 Juli 2008 Balai Desa Pemetaan wilayah secara Purwobinangun partisipatif 2. Juli 2008 Mata air Candi, Kletak, Pendataan Maduan, Siraman keanekaragaman hayati di Lanang, Siraman sekitar mata air Wadon, Purwobiangun 3. November 2008 Mata air Umbul Bebeng, Pendataan Kali Cilik, Pathuk, keanekaragaman hayati di Glagaharjo; Umbul sekitar mata air Wadon, Umbulharjo Dari kegiatan tersebut didapatkan 75 jenis pohon, 90 jenis burung dan 12 jenis herpetofauna di sekitar mata air. Hasil ini menunjukkan bahwa sekitar mata air menjadi daerah penting bagi pelestarian hutan, mengingat letak mata air tersebut umumnya terletak dekat dengan hutan.
Gambar 24. Aktivitas pendataan potensi masyarakat di sekitar mata air di Purwobinangun
Gambar 25. Peta wilayah Purwobinangun beserta letak mata air potensial
12. Rembug desa Kegiatan ini merupakan kegiatan diskusi masyarakat terutama pemilik ternak yang membahas berbagai macam topik yang berbeda-beda yang akan mendukung pengelolaan Gunung Merapi yang berkelanjutan. Pada awalnya kegiatan ini direncanakan dilaksanakan secara rutin setiap bulannya secara bergiliran di masing-masing desa. Akan tetapi dalam pelaksanaannya kegiatan ini lebih banyak terjadi secara insidental atau tidak terencana waktunya. Dalam rembug desa dibahas mengenai fungsi ekologis kawasan Gunung Merapi, jenis keaneragaman hayati yang ada, ancaman yang ada serta usaha yang dapat dilakukan bersama. Sebagai bahan untuk diskusi digunakan juga media lainnya, seperti lembar fakta, poster, stiker. Pada beberapa kali pertemuan juga dihadiri oleh pihak Balai Taman Nasional, mereka juga banyak memberi masukan bagi masyarakat dan pihak Kanopi Indonesia. Pelaksanaan kegiatan ini tidak terlepas dari adanya kendala, salah satunya adalah dari pihak pemerintah desa. Pemerintah desa Umbulharjo tidak terlalu memberikan dukungan terhadap kegiatan
ini, bahkan menolak ada kegiatan yang berhubungan dengan Taman Nasional bila dirasa tidak menguntungkan baginya.
Gambar 26. Suasana Rembug Desa di Balai Desa Purwobinangun
13. Gerakan Tanam Pohon Adanya gerakan tanam pohon dapat menyampaikan pesan konservasi secara mendalam dan menunjukkan bahwa terlibat dalam kegiatan konservasi itu mudah. Gerakan tanam pohon adalah kegiatan yang paling sering dilakukan oleh masyarakat dan instansi, bahkan menjadi sangat identik dengan konservasi. Selama kampanye telah dilakukan 5 kali penanaman baik yang bekerjasama dengan pemerintah desa, organisasi masyarakat desa, maupun organisasi swasta seperti Rotaract Malioboro. Kegiatan penanaman selalu melibatkan lebih dari 100 orang. Adapun jenis tanaman yang ditanam adalah jenis yang mampu menampung air atau yang mengurangi erosi tanah seperti pohon Puspa (Schima walichii), Gayam, beringin (Ficus sp) dan tanaman asli hutan lainnya. Penanaman dilakukan tidak hanya di hutan atau lereng tebing, tetapi juga di area bekas penambangan pasir. Partisipasi masyarakat terhadap kegiatan penanaman sangatlah tinggi. Hal ini terlihat pada jumlah peserta yang ikut dan keinginan masyarakat sendiri untuk melakukan kegiatan ini sendiri. Setiap musim penghujan tiba, selalu dilakukan penanaman di area hutan dan sekitarnya.
Gambar 27. Gerakan Tanam Pohon yang dilakukan oleh masyarakat Kepuharjo dan Glagaharjo
14. Program radio Radio merupakan sumber informasi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Lereng Selatan Gunung Merapi (sekitar 70% dari responden survey). Oleh karena itu kampanye melalui radio dalam bentuk berita (talkshow) dan adlib dapat menjangkau target secara luas. Kampanye melalui radio dalam bentuk jingle dan lagu konservasi akan dapat menjangkau target dengan musik dan lirik yang ear-catching. Selama kampanye telah dilakukan talkshow bekerja sama dengan RRI dan pemutaran iklan layanan masyarakat bekerja sama dengan Radio GCD FM. Talkshow dilakukan sebanyak 4 kali siaran rekaman dan 3 kali siaran langsung. Adapun yang menjadi narasumber adalah salah seorang pemilik ternak, tim Primatani Sleman (BPTP) dan pihak Kanopi Indonesia. Materi yang dibicarakan dibuat bersama-sama tim Primatani Sleman (BPTP) dan pemilik ternak yaitu mengenai nilai penting kawasan Gunung Merapi, ancaman yang ada serta usaha yang dapat dilakukan bersama, salah satunya adalah penanaman rumput unggul di lahan sendiri (budidaya rumput unggul). Setiap kali talkshow selalu diputar lagu konservasi ”Elang Jawa Kebangganku”. Talkshow diputar di pagi hari dimana banyak masyarakat di kawasan yang mendengarkan. Iklan layanan masyarakat dibuat bersama-sama dengan pihak radio GCD FM. Iklan ini diputar sebanyak 3 kali sehari dalam waktu yang tak terbatas. Iklan ini menceritakan mengenai susahnya mencari rumput di dalam kawasan karena harus berjalan jauh dan menghabiskan banyak waktu sedangkan bila mereka menanam di lahan sendiri banyak keuntungan yang didapat, salah satunya adalah hemat waktu dan tenaga serta mencegah erosi.
