Majalah J e m b a t a n
I n o v a s i
T e k n o l o g i
Jahe Instan Tepung Glukomanan Potensi Ubi Hutan Pengembangan Pangan Ketahanan Pangan
Edisi 1 - November 2013
07 10 17 20 31
Inovasi Pangan untuk peningkatan
Citra Pangan Lokal
Editorial
Cukup mengejutkan, hasil survey yang dilakukan oleh divisi kajian dan kebijakan Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen terhadap restoran lokal dan asing tahun 2012 menunjukkan bahwa, frekuensi kunjungan konsumen restoran waralaba lokal yang datang lebih dari lima kali hanya 38,4%, sedangkan responden restoran waralaba asing sebagian besar (72,4%) berkunjung lebih dari lima kali. Hal ini berarti restoran waralaba asing mempunyai konsumen setia yang lebih banyak dibanding restoran waralaba lokal. Hasil survey ini menjadi sebuah pengingat bahwa preferensi pangan masyarakat mulai bergeser dari pangan lokal. Disaat prefensi konsumsi masyarakat mulai berubah ini, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan hasil yang mengejutkan pula dimana prevalensi nasional hipertensi pada penduduk umur > 18 tahun adalah sebesar 29,8%, prevalensi nasional penyakit diabetes melitus adalah 1,1% dan prevalensi nasional strok adalah 0,8%. Munculnya penyakit-penyakit degeneratif ini dipicu oleh kegemukan/obesitas akibat pola makan tidak seimbang dan kurangnya olahraga. Fenomena ini pun terjadi pada semua lapisan masyarakat berdasarkan data Riskesdas 2010 yang menunjukkan bahwa, angka prevalensi kegemukan dan obesitas di kalangan sosioekonomi bawah hampir menyamai kalangan sosio-ekonomi atas. Berbagai upaya pemerintah bersama masyarakat telah dilakukan untuk menekan prevalensi terhadap penyakit degeneratif. Diantaranya adalah program penyuluhan hidup sehat seperti mengonsumsi pangan yang lebih beragam. Berbagai kalangan termasuk MITI turut berupaya untuk mensosialisasikan kembali ke pangan lokal kepada masyarakat. Namun, yang masih menjadi kendala adalah bagaimana mengangkat citra pangan lokal agar dapat berdaya saing dengan pangan luar negeri. Tentunya hal ini memerlukan kreatifitas tersendiri khususnya dalam teknologi pengolahan dan pengemasan pangan lokal agar menjadi salah satu pilihan pangan yang disukai masyarakat. Majalah Beranda MITI ini merupakan suatu media transformasi informasi yang dirangkum dari web Beranda MITI. Edisi perdana ini, Oktober 2013, hadir dengan fokus pada inovasi-inovasi teknologi pangan untuk mengolah pangan lokal dengan menghadirkan tulisan-tulisan dari para kontributor Beranda MITI. Selain itu disertakan opini dan ulasan Prof. Slamet Budijanto, Guru Besar Teknologi Pangan dari Institut Pertanian Bogor yang mengulas pentingnya kembali ke pangan lokal untuk mempertahankan ketahanan pangan. Majalah Beranda MITI online ini dapat diunduh gratis pada web site Beranda MITI www.beranda.miti.or.id. Tentu saja, masih terlalu awal untuk menilai majalah online ini dapat dikatakan baik, namun kami sebagai redaksi selalu berusaha terbaik menyampaikan hal-hal menarik dan informatif dalam upaya kembali ke pangan lokal. Satu hari satu kali pangan lokal.
Suci Latifah, S.Gz @latifahsuci Redaktur Pelaksana Penerbit MITI Press Penanggung Jawab Dr. Dwi Handoko @dwihandoko
Redaksi Pelaksana Suci Latifah, S. Gz @latifahsuci
Staff Redaksi Nuri Ikawati, S.IP @nuriikawati
Ahmad Ufuwan, S.E @ufuwan
Desain Grafis Muhtajin, S. Pd @muhtajin89
Keuangan Ummy Syarifah, S. Si @ummysyarifah
Alamat Redaksi Palmyra Square 25A No. 11-12 Alam Sutera, Tangerang Telp/Fax +62 21-29315008 Email
[email protected] Website http://beranda.miti.or.id
Salam kontribusi
1
Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Release: Hasil Survei Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Membeli Pada Konsumen Waralaba Restoran Lokal dan Asing Pada Bulan Februari-Maret 2013, Bidang Kajian dan Kebijakan Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) melakukan sebuah survey tentang perilaku konsumen pada waralaba makanan asing dan lokal, khususnya faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan membeli konsumen. Riset ini dilakukan di empat kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta dengan melibatkan total 500 responden. Total responden ini dibagi dua, 250 untuk restoran waralaba asing dan 250 untuk restoran waralaba lokal. Teknik pengambilan sample dilakukan dengan metode Quota Sampling, masing-masing kota berjumlah 125 responden yang dibagi menjadi asing dan lokal. Penentuan responden tiap kota berdasarkan kriteria tertentu seperti batasan usia, diambil secara acak (responden merupakan kelipatan tujuh dari responden sebelumnya) di pusatpusat gerai waralaba masakan asing dan lokal. Hasil riset menunjukkan bahwa profil kedua responden, menunjukkan karakteristik yang sama, berasal dari anak muda dengan rentang usia 17-25 tahun dengan pendidikan SLTA. Perilaku infomasi kedua jenis responden inipun memiliki kecenderungan yang serupa, yakni sama-sama aktif dalam mengunjungi social media seperti facebook, twitter dan whats app. Rata-rata kedua responden pun menyukai traveling, baca dan wisata kuliner sebagai kegiatan yang sering dilakukan. Meskipun memiliki karakteristik yang sama, kedua jenis responden ini memiliki perilaku yang berbeda dalam proses keputusan membeli. Frekuensi kunjungan responden restoran waralaba lokal yang lebih dari lima kali hanya 38,4%, sedangkan responden restoran waralaba asing sebagian besar (72,4%) berkunjung lebih dari lima kali. Hal ini berarti restoran waralaba asing mempunyai konsumen yang setia lebih banyak dibanding lokal. Temuan ini sejalan dengan realita yang ada sekarang, yakni bisnis franchise restoran asing yang memang lebih bergeliat dibanding
lokal. Karena restoran waralaba asing memiliki konsumen yang lebih loyal dilihat dari frekuensi kunjungan yang sebagian besar lebih dari lima kali. Bagi responden restoran waralaba asing, rasa suka atau nyaman saat mengkonsumsi produk di restoran waralaba asing ternyata bukan ditimbulkan oleh kelezatan makanan ataupun kandungan gizi yang terkandung dalam makanan. Hasil uji regresi dengan nilai probabilitas 0,05 menunjukkan bahwa tingkat popularitas restoran dan kesan mahal yang ditimbulkan oleh restoran waralaba asing merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan membeli responden. Nilai signifikansi untuk faktor tingkat popularitas adalah 0,023, sedangkan untuk image mahal adalah 0,008 dengan arah positif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi rasa suka karena popularitas maupun kesan mahal restoran makin tinggi pula frekuensi kunjungan responden. Kesan mahal dan terkenal yang melekat pada restoran waralaba asing merupakan faktor penarik bagi konsumen. Harga, kandungan gizi maupun kelezatan makanan bukan menjadi pertimbangan bagi responden dalam proses pembuatan keputusan membeli di restoran waralaba asing. Hal ini bertolak belakang pada temuan terhadap responden restoran waralaba lokal. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa keputusan membeli responden di restoran waralaba lokal dipengaruhi oleh faktor kelezatan makanan yang disajikan. Nilai signifikansi yang diperoleh oleh faktor kelezatan makanan ini adalah sebesar 0,000 dengan arah positif. Sehingga, semakin tinggi kelezatan yang dirasakan, semakin tinggi pula frekuensi kunjungan responden. Frekuensi kunjungan responden yang sebagian besar kurang dari 5 kali menunjukkan bahwa faktor kelezatan saja tidak cukup untuk membuat responden loyal. Lalu bagaimana dengan perbandingan kualitas antara kedua jenis restoran tersebut?
