PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN KETAHANAN PANGAN LOKAL, RELASI AKTOR DAN DIMENSI KEPENTINGAN
Pengembangan kelembagaan ketahanan pangan mengacu pada
proses
pemberdayaan kelembagaan untuk memperbaiki lembaga dalam mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki serta dalam mensiasati berbagai tekanan yang berasal dari dalam komunitas maupun dari luar. Kegiatan pengembangan kelembagaan adalah melalui peningkatan kapasitas diri, peningkatan kapasitas kelembagaan dan peningkatan kapasitas jaringan.
Pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal perlu strategi
pengembangan yang bersifat lokalitas dan tetap memerlukan dukungan pihak luar baik pemerintah maupun swasta untuk mengatasi kelemahan dan memperkuat kelembagaan lokal yang sudah ada. Beberapa peran yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat miskin di pedesaan seyogyanya pembangunan diletakkan pada dasar pemenuhan rasa keadilan sosial; pengembangan infrastruktur pedesaan dan jika memungkinkan memindahkan pusat pelayanan publik dan pendidikan ke pedesaan; menyediakan fasilitas peningkatan nilai tambah pertanian melalui pengembangan aktivitas off-farm terutama untuk pedesaan yang sumberdaya alam pertaniannya sudah berada pada titik maksimal dalam pemanfaatannya. Sedangkan pihak swasta di pedesaan diharapkan dapat berperan penting dalam proses peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin diantaranya melalui : (1)
pihak swasta diharapkan dapat secara aktif membangun rantai tataniaga
perdagangan yang adil agar petani kecil mendapatkan keuntungan secara memadai dalam berproduksi, (2) pihak swasta semestinya bisa aktif membuat barangbarang yang mampu dibeli oleh masyarakat miskin selain juga menguntungkan untuk perusahaan.
104
Karakteristik Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal dan Interaksinya dengan Kelembagaan Program Aksi Mandiri Pangan
Kemajuan perekonomian masyarakat pedesaan sangat ditentukan oleh sistem kelembagaan yang dikembangkan didalamnya. Oleh karena itu, jika sistem kelembagaan lokal dalam suatu masyarakat dibiarkan lemah, maka tidak ada peluang bagi yang tidak berdaya di pedesaan untuk memajukan perekonomiannya. Pada bab ini disampaikan hasil kajian potensi kelembagaan ketahanan pangan lokal yang ada di Desa Jambakan dalam mendukung kemajuan perekonomian menuju kondisi ketahanan pangan, serta interaksinya dengan program Mapan dari pemerintah. Analisis pada bab ini menyampaikan sejauhmana kelembagaan lokal yang ada telah berbasis komunitas dalam artian mendapatkan dukungan dari masyarakat desa setempat dan sebaliknya seberapa besar kelembagaan lokal telah memberikan kemanfaatan bagi komunitas lokal terutama dalam hal ketahanan pangan rumah tangga petani. Masuknya program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan, salah satunya adalah Mapan, apapun bentuk kelembagaannya tersebut, jika upaya pengembangannya tidak mengakomodir kepentingan golongan
miskin
maka
hanya
akan
menimbulkan
kesia-siaan
dalam
menanggulangi kemiskinan dan kerawanan pangan. Desa Jambakan adalah salah satu desa di Kabupaten Klaten yang terkena dampak langsung bencana gempa. Sehubungan dengan ini, untuk menggiatkan kembali kehidupan perekonomiannya masih sangat mengandalkan bantuan dari pihak pemerintah maupun swasta. Bantuan pasca gempa diperoleh dari berbagai pihak baik dari pemerintah, swasta maupun dari lembaga asing. Kelembagaan lokal merupakan kelembagaan yang tumbuh dari dalam komunitas itu sendiri yang seringkali memberikan asuransi sosial bagi kelangsungan hidup komunitas tersebut. Kelembagaan tersebut biasanya berwujud nilai-nilai, kebiasaankebiasaan dan cara-cara hidup yang telah lama ada dalam komunitas seperti kebiasaan tolong menolong, gotong-royong,
beras jimpitan, simpan pinjam,
arisan, lumbung paceklik, pesantren, dan lain-lain.
105
Berdasarkan fungsi yang dijalankan, kelembagaan yang mendukung kehidupan masyarakat meliputi kelembagaan yang terkait dengan ketahanan pangan, kelembagaan yang terkait dengan jaminan kesejahteraan sosial (basis kekerabatan), dan kelembagaan yang terkait dengan kehidupan komunitas (keagamaan, kesehatan dan pendidikan). Tabel 12.
Identifikasi Kelembagaan Berdasarkan Fungsi Yang Dijalankan di Desa Jambakan
Atribut Kelembagaan input aktivitas produksi, konsumsi, distribusi (ketahanan pangan) Kelembagaan menjamin keselamatan sosial Kelembagaan komunitas (kerukunan) dalam keagamaan
Desa Jambakan, Kecamatan Bayat 1. warung sembako, koperasi, bank 2. Hubungan kerja basis keluarga dan kelompok (tenun lurik, gaduhan, ternak kambing, maro) suku, pemerintah desa, kelompok pengajian, arisan
Kelembagaan komunitas (kerukunan) dalam sosial Kelembagaan komunitas (kerukunan) dalam kesehatan Kelembagaan komunitas (kerukunan) dalam pendidikan
Panitia Nyadran, Jamvatro (Jambakan Van Metro), Paguyuban Kelurahan Posyandu dan Dasawisma, Puskesmas pembantu
Masjid, Gereja, punden
Pendidikan negeri dan swasta
Kelembagaan ketahanan pangan lokal dalam konteks penelitian ini adalah kelembagaan yang mengatur secara langsung maupun secara tidak langsung berbagai aktivitas dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat menuju kondisi ketahanan pangan baik di aspek produksi, konsumsi dan distribusi. Selain itu kelembagaan ketahanan pangan lokal yang berperan mengatur kemudahan rumahtangga miskin di pedesaan dalam pemenuhan kebutuhan pangan ini adalah kelembagaan asli maupun juga kelembagaan yang muncul lalu eksis di pedesaan, yaitu diantaranya arisan, warung kelontong, beras jimpitan, tenun lurik, warung angkringan, gaduhan ternak, maro, simpan pinjam, pengajian, lumbung desa, dan karawitan.
Kelembagaan ketahanan pangan lokal berfungsi sebagai asuransi
sosial sehingga rumah tangga miskin di Desa Jambakan dapat mendistribusikan resikonya pada kelembagaan ini, termasuk resiko atas ancaman kekurangan pangan maupun ketidakmampuan daya beli.
106
Meskipun
demikian,
kelembagaan
ketahanan
pangan
lokal
yang
barbasiskan pada hubungan patron-klien dimana telah dibangun aturan main berdasarkan "kesepakatan" sedemikian rupa antara patron dan klien, serta kesediaan patron memberi asuransi sosial untuk klien, tetapi mekanisme ini justru tidak memberi ruang untuk mobilitas usaha atau peningkatan kesejahteraan klien pada saat ada peluang ekonomi baru yang muncul. Usaha tenun lurik adalah salah satu kelembagaan ketahanan pangan desa Jambakan yang mendukung keberlanjutan ketahanan pangan masyarakat dari aspek daya beli yang berbasis pada hubungan patron-klien. Pelaku utama dalam kelembagaan ini adalah rumah tangga miskin sebagai buruh tenun (klien) yang sangat tergantung kepada patron (yaitu pengusaha tenun desa dan pedagang pengumpul/bakul).