Gambar 28. Proses rekaman talkshow di RRI baik siaran langsung dan siaran rekaman
15. Kunjungan sekolah Meningkatkan pengetahuan anak-anak merupakan investasi yang berharga karena mereka dapat menyampaikan pesan konservasi kepada orang tuanya dan dimasa datang mereka akan memiliki kepedulian lingkungan yang lebih baik dibandingkan orang tuanya. Kegiatan diawali dengan pemilihan sekolah target dan menghubungi sekolah yang bersangkutan, kemudian dibuat materi yang akan disampaikan, diikuti dengan pelaksanaan kegiatan. Berdasarkan pertimbangan tempat dan masyarakat target, maka dipilih 9 sekolah dasar (SD) teratas yang terletak di masing-masing desa. Sekolah tersebut yaitu SD Muhammadiyah Girikerto, SD Tarakanita Tritis, SD Sukorejo, SD Kaliurang 1, SD Kaliurang 2, SD Pangukrejo, SD Petung, SD Batur dan SD Srunen. Asumsinya musir dari kesembilan sekolah ini merupakan anak-anak dari pemilik ternak yang berada di sekitar kawasan sehingga nantinya mampu mempengaruhi orang tua mereka.
Kegiatan sekolah yang dilakukan dihubungkan dengan kostum, wayang kardus dan lagu konservasi. Dilakukan kunjungan rutin setiap minggunya untuk mempersiapkan pentas wayang kardus. Murid diajarkan mengenai wayang kardus, cara pembuatannya, dan cara memainkannya. Berikut ini adalah jadwal yang disusun bersama dengan pihak sekolah : Tabel ... Jadwal kunjungan sekolah di masing-masing sekolah dasar No. 1.
Bulan September
Minggu 2
2.
September
3
3.
Oktober
3
4.
Oktober
4
5.
November
1
6.
November
2
Kegiatan · Perkenalan · Pengenalan wayang kardus · Menggambar wayang · Mengembangkan cerita bersama guru · Permainan · Permainan · Melanjutkan menggambar dan mewarnai wayang · Cerita sudah jadi · Permainan · Latihan naskah cerita · Membahas panggung & latar dengan guru · Permainan · Latihan naskah cerita · Membuat panggung · Permaian · Latihan naskah cerita · Membuat panggung · Uji coba pementasan · Visit kostum · Distribusi pin, stiker, poster, booklet
Kegiatan ini dibantu oleh guru-guru sekolah setempat, relawan Kanopi Indonesia dan pemuda lokal. Selain membuat wayang kardus didiskusikan pula mengenai kondisi alam sekitar mereka termasuk mengenai Gunung Merapi, kemudian mereka diajak untuk bersama-sama melestarikan Gunung Merapi seperti yang tercermin dalam naskah wayang kardus yang dibuat oleh mereka. Dalam kunjungan juga digunakan kostum dan cerita tentang “Elwa” si Elang Jawa.
Gambar 29. Kegiatan selama kunjungan sekolah baik di dalam maupun di luar kelas
Gambar 30. Pemakaian kostum Elwa dalam kunjungan sekolah
16. Pawai Konservasi Pawai merupakan kegiatan hiburan yang mampu membangkitkan dukungan masyarakat terhadap kegiatan konservasi, terutama bila dikemas dalam bentuk yang menarik dengan pesan konservasi yang jelas dan sesuai target. Pada kampanye di lereng selatan Gunung Merapi, pawai konservasi dikemas dalam bentuk ”Gelar Budaya dan Pameran Potensi Masyarakat Lereng Selatan Gunung Merapi” di Desa Glagaharjo selama 3 hari. Acaranya berupa rangkaian beberapa kegiatan, seperti berikut ; Tabel ... Rangkaian acara Gelar Budaya dan Pameran potensi Masyarakat Lereng Selatan Gunung Merapi No.
Hari/tanggal
1.
Kamis/18 Juni 2009
2.
Jumat/19 Juni 2009
Kegiatan -
pawai konservasi (kirab budaya)
-
pameran potensi masyarakat pentas seni masyarakat : organ tunggal
-
pameran potensi masyarakat
-
lomba masak ibu-ibu pkk dengan bahan umbi-umbian
-
diskusi kesehatan lingkungan konservasi pentas seni masyarakat : jathilan
3.
Sabtu/20 Juni 2009
-
dan
penanaman pohon secara simbolik disekitar mata air Umbul Bebeng pameran potensi masyarakat
-
diskusi masyarakat : usaha-usaha pelestarian kawasan Gunung Merapi yang dapat dilakukan oleh masyarakat
-
pentas seni masyarakat : kethoprak dengan tema lingkungan
Kegiatan seperti ini merupakan kegiatan pertama yang pernah dilaksanakan di desa Glagaharjo sehingga antusiasme masyarakat tidak terlalu terlihat, kecuali pada saat pelaksanaan pentas seni. Masyarakat masih menganggap diskusi hanya kegiatan membuang waktu yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu kegiatan diskusi tidak banyak
diminat untuk dihadiri oleh masyarakat meskipun sudah ada undangan resmi dari pihak desa. Meskipun demikian sebagai kegiatan perdana, kegiatan ini sudah cukup sukses bahkan pihak desa merencanakan mengadakan kegiatan seperti ini setiap tahunnya. Pada pelaksanaan kegiatan ini sudah ada kerjasama yang bagus dengan pihak desa ditandai dengan adanya inisiatif untuk pengadaan dana yang ditanggung bersama dan peran aktif dari semua panitia yang berasal dari masyarakat itu sendiri.