Jika dilihat dari segi kualitas restoran, yaitu tingkat kelezatan makanan, keramahan pramusaji, kandungan gizi dan kenyamanan ruangan, indeks yang diperoleh restoran waralaba asing dan lokal tidak berbeda jauh. Total indeks kualitas restoran waralaba asing adalah 1118 sedangkan lokal adalah 1101. Kenyamanan ruangan merupakan satusatunya item yang perbedaan indeksnya cukup besar. Restoran waralaba lokal mendapatkan indeks dari respondennya sebesar 290, sedangkan asing 409. Sementara itu, dari segi keramahan pramusaji, restoran waralaba asing memang mendapat nilai yang lebih tinggi (172) dibandingkan lokal (141), namun selisihnya tidak begitu besar. Sedangkan nilai untuk kelezatan makanan (lokal 476, asing 406) dan kandungan gizi makanan (lokal 196, asing 128) restoran waralaba lokal mendapat indeks yang lebih tinggi dimata respondennya dibandingkan asing. Masing-masing item tersebut telah diuji menggunakan T-Test untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan atau nyata. Hasil uji T-test dengan nilai kepercayaan 95% menunjukkan, bahwa semua item baik dari nilai indeks lokal maupun asing mempunyai nilai signifikansi 0,000. Artinya, terdapat perbedaan secara nyata dalam penilaian responden terhadap masingmasing item tersebut. Hal ini berarti, dari segi kelezatan dan kandungan gizi makanan, restoran waralaba lokal mendapat nilai yang lebih tinggi di mata respondennya dibanding asing. Namun, dari aspek pelayanan yang lain, waralaba makanan lokal masih harus banyak berbenah untuk bisa menghasilkan kenyamanan ruangan dan pramusaji yang ramah serta responsif. Hasil riset ini tidak hanya semakin mempertegas realita dilapangan tentang lebih digandrunginya restoran waralaba asing dibanding lokal, serta image mahal dan terkenal yang melekat sebagai faktor yang mempengaruhi keputusan membeli konsumen, namun juga memberikan temuan menarik tentang perbandingan kualitas restoran di mata masing-masing konsumennya yang menjadi responden. Permendag Nomor 07 Tahun 2013 tentang Pengembangan Kemitraan dalam Waralaba
Untuk Jenis Usaha Makanan dan Minuman memang membatasi jumlah gerai dan mengharuskan penyertaan modal, kemitraan serta penggunaan konten lokal minimum 80%, namun ada satu hal krusial yang tampaknya alpa untuk dirumuskan. Penciptaan kesempatan ini sayangnya tidak dibarengi dengan pembinaan bagi usaha kecil dan menengah (UKM) agar siap bersaing dengan waralaba asing yang mempunyai system mapan serta modal besar. Berdasarkan temuan hasil riset ini, ada beberapa hal yang bisa dijadikan fokus pembinaan pemerintah untuk para pengusaha lokal agar bisa bersaing merebut pasar dalam negeri. Kelebihan berupa kelezatan dan kandungan gizi saja ternyata tidak cukup mempengaruhi konsumen untuk membeli. Oleh sebab itu, perlu ada edukasi untuk melakukan packaging yang menarik, serta pemahaman bahwa berbisnis makanan tidak hanya menjual cita rasa, tapi juga pelayanan lain sebagai sebuah kesatuan. Pelayanan berupa kenyamanan ruangan, pramusaji yang ramah dan responsif merupakan beberapa aspek yang tidak terpisahkan dalam bisnis ini dan merupakan produk yang menjadi jualan pengusaha juga. Apalagi melihat konsumen terbesar di bisnis kuliner ini adalah anak muda, maka tempat makan bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan dasar, namun juga ajang untuk bersosialisasi. Maka penting diperhatikan bagaimana menyajikan sebuah resto yang menyediakan berbagai fasilitas menunjang agar para anak muda sebagai konsumen betah untuk berlama-lama. Selain itu, karakteristik konsumen yang aktif dalam media sosial, mengharuskan para pengusaha lokal untuk bisa tanggap dalam mengikuti trend tersebut. Tidak hanya untuk memasarkan produk, tapi untuk mengikuti apa yang sedang menjadi kecenderungan pasar saat ini. Pemerintah dalam hal ini bisa mulai melakukan edukasi teknologi untuk para pengusaha makanan lokal agar tidak gagap terhadap perkembangan teknologi komunikasi ini. Jika pembinaan ini bisa dilakukan, bukan tidak mungkin para pelaku industri pangan lokal bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Daftar Isi 01
Editorial Artikel
07
09
Jahe instan atau gula jahe?
10
12
Tepung Glukomanan...
13
16
Selandia Baru: Potret...
17
18
Potensi Ubi Hutan sebagai...
Opini
4
20
23
Pengembangan Pangan...
24
30
Media Perfilman dan Televisi...
31
36
Ulasan Ahli
Pangan Lokal untuk Ketahanan Pangan Nasional oleh Prof. Dr. Slamet Budijanto
Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia @MITI_NEWS
Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia “Bringing Technology to the People”
For More Information : www.miti.or.id www.beranda.miti.or.id www.gopanganlokal.miti.or.id www.mahasiswa.miti.or.id www.vrl.miti.or.id www.ors.miti.or.id www. bti-c.com www.git-miti.com
Kontributor Foto Majalah Beranda Majalah beranda merupakan transformasi dari web beranda miti yang telah berkembang manjadi majalah. Majalah Beranda membuka kesempatan bagi pembaca yang ingin mengirimkan foto ke redaksi majalah beranda dengan kriteria sebagai berikut.
