LAPORAN AKHIR ANALISIS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS PANGAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN
Oleh : Bambang Sayaka Mewa Ariani Masdjidin Siregar Herman Supriadi Ening Ariningsih Bambang Rahmanto Andi Askin
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI PETANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2005
RINGKASAN EKSEKUTIF
Latar Belakang dan Masalah 1.
Kebijakan di bidang pangan yang ditetapkan pemerintah selama ini bias pada komoditas beras, sehingga terjadi pergeseran pola pangan pokok masyarakat dari pangan lokal seperti umbi-umbian dan jagung sesuai potensi dan budaya lokal ke komoditas beras. Di sisi lain pemerintah dituntut untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat karena pangan merupakan hak asasi bagi setiap orang. Salah satu cara untuk mewujudkan ketahanan pangan adalah menciptakan product development yang beraneka ragam. Aneka umbi-umbian dan jagung mempunyai prospek yang cukup luas untuk dikembangkan sebagai subsitusi beras dan untuk diolah menjadi makanan bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan pengembangan teknologi pengolahan serta strategi pemasaran.
Tujuan Penelitian 2.
Tujuan penelitian ini adalah: (i) Menganalisis perkembangan produksi dan situasi konsumsi ubikayu, jagung dan sagu, (ii) Menganalisis bentuk-bentuk bahan pangan dan produk pangan olahan dari ubikayu, jagung dan sagu, (iii) Menganalisis ketersediaan dan kebutuhan teknologi pengolahan bahan pangan dan produk pangan di wilayah pedesaan berbasis ubikayu, jagung dan sagu, dan (iv) Melakukan sintesis peluang, kendala dan kebijakan pengembangan agroindustri di pedesaan berbasis ubikayu, jagung dan sagu.
Sumber Data 3.
Sumber data berasal dari data sekunder (SUSENAS tahun 2002 dan 1999, harga ubikayu, jagung, sagu dan beras) dan data primer di tingkat rumah tangga, petani dan industri rumah tangga serta lembaga pemerintah di pusat dan di daerah. Penelitian dilakukan di tiga provinsi yaitu Jawa Timur (Kabupaten Trenggalek), mewakili komoditas ubikayu, Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kupang) mewakili jagung dan Papua (Kabupaten Jayapura) mewakili sagu. Total responden di tiga lokasi adalah 197 responden. Data dianalisis secara kualitatif dalam bentuk tabel-tabel dan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat), juga dianalisis secara kuantitatif dengan Indeks Enthropy dan koefisien variasi.
RE-1
Produksi dan Konsumsi Pangan 4.
Produksi ubikayu, jagung dan sagu tersedia dalam jumlah yang cukup untuk bahan baku agroindustri, dan cenderung bertambah produksinya ubikayu dan jagung. Laju peningkatan produksi ubikayu selama tahun 1999-2004 di provinsi Jawa Timur sekitar 3,7 persen per tahun. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan produktivitas dan bukan luas panen. Sementara itu laju pertumbuhan produksi jagung di provinsi Nusa Tenggara Timur sekitar 4,6 persen per tahun sebagai akibat peningkatan produktivitas sebesar 2,4 persen per tahun dan luas panen sebesar 2,2 persen per tahun. Khusus untuk sagu tidak diperoleh data secara lengkap hanya produksi tahun 2004 sebesar 4,1 ribu ton. Keterbatasan data ini hendaknya mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah setempat, mengingat salah satu komoditas unggulan di provinsi Papua adalah sagu.
5.
Usahatani ubikayu, jagung dan sagu yang dilakukan oleh petani masih menguntungkan. Pendapatan petani dari usahatani ubikayu dengan memperhitungkan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga di provinsi Jawa Timur sebesar Rp 1,2 juta/ha/musim, sedangkan dari usahatani jagung di provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp 236 ribu/ha/musim dan menebang sagu di provinsi Papua sebesar Rp 1,0 juta per panen.
6.
Sebagian besar rumah tangga terutama di pedesaan mengkonsumsi makanan pokok seperti ubikayu, jagung, dan sagu sesuai dengan yang dihasilkan oleh lahan pertanian atau sumberdaya alam setempat. Sementara itu, sumber perolehan beras yang dikonsumsi oleh rumah tangga termasuk rumah tangga di pedesaan berasal dari pembelian. Jenis pangan lokal yang banyak dikonsumsi oleh rumah tangga untuk ubikayu berupa ubikayu segar, untuk jagung berupa jagung pipilan dan sagu berupa tepung sagu. Pola konsumsi pangan rumah tangga masih bias pada pangan sumber karbohidrat, belum beragam seperti dalam Pola Pangan Harapan, demikian pula untuk konsumsi pangan pokoknya. Konsumsi pangan pokok di pedesaan lebih beragam dibandingkan di perkotaan.
7.