Dikarenakan minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia
ketika musim kemarau tiba, ketergantungan rumah tangga miskin kepada bakul telah membuat
mereka menerima saja harga yang sudah ditentukan bakul
maupun pengusaha tenun setempat sebagai pemilik modal. Kelembagaan ketahanan pangan lokal yang juga relatif baru muncul di Desa Jambakan adalah Lumbung Pengajian yang dibentuk berbasiskan hubungan tetanggaan dan kesamaan pemahaman tentang hakekat sedekah (ajaran agama sebagai dasar pengelolaan kegiatan lumbung).
Kegiatan lumbung pengajian
adalah mengumpulkan hasil panen dari anggotanya, tanpa ditentukan batasan minimal setorannya. Hasil panen yang terkumpul menjadi persediaan yang dapat digunakan pada saat paceklik atau pada saat membutuhkan yang dikelola dengan mekanisme simpan pinjam berdasar aturan hasil kesepakatan bersama.
Kegiatan simpan
pinjam atas dasar percaya kepada saudara se-iman, pinjaman gabah yang diberikan tanpa ada bunga, tidak ditentukan jatuh tempo membayar (silahkan membayar pada saat sudah memiliki kemampuan).
Kelembagaan ketahanan
pangan ini efektif menopang ketahanan pangan komunitas yang memiliki pemahaman tingkat spiritualitas yang sama).
Potensi sosial yang bisa
dikembangkan dalam kelembagaan ini adalah tingginya solidaritas antar anggota dan mekanisme pengelolaan konflik dalam kelompok
107
Pemerintah mengembangkan kelembagaan ketahanan pangan lokal di Desa Jambakan salah satunya melalui program aksi mandiri pangan. Program ini menyediakan fasilitas pengelolaan permodalan, fasilitasi pelatihan, saranaprasaran juga fasilitas pendampingan serta kelembagaan TPD (tim pangan desa) dan LKD (lembaga keuangan desa). Program disalurkan kepada rumah tangga miskin yang sudah memiliki embrio usaha tetapi masih mengalami kekurangan modal, yang dihimpun dalam kelompok-kelompok afinitas. Pendamping mengumpulkan data kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, menumbuhkan kader pangan desa (TPD), menumbuhkan lembaga keuangan desa (LKD), menumbuhkan dan membimbing kelompok afinitas supaya bisa mengembangkan usaha yang menguntungkan dalam konteks pembangunan ketahanan pangan ditingkat desa. TPD mengenali kondisi, potensi dan masalah ketersediaan pangan, distribusi, konsumsi, akses dan pemanfaatan pangan maupun situasi dan kondisi gizi masyarakat, menjalankan fungsi pelaporan situasi pangan dan cadangan pangan desa dan perkembangan pelaksanaan program aksi desa mandiri di desa, mengintegrasikan berbagai program pembangunan di perdesaan dalam mewujudkan ketahanan pangan dan mengadakan tim pangan desa minimal dilaksanakan satu bulan sekali. Kelembagaan kelompok afinitas program Mapan sebagai kelembagaan ketahanan pangan intervensi pemerintah di desa Jambakan ada 3 kelompok, yaitu kelompok tenun (Mekarsari), kelompok aneka usaha (Subur), dan kelompok ternak kambing (Tri Jaya Perkasa). Kelompok afinitas Mekarsari, usaha yang dilakukan produksi kain tenun tradisional dengan anggota 25 orang, pertemuan rutin bulanannya setiap tanggal 19. Modal/dana yang sudah ada sebesar Rp. 275.000. Ketua kelompok ibu Yuniatun, rencana usaha adalah untuk pembelian bahan baku pembuatan kain tenun, dan tabungan kelompok sebesar Rp. 250.000 untuk simpan pinjam anggota. Hasil tenun baru dipasarkan di pasar lokal dengan harga masih rendah, sehingga perlu adanya upaya untuk merubah corak kain tenun untuk dapat dipasarkan di tingkat regional/nasinal masih perlu bantuan pemasaran dari pemerintah.
108
Kelompok afinitas Subur, usaha yang dilakukan adalah aneka usaha, dengan anggota 20 orang, pertemuan setiap tanggal 25, modal/dana awal yang sudah tersedia Rp. 350.000. ketua kelompok Subagyo, rencana usaha kelompk untuk menambah modal usaha angkringan dan kelontong, dan tabungan kelompok Rp. 350.000 untuk simpan pinjam anggota. Kelompok afinitas Trijaya Perkasa, usaha yang dilakukan adalah ternak kambing dengan jumlah anggota 15 orang, pertemuan setiap tanggal 20. modal/dana awal yang tersedia sebesar Rp. 240.000. Ketua kelompok Dwi Setyanto, rencana usaha kelompk untuk pembelian kambing, dan tabungan kelompok Rp. 240.000 untuk simpan pinjam anggota. Kelembagaan lokal yang dibangun secara kolektif oleh warga untuk mengatasi masa paceklik di Desa Jambakan diantaranya adalah arisan-arisan antar RT (misalnya arisan sembako, uang, dan arisan bahan bangunan serta dana yang dikumpulkan oleh perantau dalam kelompok Jamvatro-Jambakan Van Metro), lumbung Beras (pengajian ibu-ibu) dan kelembagan yang terjalin dalam kelompok tenun juga menjadi salah satu usaha kolektif dalam menghadapi masa paceklik. Pengelolaan lumbung pangan yang dilakukan oleh ibu-ibu pengajian Aisyah di dukuh geneng, desa Jambakan menunjukkan bahwa pengembangan kelembagaan bisa dilakukan pada tingkat komunitas. Didasarkan pada pemahaman keagamaan yang kuat tentang hakekat sedekah dan pengelolaannya yang syar'i, kegiatan lumbung disini mampu menjadi penjamin kebutuhan pangan komunitas, terlebih pada musim puso. Pengembangan kelembagaan ketahanan pangan pada tingkat komunitas dapat dikonstruksikan dari perspektif modal sosial. Dukuh Geneng yang mengelola lumbung pangan ini dilihat berdasarkan analisis masih kuatnya modal sosial yang terbangun, walaupun masih terbatas pada wilayah disekitar jamaah pengajiannya. Pengurus lumbung yang juga pengurus pengajian kurang mendapat dukungan dan pada awalnya
ditentang justru dari aparat pemerintahan desa
setempat, belum lagi tuduhan sebagai kelompok agama yang mengeksklusifkan diri dari lingkungan sekitar. Secara bertahap pengurus mulai menginisiasi warga masyarakat
melalui materi-materi pengajian yang berisikan maklumat dan
keutamaan bersedekah, kewajiban membantu sesama yang membutuhkan dan manfaat menabung.
109
Tentunya dengan kerja keras pengurus, lambat laun mulai ada respon dan mulai terkumpul gabah yang diperoleh dengan mendatangi dari rumah ke rumah, hingga saat kondisi sekarang dimana para warga dengan kesadaran sendiri menyerahkan hasil panennya kepada pengurus lumbung yang juga dikelola secara simpan pinjam. Ada salah seorang warga yang merelakan rumahnya sebagai tempat untuk menampungnya. Pengelolaan lumbung pangan yang dilakukan oleh ibu-ibu pengajian di Dukuh Geneng, Desa Jambakan menunjukkan bahwa pemberdayaan bisa dilakukan pada tingkat komunitas.