Ketentuan pengiriman foto • • • • • • • • • • • • • • • •
Foto yang dikirimkan adalah karya orisinal dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya Terbuka untuk semua kalangan (Pelajar atau umum) Jenis kamera bebas (DSLR/pocket kecuali handphone camera) Ukuran foto: foto yang dikirimkan dengan sisi terpanjang minimal 1000 pixel maksimal 1500 pixel, save quality medium 6, resolusi 300 Editing yang diperbolehkan sebatas cropping, sharpening, level dan saturasi warna. Karya foto bukan manipulasi digital Tidak diperkenankan memberi tulisan/watermark/logo/kode/frame apapun pada foto Foto harus merupakan hasil karya yang orisinal yang dibuat oleh pengirim Foto yang dikirimkan dapat berupa foto ilustrasi sub tema maupun foto obyek Foto yang dikirimkan tidak boleh bermasalah dengan hak cipta, merek dagang, moral, privasi dengan seseorang atau institusi Foto tidak boleh mengandung pornografi serta fitnah dan kebencian Setiap pengirim harus menjamin bahwa publikasi semua foto oleh Majalah Beranda tidak akan memunculkan masalah hukum dikemudian hari Foto dikirimkan ke email redaksi majalah beranda:
[email protected] dengan keterangan Foto_Sub tema_Nama pengirim, contoh: Foto_Budaya hemat energi_Faiz Penerimaan pengiriman foto maksimal tanggal 3 Januari 2013 Setiap foto kontributor yang dimuat dalam Majalah Beranda akan mendapat insentif sebesar Rp. 150.000,Mencantumkan biodata: 1. Nama lengkap beserta foto 3x4 2. Tempat & Tanggal Lahir 3. Alamat Email 4. Akun twitter (jika ada) 5. No. Telepon/Mobile Phone 6. Aktivitas saat ini
Tema foto: Energi Obyek foto berkaitan dengan: 1. Sustainable Energy 2. Economic and Energy 3. Local Energy Industry 4. Green Energy 5. Sumber Daya Energi Sebagai Modal Pembangunan 6. Budaya Hemat Energi 7. Energi Baru Terbarukan (EBT)
Jahe instan atau gula jahe?
Gula Jahe | GettyImage
Industri-industri pangan kini mulai
melirik hal-hal yang berbau herbal, alami, dan organik. Hal tersebut tak jauh dari gencarnya semboyan ‘Go Green’ dan ‘Go Pangan Lokal’. Berbagai upaya untuk membuat produk ‘alami dan lokal’ diusahakan demi menggaet konsumen. Kata-kata seperti baik untuk kesehatan tubuh dan lingkungan menghiasi usaha marketing p r o d u k pangan di negeri ini.
GettyImage
7
Faktanya produk pangan tersebut hanya disisipi sedikit hal alami dan lokal. Sebagian besar produk lokal seperti sayur, buah, dan umbi memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh. Selain itu, produkproduk lokal yang alami tersebut dapat memberikan dampak yang baik bagi lingkungan daripada produk-produk sintetis. Oleh karena itu, kini produk lokal sering dijadikan bahan utama atau hanya dijadikan sebagai batu loncatan bagi para pemegang kuasa industri pangan. Industri kecil maupun besar saling berebut konsumen, meraup keuntungan sebesarbesarnya. Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu produk lokal yang diandalkan demi kebutuhan industri. Menurut Prastowo (2007: 1), Komoditas jahe saat ini masih menempati urutan teratas dalam penggunaan, sehingga masih memiliki peluang besar untuk dikembangkan terus melalui pengembangan sumber-sumber pertumbuhan. Dalam perkembangannya, kebutuhan komoditas jahe untuk bahan baku industri meningkat terus seiring berjalannya waktu. Jahe dapat diolah menjadi berbagai macam jenis produk pangan. Terlebih lagi sekarang ini inovasi telah merasuk ke sendi-sendi pikiran manusia. Bukan tak mungkin di tahun mendatang produk turunan jahe menjadi lebih banyak. Untuk saat ini olahan jahe yang paling populer yaitu Jahe Instan. Menurut Riana (2012), jaheinstan adalah jahe yang berbentuk butiran-butiran/ serbuk dan dalam penggunaannya mudah melarut dalam air dingin atau air panas. Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
“
“
Artikel : Jahe Instan atau Gula Jahe?
Jahe merupakan salah satu produk lokal yang dapat diolah menjadi berbagai macam jenis produk pangan. Pengolahan jahe instan di industri menengah ke bawah masih menggunakan cara tradisional
GettyImage
8
Pengolahan jahe instan di industri menengah ke bawah masih menggunakan cara tradisional. Pengolahan seperti ini didasarkan pada sifat gula pasir yang bisa kembali mengkristal setelah dicairkan dalam kondisi yang tidak asam (pH > 6,7). Prinsip cara pembuatannya yaitu: jahe dicuci bersih, dikupas, dan dipotong-potong. Kemudian jahe dihaluskan dengan cara ditumbuk, diparut, atau diblender. Jahe yang telah lembut diperas sehingga menghasilkan sari jahe. Sari jahe kemudian diuapkan/ dipanaskan hingga mengental. Lalu ditambahkan gula ke dalamnya dan diaduk terus hingga menjadi bubuk atau kristal. Jahe instan sudah siap dan segera dikemas agar tidak tercemar mikrobia kontaminan yang menyebabkan jahe instan rusak. Pada proses pembuatan dengan cara tradisional tersebut, perbandingan komposisi jahe banding gula yaitu satu banding dua. Ini artinya jika jahe yang digunakan 1 kg maka gula yang diperlukan adalah 2 kg. Gula memang dibutuhkan oleh tubuh untuk menghasilkan energi. Namun, kelebihan gula dalam tubuh justru dapat merusak tubuh. Tubuh manusia normalnya sudah tercukupi kebutuhan gulanya, yaitu maksimal 50 gram per hari, dari karbohidrat yang berupa nasi atau umbi-umbian. Gula mampu meningkatkan kadar gula darah dan produksi insulin. Menurut Health (2006: 28) kelebihan gula dalam tubuh dapat menekan sistem imun sehingga gangguan autoimun seperti arthritis dan multiple schlerosis dapat terjadi dengan mudah. Selain itu gula juga dapat menyebabkan candidiasis yaitu infeksi karena jamur Candida albicans. Jika konsumsi makanan manis dan karbohidrat sederhananya berlebihan, jamur akan menginfeksi lambung dan berkembang biak dengan cepat sehingga dapat menyebabkan gangguan pencernaan dan menghambat penurunan berat badan. Sayangnya teknologi ini hanya compatible untuk industri besar. Sudah selayaknya pemerintah yang berwenang dibidangnya memberikan bantuan kepada industri menengah ke bawah agar bisa meninggalkan metode tradisional membuat jahe instan dan beralih ke metode yang lebih baik untuk Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Artikel : Jahe Instan atau Gula Jahe?
