LAPORAN AKHIR
KAJIAN PENGEMBANGAN MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PASAR KOMODITAS PANGAN POKOK
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN DEPARTEMEN PERDAGANGAN 2009
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PENGEMBANGAN MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PASAR KOMODITAS PANGAN POKOK
Oleh:
Hamdani Surachman Bana Bodri Ranni Resnia Yati Nuryati Astari Wirastuti Dwi Wahyuniarti P Pantun Sitompul Warsan S. Sumaryanto Saktyanu K. Dermoredjo Willy Arafah Ridwan Maronrong
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2009
KAJIAN PENGEMBANGAN MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PASAR KOMODITAS PANGAN POKOK
RINGKASAN EKSEKUTIF Latar Belakang 1.
Masyarakat sangat berkepentingan dengan harga pangan pokok yang stabil. Hal ini tak lepas dari fakta bahwa gejolak harga pangan pokok berdampak luas dan seringkali merambah ke dimensi sosial politik. Oleh karena itu stabilisasi harga pangan pokok merupakan salah satu agenda kebijakan pemerintah yang sangat strategis.
2.
Secara empiris harga komoditas pangan pokok bervariasi antar tempat (spatial) dan seiring dengan inflasi maka cenderung meningkat meningkat dari waktu ke waktu. Terkait dengan itu maka makna "stabil" adalah suatu kondisi dimana perbedaannya terhadap nilai tengah "trend" termasuk kategori moderat sehingga masih tetap berada pada kisaran yang secara psikologis dapat ditoleransi oleh sebagian besar produsen dan konsumen. Lazimnya batas toleransi tersebut terkait dengan kapasitas stake holder untuk melakukan penyesuaian tanpa harus melakukan perubahan internal secara fundamental.
3.
Perumusan dan implementasi kebijakan stabilisasi harga membutuhkan informasi tentang proyeksi pasar, terutama proyeksi harga
jangka pendek.
Informasi ini bermanfaat sebagai: (1) acuan dalam evaluasi perilaku pasar, khususnya untuk menentukan apakah fluktuasi harga jangka pendek masih berada pada kisaran "normal" (stabil), dan (2) masukan untuk merumuskan langkah-langkah antisipasi jangka pendek - menengah. Untuk itu diperlukan tersedianya model-model proyeksi jangka pendek yang relatif sederhana dan mudah dioperasikan sehingga dengan cepat dapat menyediakan informasi yang cukup akurat . Dalam konteks inilah kajian ini diharapkan dapat berkontribusi.
Tujuan dan Manfaat Kajian 4.
Kajian ini ditujukan untuk: (1) membangun/mencari model proyeksi pasar jangka pendek untuk komoditas pangan pokok yakni beras, jagung, dan kedele; serta harga tingkat eceran terigu dan gula pasir, (2) menyusun proyeksi harga jangka
i
pendek komoditas pangan pokok yang dapat dimanfaatkan secara reguler, dan (3) merumuskan rekomendasi kebijakan dan atau program jangka pendek dalam rangka mendukung perbaikan kinerja pasar komoditas pangan pokok tersebut. 5.
Dalam lingkup internal, hasil kajian ini bermanfaat untuk memperlancar proses penyediaan data dan informasi yang diperlukan untuk mendukung sistem pemantauan harga jangka pendek. Dalam konteks yang lebih luas, data dan informasi yang dihasilkan tersebut bermanfaat untuk mendukung perumusan progam dan kebijakan jangka pendek khususnya dalam rangka stabilisasi harga komoditas pangan pokok.
Metodologi 6.
Komoditas pangan pokok yang dikaji adalah beras, jagung, kedele, gula pasir, dan terigu. Untuk komoditas beras, jagung, dan kedele dilakukan proyeksi jangka pendek mencakup variabel harga, volume pasokan, dan volume permintaan; sedangkan untuk komoditas gula pasir dan terigu hanya difokuskan pada variabel harga di tingkat eceran.
7.
Pendekatan yang ditempuh dalam kajian ini menggunakan kombinasi dua pendekatan yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pada pendekatan kuantitatif data yang dipergunakan adalah data sekunder dari lembaga terkait; sedangkan pada pendekatan kualitatif didasarkan atas hasil studi pustaka dan analisis data primer yang diperoleh dari survey.
8.
Untuk pendekatan kuantitatif, prosedurnya adalah sebagai berikut. Pada tahap pertama, dilakukan identifikasi model peramalan jangka pendek yang secara teoritis sesuai untuk diterapkan. Kriteria penilaian tingkat kesesuaian didasarkan atas pertimbangan teoritis dan pragmatis sehingga model yang dipilih harus memenuhi dua persyaratan sekaligus: (1) mampu menghasilkan tingkat akurasi ramalan yang tinggi, dan (2) sederhana sehingga mudah diterapkan.
Pada
tahap kedua dilakukan penyusunan angka-angka proyeksi jangka pendek untuk variabel harga, volume pasokan, dan volume permintaan komoditas pangan pokok di lokasi-lokasi yang representatif. 9.
Pendekatan kualitatif difokuskan untuk mengkaji arah perkembangan struktur, perilaku, dan performa pasar (SCP). Dengan mempertimbangkan lokasi-lokasi berbagai kajian SCP komoditas terkait yang selama ini telah dilakukan (dari studi pustaka), lokasi survey yang dilakukan dalam kajian ini diarahkan pada wilayah-
ii
wilayah yang sifatnya melengkapi hasil-hasil kajian terdahulu. Oleh karena itu lokasi yang dipilih tidak selalu merepesentasikan sentra-sentra produksi komoditas pangan pokok tersebut di atas. 10. Dalam upaya memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif dalam penelitian ini juga dilakukan analisis simulasi harga, produksi, dan konsumsi beras, jagung dan kedele dengan menggunakan pendekatan persamaan simultan.
Hasil Kajian 11. Hasil uji kesesuaian model menunjukkan bahwa model-model proyeksi time series method (TSM) dapat diandalkan untuk melakukan proyeksi harga jangka pendek. Berbeda dengan itu, metode Causal/Econometrics (C/EM) lebih sesuai untuk diterapkan dalam proyeksi volume pasokan maupun volume permintaan. 12. Pola musiman yang terjadi dalam produksi padi, jagung, dan kedele mempengaruhi harga komoditas tersebut di tingkat petani maupun harga di tingkat konsumen rumah tangga (eceran). Hasil uji tingkat akurasi ramalan juga menunjukkan hal itu. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa untuk proyeksi harga jangka pendek, pendekatan exponential smoothing dengan metode HoltWinters Multiplicative Seasonal (HWMS) dapat diandalkan (hasil ramalan tersajikan pada laporan lengkap). 13. Untuk proyeksi harga eceran gula pasir dan terigu, metode ARIMA lebih sesusi daripada metode exponential smoothing. Diduga kuat hal ini terkait dengan variasi harga di tingkat internasional kedua komoditas tersebut yang polanya cenderung lebih acak daripada harga komoditas padi, jagung, dan kedele. 14. Secara umum, tingkat akurasi ramalan proyeksi harga lebih baik daripada tingkat akurasi
ramalan
proyeksi
volume
pasokan
(produksi)
maupun
volume
permintaan (konsumsi). Hal ini terkait dengan keterbatasan data yang dapat dimanfaatkan sebagai variabel penjelas pada fungsi konsumsi maupun fungsi produksi. 15. Hasil simulasi dengan pendekatan persamaan simultan menunjukkan bahwa secara umum harga komoditas pangan pokok, baik di tingkat produsen (petani) maupun konsumen (eceran) lebih sensitif terhadap perubahan harga BBM
iii
daripada perubahan harga Urea ataupun harga impor komoditas yang bersangkutan. 16. Kenaikan BBM sebesar 50 persen menyebabkan produksi padi turun sekitar 3,4 persen, tetapi meningkatkan produksi jagung dan kedele masing-masing 0,07 persen dan 0,04 persen. Hal ini disebabkan sebagian petani mengalihkan komoditas usahataninya dari padi ke jagung dan atau kedele. 17. Kesimpulan umum dari hasil simulasi adalah bahwa pada sistem komoditas padi/beras, jagung, dan kedele dampak kenaikan harga BBM adalah lebih besar daripada kenaikan harga Urea ataupun harga impor komoditas yang bersangkutan. Dengan demikian dalam hal penetapan harga BBM seyogyanya menganut pendekatan konservatif. 18. Hasil pengkajian di lapang melalui survey memperoleh kesimpulan bahwa sampai saat ini belum terjadi suatu perubahan yang cukup mendasar dalam perkembangan struktur, perilaku, dan performa pasar komoditas pangan pokok. Struktur pasar gabah, jagung maupun kedele di tingkat petani masih cenderung oligopsonistik. Di sisi lain, meskipun pasar eceran beras, jagung, maupun kedele relatif lebih bersaing namun posisi tawar konsumen masih relatif lebih lemah jika dibandingkan dengan posisi pedagang. 19. Berbagai kebijakan yang diarahkan untuk memperlancar arus informasi, penataan kelembagaan tata niaga, dan beberapa diskresi yang terkait dengan program stabilisasi harga pangan pokok menunjukkan beberapa hasil positif. Meskipun demikian efektivitasnya tereduksi oleh sejumlah kendala yang terkait dengan: (1) kinerja infrastruktur untuk mendukung kelancaran sistem distribusi belum optimal, (2) belum terkonsolidasinya sistem usahatani komoditas pangan pokok karena secara keseluruhan proses fragmentasi yang masih terus berlangsung ternyata berjalan lebih cepat daripada proses konsolidasi yang mulai terjadi di beberapa daerah, dan (3) terkait pula dengan butir (2) tersebut asosiasi petani dalam pemasaran produksi tidak berkembang.
Kesimpulan dan Rekomendasi 20. Dari kajian ini telah teidentifikasi sejumlah model proyeksi harga, produksi, dan konsumsi jangka pendek yang relatif sederhana yang dapat diaplikasikan sehingga untuk menghasilkan informasi secara cepat. Dalam hal ini tingkat
iv
akurasi proyeksi harga relatif lebih tinggi daripada tingkat akurasi proyeksi produksi dan konsumsi. 21. Berbekal butir (1), informasi mengenai proyeksi pasar jangka pendek secara reguler dapat dilakukan dan informasi ini akan sangat bermanfaat untuk melakukan langkah-langkah antisipatif jangka pendek dalam rangka stabilisasi harga komoditas pangan pokok. 22. Upaya penyempurnaan sistem pengumpulan dan manajemen data harus terus dilakukan. Dalam konteks ini koordinasi antar instansi terkait secara konsisten merupakan kunci sukses upaya tersebut. 23. Arah perkembangan perilaku pasar yang lebih menguntungkan posisi produsen pangan pokok (petani) belum banyak berubah dari kecenderungan selama ini. Situasi kondusif yang tercipta seiring meningkatnya kelancaran arus informasi tereduksi oleh kecenderungan makin terserak dan mengecilnya skala usaha petani produsen pangan pokok, tidak berkembangnya asosiasi pemasaran di tingkat petani, dan kualitas infrastruktur yang tidak kondusif. 24. Pasar komoditas pangan pokok lebih sensitif terhadap perubahan harga bahan bakar minyak (BBM) daripada harga input utama produksi pangan pokok (Urea) ataupun harga impor komoditas pangan pokok yang bersangkutan. Oleh karena itu perubahan atas harga BBM harus dengan seksama memperhatikan implikasinya terhadap pasar komoditas pangan pokok karena posisi pangan pokok sangat strategis.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur, kami panjatkan kepada Allah SWT, atas kehendaknya Laporan Akhir “Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok” dapat tersusun tepat pada waktunya. Untuk meminimalkan dampak negatif krisis finansial global, pemerintah telah memutuskan membuat dua prioritas kebijakan yaitu stabilisasi harga pangan pokok dan mendorong peningkatan kinerja pasar domestik. Simpul strategis dari keduanya adalah pasar komoditas pangan. Pangan tidak hanya sebuah kebutuhan rimer dan dikonsumsi setiap saat, tapi juga merupakan produksi domestik dan potensi sumberdaya domestik yang diperlukan untuk meningkatkan produksi komoditas cukup memadai. Selain itu, sub sektor pangan memiliki “multiplier effect” dari peningkatan produksi pangan dalam penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat sangat besar pula. Terdapat empat komoditas pangan yang peranannya sangat menonjol dalam kelompok pangan pokok yaitu beras, jagung, kedele dan terigu. Dalam merumuskan kebijakan pangan pokok, data dan informasi tentang proyeksi pasar jangka pendek sangat penting. Unsur yang terpenting adalah besaran kuantitatif yang menggambarkan perkiraan kebutuhan (permintaan), produksi (pasokan), dan harga jangka pendek. Proyeksi pasar (permintaan, penawaran, harga) komoditas pangan pokok tersebut secara reguler sangat membantu perumus kebijakan dalam penyusunan program. Dalam hubungan itulah, kajian ini dilakukan dengan tujuan (1) Membangun model proyeksi pasar jangka pendek komoditas pangan pokok. Sesuai dengan komponen utamanya, proyeksi difokuskan pada variabel harga, kuantitas pasokan, dan kuantitas permintaan; (2) Menyusun proyeksi jangka pendek pasar (permintaan, penawaran, dan harga) komoditas pangan pokok secara reguler; (3) Merumuskan rekomendasi kebijakan dan atau program jangka pendek dalam rangka perbaikan kinerja pasar komoditas pangan pokok. Hasil dari kajian ini adalah teridentifikasinya sejumlah model-model proyeksi harga, volume pasokan dan volume permintaan yang relatif sederhana dan mudah untuk diaplikasikan. Secara umum tingkat akurasi ramalan proyeksi harga lebih daripada tingkat akurasi ramalan proyeksi pasokan (produksi) maupun volume permintaan (konsumsi). Tingkat akurasi tersebut terutama dipengaruhi oleh kualitas
vi
data yang digunakan dimana kualitas data harga lebih baik dibandingkan data-data yang lain. Kajian ini diharapkan dapat digunakan untuk bahan pengambilan keputusan pimpinan, bahan masukan untuk perumusan kebijakan stablisasi harga, dan antisipasi gejolak harga pada waktu-waltu tertentu. Hasil kajian ini tentu belum sempurna, untuk itu sumbang dan saran dari pembaca kami harapkan dan untuk semua itu kami sampaikan terima kasih. Selanjutnya penghargaan dan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak DR. Sumaryanto dan Bapak Saktyanu K. Dermoredjo sebagai tenaga ahli pada kajian ini. Para ahli tersebut telah banyak membantu, mengarahkan dan memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian kajian ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada Bapak DR. Husein Sawit, peneliti senior Bulog yang telah banyak memberikan bantuan dan referensi dalam kajian ini.
Jakarta,
Nopember 2010
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri
vii
DAFTAR ISI
Hal. RINGKASAN EKSEKUTIF ......................................................................................
i
KATA PENGANTAR ...............................................................................................
ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. xv
BAB I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang ................................................................................................
1
1.2
Tujuan Penelitian ............................................................................................
3
1.3
Keluaran Penelitian .........................................................................................
4
1.4
Perkiraan Manfaat dan Dampak Penelitian .....................................................
4
BAB II. Tinjauan Pustaka 2.1
Teknik Proyeksi ...............................................................................................
2.2
Penelitian Terdahulu: Harga Komoditi Pertanian dan Faktor Penentu
5
Serta Hubungan Dua Arahnya ........................................................................ 11 2.3
Teori Kekakuan Harga .................................................................................... 28
2.4
Kebijakan Harga Produk Pertanian ................................................................. 29
BAB III. Metodologi Penelitian 3.1. Kerangka Pemikiran .......................................................................................... 34 3.2. Metode Analisis ................................................................................................. 36 3.3. Jenis dan Sumber Data ..................................................................................... 53
BAB IV. Proyeksi dan Analisis 4.1. Peramalan Harga .............................................................................................. 59 4.1.1. Peramalan Harga dengan Metode Exponential Smoothing .................... 59 4.1.1.1. Harga Beras di Tingkat Eceran ................................................. 59 4.1.1.2. Harga Gabah di Tingkat Petani ................................................. 60 4.1.1.3. Harga Jagung di Tingkat Petani ................................................ 61
viii
4.1.1.4. Harga Gula Pasir di Tingkat Eceran .......................................... 62 4.1.1.5. Harga Tepung Terigu di Tingkat Eceran ................................... 63 4.1.1.6. Harga Kedele di Tingkat Eceran ............................................... 63 4.1.2. Peramalan Harga dengan ARIMA .......................................................... 65 4.2. Peramalan Sisi Suplai (Produksi)....................................................................... 71 4.2.1. Peramalan Produksi dengan Metode Exponential Smoothing................. 71 4.2.1.1. Produksi Padi ............................................................................ 71 4.2.1.2. Produksi Jagung ....................................................................... 71 4.2.1.3. Produksi Kedele ........................................................................ 72 4.2.2. Peramalan Produksi dengan Model ARIMA, SARIMA, ARMAX Dan Causal Econometric Method (CE-M)................................................ 73 4.2.2.1. Produksi Padi ............................................................................ 73 4.2.2.2. Produksi Jagung ....................................................................... 74 4.2.2.3. Produksi Kedele ........................................................................ 75 4.3. Peramalan Sisi Permintaan (Konsumsi) ............................................................ 76 4.3.1. Peramalan Konsumsi dengan Metode Exponential Smoothing............... 76 4.3.1.1. Konsumsi Beras ........................................................................ 76 4.3.1.2. Konsumsi Jagung ...................................................................... 76 4.3.1.3. Konsumsi Kedele ...................................................................... 77 4.3.2. Peramalan Konsumsi dengan Model ARIMA, SARIMA, ARMAX Dan Causal Econometric Method (CE-M)................................................ 78 4.3.2.1. Konsumsi Beras ........................................................................ 78 4.3.2.2. Konsumsi Jagung ...................................................................... 78 4.3.2.3. Konsumsi Kedele ...................................................................... 79 4.4. Proyeksi Harga, Produksi dan Konsumsi........................................................... 80 4.4.1. Pasar Beras ............................................................................................. 80 4.4.2. Pasar Jagung........................................................................................... 81 4.4.3. Pasar Kedele ........................................................................................... 82 4.5. Hasil Estimasi Persamaan Simultan .................................................................. 83
BAB V. Perilaku Pasar Komoditas Pangan Pokok 5.1. Komoditas Beras di Jawa Barat ....................................................................... 94 5.1.1. Struktur Pasar Komoditas Beras di Jawa Berat....................................... 94 5.1.2. Perilaku Pasar Beras di Jawa Barat ........................................................ 98
ix
5.1.3. Kinerja Pasar Beras di Jawa Barat .......................................................... 99 5.2. Komoditas Jagung di Gorontalo dan Jawa Timur ............................................102 5.2.1. Struktur Pasar Komoditas Jagung di Gorontalo dan Jawa Timur ..........102 5.2.2. Perilaku Pasar Jagung di Gorontalo dan Jawa Timur ............................106 5.2.3. Kinerja Pasar Jagung di Gorontalo dan Jawa Timur .............................107 5.3. Komoditas Kedele di Jawa Timur dan Lampung ...............................................110 5.2.1. Struktur Pasar Komoditas Kedele di Jawa Timur dan Lampung .............110 5.2.2. Perilaku Pasar Kedele di Jawa Timur dan Lampung ...............................114 5.2.3. Kinerja Pasar Kedele di Jawa Timur dan Lampung.................................115
BAB VI. Kesimpulan dan Rekomendasi 6.1. Kesimpulan ........................................................................................................120 6.2. Rekomendasi ....................................................................................................121
DAFTAR PUSTAKA
x
DAFTAR TABEL
Hal. Tabel 2.1.
Pangsa Pasar Perusahaan Terigu ..................................................... 26
Tabel 4.1.
Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode Exponential Smoothing Yang Diaplikasikan Pada Harga Eceran Beras di Lima Kota Besar Di Indonesia......................................................................................... 60
Tabel 4.2.
Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode Exponential Smoothing Yang Diaplikasikan Pada Harga Gabah (GKP) di Tiga Propinsi Utama Penghasil Padi Di Indonesia................................................................ 60
Tabel 4.3.
Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode Exponential Smoothing Yang Diaplikasikan Pada Harga Jagung di Tingkat Petani di Tiga Propinsi Utama Penghasil Jagung Di Indonesia...................... 61
Tabel 4.4.
Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode Exponential Smoothing Yang Diaplikasikan Pada Harga Gula Pasir di Tingkat Eceran di Lima Kota Besar Di ndonesia .......................................................... 62
Tabel 4.5.
Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode Exponential Smoothing Yang Diaplikasikan Pada Harga Tepung Terigu di Tingkat Eceran di Empat Wilayah Di Indonesia............................................................ 64
Tabel 4.6.1. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode Exponential Smoothing Yang Diaplikasikan Pada Harga Kedele Lokal di Tingkat Eceran di Empat Wilayah Di Indonesia............................................................ 64 Tabel 4.6.2. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode Exponential Smoothing Yang Diaplikasikan Pada Harga Kedele Impor di Tingkat Eceran di Tiga Kota Besar Di Indonesia .......................................................... 64 Tabel 4.7.
Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode ARIMA Yang Diaplikasikan Pada Harga Beras di Tingkat Eceran di Lima Kota Besar Di Indonesia ......................................................... 66
Tabel 4.8.
Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode ARIMA Yang Diaplikasikan Pada Harga Gabah (GKP) di Tingkat Petani di Tiga Propinsi Sentra Produksi Padi Di Indonesia ............................ 67
Tabel 4.9.
Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode ARIMA Yang Diaplikasikan Pada Harga Jagung Pipilan Kering di Tingkat Petani di Tiga Propinsi Sentra Produksi Di Indonesia ........ 67
xi
Tabel 4.10. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode ARIMA Yang Diaplikasikan Pada Harga Gula di Tingkat Eceran di Lima Kota Besar Di Indonesia ......................................................... 68 Tabel 4.11. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode ARIMA Yang Diaplikasikan Pada Harga Tepung Terigu di Tingkat Eceran di Lima Kota Besar Di Indonesia ......................................................... 68 Tabel 4.12. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode ARIMA Yang Diaplikasikan Pada Harga Kedele Lokal di Tingkat Eceran di Empat Kota Besar Di Indonesia....................................................... 69 Tabel 4.13. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode ARIMA Yang Diaplikasikan Pada Harga Kedele Impor di Tingkat Eceran di Tiga Kota Besar Di Indonesia .......................................................... 69 Tabel 4.14. RMSE (Angka Dalam Kurung) Hasil Peramalan Dengan Masing-masing Metode Yang Diaplikasikan Dalam Kajian ................. 70 Tabel 4.15. Hasil Estimasi Exponential Smoothing Produksi Padi......................... 71 Tabel 4.16. Hasil Estimasi Exponential Smoothing Produksi Jagung .................... 72 Tabel 4.17. Hasil Estimasi Exponential Smoothing Produksi Kedele..................... 73 Tabel 4.18. Hasil Estimasi Model ARIMA/SARIMA/ARMAX/CE-M Produksi Padi.. 74 Tabel 4.19. Hasil Estimasi Model ARIMA/SARIMA/ARMAX/CE-M Produksi Jagung.................................................................................. 75 Tabel 4.20. Hasil Estimasi Model ARIMA/SARIMA/ARMAX/CE-M Produksi Kedele .................................................................................. 75 Tabel 4.21. Hasil Estimasi Exponential Smoothing Konsumsi Beras..................... 76 Tabel 4.22. Hasil Estimasi Exponential Smoothing Konsumsi Jagung .................. 77 Tabel 4.23. Hasil Estimasi Exponential Smoothing Konsumsi Kedele ................... 77 Tabel 4.24. Hasil Estimasi Model ARIMA/SARIMA/ARMAX/CE-M Konsumsi Beras .................................................................................. 78 Tabel 4.25. Hasil Estimasi Model SARIMA Konsumsi Jagung............................... 79 Tabel 4.26. Hasil Estimasi Model ARMAX Konsumsi Jagung................................ 79 Tabel 4.27. Hasil Estimasi Model ARMAX Konsumsi Kedele ................................ 79 Tabel 4.28. Pengaruh Kenaikan BBM, Harga Impor Beras, Dan Harga Urea Terhadap Produksi, Konsumsi, Harga Di Tingkat Petani, dan Harga Di Tingkat Eceran untuk Tiga Komoditas Pangan Utama .................. 92 Tabel 5.1.
Perkembangan Panen, Produksi, Serta Pengadaan Beras Di Propinsi Bandung............................................................................100
xii
Tabel 5.2.
Harga Pembelian Gabah dan Beras di Bandung ................................101
Tabel 5.3.
Analisis Structure-Conduct-Performance Komoditas Beras Secara Umum......................................................................................102
Tabel 5.4.
Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, Serta Produksi Jagung Di Propinsi Jawa Timur........................................................................109
Tabel 5.5.
Analisis Structure-Conduct-Performance Komoditas Jagung Secara Umum......................................................................................110
Tabel 5.6.
Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, Serta Produksi Jagung Di Propinsi Jawa Timur........................................................................116
Tabel 5.7.
Struktur Biaya Dalam Produksi Kedele di Propinsi Lampung..............118
Tabel 5.8.
Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedele Di Propinsi Lampung ...........................................................................118
Tabel 5.9.
Analisis Structure-Conduct-Performance Komoditas Kedele Secara Umum......................................................................................119
xiii
DAFTAR GAMBAR
Hal. Gambar 2.1.
Operasional Fungsi BULOG Setelah Diberlakukannya Keppres No. 142/1972 .................................................................... 24
Gambar 4.1.
Proyeksi Harga, Produksi, dan Konsumsi Beras ............................ 80
Gambar 4.2.
Proyeksi Harga, Produksi, dan Konsumsi Jagung .......................... 81
Gambar 4.3.
Proyeksi Harga, Produksi, dan Konsumsi Kedele .......................... 82
Gambar 4.4.
Pasar Komoditas Beras Berdasarkan Model Simultan ................... 86
Gambar 4.5.
Pasar Komoditas Jagung Berdasarkan Model Simultan ................. 88
Gambar 4.6.
Pasar Komoditas Kedele Berdasarkan Model Simultan ................. 91
Gambar 5.1.
Pemasaran Beras di Level Petani Pemilik Lahan di Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat......................................................... 96
Gambar 5.2.
Pemasaran Beras di Level Petani Penggarap di Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat ....................................................... 97
Gambar 5.3.
Perkembangan Harga Beras di Tingkat Bulog dan Eceran di Propinsi Jawa Barat (Bandung), Tahun 1996-2008 (Juni) ..........101
Gambar 5.4.
Alur Pemasaran Jagung di Propinsi Gorontalo................................105
Gambar 5.5.
Alur Pemasaran Jagung di Propinsi Jawa Timur .............................105
Gambar 5.6.
Perkembangan Harga Jagung di Tingkat Produsen di Propinsi Gorontalo .........................................................................................108
Gambar 5.7.
Alur Pemasaran Jagung di Propinsi Jawa Timur ............................114
Gambar 5.8.
Alur Pemasaran Kedele di Propinsi Jawa Lampung .......................114
Gambar 5.9.
Perkembangan Harga Jagung dan Kedele di Tingkat Produsen di Propinsi Jawa Timur ....................................................................115
Gambar 5.10. Perkembangan Harga Kedele di Tingkat Produsen Di Propinsi Lampung .......................................................................117
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Hal. Lampiran 1.
Resume Hasil Estimasi Model Proyeksi Harga dengan Time Series Method...........................................................................125
Lampiran 2.
Resume Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi dan Konsumsi dengan Time Series Method .............................................................126
Lampiran 3.
Resume Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Padi, Jagung dan Kedele dengan ARIMA, SARIMA dan ARMAX..................................127
Lampiran 4.
Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Padi dengan ARMAX ........128
Lampiran 5.
Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Padi dengan CE/M.............129
Lampiran 6.
Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Jagung dengan CE/M-1 ....130
Lampiran 7.
Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Jagung dengan CE/M-2 ....131
Lampiran 8.
Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Kedele dengan SARIMA ...132
Lampiran 9.
Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Kedele dengan CE/M .......133
Lampiran 10. Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Padi dengan Single Smoothing dan Double Smoothing ....................................................134 Lampiran 11. Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Padi dengan Holt Winter ...135 Lampiran 12. Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Jagung dengan Single Smoothing dan Double Smoothing ...................................................136 Lampiran 13. Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Jagung dengan Holt Winter ........................................................................................137 Lampiran 14. Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Kedele dengan Single Smoothing dan Double Smoothing ........................................138 Lampiran 15. Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Kedele dengan Holt Winter ........................................................................................139 Lampiran 16. Hasil Estimasi Model Proyeksi Konsumsi Beras dengan Single Smoothing dan Double Smoothing ........................................140 Lampiran 17. Hasil Estimasi Model Proyeksi Konsumsi Beras dengan Holt Winter ........................................................................................141 Lampiran 18. Hasil Estimasi Model Proyeksi Konsumsi Jagung dengan Single Smoothing dan Double Smoothing ........................................142 Lampiran 19. Hasil Estimasi Model Proyeksi Konsumsi Jagung dengan Holt Winter ........................................................................................143
xv
Lampiran 20. Hasil Estimasi Model Proyeksi Konsumsi Kedele dengan Single Smoothing dan Double Smoothing ........................................144 Lampiran 21. Hasil Estimasi Model Proyeksi Konsumsi Kedele dengan Holt Winter ........................................................................................145
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pemerintah telah memutuskan bahwa untuk meminimalkan dampak negatif krisis finansial global yang kini tengah berlangsung, "stabilisasi harga pangan" merupakan salah satu prioritas kebijakan. Keputusan tersebut sangat tepat karena harga pangan yang stabil kondusif untuk: (i) mengendalikan inflasi, dan (ii) mencegah merosotnya daya beli masyarakat terutama golongan miskin karena lebih dari 50 persen pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untuk pangan. Kebijakan tersebut juga sangat relevan dalam kaitannya dengan : (1) proses pemulihan perekonomian global yang diperkirakan membutuhkan waktu setidaknya dua tahun (dan tentu saja terdapat sejumlah ketidak pastian), dan (2) menurut Parry et al (2004), Stern et al (2001) maupun IPPC (2001) diperkirakan pasokan pangan dunia akan menghadapi situasi yang lebih suram akibat terjadinya perubahan iklim yang kini semakin menampakkan sosoknya dan diperkirakan akan berlangsung dalam jangka panjang. Selain stabilisasi harga pangan, strategi yang ditempuh pemerintah untuk meminimalkan dampak krisis finansial global adalah mendorong agar kinerja pasar domestik meningkat. Kebijakan diarahkan untuk mendorong peningkatan permintaan dan penawaran produksi dalam negeri. Pasar komoditas pangan merupakan simpul strategis dari sasaran dua strategi kebijakan di atas. Dari sisi permintaan, mengingat pangan merupakan komoditas kebutuhan primer dan dikonsumsi setiap saat maka pertumbuhan relatif stabil dan cenderung berbanding lurus dengan pertambahan penduduk padahal Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar. Dari sisi penawaran, sebagian besar pasokan komoditas pangan pokok adalah produksi domestik dan potensi sumberdaya domestik yang diperlukan untuk meningkatkan produksi komoditas cukup memadai. Selebihnya, mengingat bahwa sub sektor pangan melibatkan tenaga kerja yang sangat besar maka "multiplier effect" dari peningkatan produksi pangan dalam penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat sangat besar pula. Dalam kelompok komoditas pangan pokok terdapat empat komoditas yang peranannya sangat menonjol yaitu beras, jagung, kedele, dan terigu. Dari Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
1
sisi permintaan, peranannya dapat diringkaskan sebagai berikut. Beras merupakan makanan pokok sumber karbohidrat yang tingkat partisipasi konsumsinya lebih dari 90 persen penduduk Indonesia. Berbeda dengan beras, sebagian besar permintaan jagung oleh rumah tangga pada dasarnya merupakan permintaan turunan karena sebagian besar konsumsi jagung berasal dari industri pakan. Seiring dengan meningkatnya konsumsi per kapita beras, konsumsi jagung sebagai substitusi beras dalam konsumsi pangan rumah tangga proporsinya cenderung semakin kecil1. Demikianpun dengan kedele. Kedele merupakan bahan baku utama untuk pembuatan tahu dan tempe yang dalam konsumsi pangan rumah tangga dan Indonesia sangat populer sebagai sumber protein nabati serta bahan baku industri kecap dan susu kedele. Dari sisi penawaran, sebagian besar pasokan beras, jagung, dan kedele berasal dari produksi dalam negeri. Untuk beras dan jagung pada tahun 2008 ini Indonesia berswasembada,
sedangkan
kedele
memang
belum
berswasembada.
Sedangkan terigu merupakan sumber karbohidrat yang tingkat konsumsinya terus meningkat. Namun komoditas ini kurang sesuai untuk dikembangkan budidayanya di sini sehingga pasokan terigu sangat bergantung kepada impor. Dalam perumusan kebijakan tersebut di atas, data dan informasi tentang proyeksi pasar jangka pendek sangat diperlukan. Dalam konteks ini, utamanya adalah
besaran
kuantitatif
yang
menggambarkan
perkiraan
kebutuhan
(permintaan), produksi (pasokan), dan harga jangka pendek. Bahwa proyeksi yang dibutuhkan adalah yang sifatnya "jangka pendek", utamanya terkait dengan kenyataan bahwa sekarang ini dinamika perekonomian berlangsung sangat cepat sehingga langkah-langkah penyesuaian jangka pendek sangat diperlukan. Dalam pasar, parameter yang paling mudah diamati adalah harga dan secara teoritis maupun empiris harga merupakan indikator utama situasi dan kondisi pasar. Sebagai ilustrasi, peningkatan harga adalah merupakan indikasi terjadinya kelebihan permintaan yang penyebabnya mungkin disebabkan oleh meningkatnya kuantitas yang diminta, berkurangnya kuantitas yang dipasok di pasar, atau kombinasi dari keduanya. Unsur utama pasar ada tiga yakni kuantitas yang ditawarkan, kuantitas yang diminta, dan harga. Oleh karena itu, proyeksi kuantitas penawaran dan 1
Secara agregat (nasional), peranan jagung sebagai substitusi beras dalam konsumsi rumah tangga semakin menurun seiring meningkatnya ketersediaan beras dan meningkatnya konsumsi gandum (terigu). Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
2
kuantitas permintaan juga perlu diperlukan. Proyeksi pasar (permintaan, penawaran, harga) komoditas pangan pokok tersebut secara reguler sangat membantu perumus kebijakan dalam penyusunan program. Sebagai contoh, asumsi-asumsi tentang tingkat inflasi, ekspor, impor, tingkat pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya yang digunakan dalam penyusunan RAPBN pada dasarnya adalah angka-angka proyeksi. Angka-angka proyeksi pada dasarnya adalah angka-angka ramalan. Oleh karena itu pendekatan yang lazim digunakan dalam pengembangan model proyeksi maupun penyusunan angka-angka proyeksi adalah metode peramalan. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang komputasi (perangkat lunak maupun perangkat kerasnya), model-model peramalan saat ini semakin akurat. Pemerintah bukan hanya berkepentingan dengan perencanaan, tetapi juga berkepentingan dengan langkah-langkah antisipasi terhadap dampak goncangan faktor-faktor eksternal. Dalam konteks demikian itu, informasi yang dihasilkan dari kajian dengan pendekatan model-model proyeksi jangka pendek yang berorientasi pada tingkat akurasi pada umumnya tidak memadai. Pendekatan yang lebih sesuai untuk mengkaji dampak guncangan faktor-faktor eksternal antara lain melalui simulasi berdasarkan hasil estimasi parameter sistem persamaan simultan yang didalamnya terkandung beberapa persamaan struktural. Secara teoritis, derajat akurasi pendekatan ini memang lebih rendah daripada tingkat akurasi yang dihasilkan dari metode peramalan akan tetapi mekanisme terbentuknya dampak dapat dikaji dengan baik.
1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk : a. Membangun model proyeksi pasar jangka pendek komoditas pangan pokok. Sesuai dengan komponen utamanya, proyeksi difokuskan pada variabel harga, kuantitas pasokan, dan kuantitas permintaan. b. Menyusun proyeksi jangka pendek pasar (permintaan, penawaran, dan harga) komoditas pangan pokok secara reguler. c. Merumuskan rekomendasi kebijakan dan atau program jangka pendek dalam rangka perbaikan kinerja pasar komoditas pangan pokok.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
3
1.3. Keluaran Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian, keluaran yang diharapkan adalah: a. Model ekonometrik pasar jangka pendek komoditas pangan pokok. b. Proyeksi jangka pendek pasar (permintaan, penawaran, dan harga) komoditas pangan pokok secara reguler. c. Rumusan rekomendasi kebijakan dan atau program jangka pendek dalam rangka perbaikan kinerja pasar komoditas pangan pokok.
1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak Penelitian Sesuai dengan keluaran penelitian, manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah tersedianya informasi yang diperlukan dalam perencanaan dan maupun perumusan kebijakan antisipatif yang berkenaan dengan pasar beras, jagung, kedele, dan terigu di Indonesia. Dampaknya adalah terciptanya kebijakan yang efektif untuk memperbaiki kinerja pasar komoditas pangan pokok tersebut di atas.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teknik Proyeksi Proyeksi adalah istilah lain dari "peramalan" (forecasting). Istilah proyeksi lebih sering dipergunakan dalam kegiatan perencanaan2. Sebagai contoh, dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), istilah untuk angka-angka ramalan tingkat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada waktu yang akan datang diistilahkan sebagai asumsi tentang "proyeksi harga" BBM. Secara teoritis terdapat beberapa kategori metode peramalan yang dapat ditempuh antara lain adalah: time series method (TSM), causal/econometric method (C/EM), judgemental method (JM), dan metode-metode lain seperti simulation, probabilistic forecasting, serta ensemble forecasting. Di kalangan ekonom, metode peramalan yang paling banyak diaplikasikan adalah TSM dan C/EM. Dalam penelitian ini model-model tentatif yang akan diaplikasikan juga yang termasuk dalam kategori TSM dan C/EM. Dalam pengertian umum, istilah "jangka pendek" (short run) mengacu pada suatu periode atau segmen waktu tertentu dimana tindakan penyesuaian tidak memerlukan adanya perubahan yang sifatnya fundamental. Dengan kata lain, penyesuaian yang dilakukan tidak memerlukan adanya perubahan kelembagaan yang sifatnya mendasar. Mengingat bahwa perubahan yang sifatnya fundamental merupakan suatu proses yang membutuhkan waktu yang relatif panjang maka istilah jangka pendek lazimnya berimpit pula dengan jangka waktu yang pendek. Tergantung pada konteks persoalannya, maka segmen waktu jangka pendek dapat berarti sebulan, satu kuartal, satu tahun, bahkan lima tahun ke depan. Dalam terminologi ekonomi, istilah itu mengacu pada kondisi dimana tindakan penyesuaian tidak memerlukan adanya perubahan dalam faktor-faktor tetap ataupun perubahan teknologi.