Lumbung Desa ini
awalnya berdiri pada tahun 1993 atas ide Bapak Subagya untuk mengatasi paceklik atau puso, melalui pengumpulan zakat dari hasil panen atau derep yang tidak ditentukan batasnya. Zakat yang terkumpul disimpan di Masjid dan nantinya dapat digunakan saat musim paceklik atau puso dengan sistem pinjaman walaupun masih terbatas baru untuk masyarakat dukuh Geneng saja. Dalam perjalanannya, lumbung ini sempat terhenti sekitar tahun 19951996. Pada tahun 1997 lumbung ini kemudian dilanjutkan lagi tetapi oleh ibu-ibu kelompok pengajian Aisyiah. Gabah kering yang telah terkumpul kemudian di simpan di rumah salah seorang pengurus. Hingga saat ini telah terkumpul sekitar 2.175 kilogram dan belum dipinjamkan. Lumbung Desa ini juga menerima infak berupa uang tunai yang digunakan untuk membeli karung atau bagor. Pembentukan lumbung pangan yang dikelola oleh ibu-ibu pengajian ini lebih didasarkan pada pemahaman keagamaan yang kuat tentang hakekat sedekah dan pengelolaannya yang syar'i. Keterbatasan pemilikan lahan juga telah mendorong berkembangnya sistem bagi hasil pengelolaan lahan dengan sistem “maro”. Melalui mekanisme bagi hasil “maro” tersebut, maka para petani tanpa lahan dan juga petani gurem dapat menggarap di lahan-lahan milik tetangganya yang memiliki lahan yang relatif lebih luas. Pada dasarnya sistem “maro” di kalangan masyarakat petani di pedesaan, merupakan salah satu mekanisme “berbagi” dalam memanfaatkan sumberdaya lahan yang terbatas. Tabel 13 merinci kelembagaan ketahanan pangan lokal yang mendukung kehidupan masyarakat pedesaan di Desa Jambakan.
110
Kelembagaan
pangan
dalam
masyarakat
desa
Jambakan
adalah
kelembagaan yang mengatur berbagai aktivitas dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat menuju kondisi ketahanan pangan, yaitu diantaranya arisan sembako, arisan bahan bangunan, warung kelontong, beras jimpitan, tenun lurik, warung angkringan, gaduhan ternak, maro sawah, simpan pinjam, pengajian, kelompok sinoman, lumbung desa, dan karawitan. Hubungan dan transaksi ekonomi rumahtangga-rumahtangga miskin baik itu untuk kegiatan produksi maupun konsumsi, didasarkan pada modal kepercayaan. Dalam kegiatan ekonomi yang mereka sudah terbiasa meminjam atau memakai dulu segala sesuatu penunjang kegiatan dan akan dibayarkan atau dikembalikan ketika panen tiba
atau ketika sudah punya kemampuan untuk
membayar. Tabel 13. Identifikasi Kelembagaam Ketahanan Pangan Lokal Kelembagaan ketahanan pangan
Tata Aturan (Nilai-nilai)
Pedagang (Warung), bank keliling, dan hubungan kerja basis keluarga/kelompok (angkringan, arisan RT/RW, tenun, gaduhan, ternak kambing, maro sawah, lumbung pengajian, sinoman )
hubungan dan transaksi ekonomi rumahtanggarumahtangga miskin baik itu untuk kegiatan produksi maupun konsumsi, didasarkan pada modal kepercayaan Sumber : data primer diolah, 2008
Jangkauan Kelembagaan
Keanggotaannya dapat diakses oleh semua rumah tangga (miskin) pedesaan sesuai wilayah (arisan RT/RW), yang memiliki alat (tenun) dan memiliki kesamaan persepsi (lumbung pengajian)
Keberpihakan terhadap kepentingan rmt miskin Kelembagaan dibangun dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat desa Jambakan cukup bisa mengakomodir kepentingan rumah tangga miskin
Kelompok Kepentingan (Aktor) dalam Implementasi Kelembagaan Program Aksi Mandiri Pangan
Kondisi sumberdaya alam dan pertanian yang sangat terbatas telah mendorong masyarakat petani di Desa Jambakan untuk mengatasi masalah tersebut secara kolektif. Beberapa upaya untuk mengatasi hambatan sumberdaya alam tersebut yakni dengan cara membangun kelembagaan-kelembagaan kolektif baik itu yang berupa lembaga ekonomi, sosial, budaya maupun politik.
111
Kelompok kepentingan atau aktor yang terlibat dalam pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal meliputi kelompok pengajian, kelompok usaha tenun, arisan RT/RW, juga kelembagaan program Mapan.
Kegiatan
lumbung disini mampu menjadi penjamin kebutuhan pangan komunitas, terutama pada musim puso. Pemberdayaan pada tingkat komunitas ini dapat berlangsung karena kuatnya modal sosial. Proses penguatan dalam pengelolaan lumbung ini tidaklah sebentar dan tidak juga mudah. Pada tahap awal penguatan pengurus lumbung yang juga pengurus pengajian bahkan sangat kurang mendapat dukungan dan pada awalnya bahkan juga ditentang aparat pemerintahan desa setempat, ada juga tuduhan bahwa kelompok agama ini mengeksklusifkan diri dari lingkungan sekitar. Secara bertahap pengurus mulai menginisiasi warga masyarakat melalui materi-materi pengajian yang berisikan maklumat dan keutamaan bersedekah, kewajiban membantu sesama yang membutuhkan dan manfaat menabung.
Lambat laun
mulai ada respon dan mulai terkumpul gabah yang diperoleh dengan mendatangi dari rumah ke rumah, hingga saat kondisi sekarang dimana para warga dengan kesadaran sendiri menyerahkan hasil panennya kepada pengurus lumbung yang juga dikelola secara simpan pinjam. Kelembagaan ketahanan pangan lokal yang tumbuh di dalam masyarakat terutama yang terkait dengan kelembagaan-kelembagaan sosial-ekonomi kolektif di tingkat komunitas memiliki peran besar dalam mengatasi hambatan keterbatasan sumberdaya alam dan juga dalam upaya saling berbagi dan bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari warga masyarakat desa.
Nilai-nilai dan kelembagaan lokal tersebut seyogyanya dapat terus dijaga
dan ditingkatkan kapasitasnya dalam upaya mendukung ketahanan pangan masyarakat tersebut. Pada awal program bergulir yaitu tahun 2006, pendamping program mapan yang berjumlah dua orang semuanya berasal dari non-aparat dan keduanya adalah pendamping non-teknis. Memasuki tahun ketiga yaitu tahap pengembangan dimana sudah ada desa pemangku program yang baru, pendamping tiap desa hanya satu dengan dibantu satu orang petugas penyuluh teknis kecamatan.