Gambar 31. Pawai konservasi di Desa Glagaharjo
Gambar 32. Lomba masak berbahan umbi-umbian dengan latar belakang maskot kampanye
Gambar 33. Diskusi masyarakat dengan latar belakang maskot Elwa si Elang Jawa
17. Workshop guru Pendidikan mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat, guru sebagai pendidik dapat berperan menjadi fasilitator penting untuk merubah pola pikir anak sejak usia dini, ditambah lagi guru merupakan sumber informasi yang dipercaya oleh masyarakat target. Kegiatan ini sebenarnya menjadi bagian awal dari kunjungan sekolah. Guru-guru diberi pelatihan untuk mempersiapkan kunjungan sekolah dan wayang kardus, kenudian diatur pula mengenai jadwal kunjungan sekolah, alat dan bahan yang diperlukan. Workshop yang dilaksanakan selama 2 hari pada tanggal 26-27 Juli 2008 ini dihadiri oleh 24 guru dari 9 sekolah dasar (SD).
Gambar 34. Aktivitas guru dalam workshop guru seperti membuat naskah wayang kardus
18. Lagu Konservasi “Elang Jawa” Lagu konservasi dengan lirik yang sederhana dan mudah diingat dapat menanamkan pesan atau mendorong aksi secara luas baik anak-anak ataupun remaja hingga orang dewasa. Berdasarkan survey diketahui bahwa masyarakat lebih menyukai musik pop dan dangdut sehingga direncanakan untuk dibuat 2 buah lagu dengan 1 lagu dangdut dan 1 lagu pop. Pada awalnya lagu akan dibuat oleh kelompok pemuda, tetapi karena proses terlalu lama dan sering tertunda maka lagu dibuat bersama-sama relawan Kanopi Indonesia hingga diperoleh 2 lagu anak-anak yang menjadi lagu utama. Lagu tersebut berjudul “Elang Jawaku Kebanggaanku”dan “Kisah si Elwa”. Lagu ini direkam di studio Athero bekerja sama dengan Rumah Hijau. Selain untuk kegiatan sekolah, lagu ini juga digunakan sebagai lagu latar pada siaran radio dan dinyanyikan pula pada berbagai event lainnya seperti ketika Gelar Budaya dan Kampanye Elang Jawa. Adanya lagu ini mempermudah anak-anak untuk mengenal Elang Jawa dan Gunung Merapi.
Gambar 34. Proses pembuatan lagu yang dilakukan oleh kelompok pemuda lokal
19. Topi Topi diproduksi tidak dalam jumlah banyak, hanya 50 buah yang didistribusikan pada 3 kelompok tani yang aktif mengikuti pelatihan dan pengembangan Hijauan Makanan Ternak. Topi ini hanya dibuat satu desain dengan warna coklat muda. Pada bagian depan tertulis slogan yang diangkat pada kampanye ini yaitu “Merapiku Lestari Jogjaku Asri”, sedang bagian samping terdapat logo Kanopi Indonesia dan RARE. Tidak banyak pesan yang bisa dimasukkan pada topi karena keterbatasan ruang yang ada.
Gambar 35. Desain topi yang digunakan pada Kampanye Bangga Konservasi di Lereng Selatan Gunung Merapi
20. Kaos Pada awalnya tidak direncanakan pembuatan kaos, tetapi dalam perjalannya dibutuhkan kaos sebagai salah satu media yang didistribusikan ke masyarakat. Hal ini karena kaos lebih mudah diterima daripada lembar fakta sehingga pesan konservasi dapat tersampaikan. Kaos dibuat dengan 2 desain,desain pertama dibuat berwarna dan hanya dicetak sebanyak 70 buah. Kaos ini didistribusikan sebagai hadiah dalam lomba dan suvenir pada siaran radio serta anggota kelompok tani ternak yang mengikuti pelatihan dan pengembangan Hijauan Makanan Ternak. Desain kedua dibuat lebih sederhana dan tidak banyak warna. Kaos ini dibuat sebanyak 250 buah didistribusikan pada kegiatan Gelar Budaya.
Gambar 36. Pemakaian kaos Elang Jawa pada kegiatan Gelar Budaya
21. Mug Seperti halnya topi, mug juga tidak dibuat dalam jumlah banyak, hanya ada 60 buah yang didistribusikan kepada 3 kelompok tani yang aktif mengikuti pelatihan dan pengembangan Hijauan Makanan Ternak serta sebagai suvenir pada siaran radio. Mug didesain dengan gambar Elwa si Elang Jawa sebagai maskot dan slogan kampanye.
Gambar 37. Mug yang dibuat sebagai salah satu media penyampaian pesan konservasi
Masyarakat sangat menyukai mug ini karena dapat digunakan sehari-hari. Meskipun demikian tidak banyak pesan konservasi yang dapat disampaikan pada mug karena keterbatasan ruang. 22. Pembuatan instalasi biogas Pada kampanye ini dibuat juga prototipe 1 instalasi biogas berteknologi murah yang jauh lebih murah dan aplikatif bagi masyarakat sebagai bagian dari sistem integrated farming. Instalasi biogas yagn dibuat di Dusun Petung, Kepuharjo ini mampu mengurangi 60% penggunaan kayu bakar sehingga waktu yang digunakan untuk mencari kayu bakar dapat digunakan untuk merawat rumput di lahan sendiri. Adanya biogas ini masyarakat mampu menghemat pengeluaran sebesar Rp.50.000,00- Rp.75.000,00 per bulan/keluarga, dengan demikian dananya dapat dialokasikan untuk keperluan lainnya, misalkan mengembangkan demplot HMT-nya. Selain itu terdapat juga hasil sampingan berupa pupuk organik yang dapat digunakan untuk pemupukan rumput. Oleh karena itu diperlukan pengembangan lebih lanjut terhadap pembuatan biogas ini.