Profil Penulis Nurullia Nur Utami @NNurullia Nurullia adalaha mahasiswa S1 Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Univirsitas Gadjah Mada. Nurullia dikenal aktif sebagai staff PSDI (Pengembangan Sumber Daya Insani) BEM FTP UGM, staff divisi Penelitian dan Pengkajian Ilmiah ASC (Agritech Study Club) UGM
kesehatan konsumen. Selain itu, sebagai masyarakat atau pelajar, dapat juga merumuskan solusi yang lebih baik untuk permasalahan ini. Penciptaan alat baru yang lebih ‘ramah’ sangat dibutuhkan untuk industri skala menengah kebawah. Konsumsi jahe memang baik untuk kesehatan, namun jahe instan dengan jumlah gula yang banyak justru akan membahayakan tubuh. Sudah sepatutnya produksi jahe instan dengan cara tradisional diganti atau diinovasi agar gula yang digunakan secukupnya saja. Teknologi spray drying merupakan cara yang tepat untuk menggantikannya. Spray drying merupakan proses perubahan bahan dari bentuk cair menjadi partikel-partikel kering berupa serbuk atau butiran oleh suatu proses penyemprotan bahan ke dalam medium kering yang panas (Dziezak, 1980).
Referensi
Dziezak, J.D. 1980. Microencapsulation and Encapsulated Ingredients. Journal of Food Technology. 18 (4) : 138 Health, Vita. 2006. Diet VCO: Panduan Menurunkan Berat Badan dengan Minyak Kelapa Murni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Prastowo, Bambang. 2007. Booklet Teknologi Unggulan Tanaman Jahe. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Riana. 2012. “Laporan Jahe Instan”. http://rianayetmi14.blogspot.com. Diakses pada tanggal 18 Juni 2013 pukul 07:30
Rubrik Pembaca Redaksi Majalah Beranda menerima kritik, saran dan masukan dari pembaca. Silakan email ke
[email protected]
9
Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Tepung Glukomanan dari Umbi Porang sebagai Subtitusi Tepung Terigu pada Produk Pangan Alternatif berupa Mie Rendah Kalori Indonesia memiliki beragam tanaman bahan pangan penghasil pati yang dapat dijadikan bahan baku bahan pangan pokok. Secara umum, terdapat dua sumber bahan baku pati di Indonesia yakni sumber pati mayor dan minor. Sumber pati mayor terdiri dari beras, jagung, gandum, sorgum, singkong, kentang, ubi jalar, talas dan sagu. Sedangkan sumber pati minor terdiri dari berbagai macam umbi seperti kimpul, garut, suweg, uwi, iles-iles, ganyong dan porang. Sumber pati minor masih sangat minim pemanfaatannya sebagai produk pangan komersil. Salah satu sumber pati minor yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah umbi porang.
“
Tidak banyak yang mengenal umbi porang sebagai bahan pangan lokal yang banyak tumbuh di lahan hutan di Jawa Timur. Umbi porang memiliki kandungan glukomanan yang memiliki fungsi sebagai pengenyal, pembentuk tekstur dan pengental makanan.
“
10
Umbi Porang (Amorphophallus oncophyllus), merupakan salah satu kekayaan alam asli Indonesia. Tidak banyak yang mengenal umbi porang sebagai bahan pangan lokal yang banyak tumbuh di lahan hutan di Jawa Timur. Umbi porang pada awalnya dikembangkan untuk mendukung program konservasi hutan. Seperti tepung terigu, umbi porang memiliki kandungan glukomanan yang memiliki fungsi sebagai pengenyal, pembentuk tekstur dan pengental makanan. Umbi porang masih dijual dalam bentuk chips (irisan kering dan tipis dari umbi porang) ke Jepang sebagai bahan utama dari produk tepung konjak. Glukomanan adalah polisakarida dalam famili mannan. Glukomanan terdiri dari monomer β-1.4 α-mannose dan α-glukosa. Glukomanan yang terkandung dalam umbi porang memiliki sifat yang dapat memperkuat gel, memperbaiki tekstur, mengentalkan, dan lain sebagainya. Saat ini, umbi porang belum dimanfaatkan oleh industri di Indonesia atau masyarakat secara luas sebagai bahan tambahan atau fungsional produk makanan. Hal ini disebabkan masyarakat belum dapat mengolah umbi porang tersebut menjadi Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Artikel : Tepung Glukomanan dari Umbi Porang
bahan pangan yang praktis untuk dimakan. Begitu juga pada industri makanan di Indonesia. Sebaliknya, industri yang memanfaatkan glukomanan sebagai bahan baku atau bahan tambahan justru mengimpor tepung glukomanan (konjac flour) dari Jepang. Dengan pertimbangan kondisi tersebut, pemanfaatan tepung glukomanan dari umbi porang sebagai bahan baku utama produk mie rendah kalori yang merupakan salah satu produk pangan alternatif dinilai sangat potensial sebagai solusi dalam melepaskan ketergantungan Indonesia akan gandum dan tepung terigu impor secara perlahan dalam produksi mie. Produksi tepung glukomanan dari umbi porang tergolong sederhana. Umbi porang mentah yang telah dikupas kemudian dicuci dan diiris tipis (untuk hasil
yang baik dapat di slice dengan mesin) lalu dikeringkan dengan sinar matahari (12 jam – 24 jam) atau dapat juga dikeringkan dengan menggunakan pengering oven dalam waktu kurang lebih 24 jam. Umbi porang yang telah diiris tipis dan kering disebut dengan chips. Chips ini kemudian ditepungkan dengan cara dihaluskan dengan mesin disk mill atau menggunakan blender. Dalam tepung umbi porang terdapat kandungan kalsium oksalat yang cukup tinggi yang bila dikonsumsi dapat menimbulkan gatal pada lidah dan kulit manusia sehingga tepung porang harus dimurnikan terlebih dahulu sebelum dipisahkan glukomanannya. Pemurnian tepung porang dari kalsium oksalat dapat dilakukan dengan maserasi bertahap menggunakan etanol 40%, 60% dan 80%. Menurut Widjanarko (2011), tepung porang yang dicuci dengan me-maserasi tepung porang dengan etanol konsentrasi rendah 40% akan melarutkan senyawa polar yang terkandung dalam bahan seperti kalsium oksalat, protein, pati, dan abu. Sedangkan maserasi pada etanol 60% dan 80% akan melarutkan lemak yang terkandung pada tepung.
http://simonbw.lecture.ub.ac.id/
11
Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Artikel : Tepung Glukomanan dari Umbi Porang
Kemudian tepung dikeringkan kembali di oven pada suhu 40ºC selama 40 menit dan kemudian dipisahkan antara glukomanan dan senyawa pengotor yang tidak diinginkan berdasarkan berat jenis sehingga dihasilkan tepung glukomanan murni. Harga tepung glukomanan berkisar antara Rp 20.000/100 gram. Walaupun tergolong mahal, namun hanya diperlukan sedikit glukomanan sebagai bahan pengental makanan ataupun dalam pembuatan mie. Hal ini dikarenakan sifat glukomanan yang memiliki daya absorbsi air yang tinggi yakni dapat menampung air kurang lebih 100 kali dari beratnya dalamair. Tepung porang dari umbi porang memiliki kandungan nutrisi sebagai berikut : air 6.8%, glukomanan 64.98%, pati 10.24%, protein 3.42% , lemak 0%, serat berat 5.9% dan kalsium oksalat sebesar 0%.