112
Pada kondisi masyarakat yang berada dalam ”lingkaran ketidakberdayaan” seperti masyarakat desa Jambakan ini, adanya pihak lain yang dapat berfungsi sebagai ”penstimulir” atau pendorong yang dapat menyakinkan masyarakat miskin akan adanya daya yang mereka miliki adalah sangat diperlukan. Salah satu pihak tersebut adalah pendamping. Oleh karena itu pendamping perlu dilatih agar dapat meningkat kapasitas dan kompetensinya sebagai pendamping. Tugas pendamping
pada
program
desa
Mapan
adalah
melakukan
kegiatan
mengumpulkan data kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, menumbuhkan dan membimbing kader tim pangan desa (TPD) dan lembaga keuangan desa (LKD) agar dapat berperan sebagai penggerak pembangunan ketahanan pangan ditingkat desa, membimbing kelompok afinitas yang sudah dibentuk untuk mengembangkan usaha yang menguntungkan. Pendamping bertindak sebagai jembatan yang menghubungkan antara masyarakat desa dengan pihak atas desa. Kaitannya dengan program mapan, pendamping harus mampu menafsirkan maksud dan tujuan program Mapan dari pusat sesuai dengan kekhasan sosial, ekonomi, politik dan budaya setempat. Serta, pendamping juga harus memiliki kemampuan untuk mengakomodir dan memperjuangkan kepentingan golongan rumah tangga miskin di pedesaan melalui program yang sedang dijalankan. Kelemahan
dinas
pertanian
kabupaten
Klaten
dalam
perekrutan
pendamping program Mapan di Desa Jambakan adalah semuanya yaitu sejumlah dua
orang
merupakan
pendamping
non-teknis.
Kelemahan
kegiatan
pendampingan yang selama ini dilakukan adalah karena pendampingan hanya dari sisi managemen administrasi kelompok dan tidak menyentuh sama sekali terhadap hal-hal teknis dan memang kelemahan pendamping program mandiri pangan di kabupaten Klaten adalah tidak disediakan pendamping teknis.
Seperti
diungkapkan diatas bahwa pendamping juga bertugas mengkader TPD dan LKD supaya siap menggantikan fungsinya pada tahun keempat walaupun pada dasarnya posisi antara pendamping dengan kedua kelembagaan tersebut adalah setara. Kendala yang dihadapi oleh pendamping dalam menjalankan tugas ini adalah dalam hal aturan teknis yang bisa dijadikan acuan oleh TPD/LKD pada saat menyelesaikan perbedaan maupun permasalahan yang ada.
113
Hal ini seperti diutarakan oleh pendamping dalam petikan wawancara sebagai berikut :
“.........antara TPD dengan pendamping sebenarnya posisinya sama, karena TPD yang akan menggantikan pendamping nantinya, kendala yang ada adalah bahwa mereka belum paham job-desk nya bagaimana, keterlibatan tpd seperti apa, juga bingung tentang statusnya, belum lagi permasalahan di tingkat kelompok.....” (Ery, 35 tahun, pendamping program Mapan desa Jambakan)
Sebagai contoh kasus adalah ketika dilakukan pembagian bibit di kelompok ternak, pemilihannya sudah disepakati dengan sistem dikocok/di-lotre, setelah pemilihan ternyata masih ada saja yang mempertanyakan dan tidak puas dengan hasilnya.
Masih ada yang merasa ukuran kambing tidak sebanding
dengan harganya dan sebagainya.
Tindakan yang diambil oleh pendamping
adalah mengumulkan semua anggota dan menjelaskan kemudain dibuka forum diskusi bagi siapa saja yang masih keberatan dipersilahkan bicara. Selama tidak berani menyampaikan di forum maka dianggap sudah tidak ada masalah lagi. TPD belum memiliki keberanian seperti itu, masih ewuh pakewuh karena dengan kerabat sendiri. Selama ini pendamping hanya bertemu dengan ketua kelompok atau pengurusnya. Pendamping tidak tahu anggota kelompok yang didampinginya itu orangnya yang mana saja. Fungsi pendamping sebenarnya sangat krusial dalam membina aktivitas kelompok dan menyertai kelompok dalam proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok baik sebagai fasilitator (pemandu), komunikator (penghubung) ataupun dinamisator (penggerak).
Antara pendamping dengan
masyarakat miskin harus saling mengenal antara kedua belah pihak sehingga terbangun kepercayaan yang kuat.
Komunikasi intensif harus terjadi antara
pendamping dan anggota kelompok. Merupakan tugas pendamping juga untuk menumbuhkan ”sense of belonging” dari anggota kelompok terhadap keseluruhan aktivitas program mandiri pangan. Pendamping yang ada tidak tinggal di desa walaupun sebenarnya ada biaya living cost dari program mapan. Pendamping berkewajiban menyelami persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat.
114
Terlebih lagi permasalahan masyarakat dalam hal peningkatan kemampuan daya beli warga terhadap pangan sehingga terbebas dari ”kerawanan pangan”nya. Hal itu hanya dapat dilakukan dengan pendamping tinggal bersama masyarakat. Untuk itu perlu dibangun kesepakatan yang jelas antara warga dan pendamping dalam melaksanakan kegiatan bersama.
Secara umum, pemerintah dan pihak
swasta juga bertanggungjawab sebagai pendamping dalam penanggulangan kemiskinan di pedesaan. Integrasi aktor yang terlibat dalam memberdayakan kelompok afinitas dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Kelompok Kepentingan (Aktor) dalam Program Desa Mapan dan Tingkat Keterlibatannya dalam memberdayakan kelompok afinitas. Pihak-Pihak yang Terlibat dan tingkat keterlibatannya dalam proses pemberdayaan kelompok Afinitas Program Desa Mapan 1. Kelompok afinitas
sedang
2. Pendamping
sedang
3. Tim Pangan Desa
sedang
4. Lembaga Keuangan Desa
Sangat Rendah
5. Kantor Kecamatan
Sangat Rendah
6. Kantor Ketahanan Pangan
Sedang
7. Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten
Rendah
8. Dinas/Instansi lain terkait program
Sangat Rendah
Keterangan : Tingkat keterlibatan diukur berdasarkan range (Tinggi - Cukup -Sedang Rendah - Sangat Rendah)
Bertemunya beberapa kepentingan yang berbeda dari masing-masing aktor dalam interaksi tersebut, disatu sisi mengganggu proses pengembangan kelembagaan ketahanan pangan.
Kepentingan kelembagaan lokal dalam
pengelolaan ketahanan pangan adalah dalam hal pemenuhan jaminan ketersediaan pangan, sedangkan program Mapan dikembangkan dalam hal pemodalan (yang dalam pelaksanaannya bias elit). Kelompok yang paling dirugikan atas hal ini adalah kelompok rumah tangga miskin yang pada akhirnya terpinggirkan karena tidak memiliki akses untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui penguasaan aset/modal di program Mapan. Gambar 2 menunjukkan dimensi kepentingan dalam pengelolaan ketahanan pangan di Desa Jambakan.