2
Untuk selanjutnya, dalam konteks metodologi istilah yang akan lebih sering dipergunakan adalah peramalan (forecasting). Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
5
2.1.1. Metode Peramalan Dengan Pendekatan TSM Metode peramalan dengan pendekatan TSM mencakup analisis data deret waktu satu ragam (univariate) maupun beberapa ragam (multivariate). Pilihan tentang metode mana yang akan dipakai sangat tergantung pada data yang tersedia dan orientasi dari peramalan. Dalam penelitian empiris, pendekatan univariate sangat lazim dipakai karena sederhana namun mampu menghasilkan akurasi yang tinggi. Lazimnya, langkah awal sebelum memilih suatu model analisis yang dianggap sesuai adalah melakukan eksplorasi data. Eksplorasi data melalui analisis statistik deskriptif serta grafik sangat berguna untuk mengidentifikasi perilaku data. Karakteristik yang diamati antara lain mencakup empat komponen pertanyaan: (i) apakah memiliki trend, (ii) apakah ada pola musimannya, (iii) apakah ada siklusnya, (iv) bagaimana perilaku irregular term-nya. Metode peramalan dengan TSM sesuai diaplikasikan jika: (i) informasi yang
lalu
untuk
peramalan
tersedia,
(ii)
informasi
tersebut
dapat
dikuantifikasikan, dan (iii) diasumsikan bahwa pola (patterns) dalam data historis berlaku untuk periode berikutnya/waktu yang akan datang. Tercakup dalam analisis univariate time series antara lain adalah metode pemulusan
(smoothing),
dekomposisi,
trend,
metode
Box-Jenkins
(Autoregressive Integrated Moving Average – ARIMA, Seasonal ARIMA – SARIMA, Autoregressive Moving Average With Exogenous Term – ARMAX), dan Autoregressive Conditional Heteroschedasticity – ARCH, ataupun Generalized Autoregressive Conditional Heteroschedasticity – GARCH. Mengingat bahwa tujuan dari peramalan adalah untuk memperoleh hasil ramalan yang akurat maka kriteria yang dipergunakan untuk memilih model yang dianggap terbaik adalah akurasi. Meskipun demikian, ada pertimbangan lain yang lazim dianut dalam penerapan metode peramalan yakni kesederhanaan. Maknanya adalah jika dari beberapa pendekatan diperoleh tingkat akurasi peramalan yang kurang lebih sama maka seyogyanya pilihan diarahkan pada pendekatan yang lebih sederhana; yakni yang relatif lebih mudah teknik komputasinya, sesedikit mungkin melibatkan estimasi parameter, dan lebih mudah penyediaan datanya.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
6
Dalam penelitian ini model-model peramalan dengan pendekatan analisis data deret waktu (time series analysis) yang akan dinominasikan sebagai pilihan tentatif adalah: exponential smoothing, Holt-Winter's exponential smoothing, ARMA, ARIMA, dan SARIMA. Khusus untuk ARMA, akan dicoba pula untuk pendekatan multivariate yakni ARMAX. Formula untuk masing-masing model tersebut disajikan pada Sub Bab Metode Analisis. Dari berbagai studi empiris diketahui bahwa salah satu keunggulan metode peramalan dengan pendekatan TSM terletak pada kesederhanaan dan tingkat akurasinya yang tinggi. Kelemahannya terkait dengan tidak adanya informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dari variabel yang diramalkan tersebut.
2.1.2. Metode Peramalan Dengan Causal/Econometric Method (C/EM) Berbeda dengan TSM, pada C/EM substansi permasalahan yang berkenaan dengan kausalitas menjadi fokus perhatian. Oleh karena itu, diperlukan tersedianya data beberapa variabel yang mempunyai hubungan kausalitas. Variabel yang akan dibuat proyeksinya diperlakukan sebagai dependent
variable,
sedangkan
variabel-variabel
yang
dihipotesakan
mempengaruhi perilaku dependent variable tersebut disebut independent variable. Metode C/EM yang paling banyak diaplikasikan adalah metode ekonometrik dengan sistem persamaan tunggal. Proyeksi dilakukan berdasarkan hasil pendugaan koefisien parameter yang tercakup dalam model tersebut. Model-model tentatif untuk pendekatan C/EM yang akan diaplikasikan dalam penelitian ini disajikan pada Sub Bab Metode Analisis. Dibandingkan dengan pendekatan TSM, kelebihan dari pendekatan C/EM adalah tersedianya informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku variabel yang diramalkan. Kelemahannya terutama terkait dengan kebutuhan data yang lebih banyak dan melibatkan langkah-langkah penyesuaian dalam pembentukan model yang kadangkala bersifat ad hoc, serta tingkat akurasi peramalan yang umumnya lebih rendah daripada peramalan dengan menggunakan pendekatan TSM.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
7
2.1.3. Akurasi Kriteria yang dipergunakan untuk memutuskan model mana yang dianggap terbaik sebenarnya melibatkan banyak aspek. Meskipun demikian yang terpenting adalah akurasinya. Akurasi proyeksi (baca: hasil peramalan) diukur dari simpangan antara hasil estimasi dengan data aktualnya (forecast error). Jadi:
ε t = yt − y%t dimana:
ε t = forecast error pada periode – t yt = nilai aktual pada periode-t y%t = nilai ramalan pada periode-t
Beberapa pengukuran tingkat akurasi peramalan beserta formula komputasinya yang lazim dipergunakan adalah sebagai berikut: Mean Absolute Error (MAE) Mean Absolute Percentage Error (MAPE) Percent Mean Absolute Deviation (PMAD) Mean squared error (MSE) Root Mean squared error (RMSE)
2.1.4. Pemahaman Perilaku Pasar Dengan Sistem Persamaan Simultan Pada dasarnya sebagian besar variabel yang bekerja dalam suatu sistem pasar bersifat saling terkait. Secara teoritis, keterkaitan pasar antar komoditas beras, jagung, dan kedele dapat diterangkan sebagai berikut. Dari sisi penawaran, pasokan beras, jagung dan kedele masing-masing berasal dari produksi padi (QS1), produksi jagung (QS2), produksi kedele (QS3) dalam negeri dan beras impor (QM1), jagung impor (QM2), dan kedele impor (QM3); dikurangi dengan beras, kedele, jagung, yang diekspor (QX1, QX2, dan QX3) (jika tak ada yang diimpor berarti besaran ekspor untuk untuk masing-masing komoditas
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
8
tersebut adalah nol). Namun secara empiris ada beberapa hal yang harus diperhatikan yakni :
Terkait dengan program swasembada pangan yang ditempuh pemerintah maka ekspor dan impor komoditas pangan adalah "residual". Artinya, impor dilakukan jika produksi dalam negeri tidak mencukupi dan ekspor akan dilakukan jika produksi dalam negeri lebih besar dari kebutuhan domestik.
Mengingat beras merupakan komoditas yang sangat strategis, dalam rangka mencapai swasembada maka pemerintah menciptakan insentif untuk meningkatkan gairah petani menanam padi dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) (dulu Harga Dasar – HD) gabah; dan sebaliknya dalam rangka melindungi konsumen maka pemerintah juga menetapkan harga langit-langit (ceiling price) beras. Dalam hal ini perlu digaris bawahi bahwa dalam kenyataannya meskipun harga pembelian pemerintah mempengaruhi harga gabah di tingkat petani (farm gate price) yang berlaku namun besarannya tidak selalu sesuai dengan sasaran yang diharapkan (di beberapa lokasi kadang-kadang harga di tingkat petani lebih rendah dari HPP). Sebaliknya, meskipun pemerintah menerapkan adanya harga langit-langit untuk beras namun kadangkadang juga terjadi bahwa harga beras lebih tinggi dari harga langit-langit yang ditetapkan. Untuk mengamankan kebijakan harga di bidang perberasan ini pemerintah menugaskan BULOG melakukan fungsi pengadaan, pengelolaan cadangan pemerintah, dan operasi pasar beras; bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini juga mengelola pengadaan dan penyaluran dalam rangka subsidi untuk rakyat miskin (RASKIN). Pengadaan beras berasal dari pengadaan dalam negeri dan impor. Pengadaan dalam negeri selain untuk memupuk cadangan pemerintah juga ditujukan untuk mengamankan harga pembelian pemerintah.
Dalam komoditas jagung dan kedele pemerintah tidak menerapkan kebijakan harga keluaran, tetapi bantuan yang secara substantif diberikan adalah melalui subsidi yang terkandung dalam subsidi pupuk. Khusus untuk kedele, mengingat selama ini ketergantungan dari impor kedele masih
cukup
besar
sedangkan
ketersediaan
kedele
sangat
mempengaruhi eksistensi industri tahu dan tempe maka kebijakan
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
9
ataupun diskresi yang berkenaan dengan impor kedele seringkali juga diberlakukan. Produksi padi, jagung, dan kedele ditentukan oleh luas panen dan produktivitas masing-masing komoditas tersebut. Luas panen dipengaruhi oleh ekspektasi petani terhadap harga komoditas yang bersangkutan serta faktor eksternal yang mempengaruhi keberhasilan panen misalnya iklim atau serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), sedangkan produktivitas dipengaruhi oleh
aplikasi
teknologi.
Teknologi
yang
diaplikasikan
dalam
usahatani
dipengaruhi oleh harga masukan dan faktor-faktor eksternal lain yang mempengaruhi akses petani terhadap inovasi teknologi. Untuk segmen waktu yang pendek terdapat keterkaitan antara luas panen padi, jagung dan kedele karena cukup banyak jagung dan kedele yang dihasilkan dari lahan sawah terutama pada musim tanam (MT) II dan atau MT III. Berpijak pada fenomena itu maka dalam pemodelan, keterkaitan yang kuat dalam segmen waktu pendek adalah padi, jagung, dan kedele. Di sisi permintaan, selain harga komoditas itu sendiri faktor yang berpengaruh adalah harga komoditas substitusi, harga komoditas komplemen, dan pendapatan masyarakat. Sumber permintaan utama beras adalah dari rumah tangga. Ini berbeda dengan jagung dan kedele. Sumber permintaan utama jagung adalah dari industri pakan sedangkan sumber utama permintaan kedele adalah dari industri tahu dan tempe. Sementara dari sisi penawaran blok-blok penawaran beras, jagung, kedele dan tebu saling terkait (bersaing dalam penggunaan sumberdaya untuk memproduksinya). Di lain pihak harga keseimbangan pasar bersifat endogen dan kebijakan memainkan instrumen kebijakan yang mempengaruhi perilaku penawaran, permintaan, harga. Jika data tersedia maka parameter permintaan untuk masing-masing blok permintaan dapat diidentifikasi. Akan tetapi jika data tidak tersedia maka salah satu cara yang ditempuh adalah memanfaatkan variabel proxy. Sudah barang tentu variabel proxy hanya dapat diterapkan untuk variabel-variabel eksogen. Implikasi dari adanya keterkaitan antar variabel endogen dalam pasar komoditas pangan sebagaimana dinyatakan di atas adalah bahwa secara teoritis model yang sesuai dikembangkan untuk menjawab tujuan penelitian adalah sistem persamaan simultan. Walaupun demikian pendekatan yang digunakan Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
10
dalam penelitian ini ada dua: (1) proyeksi berdasarkan sistem persamaan tunggal untuk masing-masing komoditas, dan (2) proyeksi berdasarkan sistem persamaan simultan. Justifikasinya adalah: meskipun secara teoritis pendekatan melalui sistem persamaan simultan lebih mampu merepresentasikan kondisi empiris namun data yang diperlukan untuk memberlakukan model tersebut kadang-kadang tidak terpenuhi. Dalam kondisi seperti itu tidak jarang terjadi bahwa operasionalisasi persamaan tunggal lebih sesuai. Tentu saja keputusan akhir tentang pendekatan mana yang akan dipilih sebagai bahan utama untuk menjawab tujuan penelitian selain tergantung pada ketersediaan data juga didasarkan atas hasil verifikasi empiris.
2.2. Penelitian Terdahulu: Harga Komoditi Pertanian dan Faktor Penentu Serta Hubungan Dua Arahnya Menurut Kustiari dan Nuryanti3, harga komoditi pertanian di pasar dunia cenderung meningkat dari waktu ke waktu, terutama selama tahun 2007. Beberapa hal menyebabkan hal ini yaitu (1) penduduk dunia bertambah, (2) beberapa komoditi pertanian yang semula hanya digunakan untuk keperluan pangan akhir-akhir ini digunakan juga sebagai energi alternatif (biofuel), (3) meningkatnya permintaan produk ternak, produk pertanian untuk manusia juga digunakan untuk pakan ternak, (4) kemunduran di pasar modal finansial global menyebabkan investor mengalihkan aktivitasnya di bursa komoditas, akibatnya harga komoditas meningkat tajam, (5) perubahan cuaca akibat global warming, (6) kebijakan negara-negara produsen yang menghentikan ekspor dan (7) meningkatnya ekonomi China dan India yang berpopulasi raksasa tumbuh tinggi sehingga konsumsinya meningkat (Husodo, 2008). Secara tidak langsung, ketujuh hal di atas mempunyai dampak ke pasar domestik, karena pasar domestik sudah terintegrasi dengan pasar dunia. Sebagai contoh adalah hasil penelitian Irawan4 yang menyimpulkan hal-hal sebagai berikut: Pasar beras propinsi, (Jakarta) dan pasar internasionalnya (Bangkok) saling terintegrasi yang berimplikasi bahwa setiap perubahan yang terjadi dalam pasar beras internasional seperti kelebihan produksi kegagalan
3
Diakses dari http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/MP_pros_C1_2009.pdf, Pada tanggal 20 Juni 2009 4 Diakses dari www.iei.or.id/.../Laporan%20Integrasi%20Pasar%20Beras.pdf, pada tanggal 20 Juni 2009 Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
11
panen dari negara-negara produsen beras dunia akan berimbas pada harga pasar beras domestik. Menurut Simatupang dan Syafa’at (2002) dalam Ilham (2004), harga komoditas pertanian di pasar domestik semakin terbuka terhadap gejolak pasar. Dengan perkataan lain, dinamika harga produk domestik dipengaruhi oleh keadaan pada tiga jenis pasar secara simultan, yaitu (i) pasar komoditas internasional; (ii) pasar komoditas domestik; dan (iii) pasar valuta asing. Artinya, intervensi pemerintah untuk kebijakan stabilisasi harga di pasar domestik semakin mengecil. Salah satu faktor terjadinya dinamika pasar komoditas domestik adalah semakin terbatasnya kapasitas produksi pangan nasional. Menurut Dewan Ketahanan Pangan (2006) dalam Nainggolan, terbatasnya kapasitas produksi pangan nasional antara lain disebabkan oleh: (i) berlanjutnya konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian (khususnya di pulau Jawa); (ii) menurunnya kualitas dan kesuburan tanah; (iii) semakin terbatas dan tidak pastinya penyediaan air untuk produksi pangan akibat kerusakan hutan; (iv) rusaknya sekitar 30 persen prasarana pengairan; (v) persaingan pemanfaatan sumber daya air dengan sektor industri dan pemukiman; (vi) tidak adanya jaminan pasokan dan harga gas untuk memproduksi pupuk yang cukup; (vii) tidak terealisasinya harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi; (viii) terbatasnya fasilitas permodalan di pedesaan dan meningkatnya suku bunga kredit ketahan pangan (KKP) rata-rata 2 persen; (ix) lambatnya penerapan teknologi akibat kurangnya insentif ekonomi; (x) rendahnya kemampuan mengelola cadangan pangan; (xi) masih berlanjutnya pemotongan ternak betina produktif; (xii) adanya gangguan hama dan penyakit pada tanaman dan ternak; (xiii) masih luasnya areal pertanaman tebu rakyat dari pertunasan lama (ratoon); (xiv) anomali iklim dan menurunnya kualitas lingkungan.
2.2.1. Beras Menurut Malian et al., kebijakan harga gabah dan beras merupakan salah satu instrumen penting dalam menciptakan ketahanan pangan nasional. Dalam analisisnya, kebijakan harga dasar gabah tidak akan efektif apabila tidak diikuti dengan kebijakan perberasan lainnya. Faktor penentu yang teridentifikasi memberikan pengaruh adalah: (i) produksi padi dipengaruhi oleh luas panen padi
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
12
tahun sebelumnya, impor beras, harga pupuk urea, nilai tukar riil dan harga beras di pasar domestik; (ii) konsumsi beras dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga beras di pasar domestik, impor beras tahun sebelumnya, harga jagung pipilan di pasar domestik dan nilai tukar riil; (iii) harga beras di pasar domestik dipengaruhi oleh nilai tukar riil, harga jagung pipilan di pasar domestik dan harga dasar gabah; dan (iv) indeks harga kelompok bahan makanan dipengaruhi oleh harga beras di pasar domestik, nilai tukar riil, excess demand beras, harga dasar gabah, harga beras dunia dan total produksi padi. Memasukan variabel permintaan, penawaran dan harga beras dalam fungsi indeks harga kelompok bahan makanan karena menurut Irawan et al. (2002) pada umumnya harga beras merupakan acuan bagi harga komoditas pangan lainnya dan tingkat upah pertanian, sehingga perubahan harga pangan lain dan upah tenaga kerja cenderung sejalan dengan perubahan harga gabah. Oleh karena itu, stabilitas harga beras merupakan hal yang penting terkait menjaga tingkat inflasi. Menurut Ilham (2004), kebijakan harga yang merupakan upaya untuk menstabilkan harga pertanian, khususnya beras, dapat dilakukan melalui berbagai instrumen. Menurut Ellis (1992:71) ada empat instrument kebijakan harga, yaitu: kebijakan perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan subsidi, dan intervensi langsung. Salah satu kesimpulan yang menarik dari penelitian Malian et al. adalah bahwa kebijakan harga beras murah tidak dianjurkan, karena bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa kebijakan tersebut mengurangi kesejahteraan petani padi dan tidak mampu mendorong sektor industri untuk mampu bersaing di pasar dunia. Kebijakan stabilitas harga beras di pasar domestik yang berorientasi pada peningkatan pendapatan petani, merupakan paket kebijakan yang sangat diperlukan bagi petani padi. Jika Malian et al. melihat dalam cakupan nasional, Irawan5 memberikan penjelasan lebih spesifik yang menyatakan bahwa: Pertama, perilaku areal panen padi di luar Jawa ternyata hanya dipengaruhi oleh harga padi. Walaupun demikian, elastisitas areal panen terhadap harga padi adalah inelastis. Fenomena ini menunjukkan harga padi akan mendorong petani meningkatkan produksi padi melalui peningkatan areal (ekstensifikasi), bukan melalui peningkatan produktivitas (intensifikasi) karena harga padi tidak signifikan 5
Diakses dari www.iei.or.id/.../Laporan%20Integrasi%20Pasar%20Beras.pdf, pada tanggal 20 Juni 2009 Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
13
pengaruhnya terhadap produktivitas padi. Kedua, produksi beras luar Jawa tidak signifikan pengaruhnya terhadap impor beras. Hal ini menunjukkan bahwa produksi beras di luar Jawa belum mampu menjadi kontributor yang signifikan dalam mengurangi impor beras nasional. Hal ini menunjukkan luar Jawa belum berperan besar sebagai pensuplai beras nasional. Ketiga, permintaan beras di luar Jawa tidak dipengaruhi oleh harga beras tetapi sangat ditentukan oleh jumlah penduduknya. Hal ini menunjukkan permintaan beras luar Jawa di masa mendatang akan semakin meningkat sejalan dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk luar Jawa. Keempat, harga padi di luar Jawa sangat ditentukan oleh harga dasar namun respon (elastisitas) harga padi terhadap harga dasar adalah inelastis (kurang dari satu). Kelima, harga beras eceran luar Jawa dipengaruhi oleh harga dasar dan harga padi dengan nilai elastisitas harga beras eceran terhadap harga dasar dan harga padi itu adalah inelastis.
2.2.2. Jagung Liberalisasi perdagangan dan informasi yang simetrik menyebabkan sektor pangan mengalami proses globalisasi dalam artian terintegrasi kuat dengan pasar global. Fluktuasi harga produk pangan dan sarana produksi usahatani di pasar global akan ditransmisikan dengan cepat dan hampir sempurna hingga ke tingkat petani. Hal ini akan menyebabkan terciptanya media transaksi bagi nilai tukar rupiah untuk secara cepat dan kuat mempengaruhi harga produk pangan dan sarana produksi di tingkat petani. Menurut Rachman6, seberapa jauh pengaruh perubahan relatif harga di pasar dunia terhadap harga di pasar domestik, maupun pengaruh harga di tingkat konsumen terhadap harga di tingkat produsen domestik, dapat dindikasikan dari transmisi harganya. Sejalan dengan regulasi perdagangan komoditas pertanian yang diterapkan pemerintah, terlihat dinamika harga jagung di pasar dunia ditransmisikan langsung ke pasar domestik, dengan arti lain harga jagung di pasar domestik berasosiasi kuat dengan perubahan nilai kurs dan harga jagung internasional. Menurut Purwoto et al., kecenderungan penurunan harga jagung di pasar dunia hanya akan memiliki arti positif bagi ketahanan pangan di tingkat rumah tangga/individu jika nilai tukar berada dalam kondisi kuat dan stabil. Tetapi, di 6
Diakses dari www.akademik.unsri.ac.id/.../(4)%20soca-benny%20rachmankomoditi%20jagung(1).pdf, pada tanggal 19 Juni 2009 Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
14
Propinsi Sulawesi Selatan (pada periode 1998 –2001) sebagai salah satu sentra produksi, dinamika harga jagung di tingkat pedagang besar maupun di tingkat pengecer tidak mengikuti dinamika harga jagung di tingkat importir Kuatnya pengaruh harga jagung dunia terhadap harga jagung domestik tercermin dari besaran nilai transmisi harganya yang mendekati satu. Namun demikian, cepat dan kuatnya transmisi harga dunia tersebut membawa pengaruh perubahan harga di pasar domestik yang tidak proporsional, dimana perubahan harga relatif di pasar dunia diikuti perubahan harga relatif yang lebih besar di pasar domestik. Kecenderungan yang sama di pasar domestik, untuk harga jagung di tingkat konsumen ditransmisikan langsung ke tingkat produsen. Eratnya korelasi harga pasar tersebut terlihat dari nilai transmisi harga yang cukup tinggi (0,89). Tingkat transmisi harga dunia ke harga pedagang besar serta transmisi harga pedagang besar ke harga di tingkat produsen dipengaruhi oleh sistem pemasaran dari komoditas tersebut. Dengan pengertian lain, semakin efisien suatu sistem pemasaran, semakin tinggi elastisitas transmisi harga dan semakin kecil marjin pemasaran. Erwidodo dan Hadi (1999) dalam Rachman menemukan bahwa pemasaran jagung relatif efisien sebagaimana tercermin dari marjin pemasaran sekitar 16-20 persen serta tingginya harga jagung di tingkat produsen yang mencapai 84 persen dari harga jagung di tingkat pedagang besar. Dalam pemasaran jagung paling tidak terdapat tiga agen utama yang terlibat, yaitu produsen, pedagang dan konsumen. Menurut Sarasutha et al7., petani sebagai produsen perlu didukung oleh paket teknologi dan lembaga penyedia sarana produksi yang mampu menyediakan secara lima tepat (tepat waktu, jenis, ukuran, tempat, dan harga). Anjuran paket teknologi jagung sesungguhnya telah disadari manfaatnya oleh petani, yaitu untuk meningkatkan produksi, namun belum sepenuhnya diterapkan karena terbentur masalah pendanaan. Konsekuensinya, produksi belum optimal, baik jumlah maupun mutu, sehingga akan mempersulit pemasaran hasil, terutama untuk tujuan ekspor. Hal lain yang dihadapi petani dalam pemasaran produksi adalah belum dapat menjual langsung kepada pedagang besar (eksportir), PUSKUD, atau pedagang lainnya di kota propinsi. Petani umumnya menjual hasil jagung hanya 7
Diakses dari http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/duaempat.pdf, pada tanggal 19 Juni 2009. Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
15
ke pedagang pengumpul atau ke pasar (pedagang penyalur kota atau pengecer di pasar umum). Dengan demikian, harga yang diterima petani relatif rendah dan fluktuatif. Keadaan ini kurang menguntungkan bagi petani, sebab tidak adanya jaminan harga yang layak. Akhir musim kemarau merupakan waktu terbaik bagi petani untuk menjual hasil jagungnya, karena harga mencapai tingkat tertinggi. Namun demikian, tidak semua petani dapat memanfaatkan peluang tersebut karena terdesak oleh kebutuhan keluarga dan keterbatasan fasilitas penyimpanan hasil. Untuk itu, kelebihan produksi pada waktu tertentu perlu diantisipasi melalui usaha penampungan hasil oleh pihak penyangga seperti PUSKUD dan KUD di masingmasing wilayah untuk memenuhi kebutuhan pada periode berikutnya. Hal ini berperan penting dalam stabilisasi persediaan jagung yang pada akhirnya akan menetralkan harga. Pemasaran hasil jagung melibatkan banyak pihak. Karena itu perlu dilibatkan pihak-pihak terkait dalam merumuskan program, mulai dari proses produksi sampai pemasaran. Program tersebut menurut Bahtiar et al. (2002) dalam Sarasutha et al. mencakup: (1) sosialisasi teknologi penyimpanan yang dapat
diterapkan
petani
untuk
menghindari
ketidakseimbangan
antara
penawaran dan permintaan, (2) penyediaan sarana produksi (KUD, PT. Pertani, Perum Sang Hyang Seri) secara tepat (tepat jumlah dan jenis, tepat mutu, dan tepat harga dan lokasi), (3) penyediaan kredit usahatani untuk komoditas jagung (BRI), dan (4) penyerapan hasil berdasarkan standar mutu hasil (jaminan harga dari pemerintah/swasta). Menurut Sarasutha et al, permasalahan di pasar jagung tidak hanya terkait dengan pemasaran saja, tetapi juga terjadi pada sisi produksi. Kendala utama dalam memproduksi jagung di Indonesia adalah penanganan pascapanen dan pemasaran hasil karena saat panen bersamaan dengan musim hujan. Kondisi ini diperparah dengan keterbatasan fasilitas pengeringan posisi rebuttawar petani pada saat menjual hasil menjadi lemah. Menurut Kariyasa et al8., dari sisi permintaan, kebutuhan jagung utamanya disebabkan oleh berkembanganya industri pakan dan peternakan serta industri pangan di Indonesia, walaupun disisi lain permintaan jagung untuk 8
Diakses dari www.akademik.unsri.ac.id/.../(3)%20soca-kariyasadkkproyeksi%20produksi%20jagung(1).pdf, pada tanggal 19 Juni 2009 Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
16
konsumsi langsung cenderung menurun. Kondisi ini akan menyebabkan volume impor jagung Indonesia akan mengalami peningkatan. Hasil estimasi elastisitas menunjukkan bahwa, kedele dan kacang tanah merupakan tanaman pesaing bagi tanaman jagung. Dalam jangka panjang, areal panen jagung mampu merespon perubahan harga jagung, kedele dan kacang tanah. Dan permintaan jagung untuk pakan cukup respon terhadap perubahan harga jagung dan kedele dan tetap kurang respon terhadap harganya sendiri. Hasil kajian ini sejalan dengan temuan Purba (1999). Nilai elastisitas tersebut juga secara implisit menunjukkan bahwa dalam jangka panjang jagung dan kedele masih tetap merupakan bahan baku utama dalam pembuatan pakan, sehingga tampaknya ketergantungan pabrik pakan terhadap bahan baku tersebut masih akan tetap tinggi. Estimasi elastisitas pada persamaan permintaaan jagung untuk konsumsi langsung terlihat bahwa beras merupakan komoditas subsitusi dari jagung, ditunjukkan oleh nilai elastisitas silang permintaan jagung terhadap beras bertanda positif, di sisi lain jagung merupakan barang inferior (tidak normal) seperti ditunjukkan oleh nilai elastisitas permintaan jagung terhadap pendapatan per kapita bertanda negatif, dimana hasil ini tidak sejalan dengan temuan Purba (1999) dan Nurkhalik (1999).
Baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang, permintaan jagung untuk konsumsi langsung sangat ditentukan oleh perubahan pendapatan per kapita penduduk. Pendugaan pada persamaan permintaan jagung untuk industri pangan menunjukkan bahwa tepung terigu merupakan barang substitusi dari jagung, sedangkan gula dan minyak goreng merupakan barang komplementer. Hasil pendugaan ini juga secara implisit menunjukkan bahwa hasil olahan jagung ternyata merupakan barang normal, tercermin dari nilai parameter dugaan pendapatan per kapita bertanda positif.
2.2.3. Kedele Menurut Pusat Palawija9, masalah pokok sistem komoditas kedele Indonesia terletak pada segi produksi. Pemakaian input tinggi namun menghasilkan output yang masih rendah (600-700 kg/Ha). Yang menjadi kendala utama adalah bagaimana meningkatkan efisiensi pemakaian input, bukan 9
Diakses dari www.uncapsa.org/Publication/cg17.pdf, pada tanggal 19 Juni 2009. Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
17
bagaimana meningkatkan jumlah pemakaiannya. Dalam mengadopsi paket teknik anjuran perlu pertimbangan yang hati-hati karena di satu daerah yang sama pun cara budidaya dapat berbeda-beda. Oleh karena program penelitian nasional dan regional yang disebarluaskan melalui penyuluhan perlu juga memperhitungkan keragaman antar daerah. Terdapat dua sistem pemasaran kedele. Sistem pemasaran yang pertama adalah sistem tradisional yang menyerap produksi dalam negeri. Yang terlibat dalam sistem pemasaran tersebut antara lain pedagang dan pabrik pengolahan yang relatif kecil. Keduanya melayani kebutuhan rumah tangga. Sistem yang kedua adalah melalui impor untuk diolah pabrik-pabrik besar yang membuat pakan ternak dan barang-barang konsumsi. Dalam sistem pemasaran ini peran Bulog penting sekali. Berdasarkan survei Pusat Palawija, dapat disimpulkan tentang kendala pemasaran komoditas kedele, yaitu: (i) produksi kedele terpusat dalam kantongkantong kecil yang letaknya berjauhan; (ii) pengendalian mutu sulit diterapkan; dan (iii) musim dan kombinasi usaha menyulitkan penilaian ekonomi. Kesimpulan-kesimpulan di atas menunjukkan bahwa sistem pemasaran dan produksi kedele saling bergantung. Produksi dalam kantong-kantong kecil menyulitkan efisiensi pelayanan angkutan dan pemasaran. Sistem pemasaran dapat diperbaiki jika produksi dapat ditingkatkan. Dengan alasan-alasan yang sama, Bulog sering kesulitan menerapkan kebijakan harga dasarnya. Harga pembelian akan terus sangat tinggi jika sistem produksi tidak diperbaiki. Namun di sisi lain peningkatan produksi pun tergantung pada ketersediaan sistem pemasaran yang baik. Biaya produksi kedele di Indonesia lebih tinggi dibandingkan harganya di pasar internasional. Padahal pemerintah secara tidak langsung mensubsidi produksi kedele melalui subsidi pupuk sehingga situasi ini menimbulkan persoalan kebijakan nasional. Perlindungan terhadap produksi kedele diperlukan untuk menjaga industri kecil pedesaan yang secara langsung tergantung pada produksi kedele setempat. Namun di sisi lain biaya ekonomi program pemerintah perlu ditinjau agar tidak menjadi beban yang terlalu berat bagi ekonomi nasional. Hasil studi ini menunjukkan hal yang menarik dalam kebijakan impor kedele. Impor dapat dilakukan dengan harga yang jauh lebih murah daripada harga dalam negeri. Menurut skenario, langkah impor diambil untuk menekan Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
18
harga dalam negeri. Namun kenyataannya, harga eceran kedele impor tidak jauh lebih murah daripada harga kedele dalam negeri. Padahal impor kedele tidak dikenakan pajak. Oleh karena itu ada indikasi bahwa sistem penyaluran kedele impor kurang efisien dibandingkan sistem sektor swasta.
2.2.4. Gula Pasar gula merupakan salah satu pasar yang memiliki tingkat distorsi yang tinggi. menurut Davados dan Korf (1996), Groombridge (2001), Kennedy (2001), LMC (2003) dan FAO (2003) menyatakan bahwa distorsi di industri gula terjadi karena industri dan perdagangan gula mengalami intervensi kebijakan dengan insentitas yang tinggi di semua segi. Distorsi yang bersumber dari bantuan domestik, baik dalam bentuk subsidi input dan subsidi harga merupakan salah satu sumber distorsi terbesar. Negara-negara produsen gula umumnya memberi bantuan domestik yang demikian besar terhadap industri gulanya. Amerika Serikat sebagai salah satu negara produsen gula melakukan kebijakan ini. Dukungan domestik yang diterima oleh produsen gula di Amerika Serikat pada era liberalisasi perdagangan tampaknya tidak banyak berbeda dengan era sebelumnya. Artinya, kebijakan liberalisasi Amerika Serikat untuk sektor-sektor tertentu hanya marginal. Petani tebu di Amerika Serikat mendapatkan bantuan dalam bentuk subsidi input (kredit) dan subsidi harga, sehingga sekitar 67 persen dari pendapatan produsen gula berasal dari kebijakan domestic support. Selain domestic support, kebijakan yang membuat distorsi pasar gula adalah terkait dengan akses pasar. Salah satu indikator yang mendukung kenyataan tersebut adalah masih tingginya tingkat binding tariff. Negara-negara maju, walaupun menurunkan tingkat tarif tetapi binding tariff masih sangat tinggi (di atas 100 persen). Kebijakan-kebijakan distortif seperti disebutkan di atas merupakan gambaran dari tingginya tingkat intervensi pemerintah dalam pasar gula. Ada beberapa faktor ekonomi dan politis yang menyebabkan intervensi pemerintah pada pasar gula cukup intensif. Kepentingan politik seperti di Eropa Barat merupakan salah satu contoh diintervensinya pasar gula di negara tersebut. Begitu pula dengan Indonesia, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan mendukung perkembangan industri gula nasional. Sebagai suatu Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
19
komoditi yang strategis, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan yang memiliki efek langsung ataupun tidak langsung terhadap pasang-surut terhadap industri gula nasional. Kebijakan tersebut pada gilirannya mempengaruhi kinerja impor gula nasional. Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan input dan produksi, distribusi, dan kebijakan harga. Terhadap perubahan dan kebijakan yang berkaitan dengan harga dan produksi, perkebunan rakyat secara umum lebih responsif bila dibandingkan dengan respon areal dan produksi PTPN serta perkebunan swasta. Areal perkebunan tebu rakyat juga lebih responsif terhadap perubahan harga input (pupuk) dan kebijakan yang berkaitan dengan harga input (Susila dan Sinaga, 2005). Namun demikian, menurut Arifin (2008), sistem usahatani tebu telah mengalami pergeseran signifikan, karena beberapa komoditas lain bernilai ekonomi sangat tinggi semakin dikenal petani tebu. Apabila tidak mampu terkelola secara baik, tingkat substitusi komoditas seperti itu dapat menimbulkan dampak negatif bagi pencapaian tujuan kebijakan lain, seperti tingkat ketahanan pangan, diversifikasi produksi dan keuntungan ekonomis usahatani. Bahkan, tingkat substitusi tebu lahan basah dengan padi sawah pernah menjadi topik hangat beberapa waktu lalu karena peningkatan areal tanam tebu dapat mengurangi produksi padi cukup signifikan, dan jelas mengganggu tingkat ketahanan pangan. Fenomena penurunan produksi dan produktivitas – sekaligus penurunan penerimaan ekonomis usahatani telah membuat banyak petani tebu mengkonversi menjadi usahatani lain atau dengan pola tanam lain yang lebih menguntungkan. Karena fenomena substitusi tersebut di atas, petani juga mengalihkan tebu lahan sawah ke lahan kering karena pertimbangan rasional ekonomis. Pada 2002, target swasembada gula pernah dicanangkan untuk tercapai pada 2007. Kemudian diundur menjadi tahun 2008, lalu mundur lagi menjadi 2009, walaupun dengan catatan swasembada hanya untuk gula konsumsi masyarakat alias gula putih, dan bukan gula untuk industri. Potensi swasembada itu jelas dimiliki Indonesia. Arifin (2008) menyatakan bahwa titik sentral masalahnya adalah apakah segenap energi bangsa dan wisdom dalam mengambil keputusan intervensi kebijakan dapat saling mendukung dengan target swasembada gula tersebut. Persoalan utama bukan Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
20
terletak pada positioning apakah Indonesia harus protektif atau liberal dalam pengembangan “industri” gulanya. Menurut Hadi dan Nuryanti (2005), kebijakan proteksi yang merupakan kombinasi tarif dan non-tarif pada tahun 1970 – 2004, berhasil meningkatkan harga produsen, jumlah produksi, suplus produsen dan pendapatan petani serta menurunkan jumlah permintaan dan impor gula secara signifikan. Kebijakan nontarif mempunyai efek lebih besar daripada kebijakan tarif, namun tidak berarti bahwa salah satu kebijakan dapat dihilangkan karena keduanya saling memperkuat. Jika salah satu kebijakan tersebut dihapus, apalagi keduanya, akan menyebabkan usahatani tebu dan pabrik gula hancur sehingga akan meningkatkan ketergantungan pada psar dunia. Konsistensi sebuah intervensi kebijakan jelas sangat diperlukan untuk memberikan sinyal insentif yang tepat bagi segenap pelaku, mulai dari petani, pedagang, pengolah dan konsumen. Termasuk di sini adalah intervensi dan keputusan impor, beserta perlakuannya yang sangat mencolok antara importir produsen (IP) dan importir terdaftar (IT). Kebijakan yang awalnya dimaksudkan untuk “mengatur” aktivitas impor gula melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (SK No. 643/MPP/Kep/9/2002) tentang Tataniaga Impor Gula (TIG) ternyata telah menimbulkan reaksi dan hasil akhir yang sangat beragam. Kebijakan tataniaga itu memberikan privilis kepada importir produsen (IP) untuk mengimpor gula mentah (raw sugar) dan kepada importir terdaftar (IT) untuk mengimpor gula putih (white sugar) yang tidak lain adalah perkebunan gula yang memiliki perolehan bahan baku 75 persen berasal dari petani. Perusahaan perkebunan yang memenuhi kualifikasi sebagai IT adalah empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang masuk kualifikasi, yaitu: PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, PTPN X, PTPN XI, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI). Pada sisi lain, kebijakan itu juga memberikan peluang bagi pengembangan industri gula rafinasi, yang khusus memutihkan gula mentah impor yang umumnya tidak layak untuk dikonsumsi secara langsung. Catatan penting dari SK 643/2002 tersebut adalah bahwa gula mentah dan gula rafinasi (refined sugar) yang diimpor oleh importir produsen (IP) hanya dipergunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi
pengolahan
gula,
dan
dilarang
diperjualbelikan
serta
dipindahtangankan.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
21
Rekam jejak (track record) perkebunan gula yang tidak memiliki pengalaman dalam aktivitas impor, kebijakan tataniaga itu tetap dilaksanakan. Solusi temporal dengan cara memberikan kesempatan kepada BUMN produsen gula itu melakukan kerjasama dengan pelaku usaha perdagangan yang telah terbiasa melakukan impor gula, adalah pilihan terbaik dari sekian macam opsi kebijakan yang semua buruk. Ketika harga gula di pasar internasional berada pada level terendah, dapat menimbulkan disparitas harga yang sangat mencolok dibandingkan dengan harga eceran gula domestik. Kekhawatiran terjadinya penyelundupan gula akhirnya menjadi beralasan. Kemudian, upaya perbaikan kebijakan pengaturan impor gula dilakukan dengan penerbitan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527MPP/Kep/9/2004 tanggal 17 September 2004 tentang Ketentuan Impor Gula (KIG). Beberapa analis mencoba memberikan penilaian terhadap kebijakan tataniaga gula yang paling banyak memperoleh perhatian. Khudori (2005) menganggap bahwa pengaturan impor gula itu turut berkontribusi pada peningkatan produksi gula, dan seharusnya pula meningkatkan pendapatan petani tebu. Nahdodin dan Rusmanto (2008) bahkan secara eksplisit menyebutkan bahwa kebijakan tataniaga gula cukup efektif melindungi produsen gula berdasarkan indikator harga yang berlaku. Kebijakan impor itu tidak menimbulkan monopoli pemasaran sehingga margin pemasaran tidak membesar dan tidak merugikan konsumen. Di sisi lain, sejak kebijakan impor gula pada tahun 2002 pasar gula nasional tersegmentasi pada pasar gula kristal putih dan pasar gula rafinasi. Dalam pelaksanaanya, kebijakan tersebut mengindikasikan adanya potensi perembesan antar kedua pasar tersebut, yang kemudian menyebabkan kekisruhan sosial ekonomi. Menurut Puslitbang Dagri (2008), dari hasil simulasi penggabungan pasar gula menunjukkan bahwa penggabungan pasar gula di Indonesia berpengaruh pada pasar gula kristal rafinasi dan pasar gula putih untuk konsumsi langsung. Arah serta besarnya dampak dari kebijakan terhadap stakeholder utama akan sangat bergantung pada tingkat harga gula di pasar Internasional. Ketika harga di pasar internasional cukup moderat, petani tebu, pabrik gula dan konsumen umumnya akan menderita kerugian karena sebagian gula yang semula ada di pasar gula krital rafinasi akan memasuki pasar gula krital putih.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
22
Secara kualitatif, penggabungan kedua pasar akan meningkatkan persaingan antar produsen. Kondisi ini diharapkan akan meningkatkan mutu dan diversifikasi mutu produk sesuai dengan permintaan pasar. Peningkatan persaingan ini juga diharapkan meningkatkan mutu tanaman, produktivitas tebu maupun gula baik di tingkat petani maupun pabrik gula. Kebijakan ini membuat penawaran maupun permintaan menjadi lebih elastis.