Gambar 38. Proses pembuatan instalasi biogas semipermanen di Dusun Petung, Kepuharjo
Gambar 39. Bak digester biogas gas permanen yang telah jadi, terletak di sebelah kandang sapi
23. Studi monitoring perubahan perilaku masyarakat Studi ini digunakan untuk mendapatkan data tambahan mengenai kondisi peternakan di sekitar kawasan. Studi dilakukan dengan metode survei dengan jumlah responden dari 80 orang pemilik ternak yang bertempat tinggal berbatasan langsung dengan kawasan Gunung Merapi. Survei dilakukan bekerjasama dengan dosen Instiper dan tim Primatani Sleman. Adapun isi pertanyaan lebih banyak tentang bagaimana pengelolaan peternakan yang ada selama ini, baik dari aspek pengetahuan, sikap maupun perilaku. Hasil survei dianalisis dengan skoring. Dari survei tersebut diketahui bahwa tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku pemilik ternak belum mengalami perubahan secara signifikan, kecuali di daerah Kaliurang Timur dan Kaliurang Barat menunjukkan tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku yang lebih tinggi dibanding yang lain. Hal ini dimungkinkan karena interaksi dengan pemilik ternak di wilayah ini lebih tinggi, kelompok tani ternak di Kaliurang Timur dan Kaliurang Barat adalah kelompok tani ternak yang aktif ikut dalam pelatihan dan pengembangan Hijauan Makanan Ternak.
5. Hasil 5.1 Hasil yang berorientasi pada perubahan pengetahuan dan sikap Sasaran pengetahuan : Di akhir kampanye, ada peningkatan 40% pengetahuan pemilik ternak di semua desa target mengenai dampak pengambilan rumput terhadap fungsi ekologis kawasan TNGM dari semula yang hanya sekitar 10% (pertanyaan survei no. 25). Ketika pembuatan project plan, cara penghitungan prosentase tidak dituliskan dalam asumsi, sehingga ketika pembuatan laporan akhir kesulitan untuk menghitung perubahan yang terjadi. Berdasarkan perhitungan ulang di akhir kampanye, terdapat perubahan pengetahuan di masyarakat target. Hal ini seperti terlihat pada diagram berikut :
Diagram 1. Perubahan pengetahuan masyarakat mengenai dampak pengambilan rumput terhadap fungsi ekologis kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sebelum dan setelan kampanye Bangga Konservasi pada desa target (N=381) dan desa kontrol (N=147)
Dari data diatas kemudian dihitung capaian aktual yang diperoleh. Capaian aktual merupakan selisih dari perubahan yang terjadi pada desa target dan desa kontrol. Capaian aktual yang didapatkan yaitu 15,8%. Hal ini berarti capaian perubahan pengetahuan yang terjadi sebesar 15,8%. Berbagai kegiatan penjangkauan dilakukan terhadap di berbagai kelompok masyarakat baik anak-anak, remaja, maupun dewasa dengan menggunakan media komunikasi seperti lembar fakta, poster, dan lagu konservasi. Kualitas dan intensitas penjangkauan yang dilaksanakan menyebabkan perbaikan pengetahuan masyarakat target. Meskipun demikian pada desa target juga terdapat kegiatan yang hampir mirip yang dilakukan oleh lembaga lain (Sekolah Lapangan milik ESP), sehingga 15,8 % perubahan pengetahuan petani di masyarakat target bukan hanya kontribusi dari kegiatan Kampanye Bangga Konservasi. Peningkatan pengetahuan yang juga terjadi pada masyarakat kontrol diduga karena ada intervensi dari lembaga-lembaga lainnya di daerah desa kontrol, terutama terhadap kelompok petani.
Apabila dilihat lebih detil lagi maka perubahan yang terjadi adalah sebagai berikut : Berdasarkan data pra-survei memperlihatkan bahwa hampir semua responden tidak memiliki pengetahuan mengenai dampak pengambilan rumput yang tidak teratur dan intensif terhadap keutuhan ekologis kawasan Gunung Merapi. Pemilik ternak sebagian besar menyatakan bahwa pengambilan rumput tidak menimbulkan dampak terhadap kawasan Gunung Merapi (Petani: 20%, Wiraswasta: 27%, Peternak 12%). Selain itu, jumlah responden yang secara langsung menyatakan tidak tahu dampaknya juga relatif besar. Tabel .. menunjukkan pengetahuan responden mengenai keberadaan dampak pengambilan rumput terhadap keutuhan kawasan. Tabel ..: Pengetahuan responden sebelum kampanye mengenai ada atau tidak ada dampak pengambilan rumput terhadap kawasan G. Merapi (N=381)
Pekerjaan
Ada atau tidak ada dampak dari pengambilan rumput terhadap kawasan G. Merapi? Ada 62.2%, 237
Tidak ada 22.0%, 84
Tidak tahu 15.7%, 60
Petani
30.4%
20.2%
21.7%
Wiraswasta
18.6%
27.4%
15.0%
Pelajar/mahasiswa
11.8%
4.8%
8.3%
Peternak
8.0%
11.9%
10.0%
Ibu rumah tangga
8.4%
7.1%
10.0%;
Total
*; *
*; *
*; *
Catatan: total jawaban tidak 100% karena responden dapat memilih lebih dari 1 jawaban
Ketika ditanyakan lebih lanjut mengenai dampak yang lebih spesifik dari pengambilan rumput terhadap keutuhan kawasan Gunung Merapi, semakin terlihat bahwa pengetahuan yang dimiliki masih rendah. Sekitar 52% tidak menjawab pertanyaan mengenai hal ini. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pertanyaan tidak dimengerti oleh responden atau responden memang tidak mengetahui jawaban yang tepat. Jika dilihat dari jenis pekerjaan, 97,1% responden yang bekerja sebagai peternak tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan ini. Kalau pun responden menyebutkan dampaknya, namun jawabannya juga belum spesifik. Bahkan, 5% responden (N=381) menyatakan bahwa pengambilan rumput tidak ada dampaknya. Variasi jawaban responden dapat dilihat pada Gambar ...berikut ini.