115
• kepentingan elit Desa (lurah) atas Program kpd batih-nya Spy tdk ucul soko
Kegiatan Program Mapan
Gendongan
• kepentingan koperasi MP sebagai LKD untuk mengelola Dana (demi kepentingan Pribadi-disamakan dg Program sebelumnya) • kepentingan dinas Pertanian (sie kethnan Pangan) atas pmbntukn Kantor sie ini terpisah Melalui program mapan Kontrol dari Pendamping lemah
Tidak ada pendamPing teknis
• Angg Kelmpk Afinitas tdk semua RT miskin • Pembentukan pengurus TPD/LKD berdsrkn penunjukn Shg kelembagaan Lemah&tdk aktif • Tidak jelasnya Aturan tentang Pengembalian dana Ke LKD • Pengelolaan mapan Berorientasi proyek Shg nilai yg ada dana Mapan adlh hibah
Dukungan Pemerintah “atas desa” lemah
Pengembangan Kapasitas SDM : 1. Ada Pelatihan teknis 2. Magang belum ada 2. Kompetensi pendamping lemah
Pengembangan Teknologi : Ada pengembangan usaha, jumlah Usaha & modal kelompok Fasilitasi : 1. Peningkatan modal & jumlah Anggota terbatas 2. Jaringan pasar terbatas
Implementasi Program Mapan : 1. Belum mampu memBerdayakan kelembgn Ketahann pangan lokal (kelmbgaan yang terbangun msh elitis), Msh pd peningkatan Modal 2. Program berpotensi macet krn pengelolaan nya fiktif dan dikuasai oleh orang2 tertentu 3. Kepentingan rmt Petani miskin tidak Terakomodir dg baik Dan msh mnjd obyek pembangunan
Gambar 2. Kelompok Aktor dalam Implementasi Kelembagaan Program Aksi Mandiri Pangan
Relasi Aktor dan Dimensi Kepentingan dalam Implementasi Kelembagaan Program Aksi Mandiri Pangan Pendekatan pemberdayaan rumah tangga miskin pada desa rawan pangan melalui program aksi mandiri pangan di Kabupaten Klaten menunjukkan bahwa kemampuan anggota kelompok afinitas di desa Jambakan baru pada taraf akses modal. Belum berkembangnya kelembagaan dalam kelompok afinitas program Mapan ditemukan beberapa kendala, yaitu adanya berbagai kepentingan dari para pelaku kegiatan mapan yang menyebabkan tidak terakomodirnya kepentingan rumah tangga miskin. Menarik selanjutnya apabila pendekatan pemberdayaan dari pemerintah melalui program mapan khususnya di desa Jambakan dibandingkan dengan pendekatan pemberdayaan tingkat komunitas (kasus lumbung pangan pengajian Aisyah dukuh Geneng) yang sudah bisa secara mandiri mengelola kelembagaan pangan komunitas dan mulai berkembangnya kelompok.
116
Mekanisme perguliran dana yang ada dalam Program mandiri pangan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat miskin. Masyarakat harus belajar untuk mengetahui bahwa tidak semua bantuan pemerintah bersifat hibah, menerima dan menjalankan program dengan penuh tanggungjawab karena pada akhirnya dana yang digulirkan tersebut harapannya akan dinikmati juga oleh kelompok miskin yang lain. Untuk kasus program Mapan di Desa Jambakan, gejalanya adalah bahwa selama pada saat dimulainya program mandiri pangan baru pada tahap persiapan, tampak bahwa kekuatan instrumen pendampingan masih tak berdaya menghadapi perilaku birokrasi, terutama dalam hal pembentukan serta pemilihan anggota kelompok afinitas yang akan menerima program maupun yang akan menjadi tim pangan desa maupun lembaga keuangan desa. Gambar 3 menunjukkan relasi aktor dan dimensi kepentingan dalam implementasi program Mapan.
ora ucul soko gendongan
Suami-isteri
TPD Rmt mskin
LKD
•B •S •M •T •Y
Rangkap Jabatan Elit Desa
Suami-isteri
Perangkat Desa, Pengusaha lokal
•Ss •B •D
Adik-kakak (koperasi MP)
Suamiisteri Subur (aneka usaha
Mekarsari (Tenun)
Trijaya Perkasa (kambing)
Gambar 3 : Relasi Aktor dan Dimensi Kepentingan dalam Implementasi Program Aksi Mandiri Pangan
117
Tekanan terhadap sistem oleh pihak birokrasi masih juga tampak jelas pada beberapa kelompok. Misalnya: tidak transparanya informasi tentang waktu pencairan dana kepada kelompok sehingga menimbulkan banyak dugaan sehingga pada awal penumbuhan kelompok ada beberapa yang mengundurkan diri, kepastian tentang ada tidaknya insentif bagi pengurus serta biaya operasional untuk pertemuan bulanan, serta adanya dugaan intervensi dalam pilihan tenaga pendamping bagi kepentingan pribadi oknum pejabat. Fenomena tersebut di atas mudah-mudahan dapat memberi pemahaman kepada pemrakarsa proyek untuk selanjutnya bahwa sebelum melaksanakan pemberdayaan melalui jalur birokrasi, maka terlebih dahulu perlu memberdayakan aparat birokrasi yang
terkait, sehingga mereka mampu melepaskan sekat
ketakberdayaan masyarakat yang sering kali mereka ciptakan. menjadi prasyarat bagi setiap proyek pemberdayaan mana pun.
Hal ini perlu Selanjutnya
adalah melihat sudah sejauh mana terjadinya partisipasi kelompok afinitas yang dibentuk dalam program ini. Partisipasi pada hakekatnya adalah upaya untuk membuka ruang berkarya bagi
masyarakat
lemah
dalam
proses
pembangunan
diri
dan
kelompok/komunitasnya. Ruang partisipasi dibuka melalui proses pendampingan dan fasilitasi dana mandiri pangan dalam wadah yang mereka miliki, yaitu kelompok afinitas.
Seharusnya, jenis usaha yang dikelola dalam kelompok
afinitas adalah milik warga, maka sewajarnya mereka otonom mengelola sumberdaya yang masuk/atau yang dimiliki oleh para “pemangkunya”.
Dengan
kata lain, sebenarnya terdapat batas yang jelas antara birokrasi dengan warga, yaitu bahwa birokrasi berjalan dalam sistem pelayanan kepada masyarakat, sementara warga berpartisipasi dalam sistem tersebut melalui wadah kelompok afinitas.
Dalam hal ini terdapat aturan program dari pemerintah, tetapi juga ada
otonomi masyarakat yang tidak dapat ditembus oleh sistem tersebut, yaitu otonomi kelembagaan kelompok afinitas, seperti kasus kelompok tenun mekarsari di desa jambakan yang tidak bersedia menyalurkan angsuran dana nya melalui LKD. Aturan yang dibangun dalam program mapan oleh pemerintah adalah pokoknya saja yang menjadi kewajiban, sedangkan operasionalisasinya sebaiknya sesuai dengan cara yang selama ini sudah dijalankan oleh kelompok.
118
Misalnya, pertama, dana mandiri pangan adalah dana bergulir milik desa, bukan dana abadi dalam suatu kelompok.