2.2.5. Terigu Bahan dasar terigu adalah gandum yang secara alami tidak dapat diproduksi di Indonesia. Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk pengadaan terigu nasional adalah impor gandum atau terigu. Kebijakan tentang terigu nasional sedikit banyak dipengaruhi oleh peran Amerika Serikat. Hal ini berawal dari menipisnya perdagangan beras dunia dan kesulitan devisa, sehingga untuk menghidari ketergantungan terhadap beras impor yang harganya tidak stabil dan stoknya terbatas maka pemerintah intensif memperkenalkan terigu karena harga bahan bakunya (gandum) relatif stabil, stok dunia besar dan dapat mensubstitusi peran beras. Dalam memperkenalkan terigu ini lah Amerika Serikat mulai berperan melalui bantuan dan hutang lunak bagi impor terigu, sehingga pada periode 1968/1969 – 1972/1973. Sampai dengan tahun 1972, impor terigu ditangani oleh Departemen Perdagangan dan dipasarkan melalui sindikasi dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Melalui Keppres No. 142/1972, pemerintah meregulasi tata niaga gandum dan terigu nasional. Impor terigu dicabut dan impor gandum yang sebelumnya ditangani oleh Departemen Perdagangan sejak saat itu ditangani oleh BULOG. Melalui ketetapan tersebut, BULOG tidak hanya berwenang dalam monopoli pengadaan/impor, tetapi juga pada penetapan alokasi maupun distribusi terigu. BULOG juga berwenang untuk intervensi dalam pasar, membentuk harga dan memantau pasar di semua bidang tata niaga komoditi ini. Kebijakan intervensi yang dilakukan BULOG pada umumnya dijalankan ketika mekanisme pasar gagal memberikan solusi keseimbangan. Namun, terkadang intervensi dilakukan didasarkan pada tujuan tertentu atau tujuan yang lebih luas. Intervensi pasar komoditi pangan adalah untuk menjamin rantai distribusi sehingga bahan pangan dapat diperoleh masyarakat dengan mudah dan dengan harga terjangkau.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
23
Di lain sisi, intervensi pasar terigu adalah aspek perhitungan devisa. Dengan semakin pentingnya peran terigu sebagai bahan makanan alternatif pengganti
beras,
mensubstitusi
beban
impor
neraca
terigu
pembayaran
menjadi
impor
semakin
gandum
berat.
Dengan
diharapkan
beban
pengeluaran devisa pada waktu itu menjadi berkurang. Secara rinci fungsi BULOG dalam mengintervensi pasar terigu adalah: a. Mengimpor gandum b. Mengontrol tingkat produksi terigu c. Menentukan distributor dengan masing-masing wilayah pemasarannya d. Menentukan alokasi wilayah pemasaran untuk tiap-tiap distributor pada masing-masing wilayah pemasaran e. Memonitor harga-harga diberbagai tingkatb saluran distribusi, terutama tingkat pengecer. Operasionalisasi dari fungsi di atas secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:
Pasar Gandum Dunia
Impor
BULOG
Gandum
BOGASARI & BERDIKARI
Perintah Logistik Pembayaran
Delivery order
DISTRIBUTOR
Terigu
Terigu
GROSIR DAN KONSUMEN
Gambar 2.1. Operasionalisasi Fungsi BULOG Setelah Diberlakukannya Keppres No. 142/1972 Menurut Yoduyoko (1997), dengan bentuk operasionalisasi seperti di atas, BULOG menggeser monopoli tata niaga terigu kepada PT. Bogasari. Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
24
Dengan tujuan memperoleh kemudahan dengan tidak perlu menyediakan kapital yang besar untuk impor. Dengan pergeseran tersebut, memberi kemudahan pula kepada negara karena tidak perlu menyediakan peralatan-peralatan teknis yang dibutuhkan untuk pengadaan gandum, alat-alat transportasi darat, pelabuhan penerima dengan segala fasilitasnya, gudang dan distribusi tersebut perusahaan ini pada kenyataannya mampu memonopoli pangsa pasar sebesar 82,57 persen. Pada tahun 2008, industri terigu berjumlah 5 (lima) perusahaan yang terdiri dari PT. Bogasari Flour Mills yang mempunyai kapasitas 3,6 juta ton per tahun, Eastern Pearl Utama Flour Mills (eks PT. Berdikari Flour Mills) yang mempunyai kapasitas 0,64 juta ton per tahun, PT. Panganmas Inti Persada dengan kapasitas 0,22 juta ton per tahun, PT. Sriboga Raturaya dengan kapasitas 0,33 juta ton per tahun dan Fugui Flour & Gain Indonesia dengan kapasitas 0,27 juta ton per tahun. Pada tahun 1998, pemerintah tidak lagi memberlakukan tata niaga tepung terigu. Hal ini diawali oleh kondisi negara yang sedang mengalami kirisis ekonomi sehingga perbaikan kebijakan reformasi ekonomi banyak dilakukan. Salah satu reformasi kebijakan yang dilakukan adalah pencabutan tata niaga tepung terigu yang tertuang dalam Letter of Intent (nota kesepahaman) antara Pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 15 Januari 1998. Pencabutan kebijakan tata niaga terigu tersebut secara legal tertuang dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 21/MPP/Kep/1/1998 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 07/MPP/Kep/11/1997 tentang Pengadaan Dan Penyaluran Tepung Terigu Di Dalam Negeri. Dengan kondisi Indonesia sebagai negara pengimpor, maka dicabutnya kebijakan tata niaga tepung terigu menyebabkan harga eceran di tingkat konsumen sangat tergantung pada fluktuasi nilai tukar mata uang dan faktorfaktor eksternal seperti perubahan pola tanam di negara produsen gandum. Dari sisi nilai tukar mata uang rupiah, pada saat itu sedang terpuruk sehingga importir tepung terigu harus membayar lebih mahal gandum/terigu impor dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada akhirnya, kenaikan harga bahan baku gandum dan terigu akan ditransmisikan kepada harga eceran terigu di tingkat konsumen. Di dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan IMF tertuang juga tentang bea masuk impor gandum yang kemudian dituangkan Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
25
dalam Keppres No. 45 tahun 1998. Dalam Keppres tersebut ditetapkan bea masuk impor gandum sebesar 5 persen, namun kemudian kebijakan tersebut dirubah pada Maret 2002 menjadi 0 persen. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia merupakan negara yang paling liberal di bidang gandum. Negara-negara seperti Thailand, Filipina dan Srilanka pada tahun 2000 bea masuknya berturut-turut baru mencapai 40 persen, 7 persen dan 25 persen. Namun karena adanya desakan dari para asosiasi pengusaha industri pangan yang menggunakan bahan baku gandum/terigu untuk menerapkan bea masuk anti dumping pada tepung terigu, maka pada awal April 2003 pemerintah menetapkan bea masuk kembali sebesar 5 persen. Setelah pada pertengahan tahun 2007 terjadi peningkatan harga gandum dunia yang berdampak pada meningkatnya harga terigu domestik, pada Februari 2008 pemerintah memberlakukan kebijakan stabilisasi harga yang disebut sebagai Paket Kebijakan Februari 2008. Kebijakan ini menetapkan bea masuk impor gandum dan terigu kembali menjadi 0 (nol) persen. Perubahan-perubahan kebijakan terigu, pada dasarnya tidak merubah struktur industri terigu dilihat dari penguasaan pangsa pasar. Menurut Aptindo, hingga Januari 2008, pasar tepung terigu dalam negeri dominan dikuasai oleh PT. Bogasari Flour Mills dengan pangsa pasar 71 persen. Pangsa pasar yang tinggi dikuasai oleh PT. Bogasari Flour Mills karena perusahaan ini memiliki 2 (dua) pabrik yang memiliki kapasitas produksi cukup besar. Tabel 2.1. Pangsa Pasar Perusahaan Terigu Tahun Perusahaan
1997
2008
Pangsa Pasar (%)
PT. Bogasari
83,8
71
Eastern Pearl Utama
16,2
12,7
PT. Pangan Mas Inti Persada
-
4,4
PT. Sriboga Raturaya
-
6,5
PT. Fugui Flour & Gain
-
5,4
(eks PT. Berdikari Flour Mills)
Sumber: Yoduyoko (1997) dan Badan Litbang Perdagangan (2008)
Sebagian kecil dari pangsa pasar domestik dikuasai oleh perusahaanperusahaan produsen tepung terigu yaitu Eastern Pearl Utama Flour Mills yang Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
26
menguasai pasar domestik sebesar 12,7 persen, PT. Pangan Mas Inti Persada yang menguasai pasar domestik sebesar 4,4 persen, PT. Sriboga Raturaya yang menguasai pasar domestik sebesar 6,5 persen dan PT. Fugui Flour & Gain yang menguasai pasar domestik sebesar 5,4 persen. Pangsa pasar yang cenderung dikuasai oleh perusahaan tertentu, akan menimbulkan potensi harga kartel. Badan Litbang Perdagangan (2008), melakukan perhitungan indeks stabilitas harga eceran terigu untuk mengetahui tingkat stabilitas harga. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa indeks stabilitas harga eceran terigu mingguan untuk rataan Indonesia ternyata 9,4 persen. Angka di bawah 10 persen ini mengindikasikan bahwa secara relatif tingkat stabilitas tersebut berada dalam kisaran moderat batas atas. Jika kita lihat dari unit analisis kota, stabilitas harga antar kota besar bervariasi. Harga eceran tepung terigu mingguan paling tak stabil ternyata terjadi di Medan (indeks stabilitas = 10,9 persen) sedangkan kota dengan harga paling stabil adalah Jakarta (indeks stabilitas = 8,6). Terdapat beberapa faktor yang mungkin menjadi pendorong relatif rendahnya instabilitas harga terigu di DKI Jakarta dan juga sebagai pembeda dengan daerah/kota lain antara lain faktor lokasi dan faktor kebijakan stabilisasi. Dari faktor lokasi, DKI Jakarta merupakan salah satu produsen terigu sehingga keterjaminan stok terigu bagi masyarakat relatif lebih baik dibandingkan dengan daerah/kota lain. Dari faktor kebijakan stabilisasi, DKI Jakarta merupakan daerah yang akan terkena dampak paling cepat dari implementasi kebijakan stabilisasi karena dari tahap identifikasi permasalahan, masalah-masalah yang dihadapi oleh DKI Jakarta mampu ditangkap dan terinformasikan dengan baik dalam perumusan kebijakan. Kemudian, dalam implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan relatif lebih baik dibandingkan dengan daerah/kota lain karena sarana (SDM, teknologi dan lain-lain) relatif lebih memadai. Dilihat dari waktu terjadinya insiden instabilitas harga, Badan Litbang Perdagangan (2008) mengkategorikan 2 (dua) waktu yang sering terjadi insiden lonjakan harga yaitu pada menjelang dan saat hari raya dan external shock seperti kenaikan harga dunia. Bulan September sampai dengan bulan Nopember merupakan bulan menjelang dan saat hari raya. Menjelang dan saat hari raya, permintaan terhadap terigu sangat dimungkinkan terjadi kenaikan sementara
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
27
pasokan (produksi) dari bulan ke bulan tidak ada perbedaan signifikan, khususnya untuk mengantisipasi bulan-bulan menjelang dan saat hari raya. 2.3. Teori Kekakuan Harga Teori kekakuan harga menekankan pada lambatnya penyesuaian harga terhadap perubahan kondisi ekonomi. Harga yang telah ditetapkan memerlukan waktu untuk transmisi dan tidak serta merta dapat menyesuaikan. Dengan demikian harga produk yang ditawarkan dapat lebih tinggi dari harga produk lainnya. Hal ini menyebabkan turunnya permintaan terhadap produk tersebut. Produsen akan membatasi supply-nya sampai kondisi perekonomian pulih kembali. Penjelasan tentang kekakuan harga dijelaskan oleh New Keynesian Economics. Penjelasan New Keynesian tentang kekakuan harga sering menekankan bahwa tidak semua orang dalam perekonomian menentukan harga pada
saat
yang
perekonomian
sama.
adalah
Namun,
staggered.
penyesuaian Proses
harga
staggering
sepanjang
siklus
menyulitkan
untuk
menetapkan suatu harga karena perusahaan sangat memperhatikan harga produknya dibandingkan dengan perusahaan lain. Proses staggering dapat membuat keselurahan tingkat harga melakukan penyesuaian secara perlahanlahan, meskipun ketika harga secara individual sering berubah. Proses penyesuaian harga dapat diilustrasikan sebagai berikut. Misalnya, pertama,
penetapkan
harga
yang
disinkronisasikan:
setiap
perusahaan
menyesuaikan harganya pada setiap bulan. Jika suplai uang beredar meningkat dan permintaan agregat meningkat pada 10 Mei, maka output akan lebih tinggi dari 10 Mei ke 1 Juni, karena harga adalah fixed selama interval ini. Namun demikian, pada 1 Juni, semua perusahaan akan menaikkan harga mereka untuk merespon permintaan agregat yang tinggi, yaitu boom pada tiga minggu terakhir. Apabila, sekarang dimisalkan penetapan harga adalah staggered: sebagian perusahaan menetapkan harga pada setiap awal bulan dan sebagian lagi pada hari ke limabelas. Jika suplai uang beredar meningkat pada 10 Mei, maka sebagaian perusahaan-perusahaan dapat menaikkan harga pada 15 Mei dan sebagaian perusahaan-perusahaan lainya tidak akan mengubah harga pada hari kelimabelas. Perbedaan harga relatif ini, akan mengakibatkan sebagian perusahaan akan kehilangan pelanggan. Oleh sebab itu, sebagian perusahaan yang merubah harga mungkin dengan menaikan harganya tidak banyak. Jika perusahaan yang merubah harga pada 15 Mei dengan penyesuaian harga
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
28
sedikit, maka pada gilirannya perusahaan lain akan melakukan penyesuaian sedikit juga pada 1 Juni, karena mereka juga ingin menghindari perubahan harga relatif. Tingkat harga akan meningkat secara perlahan sebagai hasil dari kenaikan harga kecil pada awal dan hari kelimabelas setiap bulannya. Oleh karena itu, proses staggering membuat tingkat harga berubah lambat, karena tidak ada perusahaan berkeinginan untuk menjadi yang pertama dalam kenaikan harga yang besar.
2.4. Kebijakan Harga Produk Pertanian Bagi negara yang kaya sumberdaya alam, tingginya harga komoditas seyogyanya dapat mendatangkan banyak keuntungan daripada masalah. Produk pertanian merupakan produk yang sangat labil akan gejolak harga karena sifat musiman, oleh karenanya kebijakan pemerintah diperlukan untuk komoditi-komoditi yang mempunyai resiko gejolak harga yang relatif tinggi. Di satu sisi, tingginya harga penting bagi para produsen untuk mengalokasikan sumberdaya dan faktor produksi sesuai dengan “sinyal harga” yang tepat. Sinyal harga ini dapat diterjemahkan sebagai transmisi harga yang akan menyebabkan konsumen dan produsen menyesuaikan konsumsi dan produksi. Teori perdagangan juga telah menjelaskan bahwa perdagangan dipicu oleh perbedaan produktivitas (Ricardo, 2000). Selanjutnya bagi negara kecil, keterbukaan terhadap perdagangan internasional akan mendorong penyesuaian harga domestik ke arah ekuilibrium harga internasional. Market arbitrage dan Purchasing Power Parity (PPP) merupakan pasar terbuka yang memungkinkan pedagang melakukan arbitrase komoditas sehingga harga domestik akan seimbang dengan harga internasional.
Speed of Adjustment penyesuaian
tergantung pada hambatan perdagangan (tarif, tata niaga), struktur pasar (organisasi pelaku), hambatan geografis, infrastruktur finansial dan infrastruktur transportasi. Transmisi harga produk pertanian yang terjadi baik akibat faktor internal maupun eksternal selalu menjadi perhatian pemerintah di negara manapun, termasuk Indonesia dan negara lainnya seperti Malaysia, India, Thailand, Filipina dan China. Di Malaysia, kebijakan stabilisasi harga diatur dalam Price Control Act 1946 . Unit yang bertanggung jawab dalam menerapkan kebijakan tersebut adalah Price Controller yang berada dalam struktur organisasi Ministry of
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
29
Domestic Trade, Co-operative and Consumerism (Kementerian Perdagangan Dalam Negeri, Koperasi dan Kepenggunaan). Undang-undang ini mengatur mekanisme pelaksanaan kebijakan pengendalian harga yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan Dalam Negeri, Koperasi dan Kepenggunaan melalui pejabat Direktur Jenderal Penguatkuasa (Directur General Enforcement Division) yang membawahi unit Price Controller antara lain menetapkan harga maksimum, menetapkan
jenis
barang
yang
dikontrol
pemerintah,
menetapkan
dan
menerbitkan izin penjualan barang yang dikontrol pemerintah, menetapkan tabel/label, melarang/membatasi/mengontrol ekspor barang, meminta informasi serta menetapkan lokasi penyimpanan dan menuntut pihak yang melakukan pelanggaran. Setiap pelanggaran yang dilakukan dijelaskan secara detail dalam Price Control Act 1946. Sama halnya dengan di Filipina. Harga Kebutuhan Pokok di Filipina diatur dalam bentuk Undang – Undang, Republic Act No. 7581 atau lebih kenal sebagai The Price Act tahun 1992. Instansi yang bertanggung jawab dalam menerapkan kebijakan tersebut adalah Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Departemen
Lingkungan
dan
Sumberdaya,
Kepolisian
dan
Departemen
Perindustrian dan Perdagangan yang selanjutnya disebut lembaga pelaksana (Implementing Agencies). Untuk mendukung Implementing Agencies, kepala negara membentuk Price Coordinating Council yang terdiri dari Departemen Perdagangan dan Industri serta instansi teknis terkait. Pemerintah Filipina menetapkan komoditas pokok yang perlu diatur meliputi komoditi: beras, jagung, roti, ikan dan produk laut lainnya, daging babi, sapi, unggas baik segar, kering, atau kaleng, telur, susu segar dan susu hasil proses, sayuran segar, roots crops, kopi, gula, minyak goreng, garam, sabun cuci, deterjen, kayu bakar; batubara, lilin, obat-obatan yang diklasifikasikan penting oleh Departemen Kesehatan. Pada saat terjadi gejolak harga akibat gangguan bencana, ancaman yang menimbulkan
bahaya,
tindakan
manipulasi
harga,
dan
kejadian
yang
menyebabkan harga kebutuhan pokok naik dalam batasan yang tidak wajar, pemerintah melakukan penetapan harga atap (ceiling price). Dalam kondisi khusus, yaitu daerah mengalami bencana, keadaan darurat, daerah sengketa hukum, daerah wilayah pemberontak/perlawanan, daerah dalam kondisi perang pemerintah akan memberlakukan harga secara sepihak (automatic price control).
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
30
Pada bagian lain dari Act ini, pemerintah melarang segala tindakan yang dapat memanipulasi harga seperti penimbunan (jumlah persediaan 50% lebih tinggi dari biasanya dalam tiga bulan terakhir); pemburu rente dan kartel. Segala bentuk pelanggaran yang dilakukan baik oleh pelaku usaha maupun pemerintah dijabarkan dengan jelas dalam Act. Kebijakan yang senada juga diterapkan di India. Dasar kebijakan stabilisasi harga di India adalah Essential Commodities Act 1955 yang mengatur produksi, supply, distribusi dan perdagangan komoditas tertentu. Mekanisme pelaksanaan kebijakan pengendalian harga dilakukan dengan cara menentukan harga berdasarkan hasil kesepakatan (pemerintah bersama pelaku usaha) atau berdasarkan referensi dari controlled price atau sesuai dengan harga pasar. Khusus untuk padi-padian, minyak nabati dan minyak makan, periode pengaturan harga disesuaikan dengan masa panen sedangkan harga gula ditetapkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan harga minimum tebu, biaya produksi gula, pajak, dan tingkat laba yang wajar bagi produsen gula. Segala bentuk pelanggaran yang dilakukan baik oleh pelaku usaha maupun pemerintah dijabarkan dengan jelas dalam Act. Di China, kebijakan pengendalian harganya lebih rinci dibanding dengan kebijakan negara-negara lain. Pengendalian harga di China diatur dalam President’s Decree of PRC Nomor 92 tahun 1997. President’s decree mengatur harga barang dan jasa dalam dua kategori, yaitu Government-Set Prices adalah pengaturan harga ditetapkan oleh departemen terkait dan Government-Guided Prices mengacu pada harga yang ditetapkan oleh pelaku usaha sebagai harga acuan dan kisaran harga ditetapkan oleh instansi teknis terkait. Mekanisme pelaksanaan kebijakan pengendalian harga dilakukan dengan cara mengeluarkan Government-Set Prices atau Government-Guided Prices untuk barang dan jasa yang memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Barang yang memiliki peran penting dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat. b. Barang yang sumber dayanya terbatas. c. Barang yang mempunyai kegunaan publik. d. Barang yang memiliki potensi monopoli alamiah. e. Jasa yang secara alamiah penting bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam menetapkan Government-Set atau Government-Guide Prices, dimungkinkan adanya perbedaan harga yang rasional antara harga beli dan Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
31
harga jual, antara grosir dan eceran antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, dan antara musim yang satu dengan musim yang lain. Untuk produkproduk pertanian, pengendalian harganya dibahas secara khusus dalam dekrit ini. Ketika harga jual padi-padian dan produk pertanian lainnya terlalu rendah, pemerintah akan melakukan proteksi. Dan ketika harga sebagian besar barang atau jasa mengalami kenaikan tinggi, State Council dan pemerintah daerah, dan pemerintah
daerah
otonomi
menetapkan
disparitas
harga
atau
tingkat
keuntungan, menetapkan harga tertinggi atau bentuk intervensi lainnya sebagai sistem untuk mencatat kenaikan harga. Segala bentuk pelanggaran yang dilakukan baik oleh pelaku usaha maupun pemerintah dijabarkan dengan jelas dalam Dekrit Presiden. Di Thailand, pengendalian harga diatur dalam Undang-Undang Prices of Goods and Services Act, B.E. 2542 tahun 1999. Lembaga pelaksana pengendalian harga adalah Central Commission on Prices of Goods and Services (CCP) untuk tingkat pusat yang diketuai oleh Menteri Perdagangan dan Provincial Commission on Prices of Goods and Services (PCP) untuk tingkat daerah. Mekanisme pengendalian harga yang dilakukan oleh CCP adalah sebagai berikut: a. Dengan persetujuan Council of Ministers, menentukan barang atau jasa yang harganya akan kendalikan. b. Daftar barang dan jasa dalam pengendalian dipublikasikan dalam Koran Nasional. c. Menetapkan harga pembelian atau biaya distribusi dari barang atau jasa dalam pengendalian untuk menjaga harga pada tingkat tertentu. d. Menetapkan tingkat laba maksimum per unit dari barang atau jasa dalam pengendalian yang akan diterima distributor, atau menentukan besaran perbedaan harga pembelian dan harga penjualan barang atau jasa dalam pengawasan di setiap rantai perdagangan. e. Mengatur dan mengawasi produksi, impor, ekspor, pembelian, distribusi dan penyimpanan barang atau jasa dalam pengendalian. f. Menginformasikan
kepada
Instansi
terkait
tentang
jumlah,
tempat
penyimpanan, biaya produksi, rencana produksi, rencana pembelian, rencana distribusi, rencana variasi harga, potongan distribusi, proses produksi dan metode distribusi dari barang atau jasa dalam pengendalian. Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
32
g. Mengeluarkan ijin dan pelarangan penyaluran barang atau jasa dalam pengendalian untuk keluar atau masuk wilayah tertentu. Di Indonesia, kebijakan pengendalian harga juga diberlakukan melalui UU Pangan No. 7 tahun 1996 dan PP No. 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan. Terkait dengan stabilisasi harga, dalam UU Pangan No. 7 tahun 1996 disebutkan pada Pasal 48 berbunyi; “Untuk mencegah dan/atau menanggulangi gejolak harga pangan tertentu yang dapat merugikan ketahanan pangan pemerintah mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka mengendalikan harga pangan tersebut”. Terkait dengan pengendalian harga, PP No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan menyebutkan dalam pasal 12 : a. Pengendalian harga pangan tertentu yang bersifat pokok di tingkat masyarakat diselenggarakan untuk menghindari terjadinya gejolak harga pangan yang mengakibatkan keresahan masyarakat, keadaan darurat karena bencana, dan/atau paceklik yang berkepanjangan. b. Pengendalian harga pangan yang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui: • Pengelolaan dan pemeliharaan cadangan pangan pemerintah. • Pengaturan dan pengelolaan pasokan pangan. • Penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif. • Pengaturan kelancaran distribusi pangan c. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan Menteri yang bertanggung jawab di bidang industri dan perdagangan, pertanian, koperasi, kelautan dan perikanan, perhubungan. Perbedaan dengan kebijakan pengendalian harga di negara lain terletak pada peran pemerintah yang terwujud pada instansi teknis yang bertanggung jawab langsung dalam law enforcement dan pemberian sanksi hukum bagi pelaku usaha dan aparat pemerintah yang melakukan perbuatan melanggar hukum.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Pilar pokok perumusan kebijakan adalah tujuan dan instrumen kebijakan. Namun efektifitas suatu kebijakan tidak hanya dipengaruhi oleh tujuan dan instrumen yang dipilih tetapi juga infrastrukturnya, yakni sistem kelembagaan yang telah ada dan atau yang perlu diciptakan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan. Oleh karena itu pemahaman komprehensif mengenai perilaku obyek sasaran kebijakan sangat diperlukan. Proses perumusan kebijakan membutuhkan masukan, utamanya data dan informasi yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan dampak dari kebijakan yang dibuat. Elemennya cukup banyak karena mencakup siapa (kelompok mana) saja yang terkena dampak, apa dampaknya, seberapa besar, dan
sebagainya.
Dalam
perumusan
strategi
yang
diperlukan
untuk
mengimplementasikannya, juga diperlukan banyak sekali data dan informasi yang lazimnya berkenaan dengan jawaban terhadap pertanyaan : apa, berapa, mengapa, dimana, kapan, dan bagaimana kebijakan tersebut akan dijalankan. Sebagai suatu sistem, perilaku variabel-variabel ekonomi tidak berdiri sendiri. Terdapat keterkaitan antar sektor, antar komoditas, antar wilayah, bahkan antar periode. Terdapat sejumlah variabel yang sifatnya dapat dikendalikan (faktor internal), dan sebaliknya cukup banyak pula yang sifatnya tak dapat dikendalikan (faktor eksternal). Identifikasi dan pemahaman yang tepat mengenai perilaku masing-masing variabel tersebut sangat diperlukan dalam mendisain instrumen kebijakan. Adalah fakta bahwa dewasa ini perubahan yang terjadi dalam dinamika lingkungan strategis bukan hanya sangat cepat tetapi besarannya pun kadangkadang sangat ekstrim. Sebagai ilustrasi, di pasar internasional gejolak harga CPO, terigu, kedele, jagung, dan beras sangat tinggi. Sebagai contoh harga CPO US $ 693/ton pada bulan Januari 2007 meningkat menjadi US$ 1.206/ton pada bulan Juni tahun 2008, beras US$ 311/ton menjadi US$ 864/ton, kedele US$ 256/ton menjadi US$ 533/ton dan terigu US$ 232/ton menjadi US$ 391/ton pada periode yang sama.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
34
Sebagai akibat dari globalisasi dan makin terintegrasinya pasar domestik dengan pasar internasional maka kenaikan harga di pasar internasional berdampak terhadap pasar dalam negeri. Sudah barang tentu dampak yang terjadi berbeda antar satu komoditas dengan komoditas lainnya. Implikasi dari kondisi seperti tersebut di atas adalah bahwa kemampuan setiap negara untuk melakukan penyesuaian juga harus lebih cepat dan akurat. Kelambanan bukan hanya mengakibatkan kehilangan momentum, tetapi dalam aspek-aspek tertentu dapat berdampak negatif terhadap perekonomian. Berikut ini sejumlah contoh tentang dinamika tersebut. Selain keterkaitan pasar, perilaku pasar juga dipengaruhi oleh faktorfaktor eksogen yang menggerakkan permintaan maupun penawaran. Di sisi permintaan,
faktor-faktor
eksogen
yang
terpenting
adalah
pendapatan
masyarakat, sedangkan di sisi penawaran salah satu faktor yang berpengaruh adalah perubahan teknologi. Dalam kenyataan, tentu saja lebih banyak lagi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku penawaran dan permintaan. Adalah fakta bahwa dalam perekonomian modern peranan pasar sangat dominan. Bahkan dapat dinyatakan bahwa pasar merupakan simpul kritis langkah-langkah penyesuaian di bidang perekonomian. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari fakta bahwa pasar merupakan bentuk kelembagaan paling populer dimana interaksi antar pelaku ekonomi terjadi secara intensif baik secara temporal maupun spatial. Hal ini berimplikasi bahwa parameter permintaan dan penawaran yang merepresentasikan dinamika perilaku pasar merupakan informasi kunci yang sangat diperlukan dalam proses perumusan kebijakan penyesuaian. Secara empiris terdapat
beberapa
jenis komoditas pangan utama di
Indonesia yang terkait erat satu sama lain yaitu beras, gula, jagung, kedele dan terigu. Pada sisi permintaan, beras adalah komoditas bahan pangan pokok. Jagung adalah bahan baku utama dalam industri pakan dan di beberapa wilayah merupakan substitusi beras dalam konsumsi rumah tangga. Kedele adalah bahan baku utama dalam industri tahu dan tempe yang merupakan sumber protein nabati terpenting dalam konsumsi rumah tangga. Sedangkan terigu merupakan bahan pangan substitusi beras dan gula merupakan salah faktor yang menyebabkan persaingan lahan. Pada sisi penawaran, produksi komoditas pangan utama tersebut bersaing dalam pemanfaatan sumberdaya (lahan, tenaga Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
35
kerja, modal) sehingga dinamika penawaran masing-masing komoditas tersebut terkait satu dengan lainnya. Sumber pasokan komoditas pangan utama bukan hanya berasal dari produksi domestik tetapi juga dari impor. Untuk mengantisipasi dan mampu melakukan penyesuaian cepat, proyeksi-proyeksi permintaan dan penawaran yang sifatnya jangka pendek sangat diperlukan. Dalam konteks demikian itu, mengingat bahwa komoditas pangan utama mempunyai posisi yang sangat strategis dalam perekonomian maka prakiraan besaran kuantitatif permintaan dan penawaran komoditas pangan utama merupakan data dasar yang sangat diperlukan dalam perumusan kebijakan
di
bidang
perdagangan
sesuai
dengan
prinsip
perencanaan
berdasarkan kerangka logis berorientasi tujuan. 3.2. Metode Analisis 3.2.1. Model Proyeksi Dengan Pendekatan TSM Dalam penelitian ini, beberapa model peramalan dengan pendekatan TSM yang akan dikaji kesesuaiannya untuk dijadikan model proyeksi harga, kuantitas penawaran, maupun kuantitas permintaan adalah sebagai berikut. a. Exponential Smoothing Model exponential smoothing dapat dipresentasikan sebagai berikut:
y%t = α yt −1 + (1 − α ) y%t −1 , atau y%t = y%t −1 + α ( yt −1 − y%t −1 ) dimana ( yt −1 − y%t −1 ) adalah “forecast error”
y%t
= nilai pemulusan periode t
yt −1 = nilai periode t sebelumnya y%t −1 = nilai pemulusan periode t sebelumnya
α
= parameter smoothing (0 ≤ α ≤1)
Setelah koefisien parameter dugaan diperoleh maka dapat dilakukan peramalan dengan formula:
y%T + h = y%T untuk semua h>0 (T=end period)
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
36
b. Holt’s Exponential Smoothing Model :
y%t = α yt −1 + (1 − α )( y%t −1 + T%t −1 )
Estimasi Trend : T%t = γ ( y%t − y%t −1 ) + (1 − γ )T%t −1 , dimana:
y%t yt −1 y%t −1 T%t T%t −1
α γ
= nilai pemulusan periode t = nilai periode t sebelumnya = nilai pemulusan periode t sebelumnya = Trend tahun pada periode t = Trend tahun pada periode t sebelumnya = parameter smoothing (0≤ α ≤1) dan = koefisien tren (0≤ γ ≤1)
Ramalan : y%T + h = y%T + hT%t c. Holt-Winter’s Exponential Smoothing Model : y%t = α yt / S%t − p + (1 − α )( y%t −1 + T%t −1 ) Estimasi Trend : T%t = γ ( y%t − y%t −1 ) + (1 − γ )T%t −1 Estimasi Musiman : S%t = β ( yt / y%t ) + (1 − β ) S%t − p , dimana:
y%t = nilai pemulusan periode t yt −1 = nilai periode t sebelumnya y%t −1 = nilai pemulusan periode t sebelumnya T%t = Trend tahun pada periode t T%t −1 = Trend tahun pada periode t sebelumnya S%t = Kondisi Musim pada periode t S%t − p = Kondisi Musim pada periode ke belakang
α γ β
= parameter smoothing (0≤ α ≤1) dan = koefisien trend (0≤ γ ≤1) = koefisien musiman (0≤ β ≤1)
Ramalan : y%T + h = [ y%T + hT%t ]S%T + h − p d. Model Auto-Regressive (AR) orde ke-p Model : Yt = Φ 0 + Φ1Yt −1 + Φ 2Yt − 2 + ... + Φ pYt − p + ε t , dimana:
Yt
= Variabel respon (terikat) pada waktu t
Yt −1 , Yt − 2 ,..., Yt − p
= variabel respn pada masing-masing selang waktu t-1, t-2
dan t-p
Φ 0 , Φ1 , Φ 2 ,..., Φ p = koefisien yang diestimasi
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
37
εt
= galat pada saat t yang mewakili dampak variabel-variabel yang tidak
dijelaskan e. Model Moving Average (MA) orde ke-q: Model: Yt = μ + ε t − ω1ε t −1 + ω2ε t − 2 + ... + ωqε t − q , dimana:
Yt
= Variabel respon (terikat) pada waktu t
μ = rata-rata konstanta proses ω1 , ω2 ,..., ωq = koefisien yang diestimasi ε t −1 , ε t − 2 ,..., ε t − q = galat pada periode waktu sebelumnya yang pada saat t, nilainya menyatu dengan nilai respon Yt
εt
f.
= galat pada saat t yang mewakili dampak variabel-variabel yang tidak dijelaskan
Model ARMA(p,q) Model: Yt = Φ 0 + Φ1Yt −1 + Φ 2Yt − 2 + ... + Φ pYt − p + ε t − ω1ε t −1 + ω2ε t − 2 + ... + ωqε t − q , dimana:
Yt
= Variabel respon (terikat) pada waktu t
Φ 0 , Φ1 , Φ 2 ,..., Φ p = koefisien yang diestimasi Yt −1 , Yt − 2 ,..., Yt − p
= variabel respon pada masing-masing selang waktu t-1,
ω1 , ω2 ,..., ωq
t-2 dan t-p = koefisien yang diestimasi
ε t −1 , ε t − 2 ,..., ε t − q
= galat pada periode waktu sebelumnya yang pada saat t, nilainya menyatu dengan nilai respon Yt
εt
= galat pada saat t yang mewakili dampak variabel-variabel yang tidak dijelaskan
g. Model ARIMA : Model Integrated ARMA model atau disebut ARIMA(p,d,q) Model : ∇ d Yt = (1 − B ) d Yt , dimana:
Yt
= Variabel respon (terikat) pada waktu t
B
= koefisien yang diestimasi
d
= difference
h. Model Seasonal Autoregressive Integrated Moving Average (SARIMA) Model: Φ ( B h )φ ( B )∇ DH ∇ d Yt = α + Θ( B h )θ ( B ) Z t atau dituliskan menjadi: Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
38
ARIMA(p, d, q) × (P, D, Q)h , dimana:
i.
Yt
= Variabel respon (terikat) pada waktu t
B
= koefisien yang diestimasi
Model Autoregressive Moving Average with Exogenous Term (ARMAX) ARMAX merupakan kombinasi variabel fundamental di luar pasar tertentu yang berkorelasi dengan variabel bebas serta ditambah dengan model ARMA residu yang tersisa.
Tahapan-tahapan peramalan dalam menggunakan model Exponential Smoothing adalah sebagai berikut: a. Membuat plot data dari data historisnya, mengingat teknik peramalan ini menggunakan variabel miliknya sendiri sehingga sistem estimasi dilakukan dengan mengestimasi terhadap lingkungan yang mempengaruhinya; b. Menentukan parameter smoothing (α) koefisien trend dan koefisien musiman dimana angkanya berkisar antara 0 -1. Nilai-nilai trend dan musiman ini untuk meng-counter pola data sebagaimana kelebihan dari teknik exponential smoothing; c. Menentukan titik terakhir data pada saat mau peramalan dan banyaknya titik waktu peramalan; d. Hasil peramalan ditentukan oleh hasil estimasi komputer dan keakuratan hasil ramalan ditentukan oleh kecilnya nilai Mean Average Persentage Error (MAPE) dan Mean Square Deviation (MSD).atau Root Mean Square Error (RMSE) Tahapan-tahapan peramalan dalam menggunakan model ARIMA yang berbasis pada prosedur Box-Jenkins meliputi 4 tahapan, yaitu identifikasi, estimasi model, evaluasi model serta peramalan.
Adapun tahapan tersebut
dijelaskan sebagai berikut: a. Identifikasi, tahapan ini dilakukan untuk mengetahui pola data akan kandungan
unsur
musiman,
kestasioneran
data
serta
pola
perilaku
autocorrelation function (ACF) dan partial autocorrelation function (PACF) yang merupakan plot dari ACF untuk mengetahui apakah data mempunyai pola trend atau tidak. Jika data stasioner, maka ARMA yang digunakan. Tapi jika data non stasioner (first difference) maka model ARIMA yang digunakan.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
39
b. Estimasi model dari persamaan yang telah dibuat, perhitungannya adalah estimasi awal untuk parameter-paramater dari model sementara kemudian proses iterasi terakhir dilakukan secara otomatis oleh komputer dengan software eviews. c. Evaluasi model, untuk melihat kedekatan model dengan data yaitu dengan menguji residual (MAPE, RMSE) serta melihat signifikansi hubungan antara parameter.
Apabila hubungan diantara parameter tidak signifikan maka
proses kembali ke awal dengan meresfesifikasi persamaan ARIMA. d. Penentuan angka peramalan. Angka peramalan yang muncul didasarkan pada unsur-unsur yang menjadi dasar ramalan yang telah ditentukan pada tahap (a) sampai (c).