Diagram 2. Pengetahuan responden terhadap dampak pengambilan rumput terhadap kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sebelum kampanye
Setelah berakhirnya kampanye, tidak terlihat peningkatan terhadap masyarakat yang mengerti dampak pengambilan rumput dalam kawasan, lebih banyak masyarakat yang menjawab tidak tahu atau tidak ada dampaknya, seperti terlihat pada tabel.... Tabel .. Pengetahuan responden setelah kampanye mengenai ada atau tidak ada dampak pengambilan rumput terhadap kawasan G. Merapi (N=381)
Pekerjaan
petani wiraswata ibu rumah tangga peternak tidak bekerja Other Totals
Ada atau tidak ada dampak dari pengambilan rumput terhadap kawasan G. Merapi? Ada Tidak ada Tidak tahu 43.8% 34.4% 21.8% 25.1% 41.2% 31.3% 20.4% 6.1% 19.3% 10.8% 16.8% 10.8% 7.8% 16.8% 6.0% 12.6% 5.3% 13.3% 23.4% 13.7% 19.3% *; * *; * *; *
Ketika ditanyakan lebih lanjut mengenai dampak yang lebih spesifik dari pengambilan rumput terhadap keutuhan kawasan Gunung Merapi, belum terlihat adanya peningkatan pengetahuan. Terdapat 40,68% yang menjawab tidak tahu dan 11,29% yang menjawab tidak merusak (N=381). Rincian seperti pada diagram 3.
Diagram 3. Pengetahuan responden terhadap dampak pengambilan rumput terhadap kawasan Taman Nasional Gunung Merapi setelah kampanye
Hasil survei terhadap pemilik ternak sebelum dan setelah kampanye seperti pada tabel .. dan tabel..Disini terllihat bahwa pemilik ternak yang mampu menjawab adanya dampak pengambilan rumput dalam kawasan terhadap keutuhan kawasan Gunung Merapi terdapat peningkatan. Sebelum kampanye terdapat 54,5% yang tidak menjawab, 5,6% tidak berdampak dan 2,8% tidak tahu. Setelah kampanye terdapat 41,4% yang menjawab tidak tahu dan 12,3% menjawab tidak ada dampaknya. Tabel ... Pengetahuan pemilik ternak mengenai dampak pengambilan rumput dalam kawasan terhadap keutuhan Taman Nasional Gunung Merapi sebelum kampanye Dampak pengambilan rumput dalam Prosentase pemilik ternak (sapi) kawasan terhadap keutuhan Taman Nasional Gunung Merapi
tidak menjawab merusak lingkungan pengambilan rumput tidak ada dampak lahan akan menjadi terbuka, rusaknya alam sekitar, pemandangan menjadi kurang tidak tahu tanah menjadi gundul, akan terjadi longsor kerusakan hutan/rumput menjadi tidak indah merusak karakter asli alam Merapi berkurangnya mata air, menyebabkan tanah longsor Other Totals
54.5% 8.5% 5.6% 3.3%
2.8% 1.9% 1.4% 1.4% 1.4% 0.9% 18.3% 100.0%
Tabel .. Pengetahuan pemilik ternak mengenai dampak pengambilan rumput dalam kawasan terhadap keutuhan Taman Nasional Gunung Merapi setelah kampanye Dampak pengambilan rumput dalam kawasan terhadap keutuhan Taman Nasional Gunung Merapi tidak tahu menyebabkan kerusakan hutan tidak merusak berkurangnya rumput merusak pohon yang besar menyebabkan hutan gundul selain mengambil rumput juga mengambil kayu bakar berkurangnya keanekaragaman hayati Gunung Merapi terjadi tanah longsor kerusakan sumber mata air Other Totals
Prosentase pemilik ternak (sapi) 41.4% 15.0% 12.3% 6.8% 6.8% 4.5% 2.7% 2.3% 2.3% 1.8% 11.8% *; *
Catatan: total jawaban tidak 100% karena responden dapat memilih lebih dari 1 jawaban
Sasaran sikap : Pada akhir kampanye, sikap positif pemilik ternak di semua desa target untuk mendiskusikan cara-cara mendapatkan rumput atau pakan ternak dan melindungi kawasan dengan nilai keanekaragaman hayati tinggi, meningkat 20% dari rata-rata 62% (pertanyaan survei no. 36). Seperti pada halnya sasaran pengetahuan, pada sasaran sikap tidak ada cara penghitungan prosentase pada asumsi sehingga menyulitkan penghitungan di akhir kampanye. Berdasarkan perhitungan ulang di akhir kampanye, terdapat perubahan pengetahuan di masyarakat target. Hal ini seperti terlihat pada diagram berikut :
Diagram 4. Sikap pemilik ternak di desa target dan kontrol untuk mendiskusikan cara mendapatkan rumput tanpa harus masuk dalam kawasan TNGM
Berdasarkan diagram 4 dan penghitungan ternyata tidak ada perubahan yang terjadi pada masyarakat target. Pemilik ternak masih merasa diskusi untuk mendapatkan rumput tanpa harus mengambil dari kawasan TNGM merupakan masalah masing-masing individu. Sebelum kampanye terdapat 60,1% peternak yang menjawab penting dan sangat penting
sedang setelah kampanye terdapat 59,1% yang menjawab sangat penting dan penting untuk mendiskusikan masalah pengadaan pakan ternak tanpa harus masuk dalam kawasan TNGM. Bukanlah hal mudah untuk meyakinkan pemilik ternak di desa-desa target bahwa semangat kebersamaan akan memudahkan pemenuhan kebutuhan HMT untuk pakan ternak mereka sehingga mendukung pelestarian TNGM. Meskipun sudah dilakukan berbagai penjangkauan dan media komunikasi yang digunakan pada Kampanye Bangga yang selalu mengangkat pentingnya kebersamaan dalam usaha pemenuhan HMT tetapi belum terlihat adanya perubahan sikap. Pemilik ternak belum melihat keuntungan nyata yang langsung dirasakan mereka, sehingga mereka masih banyak yang bersikap netral (30%) (Tabel...). Tabel ... Sikap pemilik ternak terhadap diskusi mendapatkan HMT tanpa perlu masuk kawasan TNGM setelah kampanye
Diskusi cara mendapatkan HMT tanpa perlu masuk dalam kawasan TNGM sangat penting penting netral tidak penting tidak tahu Totals
Pemilik ternak (sapi) 4.1% 55.0% 30.0% 5.5% 5.5% 100.0%
Berbeda halnya dengan di desa kontrol, masyarakat merasa bahwa diskusi penting untuk dilakukan hal ini terlihat pada hasil survei terdapat peningkatan 20% orang yang menjawab penting dan sangat penting. Hal ini dimungkinkan banyak informasi dan kegiatan lain yang dilakukan lembaga lain.