Pengertian bergulir dalam hal ini
adalah bahwa dana tersebut harus dapat dimanfaatkan kembali oleh warga lain yang belum menggunakannya, dengan cara membangun kelompok baru. Kedua, dana mandiri pangan adalah instrumen untuk meningkatkan daya beli dalam konteks ketahanan pangan melalui peningkatan skala usaha yang digelutinya masing-masing. Dengan demikian dana mandiri pangan adalah bukan dana bantuan sosial melainkan dana untuk usaha yang seyogya-nya adalah usaha dalam arti luas, dalam rangka melanjutkan komitmen menjaga ketahanan pangan desa melalui pengembangan usaha ekonomi produktif dari kelompok afinitas sebagai wadah kegiatan sosial ekonomi masyarakat pedesaan . Ketiga, dalam penyelenggaraan dana mandiri pangan diberikan fasilitas pendampingan untuk kegiatan tekhnis usaha dan managemen organisasi kelompok untuk jangka waktu tertentu. Juga dibangun kelembagaan TPD dan LKD yang akan bertugas melanjutkan kegiatan pendampingn. Dengan kata lain di dalam kelompok afinitas seharusnya tercipta mekanisme untuk mentrasfer kemampuan pendampingan dari pihak luar kepada anggota kelompok dan kelembagaan yang ditumbuhkan, sehingga dalam jangka waktu tertentu kegiatan pendampingan dapat diambil alih oleh warga setempat atau proses pendampingan menjadi satu kesatuan dengan peran kepengurusan. Pada saat berlangsung penelitian, tahapan pelaksanaan program memasuki tahun ketiga, yaitu tahap pengembangan dan dilaksanakan dalam kurun waktu satu tahun melalui pengembangan kapasitas masing-masing lembaga sesuai dinamika dan peluang yang ada, seperti lembaga masyarakat (melalui pengembangan dan pemeliharaan sarana prasarana, peningkatan skala usaha dan diversifikasinya untuk kelayakan pendapatan secara ekonomi serta penerapan teknologi untuk perbaikan kualitas, kuantitas dan kontinuitas bahan pangan). Dalam tahap ini juga mengembangkan gerakan konsumsi pangan beragam, bergizi, berimbang dan aman serta pengembangan sistem pemantauan, deteksi dan respon dini kerawanan pangan melalui lembaga pelayanan masyarakat.
119
Pelatihan-pelatihan tehnis bagi kelompok afinitas antara lain pelatihan teknik perpaduan warna pada kain tenun ATBM, pembuatan aneka criping, dan pelatihan pemeliharaan kambing dan ayam. Salah satu kelompok afinitas di desa Jambakan yaitu kelompok Mekarsari, semula merupakan kelompok usaha produksi kain tenun tradisional. Pengurus kelompok kemudian mendapatkan pelatihan mengenai teknik pewarnaan dan pengembangan pola (design) tenun sebagai bahan pakaian jadi. Pengembangan ketrampilan dilakukan melalui inovasi pemanfaatan bahan-bahan pewarna yang tahan luntur, juga dengan meningkatkan kehalusan benang serta variasi warna dan pola kain yang dihasilkan. Peningkatan kapasitas diri pengurus ini diharapkan dapat mempengaruhi penenun tradisional disekitarnya untuk merubah cara bertenun yang berorientasi pada kain gendongan menjadi bahan pakaian jadi. Namun hal ini nampaknya masih mendapat tantangan cukup berat, baik dari sisi kebiasaan bertenun, pemasaran, dan perputaran modal yang dianggap oleh penenun tradisional masih lebih mudah dengan menggunakan cara tradisional. Melihat kondisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa upaya pelatihan teknis bagi kelompok afinitas masih membutuhkan tindak lanjut dari pihak-pihak berkepentingan (dinas terkait) untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi terutama dalam penyediaan bahan baku dan pemasaran. Upaya pendamping untuk mencarikan bahan baku dan pemasaran perlu didukung oleh Dinas terkait untuk memfasilitasi sarana dan prasarana serta mendorong produk yang dihasilkan untuk berorientasi pada kebutuhan pasar. Kegiatan pendampingan di program mandiri pangan pada hakekatnya merupakan proses
memfasilitasi proses-proses pengambilan keputusan dalam
kelompok, memfaslitasi proses penyusunan aturan-aturan kelompok, memotivasi warga, dan bersama-sama belajar tentang bagaimana membuka jalur bagi pengembangan kelompok, baik secara ekonomi, politik dan budaya kepada pihakpihak yang dirasa memiliki komitmen untuk mentrasfer pengetahuan kepada kelompok pada saatnya kelak jika diperlukan oleh kelompok afinitas. Pendamping yang memahami prinsip-prinsip pendampingan seperti tersebut di atas, akan membangun proses interaksi berkelanjutan hingga jangka waktu tertentu.
Proses membangun interaksi harmonis merupakan kebutuhan bagi
pendamping dan bagi kelompok afinitas sebagai pelaksana kegiatan.
120
Seorang pendamping harus berniat dan mempunyai cara pandang bahwa pada suatu saat kelompok afinitas tak lagi membutuhkannya dalam konteks kegiatan yang sedang berlangsung, karena mereka sudah bisa berjalan sendiri berbekal dari proses-proses interaksi yang dibangun bersama selama masa pendampingan.
Dengan demikian menjadi kewajiban bagi seorang pendamping
untuk menyelami persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat khususnya permasalahan yang dialami oleh warga desa dampingannya yang terkait dengan peningkatan kemampuan daya beli warga terhadap pangan yang berkualitas. Hal itu hanya dapat dilakukan dengan tinggal bersama masyarakat. Perlunya seorang pendamping tinggal bersama masyarakat adalah karena persoalan-persoalan berkenaan dengan kegiatan usaha terkait program mandiri pangan yang sedang berjalan tidak muncul dari pemikiran yang bisa direncanakan, melainkan muncul dari peristiwa yang dialami oleh warga pada saat-saat tertentu. Karena situasi tertentu tersebut maka kebutuhan pelayanan pendampingan harus dilakukan pada saat itu juga, atau tidak dapat menunggu waktu yang lebih lama. Pelaksanaan pendampingan program mandiri pangan di desa Jambakan dilakukan dengan pola kunjungan insidentil, maka persoalan-persoalan yang terjadi selama program berlangsung tak terdeteksi secara sempurna oleh pendamping, dan karena itu bisa jadi banyak persoalan yang dihadapi oleh kelompok dampingan terlewatkan begitu saja.
Pendamping kemudian datang
pada waktu yang direncanakannya (misalnya pada saat pertemuan rutin bulanan yang mungkin juga sudah dijadwalkan bersama warga dampingan) dengan membawa materi yang telah disepakati jauh hari sebelumnya (sudah diagendakan).
Pada akhirnya jika seperti itu yang terjadi, dikhawatirkan fungsi
pendamping sebagai fasilitator
berubah menjadi guru yang konsen dengan
kurikulum yang kaku dan telah dipersiapkan dari rumah; bukan
berupaya
memecahkan persoalan dari situasi lapangan yang berkembang selama proses pendampingan. Persoalan pemberdayaan masyarakat melalui program mandiri pangan di kabupaten Klaten yang tidak kalah pentingnya adalah aspek fasilitasi dari pemerintah.