Profil penulis: Khoirunisa Prawita Sari @khoeeruu Khoerunisa adalah Mahasisiwa Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Khoerunisa dikenal aktif dalam kegiatan kemahasiswaan sebagai staff Kajian strategi dan advokasi BEM Fakultas Teknologi Pertanian.
Aplikasi tepung glukomanan pada produk mie dapat dibuat dengan mencampur tepung dengan air dingin yang telah ditambahkan baking soda (soda kue) dengan perbandingan 6 gram tepung, 0.4 gram baking soda dengan 450 ml air dan garam secukupnya. Seluruh bahan dicampurkan dalam keadaan dingin dan diaduk secara merata selama 10 menit. Kemudian dipanaskan selama 5 s/d 10 menit. Setelah itu adonan yang berbentuk gel digiling sehingga berbentuk mie yang dikukus terlebih dahulu sebelum disajikan dengan bumbu. Proses pembuatan mie yang sederhana ini memungkinkan mie dapat dibuat oleh masyarakat sebagai bahan pangan pengganti mie yang terbuat dari gandum. Adanya glukomanan juga membentuk tekstur kenyal pada mie yang umumnya disukai konsumen Indonesia. Selain itu manfaat glukomanan bagi tubuh sebagai salah satu makanan dietary fiber dan rendah kalori menjadikan mie yang terbuat dari tepung glukomanan ini sangat prospektif untuk dikembangkan menjadi pangan alternatif yang sehat dan sesuai untuk penderita diabetes.
Referensi
Anonim. 2009. Pangan Lokal. [Terhubung berkala]. http://agoesman120.wordpress.com (11 Mei 2013). M. Alonso-Sande, dkk .2008. Glucomannan, a Promising Polysaccharides for Biopharmaceutical Purposes. Eur. J. Pharm. Biophar. Widjanarko, Simon Bambang. 2011. Efek Hidrogen Peroksida terhadap Sifat Fisiko Kimia Tepung Porang (Amorphophallus oncophyllus ) dengan Metode Maserase dan Ultrasonik. Jurnal Teknologi Pertanian XII. 12
Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Selandia Baru: Potret Negara Maju Berbasis Pertanian
K
esuksesan Selandia Baru sebagai Negara Petani dan Peternak semata-mata karena kesadaran masyarakat untuk mencintai potensi yang dimilikinya, serta didukung oleh kemudahan perizinan usaha yang menempati urutan ke-2 dari 195 negara sedunia. Negara subtropis yang memiliki kesan segar dan indah ini mempunyai kondisi geografis yang mirip dengan Indonesia. Selandia Baru, dikenal dengan nama New Zealand di mancanegara, memiliki hamparan lahan berbukit dan landai. Negara ini merupakan contoh nyata salah satu negara yang berhasil memajukan kehidupan petani dan peternak, serta sukses mengolah berbagai industri yang berkaitan dengan pertanian, peternakan, perkebunan dan perikanan. Selandia Baru memiliki luas wilayah kedaulatan seluas 268.680
km2 dengan jumlah populasi mencapai 4.430.400 jiwa. Negara ini terbagi menjadi dua pulau yaitu Utara dan Selatan dengan bentuk permukaan yang menyerupai pulau Sulawesi dan Jawa. Selandia Baru merupakan negara maju dengan kontribusi hasil pertanian, perternakan dan perkebunan sebesar 4.8% dari total Produk Domestik Bruto per kapita (CIA World Factbook 2012). Jika diteliti lebih lanjut persentase tersebut terlihat kecil, namun yang mengagumkan, jika dilihat dari persentase komoditi ekspor, produkproduk hasil pertanian, perikanan, perkebunan merupakan kekuatan utama dalam mendatangkan devisa. Hampir 50% komoditas ekspor Selandia Baru berasal dari industri pertanian yang diekspor ke negara-negara tetangga seperti Australia, Amerika, China, Jepang dan Inggris.
Tabel 1. Perbandingan Antara Indonesia dan Selandia Baru
Perbandingan
Selandia Baru
Indonesia
Luas Negara
268.680 km2
1.904.569 km2
Luas Daratan
263.638 km
1.811.569 km2
Luas Laut
5.642 km2
930.000 km2
Populasi
4.315.800 juta jiwa
240.271.522 juta jiwa
PDB
$ US 130,69 Triliun
$ US 514,29 Triliun
Persentase Produksi Sektor Agrikultur terhadap PDB
4.8%
14.90%
Persentase Komponen Ekspor terhadap PDB
66%
30%
Laju Inflasi
4%
18.3%
Urutan 2 dari 195 negara
Urutan 128 dari 195 negara
Kemudahan Perizinan Usaha Sumber: Wijaya (2009) 13
2
Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Artikel : Selandia Baru Potret Negara Maju Berbasis Pertanian
Peternakan
“
“
Hampir 50% komoditas ekspor Selandia Baru berasal dari industri pertanian yang diekspor ke negara-negara tetangga seperti Australia, Amerika, China, Jepang dan Inggris.
14
GettyImage
Negara ini memiliki hampir 13.000 peternakan sapi, baik skala kecil milik perorangan hingga yang besar. Hampir sepertiga luas negara merupakan daerah peternakan, sehingga tak heran ekspor produk susu menjadi salah satu pemasukan terbesar negara. Hampir semua peternakan menggunakan model peternakan padang rumput (ranch). Pengelolaan rumput dan pertumbuhannya dipengaruhi oleh musim, jenis rumput, luas lahan, pemupukan dan faktor kesuburan tanahnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan padang rumput sudah diketahui secara luas oleh peternak karena dukungan infrastruktur dan hasil riset yang telah lama dilakukan. Metode peternakan untuk biri-biri, sapi potong maupun sapi perah tidak jauh berbeda dengan peternak sapi di Nusa Tenggara Barat (NTB), yaitu dengan cara penggembalaan di padang rumput yang dimiliki oleh peternak yang dikelilingi oleh kawat yang dialiri listrik tegangan rendah. Hasil utama industri peternakan Selandia Baru terdiri dari daging berkualitas, bahan wol dari bulu domba, mentega, margarin, telur ayam, susu perah dan keju. Peternak di Selandia Baru hanya memiliki hari libur sebanyak 4 hari (Hari Raya Natal dan Paskah, Hari Buruh, dan Ulang Tahun Ratu Inggris) sehingga mereka bekerja hampir sepanjang tahun termasuk saat musim panas dan musim dingin. Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Artikel : Selandia Baru Potret Negara Maju Berbasis Pertanian
Perkebunan
Harvesting | GettyImage
Perikanan
GettyImage
15
Zaitun, Apel, Anggur, dan Kiwi menjadi komoditas hortikultura yang menjadi prioritas untuk dikembangkan di Selandia Baru. Dengan memadukan potensi keindahan alamnya, petani perkebunan dan pemilik kebun menjadikan perkebunan mereka sebagai objek wisata. Banyak restoran yang menyajikan produk dengan bahan baku yang diambil langsung dari kebun mereka. Cara ini tentu saja menarik banyak wisatawan untuk berkunjung.