3.2.2. Model Proyeksi Dengan Pendekatan C/EM Proyeksi Permintaan Pendugaan Fungsi Permintaan Fungsi permintaan didefinisikan sebagai berikut: jumlah barang yang diminta dipengaruhi oleh harga barang bersangkutan, harga barang substitusi maupun komplemennya, pendapatan dan selera dan secara simbolik dituliskan sebagai berikut: qi = f (Pi, Pj, Y, S)
...............................................................................(1)
dimana: qi = jumlah barang yang diminta (kg per kapita per tahun) Pi = harga barang bersangkutan (rupiah per kg) Pj = harga barang substitusi maupun komplemennya (rupiah per kg) Y = tingkat pendapatan (rupiah per kapita per tahun) S = selera Dalam penelitian ini, model fungsi permintaan yang akan diaplikasikan yaitu model double logaritma atau model tanpa logaritma. Penentuan yang akan dipilih
sebagai
model
terbaik
tergantung
pada
hasil
akurasi
dan
kesederhanaannya. Model double logaritma memiliki spesifikasi sebagai berikut: n
log qi = α0 + β log Pi + δj
∑ log Pj +λ log Y + σ hbbm + e...............(2) j =1
dimana:
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
40
qi
= tingkat konsumsi komoditas ke-i (kg per kapita per tahun)
Pi
= harga komoditas ke-i (rupiah per kg)
Pj
= harga komoditas-komoditas substitusi maupun komplemen bagi komoditas ke-i (rupiah per kg)
Y
= tingkat pendapatan (rupiah per kapita per tahun)
hbbm = harga BBM e
= simpangan (error)
α0, β, δj, λ dan σ = parameter-parameter dugaan Perhitungan Parameter-Parameter Permintaan Setelah dilakukan pendugaan terhadap model fungsi permintaan baik untuk satu komoditas atau untuk sekelompok komoditas, maka berdasarkan pada parameter-parameter dugaan model bersangkutan selanjutnya dapat ditentukan nilai parameter-parameter permintaan seperti elastisitas permintaan terhadap harga sendiri, elastisitas permintaan terhadap harga silang, dan elastisitas permintaan terhadap pendapatan. Dari model double log (persamaan (2)) nilai parameter-parameter permintaan adalah sebagai berikut: (1) Elastisitas permintaan komoditas ke-i terhadap harga sendiri atau elastisitas harga
sendiri):
Eii = Δlog qi/Δlog Pi = β (2) Elastisitas
permintaan
komoditas
ke-i
terhadap
harga
komoditas
substitusinya atau komplemennya atau elastisitas harga silang: Eij = Δlog qi/Δlog Pj = δj (3) Elastisitas permintaan komoditas ke-i terhadap pendapatan atau elastisitas pendapatan: Eiy = Δlog qi/Δlog Y = λ (4) Elastisitas permintaan komoditas ke-i terhadap harga BBM Eibbm = Δlog qi/Δlog hbbm = σ
Proyeksi Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
41
Perlu dicatat bahwa metoda proyeksi permintaan yang akan diuraikan pada kesempatan ini adalah metoda proyeksi untuk permintaan langsung (bukan untuk permintaan tidak langsung). Yang dimaksudkan dengan permintaan langsung adalah komoditas pertanian yang dikonsumsi langsung oleh rumah tangga konsumen baik dalam bentuk tanpa diolah maupun telah diolah. Sementara itu yang dimaksudkan dengan permintaan tidak langsung adalah komoditas pertanian yang langsung diekspor atau dikonsumsi oleh sektor industri pengolahan yang hasilnya tidak dikonsumsi dalam bentuk bahan makanan (contoh: ban dari karet) dan komoditas pertanian yang dipakai dalam industri pakan. Secara teoritis permintaan agregat atas suatu pangan merupakan hasil perkalian
antara
jumlah
penduduk
dengan
tingkat
konsumsi
pangan
bersangkutan per kapita. Oleh karena itu untuk melakukan proyeksi permintaan agregat suatu pangan maka ada dua langkah yang perlu ditempuh, yaitu (1) melakukan proyeksi jumlah penduduk, dan (2) melakukan proyeksi tingkat konsumsi pangan bersangkutan per kapita. Kedua langkah ini ditempuh jika, dalam membangun model permintaan ditemukan adanya korelasi antara permintaan dan pendapatan. Untuk melakukan proyeksi jumlah penduduk dipergunakan formula berikut: Nt = N0 (1 + r)t .........................................................................................(3) dimana: Nt = jumlah penduduk pada tahun t (jiwa) N0 = jumlah penduduk pada tahun dasar (jiwa)) r = laju pertumbuhan jumlah penduduk ( persen/tahun) t = deret waktu proyeksi Berdasarkan persamaan (3), data yang dibutuhkan untuk melakukan proyeksi jumlah penduduk adalah : (i) jumlah penduduk pada tahun dasar, dan (ii) laju pertumbuhan jumlah penduduk. Untuk melakukan proyeksi tingkat konsumsi per kapita dipergunakan formula sebagai berikut: qt = q0 + [( Ey0 (1 + γy )t ) Δy] q0 ................................................................(4) dimana: qt
= tingkat konsumsi per kapita pada tahun t (kg/tahun)
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
42
q0
= tingkat konsumsi per kapita pada tahun dasar (kg/tahun)
Ey0 = elastisitas pendapatan pada tahun dasar γy
= laju perubahan elastisitas pendapatan ( persen/tahun)
Δy
= laju perubahan tingkat pendapatan riil per kapita ( persen/tahun)
t
= deret waktu proyeksi
Berdasarkan persamaan (4), data yang dibutuhkan untuk melakukan proyeksi tingkat konsumsi per kapita adalah : (i) tingkat konsumsi per kapita pada tahun dasar, (ii) elastisitas pendapatan pada tahun dasar, (iii) laju perubahan elastisitas pendapatan, dan (iv) laju perubahan tingkat pendapatan riil per kapita. Selanjutnya untuk menghitung proyeksi permintaan agregat
suatu
pangan dipergunakan formula sebagai berikut: Qit = qit . Nt ..............................................................................................(5) dimana: Qit = proyeksi permintaan pangan (komoditas) ke-i pada tahun t (kg) qit = proyeksi tingkat konsumsi pangan (komoditas) ke-i per kapita pada tahun t (kg per kapita per tahun), yang dihitung berdasarkan persamaan (4) Nt = proyeksi jumlah penduduk pada tahun t (jiwa) yang dihitung berdasarkan persamaan (3)
Jika dalam proses membangun model tidak ditemukan adanya korelasi antara permintaan dan pendapatan, maka proyeksi permintaan dilakukan dengan menggunakan simulasi shock pada variabel eksogen yang ada dalam model.
Proyeksi Penawaran Pendugaan Fungsi Penawaran Pangan Secara umum fungsi penawaran
suatu barang
dapat didefinisakan:
jumlah barang yang ditawarkan dipengaruhi oleh harga barang bersangkutan, harga faktor-faktor produksi dan tingkat teknologi yang digunakan. Jadi secara simbolis dapat dituliskan sebagai berikut: qi = f (Pi, Pf, T)....................................................................................(6) dimana: qi = jumlah barang yang ditawarkan (kg per tahun) Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
43
Pi = harga barang bersangkutan (rupiah per kg) Pf = harga faktor-faktor produksi (rupiah per kg atau rupiah per HOK) T = tingkat teknologi yang digunakan Bentuk hubungan fungsional yang biasa digunakan dalam pendugaan fungsi penawaran pada persamaan (6) adalah model double logaritma, yang dapat dituliskan sebagai berikut: n
log qi = α0 + β log Pi + δj
∑ log Pj +λ T + σ
1
dum1 + σ2 dum2 + e ……(7)
j =1
Dimana: qi
= tingkat produksi komoditas ke-i
Pi
= harga komoditas ke-i (rupiah per kg)
Pj
= harga komoditas-komoditas substitusi maupun komplemen bagi komoditas ke-i (rupiah per kg)
T
= proksi perkembangan teknologi
dum1, dum2 = dummy masa panen e
= simpangan (error)
α0, β, δj, λ dan σi = parameter-parameter dugaan Secara khusus untuk komoditas pertanian yang berbasis lahan dimana peningkatan produksi bersumber baik dari peningkatan luas real tanam maupun dari peningkatan produktivitas lahan maka berdasarkan pertimbangan teoritis tertentu fungsi penawaran komoditas pertanian semacam itu biasanya direpresentasikan oleh fungsi luas areal dan fungsi produktivitas (Syafaat et.al, 2005). Perhitungan Parameter-Parameter Penawaran Menurut Syafaat et al. (2005), secara khusus untuk komoditas pertanian yang berbasis lahan dimana peningkatan produksi bersumber baik dari peningkatan luas real tanam maupun dari peningkatan produktivitas lahan maka berdasarkan pertimbangan teoritis tertentu fungsi penawaran komoditas pertanian semacam itu biasanya direpresentasikan oleh fungsi luas areal dan fungsi produktivitas (Syafaat et.al, 2005).
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
44
Fungsi luas areal mendefinisikan luas areal dipengaruhi oleh harga komoditas bersangkutan, harga komoditas pesaing, variabel lag dari luas areal dan cuaca dan secara simbolik dapat dituliskan sebagai berikut: Ait = f (Pit-1, Pjt-1, Ait-1, Ht) ....................................................................(8) dimana: Ait
= luas areal tanam komoditas ke-i pada tahun t (hektar)
Pit-1 = harga komoditas ke-i pada tahun t-1 rupiah per kg) Pjt-1 = harga komoditas pesaing pada tahun t-1 (rupiah per kg) Ait-1 = luas areal tanam komoditas ke-i pada tahun t-1 (hektar) Ht
= curah hujan tahun t (mm per tahun)
Fungsi produktivitas lahan mendefinisikan produktivitas dipengaruhi oleh harga komoditas bersangkutan, harga faktor-faktor produksi, teknologi dan cuaca dan secara simbolik dapat dituliskan sebagai berikut: Yit = f (Pit, Pft, Tt, Ht) .........................................................................(9) dimana: Yit = produktivitas komoditas ke-i pada tahun t (kg per hektar) Pit = harga komoditas ke-i pada tahun t (rupiah per kg) Pft = harga faktor-faktor produksi pada tahun t (rupiah per kg atau rupiah per HOK) Tt = tingkat teknologi yang digunakan pada tahun t Bentuk hubungan fungsional yang biasa digunakan dalam pendugaan fungsi luas areal pada persamaan (9) dan fungsi produktivitas pada persamaan (9) adalah model double logaritma, yang dapat dituliskan sebagai berikut: n
log Ait = β 0 + β1 log Pit −1 + ∑ β j log Pjt −1 + β 3 log Ait −1 + β 4 H t ............ (10) j =1
dimana: Ait
=
luas areal tanam komoditas ke-i pada tahun t (hektar)
Ait-1 =
luas areal tanam komoditas ke-i pada tahun t-1 (hektar)
Pit-1 =
harga komoditas ke-i pada tahun t-1 rupiah per kg)
Pjt-1 =
harga komoditas pesaing pada tahun t-1 (rupiah per kg)
Ht
=
curah hujan tahun t (mm per tahun)
∃0, ∃1, ∃j, ∃3, ∃4 = parameter-parameter dugaan
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
45
n
log Yit = α 0 + α 1 log Pit + ∑ α f log Pft + α 3T + α 4 H t ............................(11) X =1
dimana: Yit
= produktivitas komoditas ke-i pada tahun t (kg per hektar)
Pit
= harga komoditas ke-i pada tahun t (rupiah per kg)
Pft
= harga faktor-faktor produksi pada tahun t (rupiah per kg atau rupiah per HOK)
Tt
= tingkat teknologi yang digunakan pada tahun t
Ht
= curah hujan pada tahun t (mm per tahun
∀0, ∀1, ∀f, ∀3, ∀4 = parameter-parameter dugaan
Setelah dilakukan pendugaan terhadap model fungsi luas areal pada persamaan (10) dan model fungsi produktivitas pada persamaan (11), maka berdasarkan
pada
parameter-parameter
dugaan
model
bersangkutan
selanjutnya dapat ditentukan nilai parameter-parameter penawaran seperti elastisitas areal tanam terhadap harga komoditas bersangkutan, elastisitas areal tanam terhadap harga komoditas pesaing, elastisitas produktivitas terhadap harga komoditas bersangkutan, dan elastisitas produktivitas terhadap harga faktor-faktor produksi. Dari model fungsi luas areal (persamaan (10)) dapat diturunkan parameter-parameter penawaran sebagai berikut: (1) Elastisitas luas areal terhadap harga komoditas bersangkutan: ωi = Δlog Ait/Δlog Pit-1 = β1 (2) Elastisitas luas areal terhadap harga komoditas pesaing ke-j: ϕj = Δlog Ait/Δlog Pjt-1 = βj Dari model fungsi produktivitas (persamaan (11)) dapat diturunkan parameter-parameter penawaran sebagai berikut: (1) Elastisitas produktivitas terhadap harga komoditas bersangkutan: μi = Δlog Yit/Δlog Pit = α1 (2) Elastisitas produktivitas terhadap harga faktor-faktor produksi: φx = Δlog Ait/Δlog Pft = αf
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
46
Proyeksi Terdapat
dua
kemungkinan
atas
pembentukan
model
proyeksi
penawaran (produksi). Pertama, model yang dijelaskan di atas menunjukkan adanya korelasi yang baik antar variabel, kedua adalah kemungkinan model yang dijelaskan di atas tidak menunjukkan korelasi antar variabel, sehingga memunculkan model lain. Pada kemungkinan pertama, produksi agregat suatu pangan merupakan hasil perkalian antara luas areal tanam dengan produktivitas. Oleh karena itu untuk melakukan proyeksi produksi (penawaran) agregat suatu pangan maka ada 2 (dua) langkah yang perlu ditempuh, yaitu (1) melakukan proyeksi luas areal tanam, dan (2) melakukan proyeksi produktivitas. Untuk melakukan proyeksi luas areal tanam dipergunakan formula sebagai berikut: t
n ⎛ ⎞ Ait = Ai 0 ∗ ⎜⎜1 + ω i ∗ g pi + ∑ (ϕ j ∗ g pj ⎟⎟ …………………….. (12) j =1 ⎝ ⎠
dimana: Ait
= proyeksi areal tanam komoditas ke-i pada tahun t (hektar)
Ai0 = areal tanam komoditas ke-i pada tahun dasar (hektar) ωi
= elastisitas areal tanam terhadap harga komoditas ke-i
ϕj
= elastisitas areal tanam terhadap harga komoditas pesaing ke-j
gpi = laju pertumbuhan harga komoditas ke-i ( persen/tahun) gpj = laju pertumbuhan harga komoditas pesaing ke-j ( persen/tahun) t
= deret waktu proyeksi
Berdasarkan persamaan (12), data yang dibutuhkan untuk melakukan proyeksi luas areal tanam adalah: (1) luas areal tanam komoditas bersangkutan pada tahun dasar, (2) elastisitas areal tanam terhadap harga komoditas bersangkutan, (3) elastisitas areal tanam terhadap harga komoditas pesaing, (4) laju pertumbuhan harga komoditas bersangkutan, dan (5) laju pertumbuhan harga komoditas pesaing. Sementara itu untuk melakukan proyeksi produktivitas dipergunakan formula sebagai berikut: t
m ⎛ ⎞ Yit = Yi 0 ∗ ⎜1 + μ i ∗ g pi + ∑ (φ x ∗ g px ⎟ ………………………. (13) x =1 ⎝ ⎠
dimana: Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
47
Yit
=
proyeksi produktivitas komoditas ke-i pada tahun t (kg per hektar)
Yi0 =
produktivitas komoditas ke-i pada tahun dasar (kg per hektar)
μi
=
elastisitas produktivitas terhadap harga komoditas ke-i
φx
=
elastisitas produktivitas terhadap harga input ke-x
gpi =
laju pertumbuhan harga komoditas ke-i ( persen/tahun)
gpx =
laju pertumbuhan harga faktor produksi ke-x ( persen/tahun)
t
deret waktu proyeksi
=
Berdasarkan persamaan (13), data yang dibutuhkan untuk melakukan proyeksi produktivitas adalah : (1) produktivitas komoditas bersangkutan pada tahun
dasar,
(2)
elastisitas
produktivitas
terhadap
harga
komoditas
bersangkutan, (3) elastisitas produktivitas terhadap harga komoditas pesaing, (4) laju pertumbuhan harga komoditas bersangkutan, dan (5) laju pertumbuhan harga faktor-faktor produksi. Selanjutnya untuk menghitung proyeksi produksi (penawaran) suatu pangan dipergunakan formula sebagai berikut: :
QS it = Ait ∗ Yit ……………………………………………………........ (14) dimana: QSit = proyeksi produksi (penawaran) komoditas ke-i pada tahun t (kg) Ait
= proyeksi luas areal tanam komoditas ke-i pada tahun t (hektar), yang dihitung berdasarkan persamaan (12)
Yit
= proyeksi produktivitas komoditas ke-i pada tahun t (kg per hektar), yang dihitung berdasarkan persamaan (13)
Pada kemungkinan kedua, dimana tidak ditemukan adanya korelasi antara variabel-variabel yang sudah ditentukan di atas, maka proyeksi penawaran dilakukan dengan menggunakan simulasi shock pada variabel eksogen yang ada dalam model.
3.2.3. Model Ekonometrik Sistem Komoditas Beras, Gula, Jagung, Kedele dan Terigu Model empiris yang akan diaplikasikan untuk merepresentasikan pasar komoditas beras, gula, jagung, kedele dan terigu adalah sebagai berikut:
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
48
⎛ HPpadi ⎞ Apadi = a0 + a1 ⎜ ⎟ + a2 LApadi + a3 D1 + a4 D2 + ε ap ⎝ Hkom ⎠ ⎛ HPpadi ⎞ Vpadi = b0 + b1 ⎜ ⎟ + b2 LVpadi + b3T + ε vp H ⎝ urea ⎠
(1) (2)
Ppadi =Apadi ∗Vpadi
(3)
⎛ HPjgng ⎞ Ajgng = c0 + c1 ⎜ ⎟ + c2 LAjgng + c3 D1 + c4 D2 + ε aj H ⎝ kom ⎠ Vjgng = d0 + d1HPjgng + d2 Hurea + d3 LVjgng + d4T + ε vj
(4) (5)
Pjgng =Ajgng ∗Vjgng
(6)
Adele = e0 + e1LHPdele + e2 LAdele + e3D1 + e4 D2 + ε ad
(7)
Vdele = f0 + f1HPdele + f2 LVdele + f3T + ε vd
(8)
Pdele=Adele ∗Vdele
(9)
Atotal = g0 + g1CI padi + g2 LAtotal + g3 D1 + g4 D2 + g5T + εtal
(10)
Atotal = Apadi + Ajgng + Adele
(11)
Dberas = h0 + h1HEberas + h2 HEtrgu + h3 Pop + h4 Icap + h5 Dhr + h6 Dref + h7 LDberas + ε dbrs (12) Djgung = i0 + i1HEjgung + i2 LHEjgung + i3Cpakan + i4 LDjgung + i5 Dref + ε jgng
(13)
Dkdele = j0 + j1HEdele + j2 HMdele + j3Icap + j4 LDkdele + j5 Dref + ε kdle
(14)
HEberas = k0 + k1HPpadi + k2 HMberas + k3 LHEberas + ε Heberas
(15)
HPpadi = l0 + l1HEberas + l2 HBBM + l3 LHPpadi + ε Hppadi
(16)
HEjgung = m0 + m1HPjgng + m2 HMjgng + m3 HEjgung + ε Hejgung
(17)
HPjgng = n0 + n1HEjgung + n2 HBBM + n3 LHPjgng + ε Pjgng
(18)
HEdele = o0 + o1HPdele + o2 HMdele + o3 LHEdele + ε Edele
(19)
HPdele = p0 + p1HEdele + p2 HMdele + p3 HBBM + p4 LHPdele + ε Pdele
(20)
dimana: Apadi HPpadi Hkom LApadi
: Luas areal panen padi (ribu hektar) : Harga padi di tingkat petani (Rp./Kg GKP) : Harga komposit (rataan terbobot harga padi, jagung, kedele) di tingkat petani : Lag(1) luas areal panen padi Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
49
Vpadi Hurea LVpadi Ppadi Ajgng HPjgng LAjgng Vjgng LVjgng Pjgng Adele HPdele LHPdele LAdele Vdele LVdele Atotal
: : : : : : : : : : : : : : : : :
CI LAtotal Dberas HEberas HEtrgu Pop Icap
: : : : : : :
Dref DHR
: :
LDberas Djgung HEjgung LHEjgung Cpakan LDjgung Dkdele HEdele HMdele LDkdele HMberas LHEberas HBBM LHPpadi LHPjng LHEdele LHPdele
: : : : : : : : : : : : : : : : :
Produktivitas usahatani padi (kuintal/Ha) Harga urea di tingkat petani (Rp./Kg) Lag(1) produktivitas usahatani padi Produksi padi (ribu ton) Luas areal panen jagung (ribu Ha) Harga jagung tingkat petani (Rp./Kg pipilan kering) Lag(1) luas areal panen jagung Produktivitas usahatani jagung (kuintal/Ha) Lag(1) produktivitas usahatani jagung Produksi jagung (ribu ton) Luas areal panen kedele (ribu hektar) Harga kedele tingket petani (Rp./Kg kedele ose) Lag(1) harga kedele tingkat petani Lag(1) luas areal panen kedele Produktivitas usahatani kedele (ribu hektar) Lag(1) produktivitas kedele Luas total areal panen ketiga komoditas tersebut (padi, jagung, kedele) Intensitas tanam (cropping index) padi lag(1) luas total areal panen Konsumsi beras (ribu ton) Harga eceran beras (Rp./Kg) Harga eceran terigu (Rp./Kg) Jumlah penduduk (juta orang) Income per kapita, diproksi dari PDRB (atas harga konstan) per kapita Peubah "dummy": 0 = sebelum reformasi, 1 = sesudah reformasi Peubah "dummy" hari raya: 0 = bulan-bulan normal, 1 = sekitar hari raya Lag(1) konsumsi beras Konsumsi jagung (ribu ton) Harga eceran jagung (Rp./Kg jagung pipilan kering) Lag(1) harga eceran jagung Konsumsi oleh industri pakan diproksi dari populasi ayam ras Lag(1) konsumsi jagung Konsumsi kedele (ribu ton) Harga eceran kedele (Rp./Kg kedele ose) Harga impor kedele (Rp./Kg) Lag(1) konsumsi kedele Harga impor beras (Rp/Kg) Lag(1) harga beras Harga bahan bakar minyak (Rp./liter) Lag(1) harga padi tingkat petani Lag(1) harga jagung tingkat petani Lag(1) harga eceran kedele Lag(1) harga kedele tingkat petani
Dalam
persamaan
sistem
persamaan
di
atas
variabel-variabel
permintaan, penawaran, harga beras, harga jagung, dan harga kedele di tingkat eceran diperlakukan sebagai variabel endogen. Sedangkan impor ataupun
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
50
ekspor beras, jagung, maupun kedele dicari dari persamaan identitas karena merupakan implikasi dari kebijakan swasembada. Dalam model di atas, persamaan (3), (6), dan (9) adalah persamaan identitas,
sedangkan
persamaan-persamaan
lainnya
adalah
persamaan
struktural. Bentuk reduced form dari sistem persamaan di atas dapat diperoleh dengan metode substitusi sehingga semua variabel eksogen terletak di sisi sebelah kanan (right hand side – RHS) dan variabel endogennya terletak di sebelah kiri (left hand side – LHS). Hipotesis yang diajukan adalah bahwa tanda dari koefisien parameter memenuhi kaidah-kaidah yang dianut dalam teori ekonomi, antara lain bahwa slope fungsi permintaan adalah negatif dan slope fungsi penawaran adalah positip, dan sebagainya. Berdasarkan pengalaman dan dari berbagai hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan ekonometrik sistem persamaan simultan seringkali bentuk akhir dari model empirik yang diaplikasikan tidak sepenuhnya mengacu pada landasan teori. Sejumlah modifikasi diperlukan baik dalam kaitannya dengan ketersediaan data maupun justifikasi ilmiah yang didasarkan atas hasil pendugaan. Mengingat adanya keterkaitan galat antar persamaan maka asumsiasumsi untuk aplikasi OLS dalam estimasi parameter tidak dapat dipenuhi. Metode estimasi yang sesuai untuk sistem persamaan simultan antara lain adalah instrumental variabel (2SLS), 3SLS, LIML, ataupun FIML, tergantung hasil identifikasi model yang akan diestimasi apakah "just identified", "over identified", serta apakah variabel instrumen yang akan dipergunakan "weak instrumen" ataukah tidak. Kesemuanya itu akan dapat diputuskan dengan tepat setelah uji coba terhadap sejumlah model yang dibangun diaplikasikan terhadap data yang tersedia. Sebelum melakukan proyeksi, tahap terpenting yang perlu dilakukan adalah melakukan validasi. Validasi dilakukan dengan melakukan simulasi "historis" yang tujuannya adalah untuk melacak kembali nilai variabel-variabel endogen. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauhmana model tersebut mampu "menceriterakan kembali" fenomena selama periode pengamatan tersebut dengan baik (Boediono, 1979; Theil, 1981).
Secara
sederhana,
validasi dilakukan untuk menguji sejauhmana "kedekatan" perilaku peubah Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
51
endogen yang diperoleh dari hasil pendugaan itu jika dibandingkan dengan perilaku peubah endogen aktual. Ukuran yang lazim digunakan adalah "root mean-square (rms) simulation error". Dalam konteks ini terdiri atas empat macam yakni rms error, rms percent error, mean error, dan mean percent error. Dari keempat ukuran itu yang paling sering digunakan adalah rms percent error (RMSPE) dan root mean square error (RMSE) yang formulanya adalah sebagai berikut:
rms error = rms percent error =
T
1 T
∑ (Y
1 T
∑(
− Yea )
s
t
t =1 T
t =1
Yt s −Yta Yt
a
)
2
2
dimana:
Yt s = nilai Yt hasil estimasi Yt a = nilai Yt aktual T = jumlah observasi (periode pengamatan) Dalam keadaan dimana nilai pengamatan aktual = 0 maka RMSPE tidak operasional sehingga yang dipergunakan hanya RMSE saja. Keragaan model dalam merepresentasikan perilaku fenomena yang semakin baik dicirikan oleh nilai RMSE atau RMSPE yang semakin kecil. Walaupun demikian, RMSE maupun RMSPE hanya merupakan salah satu ukuran dari simulation fit. Sejumlah justifikasi lain kadang-kadang ikut diperhitungkan. Sebagai contoh, meskipun RMSPE ataupun RMSE relatif besar, tetapi jika secara keseluruhan model nilai-nilai parameter yang diaplikasikan "plausible" maka hasil yang diperoleh dianggap memadai. Hal ini didasarkan atas berbagai pengalaman selama ini bahwa meskipun menurut sudut pandang teori pendeketan
simultan
mempunyai
kemampuan
yang
baik
untuk
merepresentasikan hakekat interdependensi dalam dunia empiris namun data yang tersedia untuk melakukan pengujuan hipotesis seringkali tidak memadai. Kriteria lain yang penting adalah sejauh mana model simulasi itu mampu pula melacak lekuk liku dari representasi grafis yang menggambarkan arah perubahan variabel endogen yang diamati. Jika model didisain untuk tujuan peramalan ataupun proyeksi, maka expost RMS forecast error merupakan Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
52
kriteria lain yang menunjukkan kinerja model tersebut. RMS forecast error yang tak lain adalah RMS simulation error yang dihitung selama kisaran peramalan, menyajikan suatu ukuran mengenai sejauhmana model itu cukup baik untuk peramalan. Dalam konteks ini, statistik simulasi yang berkaitan dengan RMS simulation error dan diterapkan untuk evaluasi simulasi historis atau expost forecast adalah Theil's inequality coefficient (berguna untuk menguji forecasting power suatu model). Formulanya adalah sebagai berikut: T
1 T
∑ (Y
s
t
t =1
U=
T
1 T
∑ (Y )
s 2
t
− Yt a )
−
t =1
2
T
1 T
∑ (Y )
nilai U adalah: 0 ≤ U ≤ 1
a 2
t
t =1
3.3. Jenis dan Sumber Data Secara empiris perilaku pasar tidak hanya dipengaruhi oleh variabelvariabel yang dapat dikuantifikasikan. Terdapat sejumlah variabel lain yang sangat berperan dalam mengendalikan dinamika penawaran, permintaan dan harga.
Selain
ditentukan
oleh
struktur-perilaku-kinerja
(structure-conduct-
performance), dinamika pasar juga dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi motif dan tindakan produsen maupun konsumen. Variabelvariabel itu seringkali tidak dapat dikuantifikasikan namun sangat berpengaruh terhadap dinamika pasar. Dengan kata lain, pemahaman komprehensif tentang perilaku pasar tidak dapat hanya mengandalkan pendekatan kuantitatif semata. Suatu survey yang ditujukan untuk memperoleh pendalaman pemahaman mengenai perilaku pasar tidak hanya berguna untuk memperoleh data yang dapat dipergunakan untuk melakukan validasi dan verifikasi empiris terhadap hasil analisis kuantitatif namun juga sangat berguna untuk memperoleh informasi yang sangat bermanfaat untuk merumuskan infrastruktur pendukung yang diperlukan dalam implementasi kebijakan. Oleh karena itu data yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian mencakup data sekunder maupun data primer. Data sekunder terutama ditujukan untuk analisis kuantitatif dengan pendekatan ekonometrik; sedangkan data primer, baik berupa data kuantitatif maupun kualitatif sangat diperlukan untuk mendalami struktur-perilaku-kinerja pasar dari komoditas yang dikaji. Adapun data sekunder yang dikumpulkan adalah sebagai berikut : Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
53
a. Beras (1). Luas areal tanam padi
Bulanan
1985 -2008
BPS
(2). Luas panen padi
Bulanan
1985 -2008
BPS
(3). Produksi padi
Bulanan
1985 -2008
BPS
(4). Impor beras
Bulanan
1985 -2008
BPS
(5). Ekspor beras
Bulanan
1985 -2008
BPS
(6). Harga beras tingkat eceran
Bulanan
1985 -2008
BPS
(7). Harga beras tingkat grosir
Bulanan
1985 -2008
BPS
(8). Harga tingkat petani
Bulanan
1985 -2008
BPS
(9). Harga Ketentuan Pemerintah
Bulanan
1985 -2008
BPS
(10). Harga
Bulanan
1985 -2008
BPS
(11). Harga eceran tertinggi beras
Bulanan
1985 -2008
BPS
(12). Harga impor beras
Bulanan
1985 -2008
BPS
(13). Harga impor gabah
Bulanan
1985 -2008
BPS
(1). Luas areal tanam jagung
Bulanan
1985 -2008
BPS
(2). Luas panen jagung
Bulanan
1985 -2008
BPS
(3). Produksi jagung
Bulanan
1985 -2008
BPS
(4). Impor jagung
Bulanan
1985 -2008
BPS
(5). Ekspor jagung
Bulanan
1985 -2008
BPS
(6). Harga jagung tingkat eceran
Bulanan
1985 -2008
BPS
(7). Harga jagung tingkat grosir
Bulanan
1985 -2008
BPS
(8). Harga tingkat petani
Bulanan
1985 -2008
BPS
Dasar
(sekarang
HPP) - GKP - GKG
b. Jagung
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
54
(9). Harga jagung impor
Bulanan
1985 -2008
BPS
(1). Luas areal tanam kedele
Bulanan
1985 -2008
BPS
(2). Luas panen kedele
Bulanan
1985 -2008
BPS
(3). Produksi kedele
Bulanan
1985 -2008
BPS
(4). Impor kedele
Bulanan
1985 -2008
BPS
(5). Impor bungkil kedele
Bulanan
1985 -2008
BPS
(6). Ekspor kedele
Bulanan
1985 -2008
BPS
(7). Harga kedele tingkat eceran
Bulanan
1985 -2008
BPS
(8). Harga kedele tingkat grosir
Bulanan
1985 -2008
BPS
(9). Harga tingkat petani
Bulanan
1985 -2008
BPS
(10). Harga kedele impor
Bulanan
1985 -2008
BPS
(11). Harga bungkil kedele impor
Bulanan
1985 -2008
BPS
(1). Volume impor
Bulanan
1985 -2008
BPS
(2). Harga Impor
Bulanan
1985 -2008
BPS
(3). Nilai Impor Terigu
Bulanan
1985 -2008
BPS
(4). Harga terigu di tingkat grosir
Bulanan
1985 -2008
BPS
(5). Harga terigu di tingkat eceran
Bulanan
1985 -2008
BPS
(1). Luas areal tanam tebu
Bulanan
1985 -2008
BPS
(2). Luas panen tebu
Bulanan
1985 -2008
BPS
(3). Produksi tebu
Bulanan
1985 -2008
BPS
c. Kedele
d. Terigu
e. Gula
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
55
(4). Produksi gula kristal putih
Bulanan
1985 -2008
BPS
(5). Produksi gula rafinasi
Bulanan
1985 -2008
BPS
(6). Impor gula kristal putih
Bulanan
1985 -2008
BPS
(7). Impor gula rafinasi
Bulanan
1985 -2008
BPS
(8). Harga gula tingkat petani
Bulanan
1985 -2008
BPS
(9). Harga gula tingkat lelang
Bulanan
1985 -2008
BPS
(10). Harga gula tingkat eceran
Bulanan
1985 -2008
BPS
(11). Harga dunia gula kristal putih
Bulanan
1985 -2008
BPS
(12). Harga dunia gula rafinasi
Bulanan
1985 -2008
BPS
(13). Konsumsi gula kristal putih
Bulanan
1985 -2008
BPS
(14). Konsumsi gula rafinasi
Bulanan
1985 -2008
BPS
(1). Nilai Tukar Rupiah thd US$
Bulanan
1985 -2008
BPS
(2). Harga Solar
Bulanan
1985 -2008
BPS
(3). Harga bensin
Bulanan
1985 -2008
BPS
(4). Inflasi
Bulanan
1985 -2008
BPS
(5). GNP
Bulanan
1985 -2008
BPS
(6). Harga urea
Bulanan
1985 -2008
BPS
(7). Harga SP 36/TSP
Bulanan
1985 -2008
BPS
(8). Harga KCL
Bulanan
1985 -2008
BPS
(9). Consumer Price Index (CPI)
Bulanan
1985 -2008
BPS
(10). Nilai Tukar Petani
Bulanan
1985 -2008
BPS
(11). Kuota Impor
Bulanan
1985 -2008
Deptan/Depdag
(12). Kebijakan Tarif
Bulanan
1985 -2008
Deptan/Depdag
f. Data lainnya
(13). Dummy Hari Raya Lebaran
1985-2008
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
56
Data
primer akan dikumpulkan dengan metode survey. Sumber data
adalah pelaku utama pasar komoditas yang dikaji. Instrumen penelitian yang dipergunakan dalam menggali data primer adalah kuesioner semi terstruktur. Lokasi survey adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Gorontalo dan Lampung. Agar hasil penelitian lebih fokus, maka data primer untuk beras diambil di daerah Jawa Barat, data primer untuk jagung diambil di daerah Jawa Timur dan Gorontalo, data primer untuk kedele diambil dari Lampung sedangkan data tepung terigu dan gula dilakukan dengan cara mendalami hasil penelitian yang dilakukan terdahulu dan wawancara dengan instansi terkait. Dasar pemilihan lokasi survey adalah prinsip teori small and large economy yang menekankan pada asumsi bahwa suatu daerah yang skala ekonominya besar (large economy) untuk komoditi tertentu, tentunya segala perubahan dalam ekonominya akan mempengaruhi ekonomi secara umum, begitu juga sebaliknya dengan the small economy. Oleh karena itu, lokasi survey di atas diasumsikan sebagai daerah yang skala ekonominya besar untuk komoditi tertentu, sehingga analisis kajian ini mampu menangkap secara komprehensif, mulai dari sumber gangguan hingga dampaknya.
Responden
untuk
setiap
komoditi
bervariasi
dengan
total
seluruhnya 25 responden. Secara umum, responden terdiri terdiri dari petani (10 orang), pengecer (5 orang) Pedagang Pengumpul (3 orang), Pedagang Besar / Rice Milling (3 orang) dan Instansi Pemerintah (4 instansi).
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
57
BAB IV PROYEKSI DAN ANALISIS
Pasar adalah forum interaksi penawaran dan permintaan. Ada tiga pilar pokok
yang
merupakan
parameter
keragaan
pasar
yaitu:
permintaan,
penawaran, dan harga. Harga terbentuk dari kekuatan permintaan dan penawaran. Harga cenderung meningkat jika terjadi kelebihan permintaan, dan sebaliknya cenderung menurun jika terjadi kelebihan penawaran. Namun di sisi lain harga juga merupakan barometer yang dijadikan acuan oleh konsumen maupun produsen. Bagi konsumen, harga adalah acuan untuk pengambilan keputusan tentang berapa kuantitas yang akan dibeli. Bagi produsen, harga adalah acuan untuk mengambil keputusan tentang berapa kuantitas yang akan dijual.
Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa parameter terpenting pasar
adalah harga. Dalam kebijakan ekonomi, harga adalah variabel yang sangat strategis. Secara historis, instabilitas harga yang ekstrim selalu berkaitan dengan instabilitas sosial dan politik dan karena itu tidak kondusif untuk pembangunan ekonomi. Oleh karena itu pada umumnya, dalam rangka menciptakan situasi yang kondusif bagi pertumbuhan dan pemerataan maka salah satu agenda kebijakan makro ekonomi adalah bagaimana menjaga stabilitas harga. Proyeksi pasar jangka pendek dalam penelitian ini terutama akan difokuskan pada variabel harga. Sesuai cakupan penelitian, berturut-turut akan dianalisis harga beras, jagung, kedele, terigu, dan gula pasir di beberapa kota besar di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan pada Metode Penelitian, salah satu metode peramalan jangka pendek yang sangat populer adalah metode Time Series Method (TSM). Selain TSM metode lain adalah Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) dan sejenisnya (SARIMA dan ARMAX). Kedua metode itu relatif sederhana dan cocok untuk peramalan jangka pendek karena cukup dengan menggunakan data satu variabel (univariate) yakni variabel yang akan dibuat ramalannya itu sendiri dan dapat akurasi hasil peramalannya tinggi. Keterbatasannya adalah tiadanya informasi yang dapat menjelaskan hubungan sebab akibat dari perilaku variasi variabel yang bersangkutan; tetapi hal ini untuk peramalan jangka pendek memang tidak urgen. Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
58
Terkait dengan itu, dalam laporan penelitian sementara ini yang akan diaplikasikan adalah metode TSM dengan exponential smoothing, ARIMA, SARIMA dan ARMAX. Mengacu pada tujuan penelitian, maka keluaran yang diharapkan dari analisis ada tiga: (1) metode peramalan jangka pendek apa yang sesuai; (2) hasil peramalan (proyeksi) parameter yang bersangkutan; dan (3) rekomendasi kebijakan.
4.1. Peramalan Harga 4.1.1. Peramalan Harga dengan Metode Exponential Smoothing 4.1.1.1. Harga Beras Tingkat Eceran Pemantauan dan pengumpulan harga eceran beras dilakukan di hampir semua kota besar ibukota provinsi di Indonesia. Setidaknya ada 3 lembaga yang melaksanakannya yaitu Departemen Perdagangan, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Urusan Logistik (BULOG). Meskipun ada penentuan lokasi pemantauan/pengumpulan yang berbeda namun perbedaan hasil antar ketiganya relatif kecil karena secara empiris memang ada integrasi pasar sehingga beberapa perbedaan tersebut tidak bersifat mendasar. Masing-masing mempunyai keterbatasan dan kelebihan dan karena itu
dan beberapa perperbedaan dalam metode pengumpulan data,
namun sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya maka lembaga yang paling luas cakupannya dalam pengumpulan dan pengelolaan data adalah BPS. Tanpa berpretensi memberikan penilaian terhadap kompetensi masing-masing lembaga tersebut, data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data dari BPS. Aplikasi metode TSM untuk harga eceran beras di lima kota besar di Indonesia tertera pada Tabel 4.1. Terdapat lima metode yang diaplikasikan yaitu Single Smoothing (SS), Double Smoothing (DS), Holt-Winters Non Seasonal (HWO), Holt-Winters Additive Seasonal (HWAS), dan Holt-Winters Multiplicative Seasonal (HWAS). Hasil analisis menunjukkan bahwa (perhatikan huruf cetak tebal) bahwa di semua lokasi, tingkat akurasi peramalan (Root Mean Square Error – RMSE) dengan metode TSM yang tertinggi diperoleh dari aplikasi metode Holt-Winters Multiplicative Seasonal (HWMS), kecuali di Bandung (Holt-Winters Additive Seasonal – HWAS). Perbedaan RMSE yang cukup besar antara metode smoothing dengan memperhitungkan faktor seasonality (HWAS, HWMS) dan Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
59
yang tidak menunjukkan adanya faktor seasonility (SS, DS, HWO) menunjukkan bahwa efek seasonality terhadap variasi antar waktu cukup besar. Tabel 4.1. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode Exponential Smoothing Yang Diaplikasikan Pada Harge Eceran Beras Di Lima Kota Besar Di Indonesia SS
DS
Medan
104.668
114.076
HWO
Jakarta
183.469
Bandung
208.168
Surabaya Makasar
HWAS
HWMS
99.865
85.938
87.810
214.737
182.225
147.097
144.399
247.130
203.092
180.721
191.444
158.425
179.159
145.451
132.510
135.163
192.532
212.076
192.140
177.056
175.642
Dengan metode TSM, pola musiman untuk harga beras tingkat eceran adalah bulanan. Temuan ini menunjukkan bahwa harga kenaikan atau turunnya rata-rata harga eceran pada bulan-bulan tertentu cenderung berulang pada tahun berikutnya dengan pola yang relatif sama. 4.1.1.2. Harga Gabah di Tingkat Petani Mengacu pada wilayah sentra produksi padi di Indonesia, data yang dianalisis dalam penelitian ini ada tiga lokasi yang dijadikan contoh yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Harga gabah yang dianalisis adalah harga Gabah Kering Panen (GKP). Hasil analisis menunjukkan bahwa serupa dengan harga eceran beras, dengan metode exponential smoothing, maka yang menghasilkan akurasi ramalan terbaik adalah metode HWMS (Tabel 4.2).