5.2 Hasil-hasil yang berorientasi pada tindakan/perubahan perilaku Sasaran 2 : Pada akhir kampanye, sikap positif pemilik ternak di semua desa target untuk mendiskusikan cara-cara mendapatkan rumput atau pakan ternak dan melindungi kawasan dengan nilai keanekaragaman hayati tinggi, meningkat 20% dari rata-rata 62% (pertanyaan survei no. 36). Berdasarkan dokumentasi proses tercatat bahwa jumlah peserta yang mengikuti pelatihan dan pengembangan Hijauan Makanan Ternak berjumlah 18 orang pada awalnya dan hanya 11 orang yang bertahan hingga pelatihan dan pembuatan demplot HMT selesai. Dari 11 orang tersebut 5 orang diantaranya sudah bersedia untuk tidak mengambil rumput dari dalam kawasan Gunung Merapi, melainkan mengambil dari lahannya sendiri dan bersedia mengembangkan lahannya dengan teknik penanaman yagn tepat dan jenis rumput unggul. Proses pelatihan ini bekerjasama dengan tim Primatani Sleman, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.
Gambar .. Pelatihan dan pengembangan Hijauan Makanan Ternak yang dilakukan oleh tim Primatani Sleman, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Pengembangan Hijauan Makanan Ternak (HMT) sampai saat ini masih terus dikembangkan dan direplikasi pada kelompok tani ternak yang lain. Adapun yang membantu proses tersebut adalah kelompok tani ternak yang telah mengikuti pelatihan, mereka yang nantinya menjadi “corong” untuk kegiatan selanjutnya. Sasaran 3 : Pada akhir kampanye, terbentuk dukungan publik dari masyarakat desa Umbulharjo, Kepuharjo, dan Glagaharjo dalam bentuk satu kesepakatan mengenai cara dan areal perumputan sehingga mengurangi kegiatan pengambilan rumput yang tidak terkelola dengan baik Sasaran 4 : Pada akhir kampanye, masyarakat desa Hargobinangun dan Purwobinangun membentuk sebuah kesepakatan masyarakat untuk melindungi kawasan yang mempunyai nilai keanekaragaman hayati dan fungsi ekologis tinggi Sasaran 5 : Pada akhir kampanye, terbentuk dukungan publik dari masyarakat desa Umbulharjo, Kepuharjo, Glagaharjo, Hargobinangun dan Purwobinangun terhadap nilai konservasi keanekaragaman hayati kawasan TNGM melalui terbentuknya kelompok pelindung Taman Nasional Gunung Merapi. Pada proses pendokumentasian, tercatat bahwa jumlah masyarakat terutama pemilik ternak yang mengikuti kegiatan konservasi sangat bervariasi, tergantung dari jenis kegiatan yang diadakan. Pada kegiatan yang lebih bersifat aksi seperti penanaman pohon banyak diikuti oleh masyarakat, dari 5 kali kegiatan penanaman selalu diikuti tak kurang dari 100 orang sehingga total peserta yang ikut kurang lebih 900 orang. Pemetaan dan pendataan potensi keanekaragaman hayati disekitar mata air diikuti oleh 45 orang. Sedang pada kegiatan yang lebih banyak diskusi hanya diikuti oleh sedikit orang, seperti pada rembug desa atau sarasehan yang hanya diikuti 20 orang, sosialisasi biogas semipermanen yang diikuti oleh 30 orang, workshop guru terdapat 24 peserta, workshop video partisipatif terdapat 9 orang. Kegiatan pelatihan dan pengembangan Hijauan Makanan Ternak juga hanya diikuti oleh 11 orang. Kegiatan event juga banyak diikuti oleh masyarakat seperti pada pementasan wayang kardus yang dihadiri oleh 150 orang, begitu juga dengan pawai konservasi yang diikuti oleh kurang lebih 300 orang. Hal ini menandakan masyarakat lebih menyukai kegiatan nyata yang langsung ada hasil yang terlihat.
Kesepakatan mengenai luasan area yang dilindungi dan area yang dapat dimanfaatkan belum dapat direalisasikan. Masih dibutuhkan tindak lanjut untuk mencapai hal tersebut.