Pemerintah Selandia Baru memiliki kebijakan yang ketat dalam sektor perikanan. Pemerintah menetapkan kuota terhadap hasil tangkapan nelayan lokal sebagai bentuk manajemen sumber daya kelautan, dan juga berbagai inspeksi dan karantina terhadap kapal asing yang beroperasi di perairan Selandia Baru untuk mencegah terjadinya penangkapan berlebihan terhadap hasil laut dan satwa flora dan fauna asing yang mungkin terbawa dan menjadi hama pengganggu ekosistem kelautan dan darat. Pemerintah memberikan penyuluhan secara merata dan jelas kepada para petambak dan nelayan, dan juga memberlakukan kontrol harga perikanan yang ketat melalui policy recommended retail price, atau harga eceran resmi rata-rata dengan perbedaan kurang lebih 10%. Hal ini menjamin nelayan dan petambak tetap mendapatkan keuntungan dan berkiprah di bidangnya. Dari sekian banyak hasil laut dan tambak, produk hasil laut Selandia Baru yang terkenal ialah, kerang cangkang hijau, ikan salmon, tiram Pasifik asal Asia, dan Abalone. Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Artikel : Selandia Baru Potret Negara Maju Berbasis Pertanian
Perekonomian Selandia Baru
GettyImage
Profil penulis: Riska Ayu Purnamasari @rizkuna Riska Ayu Purnamasari saat ini tengah menempuh pendidikan S2 di University of Tsukuba, Jepang. Riska menyelesaikan pendidikan S1 di Institut Pertanian Bogor Jurusan Biokimia. Saat ini Riska juga aktif dalam Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Klaster Mahasiswa.
Perekonomian negara Selandia Baru bertumpu pada perdagangan hasil laut sejak abad ke-19. Pada awal tahun 1970-an Selandia Baru mengalami kemerosotan perekonomian yang sangat drastis, keadaan ini disebabkan oleh kenaikan harga minyak yang berakibat pada berkurangnya permintaan dunia terhadap barang-barang primer Selandia Baru dan tersendatnya akses Selandia Baru ke dalam pasar Inggris setelah terbentuknya Uni Eropa. Standar kehidupan di Selandia Baru mengalami kejatuhan menjadi di bawah Australia dan Eropa Barat, dan pada tahun 1982 Selandia Baru memiliki pendapatan per kapita yang paling rendah di antara negara-negara maju yang disurvey oleh Bank Dunia. Sejak tahun 1984, pemerintah-pemerintah penerus di Selandia Baru berurusan dengan restrukturisasi ekonomi makro (yang pada mulanya dikenal sebagai Rogernomics dan kemudian berubah menjadi Ruthanasia), secara cepat mengubah Selandia Baru dari ekonomi yang sangat proteksionistis menjadi ekonomi pasar bebas. Walaupun Selandia Baru sangat bergantung kepada perdagangan internasional. Sehingga Selandia Baru rentan terhadap hargaharga komoditas internasional dan resesi global. Namun, sektor pertanian, hortikultura, perikanan, kehutanan, dan pertambangan, yang berasal dari sumber daya alam (SDA) unggulan di negara ini mampu menjadi industri penting yang mendunia.
Referensi
Anonim. 2008. Ekonomi New Zealand. [Terhubung Berkala]. http://newzeanando. wordpress.com/tentang-selandia-baru/ekonomi/ CIA World Factbook 2012. https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/ geos/nz.html Prabowo H. 2004. Pesona Peternakan New Zealand. [Terhubung Berkala]. http://koranpdhi. com/buletin-edisi4/edisi4-nz.htm Wijaya A. 2009. Belajar dari Kesuksesan Negara Selandia Baru. [Terhubung Berkala]. http:// bangkittani.com/pertanian-internasional/belajar-dari-kesuksesan-negara-selandia-baru/ 16
Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Potensi Ubi Hutan sebagai Alternatif Industrialisasi dan Ketahanan Pangan Lokal GettyImage
M
asyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya yang berada di daerah Sultra Kepulauan tentu tidak merasa asing dengan buah Kolope. Tanaman yang dikenal di Indonesia sebagai tanaman Ubi Hutan atau Gadung (Dioscorea hispida Dennst.) yang termasuk suku gadung-gadungan atau Dioscoreaceae. Tanaman ini tergolong tanaman umbiumbian yang cukup populer walaupun kurang mendapat perhatian. Ubi hutan menghasilkan umbi yang dapat dimakan, namun mengandung racun yang dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila kurang benar pengolahannya. Tanaman ini tumbuh liar di hutanhutan. Selama masa pertumbuhan tidak membutuhkan perawatan atau penanganan khusus. Biasanya masyarakat yang mengkosumsinya melakukan pengolahan terhadap ubi hutan di saat musim kemarau panjang. Ketika kemarau datang, masyarakat 17
pergi ke hutan mencari ubi hutan dan kemudian mengolahnya menjadi bahan makanan. Meskipun demikian, terdapat pula masyarakat mengonsumsi ubi hutan sebagai makanan khas meskipun tidak mengalami kemarau panjang ataupun krisis pangan. Pengolahan yang baik terhadap ubi hutan dapat membuatnya bertahan lama hingga dapat dikonsumsi lagi pada tahun berikutnya. Sehingga tanaman ini menjadi sangat berpotensi sebagai alternatif ketahanan pangan nasional. Kelompok masyarakat di Sulawesi Tenggara mengolah ubi hutan dengan cara yang berbeda. Di Kabupaten Muna, setelah ubi hutan diiris tipis dan dijemur dalam beberapa hari hingga kering seperti kerupuk, selanjutnya dilakukan perendaman dalam air garam (air laut). Pada daerah Bau-Bau khususnya di pedesaan, Kolope (ubi hutan) yang telah diiris dan dijemur hingga kering diaduk dalam wadah yang berisi air laut selama setengah hari. Setelah itu, ubi hutan ditiriskan dan dikeringkan secara sederhana dengan bantuan angin. Sedangkan di Kabupaten Konawe Selatan, ubi hutan yang dikenal dengan sebutan O Wikoro diolah dengan menaruh ubi hutan yang telah dikupas ke dalam jaring yang dikaitkan pada sebuah sungai yang mengalir selama seharian. Kemudian hasilnya diiris tipis-tipis lalu dikeringkan dengan bantuan matahari. Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
“
Artikel : Potensi Ubi Hutan sebagai Alternatif Industrialisasi dan Ketahanan Pangan Lokal
“
Jumlahnya yang banyak dan mudah ditemui di hutan secara liar membuat pengolahannya di masyarakat sungguh beragam. Tidak hanya sebatas pada makanan pokok saja, tetapi juga dapat diolah dalam bentuk makanan khas daerah, dan kripik instan berbagai rasa.