Sebagian besar rumah tangga mengkonsumsi ubikayu dan jagung sebagai makanan pokok dalam bentuk campuran dengan mencampur beras untuk konsumsi ubikayu, dengan ubikayu/ubijalar untuk konsumsi jagung. Sementara itu, sagu dikonsumsi dalam bentuk tunggal. Jenis makanan olahan yang menggunakan bahan baku ubikayu, jagung dan sagu yang dimasak oleh rumah tangga sebagai makanan selingan relatif banyak, namun cara memasaknya masih bersifat tradisional (dikukus, direbus, dan digoreng) dan tidak ada jenis makanan baru yang diolah. Rumah tangga juga jarang membeli makanan olahan yang menggunakan bahan baku ketiga komoditas tersebut. Pada rumah tangga perkotaan telah terjadi perubahan RE-2
konsumsi pangan pokok dari pangan lokal (ubikayu, jagung dan sagu) ke beras melalui mekanisme RASKIN, dan tunjangan beras PNS.
Bentuk Produk Pangan dan Teknologi Pengolahan Pangan 8.
Jenis bahan pangan dari ubikayu umumnya dalam bentuk ubikayu segar, gaplek, tepung gaplek dan tapioka, sedangkan untuk jagung dalam bentuk jagung glondongan, jagung pipilan, jagung titi (beras jagung) dan tepung jagung. Bahan pangan dari sagu yang biasa dikonsumsi adalah dalam bentuk sagu basah dan tepung sagu. Secara nasional, ragam produk olahan dari ubikayu, jagung dan sagu cukup banyak baik berasal dari industri skala kecil/rumah tangga maupun industri skala menengah/besar. Namun jenis olahan pangan lokal di wilayah penelitian sangat sedikit dibandingkan dengan potensi yang ada secara nasional dan hanya diproduksi oleh industri skala rumah tangga.
9.
Produk agroindustri yang bisa langsung digunakan untuk membuat makanan pokok adalah tiwul instan dan tepung sagu untuk membuat papeda. Agroindustri berbasis pangan lokal relatif menguntungkan tetapi sulit untuk berkembang karena keterbatasan permintaan pasar. Masalah lain yang dihadapi pengusaha agroindustri adalah persaingan dengan produsen dari kabupaten lain untuk agroindustri di kabupaten Trenggalek serta mahalnya biaya transportasi untuk produk olahan dari provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua.
10. Keuntungan agroindustri gatot instan dan tiwul instan masing-masing sebesar Rp 531.000 dan Rp 423.000, dengan R/C ratio 1,55 dan 1,29 per siklus produksi. Keuntungan agroindustri emping jagung Rp 5.085.000 dengan R/C ratio 1,48. Keuntungan agroindustri tepung sagu dan kue sagu masing-masing Rp 618.000 dan Rp 620.000, dengan R/C ratio 1,7. 11. Teknologi pengolahan pangan dan produk pangan berbasis ubikayu, jagung dan sagu secara nasional telah tersedia baik untuk industri skala kecil maupun industri menengah/besar. Namun teknologi yang digunakan oleh rumah tangga dan agroindustri skala kecil di pedesaan masih bersifat tradisional, manual dan hanya sedikit yang menggunakan peralatan mekanis. Peralatan mekanis yang digunakan sebagian dibuat sendiri. Bantuan peralatan untuk agroindustri skala kecil umumnya tidak gunakan karena tidak praktis, yaitu kapasitasnya terlalu besar dan biaya pengoperasiannya relatif mahal.
RE-3
Prospek Pengembangan Agroindustri Berbasis Ubikayu, Jagung dan Sagu 12. Fluktuasi harga ubikayu, jagung dan sagu lebih besar dibandingkan dengan harga beras. Di Kabupaten Trenggalek pada periode 20012004, koefisien variasi harga jagung sebesar 15,6 dan ubikayu sebesar 25,8, sedangkan untuk beras hanya 9,2. Di provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua, koefisien variasi harga beras berkisar 3,1-5,6; sedangkan untuk jagung di Nusa Tenggara Timur mencapai 22,9 dan sagu di Papua mencapai 26,3. Situasi ini tidak menguntungkan bagi pengembangan pangan lokal baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk bahan baku industri pangan. 13.
Agroindustri ubikayu berada dalam posisi putar haluan (mengatasi kelemahan yang ada untuk memanfaatkan peluang yang tersedia), sedangkan agroindustri jagung dan sagu berada dalam posisi defensif (mengatasi kelemahan dan ancaman untuk bisa bertahan).
Implikasi Kebijakan 14.
Produksi ubikayu dan jagung masih dapat ditingkatkan antara lain dengan perbaikan teknik budidaya, misalnya menggunakan bibit unggul dan pemupukan. Areal tanam sagu di provinsi Papua perlu dipertahankan bahkan sudah perlu untuk dibudidayakan. Setiap penebangan pohon sagu perlu penanaman kembali dengan memperhatikan aspek teknik budidaya. Hutan sagu di Jayapura dilindungi dengan Perturan Daerah. Juga Peraturan Pemerintah Daerah yang mengharuskan seseorang menaman lima pohon sagu setiap menebang satu pohon sagu supaya ditegakkan kembali untuk mencegah kepunahan pohon sagu mengingat tanaman ini merupakan sumber pendapatan, bahan pangan pokok dan juga bahan baku industri pangan. Peningkatan jumlah bahan baku, tidak hanya mempermudah pengusaha industri untuk memperoleh bahan baku tetapi juga membuka peluang untuk mengembangkan jumlah dan jenis industri yang menggunakan bahan baku tersebut. Kebijakan tersebut dengan melibatkan pihak agraria, kehutanan, perkebunan, dan pertanian.