6. Analisa Kritis mengenai Kampanye Pride Kampanye Bangga Konservasi merupakan perpaduan dari cara pemasaran sosial (sosial marketing) dengan kepentingan konservasi. Oleh karena itu untuk mencapai tujuannya yang berupa perubahan perilaku menggunakan pendekatan sosial marketing. Untuk melihat sejauh mana perubahan yang terjadi diukur dengan survei. Selain itu dapat dilihat pula sejauh mana efektifitas media yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut maka pelaksanaan Kampanye Bangga Konservasi di Lereng Selatan Gunung Merapi memilik beberapa media efektif dan tidak efektif. Berikut adalah penjelasannya.
6.1 Bentuk pendekatan yang efektif Media efektif bagi Kampanye Bangga Konservasi di Lereng Selatan Gunung Merapi yaitu : a. Pelatihan dan diskusi pengembangan Hijauan Makanan Ternak (HMT) Berdasarkan postsurvei, banyak masyarakat terutama pemilik ternak yang menjawab merasa mendapatkan informasi tambahan dengan adanya pelatihan ini (45,9%). Mereka juga merasa media ini efektif untuk penyampaian informasi mengenai konservasi Gunung Merapi (35,2%). Hal ini dimungkinkan karena pelatihan dan diskusi mengenai pengembangan HMT dapat menjawab salah satu permasalahan yang ada yakni pemenuhan kebutuhan pakan ternak yang terus meningkat. Dengan adanya pelatihan yang diikuti dengan pembuatan demplot akan memberikan keuntungan bagi pemilik ternak seperti tersedianya HMT dalam jumlah banyak dengan nilai gizi tinggi tanpa harus keluar banyak tenaga dan waktu. Selain itu juga mengurangi erosi di kawasan hutan sebab pepohonan bahkan rumput alami akan tetap terjaga, sehingga mampu mengikat partikel tanah lebih lama dan mampu menampung air lebih banyak. Meskipun demikian karena jumlah kelompok tani ternak yang mengikuti pelatihan ini masih sedikit maka perubahan yang terjadi belum signifikan. Oleh karena itu diperlukan kegiatan lanjutan untuk memperbesar dampak. Kegiatan lanjutan dapat menggunakan anggota kelompok tani ternak yang telah mengikuti pelatihan sebelumnya. Dengan menggunakan masyarakat setempat diharapkan inovasi ini lebih mudah diadopsi. b. Rembug desa (pertemuan tatap muka) Menurut masyarakat pertemuan langsung (tatap muka) baik secara formal seperti rembug desa maupun secara informal seperti diskusi ketika kunjungan lapangan (live in) juga efektif dalam penyampaian pesan konservasi (27,3%). Hal ini karena ada unsur kedekatan dengan masyarakat sehingga masyarakat cenderung lebih terbuka, tidak menolak langsung. Pertemuan ini efektif juga karena intensitas pertemuan yang cukup banyak, tidak harus selalu dalam bentuk pertemuan formal. Banyaknya pesan yang mau disampaikan juga lebih banyak, tergantung kondisi setempat. Dalam hal ini peranan manajer kampanye sangat terlihat mengingat kedekatan manajer kampanye dengan masyarakat akan mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap pesan yang dibawa oleh manajer kampanye tersebut. Semakin sering bertemu dan berinteraksi maka makin percaya masyarakat terhadap apa yang kita bawa.
c. Gerakan penanaman pohon Bagi masyarakat, konservasi identik dengan kegiatan menanam pohon, oleh karena itu kegiatan menanam pohon sudah tidak asing bagi mereka, bahkan seringkali mereka mengadakan sendiri kegiatan ini. Gerakan penanaman pohon dikatakan efektif untuk penyampaian pesan konservasi Gunung Merapi karena masyarakat sudah melakukan kegiatan ini sejak lama sehingga asumsinya pesan lebih mudah tersampaikan. Adapun pesan yang disampaikan bukan hanya ajakan untuk menanam tetapi juga sebab mengapa kota harus menanam pohon, dihubungkan dengan keberadaan hutan Gunung Merapi, keanekaragaman hayati yang ada dan aktivitas pengambilan rumput dalam kawasan. Berdasarkan survei, efektifitas kegiatan ini dalam penyampaian pesan sebesar 12,1% meskipun banyak masyarakat yang merasa mengetahui kegiatan ini sejak lama (71,6%). Hal ini disebabkan banyak masyarakat terutama pemilik ternak yang hanya mengikuti sebagai partisipan saja, sedang pesan konservasi yang disampaikan hanya menjadi informasi sambil lalu.