121
Fasilitasi pada hakekatnya adalah memberikan kemudahan kepada kelompok-kelompok afinitas dan kelembagaan TPD dan LKD yang dibangunnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan tertentu. Istilah memfasilitasi, mengandung makna bahwa pihak fasilitator tidak memiliki kepentingan ekonomi dan politik yang bersifat individual, kecuali komitmen pemberdayaan terhadap kelompok afinitas. Yang difasilitasi dalam hal pemberdayaan rumah tangga miskin di desa rawan pangan adalah masyarakat (kelompok afinitas), TPD dan LKD, pemerintah daerah (sie ketahanan pangan dinas pertanian kabupaten), dan para pendamping untuk secara bersama-sama mengembangkan kelompok afinitas menjadi suatu kelembagaan yang bisa diakses oleh warga secara sosial, ekonomi dan politik. Selanjutnya secara keseluruhan pihak yang satu menjadi fasilitator bagi pihak yang lain secara timbal balik. Pihak yang difasilitasi dan yang memfasilitasi perlu belajar dari proses tersebut, baik untuk kepentingan penyusunan kebijakan, untuk kepentingan praktis dalam pengembangan kemampuan diri dan masyarakat. Dengan prinsip tersebut di atas, maka proyek berjalan di atas rel yang bebas dari unsur-unsur pemaksanaan. Artinya instrumen atau aturan apapun yang diperkenalkan kepada kelompok afinitas, baik yang dibuat oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, para pendamping maupun pihak swasta harus membuka peluang untuk berdialog dengan pihak-pihak yang terkait, di bawah koridor prinsip-prinsip pembangunan ekonomi masyarakat pedesaan. Mekanisme perguliran dalam penyelenggaraan program tertentu pada dasarnya adalah pendayagunaan aspek-aspek fasilitasi agar dapat bermanfaat dalam lingkup yang lebih luas, terutama
bertambahnya jumlah orang yang
mendapatkan akses dari kelembagaan yang ada. Pertanyaannya adalah bagaimana cara agar dana tersebut bergulir secara efektif tanpa menimbulkan prasangka di antara warga yang sama-sama sangat membutuhkan dengan pihak-pihak dari luar, baik pendamping maupun dari pejabat dinas setempat. Kegiatan pendampingan yang dilakukan baru pada sisi managemen belum pada hal teknis karena memang kelemahan pendamping program mandiri pangan di kabupaten Klaten adalah tidak disediakan pendamping teknis. Untuk tahun 2008 pendamping tiap desa hanya satu bersama penyuluh teknis kecamatan.
122
Dalam proses pembentukan Tim Pangan Desa hanya didasarkan atas penunjukkan dari Kepala Desa. Kelembagaan TPD belum berjalan secara efektif bahkan bisa dikatakan belum berfungsi walaupun sudah beberapa kali diberikan pelatihan baik di kabupaten maupun di tingkat propinsi. Konflik internal yang terjadi pasca pilkades harus diakui sangat mempengaruhi jalannya komunikasi antar sesama anggota TPD. Selain itu, dikarenakan proses pembentukannya adalah penunjukkan langsung sehingga ada anggota TPD yang anggota keluarganya tercatat juga sebagai penerima bantuan sekaligus sebagai anggota LKD. Dikarenakan tidak adanya kepastian tentang insentif
yang diperuntukkan bagi anggota TPD
sehingga hanya satu orang saja yang terlibat aktif. Selanjutnya dibentuk Lembaga Keuangan Desa (LKD) yang berfungsi untuk menggulirkan dana bantuan mapan, pada tahun keempat setelah semua anggota mengembalikan dana pinjaman dalam kelompok. Dasar pembentukan LKD adalah pertimbangan kepraktisan dengan menunjuk koperasi makmur perkasa yang sebelumnya sudah ada. Dan hal ini sah-sah saja karena dalam pedoman umum program mandiri pangan juga merumuskan pengembangan dan penguatan kelembagaan yang sudah ada, sejauh kelembagaan tersebut bisa amanah menjalankan fungsinya dan pengurus koperasi bersedia. Sampai pada tahun ketiga LKD bisa dikatakan tidak berjalan sebagaimana semestinya. Koperasi MP yang didaulat untuk menjadi LKD mapan memiliki raport merah dalam hal pengelolaan bantuan.
Demi kebaikan bersama dan demi
keuntungan pihak-pihak tertentu, warga masyarakat yang mengetahui hal ini memilih untuk tutup mulut saja. Kemampuan kelembagaan keuangan desa Jambakan untuk mengawal dan menjaga dana arisan tingkat RT sangat bagus, tetapi ketika mengelola dana yang datang dari luar desa, misalnya dana program mapan, justru sebaliknya. LKD mapan yang berfungsi untuk menggulirkan dana bantuan mapan, pada tahun keempat setelah semua anggota mengembalikan dana pinjaman dalam kelompok tidak berfungsi bahkan cenderung bermasalah. Sampai pada tahun ketiga di tahap pengembangan, pada kenyataannya LKD bisa dikatakan tidak berjalan sebagaimana semestinya.
123
Selama pengamatan di lapang dalam penelitian, proses perguliran dana mandiri pangan, terlepas dari ada tidaknya keterkaitannya dengan aturan operasional program mandiri pangan, terdapat beberapa hal yang bisa dijadikan perhatian dan evaluasi bersama kepada program mandiri pangan selanjutnya dalam hal kelenturan aturan perguliran.
Diantaranya adalah, pertama, proses
perguliran harus berlangsung secara sambung-menyambung seperti air mengalir dari suatu tempat ke tempat lain; bukan merupakan suatu loncatan. Aliran air tersebut ditata sedemikian rupa sehingga tidak tertumpah ke luar wadah yang tidak dikehendaki. Dengan kata lain, pihak yang menerima perguliran memiliki kaitan erat dengan “pusat” dalam hal ini “penerima dana pertama”, baik secara emosional maupun dalam konteks jaringan usaha. Karena itu pihak yang menerima perguliran adalah pihak yang dikenali karakternya oleh pihak yang menggulirkannya, dan karena itu kedua pihak (yang menggulirkan dan yang menerima dana guliran) memiliki tanggungjawab moral untuk mensukseskan proyek secara keseluruhan. Keunggulan dengan cara seperti ini adalah pendampingan pihak luar menjadi minimal, karena “penerima dana pertama” telah belajar dari proses yang juga terus dipantau oleh pihak yang menjadi calon penerima perguliran berikutnya. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa cara seperti ini ada banyak kelemahan jika tidak didukung oleh dukungan aparat pemerintahan desa yang berwibawa dan masih memiliki kekuatan mengatur masyarakatnya Bahwasanya, masih banyak masyarakat pedesaan yang mempunyai anggapan semua program bantuan dari pemerintah bersifat hibah adalah benar. Dalam istilah mereka, tidak mungkin nyusuki negoro, sehingga ketika masuk program mandiri pangan yang dalam pengelolaan dana nya dengan perguliran, sudah ada anggota kelompok (hasil wawancara dengan bu carik) termasuk juga kepala desa-nya yang memprediksi perguliran dana program ini akan bermasalah, kalau tidak bisa dikatakan macet, karena menganggap sama seperti programprogram sebelumnya. Dan, hal ini yang terjadi di desa Jambakan. Dari tiga kelompok afinitas bentukan program mandiri pangan, ketiga-tiganya belum bersedia menggulirkan dananya ke LKD, satu diantaranya yaitu kelompok usaha ternak kambing
124
melaporkan semua kambingnya mati, kelompok aneka usaha tidak bisa dilihat perkembangan usahanya karena dana digunakan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi sehari-hari dan kelompok tenun dianggap menyalahi aturan program. Masih banyak yang beranggapan seperti itu karena pertama, pasca bencana gempa Yogjakarta tahun 2006 kemarin, desa ini mengalami kerusakan yang cukup berat, banyak sekali bantuan yang masuk baik dari pemerintah, swasta maupun dari luar negeri, dan sudah pasti bersifat hibah. Kedua, berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya dalam pengelolaan dana bergulir seperti ini tidak ada tindakan atau sanksi apapun terhadap mereka yang tidak mengembalikan. Dalam istilah mereka tidak mungkin pemerintah menjarak-ne rakyat-e yang tidak mengembalikan dana program yang sebenarnya juga uang rakyat juga. Ketiga, adanya perilaku beberapa elit desa yang menggelapkan sejumlah bantuan (hasil wawancara tentang kasus bantuan untuk koperasi makmur perkasa) dan ini seperti menjadi tameng atas pembenaran tindakannya. Dalam hal pemasaran, menunjukkan bahwa anggota kelompok tenun tidak memasarkan hasil tenunnya melalui kelompok. Padahal sebenarnya salah satu tujuan dibentuk kelompok afinitas dalam program mandiri pangan ini adalah agar anggota kelompok bisa mengembangkan usahanya secara bersama-sama. Tidak demikian pertimbangan anggota kelompok tenun, menurut mereka bahwa dalam pemasaran tidak bisa dilakukan dalam kelompok karena ada bakul-bakul keliling yang sudah dari dulu ada. Jika dijual dalam kelompok, maka akan ada konflik dengan para pedagang bakul tersebut. Lagi pula kebutuhan anggota berbeda-beda, sehingga anggota biasanya menjual hasil tenun tersebut sesuai kebutuhannya. Para pengrajin tenun di desa jambakan kebanyakan masing-masing sudah mempunyai jaringan sendiri-sendiri kemana ambil benangnya maupun akan kemana menjualnya. Bisa dikatakan mereka belum menggunakan kekuatan kelompok untuk berhadapan dengan pedagang. Harapan program mapan dapat melatih para pengrajin untuk mengelola usahanya secara berkelompok sehingga jika dikelola dalam kelompok seperti itu mereka lebih mempunyai posisi tawar dalam berhadapan dengan pedagang sehingga sampai bisa menentukan harga jual sendiri misalnya. Jadi nanti pedagang berurusannya dengan kelompok afinitas.