15. Pemerintah harus mempunyai kemauan politik untuk terus mempromosikan pangan lokal sebagai pangan pokok masyarakat setempat seperti yang telah terjadi sebelumnya. Pemerintah Daerah harus terus berupaya mensosialisasi pangan lokal dan mendorong keikutsertaan swasta, LSM dan masyarakat agar memiliki kesempatan berperan seluas-luasnya untuk mempromosikan pangan lokal yang ada di daerah. Pemberian beras kepada rakyat miskin pada semua wilayah di Indonesia perlu ditinjau kembali. Daerah yang makanan pokoknya bukan beras sebaiknya diberikan bantuan pangan lokal sesuai dengan kebiasaannya , misalnya rumah tangga di provinsi RE-4
Nusa Tenggara Timur dapat diberikan bantuan pangan berupa jagung titi (beras jagung), di provinsi Papua diberikan dalam bentuk tepung sagu. 16. Kegiatan agroindustri berbasis ubikayu, jagung dan sagu dapat berperan sebagai sumber pendapatan rumah tangga dan pemerintah daerah, penyerapan tenaga kerja setempat dan sekaligus juga sumber pendapatan petani sebagai pemasok bahan baku. Pengembangan agroindustri tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan skala usaha industri dari skala industri rumah tangga ke industri kecil dan menengah atau meningkatkan jumlah agroindustri yang ada yang tetap berlokasi di wilayah pedesaan. 17.
Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mendorong pertumbuhan agroindustri adalah (i) Peningkatan penyediaan bahan baku dan kontinuitasnya terjamin. Meningkatkan produksi dengan memanfaatkan daya dukung lahan yang masih luas. Antisipasi ancaman kekeringan dapat dilakukan dengan pengadaan atau peningkatan jumlah embung, bendungan, sumur pompa. (ii) Perbaikan sarana transportasi antar daerah terutama di provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua agar jangkauan pemasaran lebih luas dan jauh (iii) Pemerintah Daerah memberikan fasilitas untuk pengembangan industri pangan lokal seperti kebijakan ekspor, promosi pasar, pembinaan yang intensif seperti kewirausahaan, kualitas produk, membuka akses kredit permodalan, dan penyediaan teknologi pengolahan, (iv) Pemerintah mendorong ekspor produk pertanian dan agroindustri yang dihasilkan oleh wilayahnya ke negara lain, misalnya ke Papua New Guinea karena produk pertanian dan olahan pangan yang dihasilkan di Provinsi Papua masih memiliki keuntungan komparatif. Kewaspadaan pemerintah terhadap persaingan industri dan pemasaran dari negara-negara pesaing seperti Malaysia, Singapura, Jepang yang sudah mengarahkan kepada pembangunan sentra-sentra industri sagu, sedangkan Indonesia masih skala industri rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga setempat, dan (v) Perlu pola kemitraan antara pengusaha industri rumah tangga dengan pengusaha yang berskala lebih besar dengan prinsip saling menguntungkan.
Perkiraan Dampak 18. Peningkatan produksi bahan pangan lokal terutama ubikayu dan jagung jika tidak diikuti perluasan usaha atau penambahan jumlah agroindustri akan membuat harga bahan baku agroindustri di tingkat petani semakin rendah. Hal ini berarti bisa meningkatkan keuntungan agroindustri, tetapi keuntungan petani berkurang. Budidaya sagu dalam jangka panjang akan memberikan bahan baku yang cukup bagi agroindustri dan bahan pangan untuk makan pokok penduduk setempat. Sementara itu promosi secara kontinyu oleh pemerintah RE-5
dapat meningkatkan penggunaan bahan pangan lokal sebagai makanan pokok. Peningkatan jenis dan bentuk makanan berbasis pangan lokal di lokasi penelitian dapat meningkatkan konsumsi penduduk setempat terhadap produk pangan lokal dan mendorong perkembangan agroindustri. Tekonologi agroindustri jika bisa diaplikasikan secara layak dan mampu meningkatkan nilai sosial, nilai guna, nilai tambah, dan nilai estetika produk pangan lokal dapat mendorong minat penduduk setempat bahkan secara nasional untuk mengkonsumsi pangan lokal sebagai makanan tambahan maupun makanan pokok. Petani akan lebih terdorong menanam bahan pangan non padi jika fluktuasi harganya relatif stabil seperti harga beras. Interensi pemerintah berupa kebijakan yang kondisif akan mendorong agroindustri untuk lebih mampu bersaing.
RE-6