6.2 Pendekatan yang tidak efektif Dalam pelaksanaan Kampanye Bangga Konservasi tidak lepas dari media yang tidak efektif dalam penyampaian pesan. Media tersebut yaitu : a. Lembar fakta (factsheet) Pada awalnya lembar fakta menjadi salah satu media utama dalam penyampaian pesan konservasi karena banyak pesan yang tercakup di dalamnya. Akan tetapi dalam pelaksanaannya ternyata lembar fakta menjadi media yang tidak efektif. Hal ini disebabkan masyarakat desa target lebih menyukai membaca, mereka lebih menyukai media kampanye yang bersifat aksi atau dapat didengar. Yang terjadi dengan lembar fakta adalah masyarakat hanya membaca sekilas atau bahkan hanya dilihat gambarnya saja, kemudian lembar fakta ini dibuang atau dimanfaatkan yang lain. Dengan demikian kenyataan di lapangan berbeda dengan asumsi awal yang memperkirakan masyarakat target mau membaca lembar fakta. Padahal proses pembuatan lembar fakta sudah melalui beberapa tahapan mulai dari pemilihan pesan, desain, hingga dilakukan uji oleh perwakilan masyarakat desa target. Lembar fakta yang siap cetak adalah hasil pengujian yang meliputi isi, desain, pemilihan warna, ukuran huruf, komposisi dan letak gambar. Media ini menjadi tidak efektif dimungkinkan karena proses pengujian awal tidak benar-benar sesuai dengan keinginan masyarakat atau jumlah sampel terlalu sedikit, jumlah orang yang menjadi sampel hanya 8 orang. Selain itu juga intensitas dan penekanan penggunaan lembar fakta tidak secara intensif. Dengan kata lain dimungkinkan proses distribusinya tidak efektif. b. workshop video partisipatif Kegiatan ini tidak efektif karena hanya sedikit masyarakat yang terlibat, dan proses kegiatannya pun tidak berjalan dengan baik. Dari jumlah peserta 13 orang, pada akhir rangkaian kegiatan peserta yang masih mengikutinya hanya 4 orang. Pada saat proses editing tidak ada yang mau melanjutkan lagi sehingga editing tidak dilakukan oleh peserta. Hal ini dikarenakan jadwal latihan sering bersamaan dengan jadwal kegiatan sekolah dan antusiasme peserta dari hari ke hari makin menurun. c. pemetaan dan pendataan potensi keanekaragaman hayati di sekitar mata air Kegiatan ini menjadi tidak efektif karena proses pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Keterlibatan masyarakat terhadap kegiatan ini sangat kurang, masyarakat menganggap bahwa mereka hanya membantu pelaksanaan kegiatan ini bukan menjadi bagian dari kegiatan ini, meskipun sejak awal awal telah disampaikan bahwa kegiatan ini
adalah kegiatan bersama. Yang terjadi adalah masyarakat hanya menjadi pengantar atau partisipan saja. Pesan konservasi tidak dapat tersampaikan dengan baik karena tingkat kelekatan mereka terhadap kegiatan sangat kurang. Selain itu juga karena hanya sedikit orang yang berpartisipasi dalam kegiatan ini, dari masyarakat desa target hanya 20 orang.
7. Rekomendasi bagi Kampanye Bangga Konservasi di Lereng Selatan Gunung Merapi Rekomendasi Kampanye Bangga Konservasi di Lereng Selatan Gunung Merapi disampaikan dengan harapan ada tindak lanjut dari kegiatan kampanye yang telah lalu. Rekomendasi diperoleh berdasarkan hasil lokakarya “Pendidikan Konservasi: Sebuah Pendekatan Sosial Marketing untuk Mendorong Perubahan Perilaku bagi Tercapainya Konservasi Keanekaragaman Hayati” yang digelar di Ruang Sidang Sylva Fakultas Kehutanan IPB Selasa, 25 Agustus 2009. Rekomendasi lainnya diperoleh dari proses dan implementasi kampanye bangga. Beberapa rekomendasi sebagai diuraikan sebagai berikut : 1. melanjutkan membuat kesepakatan dengan pihak Balai Taman Nasional Gunung Merapi mengenai luasan area yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai area pengambilan rumput 2. melanjutkan membuat kesepakatan dengan masyarakat sekitar kawasan mengenai area dilindungi yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati dan nilai ekosistem tinggi 3. mendorong terbentuknya peraturan desa tentang area perlindungan dan area pemanfaatan 4. menguatkan kelembagaan kelompok tani ternak dan melanjutkan pengembangan Hijauan Makanan Ternak (HMT) 5. mencoba memunculkan alternatif pengolahan susu sapi dengan teknologi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat 6. menggunakan radio komunitas dengan lebih optimal 7. mengembangkan edukasi anak dengan pendamping dari masyarakat lokal.
Daftar Pustaka MacKinnon, J., K. Phillip, Bas van Balen. 1998. Buku Panduan Pengenalan BurungBurung Jawa, Bali, Sumatra dan Kalimantan Termasuk Sabah dan Serawak. Bogor. LIPI. Nijman, V., and R. Sozer. 1996. Konservasi Elang Jawa dan jenis-jenis burung endemik jawa lainnya : daerah prioritas kawasan konservasi di Jawa Tengah. http://www.burung.org/detail_book.php?id=21&op=book. Diakses 14 Desember 2007. Sozer, R., V. Nijman, I. Setawan. 1999. Pnaduan identifikasi Elang Jawa Spizaetus bartelsi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi (P3B)-LIPI, Direktorat Jenderal Perlingdungan dan Konservasi Alam (PKA)-DEPHUTBUN, Japan International Coorperation Agency (JICA). Sozer, R., V. Nijman, I. Setiawan, Sebastianus van Balen, D.M. Prawiradilaga, J. Subijanto. 1998. Rencana pemulihan species Elang Jawa. Birdlife InternationalIndonesia Programme. Bogor. Kencana, .E., Abrar, E. Wilianto. 1999. Prosiding Seminar Regional : Potensi Kawasan Konservasi Alam Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta. Matalabiogama. Kartawinata, K. 2007. Modul kuliah : Tipe Ekosistem dan Kepunahannya. RARE PRIDE. Matalabiogama. 2002. Data Burung Merapi. Yogyakarta. Whitten, T., R.E. Soeriaatmajda, S.A. Afiff. 1999. Seri Ekologi Indonesia Jilid II : Ekologi Jawa dan Bali. Jakarta. Prehalindo. BPTTK. 2000. Leaflet Pesona Merapi. Yogyakarta. http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Merapi http://www.vsi.esdm.go.id/gunungapiIndonesia/merapi/sejarah.html http://merapi.vsi.esdm.go.id/?static/volcano/merapi/geologi.html http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Gunung_Merapi http://id.wikipedia.org/wiki/TN.Gunung Merapi.htm