125
Belum bisa dijalankan seperti itu dikarenakan kelompok afinitas dibentuk tidak atas kesadarannya dan kebutuhannya sendiri untuk membangun kekuatan tetapi lebih didasarkan untuk keperluan pengajuan proposal supaya bisa mendapatkan bantuan. Karena memang selama ini bentuk bantuan dari luar desa diberikan tidak kepada individu tetapi kepada kelompok. Kelompok tenun Mekar Sari telah dianggap menyalahi aturan karena telah menggulirkan dana ke non anggota tanpa melibatkan Lembaga Keuangan Desa (LKD). Kelompok afinitas Mekarsari sudah menggulirkan sendiri ke sepuluh warga masyarakat sekitar yang diketahui juga mengusahakan tenun dan memerlukan modal dengan aturan sendiri yang sedikit berbeda dengan aturan untuk anggota afinitas penerima pinjaman yang awal (misalnya, pinjaman untuk 10 orang dengan ketentuan ; pinjam Rp 1 juta tetapi hanya mendapat Rp 900 ribu, dipotong Rp 100 ribu untuk untuk bunga. Pinjaman tersebut dibayar dalam jangka waktu 10 bulan dengan cicilan Rp 100 ribu/bulan, berarti bunga nya sebesar 10% padahal yang diberikan kepada anggota mandiri pangan hanya bunga 1% dan hal ini yang dianggap oleh irjen sebagai
menyalahi
aturan).
Secara
obyektif
kelompok
tenun
tidak
menyelewengkan dana mapan, dana dikelola dengan baik tapi memang tidak sesuai dengan pedoman umum mapan. Tindakan ketua kelompok ini sebenarnya juga
sepengetahuan
pihak
dinas
pertanian
kabupaten
yang
telah
menginformasikan kepada salah seorang anggota TPD bahwa diperkenankan menggulirkan dana mapan ke warga lain yang membutuhkan dengan syarat sepengetahuan anggota. Hal ini juga yang bisa menjadi masukan untuk pelaksanaan program mapan berikutnya, bahwa perlu ada kejelasan kebijakan dalam hal sejauhmana aturan normatif bisa dilenturkan pada level kabupaten sebagai pemegang wewenang dan pada level desa sebagai wilayah pelaksananya. Pada saat proses penumbuhan anggota afinitas, bahwasanya memang dengan pertimbangan bahwa pendamping tidak berasal dari desa setempat, maka pemilihan anggota kelompok yang akan menerima bantuan dipercayakan kepada Tim Pangan Desa. Seharusnya sasaran utama yang menjadi anggota adalah KK miskin, tetapi dalam tiga kelompok yang ada, anggota dipilih berdasarkan hubungan kekerabatan dengan aparat desa (lama).
126
Alasannya adalah karena telah mengetahui karakter individu tersebut dan lebih mudah mengaturnya. Selain itu ada pula dalam satu KK yang masuk ke dalam dua kelompok. Padahal seharusnya yang menjadi prioritas adalah KK miskin. Berdasarkan wawancara dengan pendamping, hal ini baru disadari setelah program berjalan dan tidak bisa berbuat banyak. Menurutnya, terjadi duplikasi tersebut karena salah satu dari anggota KK tersebut menggunakan alamat yang berbeda.
Peran pendamping yang sedemikian penting dalam menjembatani
berbagai
kepentingan
ini
akan
semakin
optimal
apabila
pendamping
berkemampuan menyelami permasalahan desa dampingannya. Walaupun semua pihak terkait sudah mengusahakan yang terbaik dalam melaksanakan program ini, namun pada kenyataannya dari penelitian ini menunjukkan bahwa program belum berjalan dengan cukup berhasil, baik dari sisi kegiatan usahanya, pengorganisasian kelompok, keberfungsian kelembagaan bentukan program, maupun dalam hal pendampingan.
Sampai pada tahap
penumbuhan di tahun kedua, permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program mandiri pangan di kabupaten Klaten meliputi faktor intern dan faktor ekstern dari masyarakat desa itu sendiri. Permasalahan intern yang timbul antara lain berupa : kurang sadarnya anggota tentang pentingnya berkelompok, kendala dalam pemasaran produk dan keterbatasan pengetahuan anggota kelompok. Faktor extern masyarakat harga kebutuhan pokok yang terus naik (sangat mempengaruhi masyarakat desa untuk dapat
mengembangkan
usaha)
dan
untuk
usaha-usaha
tertentu
adanya
keterbatasan bahan baku, yang selama ini masih mengandalakan suplai dari luar daerah. Menurut mereka, strategi penyelesaian permasalahan-permasalahan ini adalah berupa; kurangnya pelatihan keterampilan, dan masih kecilnya penguatan modal terutama untuk usaha tani/ternak, warungan, perdagangan (hasil bumi, mie ayam, bakso, kucingan,sayuran), dan pengelolaan pangan, dan ketiga pemasaran produk. Pengadaan tempat pemasaran produk sebagai terminal produk olahan antar wilayah dan tempat transaksi tentunya akan menjadi kebutuhan bagi masyarakat, melihat permasalahan diatas apabila proses distribusi tidak akan terhambat. Karena pasar juga bisa menjadi pusat untuk mengakses informasi dan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
127