Perbedaan RMSE yang
cukup besar antara hasil ramalan dengan metode exponential smoothing yang tidak memperhitungkan faktor seasonality dengan yang memperhitungkan faktor seasonality cukup besar. Hal ini, merupakan indikasi bahwa variasi temporal harga gabah tidak menyebar secara acak tetapi mengikuti suatu pola yang sifatnya cenderung reguler. Tabel 4.2. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode Exponential Smoothing Yang Diaplikasikan Pada Harga Gabah (GKP) Di Tiga Provinsi Utama Penghasil Padi Di Indonesia SS
DS
HWO
HWAS
HWMS
Jawa Barat
120.344
136.210
120.217
109.229
105.024
Jawa Timur
100.780
107.957
100.260
80.327
79.689
Sulawesi Selatan
104.740
114.817
104.195
91.190
89.870
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
60
Secara umum, sebagaimana yang kita ketahui pola musiman dalam produksi gabah dalam setahun bukan 12 kali tetapi 2 – 3 kali. Meskipun demikian, pola variasi harga tidaklah berimpit sepenuhnya dengan pola variasi produksi. Penyebabnya adalah: (i) pada cakupan wilayah yang luas (misalnya provinsi) maka setiap bulan selalu ada panen pada meskipun puncaknya hanya ada dua yaitu panen rendengan (MT I) dan panen Gadu (MT II), (ii) sebaran temporal dan spatial "marketed surplus" padi tidak sepenuhnya berimpit dengan "marketable surplus" karena pola penjualan gabah antar petani bermacammacam (tebasan, jual bebas sekaligus, jual bertahap), dan (iii) adanya pengaruh timbal balik antara transmisi harga gabah – beras dalam pasar gabah/beras.
4.1.1.3. Harga Jagung di Tingkat Petani Konsumsi jagung terbesar adalah pabrik pakan, terutama pakan ternak unggas dan pakan ikan/udang. Konsumsi langsung oleh rumah tangga relatif kecil karena sumber karbohidrat dalam konsumsi rumah tangga sebagian besar penduduk Indonesia berasal dari beras. Terkait dengan itu, analisis harga pasar jagung difokuskan pada harga tingkat petani. Data yang dianalisis adalah hasil pemantauan harga yang dilakukan BPS di tiga provinsi utama penghasil jagung yang sekaligus di lokasi tersebut juga terdapat pabrik-pabrik pakan. Lokasinya Provinsi Lampung, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Hasil analisis tertera pada Tabel 4.3. Dari Tabel tersebut tampak bahwa untuk peramalan dengan metode exponential smoothing, hasil terbaik diperoleh dari aplikasi metode HWMS. Ini tampak dari nilai RMSE yang terkecil yang dihasilkannya. Tabel 4.3. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode Exponential Smoothing Yang Diaplikasikan Pada Harga Jagung Di Tingkat Petani Di Tiga Provinsi Utama Penghasil Jagung Di Indonesia SS
DS
HWO
HWAS
HWMS
Lampung
110.856
116.969
110.436
103.072
102.136
Jawa Timur
130.556
142.322
127.302
124.578
120.925
48.033
50.981
46.960
43.687
42.546
Sulawesi Selatan
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
61
4.1.1.4. Harga Gula Pasir di Tingkat Eceran Pasokan gula pasir di pasar eceran berasal dari gula pasir produksi dalam negeri dan gula pasir impor. Pemerintah mempunyai intervensi yang cukup besar baik dalam penentuan harga gula pasir produksi dalam negeri maupun dalam regulasi di bidang impor gula. Data yang dianalisis adalah harga gula tingkat eceran di lima kota besar Indonesia yaitu
Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makasar. Hasil
analisis (Tabel 4.4) menunjukkan bahwa secara umum, metode exponential smoothing yang menghasilkan tingkat ramalan tertinggi adalah Holt-Winters Non Seasonal (HWO). Ini dapat dilihat dari nilai RMSE yang diperoleh di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makasar. Kekecualian adalah di Medan dimana yang lebih akurat adalah aplikasi metode HWAS. Tabel 4.4. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode Exponential Smoothing Yang Diaplikasikan Pada Harga Gula Pasir Di Tingkat Eceran Di Lima Kota Besar Di Indonesia SS
DS
HWO
HWAS
HWMS
Medan
260.181
293.231
259.247
256.358
275.539
Jakarta
171.752
211.027
170.309
183.422
196.833
Bandung
192.796
235.686
191.598
205.086
218.022
Surabaya
196.625
236.742
195.769
203.826
210.352
Makasar
151.915
207.049
150.672
174.604
187.797
Perbedaan kesesuaian metode exponential smoothing untuk peramalan harga gula (jika dibandingkan dengan kasus pada harga beras, gabah, maupun jagung sebagaimana dibahas di atas) tampaknya terkait dengan karakteristik produksi dan pasar komoditas yang bersangkutan. Berbeda dengan padi ataupun jagung, produksi gula tidak bersifat musiman tetapi setahun sekali. Produsen gula adalah perusahaan (umumnya skala besar), sedangkan produsen gabah ataupun jagung adalah usaha skala kecil (pertanian rakyat). Pasar gula di level hulu adalah cenderung oligopolistik, sedangkan pasar gabah di level hulu cenderung oligopsonistik. Terkait dengan hal-hal tersebut di atas maka pengelolaan stok gula berbeda dengan pengelolaan stok gabah ataupun jagung; dan ini berimplikasi pada perbedaan distribusi temporal pasokan di pasar tingkat eceran.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
62
4.1.1.5. Harga Tepung Terigu di Tingkat Eceran Pasar tepung terigu sangat berbeda dengan pasar dengan pasar beras, jagung, dan gula. Hampir semua produksi tepung terigu yang beredar di pasar domestik diproduksi oleh lima perusahan tepung terigu skala besar di Indonesia. Ssementara itu semua bahan baku tepung terigu yakni biji gandum diperoleh dari pasar internasional (impor). Data yang dianalisis untuk peramalan dalam penelitian ini adalah data harga eceran tepung terigu di lima kota besar utama di Indonesia (Medan, Jakarta, bandung, Surabaya, dan Makasar). Hasil analisis tertera pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode Exponential Smoothing Yang Diaplikasikan Pada Harga Eceran Tepung Terigu Di Lima Kota Besar Di Indonesia SS
DS
HWO
HWAS
HWMS
Medan
97.480
132.433
90.300
96.559
100.417
Jakarta
78.602
107.775
76.506
81.519
84.363
Bandung
80.347
100.938
78.384
76.779
76.557
Surabaya
194.161
213.983
192.410
179.891
184.062
Makasar
83.527
107.296
80.687
89.347
91.447
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian metode peramalan dengan exponential smoothing yang diaplikasikan pada harga eceran tepung terigu di tingkat eceran cenderung kasuistis. Di Medan, Jakarta, dan Makasar metode peramalan yang paling akurat adalah HWO, di Bandung metode HWMS atau HWAS, sedangkan di Surabaya adalah metode HWAS. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa di beberapa lokasi berlaku adanya pola musiman, sedangkan di lokasi lainnya pola musimannya tidak jelas.
4.1.1.6. Harga Kedele di Tingkat Eceran Konsumen kedele di Indonesia dapat dipilah menjadi 2 kelompok besar yaitu: (1) Industri Pengolahan Bahan Makanan/Minuman, dan (2) rumah tangga. Porsi terbesar adalah industri pengolahan Bahan Makanan/Minuman, utamanya industri tahu, tempe, dan kecap. Porsi permintaan kedele dari rumah tangga untuk konsumsi langsung relatif kecil, dan utamanya untuk membuat penganan. Pasokan kedele di pasar domestik berasal dari dua sumber, yakni produksi kedele dalam negeri dan pasokan kedele yang diperoleh dari pasar Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
63
internasional (impor). Fluktuasi impor antar tahun relatif tajam karena produksi kedele domestik juga sangat berfluktuasi. Terkait dengan itu, harga kedele di tingkat eceran yang dianalisis dalam kajian ini dibedakan antara kedele produksi domestik (kedele lokal) dan kedele impor. Untuk kedele lokal, yang dianalisis adalah data harga kedele eceran di empat wilayah di Indonesia yaitu Lampung, Jakarta, Surabaya, dan Makasar; sedangkan untuk kedele impor adalah di tiga kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Pembedaan lokasi didasarkan atas sebaran spatial kantong-kantong konsumen utama di wilayah (wilayah terdekat) dengan lokasi-lokasi tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat akurasi yang dihasilkan dari peramalan dengan metode exponential smoothing ternyata bervariasi menurut komoditas dan lokasinya (Tabel 4.6.1 dan Tabel 4.6.2). Tabel 4.6.1. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode Exponential Smoothing Yang Diaplikasikan Pada Harga Eceran Kedele Lokal Di Empat Wilayah Di Indonesia SS
DS
HWO
HWAS
HWMS
Lampung
245.770
266.621
244.378
244.007
245.148
Jakarta
249.189
249.456
213.428
229.862
233.939
Surabaya
232.738
223.967
218.387
219.805
221.777
Makasar
368.920
361.327
358.696
349.388
360.723
Tabel 4.6.2. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode Exponential Smoothing Yang Diaplikasikan Pada Harga Eceran Kedele Impor Di Tiga Kota Besar Di Indonesia RMSE
RMSE
RMSE
Jakarta
299.096
302.876
290.908
Surabaya
267.444
268.297
Bandung
282.025
316.928
RMSE
RMSE
281.269
279.241
251.716
248.330
248.625
280.521
278.433
273.376
Pada penerapan untuk kedele lokal secara umum adalah metode HWO ataupun HWAS (Tabel 4.6.1). Jika dirinci lebih lanjut adalah sebagai berikut. Untuk kondisi di Lampung dan Surabaya metode HWO ataupun HWAS akan menghasilkan tingkat akurasi yang relatif sama, sedangkan untuk di Jakarta dan Makasar berbeda. Di Jakarta, metode paling akurat untuk diaplikasikan adalah HWO, sedangkan di Makasar adalah HWAS. Pada kasus kedele impor, secara umum metode yang paling sesuai adalah HWMS dengan rincian sebagai berikut. Untuk Jakarta dan Surabaya, Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
64
metode HWMS ataupun HWMS dapat diaplikasikan dan akan menghasilkan tingkat akurasi yang hampir sama, sedangkan untuk Bandung adalah metode HWMS.
4.1.2. Peramalan Harga dengan ARIMA Aplikasi metode ARIMA adalah gabungan antara arts dan science. Sebagaimana diterangkan dalam Metode Penelitian, langkah awal sebelum memilih sejumlah alternatif model ARIMA adalah menguji ACF dan PACF-nya agar dapat menentukan apakah model yang sesuai adalah Autoregressive (AR), Moving Average (MA), ataukah ARMA (kombinasi AR dan MA) dan untuk menentukan tingkat "differencing" agar model ARMA tersebut stationer dan invertible. Agar ringkas, dalam laporan penelitian ini correlogram untuk setiap series tersebut tidak disertakan, sedangkan hasil-hasil "runing" model ARIMA dan hasil peramalannya disertakan pada Lampiran. Sajian dalam teks difokuskan pada hasil analisis tentang tingkat akurasi ramalan. Secara garis besar ada dua kategori model ARIMA yang lazim diaplikasikan yaitu model ARIMA yang didalamnya tidak memperhitungkan faktor seasonality dan model ARIMA yang di dalamnya memperhitungkan faktor seasonality (Seasonal ARIMA – SARIMA). Dalam penelitian ini keduanya diaplikasikan. Ukuran tingkat akurasi yang disertakan dalam teks adalah RMSE dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE). Hasil analisis tertera pada Tabel 4.7 – 4.13 (model ARIMA yang paling sesuai untuk masing-masing kasus dicetak tebal). Model ARIMA yang sesuai untuk harga beras di tingkat eceran adalah SARIMA (Tabel 4.7). Untuk harga beras di Medan, model yang paling cocok adalah ARIMA dengan AR = 3, differencing = 1, MA = 3, dan seasonal moving average (SMA) = 12 yang dituliskan sebagai ARIMA(3,1,3) SMA(12). Keberadaan SMA(12) menunjukkan bahwa dari 12 bulan yang terdapat dalam satu tahun ternyata masing-masing bulan memiliki pola yang berbeda dan cenderung berulang setiap tahun. Agak berbeda dengan Medan, pola seasonality untuk harga eceran beras di Jakarta dan Surabaya merupakan kombinasi dari dua pola. Untuk Jakarta, selain masing-masing bulan yang sama membentuk pola yang berbeda, Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
65
sebenarnya ada 6 pasang yang polanya relatif sama dan model yang tepat adalah ARIMA(1,1,2) SMA(6,12). Untuk Surabaya, selain pola individual masingmasing bulan dalam setahun (12), terdapat 5 pasang bulan yang polanya relatif sama (3 pasang yang anggotanya masing-masing terdiri dari dua bulan dan 2 pasang yang masing-masing anggotanya terdiri dari 3 bulan). Karena itu model yang sesuai untuk lokasi ini adalah ARIMA(1,1,1) SMA(5,12). Tabel 4.7. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode ARIMA Yang Diaplikasikan Pada Harga Eceran Beras Di Lima Kota Besar Di Indonesia Lokasi (kota)
Model ARIMA
Medan
ARIMA (1,1,2)
94.808
1.912
ARIMA (3,1,3) SMA(12)
85.162
1.700
SARIMA(2,1,2) SMA(12) Jakarta
Bandung
Surabaya
Makasar
RMSE
MAPE
90.356
1.760
ARIMA(1,1,2) SMA(12)
168.200
2.940
ARIMA(1,1,2)
173.329
3.037
ARIMA(1,1,2) SMA(6,12)
166.008
2.988
ARIMA(1,1,2)
201.146
3.520
ARIMA(2,1,1) SMA(4)
197.538
3.487
ARIMA(1,1,2) SMA(3)
194.856
3.408
ARIMA(1,1,1) SMA(5,12)
130.922
2.818
ARIMA(1,1,1) SMA(12)
133.908
2.846
ARIMA(0,2,1) SMA(12)
137.951
2.803
ARIMA(1,1,1)
199.681
3.433
ARIMA(0,1,0) SAR(3) SMA(3,12)
196.974
3.614
ARIMA(2,2,3) SAR(12) SMA(12)
195.768
3.998
Untuk kondisi harga beras di Bandung, model yang tepat adalah ARIMA(1,1,2) SMA(3). Artinya, setelah data di-differencing satu kali maka AR yang diperlukan cukup lag satu bulan, moving average-nya cukup dua bulan, dan pengaruh seasonality-nya dari 12 bulan yang terdapat dalam satu tahun dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pola variasi harga beras tingkat eceran di Makasar berbeda pula dengan apa yang terjadi di empat kota tersebut di atas. Model yang sesuai adalah ARIMA(2,2,3) SAR(12) SMA(12). Artinya, membutuhkan AR = 2, differencing = 2 kali, dan MA = 3, SAR(Seasonal Autoregressive) = 12, dan SMA (Seasonal Moving Average) = 12. Jadi, masing-masing bulan membentuk pola yang berbeda dan pengaruhnya tidak hanya bersifat moving average, tetapi juga bersifat autoregressive. Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
66
Pola musiman juga berlaku untuk harga gabah di tingkat petani. Hasil analisis untuk kasus di tiga provinsi sentra produksi padi di Indonesia tertera pada Tabel 4.8. Cara membacanya adalah analog dengan apa yang dibahas pada kasus harga eceran beras seperti tersebut di atas. Tabel 4.8. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode ARIMA Yang Diaplikasikan Pada Harga Gabah (GKP) Di Tingkat Petani Tiga Provinsi Sentra Produksi Padi Di Indonesia Lokasi
ARIMA/SARIMA
RMSE
MAPE
Jawa Barat
ARIMA(3,2,0) SMA(4)
118.736
4.675
Jawa Timur
Sulawesi Selatan
ARIMA(2,1,2) SAR(4) SMA(4)
114.299
4.736
ARIMA(2,2,2) SMA(3)
116.085
4.939
ARIMA(0,1,0) SAR(4) SMA(4)
96.150
4.865
ARIMA(0,1,2) SAR(2) SMA(4)
89.410
5.194
ARIMA(0,2,2) SMA(5)
96.885
5.065
ARIMA(1,1,4)
92.316
5.724
ARIMA(0,2,1) SAR(2) SMA(4)
94.948
ARIMA(2,1,2) SAR(4) SMA(4)
93.793
5.804 5.625
Sesuai dengan dugaan sebelumnya, pola seasonality pada harga gabah tidaklah bulanan tetapi cenderung empat bulanan. Fenomena ini sesuai dengan pola umum dari musim panen padi di Indonesia yang lazimnya dapat dipilah menjadi 3 yaitu MT I, MT II, dan MT III. Model yang paling sesuai untuk Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan masing-masing adalah ARIMA(2,1,2) SAR(4) SMA(4), ARIMA(0,1,2) SAR(2) SMA(4), dan ARIMA(2,1,2) SAR(4) SMA(4) ataupun ARIMA(1,1,4). Tabel 4.9. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode ARIMA Yang Diaplikasikan Pada Harga Jagung Pipilan Kering Di Tingkat Petani Tiga Provinsi Sentra Produksi Di Indonesia Lokasi
ARIMA/SARIMA
Lampung
ARIMA(1,1,1) SMA(12)
94.253
ARIMA(1,1,1) SMA(12) no constant
94.360
6.520
ARIMA(1,1,1) SMA(12)
110.335
6.598
ARIMA(1,1,1) SMA(12) no constant
110.435
6.695
ARIMA(2,2,0) SMA(3)
127.240
6.333
ARIMA(0,1,0) SMA(3)
44.866
2.789
ARIMA(1,1,1) SAR(12) SMA(12)
43.270
2.702
Jawa Timur
Sulawesi Selatan
RMSE
MAPE 6.501
Sebagaimana tampak pada Tabel 4.9, pada harga eceran jagung pipilan kering model yang sesuai untuk Lampung dan Jawa Timur adalah ARIMA(1,1,1) Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
67
SMA(12). Berbeda dengan itu, untuk harga jagung di Sulawesi Selatan maka model yang lebih tepat adalah ARIMA(1,1,1) SAR(12) SMA(12). Pada harga eceran gula, model yang sesuai adalah SARIMA. Pengaruh musiman bersifat moving average dengan jumlah season 10. Ini berlaku untuk kasus di Medan, Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Untuk di Makasar, jumlah season ada 9 (Tabel 4.10). Tabel 4.10. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode ARIMA Yang Diaplikasikan Pada Harga Gula Di Tingkat Eceran Di Lima Kota Besar Di Indonesia Lokasi
ARIMA/SARIMA
Medan
ARIMA(1,1,1)
254.363
3.894
ARIMA(1,1,1) SMA(10)
247.805
4.134
ARIMA(1,2,1)
158.048
2.728
ARIMA(2,1,2) SMA(10)
149.236
2.610
ARIMA(1,1,1)
188.575
2.986
ARIMA(2,1,2) SMA(10)
175.543
2.780
ARIMA(1,1,1)
192.277
3.131
ARIMA(2,1,2) SMA(10)
170.278
2.937
Jakarta
Bandung
Surabaya
Makasar
RMSE
MAPE
ARIMA(1,1,2)
136.004
2.227
ARIMA(1,1,2) SMA(9)
133.340
2.211
Pola perilaku harga eceran tepung terigu dan kedele sangat berbeda dengan komoditi yang telah dibahas di atas. Pada komoditas ini, pola musimannya cenderung beragam. Model yang sesuai untuk harga eceran tepung terigu pada masing-masing lokasi yang dianalisis tertera pada Tabel 4.11, sedangkan untuk harga eceran kedele lokal dan kedele impor masing-masing dapat disimak pada Tabel 4.12 dan 4.13. Tabel 4.11. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode ARIMA Yang Diaplikasikan Pada Harga Tepung Terigu Di Tingkat Eceran Di Lima Kota Besar Di Indonesia Lokasi/Kota
ARIMA/SARIMA
Medan
ARIMA(3,1,0) SMA(10)
79.295
1.460
ARIMA(2,1,1) SMA(4)
78.071
1.539
ARIMA(0,1,0) SAR(2) SMA(2)
66.122
1.384
ARIMA(1,1,2) SMA(12)
61.535
1.249
ARIMA(3,1,0) SMA(2)
68.253
1.476
ARIMA(1,1,2) SAR(12) SMA(12)
62.970
1.346
182.755
2.925
Jakarta
Bandung
Surabaya
ARIMA(1,1,1) SMA(2)
RMSE
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
MAPE
68
Makasar
ARIMA(0,1,0) SAR(12) SMA(12)
181.423
3.129
ARIMA(0,1,0) SAR(5) SMA(5)
174.900
3.219
ARIMA(1,1,1)
74.059
1.219
ARIMA(1,1,1) SAR(12) SMA(12)
78.286
1.392
Tabel 4.12. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode ARIMA Yang Diaplikasikan Pada Harga Kedele Lokal Di Tingkat Eceran Di Empat Kota Besar Di Indonesia Lokasi/Kota
ARIMA/SARIMA
RMSE
Lampung
ARIMA(2,1,3)
188.491
3.044
ARIMA(2,1,3) SMA(12)
188.996
2.603
ARIMA(1,1,2)
217.063
2.551
ARIMA(2,1,2)
201.678
2.453
ARIMA(2,1,2) SMA(12)
188.154
2.915
ARIMA(1,1,1)
241.232
2.722
ARIMA(1,1,1) SMA(3,9)
228.763
3.218
Jakarta
Surabaya
Makasar
MAPE
ARIMA(1,1,1) SMA(12)
346.309
5.857
ARIMA(1,1,2) SMA(8,12)
329.240
5.489
ARIMA(0,2,2) SMA(12)
345.199
5.442
Tabel 4.13. Tingkat Akurasi Peramalan Dengan Metode ARIMA Yang Diaplikasikan Pada Harga Kedele Impor Di Tingkat Eceran Di Tiga Kota Besar Di Indonesia Lokasi/Kota
ARIMA/SARIMA
Jakarta
ARIMA(1,1,0) SMA(10)
283.439
3.280
ARIMA(1,2,1)
294.307
3.242
ARIMA(0,1,1) SMA(9,10)
272.520
3.294
ARIMA(2,1,2)
238.909
3.375
ARIMA(1,1,1) SMA(4)
243.904
3.216
ARIMA((1,1,1) SMA(11)
259.364
3.809
Bandung
Surabaya
RMSE
MAPE
ARIMA(0,2,1) SMA(10)
273.472
4.024
ARIMA(2,2,0) SMA(3,12)
254.590
3.996
Tabel 4.14 berikut ini menyajikan perbandingan tingkat akurasi hasil peramalan (RMSE) yang tertinggi dari masing-masing metode tersebut di atas. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesimpulan dan rekomendasi mengenai metode mana yang sebaiknya diaplikasikan.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
69
Tabel 4.14. RMSE (Angka Dalam Kurung) Hasil Peramalan Dengan Masing-Masing Metode Yang Diaplikasikan Dalam Kajian Variabel yang dikaji
Harga Eceran Beras
Harga Gabah Tingkat Petani
Harga Jagung di Tingkat Petani
Harga Eceran Gula
Harga Eceran Terigu
Harga Eceran Kedele Lokal
Harga Eceran Kedele Impor
Exponential
Lokasi
ARIMA
Smoothing (ES)
Model
RMSE
Kesimpulan
Medan
HWMS(87.61)
ARIMA (3,1,3) SMA(12)
85.162
Jakarta
HWMS(138.33)
ARIMA(1,1,2) SMA(6,12)
166.008
ES/ARIMA
Bandung
HWAS(185.56)
ARIMA(1,1,2) SMA(3)
194.856
ES
Surabaya
HWMS(124.97)
ARIMA(1,1,1) SMA(5,12)
130.922
ES
Makasar
HWMS(184.85)
ARIMA(2,2,3) SAR(12) SMA(12)
195.768
ES
Jabar
HWMS(105.02)
ARIMA(2,1,2) SAR(4) SMA(4)
114.299
ES ES
ES
Jatim
HWMS(79.69)
ARIMA(0,1,2) SAR(2) SMA(4)
89.410
Sulsel
HWMS(89.87)
ARIMA(1,1,4)
92.316
ES
Lampung
HWMS(102.136)
ARIMA(1,1,1) SMA(12)
94.253
ARIMA ARIMA
Jawa Timur
HWMS(120.925)
ARIMA(1,1,1) SMA(12)
110.335
Sulawesi Selatan
HWMS(42.546)
ARIMA(1,1,1) SAR(12) SMA(12)
43.270
Medan
HWAS(256.36)
ARIMA(1,1,1) SMA(10)
247.805
Jakarta
HWO(170.31)
ARIMA(2,1,2) SMA(10)
149.236
ARIMA
Bandung
HWO(191.60)
ARIMA(2,1,2) SMA(10)
175.543
ARIMA
Surabaya
HWO(195.77)
ARIMA(2,1,2) SMA(10)
170.278
ARIMA
Makasar
HWO(150.67)
ARIMA(1,1,2) SMA(9)
133.340
ARIMA
ES/ARIMA ARIMA
Medan
HWO(90.30)
ARIMA(2,1,1) SMA(4)
78.071
ARIMA
Jakarta
HWO(76.51)
ARIMA(1,1,2) SMA(12)
61.535
ARIMA
Bandung
HWMS(76.56)
ARIMA(1,1,2) SAR(12) SMA(12)
62.970
Surabaya
HWAS(179.89)
ARIMA(0,1,0) SAR(5) SMA(5)
174.900
Makasar
HWO(80.69)
ARIMA(1,1,1)
74.059
ARIMA
Lampung
HWO(213.43)
ARIMA(2,1,3) SMA(12)
188.996
ARIMA
Jakarta
HWO(218.39)
ARIMA(2,1,2) SMA(12)
188.154
ARIMA
Surabaya
HWAS(244.01)
ARIMA(1,1,1) SMA(3,9)
228.763
ARIMA ARIMA
ARIMA ES/ARIMA
Makasar
HWAS(349.39)
ARIMA(1,1,2) SMA(8,12)
329.240
Jakarta
HWMS(279.24)
ARIMA(0,1,1) SMA(9,10)
272.520
ES/ARIMA
Bandung
HWAS(248.33)
ARIMA(2,1,2)
238.909
ARIMA
Surabaya
HWMS(273.38)
ARIMA(2,2,0) SMA(3,12)
254.590
ARIMA
Dari tabel tersebut tampak bahwa untuk harga eceran beras dan harga gabah di tingkat petani maka metode exponential smoothing menghasilkan akurasi yang lebih baik daripada ARIMA. Dari lima metode exponential smoothing tersebut yang paling baik adalah Holt-Winters Multiplicative Seasonal (HWMS). Untuk komoditas jagung, gula, terigu, dan kedele aplikasi metode ARIMA menghasilkan tingkat akurasi peramalan yang lebih baik daripada metode esponential
smoothing.
Sebagian
besar
adalah
ARIMA
dengan
memperhitungkan faktor seasonality yakni SARIMA. Kesimpulan umum adalah bahwa untuk peramalan harga komoditas yang banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah (misal beras, gabah) metode
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
70
exponential smoothing dapat diandalkan. Di sisi lain, untuk peramalan harga komoditas yang perilakunya banyak dipengaruhi oleh harga internasional maka metode ARIMA lebih handal.
4.2. Peramalan Sisi Suplai (Produksi) 4.2.1. Peramalan Produksi dengan Exponential Smoothing Method 4.2.1.1. Produksi Padi Pola produksi padi, umumnya produk pertanian memiliki ketergantungan pada kondisi alam, atau dapat dikatakan tergantung pada musimnya. Seperti terlihat
dari
hasil
estimasi
exponential
smoothing
produksi
padi
yang
menunjukkan adanya faktor seasonal yang terlihat dari nilai Root Mean Square Error (RMSE) yang relatif kecil dibanding dengan metode exponential smoothing lainnya. Tabel 4.15. Hasil Estimasi Exponential Smoothing Produksi Padi
Padi
Komoditi
Single Smoothing SSR RMSE RMSPE 3.19E+15 6612340 48.05 Double Smoothing SSR RMSE RMSPE 3.04E+15 6452146. 49.91 Holt Winter No Seasonal SSR RMSE RMSPE 3.44E+15 6860748. 52.49 Holt Winter Additive Seasonal SSR RMSE RMSPE 2.96E+15 6370249. 54.95 Holt Winter Multiplicative Seasonal SSR RMSE RMSPE 2.95E+15 6360850. 54.88
Walaupun model ini mampu menjelaskan adanya faktor musiman dalam pola produksi padi, namun untuk keperluan peramalan, dengan nilai RMSPE lebih dari 5 persen, perlu dipertimbangkan metode lain sebagai model peramalan, misalnya model ARIMA, ARMAX atau model causal econometric method.
4.2.1.2. Produksi Jagung Berbeda dengan peramalan produksi padi, pada peramalan produksi jagung, berdasarkan data yang digunakan (1990-2008, caturwulanan) tidak
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
71
terbukti adanya pola musiman. Pada beberapa periode, produksi jagung pada caturwulan III, memiliki pola yang berbeda, sehingga meng-offset pola musiman selama periode data yang digunakan. Tabel 4.16. Hasil Estimasi Exponential Smoothing Produksi Jagung
Jagung
Komoditi
Single Smoothing SSR RMSE RMSPE 2.36E+14 1797826 62.24 Double Smoothing SSR RMSE RMSPE 2.05E+14 1677626 65.97 Holt Winter No Seasonal SSR RMSE RMSPE 2.15E+14 1717510 67.19 Holt Winter Additive Seasonal SSR RMSE RMSPE 2.11E+14 1700286 74.3 Holt Winter Multiplicative Seasonal SS RMSE RMSPE 2.10E+14 1694281 73.87
Untuk keperluan peramalan, dari hasil estimasi metode exponential smoothing, berdasarkan rule of thumb metode tersebut tidak cocok digunakan sebagai metode peramalan. Nilai RMSPE yang dihasilkan dari estimasi tersebut lebih dari 5 persen. Dengan demikian, untuk meramalkan/memproyeksikan produksi padi perlu dibangun dari metode yang lain.
4.2.1.3. Produksi Kedele Salah satu produk pertanian yang produksinya memiliki kecenderungan menurun adalah kedele. Dari tahun ke tahun skala produksi kedele mengalami penurunan, dan dilihat dari pertumbuhan produksi dalam caturwulanan (berdasarkan musim tanam) fluktuatif, tetapi memiliki kecenderungan atau pola yang sama. Sehingga, dengan menggunakan nilai RMSE dari estimasi metode exponential smoothing, metode peramalan produksi kedele yang cocok adalah metode Holt Winter Additive Seasonal, yang juga sekaligus mmperlihatkan pola musiman pada produksi kedele. Seperti halnya pada produksi beras dan jagung, metode exponential smoothing belum dapat memberikan keyakinan untuk digunakan sebagai metode
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
72
peramalan produksi kedele. Hal ini terlihat dari nilai RMSE yang masih cukup besar, lebih dari 5 persen (22 persen – 24 persen). Tabel 4.17. Hasil Estimasi Exponential Smoothing Produksi Kedele
Kedele
Komoditi
Single Smoothing SSR RMSE RMSPE 23.95 6.86E+11 96956.6 Double Smoothing SSR RMSE RMSPE 22.79 6.32E+11 93033.2 Holt Winter No Seasonal SSR RMSE RMSPE 22.92 6.28E+11 92779.3 Holt Winter Additive Seasonal SSR RMSE RMSPE 22.11 6.20E+11 92149.9 Holt Winter Multiplicative Seasonal
SS RMSE RMSPE 22.94 6.27E+11 92712
4.2.2. Peramalan Produksi dengan Model ARIMA, SARIMA, ARMAX dan Causal Econometric Method (CE-M) Dalam sub bab ini, model yang akan disampaikan adalah hanya modelmodel yang memiliki tingkat kecocokan sebagai model peramalan yang baik, artinya tidak semua model (ARIMA, SARIMA, ARMAX dan Causal Econometric Method) akan dibahas.
4.2.2.1. Produksi Padi Berdasarkan hasil estimasi, terdapat 2 (dua) alternatif model yang dapat dijadikan sebagai model peramalan produksi padi, yaitu: (i) Model ARMAX, dimana produksi padi merupakan fungsi dari pola pergerakan harga sebelumnya dan harga eceran beras. Nilai Mean Absolute Percent Error (MAPE) model ini adalah 4.63 persen; (ii) Model CE-M, dimana produksi padi merupakan fungsi dari rasio harga padi petani dan urea, dan juga fungsi dari dummy musim panen/tanam. Nilai MAPE dari model ini lebih kecil dibanding dengan model yang pertama, yaitu sebesar 0.39 persen.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
73
Tabel 4.18. Hasil Estimasi Model ARIMA/SARIMA/ARMAX/CE-M Produksi Padi Variabel Heberas dum1 dum2 ar(1) ma(1) d(lnratiohppadi_ur)
PRODPADI tstat MAPE * * 4.63 * * *
D(LNPRODPADI) tstat MAPE * *
0.39
***
Keterangan: prodpadi: produksi padi; lnprodpadi: log(produksi padi); heberas: harga eceran beras; d(lnratiohppadi_ur): d(log(harga padi petani : harga urea); dum1 dan dum2: dummy musim panen/tanam.
Pada dasarnya kedua model di atas memenuhi rule of thumb model peramalan yang baik, dilihat dari nilai error maupun tingkat kesederhanaan. Tetapi, berdasarkan nilai error terkecil, dapat dipilih model terbaik sebagai model peramalan, yaitu model CE-M. Oleh karena itu, dalam melakukan proyeksi produksi padi jangka pendek, peran rasio harga padi tingkat petani – harga urea dan waktu/musim sangat penting.
4.2.2.2. Produksi Jagung
Dengan menggunakan metode exponential smoothing, model yang dihasilkan tidak cocok digunakan untuk peramalan produksi jagung, oleh karena itu diperlukan alternatif model lain. Berdasarkan hasil estimasi, diperoleh 2 (dua) model peramalan yang cocok digunakan untuk meramalkan produksi jagung, yaitu: (i) Model ARMAX_1, dimana produksi jagung merupakan fungsi dari produksi jagung periode sebelumnya dan dummy musim panen/tanam. Model ini memiliki MAPE yang sangat kecil yaitu 0.88 persen; (ii) Model ARMAX_2, dimana produksi jagung merupakan fungsi dari produksi jagung periode sebelumnya, harga jagung eceran dua periode sebelumnya dan dummy musim panen/tanam. Model kedua ini memiliki nilai MAPE yang lebih kecil dari model pertama, yaitu 0.78 persen. Oleh karena itu, kedua model ini dapat digunakan sebagai model peramalan produksi jagung.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
74
Tabel 4.19 Hasil Estimasi Model ARIMA/SARIMA/ARMAX/CE-M Produksi Jagung
Variabel Produksi Jagung d(lnprodjag(-1)) dum1 dum2 d(lnhejag(-2))
D(LNPRODJAG) tstat * ** *
MAPE
0.88
tstat
MAPE
* * * *
0.78
Keterangan: d(lnprodjag): d(log(produksi jagung)); d(lnheberas): d(log( harga eceran beras)); dum1 dan dum2: dummy musim panen/tanam.
4.2.2.3. Produksi Kedele Dalam membangun model peramalan produksi kedele, terlihat perbedaan yang cukup jelas antara model-model peramalan yang dihasilkan. Model yang dihasilkan yaitu: (i) Model SARIMA, dimana peramalan produksi kedele dapat menggunakan atau melihat pergerakan harga pada periode sebelumnya, ratarata harga 3 periode sebelumnya dan harga tahun sebelumnya; (ii) Model ARMAX, dimana peramalan produksi kedele dapat menggunakan pergerakan harga eceran kedele periode sebelumnya, produksi kedele periode sebelumnya, dan dummy musim tanam. Tabel 4.20 Hasil Estimasi Model ARIMA/SARIMA/ARMAX/CE-M Produksi Kedele
Variabel Produksi Kedele ar(1) sar(3) ma(3) d(lnprodked(-1)) d(lnheked(-1)) dum1 dum2
PRODKEDELE tstat MAPE * * *
D(LNPRODKED) tstat MAPE
11.81 * ** * *
0.91
Keterangan: d(lnprodked): d(log(produksi kedele)); d(lnheked): d(log( harga eceran kedele)); dum1 dan dum2: dummy musim panen/tanam.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
75
Dengan melihat nilai MAPE, maka model yang cocok digunakan sebagai model peramalan produksi kedele adalah model ARMAX.
4.3. Peramalan Sisi Permintaan (Konsumsi) 4.3.1. Peramalan Konsumsi dengan Exponential Smoothing Method 4.3.1.1. Konsumsi Beras Dengan menggunakan data 1990 – 2008 caturwulanan, tidak terlihat adanya pola musiman, artinya konsumsi beras tidak mengikuti pola musim tanam atau panen. Untuk keperluan peramalan, dengan nilai RMSPE lebih dari 5 persen, perlu dipertimbangkan metode lain sebagai model peramalan, misalnya model ARIMA, ARMAX atau model causal econometric method. Tabel 4.21 Hasil Estimasi Model Exponential Smoothing Konsumsi Beras Komoditi
Beras
Single Smoothing SSR RMSE RMSPE 9.31E+14 4041052. 54.09 Double Smoothing SSR RMSE RMSPE 9.06E+14 3987438. 50.65 Holt Winter Non Seasonal SSR RMSE RMSPE 1.12E+15 4425820. 52.04 Holt Winter Additive Seasonal SSR RMSE RMSPE 9.19E+14 4015749. 54.14 Holt Winter Multiplicative Seasonal SSR RMSE RMSPE 9.20E+14 4017270. 54.09
4.3.1.2. Konsumsi Jagung Sama halnya dengan konsumsi jagung, tidak terlihat adanya pola musiman, artinya konsumsi beras tidak mengikuti pola musim tanam atau panen. Hal ini dapat disebabkan sebagian besar konsumsi jagung adalah oleh industri pakan ternak.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
76
Tabel 4.22 Hasil Estimasi Model Exponential Smoothing Konsumsi Jagung Komoditi
Jagung
Single Smoothing SSR RMSE RMSPE 1.77E+14 1761972. 57.38 Double Smoothing SSR RMSE RMSPE 1.56E+14 1652257. 60.21 Holt Winter Non Seasonal SSR RMSE RMSPE 1.91E+14 1831237. 63.61 Holt Winter Additive Seasonal SSR RMSE RMSPE 1.60E+14 1676127. 68.07 Holt Winter Multiplicative Seasonal SSR RMSE RMSPE 1.60E+14 1673305. 67.08
Untuk keperluan peramalan, dengan nilai RMSPE lebih dari 5 persen, perlu dipertimbangkan metode lain sebagai model peramalan, misalnya model ARIMA, ARMAX atau model causal econometric method.