Namun, hasil survey penelitian diperoleh bahwa perendaman memiliki tujuan yang sama, yaitu mengurangi kadar racun dalam ubi hutan (Aman, 2007). Kadar racun yang dimaksud adalah zat toksik yang dapat terhidrolisis sehingga terbentuk asam sianida (HCN). Efek terbentuknya HCN yang di rasakan apabila kita memakan ubi hutan yang tidak sesuai dengan anjuran yaitu tidak nyaman ditengorokan, diikuti pusing, muntah darah, rasa tercekik, mengantuk dan kelelahan. Bahkan dalam jumlah yang sangat besar dapat menyebabkan kematian. Tantangan inilah yang selama ini menyebabkan kurangnya ketertarikan masyarakat terhadap potensi ubi hutan. Padahal selain jumlahnya yang banyak dan mudah ditemui di hutan secara liar, pengolahannya di masyarakat cukup beragam. Tidak hanya sebatas pada makanan pokok saja, tetapi juga dapat diolah dalam bentuk makanan khas daerah, kripik instan berbagai rasa, dan berbagai inovasi pangan lainnya. Jika pemerintah mampu mengembangkan jenis tanaman ini, tentu akan menjadi ikon daerah yang akan menjadi alternatif industrilisasi pangan lokal. Profil penulis: Maulana Jayadin @Maulana_Jayadin Maulana adalah Mahasiswa Universitas Haluoleo. Maulana senang menulis. Beberapa tulisannya dipubilkasikan secara online pada Lingkar Studi Ilmiah Penalaran FKIP UHO. Saat ini Maulana juga aktif tergabung dalam Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Klaster Mahasiswa.
Referensi
Aman, La Ode. 2007. Efektifitas Penjemuran Dan Perendaman Dalam Air Tawar Untuk Menurunkan Kandungan Toksik HCN Ubi Hutan (Dioscorea Hispida Dennst). UNG: Gorontalo. Diakses dari: http://ejurnal.fikk.ung.ac.id/index.php/NJ/article/download/42/13. Departemen Pertanian. 2013. Manfaat Umbi Gadung Sebagai Pangan Alternatif, Pestisida Nabati Dan Pupuk Organik Cair. Diakses dari: http://cybex.deptan.go.id/lokalita/ manfaatumbi-gadung-sebagai-pangan-alternatif-pestisida-nabati-dan-pupuk-organik-cair. Wikipedia. 2013. Diakses dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Gadung. 18
Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
19
Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Pengembangan Pangan Lokal Menuju Industrialisasi Pangan Lokal di Papua
P
Makanan Papeda Khas Papua Khairuddin Safri/Beranda Foto
20
angan adalah hal yang penting bagi kehidupan manusia sehingga kebutuhannya harus dipenuhi. Dalam pemenuhan kebutuhan pangan Indonesia masih memiliki masalah bahkan adanya ketimpangan pangan yang terjadi. Contohnya saja terjadi pergeseran pola konsumsi pangan di Indonesia dari jenis yang beragam seperti umbi-umbian, jagung, sagu, dan lain-lain. Namun pada tahun 2010 tercatat Indonesia hanya mengkonsumsi beras dan terigu saja sebagai pangan pokok. Pertanyaannya adalah dimana pangan lokal kita? Produksi padi dengan jumlah lahan pertanian yang kian terbatas tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia dan ditambah lagi pertambahan penduduk yang kian meningkat. PBB memperkirakan tahun 2030 60% penduduk akan tinggal di Kota. Ini artinya Sumber Daya Manusia untuk mengelola lahan pertanian pastinya kian sedikit karena semakin kurangnya daya tarik pertanian dan kenyataan adanya terjadi ketimpangan kesejahteraan terhadap petani. Jadi bila kita tetap mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok masyarakat Indonesia maka yang akan terjadi adalah bencana kelaparan. Sungguh ironis jika bencana kelaparan itu terjadi di Indonesia yang merupakan negara agraris. Untuk mencegah terjadinya kelaparan di masa yang akan datang hal yang menurut saya sangat diperlukan adalah pengembangan potensi pangan lokal. Indonesia memiliki daerah-daerah yang kaya akan pangan lokalnya, contohnya saja Provinsi Papua. Papua memiliki pangan lokal seperti ubi jalar, sagu, talas, gembili, jawawut, dan masih banyak lagi potensi pangan lokal yang dapat dikembangkan di Provinsi Papua. Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
“
“
Opini : Pengembangan Pangan Lokal Menuju Industrialisasi Pangan Lokal di Papua
Pengembangan potensi pangan lokal dapat dimulai dengan memperkenalkan pangan lokal tersebut di lingkungan daerahnya sendiri.
1
Pengembangan potensi pangan lokal dapat dimulai dengan memperkenalkan pangan lokal tersebut di lingkungan daerahnya sendiri. Pengenalan pangan lokal di daerahnya sendiri membantu masyarakat sekitar untuk mengetahui bahkan mengembangkan pangan lokal secara luas. Salah satu cara pengembangan pangan lokal adalah dengan cara industriliasasi pangan lokal. Industrialisasi merupakan cara yang tepat karena dengan jalan ini pangan lokal yang hanya dikenal di daerah tempatnya tumbuh bisa dikenal oleh daerah lain bahkan negara lain. Tujuan utama dari proses industri pangan lokal adalah kembali mengembangkan pangan lokal yang sudah mulai redup keberadannya dan bahkan ditinggalkan karena lebih mudahnya akses mendapatkan beras daripada pangan lokal yang ada di daerahnya. Berikut adalah langkahlangkah Industrialisasi pangan lokal yang dapat dilakukan melalui perspektif aplikasi teknologi pangan dalam industri.