4.3.1.3. Konsumsi Kedele Berbeda dengan konsumsi beras dan jagung, konsumsi kedele terlihat adanya pola musiman. Hal ini dapat disebabkan oleh pola musiman dan pergerakan harga di luar negeri karena sebagian suplai kedele domestik berasal dari impor. Tabel 4.23 Hasil Estimasi Model Exponential Smoothing Konsumsi Kedele Komoditi
Kedele
Single Smoothing SSR RMSE RMSPE 5.31E+11 96535.50 20.61 Double Smoothing SSR RMSE RMSPE 5.31E+11 96503.05 20.30 Holt Winter Non Seasonal SSR RMSE RMSPE 5.79E+11 100781.2 20.35 Holt Winter Additive Seasonal SSR RMSE RMSPE 5.03E+11 93983.61 19.14 Holt Winter Multiplicative Seasonal SSR RMSE RMSPE 93660.62 19.41 5.00E+11
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
77
Untuk keperluan peramalan, dengan nilai RMSPE lebih dari 5 persen, perlu dipertimbangkan metode lain sebagai model peramalan, misalnya model ARIMA, ARMAX atau model causal econometric method.
4.3.2. Peramalan Konsumsi dengan Model ARIMA, SARIMA, ARMAX dan Causal Econometric Method (CE-M) 4.3.2.1. Konsumsi Beras Berdasarkan hasil estimasi, model yang dapat digunakan sebagai model peramalan konsumsi beras adalah model SARIMA. Model ini menjelaskan bahwa konsumsi beras berkorelasi dengan konsumsi periode sebelumnya, tahun sebelumnya dan rata-rata konsumsi dalam satu tahun. Nilai MAPE dari model ini yaitu sebesar 1.11 persen. Tabel 4.24. Hasil Estimasi Model ARIMA/SARIMA/ARMAX/CE-M Konsumsi Beras
Variable
D1BERAS TSTAT
MAPE
* ** *
1.11
AR(1) SAR(3) MA(3)
Keterangan: d1beras : konsumsi beras
Dengan menggunakan rule of thumb model peramalan yang baik, dilihat dari nilai error maupun tingkat kesederhanaan, model ini dapat digunakan sebagai model peramalan konsumsi beras.
4.3.2.2. Konsumsi Jagung Berdasarkan hasil estimasi, model yang dapat digunakan sebagai model peramalan konsumsi beras ada 2 (dua) alternatif, yaitu: (i) Model SARIMA, dimana konsumsi jagung berkorelasi dengan konsumsi periode sebelumnya, tahun sebelumnya dan rata-rata konsumsi dalam satu tahun; (ii) Model ARMAX, dimana konsumsi jagung berkorelasi dengan populasi ayam, konsumsi periode sebelumnya, tahun sebelumnya dan rata-rata konsumsi dalam satu tahun.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
78
Tabel 4.25. Hasil Estimasi Model SARIMA Konsumsi Jagung
Variable AR(1) SAR(3) MA(3)
D2 Tstat
MAPE
* * *
3.36
Keterangan: d2: konsumsi jagung
Nilai MAPE dari kedua model ini yaitu: (i) MAPE Model SARIMA: 3.36; (ii) MAPE Model ARMAX: 3.13. Dengan demikian, kedua model ini dapat digunakan untuk peramalan konsumsi jagung. Tabel 4.26. Hasil Estimasi Model ARMAX Konsumsi Jagung
Variable POP_AYAM(-1) AR(1) SAR(3) MA(3)
D2 Tstat
MAPE
* * * *
3.13
Keterangan: d2: konsumsi jagung; pop_ayam: populasi ayam
4.3.2.3. Konsumsi Kedele Berdasarkan hasil estimasi dari beberapa model, model yang saat ini paling mendekati sebagai model peramalan konsumsi kedele adalah model ARMAX, dimana konsumsi kedele merupakan fungsi dari rata-rata konsumsi selama setahun dan harga eceran kedele periode sebelumnya. Nilai MAPE model ini adalah 12.74. Tabel 4.27 Hasil Estimasi Model ARMAX Konsumsi Kedele
Variable HEKEDELE(-1) MA(3)
D3 Prob.
MAPE
0.0000 0.0000
12.74
Keterangan: d3: konsumsi kedele
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
79
4.4. Proyeksi Harga, Produksi dan Konsumsi Pada sub bab ini akan disampaikan penggunaan model yang sudah dibangun pada sub bab – sub bab sebelumnya dalam rangka mensinergikan model proyeksi harga, produksi dan konsumsi. Data yang akan digunakan adalah data dari tahun 1990 – 2007, sedangkan proyeksi hanya untuk Caturwulan I 2008. Hal-hal yang penting dalam proyeksi adalah arah pergerakan dan nilainya.
4.4.1. Pasar Beras Dari hasil estimasi model yang sudah dibangun di peroleh hasil proyeksi yang tergambar di bawah ini:
6000
19500 17500
5000 15500 4000 13500
n o t 0 0 0
3000
11500
gk / p R
9500 2000 7500 1000 5500 0
3500 0 0 0 2
0 0 0 2
0 0 0 2
1 0 0 2
1 0 0 2
1 0 0 2
2 0 0 2
2 0 0 2
Konsumsi Beras
2 0 0 2
3 0 0 2
3 0 0 2
3 0 0 2
4 0 0 2
4 0 0 2
Produksi Beras
4 0 0 2
5 0 0 2
5 0 0 2
5 0 0 2
6 0 0 2
6 0 0 2
6 0 0 2
7 0 0 2
7 0 0 2
7 0 0 2
8 0 0 2
Harga Eceran Beras
Gambar 4.1. Proyeksi Harga, Produksi dan Konsumsi Beras Dilihat dari arah pergerakannya, harga beras eceran pada awal tahun (Caturwulan I) kecenderungannya selalu meningkat, terutama sejak tahun 2005. Hal ini di sebabkan oleh kenaikan HPP Beras/Gabah yang selalu terjadi pada awal tahun sebagai insentif peningkatan produksi pada caturwulan II dan III yang biasanya terjadi penurunan. Berdasarkan hasil proyeksi, pada awal tahun 2008, terjadi peningkatan produksi, peningkatan harga dan konsumsi yang relatif stabil. Pada caturwulan I
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
80
2008 akan terjadi surplus pasokan beras. Jika dibandingkan dengan data aktual, harga
beras
eceran
pada
awal
tahun
2008
adalah
Rp5040/kg
dan
kecenderungannya meningkat (hasil proyeksi : Rp4941/kg dan kecenderungan meningkat). Produksi beras aktual pada caturwulan I 2008 adalah 19,1 juta ton dan kecenderungannya meningkat (hasil proyeksi: 18,2 juta ton dan cenderung meningkat). Konsumsi beras aktual pada caturwulan I 2008 adalah 12,4 juta ton dan kecenderungannya meningkat (hasil proyeksi: 12,03 juta ton dan kecenderungannya meningkat).
4.4.2. Pasar Jagung Dari hasil estimasi model yang sudah dibangun di peroleh hasil proyeksi yang tergambar di bawah ini:
9000
5000
8000
4500 4000
7000
3500
6000
3000
n 5000 to 0 4000 0 0
gk / p R
2500 2000
3000
1500
2000
1000
1000
500
0
0 2000 2000 2001 2002 2002 2003 2004 2004 2005 2006 2006 2007 2008 Konsumsi Jagung
Produksi Jagung
Harga Ece ran Jagung
Gambar 4.2. Proyeksi Harga, Produksi dan Konsumsi Jagung Hasil proyeksi harga jagung eceran pada caturwulan I 2008 menunjukkan adanya peningkatan 5 persen, sejalan dengan nilai harga eceran aktualnya yang meningkat 4 persen. Proyeksi produksi jagung pada caturwulan I 2008 juga menunjukkan adanya peningkatan sebesar 8 persen dan data aktualnya menunjukkan peningkatan sebesar 8 persen. Proyeksi konsumsi jagung pada caturwulan I 2008 menunjukkan adanya peningkatan 17,5 persen sedangkan konsumsi aktualnya hanya terjadi peningkatan 21,6 persen. Perbedaan yang Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
81
cukup besar antara nilai proyeksi konsumsi dan aktualnya karena disebabkan konsumsi sangat terkait dengan variabel-variabel ketidakpastian.
4.4.3. Pasar Kedele Dari hasil estimasi model yang sudah dibangun di peroleh hasil proyeksi yang tergambar di bawah ini:
700
6000
600
5000
500 4000 400
gk / p R
3000
n300 o t 0 0 0
2000
200 1000
100
0
0 0 0 0 2
0 0 0 2
0 0 0 2
1 0 0 2
1 0 0 2
1 0 0 2
2 0 0 2
Konsumsi Kedele
2 0 0 2
2 0 0 2
3 0 0 2
3 0 0 2
3 0 0 2
4 0 0 2
4 0 0 2
4 0 0 2
Produksi Kedele
5 0 0 2
5 0 0 2
5 0 0 2
6 0 0 2
6 0 0 2
6 0 0 2
7 0 0 2
7 0 0 2
7 0 0 2
8 0 0 2
Harga Eceran Kedele Lokal
Gambar 4.3. Proyeksi Harga, Produksi dan Konsumsi Kedele Hasil proyeksi harga kedele lokal eceran pada caturwulan I 2008 menunjukkan stabil dengan peningkatan kurang dari 1 persen. tetapi nilai harga eceran aktualnya yang meningkat 4 persen. Hal ini terkait dengan pasokan kedele domestik tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga berasal dari impor. Proyeksi produksi kedele pada caturwulan I 2008 menunjukkan adanya peningkatan sebesar 9 persen dan data aktualnya menunjukkan peningkatan sebesar 31,1 persen. Pengaruh pasar kedele luar negeri terlihat sangat berpengaruh pada produksi kedele lokal. Sedangkan proyeksi konsumsi kedele pada caturwulan I 2008 mengalami penurunan sebesar 4,1 persen sedangkan konsumsi pada data aktual terjadi penurunan sebesar 12 persen.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
82
4.5. Hasil Estimasi Persamaan Simultan Persamaan simultan merupakan salah satu metode ekonometrik kausalitas yang menekankan pada sebab akibat variabel secara simultan. Di satu sisi satu variabel dapat menjadi variabel penjelas (yang mempengaruhi), di sisi lain, variabel tersebut juga dapat menjadi variabel yang dijelaskan (yang dipengaruhi). Oleh karena itu model persamaan simultan dapat menggambarkan secara komprehensif sistem yang bekerja di pasar. Pada bab ini, model persamaan simultan akan digunakan untuk menggambarkan pasar beras, jagung dan kedele. Derajat nyata dari koefisien parameter ditunjukkan oleh nilai probabilitas yang ada dalam “(…)”. Jika nilainya mendekati "nol" berarti semakin significant. Arti setiap simbol dapat disimak pada Bab Metodologi Penelitian. Hasil estimasi model ekonometrik sistem komoditas beras, jagung, dan kedele adalah sebagai berikut.
Persamaan 1. Luas Areal Panen Padi Model:
(
)
H
Apadi = 3741.37 + 1564.65 HPpadi + 0.200 LApadi − 0.975.75 D1 − 2710.80 D2 kom (0.0026) (0.1157) (0.0007) (0.0001) DW = 1.9603 Berdasarkan model di atas terlihat bahwa luas areal panen padi tergantung pada harga padi di tingkat petani relative terhadap harga komoditi lain dan periode musim tanam. Hal yang penting dari hasil ini adalah membuktikan bahwa ada keterkaitan yang kuat antara harga padi di tingkat petani dengan luas areal panen. Sehingga untuk mendorong kebijakan ekstensifikasi pertanian khususnya untuk komoditi padi dapat menggunakan insentif yang terkait dengan peningkatan harga padi di tingkat petani, misalnya adalah Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Persamaan 2. Produktifitas Padi Model:
(
H
)
V padi = 30.1531 + 0.6671 HPpadi + 0.2647 LV padi + 0.0619T Urea (0.3328) (0.0647) (0.0002) DW = 2.0302 Berdasarkan
model
di
atas,
produktifitas
padi
dipengaruhi
oleh
produktifitas periode sebelumnya dan teknologi. Ada dua hal penting yang dapat Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
83
dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengambilan kebijakan, yaitu: pertama, harga padi di tingkat petani tidak mempengaruhi produktifitas. Kebijakan insentif melalui HPP ternyata spesifik hanya mempengaruhi luas areal panen padi. Produktifitas terkait dengan metode kerja petani dan kebiasaan. Kedua, produktifitas dipengaruhi oleh teknologi. Sehingga untuk mendorong kebijakan peningkatan produktifitas produksi padi/beras dapat menggunakan insentif yang terkait peningkatan teknologi.
Persamaan 3. Permintaan Beras Model:
Dberas = 241.929 − 71.142 H Eberas + 57.059 H Rtrgu + 40.061POP + 0.1537 I cap (0.2623) (0.1661) (0.1025) (0.6306) +0.860 Dhr − 714.288 Dref + 198.480 LDberas (0.9910) (0.0009) (0.0013) DW = 1.8387 Model permintaan beras di atas menunjukkan bahwa permintaan beras periode sebelumnya mempengaruhi secara positif permintaan beras sekarang. Dengan model ini, dapat dikatakan bahwa konsumsi beras secara terus-menerus akan meningkat. Hal ini didukung juga oleh pertambahan penduduk (populasi), walaupun dalam model di atas variabel populasi signifikansinya masih di bawah 90 persen. Hal lain yang juga penting adalah: pertama, harga eceran beras tidak mempengaruhi permintaan beras. Hal ini menguatkan opini umum bahwa beras merupakan bukan barang normal. Kedua, berdasarkan data yang digunakan, periode hari raya tidak signifikan mempengaruhi permintaan beras. Dengan demikian maka, dapat dikatakan bahwa kenaikan harga beras yang sering terjadi pada atau menjelang hari raya bukan karena permintaan yang meningkat melainkan ada faktor lain.
Persamaan 4. Harga Eceran Beras Model:
H Eberas = −0.292 + 0.311H Ppadi + 0.070 H Mberas + 0.823LH Eberas (0.0010) (0.0014) (0.0001) DW = 1.9353 Model harga eceran beras di atas menunjukkan bahwa harga eceran beras dipengaruhi oleh harga padi di tingkat petani, harga eceran periode
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
84
sebelumnya dan harga impor. Koefisien parameter harga impor lebih kecil dibandingkan dengan koefisien parameter lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh: a. Dalam 5 (lima) tahun terakhir kebijakan impor beras dikendalikan dan mengutamakan peningkatan pengadaan beras dalam negeri. b. Dalam 2 (dua) tahun terakhir Indonesia mampu berswasembada beras.
Persamaan 5. Harga Padi di Tingkat Petani Model:
H Ppadi = 0.149 + 0.232 H Eberas + 0.127 H BBM + 0.305LH Ppadi (0.0001) (0.0003) (0.0216) DW = 1.9389 Model harga padi di tingkat petani di atas menunjukkan bahwa harga tersebut dipengaruhi oleh harga padi di tingkat petani sebelumnya, harga eceran beras dan harga BBM. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah sudah tepat dalam menyikapi kenaikan BBM dengan menaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Beras. Koefisien parameter harga eceran beras (0,232) pada persamaan 5 lebih kecil dibandingkan dengan koefisien parameter harga padi ditingkat petani (0,311) pada persamaan 6. Hal ini menunjukkan bahwa transmisi kenaikan harga eceran beras kepada harga di tingkat petani lebih rendah dibandingkan dengan transmisi kenaikan harga di tingkat petani kepada harga eceran beras. Gambar di bawah ini menggambarkan pasar komoditi beras secara komprehensif. Suatu variabel dapat mempengaruhi variabel lain melalui beberapa tahap. Misalnya adalah harga eceran beras secara langsung tidak memberikan pengaruh pada luas areal panen padi, tetapi sebetulnya dengan menggunakan gambar di atas harga eceran beras dapat mempengaruhi luas areal panen padi dalam dua tahap, yaitu: (i) tahap I, harga eceran beras mempengaruhi harga padi di tingkat petani; dan (ii) tahap II, harga padi di tingkat petani mempengaruhi luas areal panen padi.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
85
Harga Eceran Beras Periode Sebelumnya
Produktivitas Padi Periode Sebelumnya
Harga Terigu Harga Eceran Beras Pendapatan
Produktivitas Padi Harga Impor Beras
Harga Padi di Tk. Petani
Harga Padi Tk. Petani Periode Sebelumnya
Teknologi
Harga BBM
Luas Areal Panen Padi
Permintaan Beras Luas Areal Panen Padi Periode Sebelumnya Ket:
:mempengaruhi;
Musim
: tidak mempengaruhi
Gambar 4.4. Pasar Komoditi Beras Berdasarkan Model Simultan Gambar
di
atas
menggambarkan
pasar
komoditi
beras
secara
komprehensif. Suatu variabel dapat mempengaruhi variabel lain melalui beberapa tahap. Misalnya adalah harga eceran beras secara langsung tidak memberikan pengaruh pada luas areal panen padi, tetapi sebetulnya dengan menggunakan gambar di atas harga eceran beras dapat mempengaruhi luas areal panen padi dalam dua tahap, yaitu: (i) tahap I, harga eceran beras mempengaruhi harga padi di tingkat petani; dan (ii) tahap II, harga padi di tingkat petani mempengaruhi luas areal panen padi.
Persamaan 6. Luas Areal Panen Jagung Model:
(
Ajgng = 1691.406 + 335.754 (0.0623) DW = 1.9937
H Pjgng H kom
) − 0.0284LA (0.8361)
jgng
− 215.643D1 − 1118.92 D2 (0.1965) (0.0001)
Berdasarkan model di atas terlihat bahwa luas areal panen jagung tergantung pada harga jagung di tingkat petani relative terhadap harga komoditi Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
86
lain. Sehingga untuk mendorong kebijakan ekstensifikasi pertanian seperti halnya untuk komoditi padi, dapat menggunakan insentif yang terkait dengan peningkatan harga jagung di tingkat petani.
Persamaan 7. Produktifitas Jagung Model:
V jgng = 10.1730 + 0.1631H Pjgng + 0.4073LV jgng + 0.2106T (0.7457) (0.0039) (0.0001) DW = 2.1241 Seperti halnya dalam model produktifitas padi, produktifitas jagung dipengaruhi oleh produktifitas periode sebelumnya dan teknologi. Sehingga untuk mendorong kebijakan peningkatan produktifitas produksi jagung dapat menggunakan insentif yang terkait peningkatan teknologi.
Persamaan 8. Permintaan Jagung Model:
D jgng = −23.070 − 8.533H Ejgung + 83.597 LH Ejgung + 0.873C pakan (0.9149) (0.3477) (0.0026) − 230.15 Dref + 0.736 LD jgng (0.0692) (0.0001) DW = 2.1070 Model permintaan jagung di atas menunjukkan bahwa permintaan jagung periode sebelumnya dan konsumsi pakan mempengaruhi secara positif permintaan jagung sekarang. Berbeda dengan model permintaan beras, konsumsi jagung tidak akan secara terus-menerus akan meningkat karena: pertama, koefisien parameternya (0,736) lebih kecil dari nilai konstanta model (23,070) dan kedua, nilai konstanta model memiliki tanda negatif.
Persamaan 9. Harga Eceran Jagung Model:
H Ejgung = −0.001 + 0.219 H Pjgng + 0.224 H Mjgng + 0.737 LH Ejgung (0.0266) (0.0203) (0.0001) DW = 1.8802 Model harga eceran jagung di atas menunjukkan bahwa harga tersebut dipengaruhi oleh harga eceran jagung sebelumnya, harga jagung di tingkat petani dan harga impor (dunia). Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
87
Persamaan 10. Harga Jagung di Tingkat Petani Model:
H Pjgng = −0.045 + 0.124 H Ejgung + 0.292 H BBM + 0.801LH Pjgng (0.0238) (0.1705) (0.0001) DW = 2.0820 Model harga jagung di tingkat petani di atas menunjukkan bahwa harga tersebut dipengaruhi oleh harga eceran jagung, harga jagung di tingkat petani sebelumnya dan harga BBM. Seperti halnya pada beras, koefisien parameter harga eceran jagung (0,124) pada persamaan 10 lebih kecil dibandingkan dengan koefisien parameter harga jagung ditingkat petani (0,219) pada persamaan 9. Hal ini menunjukkan bahwa transmisi kenaikan harga eceran jagung kepada harga di tingkat petani lebih rendah dibandingkan dengan transmisi kenaikan harga di tingkat petani kepada harga ecerannya.
Harga Eceran Jagung Periode Sebelumnya
Produktivitas Jagung Periode Sebelumnya
Harga Eceran Jagung Konsumsi Pakan
Produktivitas Jagung Harga Impor (dunia) jagung
Permintaan Jagung Periode Sebelumnya
Harga Jagung di Tk. Petani
Harga Jagung Tk. Petani Periode Sebelumnya
Permintaan Jagung Luas Areal Panen Jagung Periode Sebelumnya Ket:
:mempengaruhi;
Teknologi
Harga BBM
Luas Areal Panen Jagung
Musim
: tidak mempengaruhi
Gambar 4.5. Pasar Komoditi Jagung Berdasarkan Model Simultan Gambar di atas menunjukkan sistem yang bekerja di pasar komoditi jagung. Suatu variabel dapat mempengaruhi variabel lain secara langsung Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
88
maupun tidak langsung. Misalnya adalah harga impor (dunia) jagung, seolaholah secara langsung tidak mempengaruhi harga jagung di tingkat petani, tetapi secara tidak langsung harga impor (dunia) jagung melalui harga eceran jagung dapat mempengaruhi harga jagung di tingkat petani, seperti tampak pada gambar di atas.
Persamaan 11. Luas Areal Panen Kedele Model:
Adele = −268.46 + 30.221LH Pdele + 0.7619 LAdele − 186.97 D1 + 105.213D2 (0.0028) (0.0001) (0.0001) (0.0001) DW = 2.1230 Berdasarkan model di atas terlihat bahwa luas areal panen kedele tergantung pada harga kedele periode sebelumnya, luas areal panen sebelumnya dan periode musim tanam. Hal yang penting dan berbeda dengan komoditi lainnya, jika kebijakan terkait dengan peningkatan luas areal panen kedele tidak dilakukan maka suatu saat luas areal panen kedele akan menyusut. Hal ini terlihat dari nilai konstanta yang bernilai negative (-268,46).
Persamaan 12. Produktifitas Kedele Model:
Vdele = 12.0144 + 0.0334 H Pdele − 0.1315LVdele + 0.0460T (0.6388) (0.3375) (0.0001) DW = 2.0667 Berdasarkan model di atas, produktifitas kedele dipengaruhi oleh teknologi. Seperti komoditi yang lain, untuk meningkatkan produktifitas tidak dapat didorong dengan memberikan insentif harga seperti HPP atau subsidi harga, tetapi yang diperlukan adalah peningkatan sarana produksi dan metode kerja.
Persamaan 13. Permintaan Kedele Model:
Ddele = 388.334 − 23.009 H Edele + 8.171H Mdele − 0.336 I cap (0.1989) (0.2177) (0.2248) − 172.943Dref + 44.707 LH Edele (0.0069) (0.0075) DW = 2.1169 Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
89
Model permintaan kedele di atas menunjukkan bahwa harga eceran kedele periode sebelumnya mempengaruhi secara positif permintaan kedele sekarang. Hal ini berbeda dengan model permintaan jagung, dimana harga eceran jagung periode sebelumnya tidak mempengaruhi permintaan jagung. Perbedaan
ini
diduga
karena
perbedaan
karakteristik
teknik
persediaan/penyimpanan industri pengolahan jagung dan pengolahan kedele.
Persamaan 14. Harga Eceran Kedele Model:
H Edele = −2.627 + 0.374 H Pdele + 0.139 H Mdele + 0.811LH Edele (0.0007) (0.0017) (0.0001) DW = 1.8478 Model harga eceran kedele di atas menunjukkan bahwa harga tersebut dipengaruhi oleh harga eceran kedele sebelumnya, harga kedele di tingkat petani dan harga impor (dunia).
Persamaan 15. Harga Kedele di Tingkat Petani Model:
H Pdele = 4.084 + 0.352 H Edele + 0.019 H Mdele + 0.035H BBM + 0.701LH Pdele + 0.005T (0.0001) (0.6422) (0.4801) (0.0073) (0.7929) DW = 1.976 Model harga kedele di tingkat petani di atas menunjukkan bahwa harga tersebut dipengaruhi oleh harga eceran kedele dan harga kedele di tingkat petani sebelumnya. Seperti halnya pada beras dan jagung, koefisien parameter harga eceran kedele (0,325) pada persamaan 15 lebih kecil dibandingkan dengan koefisien parameter harga kedele di tingkat petani (0,374) pada persamaan 14. Hal ini menunjukkan bahwa transmisi kenaikan harga eceran kedele kepada harga di tingkat petani lebih rendah dibandingkan dengan transmisi kenaikan harga di tingkat petani kepada harga ecerannya.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
90
Harga Eceran Kedele Periode Sebelumnya
Produktivitas Kedele Periode Sebelumnya
Harga Eceran Kedele Pendapatan
Produktivitas Kedele Harga Impor (dunia)
Harga Kedele di Tk. Petani
Harga Kedele Tk. Petani Periode Sebelumnya
Teknologi
Harga BBM
Luas Areal Panen Kedele
Permintaan Kedele Luas Areal Panen Kedele Periode Sebelumnya Ket:
:mempengaruhi;
Musim
: tidak mempengaruhi
Gambar 4.6. Pasar Komoditi Kedele Berdasarkan Model Simultan Persamaan
15
menunjukkan
bahwa
harga
impor
(dunia)
tidak
mempengaruhi harga kedele di tingkat petani. Jika melihat kondisi pasar kedele domestik yang sebagian besar berasal dari impor, sulit untuk menerima hasil dari persamaan 15 tersebut. Dengan menggunakan gambar di atas, jelas bahwa pengaruh
harga
impor
(dunia)
terhadap
harga
kedele
tingkat
petani
ditransmisikan secara tidak langsung. Pengaruh harga impor (dunia) kedele terhadap harga kedele tingkat petani ditransmisikan melalui harga eceran kedele. Secara keseluruhan tampak bahwa hampir semua tanda dari variabel penjelas (explanatory) variables) yang dimasukkan dalam model konsisten dengan teori. Meskipun demikian terdapat beberapa variabel yang tidak significant. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kondisi empiris yang menunjukkan bahwa struktur pasar ketiga komoditas tersebut tidak sepenuhnya bersaing sempurna. Terutama pada komoditas beras, harganya memang dikendalikan oleh pemerintah. Sebagaimana dijelaskan dalam Metodologi Penelitian tujuan utama dari pendekatan dengan sistem persamaan simultan ini adalah untuk mengetahui Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
91
bagaimana respon pasar komoditas padi/beras, jagung, dan kedele terhadap guncangan eksternal. Untuk itu dilakukan simulasi. Dalam simulasi dampak guncangan eksternal, terdapat tiga skenario yang diterapkan yaitu perubahan harga BBM, perubahan harga Urea, dan perubahan harga beras impor. Perubahan harga BBM dan harga Urea relevan untuk diperlakukan sebagai faktor yang sifatnya ekternal karena harga kedua komoditas tersebut dikendalikan oleh pemerintah. Di sisi lain, harga beras impor memang bersifat eksogenous karena ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan beras di pasar internasional dan posisi tawar Indonesia dalam pasar beras internasional adalah price taker. Skenario yang digunakan adalah sebagai berikut. Diandaikan terjadi kenaikan 25 persen dan 50 persen. Hasil simulasi adalah sebagai berikut (Tabel 4.28) Tabel 4.28. Pengaruh Kenaikan Harga BBM, Harga Impor Beras, Dan Harga Urea Terhadap Produksi, Konsumsi, Harga Di Tingkat Petani, Dan Harga Di Tingkat Eceran Untuk Tiga Komoditas Pangan Utama Harga BBM
Produksi: Padi Jagung Kedele Konsumsi: Beras Jagung Kedele Harga Eceran: Beras Jagung Kedele Harga di tingkat petani: Gabah Jagung Kedele
Harga Beras Impor
+ 25 %
+ 50 %
+ 25 %
-0.67 0.03 0.02
-3.37 0.07 0.04
-
-0.08 0.05 -0.14
-2.00 -0.93 -0.28
1.69 1.06 0.21 1.89 1.21 0.70
Harga Urea
+ 50 %
+ 25 %
+ 50 %
-
-0.52 -
-1.57 -0.70 -0.57
-1.38 -
-2.76 -
-
-0.94 -0.92 0.00
3.38 1.79 0.40
1.49 -
2.98 -
-
2.93 1.47 -
3.78 2.44 1.39
0.68 -
1.36 -
0.20 -
1.99 0.41 -
Dari hasil simulasi dapat disimpulkan beberapa hal berikut: (1) Kenaikan harga BBM dan harga Urea mempengaruhi produksi padi, jagung, dan kedele; sedangkan kenaikan harga beras impor hanya berdampak pada Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
92
konsumsi beras, harga beras di tingkat eceran, dan harga gabah di tingkat petani. (2) Dampak kenaikan BBM terhadap komoditas padi, jagung, dan kedele berbeda. Kenaikan BBM menyebabkan produksi padi turun, tetapi sebaliknya justru meningkatkan produksi jagung ataupun kedele dengan proporsi yang jauh lebih kecil. Kenaikan harga BBM sebesar 50 persen menyebabkan produksi padi turun sekitar 3.4 persen, tetapi meningkatkan produksi jagung dan kedele masing-masing 0.07 persen dan 0.04 persen. Hal ini disebabkan sebagian petani mengalihkan komoditas usahataninya dari padi ke jagung dan atau kedele. (3) Kenaikan harga urea berdampak negatif terhadap produksi padi, jagung, maupun kedele. Dalam hal ini yang paling sensitif adalah padi karena penggunaan Urea dalam usahatani padi jauh lebih intensif daripada usahatani jagung ataupun kedele. (4) Pada sisi konsumsi, dampak kenaikan harga BBM, Urea, maupun harga beras impor adalah negatif. Dalam hal ini yang paling sensitif adalah beras. (5) Kenaikan
harga
BBM,
harga
Urea,
maupun
harga
beras
impor
menyebabkan terjadinya kenaikan harga ecaran maupun harga di tingkat petani untuk ketiga komoditas pangan utama tersebut. (6) Kenaikan harga beras impor sebesar 50 persen menyebabkan harga eceran beras meningkat sebesar 2.98 persen, konsumsi beras turun sekitar 2.76 persen, dan harga gabah di tingkat petani naik sekitar 1.36 persen. (7) Secara umum dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga eceran akibat kenaikan harga beras impor tidak ditransmisikan secara penuh ke harga gabah di tingkat petani. Hal ini terkait dengan struktur pasar dimana pasar gabah adalah cenderung oligopsoni, sedangkan harga beras di tingkat eceran cenderung mendekati bersaing sempurna. (8) Dari keseluruhan hasil simulasi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa faktor eksternal yang sangat berpengaruh pada pasar gabah/beras, jagung, dan kedele adalah harga BBM. Implikasinya, jika pemerintah memandang bahwa komoditas pangan tersebut di atas merupakan komoditas strategis maka pendekatan yang tepat dalam penentuan harga BBM adalah agar lebih konservatif.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
93
BAB V STRUCTURE CONDUCT PERFORMANCE PASAR KOMODITAS PANGAN POKOK
Berbagai studi tentang komoditi pangan pokok telah banyak dilakukan menggunakan data primer. Sebagian besar studi tersebut mengambil lokasi di daerah-daerah sentra produksi pangan di Indonesia. Hasil studi tersebut dapat menggambarkan bagaimana kondisi bahan pangan pokok secara umum yang terjadi di Indonesia. Lokasi penelitian kali ini dipilih untuk memperkaya studi-studi yang sudah pernah dilakukan sehingga mendapatkan gambaran lain dari komoditas pangan pokok di Indonesia.
5.1. Komoditas Beras di Jawa Barat 5.1.1. Struktur Pasar Komoditas Beras di Jawa Barat Sebagaimana umumnya sektor pertanian, beras merupakan salah satu komoditas yang mempunyai peran cukup penting dalam kebutuhan pokok pangan masyarakat oleh karena itu keberadaannya sangat strategis. Dalam penyaluran beras dari tingkat pedagang pengumpul hingga ke tingkat konsumen, struktur pasarnya lebih condong pada oligopoli karena pedagang beras tidak terlalu banyak variasi. Sedangkan untuk penyaluran gabah dari petani ke pedagang pengumpul, struktur pasarnya lebih condong pada oligopsoni karena jumlah pembeli gabah dari petani terbatas. Pelaku Pasar Karakteristik petani dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu petani penggarap dan petani pemilik lahan. Karakteristik petani penggarap antara lain pertama, petani penggarap umumnya memiliki lahan garapan berkisar antara areal 0,5 - 1 ha. Petani penggarap sistem Maparo ini, menggarap lahan sawah dimana hasil panen (Gabah panen basah/GKP) dibagi 2 (50 : 50 persen); kedua, biaya produksi menjadi tanggungan petani penggarap; dan ketiga, petani penggarap menjual hasil panen secara bebas baik ke pedagang pengumpul (bandar) atau ke petani penggiling. Perbedaan ini bukan karena faktor harga, melainkan keterikatan petani kepada pedagang yang menyediakan benih. Hasil panen yang dijual berupa gabah basah dan gabah kering. Sebagian hasil panen
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
94
juga dibawa ke rumah, yang akan dijual jika ada permintaan dari petani pengumpul dengan harga yang relatif lebih mahal dibandingkan menjual langsung saat panen (GKP). Karena harga jual yang relatif sama, permasalahan yang dihadapi oleh petani penggarap adalah mengenai pupuk. Berbeda dengan petani pemilik sawah yang memiliki karakteristik antara lain: 1. Petani pemilik lahan yang disurvei umumnya adalah petani yang memiliki luas lahan garapan sawah sekitar 1,5 – 2,5 ha. 2. Petani berperan ganda baik sebagai kelompok tani (GAPOKTAN) dan mempunyai heler (juga sebagai penggiling). 3. Dengan demikian petani pemilik sawah telah terintegrasi dalam rantai pemasaran beras. Perilaku petani dari wilayah survei digambarkan berkaitan dengan pola tanam dimana terjadi gejolak harga beras yang kurang menguntungkan, mereka tetap bertani padi dan tidak beralih ke komoditi lain seperti jagung atau kedele. Namun, ada beberapa petani yang beralih menanam ke komoditi palawija seperti jagung dan kacang. Adapun faktor yang menyebabkan beralihnya petani dari menanam padi ke palawija adalah lebih disebabkan karena ketersediaan air yang kurang memadai (irigasi belum layak) serta tanah yang kurang subur dan bukan karena harga gabah yang rendah. Pedagang besar yang menjadi objek survei adalah pedagang besar yang ada di pasar Induk, yaitu pasar Induk Gede Bage dan Pasar Induk Caringin. Pada umumnya beras yang di dipasarkan oleh pedagang besar didatangkan dari wilayah sekitar Bandung (Soreang) serta di luar Bandung, yaitu Sumedang dan Jawa Tengah. Namun, peran pasar Induk di Bandung relatif kurang berfungsi bila dibandingkan dengan Pasar Induk Cipinang. Kondisi ini berpengaruh pada sulitnya mengontrol keberadaan beras (stock) beras di wilayah Bandung.
Distribusi dan Pemasaran Beras di Kabupaten Bandung Distribusi
dan
pemasaran
beras
merupakan
salah
satu
bentuk
kelembagaan yang paling potensial dalam pembentukan harga ditingkat konsumen. Distribusi pemasaran yang kompleks (panjang) akan menjadikan harga yang terbentuk menjadi kurang efisien bilamana setiap rantai-rantai pemasarannya kurang berfungsi secara efektif. Berikut dijelaskan distribusi Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
95
pemasaran beras dari tingkat petani sampai pedagang besar dan eceran pada kategori petani pemilik lahan dan petani penggarap. Pola distribusi pemasaran beras di setiap daerah atau tempat akan mempunyai karakteristik tersendiri. Dari hasil survey menunjukkan pola pemasaran beras pada tingkat petani pemilik lahan di Kabupaten Bandung, yaitu: 1. Memiliki rantai pemasaran yang relatif lebih pendek. 2. Petani pemilik lahan yang sekaligus sebagai petani pengumpul dan juga petani penggiling akan lebih mudah menentukan harga untuk memasarkan ke tingkat pedagang besar yang ada di pasar induk. Pemasaran beras ke pasar Induk dapat dilakukan melalui pasar Induk Cipinang Jakarta, Pasar Induk Gedebage dan Caringin di Bandung ataupun langsung dipasarkan pedagang lainnya. Benih Varietas bebas
Petani Cipinang -JKT
Terintegrasi
Petani Pengumpul (Bandar)
Beras
Pasar Induk
Caringin - BDG
Beras
Penggilingan (Heler)
Gede Bage-BDG
AMS-Tangerang Beli Beras Langsung
Pengecer Sumber: Hasil Wawancara Survei, April 2009
Gambar 5.1. Pemasaran Beras di Level Petani Pemilik Lahan di Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat Distribusi pemasaran beras di tingkat petani penggarap relatif berbeda dengan pemasaran ditingkat petani pemilik lahan dengan pola sebagai berikut: 1. Pemasaran di tingkat petani penggarap dihadapkan pada beberapa jenis lembaga pemasaran karena penjualan didasarkan pada rantai yang menawarkan harga lebih tinggi. 2. Perbedaan harga Gabah di tingkat petani terjadi ketika negosiasi harga dilakukan berdasarkan perbedaan tempat.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
96
Cipinang-JKT Pasar Induk Gabah Kering
Gabah Kering
Petani
Petani Pengumpul (Bandar)
Beras
Penggilingan (Heler )
Gede Bage-BDG Caringin -BDG
Pedagang Besar
Pedagang Pengecer
Beras Gabah Basah
Gabah Basah
Beras AMS -Tangerang
Sumber: Hasil Wawancara Survei, April 2009
Gambar 5.2. Pemasaran Beras di Level Petani Penggarap di Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat Gambar 5.1 dan 5.2, menunjukkan bahwa distribusi pemasaran beras relatif efisien di tingkat petani petani pemilik lahan dibandingkan petani penggarap. Hal ini dapat dianalisa bahwa asimetrik informasi mengenai harga akan lebih besar terjadi pada tingkat petani penggarap. Box 1. Sistem Pemasaran Gabah di Thailand (Forssell, 2009) Sistem pemasaran gabah dapat dibagi menjadi dua tingakatan, yaitu lokal dan pusat. Dibandingkan dengan negara lain, sistem pemasaran Thailand lebih efisien. Waktu penyimpanan dibuat sesingkat mungkin melalui kebijakan beras yang mengijinkan perdagangan internasional. Terdapat lima aktor yang terlibat di tingkat lokal dalam sistem pemasaran, yaitu petani, pedagang lokal, broker, organisasi petani dan instansi pemerintah. Beberapa petani menjual gabahnya langsung kepada penggilingan. Petani-petani kecil yang tidak memiliki transportasi, untuk efisiensi biaya, petani-petani tersebut bekerjasama untuk mengumpulkan gabahnya untuk dibawa ke penggilingan secara bersama-sama. Pembeli lokal biasanya memiliki toko di daerah setempat atau kadang-kadang juga sebagai petani. Ada dua tipe organisasi petani di tingkat lokal. Pertama, gabungan petani yang memiliki paling tidak 30 anggota yang berperan bersama-sama untuk meningkatkan posisi tawarnya di pasar beras/gabah. Gabungan petani bekerja bersama-sama dalam aktifitas pemasaran, pengadaan fasilitas dan lain-lain. Pada waktu tertentu, gabungan petani mengorganisasikan transportasi, peralatan dan penyimpanan. pertanian eceran yang Perbedaan jalur distribusi beras dariKedua, petani kerjasama sampai pedagang mengumpulkan gabah dari anggotanya dan ditransportasikan kepada grup kerjasama yang dari petani pemilik lahan dengan petani penggarap lebih dikarenakan lebihtingkat besar atau ke penggilingan.
Perbedaan jalur distribusi beras dari petani sampai pedagang eceran dari tingkat petani pemilik lahan dengan petani penggarap lebih dikarenakan sistem langganan. Petani pemilik lahan sudah mempunyai langganan dalam menjual beras, sehingga rantai dari gabah ke beras tidak ada margin dimana rantai dari petani ke pengumpul ke penggilingan terintegrasi sehingga margin biaya akibat Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
97
rantai pemasaran relatif kecil. Tidak demikian dengan petani penggarap, karena keterbatasan modal yang mereka miliki, sistem penjualan pun lebih bersifat bebas (harga yang lebih tinggi akan terlebih dahulu dijual), sehingga tidak ada pembeli yang bersifat langganan. Perbedaan pasar yang terjadi, tidak mempengaruhi pada harga di pasar. Disamping itu, salah satu rantai yang diduga akan menetapkan harga yang tinggi adalah
pedaganga besar. Pedagang besar yang menjadi objek survei
adalah pasar Induk, yaitu pasar Induk Gede Bage dan Pasar Induk Caringin. Pada umumnya mekanisme penyediaan beras yang di dapat oleh pedagang besar berasal dari wilayah sekitar Bandung (soreang) serta di luar Bandung, yaitu Sumedang dan Jawa Tengah. Box 2. Sistem Pemasaran Beras di Thailand (Forssell, 2009)
Sumber: Wiboonpongse and Chaovanapoonphol (2001), p. 198 dalam Forssel (2009)
5.1.2. Perilaku Pasar Beras di Jawa Barat Pasar gabah di tingkat petani sampai tingkat pedagang yang cenderung oligopsoni menyebabkan pangsa pasar gabah relatif didominasi oleh pihak-pihak tertentu. Karena petani banyak dan pedagang beras juga banyak maka posisi tawar relatif sama karena level untuk komoditi beras tidak banyak variasi sehingga posisi tawar tidak menyebabkan harga beras yang terlalu tinggi. Selain itu, beras merupakan salah satu komoditi yang dipantau pemerintah dengan adanya kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) sehingga harga relatif stabil. Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
98
Kegiatan petani setelah panen terkait dengan pola penjualan dan cara pembelian. Hasil panen umumnya dijual dan transaksi dilakukan saat panen dan di rumah petani.
Pola penjualan hasil panen dijual bebas, umumnya dalam
bentuk GKP. Hal ini dikarenakan harga yang relatif tinggi serta uang hasil dari penjualan dapat dimanfaatkan kembali untuk modal (biaya produksi) pada musim berikutnya. Namun ada yang dijual dalam bentuk GKG dengan harga yang lebih mahal karena telah mendapat perlakuan pengeringan terlebih dahulu maupun dalam bentuk beras. Umumnya penjualan dalam bentuk ini dilakukan oleh petani besar (pemilik lahan sekaligus petani penggiling). Pola pembayaran dari pembelan hasil panen 100 persen dilakukan dengan pembayaran tunai dengan ongkos transportasi dibebabkan kepada pembeli.
5.1.3. Kinerja Pasar Beras di Jawa Barat Badan Urusan Logistik (Bulog) mempunyai tugas pokok dan berperan dalam pengadaan beras untuk kepentingan publik dan juga masyarakat miskin. Pada musim panen terjadi penyerapan besar-besaran yang dilakukan oleh Bulog yaitu sekitar 5 – 7 persen dalam satu tahun.
Besarnya persentase tersebut
disalurkan oleh Bulog untuk beras miskin. Sementara itu pada musim paceklik, kenaikan harga terjadi dimana fluktuasi kenaikan harga berkisar 10-15 persen dari harga sebelum musim paceklik. Data yang disajikan pada Tabel 5.1 menunjukkan bahwa selama tahun 2009 Bulog cenderung terus meningkatkan pengadaan beras, dimana persentasi pengadaan yang dilakukan oleh Bulog selama bulan Januari-April 2009 sekitar 8,99 persen - 12,09 persen.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
99
Tabel 5.1. Perkembangan Panen, Produksi, Serta Pengadaan Beras di Propinsi Bandung Tahun
Panen (Ton/Ha) 1.866.069 1.792.320 1.633.452 1.880.142 1.894.796 1.798.260 1.829.085 1.855.584
Produksi (Ton GKG) 9.237.593 9.166.872 8.607.147 9.602.302 9.787.217 9.418.572 9.914.019 10.077.625
Produksi (Ton Setara Beras) 5.838.159 5.793.463 5.439.717 6.068.655 6.185.521 5.952.538 6.265.660 6.369.059
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jan 72.461 300.780 190.832 Feb 139.088 814.780 517.385 Mar 453.674 2.657.621 1.687.589 Apr 222.306 1.302.266 826.939 Sumber: Bulog SubDevrei Propinsi Jawa Barat (2009)
Pengadaan (Ton Setara Beras) 446.771 367.075 350.732 362.159 273.304 204.549 258.961 328.924
% Pengadaan Thd Produksi 7,65 6,34 6,45 5,97 4,42 3,44 4,13 6,71
12.158 5.667 83.568 100.000
8,99 1,10 4,95 12,09
Karakteristik Musim dan Perkembangan Harga Beras Karakteristik musiman terkait dengan perubahan musim yang terjadi di Indonesia dalam mempengaruhi produksi padi serta implikasinya pada perubahan harga. Pada musim kemarau/paceklik umumnya harga relatif tinggi dibandingkan pada musim hujan. Sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 5.2 terlihat bahwa harga rata-rata gabah di musim hujan, musim kemarau atau musim paceklik terlihat ada selisih. Harga gabah di musim paceklik tinggi wajar terjadi dimana penyediaan gabah sangat terbatas karena pada masa itu musim panen belum terjadi sementara kebutuhan akan beras terus meningkat. Melonjaknya harga gabah dimusim paceklik juga berdampak pada harga beras yang melambung tinggi, bila tidak disertai dengan penyaluran beras stock masyarakat dari Bulog. Pada saat musim paceklik, masa giling gabah menjadi beras juga terbatas yang menyebabkan harga jual beras dari penggilingan menjadi mahal. Demikian pula dengan harga beras ditingkat pedagang beras. Jalur pemasaran yang merupakan rantai ke-4 ini akan menjual pada harga yang lebih mahal di tingkat konsumen akhir. Namun terlihat dari Tabel 5.3, harga jual beras di tingkat eceran relatif lebih murah hal ini dikarenakan sebagian pedagang pengecer yang disurvei juga membeli beras langsung dari penggilingan sehingga harga yang mereka jual relatif murah tetapi perbedaan harga ini tidak terlalu signifikan, lebih pada kompensasi dari sisi biaya transportasi. Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
100
Tabel 5.2. Harga Pembelian Gabah dan Beras di Bandung Musim Hujan
Gabah
Hrg GabahTertinggi
Rp.3.000 /Kg
GKP
Rp. 2.400 - 2.500 /Kg
Hrg Gabah Rata-rata
Rp.2.400 /Kg
GKG
Rp. 2.900 - 3.000 /Kg
Hrg Gabah Terendah
Rp.2.400 - 2.500 /Kg
Musim Kemarau
Hrg Tertinggi GKG
Rp. 3.500 /Kg
Brs Penggilingan
Rp. 5.000 - 6.250/Kg
Hrg Gabah Tertinggi
Rp.3.500 /Kg
Pedagang Besar
Hrg Gabah Rata-rata
Rp.3.500 /Kg
Harga Beli
Rp. 5.400/Kg
Hrg Gabah Terendah
Rp.3.000 /Kg
Harga Jual
Rp. 5.500 - 5.600/Kg
Beras Eceran
Rp. 5.200 - 5.500/Kg
Rp.3.500 - 3.600 /Kg Musim Paceklik Sumber: Hasil Survei, April (2009)
Perkembangan harga beras dapat juga dilihat dari tingkat Bulog dan harga eceran di propinsi Bandung umumnya. Gambar 5.3 menunjukkan bahwa selama tahun 1996 sampai tahun 1999 terdapat selisih harga antara harga beras di Bulog dengan di tingkat eceran yaitu sebesar Rp.110. Sementara selama tahun 2000 sampai 2008 selisih harga terjadi sekitar Rp.331.
7000
6000
5000
Selisih Harga: Tahun 1996-1999 = Rp. 110 Tahun 2000-2008 (Juni) = Rp.331
R p /Kg
4000
3000
2000
1000
0 Jan- M ei- Sep- Jan- M ei- Sep- Jan- Mei- Sep- Jan- M ei- Sep- Jan- M ei- Sep- Jan- M ei- Sep- Jan- M ei- Sep- Jan- M ei- Sep- Jan- M ei- Sep- Jan- M ei- Sep- Jan- M ei- Sep- Jan- M ei- Sep- Jan- M ei96 96 96 97 97 97 98 98 98 99 99 99 00 00 00 01 01 01 02 02 02 03 03 03 04 04 04 05 05 05 06 06 06 07 07 07 08 08
Harga Beras Bulog
Harga Beras Eceran
Gambar 5.3. Perkembangan Harga Beras di Tingkat Bulog dan Eceran di Propinsi Jawa Barat (Bandung), Tahun 1996-2008 (Juni) Besarnya selisih harga yang terjadi selama tahun 2000-2008 karena selama periode tersebut terlihat fluktuasi harga beras relatif tinggi. Rendahnya harga di Bulog dibandingkan dengan di tingkat eceran terkait dengan peran Bulog sebagai penyedia cadangan beras untuk pangan nasional dan merupakan
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
101
salah satu lembaga yang dipercaya pemerintah dalam mengontrol dan mengantisipasi ketersediaan beras. Berdasarkan informasi berupa data primer dari daerah penelitian dan dikombinasikan dengan studi pustaka dari penelitian-penelitian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan mengenai struktur, perilaku, dan kinerja pasar komoditas beras secara umum yang terjadi di Indonesia. Hasil analisis SCP ditampilkan dalam Tabel 5.3. berikut. Tabel 5.3. Analisis Stucture-Conduct-Performance Komoditas Beras Secara Umum STRUCTURE •
• •
• • •
Jumlah pelaku dalam mata rantai perdagangan cukup banyak. Hambatan masuk pasar relatif rendah. Pada tingkat petani, pedagang pengumpul dan penggilingan umumnya dalam skala kecil. Jenis produk relatif seragam. Diferensiasi harga antar daerah kecil. Pasar cenderung oligopoli pada tingkat pedagang ke konsumen; dan oligopsoni pada tingkat petani ke pedagang pengumpul
CONDUCT •
• • • •
Penentuan harga dominan oleh pembeli yaitu pedagang pengumpul namun petani bebas memilih untuk menjual. Arus informasi terbuka. Ketergantungan antar pedagang tidak terlalu kuat. Pola kerjasama dalam bentuk langganan dan bebas. Permodalan untuk petani berasal dari modal sendiri dan pinjaman (pemilik lahan, penyedia bibit).
PERFORMANCE • •
•
•
•
Disparitas harga kecil. Perbedaan harga dalam rantai pemasaran terutama disebabkan oleh biaya transportasi. Fluktuasi harga di tingkat produsen dan konsumen dipengaruhi keadaan cuaca dan hari besar keagamaan. Ketersediaan beras dari segi kuantitas, kontinuitas, dan ketepatan waktu cukup baik. Tidak terdapat hambatan dalam akses pasar.
5.2. Komoditas Jagung di Gorontalo dan Jawa Timur 5.2.1. Struktur Pasar Komoditas Jagung di Gorontalo dan Jawa Timur Jagung merupakan salah satu komoditas unggulan dari propinsi Gorontalo. Pilihan tersebut didasarkan kepada potensi Gorontalo yang wilayah pertaniannya sebagian besar berupa lahan kering. Karakteristik lahan kering cocok untuk pengembangan komoditi jagung. Selain itu juga didukung oleh iklim Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
102
setempat yang sesuai untuk budidaya jagung. Dimilikinya dua buah pelabuhan yaitu pelabuhan Anggrek di bagian Utara dan Gorontalo di selatan menjadi salah satu sarana pendukung dalam upaya mengembangkan perdagangan jagung ke luar Gorontalo. Kebijakan pemerintah daerah untuk mengembangkan komoditas jagung adalah dengan optimalisasi potensi sumber daya lahan sesuai dengan daya dukungnya. Pemberdayaan petani juga dilakukan melalui pendekatan budaya wirausaha. Selanjutnya adalah mewujudkan maize economy melalui pembuatan klaster ekonomi jagung, pengembangan teknologi dan sistem agribisnis yang terintegrasi dari hulu sampai hilir sebagai dasar pengembangan industri berbasis jagung, serta menetapkan dan melaksanakan kebijakan arah pembangunan ekonomi jagung. Secara umum struktur pasar komoditas jagung di Gorontalo adalah oligopsoni karena jika dilihat dari jumlah pelaku pasar dimana jika dibandingkan antara petani produsen dengan pembeli maka jumlah pembeli jauh lebih sedikit. Namun prinsip oligopsoni tidak sepenuhnya terjadi di sistem pasar jagung karena ada intervensi dari pemerintah daerah. Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah daerah berupa adanya pengaturan khusus berupa penetapan harga dasar pembelian tingkat petani yang didasarkan pada Instruksi Gubernur. Penetapan harga tersebut menjadi acuan harga terendah pembelian jagung dari petani produsen oleh pedagang. Harga dasar pembelian jagung sejak tahun 2006 ditetapkan sebesar 950 rupiah per kilogram yang masih berlaku saat ini. Efektivitas pelaksanaan kebijakan tersebut didukung oleh tersedianya infrastruktur berupa pembentukan Badan Usaha Miliki Desa (BUMD) yang dibentuk oleh pemerintah daerah. Lembaga ini pada dasarnya dibentuk untuk menjaga agar harga dasar pembelian jagung terimplementasikan dengan baik melalui operasi pasar. Untuk di Jawa Timur, pengembangan komoditas jagung berlangsung cukup baik dan masif. Hal tersebut juga ditunjang oleh perkembangan di sektor hilir sebagai konsumen jagung dimana terdapat banyak pabrik pakan sebagai konsumen utama. Struktur pasar jagung di wilayah ini secara umum lebih banyak penjual
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
103
Pelaku Pasar Ditingkat petani, ada dua jenis petani yaitu petani produsen penghasil jagung yang kemudian menjual produknya ke pedagang pengumpul dan petani produsen sekaligus sebagai pedangan pengumpul. Hasil jagung dapat dipanen dalam dua cara yaitu panen tua dan panen muda. Pemanenan dengan panen tua memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Panen dilakukan menunggu sampai jagung benar-benar kering di pohon. 2. Metode ini membutuhkan waktu lebih lama sehingga dalam pelaksanaannya dalam satu tahun petani hanya bisa panen dua kali. Sedangkan pemanenan panen muda memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Panen dilakukan ketika jagung sudah dianggap matang dan penjemuran dilakukan setelah dipanen. 2. Metode ini membutuhkan waktu yang lebih cepat dibandingkan panen tua sehingga dalam satu tahun petani bisa panen tiga kali. Selain itu sisa kelobot, daun, dan pohon jagung dapat dijual sebagai pakan ternak. Petani jagung di Gorontalo sebagian besar memanen jagungnya saat sudah tua di batang. Metode panen tua ini dipilih karena kualitas jagung pipilan kering yang dihasilkan jauh lebih baik dibandingkan dengan metode panen muda. Jagung yang benar-benar matang dan kering di pohon ini tidak hanya mempunyai harga jual yang baik tetapi juga ternyata banyak diminati oleh para importir terutama pabrik pakan karena jagung dengan perlakuan tersebut jika diproduksi menjadi pakan ternak maka kuning telur yang dihasilkan dari ternak yang memakannya akan mempunyai kualitas dan warna merah yang bagus. Di tengah-tengah intervensi pemerintah daerah yang cukup kental menyebabkan pola pemasarannya menjadi lebih unik. Pedagang pengumpul mempunyai peran yang pendek, karena suplai jagung dari petani langsung dijual ke pedagang besar. Secara umum, temuan dilapangan menunjukkan bahwa banyak pedagang pengumpul yang juga berperan sebagai petani. Sedangkan BUMD di propinsi Gorontalo mempunyai peran yang cukup besar dalam perdagangan komoditas jagung. Dalam rangka pelaksanaan penetapan harga dasar jagung, BUMD berperan sebagai stabilisator yang dibentuk oleh pemerintah daerah dimana mempunyai kewajiban untuk membeli jagung petani dengan harga sesuai dengan harga dasar yang telah ditentukan pemerintah Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
104
daerah jika harga aktual di tingkat petani lebih rendah dari harga dasar. Dalam prakteknya BUMD belum pernah melaksanakan fungsi penyanggaan karena harga jagung selalu berada di atas harga yang ditetapkan oleh Gubernur.
Distribusi Pemasaran Jagung di Propinsi Gorontalo dan Jawa Timur Permasalahan
umum
yang
berkaitan
dengan
distribusi
terutama
disebabkan perubahan cuaca atau iklim. Permasalahan sarana dan infrastruktur terutama berupa kapasitas dermaga yang terbatas menghambat upaya peningkatan ekspor jagung dari Propinsi Gorontalo.
Pedagang Pengumpul Desa
Pedagang Pengumpul
Petani
Pedagang Besar/ Eksportir
Jepang, Korsel, Philipina, Malaysia, Thailand
Pabrik Pakan Domestik
BUMD
Sumber: Hasil Wawancara Survei, Mei 2009
Gambar 5.4. Alur Pemasaran Jagung di Propinsi Gorontalo Pola distribusi pemasaran jagung di Gorontalo diperlihatkan oleh Gambar 5.4. Petani produsen menjual hasil panennya kepada pengumpul atau BUMD. Kemudian pedagang pengumpul menjual produk panen kepada pedagang besar yang juga dapat berperan sebagai eksportir jagung langsung. Pedagang besar menyalurkan jagung dalam bentuk kering pipilan untuk ekspor maupun untuk pasar dalam negeri yaitu ke beberapa pabrik pakan ternak di Jawa Timur. sedangkan kehadiran BUMD dapat menyingkat jalur distribusi sehingga lebih pendek. Petani
Pedagang Pengumpul
Pedagang Besar
Pengecer
Importir
Pabrik Pakan
Sumber: Hasil Wawancara Survei, Mei 2009
Gambar 5.5. Alur Pemasaran Jagung di Propinsi Jawa Timur Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
105
Terkait dengan jalur pemasaran jagung, terlihat bahwa pedagang besar mempunyai jalur pemasaran bebas baik untuk ekspor mau pun untuk pabrik pakan. Sementara untuk petani jagung, jalur pemasaran juga bersifat bebas dan tujuan pasar hanya sampai pada pedagang pengumpul dan pedagang besar. Adapun informasi harga relatif sempurna karena Pemerintah menyediakan informasi harga setiap hari melalui radio dan harian/koran daerah. Berbeda dengan di Jawa Timur, pembelian jagung oleh pedagang pengumpul dari petani langganan porsinya lebih besar dibandingkan dengan dari petani bebas. Porsi pembelian dari petani langganan sebesar 80 persen, sedangkan dari petani bebas hanya 20 persen. Pembayaran dilakukan dengan pola pembayaran secara tunai. Sedangkan pola pembelian jagung oleh pedagang besar sebagian besar diperoleh dari pedagang pengumpul langganan sebesar 80 persen dan selebihnya dari pengumpul bebas. Pola pembayaran yang digunakan adalah 70 persen tunai dan 30 persen non tunai. Pedagang besar mandapatkan jagung dari pedagang pengumpul luar Jawa Timur (Semarang) dan dari pengumpul dalam Jawa Timur (Probolinggo, Pasuruan dan Madura). Pembelian umumnya dilakukan pada waktu musim kemarau dengan total omset pembelian 15 - 20 ton per bulan. Harga beli terendah Rp.1.700,- per kg dan tertinggi sebesar Rp.2.100,- per kg. Selanjutnya pedagang besar tersebut menjual kepada pengecer dengan tambahan harga Rp.50,- s/d Rp.100,- per kg. Biasanya biaya transportasi ditanggung pedagang besar.
5.2.2. Perilaku Pasar Jagung di Gorontalo dan Jawa Timur Secara umum pangsa pasar jagung di Propinsi Gorontalo dikuasai oleh beberapa pedagang besar yang juga sekaligus eksportir. Namun, pasar yang didominasi oleh beberapa pembeli tersebut ternyata tidak menimbulkan perbedaan posisi tawar yang sangat nyata. Setiap pihak bebas untuk bertransaksi dengan siapa saja. Pedagang besar ada yang mempunyai omset lebih dari 300 ton per hari. Sedangkan petani pada umumnya berskala kecil dengan luasan rata-rata kurang dari satu hektar yang menghasilkan produksi sekitar 4 sampai 5 ton. Penguasaan pangsa pasar tersebut tentunya memberikan posisi tawar yang sedikit lebih baik. Namun dengan posisi tawar yang lebih baik yang dimiliki
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
106
oleh pedagang besar tidak lantas menyebabkan mereka bertindak sebagai penentu harga absolut di pasar. Tindakan-tindakan untuk mempertahankan posisi tawar tidak secara nyata terlihat. Upaya mempertahankan pangsa yang dilakukan lebih kepada membina pedagang pengumpul agar dapat menyediakan pasokan jagung sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang dibutuhkan untuk menjaga kontinuitas pasokan. Intervensi pemerintah daerah pada pasar jagung di Propinsi Gorontalo ternyata dapat menyeimbangkan posisi tawar dari masing-masing pelaku pasar. Kebijakan berupa penetapan harga dasar pembelian petani memberikan kepastian pendapatan petani dari penjualan jagung sehingga mereka tidak ragu untuk mengembangkan usahatani jagung. Selain itu pemerintah daerah juga membantu dengan memberikan informasi harga kepada pelaku pasar sehingga masing-masing pihak sama-sama mempunyai informasi yang sama. Kemudahan dalam memperoleh informasi pasar tersebut menyebabkan posisi masing-masing pelaku pasar sama sehingga walaupun pasar terdiri dari lebih sedikit pembeli namun dapat berfungsi sama dengan pasar bersaing sempurna. Pada komoditas jagung di Jawa Timur, pangsa pasar menunjukkan dominasi pembeli akhir yang cukup kuat. Dalam hal ini pembeli akhir yang dimaksud adalah pabrik pakan. Sedangkan penjual terutama petani produsen dominasinya sangat kecil karena luasan lahan yang rata-rata kurang dari satu hektar sehingga hasil panennya pun kecil. Tidak adanya intervensi dari pemerintah daerah menyebabkan pasar menjadi kurang seimbang. Pihak pabrik mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi sehingga mempunyai kekuatan sebagai penentu harga. Selain karena sebagai pembeli utama, lebih baiknya posisi tawar pabrik pakan karena mereka mempunyai alternatif pasokan jagung yaitu melalui impor. Pelaku pasar lain memiliki posisi tawar yang lebih rendah karenanya lebih berperan sebagai penerima harga.
5.2.3. Kinerja Pasar Jagung di Gorontalo dan Jawa Timur Berdasarkan survei yang dilakukan ditemukan bahwa di tingkat petani pada musim hujan harga jagung pipilan kering berkisar antara Rp.1500,- Rp.2000,- per kilogram. Sedangkan di musim kering harga berkisar antara Rp.1000,- - Rp.1300,- per kilogram.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
107
Gambar 5.6. Perkembangan Gorontalo
Harga
Jagung
di
Tingkat
Produsen
di
Pada tingkat pedagang besar, harga jagung pipilan kering bisa mencapai kisaran Rp.1750,- - Rp.2400,- per kilogram di musim hujan dan pada musim kering berkisar antara Rp.1050,- - Rp.1200,- per kilogram. Biaya transportasi biasanya ditanggung oleh pembeli yang nilainya berbeda-beda tergantung pada jarak lokasi pembelian. Secara umum biaya transportasi berkisar antara Rp.75,- Rp.125,- per kilogram, tergantung pada jarak tempuh.
Tabel 5.3. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Jagung di Propinsi Gorontalo Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 (ASEM) 2009 (ARAM 1)
Luas Panen (Ha) 36.610 45.718 58.716 72.529 107.525 109.792 119.027 156.436 161.612
Produktivitas (Ku/Ha) 22,32 28,49 31,34 34,64 37,13 37,91 48,12 48,17 49,17
Produksi (Ton) 81.720 130.251 183.998 251.223 400.046 416.222 572.785 753.598 794.613
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
108
Upaya pemerintah daerah untuk mengembangkan komoditas jagung sebagai
komoditas
unggulan
tercermin
dari
perkembangan
produksi,
produktivitas, dan luas panen yang diperlihatkan oleh Tabel 5.3. Luas panen jagung di Propinsi Gorontalo terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun terutama dalam lima tahun terakhir. Peningkatan luas panen tersebut juga diiringi dengan peningkatan produktivitas sebagai dampak dari pelakasanaan program pertanian yang dijalankan oleh pemerintah daerah melalui program pengembangan komoditas jagung berupa optimalisasi potensi sumber daya lahan sesuai dengan daya dukungnya, pemberdayaan petani yang dilakukan melalui pendekatan budaya wirausaha. Tabel 5.4. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Jagung di Propinsi Jawa Timur
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 (ARAM 2)
Luas Panen (Ha) 1.135.832 1.043.285 1.169.388 1.141.671 1.206.177 1.099.184 1.153.496 1.235.933 1.248.621
Produktivitas (Ku/Ha) 31,08 35,39 35,76 36,21 36,47 36,49 36,86 40,88 40,62
Produksi (Ton) 3.529.968 3.692.146 4.181.550 4.133.762 4.398.502 4.011.182 4.252.182 5.053.107 5.071.544
Begitu pula dengan Jawa Timur menunjukkan kinerja yang baik dalam luas panen, produktivitas, dan produksi jagung. Luas panen jagung di Propinsi Jawa Timur menunjukkan kecenderungan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Begitu pula dengan produktivitas usahatani jagung yang juga mengalami peningkatan sebagai hasil dari perbaikan dalam penggunaan benih dan pemupukan. Sejalan dengan peningkatan produktivitas, jumlah produksi jagung juga terus mengalami peningkatan dimana berdasarkan angka ramalan 2 tahun 2009 diperkirakan mencapai sekitar 5 juta ton. Analisis struktur, perilaku, dan kinerja pasar komoditas jagung di Indonesia secara umum disajikan dalam Tabel 5.5. Hasil analisis tersebut berdasarkan data
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
109
primer yang diperoleh melalui survei dan dipadukan dengan hasil studi pustaka dari berbagai penelitian terkait. Tabel 5.5. Analisis Structure-Conduct-Performance Komoditas Jagung Umum STRUCTURE •
• • • • •
Jumlah pelaku yang terlibat dalam mata rantai perdagangan cukup banyak. Hambatan untuk masuk ke pasar relatif rendah. Pada tingkat petani umumnya dalam skala kecil. Jenis produk relatif seragam. Diferensiasi antar daerah harga kecil. Pasar cenderung oligopoli pada tingkat pedagang ke konsumen; dan oligopsoni pada tingkat petani ke pedagang pengumpul
CONDUCT • • • • •
PERFORMANCE
Penentuan harga dominan oleh pedagang. Arus informasi terbuka. Ketergantungan antar pedagang tidak terlalu kuat. Pola kerjasama dalam bentuk langganan dan bebas. Permodalan untuk petani berasal dari sendiri dan pinjaman (pemilik lahan, pedagang).
• •
•
•
•
Disparitas harga kecil. Perbedaan harga dalam rantai pemasaran terutama disebabkan oleh biaya transportasi. Fluktuasi harga di tingkat produsen dipengaruhi keadaan cuaca dan harga internasional. Ketersediaan jagung dari segi kuantitas, kontinuitas, dan ketepatan waktu cukup baik. Hambatan akses pasar untuk jagung domestik disebabkan sarana transportasi dan pelabuhan yg terbatas.
5.3. Komoditas Kedele di Jawa Timur dan Lampung 5.3.1. Struktur Pasar Kedele di Jawa Timur dan Lampung Petani Kedele di Jombang Jawa Timur tergabung dalam kelompok tani. Diantara anggota kelompok tani terdapat diantaranya yang menjadi
petani
merangkap sebagai pedagang pengumpul. Sebagai Kelompok Tani, mereka menjalin komunikasi untuk menyesuaikan
perubahan harga
baik pada saat
musim panen, maupun pada saat persediaan atau stok komoditas minim di pasar atau juga pada saat terjadi limpahan impor di pasar. Petani
Kedele di Jombang, umumnya
memiliki luas garapan 0,5 Ha
dengan rata-rata produktivitas 2 ton per hektar. Mereka menjual seluruh hasil produksinya atau dengan perkataan lain mereka tidak mengkonsumsi untuk diri Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
110
sendiri. Sebagian hasil panen kedele dijual dengan cara tebas, jual bebas sekaligus atau juga dengan cara ijon, namun umumnya mereka menjual dengan cara
bebas
dengan
alasan
dapat
memilih
kemungkinan
mana
yang
menguntungkan petani. Tidak jauh berbeda dengan Lampung, sebagian besar luas lahan garapan kedele yang dimiliki petani berkisar kurang dari satu hektar. Hasil panen kedele dijual secara bebas kepada tengkulak/pedagang pengumpul, tapi ada juga yang menjualnya langsung kepada produsen tahu dan tempe. Bentuk hasil kedele yang dijual adalah berupa kedele kering. Harga kedele yang dijual secara bebas berkisar antara Rp.2.500,- sampai Rp.5.000,- per kg. Namun harga kedele pernah mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2000 hingga mencapai Rp.1.500,- per kg. Dilihat dari pola pembayarannya, antara Jawa Timur dan Lampung tidak banyak perbedaan. Di Jawa Timur umumnya pembayaran dilakukan secara tunai (90 persen) dalam jangka waktu pembayaran 2/3 hari. Sedangkan petani yang menjual dengan sistem ijon (10 persen) diantara mereka, adalah dengan cara perjanjian penjualan yang disepakati, yang memungkin petani mengalami kerugian. Ongkos angkut ditanggung oleh pembeli dan meskipun petani memiliki kelompok tani namun sebagian mereka melakukan penjualan secara sendiri atau tidak dengan cara kolektif dengan alasan bahwa penjualan secara kolektif memerlukan waktu menunggu yang tidak pasti, di samping itu harga tetap sama pada periode menunggu. Di Lampung, sebagian besar transaksi dilakukan antara petani dan pedagang pengumpul yang sudah menjadi langganan. Dan pola pembayaran oleh pedagang pengumpul kepada petani adalah diangsur. Penyelesaian pembayaran akan dilakukan setelah kedele sudah terjual kepada pedagang besar. Sedangkan pola pembayaran dari pedagang pengumpul kepada pedagang besar dapat dilakukan secara tunai dan diangsur. Informasi harga di pasaran diperoleh dari kelompok tani atau harga di pasar eceran dan di pasar grosir di Surabaya sehingga sebelum menjual kepada pedagang pengumpul mereka sebenarnya sudah mengetahui harga pembanding diantara harga yang ditawarkan oleh pedagang pengumpul. Memperhatikan harga yang diperoleh selama ini, petani menyatakan bahwa harga terjadi selama
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
111
ini tidak sesuai dengan harga yang diharapkan, karena harga saat ini tidak sesuai dengan harga periode terdahulu bahkan kemungkinan menurun. Apabila terjadi harga yang rendah petani tidak beralih menanam komoditi lain, karena petani di Jombang memiliki pola tanam yang terstruktur per tahun, begitu pula dengan di Lampung. Hal yang banyak dikeluhkan petani kedele di Lampung adalah tingginya biaya operasional sehingga harga kedele yang tinggi tidak memberikan keuntungan yang berarti bagi petani. Pola tanam kedele dilakukan berselang seling dengan pola tanam padi. Jadi petani tidak menanam kedele sepanjang tahun. Di samping menanam kedele di sawah petani juga menanam kedele di tegalan terutama pada musim penghujan. Tabel 5.5. Pola Tanam Padi, Kedele, dan Jagung di Kabupaten Jombang No. 1 2 3
Komoditas Padi Kedele Jagung
Periode Menanam (bulan) Desember s/d April April s/d Juli Juli s/d Desember
Umumnya pedagang pengumpul membeli kedele dari berbagai desa. Omset pembelian mencapai 300 s/d 500 ton. Pembelian terbanyak biasanya pada musim kemarau dengan harga yang lebih rendah dari musim hujan. Pedagang pengumpul tingkat desa tidak menanggung biaya transportasi tetapi ditanggung oleh pengepul
atau pembeli. Pedagang pengumpul tingkat desa
membeli bebas (100 persen) dari petani dengan pola pembayaran kontan. Bila mereka menjual kembali kepada pedagang lain, maka syarat pembayaran pun harus kontan dan dijual bebas kepada pedagang manapun. Jumlah pedagang pengumpul tingkat desa dalam satu desa adalah 2 orang sedangkan dalam satu kecamatan dapat mencapai 40 pedagang pengumpul. Sementara jumlah pedagang pengumpul tingkat Kecamatan/pengepul hanya satu orang. Sumber informasi harga yang diperoleh pengumpul tingkat desa adalah berasal dari pengepul/pedagang tingkat kecamatan atau dari pedagang besar lainnya. Pedagang pengumpul tingkat desa menyatakan bahwa harga yang didapatkan belum sesuai dengan yang diharapkan karena lebih banyak menguntungkan pedagang besar sementara pedagang pengumpul yang merangkap sebagai petani
menyatakan bahwa harga yang terbentuk tidak
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
112
sesuai dengan biaya produksi petani sehingga marjin keuntungan relatif kecil. Dalam lima tahun terakhir harga jual pernah sangat rendah disebabkan persaingan harga, stok terlalu banyak atau produksi membanjir di pasar sehingga pembeli dapat mempermainkan harga. Pedagang pengecer memperoleh kedele dari Pasar Pabean atau pasar grosir. Mereka membeli tidak mengenal batas musim hujan atau kemarau tergantung dari permintaan konsumen dan stok produk di pasar. Kedele/jagung yang dijual pedagang pengecer seluruhnya dijual kepada konsumen akhir. Pedagang pengecer membeli produk dari pedagang besar di Pabaen maupun yang berasal dari pedagang pengumpul lainnya dengan syarat pembayaran tunai. Pengecer kedele sebagian diantaranya tidak mengetahui harga di pasaran karena memang tidak ada informasi di pasaran atau karena keterlambatan kirim sehingga harga dari grosir mereka tidak tahu. Harga yang diterima pengecer tergantung harga di grosir. Importir Kedele di Pasar Pabean/Nyamplungan dan Kertapaten melakukan impor kedele 100 persen dari USA dengan total omzet pembelian 10 ton per bulan. Kedele impor dijual kembali ke pengecer, ke pasar-pasar, dengan pola pembayaran secara tunai. Jumlah pedagang besar kedele impor di pasar Pabean/Nyamplungan dan Kartapaten sebanyak 10 pedagang. Sebelum melakukan penjualan pedagangan besar mengetahui harga di pasaran melalui media, internet dan importir. Importir menyatakan bahwa harga dalam lima tahun terakhir relatif stabil. Bila turun berkisar 2 sampai 4 persen dari harga pasar.
Sistem Distribusi Kedele Permasalahan umum distribusi barang di Jawa Timur menyangkut komoditas kedele adalah masalah pergudangan di tingkat pedesaan atau di tingkat petani yang sangat terbatas jumlahnya dan kapasitasnya, padahal sangat dibutuhkan pada saat panen raya sehingga petani kesulitan menyimpan hasil produksinya. Di samping itu sewa gudang relatif mahal yang berdampak terhadap margin keuntungan petani. Upaya pemerintah untuk melindungi petani dari resiko tingginya fluktuasi harga komoditi pertanian diantaranya adalah dengan menerapkan Resi Gudang, adanya program Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) dalam rangka Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
113
ketahanan pangan, dan Lumbung Desa. Komoditas yang memiliki permasalahan yang paling krusial adalah komoditi padi. Upaya pemerintah untuk mengatasinya adalah melalui penetapan Harga Pembelian Pemerintah, Penerapan Resi Gudang, dan Supply Chain Management.
Pedagang Pengumpul
Petani
Pedagang Besar/Importir
Pengecer/KOPTI
Gambar 5.7. Alur Pemasaran Kedele di Propinsi Jawa Timur Terdapat dua pola saluran pemasaran kacang kedele hasil petani di Lampung. Model pertama adalah dari petani produsen menjual kepada tengkulak/pedagang pengumpul di desa, kemudian dijual ke pedagang besar di Kecamatan/Kabupaten, atau kepada produsen tahu dan tempe. Model kedua adalah dimana petani produsen langsung menjual hasil kedelenya kepada produsen tahu dan tempe.
Petani
Tengkulak/ Pedagang Pengumpul Desa
Pedagang Besar
Pedagang Tahu & Tempe Gambar 5.8. Alur Pemasaran Kedele di Propinsi Lampung 5.3.2. Perilaku Pasar Kedele di Jawa Timur dan Lampung Pada pasar komoditas kedele di Jawa Timur, kekuatan tawar didominasi oleh pembeli terutama pedagang besar yang jumlahnya lebih sedikit dari pada petani produsen. Mereka mempunyai kemampuan penentu harga, karena selain menguasai pangsa pasar, pedagang besar juga dapat melakukan impor kedele. Sedangkan industri pengguna kedele yang di dominasi oleh pengusaha tahu dan tempe juga hanya sebagai penerima harga. Secara umum mekanisme pasar untuk produk pangan di Propinsi Lampung adalah bebas. Dimana barang akan terjual jika harga sesuai. Namun
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
114
khusus untuk kedele di Lampung petani mengalami kesulitan mendapatkan akses informasi.
5.3.3. Kinerja Pasar Jagung dan Kedele di Jawa Timur dan Lampung Fluktuasi harga harga terjadi seiring dengan membanjirnya kedele impor atau terjadi gangguan pasokan dan distribusi di dalam negeri antara lain karena faktor-faktor transportasi, gangguan iklim/hujan sehingga dalam keadaan demikian biasanya muncul spekulan menahan dan menaikkan harga sepihak. Sementara petani tidak pernah tahu
tentang kenaikan harga yang beredar
di pasar, mereka hanya tahu harga tersebut dari ketua kelompok tani atau pedagang pengumpul di daerah tersebut. Harga tertinggi
kedele per ton pada musim kemarau
sebesar Rp
4.500.000,-/ton, sedangkan harga terendah sebesar Rp.2.250.000,-/ton . Sementara harga tertinggi pada musim hujan sebesar Rp.5.000.000,-/ton sedangkan harga terendah adalah sebesar Rp.2.500.000,-/ton dengan harga rata-rata sebesar Rp.4.000.000,-/ton. Sedangkan harga jual jagung tertinggi sebesar Rp.2.500,-/kg terjadi pada Desember 2008, terendah sebesar Rp.2.200,/kg terjadi pada bulan Oktober 2008.
Gambar 5.9. Perkembangan Harga Jagung dan Kedele di Tingkat Produsen di Propinsi Jawa Timur Sedangkan kedele seluruhnya dijual dalam bentuk Kedele Kering. Dalam lima tahun terakhir, harga kedele pernah sangat rendah seperti terjadi pada Juni 2006 sebesar Rp.2.700,-/kg. Penyebab terjadi penurunan harga tersebut karena adanya kedele impor, adanya kebijakan pemerintah yang memberi kemudahan Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
115
atau berlakunya pembebasan pajak impor, dan pemerintah tidak menjamin harga kedele dan jagung seperti perlakuan harga Beras dengan HPP Beras. Komoditas kedele yang diusahakan di propinsi Jawa Timur, capaiannya tidak terlalu baik. Perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi kedele di Propinsi Jawa Timur diperlihatkan oleh Tabel 5.6. Pada tahun 2007 terjadi penurunan yang siginifikan dari produksi kedele. Hal ini berdampak pada tingkat produksi pada tahun-tahun berikutnya. Hal ini juga dapat dijelaskan oleh model peralaman produksi kedele yang sudah dibangun, dimana produksi kedele sangat dipengaruhi oleh produksi sebelumnya. Tabel 5.6. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedele di Propinsi Jawa Timur Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 (ARAM 2) Komoditas
kedele
Luas Panen (Ha) 280.653 238.136 222.433 246.940 255.443 246.534 199.493 216.828 250.866 yang
Produktivitas (Ku/Ha) 12,44 12,61 12,91 12,92 13,12 12,99 12,63 12,79 12,76
dikembangkan
di
Produksi (Ton) 349.188 300.184 287.205 318.929 335.106 320.205 252.027 277.281 320.155
Propinsi
Jawa
Timur
perkembanganya mengalami perlambatan. Secara umum kecenderungan luas panen kedele mengalami penurunan walaupun berdasarkan angka ramalan 2 tahun 2009 diperkirakan akan mengalami peningkatan. Begitupula yang terjadi pada produktivitas usahataninya dimana dalam beberapa tahun terakhir mengalami stagnasi. Hal ini berimbas kepada hasil produksi kedele Propinsi Jawa Timur yang stagnan. Persaingan yang terjadi terutama dengan kedele impor yang harganya lebih murah menyebabkan usahatani kedele menjadi kurang menarik minat petani karena keuntungan yang dijanjikan relatif rendah. Pada sisi lain, kinerja di Lampung pun kurang diminati. Seiring dengan perkembangan harga komoditi lain saat ini terutama jagung, petani cenderung beralih ke tanaman jagung karena biaya pemeliharaan yang relatif lebih rendah. Namun dilihat dari perkembangan harga kedele terlihat mulai tahun 1998 sampai Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
116
tahun 2007 menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Di satu sisi impor kedele juga relatif tinggi, namun tingginya impor kedele bukan dikarenakan harga di dalam negeri yang tinggi tetapi akibat efisiensi produksi di dalam negeri yang belum cukup baik sehingga belum dapat mencukupi kebutuhan di dalam negeri. Disamping itu, belum efektifnya monitoring harga yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun lembaga swasta menyebabkan harga yang terjadi menjadi tidak simetris karena informasi hanya dari satu sisi yaitu pedagang dan informasi tersebut tidak tertransformasikan secara sempurna di level petani. Selain itu, komoditi kedele merupakan salah satu komoditas yang relatif jarang dilakukan intervensi pemerintah khususnya berkaitan dengan harga. Namun demikian pemerintah juga telah memberikan kemudahan sebagai upaya pengembangan
produksi
dalam
mengantispasi
naiknya
harga
kedele
internasional, pemerintah memberikan subsidi dari sisi input produksi berupa subsidi benih dan pupuk.
Gambar 5.10. Perkembangan Harga Kedele di Tingkat Produsen di Propinsi Lampung Komoditas kedele menunjukkan kinerja yang relatif kurang baik bila dibandingkan dengan komoditas beras dan jagung. Dengan pasar yang sudah tertentu yaitu industri tahu dan tempe menyebabkan harga tidak terlalu bersaing. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari struktur biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan produksi kedele dengan harga dipasaran yang mempunyai margin yang relatif kecil, yaitu sekitar 14 persen. Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
117
Tabel 5.7. Struktur Biaya dalam Produksi Kedele di Propinsi Lampung Jenis - Biaya benih
Biaya 480,000
- Biaya Garap
400,000
- Tanam
500,000
- Pupuk
800,000
- Ngoret/menyiangi
600,000
- Hama
400,000
- Panen
500,000
Total
3,680,000
Hasil 1 ton
3,500,000
Sebagaimana yang terlihat pada Tabel 5.7 dan perkembangan harga yang dijelaskan pada Gambar 5.10 menunjukkan biaya produksi untuk 1 kg kedele yaitu sebesar Rp.3.500,- dengan harga jual rata-rata sebesar Rp.4000,-. Terdapat margin sebesar Rp.500,-. Kondisi ini telah membuat komoditas kedele merupakan salah satu komoditas yang kurang menarik bagi petani untuk ditanam karena murahnya harga jual yang terjadi di pasar dibandingkan dengan biaya produksi yang mereka keluarkan untuk meningkatkan produksi dan kualitas. Tabel 5.8. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedele di Propinsi Lampung Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 (ARAM 2) Harga
jual
yang
Luas Panen (Ha) 12.176 6.020 4.231 5.139 4.110 3.158 3.008 5.658 12.598 relatif
murah
Produktivitas (Ku/Ha) 10,18 10,02 10,30 10,48 11,43 11,38 11,29 11,80 12,02 membuat
Produksi (Ton) 12.391 6.032 4.360 5.388 4.699 3.594 3.396 6.678 15.143
petani
enggan
untuk
mengembangkan produksi akibatnya pasokan di dalam negeri masih relatif kecil sehingga kebutuhan impor masih terus berlangsung guna mencukupi kebutuhan industri. Meskipun pemerintah saat ini telah berupaya untuk mengembangkan produksi akibat harga internasional kedele yang bergejolak, namun insentif Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
118
tersebut belum berpengaruh secara signifikan terhadap motivasi petani untuk meningkatkan produksinya. Sebagaimana yang terlihat pada Tabel 5.8, produksi kedele dari tahun 2001 sampai 2008 masih relatif kecil bila dibandingkan jenis komoditas lain, seperti beras dan jagung. Pada tahun 2008, produktivitas kedele di propinsi Lampung hanya mencapai 1,2 ton/ha atau dalam satu tahun hanya menghasilkan rata-rata kedele sebanyak 6,7 ton dengan luas panen sebesar 5,6 ha. Pada tahun 2009, terlihat akan ada peningakatan produksi kedele seiring dengan upaya pemerintah melalui pemberian insentif berupa subsidi pupuk dan benih kepada petani. Kondisi ini akan berdampak signifikan terhadap kinerja petani jika diiringi dengan kebijakan harga di pasar yang sesuai. Tabel 5.9. berikut menyajikan analisis struktur, perilaku, dan kinerja pasar Kedele di Indonesia secara
umum yang didasarkan pada data primer hasil
survei yang dipadukan dengan studi pustaka dari berbagai penelitian terkait. Tabel 5.9. Analisis Structure-Conduct-Performance Komoditas Kedele Secara Umum
STRUCTURE •
• • • • •
Jumlah pelaku yang terlibat dalam mata rantai perdagangan terbatas. Hambatan untuk masuk ke pasar relatif rendah. Pada tingkat petani dalam skala kecil. Jenis produk relatif seragam. Diferensiasi harga antar daerah kecil. Pasar cenderung oligopoli pada tingkat pedagang ke konsumen; dan oligopsoni pada tingkat petani ke pedagang pengumpul
CONDUCT • • • • •
Penentuan harga dominan oleh pembeli yaitu pedagang. Arus informasi terbuka. Ketergantungan antar pedagang tidak terlalu kuat. Pola kerjasama dalam bentuk langganan dan bebas. Permodalan untuk petani berasal dari sendiri dan pinjaman pemilik lahan, pedagang.
PERFORMANCE • •
•
•
•
Disparitas harga kecil. Fluktuasi harga di tingkat produsen dan konsumen dipengaruhi keadaan cuaca, ketersediaan pasokan dan harga kedele dunia. Ketersediaan dari segi kuantitas, kontinuitas, dan ketepatan waktu kurang baik. Perbedaan harga dalam rantai pemasaran terutama disebabkan oleh biaya transportasi. Hambatan akses pasar disebabkan sarana transportasi yg terbatas dan biaya usaha tani yang tinggi.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
119
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1. Kesimpulan Dari analisis data dan uji model peramalan yang telah disampaikan dalam bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut : a. Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan ternyata model-model proyeksi dengan time series method (TSM) dapat diandalkan untuk melakukan proyeksi harga jangka pendek, yaitu metode exponential smoothing untuk proyeksi harga gabah dan beras, sedangkan metode ARIMA untuk proyeksi harga jagung, kedele, gula pasir, dan terigu. b. Sedangkan untuk melakukan proyeksi pada volume pasokan komoditas beras, jagung, dan kedele,
metode yang lebih sesuai digunakan adalah
causal/econometrics method (C/EM). c. Untuk
melakukan
proyeksi
pada
konsumsi
dari
suatu
komoditas,
berdasarakan hasil perhitungan menunjukkan bahwa metode SARIMA (Seasonal Autoregressive Integrated Moving Average) untuk proyeksi konsumsi beras sedangkan ARMAX (Autoregressive Moving Average Exogen) paling sesuai untuk proyeksi konsumsi jagung dan kedele. d. Secara umum tingkat akurasi ramalan proyeksi harga lebih baik dari pada tingkat akurasi ramalan proyeksi pasokan (produksi) maupun volume permintaan (konsumsi). Tingkat akurasi tersebut terutama dipengaruhi oleh kualitas data yang digunakan dimana data harga lebih baik dibandingkan data-data yang lain. e. Hasil simulasi dengan persamaan simultan menunjukkan bahwa harga komoditas pangan pokok baik ditingkat produsen maupun konsumen lebih sensitif terhadap perubahan harga BBM daripada perubahan harga urea dan harga impor komoditas yang bersangkutan. f. Berdasarkan hasil analisis struktur-perilaku-kinerja dan penelitan-penelitian terdahulu mengenai komoditas beras, jagung, dan kedele menunjukkan bahwa arah perkembangan struktur, perilaku, dan kinerja pasar komoditas
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
120
pangan pokok tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam beberapa tahun terakhir. g. Berdasarkan analisis dan temuan lapangan dapat disimpulkan bahwa kondisi struktur, perilaku, dan kinerja pasar komoditas pangan pokok akan berubah jika: •
Infrastruktur menjadi kondusif
•
Skala usaha petani pangan pokok meningkat
•
Asosiasi petani berkembang
h. Output dari kajian ini diharapkan dapat digunakan untuk: •
Bahan pengambilan keputusan pimpinan
•
Bahan masukan untuk perumusan kebijakan stabilisasi harga
•
Antisipasi gejolak harga pada waktu-waktu tertentu.
6.2. Rekomendasi a. Perhitungan proyeksi harga jangka pendek untuk komoditas gabah dan beras sebaiknya menggunakan metode exponential smoothing b. Perhitungan proyeksi harga jangka pendek untuk komoditas jagung, kedele, gula pasir, dan terigu sebaiknya menggunakan metode ARIMA. c. Perlu dilakukan upaya penyempurnaan sistem pengumpulan dan manajemen data yang konsisten dan terkoordinasi antar instansi terkait agar diperoleh data yang berkualitas sehingga hasil perhitungan proyeksi maupun perhitungan lain yang menggunakan input data tersebut dapat menghasilkan informasi yang lebih akurat. d. Dalam menghadapi kondisi pasar yang tidak kompetitif, peran pemerintah sangat diperlukan untuk memberikan pelayanan informasi secara langsung untuk menghilangkan assymetric information atau melalui suatu instrumen kebijakan. Oleh karena itu perlu dibangun suatu mekanisme penyediaan informasi tentang sinyal-sinyal pasar seperti harga, permintaan, dan pasokan. e. Menggunakan proyeksi harga sebagai acuan dalam evaluasi perilaku pasar dan juga sebagai antisipasi dalam bentuk early warning system yang merupakan salah satu upaya dalam menjaga stabilitas harga terutama untuk komoditas pokok.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
121
f.
Peran
kelompok-kelompok
tani
perlu
ditingkatkan
dalam
rangka
meningkatkan kemampuan kerjasama ekonomi yang menghasilkan ekonomi yang lebih efisien. Efisiensi adalah bentuk dari solusi optimal yang mampu mengakomodasi kepentingan produsen dan konsumen yang mulanya adalah trade off.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
122
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul. 2008. Ekonomi Swasembada Gula Indonesia. Economic Review. No. 211 dalam www.bni.co.id/Portals/0/Document/GULA.pdf diakses terakhir pada tanggal 27 Agustus 2009. Devadoss, S dan J. Kropf, 1996. Impacts Of Trade Liberalizations Under The Uruguay Round On The World Sugar Market. Agricultutal Economics, (15): 83-96 Erwidodo, Mewa Ariani dan Adreng. 1997. Perkembangan Konsumsi dan Proyeksi Permintaan Beras di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi 16 (1&2). FAO. 2003. Important Commodities In Agricultural Trade. FAO Support to the WTO Negotiations, FAO, Rome. Groombridge, M. A. 2001. America's Bittersweet Sugar Policy. Trade Briefing Paper. Center for Trade Policy Study, CATO Institute, Washington DC. Hadi, Prajogo dan Sri Nuryanti. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi Terhadap Ekonomi Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 23 No. 1:82-99. llham, Nyak. 2004. Dampak Kebijakan Stabilisasi Harga Terhadap Stabilitas Makro di Indonesia: Suatu Kajian Indikatif. ICESERD Working Paper No. 33, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Irawan, Andi. Integrasi Pasar Beras Indonesia. ______, Analisis Penawaran dan Permintaan Beras di Luar Jawa. Kariyasa, Ketut., Bonar M. Sinaga, MO. Adnyana. Proyeksi Produksi dan Permintaan Jagung, Pakan dan Daging Ayam Ras di Indonesia. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB Dan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian Kennedy, P. L. 2001. Sugar Policy. Louisiana State University, Louisiana. Kustiari, Reni. dan Sri Nuryanti. Perubahan Tingkat Harga Komoditas Pangan di Pasar Dunia dan Dampaknya terhadap Konsumsi dan Harga di Pasar Domestik. Penelitian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Labis, Walter C. 1989. Agriculture Commodity Models. LMC. 2003. LMC International Documents Wide Range Of Subsidies Among World's Major Sugar Countries. American Sugar Alliance, January 2003. Malian,
A. Husni., Sudi Mardianto, Mewa Ariani. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan Harga Beras Serta Inflasi Bahan Makanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
123
Nainggolan, Kaman. Ketahanan dan Stabilitas Pasokan, Permintaan, dan Harga Komoditas Pangan. Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian Parry, M.L., C. Rosenzweig, A. Iglesias, M. Livermore, and G. Fisher. 2004. Effects of Climate Change on Food Production Under SRES Emissions and Socio_Economics Scenarios. Global Invironmental Change, 14(2004): 53-67. Pindick, R. S., and D. L. Rubinfeld. Econometric Models and Economic Forecasts. Purba, Helena J. 1999. Keterkaitan Pasar Jagung dan Pakan Ternak Ayam Ras di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi. Tesis Magister Sains Program Pasca Sarjana, IPB Purwoto, Adreng., Handewi PSR, Sri Hastuti S. Korelasi Harga dan Derajat Integrasi Spasial Antara Pasar Dunia dan Pasar Domestik Untuk Komoditas Pangan Dalam Era Liberalisasi Perdagangan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Pusat Palawija (CGPRT Centre). Sistem Komoditas Kedele di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Balai .Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Rachman, Benny. Dinamika Harga dan Perdagangan Komoditas Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Sarasutha, IGP., Suryawati, Margareta SL. Tataniaga Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia Sarasutha, IGP. Kinerja Usaha Tani dan Pemasaran Jagung di Sentra Produksi. Balai Penelitian Tanaman Serealia Shahabuddin,Q.1991.A Disaggregated Model For Stabilization of Rice Prices in Bangladesh. Simatupang, P. 2005. Proyeksi Harga Komoditas Pangan Jangka Pendek. PSE, Bogor Siregar, M. 2002. Tinjauan Kebijakan Perdagangan Komoditas Kedele. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Susila, W.R. dan Bonar Sinaga. 2005, Analisis Kebijakan Industri Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 23 No. 1:30-35. Yudoyoko, Fadjari I.S. 1997. Ekonomi Politik Industri dan Tata Niaga Strategis di Indonesia 1970 - 1997. Tesis. Program Pascasarjanan Bidang llmu Sosial. Universitas Indonesia.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
124
LAMPIRAN
Lampiran 1. Resume Hasil Estimasi Model Proyeksi Harga dengan Time Series Method Variabel yang dikaji
Harga Eceran Beras
Harga Gabah Tingkat Petani
Harga Jagung di Tingkat Petani
Harga Eceran Gula
Harga Eceran Terigu
Harga Eceran Kedele Lokal
Harga Eceran Kedele Impor
Lokasi
Exponential Smoothing (ES)
ARIMA Model
Kesimpulan
RMSE
Medan
HWMS(87.61)
ARIMA (3,1,3) SMA(12)
85.162
Jakarta
HWMS(138.33)
ARIMA(1,1,2) SMA(6,12)
166.008
ES/ARIMA
Bandung
HWAS(185.56)
ARIMA(1,1,2) SMA(3)
194.856
ES
Surabaya
HWMS(124.97)
ARIMA(1,1,1) SMA(5,12)
130.922
ES
ES
Makasar
HWMS(184.85)
ARIMA(2,2,3) SAR(12) SMA(12)
195.768
ES
Jabar
HWMS(105.02)
ARIMA(2,1,2) SAR(4) SMA(4)
114.299
ES
Jatim
HWMS(79.69)
ARIMA(0,1,2) SAR(2) SMA(4)
89.410
ES
Sulsel
HWMS(89.87)
ARIMA(1,1,4)
92.316
ES
Lampung
HWMS(102.136)
ARIMA(1,1,1) SMA(12)
94.253
ARIMA
110.335
ARIMA
Jawa Timur
HWMS(120.925)
ARIMA(1,1,1) SMA(12)
Sulawesi Selatan
HWMS(42.546)
ARIMA(1,1,1) SAR(12) SMA(12)
Medan
HWAS(256.36)
ARIMA(1,1,1) SMA(10)
Jakarta
HWO(170.31)
ARIMA(2,1,2) SMA(10)
149.236
ARIMA
Bandung
HWO(191.60)
ARIMA(2,1,2) SMA(10)
175.543
ARIMA
Surabaya
HWO(195.77)
ARIMA(2,1,2) SMA(10)
170.278
ARIMA
Makasar
HWO(150.67)
ARIMA(1,1,2) SMA(9)
133.340
ARIMA
43.270
ES/ARIMA
247.805
ARIMA
Medan
HWO(90.30)
ARIMA(2,1,1) SMA(4)
78.071
ARIMA
Jakarta
HWO(76.51)
ARIMA(1,1,2) SMA(12)
61.535
ARIMA
Bandung
HWMS(76.56)
ARIMA(1,1,2) SAR(12) SMA(12)
62.970
ARIMA
Surabaya
HWAS(179.89)
ARIMA(0,1,0) SAR(5) SMA(5)
Makasar
HWO(80.69)
ARIMA(1,1,1)
174.900
ES/ARIMA
74.059
ARIMA ARIMA
Lampung
HWO(213.43)
ARIMA(2,1,3) SMA(12)
188.996
Jakarta
HWO(218.39)
ARIMA(2,1,2) SMA(12)
188.154
ARIMA
Surabaya
HWAS(244.01)
ARIMA(1,1,1) SMA(3,9)
228.763
ARIMA ARIMA
Makasar
HWAS(349.39)
ARIMA(1,1,2) SMA(8,12)
329.240
Jakarta
HWMS(279.24)
ARIMA(0,1,1) SMA(9,10)
272.520
ES/ARIMA
Bandung
HWAS(248.33)
ARIMA(2,1,2)
238.909
ARIMA
Surabaya
HWMS(273.38)
ARIMA(2,2,0) SMA(3,12)
254.590
ARIMA
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok
|
125
Lampiran 2.
Resume Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi dan Konsumsi dengan Time Series Method
Produksi SS Komoditi
DS
HWO
HWAS
HWMS
SSR
RMSE
RMSPE
SSR
RMSE
RMSPE
SSR
RMSE
RMSPE
SSR
RMSE
RMSPE
SS
RMSE
RMSPE
Padi
3.19E+15
6612340
48.05
3.04E+15
6452146.
49.91
3.44E+15
6860748.
52.49
2.96E+15
6370249.
54.95
2.95E+15
6360850.
54.88
Jagung
2.36E+14
1797826.
62.24
2.05E+14
1677626.
65.97
2.15E+14
1717510.
67.19
2.11E+14
1700286.
74.30
2.10E+14
1694281.
73.87
Kedele
6.86E+11
96956.62
23.95
6.32E+11
93033.15
22.79
6.28E+11
92779.30
22.92
6.20E+11
92149.85
22.11
6.27E+11
92711.95
22.94
Konsumsi SS Komoditi
DS
HWO
HWAS
HWMS
SSR
RMSE
RMSPE
SSR
RMSE
RMSPE
SSR
RMSE
RMSPE
SSR
RMSE
RMSPE
SSR
RMSE
RMSPE
Beras
9.31E+14
4041052.
54.09
9.06E+14
3987438.
50.65
1.12E+15
4425820.
52.04
9.19E+14
4015749.
54.14
9.20E+14
4017270.
54.09
Jagung
1.77E+14
1761972.
57.38
1.56E+14
1652257.
60.21
1.91E+14
1831237.
63.61
1.60E+14
1676127.
68.07
1.60E+14
1673305.
67.08
Kedele
5.31E+11
96535.50
20.61
5.31E+11
96503.05
20.30
5.79E+11
100781.2
20.35
5.03E+11
93983.61
19.14
5.00E+11
93660.62
19.41
Keterangan: 1. SS : Single Smoothing 2. DS : Double Smoothing 3. HWO : Holt Winter No Seasonal 4. HWAS : Holt Winter Additive Seasonal 5. HWMS : Holt Winter Multiplicative Seasonal
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok
|
126
Lampiran 3. Resume Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Padi, Jagung dan Kedele dengan ARIMA, SARIMA dan ARMAX Variabel Produksi Padi heberas dum1 dum2 ar(1) ma(1) d(lnratiohppadi_ur) Produksi Jagung d(lnprodjag(-1)) dum1 dum2 d(lnhejag(-2)) Produksi Kedele ar(1) sar(3) ma(3) d(lnprodked(-1)) d(lnheked(-1)) dum1 dum2
PRODPADI tstat MAPE * * * * *
4.63
D(LNPRODPADI) tstat MAPE
* *
D(LNPRODJAG) tstat MAPE tstat
MAPE
PRODKEDELE tstat MAPE
D(LNPRODKED) tstat MAPE
0.39
*** * ** *
0.88
* * * *
0.78
* * *
11.81 * ** * *
0.91
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok
|
127
Lampiran 4. Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Padi dengan ARMAX
Dependent Variable: PRODPADI Method: Least Squares Date: 10/17/09 Time: 10:02 Sample(adjusted): 2 57 Included observations: 56 after adjusting endpoints Convergence achieved after 15 iterations Backcast: 1 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DUM1 DUM2 HEBERAS AR(1) MA(1)
23537043 -6823589. -8683946. 709.2780 0.746928 -0.996843
267005.0 386849.3 404652.8 51.32274 0.089714 0.072919
88.15207 -17.63888 -21.46024 13.81995 8.325675 -13.67060
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.975642 0.973206 1076612. 5.80E+13 -854.0898 1.754190
Inverted AR Roots Inverted MA Roots
.75 1.00
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
16908308 6577154. 30.71749 30.93450 400.5350 0.000000
3.0E+07 Forecast: PRODPADIF Actual: PRODPADI Forecast sample: 1 57 Adjusted sample: 2 57 Included observations: 56
2.5E+07
2.0E+07 Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion
1.5E+07
1.0E+07
1017303. 757007.7 4.631669 0.028135 0.002592 0.009688 0.987721
5.0E+06 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
PRODPADIF
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok
128 |
Lampiran 5. Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Padi dengan CE/M
Dependent Variable: D(LNPRODPADI) Method: Least Squares Date: 10/17/09 Time: 18:35 Sample(adjusted): 2 57 Included observations: 56 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
0.981065 0.162588 -0.110055 -1.409350
0.020802 0.088586 0.028288 0.029113
47.16279 1.835374 -3.890526 -48.40939
0.0000 0.0722 0.0003 0.0000
D(LNRATIOHPPADI_UR)
DUM1 DUM2 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.985028 0.984164 0.087189 0.395304 59.23613 2.592060
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.012319 0.692847 -1.972719 -1.828051 1140.347 0.000000
17.6 Forecast: LNPRODPADIF Actual: LNPRODPADI Forecast sample: 1 57 Adjusted sample: 2 57 Included observations: 56
17.2
16.8 Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion
16.4
16.0
0.084018 0.064839 0.390230 0.002535 0.000000 0.000065 0.999935
15.6 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
LNPRODPADIF
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok
129 |
Lampiran 6.
Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Jagung dengan CE/M-1
Dependent Variable: D(LNPRODJAG) Method: Least Squares Date: 10/17/09 Time: 17:43 Sample(adjusted): 3 57 Included observations: 55 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(LNPRODJAG(-1)) DUM1 DUM2
1.001890 -0.596560 -0.567470 -1.177691
0.050208 0.112256 0.232567 0.165706
19.95463 -5.314263 -2.440033 -7.107108
0.0000 0.0000 0.0182 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.958095 0.955630 0.181837 1.686297 17.79033 2.170955
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.013812 0.863248 -0.501467 -0.355479 388.6764 0.000000
16.4 Forecast: LNPRODJAGF Actual: LNPRODJAG Forecast sample: 1 57 Adjusted sample: 3 57 Included observations: 55
16.0 15.6 15.2
Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion
14.8 14.4 14.0
0.175100 0.129424 0.882001 0.005895 0.000000 0.008947 0.991053
13.6 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
LNPRODJAGF
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok
130 |
Lampiran 7.
Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Jagung dengan CE/M-2
Dependent Variable: D(LNPRODJAG) Method: Least Squares Date: 10/17/09 Time: 17:51 Sample(adjusted): 4 57 Included observations: 54 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(LNPRODJAG(-1)) D(LNHEJAG(-2)) DUM1 DUM2
0.946988 -0.597781 0.989126 -0.602118 -1.142724
0.052000 0.107075 0.369324 0.221877 0.158509
18.21123 -5.582851 2.678205 -2.713742 -7.209204
0.0000 0.0000 0.0100 0.0092 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.963430 0.960445 0.173183 1.469629 20.68461 2.151909
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.018071 0.870770 -0.580912 -0.396746 322.7242 0.000000
16.4 Forecast: LNPRODJAGF Actual: LNPRODJAG Forecast sample: 1 57 Adjusted sample: 4 57 Included observations: 54
16.0 15.6 15.2
Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion
14.8 14.4 14.0
0.164971 0.114395 0.780654 0.005548 0.000000 0.006281 0.993719
13.6 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
LNPRODJAGF
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok
131 |
Lampiran 8.
Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Kedele dengan SARIMA
Dependent Variable: PRODKED Method: Least Squares Date: 10/17/09 Time: 17:55 Sample(adjusted): 5 57 Included observations: 53 after adjusting endpoints Convergence achieved after 19 iterations Backcast: 2 4 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C AR(1) SAR(3) MA(3)
113822.2 0.562878 0.902073 -0.955683
51093.85 0.105351 0.016207 0.017454
2.227709 5.342871 55.65825 -54.75432
0.0305 0.0000 0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.907182 0.901499 50182.50 1.23E+11 -646.7656 2.229186
Inverted AR Roots Inverted MA Roots
.97 .99
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) .56 -.49 -.85i
-.48+.84i -.49+.85i
384231.6 159894.3 24.55719 24.70589 159.6386 0.000000 -.48 -.84i
900000 Forecast: PRODKEDF Actual: PRODKED Forecast sample: 1 57 Adjusted sample: 5 57 Included observations: 53
800000 700000 600000 500000
Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion
400000 300000 200000 100000
48251.68 41038.94 11.80699 0.058029 0.004358 0.021571 0.974071
0 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
PRODKEDF
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok
132 |
Lampiran 9. Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Kedele dengan CE/M
Dependent Variable: D(LNPRODKED) Method: Least Squares Date: 10/17/09 Time: 18:02 Sample(adjusted): 3 57 Included observations: 55 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(LNPRODKED(-1)) D(LNHEKED(-1)) DUM1 DUM2
-0.133971 -0.368531 0.528101 -0.414241 0.361320
0.051111 0.127927 0.257768 0.061582 0.060005
-2.621196 -2.880791 2.048751 -6.726698 6.021509
0.0116 0.0058 0.0458 0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.704575 0.680940 0.152247 1.158961 28.10313 2.235101
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.016608 0.269534 -0.840114 -0.657629 29.81185 0.000000
14.0 Forecast: LNPRODKEDF Actual: LNPRODKED Forecast sample: 1 57 Adjusted sample: 3 57 Included observations: 55
13.6 13.2
Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion
12.8 12.4 12.0
0.145162 0.115504 0.906291 0.005675 0.000000 0.001103 0.998897
11.6 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
LNPRODKEDF
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok
133 |
Lampiran 10. Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Padi dengan Single Smoothing dan Double Smoothing
Single Smoothing Date: 10/16/09 Time: 17:17 Sample: 1 73 Included observations: 73 Method: Single Exponential Original Series: QS1 Forecast Series: QS1SM Parameters: Alpha Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0380 3.19E+15
End of Period Mean Levels:
17723716
6612340.
Double Smoothing Date: 10/16/09 Time: 17:37 Sample: 1 73 Included observations: 73 Method: Double Exponential Original Series: QS1 Forecast Series: QS1SM Parameters: Alpha Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0050 3.04E+15 6452146.
End of Period Levels:
21179216 118615.3
Mean Trend
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
134
Lampiran 11. Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Padi dengan Holt Winter Holt-Winter Non-Seasonal Date: 10/16/09 Time: 17:38 Included observations: 73 Original Series: QS1 Forecast Series: QS1SM Parameters: Alpha Beta Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0700 0.0900 3.44E+15 6860748.
End of Period Levels:
19854797 163049.0
Mean Trend
Holt Winter Additive Seasonal Date: 10/16/09 Time: 17:42 Included observations: 73 Original Series: QS1 Forecast Series: QS1SM Parameters: Alpha Beta Gamma Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0000 0.0000 0.0000 2.96E+15 6370249.
End of Period Levels:
19798953 79665.46 -422707.9 186150.3 -203493.1 885635.8 -445585.1
Mean Trend Seasonals: 69 70 71 72 73
Holt Winter Multiplicative Seasonal Date: 10/16/09 Time: 17:43 Included observations: 73 Original Series: QS1 Forecast Series: QS1SM Parameters: Alpha Beta Gamma Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0000 0.0000 0.0000 2.95E+15 6360850.
End of Period Levels:
19798953 79665.46 0.966621 1.002337 0.983586 1.045933 1.001524
Mean Trend Seasonals: 69 70 71 72 73
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
135
Lampiran 12. Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Jagung dengan Single Smoothing dan Double Smoothing
Single Smoothing Date: 10/16/09 Time: 17:47 Sample: 1 73 Included observations: 73 Method: Single Exponential Original Series: QS2 Forecast Series: QS2SM Parameters: Alpha Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.1000 2.36E+14
End of Period Mean Levels:
4680523.
1797826.
Double Smoothing Date: 10/16/09 Time: 17:47 Sample: 1 73 Included observations: 73 Method: Double Exponential Original Series: QS2 Forecast Series: QS2SM Parameters: Alpha Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0010 2.05E+14 1677626.
End of Period Levels:
4454297. 39776.95
Mean Trend
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
136
Lampiran 13. Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Jagung dengan Holt Winter Holt Winter No Seasonal Date: 10/16/09 Time: 17:51 Included observations: 73 Original Series: QS2 Forecast Series: QS2SM Parameters: Alpha Beta Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0400 0.3100 2.15E+14 1717510.
End of Period Levels:
4889803. 136879.1
Mean Trend
Holt Winter Additive Seasonal Date: 10/16/09 Time: 17:49 Included observations: 73 Original Series: QS2 Forecast Series: QS2SM Parameters: Alpha Beta Gamma Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0100 0.0600 0.0000 2.11E+14 1700286.
End of Period Levels:
4738588. 42637.07 -128138.9 121018.6 -12952.86 174474.5 -154401.3
Mean Trend Seasonals: 69 70 71 72 73
Holt Winter Multiplicative Seasonal Date: 10/16/09 Time: 17:49 Included observations: 73 Original Series: QS2 Forecast Series: QS2SM Parameters: Alpha Beta Gamma Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0100 0.0600 0.0000 2.10E+14 1694281.
End of Period Levels:
4737121. 42523.35 0.971326 0.984986 0.996474 1.023995 1.023219
Mean Trend Seasonals: 69 70 71 72 73
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
137
Lampiran 14. Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Kedele dengan Single Smoothing dan Double Smoothing
Single Smoothing Date: 10/16/09 Time: 18:02 Sample: 1 73 Included observations: 73 Method: Single Exponential Original Series: QS3 Forecast Series: QS3SM Parameters: Alpha Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.3060 6.86E+11
End of Period Mean Levels:
253773.2
96956.62
Double Smoothing Date: 10/16/09 Time: 18:03 Sample: 1 73 Included observations: 73 Method: Double Exponential Original Series: QS3 Forecast Series: QS3SM Parameters: Alpha Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.1540 6.32E+11 93033.15
End of Period Levels:
243424.2 -1063.390
Mean Trend
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
138
Lampiran 15. Hasil Estimasi Model Proyeksi Produksi Kedele dengan Holt Winter Holt Winter No Seasonal Date: 10/16/09 Time: 18:04 Included observations: 73 Original Series: QS3 Forecast Series: QS3SM Parameters: Alpha Beta Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.2500 0.1600 6.28E+11 92779.30
End of Period Levels:
250378.9 2734.569
Mean Trend
Holt Winter Additive Seasonal Date: 10/16/09 Time: 18:05 Sample: 1 73 Original Series: QS3 Forecast Series: QS3SM Parameters: Alpha Beta Gamma Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.2000 0.2300 0.0000 6.20E+11 92149.85
End of Period Levels:
252717.6 3102.045 -10366.34 4719.474 -9378.288 1465.742 13559.41
Mean Trend Seasonals: 69 70 71 72 73
Holt Winter Multiplicative Seasonal Date: 10/16/09 Time: 18:06 Included observations: 73 Original Series: QS3 Forecast Series: QS3SM Parameters: Alpha Beta Gamma Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.2000 0.2300 0.0000 6.27E+11 92711.95
End of Period Levels:
253082.3 3325.974 0.959435 1.026811 0.984604 1.003695 1.025456
Mean Trend Seasonals: 69 70 71 72 73
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
139
Lampiran 16. Hasil Estimasi Model Proyeksi Konsumsi Beras dengan Single Smoothing dan Double Smoothing
Single Smoothing Date: 10/17/09 Time: 14:27 Sample: 1 57 Included observations: 57 Method: Single Exponential Original Series: D1BERAS Forecast Series: D1BERASM Parameters: Alpha Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0010 9.31E+14
End of Period Mean Levels:
10185497
4041052.
Double Smoothing Date: 10/17/09 Time: 14:28 Sample: 1 57 Included observations: 57 Method: Double Exponential Original Series: D1BERAS Forecast Series: D1BERASDS Parameters: Alpha Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0010 9.06E+14 3987438.
End of Period Levels:
11758777 38324.76
Mean Trend
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
140
Lampiran 17. Hasil Estimasi Model Proyeksi Konsumsi Beras dengan Holt Winter Holt Winter No Seasonal Date: 10/17/09 Time: 14:29 Included observations: 57 Original Series: D1BERAS Forecast Series: D1BERASWO Parameters: Alpha Beta Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.1000 0.1100 1.12E+15 4425820.
End of Period Levels:
11880568 52285.16
Mean Trend
Holt Winter Additive Seasonal Date: 10/17/09 Time: 14:34 Included observations: 57 Original Series: D1BERAS Forecast Series: D1BERASM Parameters: Alpha Beta Gamma Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0000 0.0000 0.0000 9.19E+14 4015749.
End of Period Levels:
12219872 39399.07 -427735.2 -217315.2 190777.3 -215840.2 670113.3
Mean Trend Seasonals: 53 54 55 56 57
Holt Winter Multiplicative Seasonal Date: 10/17/09 Time: 14:36 Sample: 1 57 Original Series: D1BERAS Forecast Series: D1BERASM Parameters: Alpha Beta Gamma Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0000 0.0000 0.0000 9.20E+14 4017270.
End of Period Levels:
12219872 39399.07 0.988061 0.972213 1.008914 0.975124 1.055687
Mean Trend Seasonals: 53 54 55 56 57
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
141
Lampiran 18. Hasil Estimasi Model Proyeksi Konsumsi Jagung dengan Single Smoothing dan Double Smoothing
Single Smoothing Date: 10/17/09 Time: 14:40 Sample: 1 57 Included observations: 57 Method: Single Exponential Original Series: D2 Forecast Series: D2SM Parameters: Alpha Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0760 1.77E+14
End of Period Mean Levels:
3967534.
1761972.
Double Smoothing Date: 10/17/09 Time: 14:42 Sample: 1 57 Included observations: 57 Method: Double Exponential Original Series: D2 Forecast Series: D2DS Parameters: Alpha Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0010 1.56E+14 1652257.
End of Period Levels:
4267206. 37871.52
Mean Trend
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
142
Lampiran 19. Hasil Estimasi Model Proyeksi Konsumsi Jagung dengan Holt Winter Holt Winter No Seasonal Date: 10/17/09 Time: 14:44 Included observations: 57 Original Series: D2 Forecast Series: D2HWO Parameters: Alpha Beta Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.1000 0.1300 1.91E+14 1831237.
End of Period Levels:
4689632. 67085.20
Mean Trend
Holt Winter Additive Seasonal Date: 10/17/09 Time: 14:45 Included observations: 57 Original Series: D2 Forecast Series: D2WAS Parameters: Alpha Beta Gamma Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0100 0.2400 0.0100 1.60E+14 1676127.
End of Period Levels:
4236388. 32954.60 -270046.0 -120378.6 148990.3 16067.75 225366.5
Mean Trend Seasonals: 53 54 55 56 57
Holt Winter Multiplicative Date: 10/17/09 Time: 14:46 Included observations: 57 Original Series: D2 Forecast Series: D2WMS Parameters: Alpha Beta Gamma Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0100 0.2400 0.0000 1.60E+14 1673305.
End of Period Levels:
4237036. 33235.12 0.979419 0.976705 0.986577 1.012190 1.045110
Mean Trend Seasonals: 53 54 55 56 57
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
143
Lampiran 20. Hasil Estimasi Model Proyeksi Konsumsi Kedele dengan Single Smoothing dan Double Smoothing
Single Smoothing Date: 10/17/09 Time: 14:47 Sample: 1 57 Included observations: 57 Method: Single Exponential Original Series: D3 Forecast Series: D3SM Parameters: Alpha Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.2500 5.31E+11
End of Period Mean Levels:
341033.1
96535.50
Double Smoothing Date: 10/17/09 Time: 14:49 Sample: 1 57 Included observations: 57 Method: Double Exponential Original Series: D3 Forecast Series: D3DS Parameters: Alpha Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.0860 5.31E+11 96503.05
End of Period Levels:
309827.7 -4702.224
Mean Trend
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
144
Lampiran 21. Hasil Estimasi Model Proyeksi Konsumsi Kedele dengan Holt Winter Holt Winter No Seasonal Date: 10/17/09 Time: 14:50 Included observations: 57 Original Series: D3 Forecast Series: D3WO Parameters: Alpha Beta Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.2900 0.1400 5.79E+11 100781.2
End of Period Levels:
339608.4 1023.386
Mean Trend
Holt Winter Additive Seasonal Date: 10/17/09 Time: 14:51 Included observations: 57 Original Series: D3 Forecast Series: D3WAS Parameters: Alpha Beta Gamma Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.1800 0.0000 0.0000 5.03E+11 93983.61
End of Period Levels:
318405.7 -5017.468 4947.309 4752.413 6882.427 -29258.81 12676.66
Mean Trend Seasonals: 53 54 55 56 57
Holt Winter Multiplicative Date: 10/17/09 Time: 14:52 Sample: 1 57 Original Series: D3 Forecast Series: D3WMS Parameters: Alpha Beta Gamma Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error
0.1900 0.0000 0.0000 5.00E+11 93660.62
End of Period Levels:
320285.4 -5017.468 1.009512 1.001852 1.019793 0.944539 1.024303
Mean Trend Seasonals: 53 54 55 56
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Model Proyeksi Jangka Pendek Pasar Komoditas Pangan Pokok |
145