Peninjauan
GettyImage
Proses peninjauan lahan pertanian yang dikembangkan penduduk bahkan yang masih tumbuh sendiri, seperti pohon sagu yang masih liar di Provinsi Papua. Langkah ini bertujuan untuk melihat seberapa luas lahan yang dikembangkan dan apakah perlu penambahan lahan lagi atau tidak serta melihat bagaimana perawatan tanaman pangan lokal yang telah dilakukan oleh masyarakat setempat. Dalam langkah ini diperlukan penyuluhan pertanian dalam memberikan konsep bercocok 21
tanam yang baik dan benar sehingga masyarakat dalam mengembangkan lahan pangan lokal tidak terkesan asalasalan yang nantinya akan menuai hasil yang kurang maksimal. Tidak hanya konsep saja yang nantinya akan dibagikan namun juga menyediakan teknologi dalam hal bercocok tanam, contohnya saja di daerah-daerah yang terpencil masih menggunakan cangkul atau alat bajak. Alat tradisonal ini sudah seharusnya dapat diagantikan dengan alat yang lebih modern. Pengembangan teknologi dalam proses penyuluhan pertanian akan menciptakan efesiensi waktu maupun tenaga sehingga waktu yang diperlukan ketika menggunakan alat tradisional dapat dimanfaatkan untuk hal yang lain. Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Opini : Pengembangan Pangan Lokal Menuju Industrialisasi Pangan Lokal di Papua
2
Pemberdayaan masyarakat
Hasil Bumi Papua Khairuddin Safri/Beranda Foto
22
Sumber daya manusia sangat diperlukan untuk melakukan pengembangan pangan lokal melalui industrialisasi dan masyarakat sekitar belum mampu melakukaannya sendiri, untuk itu diperlukan pembinaan dan pendampingan oleh dinas terkait seperti Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Badan Ketahanan Pangan, bahkan Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah. Pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan dan pedampingan tersebut bertujuan untuk mmberikan pengertian kepada masyarakat bahwa sangat perlunya melakukan pengembangan pangan lokal melalui industrialisasi selain itu pembimbing dan pendamping juga harus memberikan arahan dari tujuan dari dilakukannya pemberdayaan. Setelah diadakannya penyuluhan pertanian dan pemberdayaan,langkah yang selanjutnya dilakukan adalah penyediaan teknologi yang diperlukan. Peralatan yang dimaksud meliputi proses pengolahan hingga pengemasan pangan lokal. Penyediaan peralatan teknologi akan membuat nilai pangan lokal menjadi tinggi dan akan membuat pembeli menjadi tertarik dibandingkan diolah dengan cara tradisional. Contohnya saja papeda makanan khas Provinsi Papua yang diolah dari bahan sagu, sekilas jika dihidangkan, masyarakat non-Papua tidak akan tertarik namun berbeda jika papeda tersebut dihidangkan dalam wadah seperti kita membeli cupcake dan divariasikan dengan berbagai rasa maka saya yakin banyak masyarakat yang akan tertarik. Begitu juga dengan ubi jalar. Hingga saat ini yang saya lihat memakan ubi masih dikategorikan orang desa. Hal ini karena masyarakat di kota masih belum banyak yang mengkonsumsinya dan kurang atau tidak adanya rumah makan yang dikategorikan sama dengan rumah makan yang sering kita singggahi yang menawarkan ubi jalar sebagai pengganti nasi. Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Opini : Pengembangan Pangan Lokal Menuju Industrialisasi Pangan Lokal di Papua
3
Pendistribusian
GettyImage
B anyak di daerah Indonesia yang memiliki sarana transportasi yang kurang mendukung sehingga banyak pendistribusian barang sulit dilakukan. Hal ini banyak mengakibatkan daerah mengimpor kebutuhan pangannya dari daerah lain padahal di daerahnya sendiri banyak produksi pangan yang tidak terdistribusikan karena akses transportasi tidak tersedia. Jika dilakukan industrialisasi pangan lokal di daerah tersebut, maka akan menjadi hambatan jika tidak diimbangi sarana transportasi yang memadai. Contohnya
saja jika produk industrialisasi hanya dapat bertahan seminggu maka akan menyebabkan kerugian tentunya. Aplikasi teknologi dalam hal ini dapat membuat pangan lokal yang dapat bertahan lama namun tetap enak rasanya. Bisa dimulai dengan pemilihan tempat pengemasan yang tahan air dan kedap udara, jika hal ini dilakukan maka pangan lokal dapat dinikmati oleh seluruh penduduk Indonesia. Jadi aplikasi teknologi dalam industrilasasi pangan lokal sangat penting dilakukan untuk menjamin terciptanya ketahanan dan kedaulatan pangan melalui kemandirian pangan dalam memenuhi kebutuhan pangan di negara sendiri dan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras sebagai pangan pokoknya yang menjadikan pangan lokal mudah didapat dengan tenaga dan waktu yang efesien namun tetap bernilai ekonomi. Industrialisasi pangan pokok bertujuan untuk mengembangkan kembali pangan lokal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Profil penulis: Dian Sari Valentina Siregar
Dian sari dilahirkan di Pekanbaru, 15 September 1990. Saat ini Dian tengah menempuh pendidikan di FISIPOL UGM jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik
Referensi
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2009 Rauf, W.A. dan S.L. Martina.2008.Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal Sebagai Sumber Pangan Alternatif di Papua.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, Papua. 23
Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Media Perfilman dan Televisi sebagai Sarana Promosi Kuliner Tradisional yang Efektif dan Tepat Sasaran
Dawet ireng Purworejo FOTO: Alvian/ Beranda Foto
Pengantar
24
K
uliner tradisional menjadi aset berharga bagi sebuah bangsa, bukan hanya sebagai daya tarik pariwisata namun juga sebagai identitas bangsa itu sendiri. Kuliner tradisional Indonesia mempunyai kekayaan variasi baik dari segi penyajian, bahan baku, bumbu maupun cerita khas dari setiap daerah yang mengiringi pembuatan dan penyajiannya. Aset berupa kekayaan rasa dan cerita ini perlu di eksplorasi seoptimal mungkin melalui promosi dan sosialisasi yang baik. Dewasa ini, informasi menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang. Salah satu media informasi yang menjadi kiblat anak muda dalam berbagai hal adalah televisi dan film. Televisi dan film bukan hanya menyajikan Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
“
“
Opini : Media Perfilman dan Televisi sebagai Sarana Promosi Kuliner Tradisional
Langkah pertama yang perlu dilakukan sebelum memperkenalkan kuliner Indonesia melalui televisi dan film adalah membangun image yang sesuai untuk kuliner Indonesia itu sendiri.
GettyImage
25
hiburan (entertainment) kepada penontonnya, namun juga mampu memberikan pengaruh yang luar biasa dalam mengarahkan perilaku konsumsi audiens. Pengaruh ini bahkan mampu merubah perilaku dan sudut pandang penggunanya terhadap sesuatu hal. Berangkat dari fenomena tersebut, televisi dan bioskop menjadi sebuah alternatif baru untuk melakukan product marketing. Potensi ini layak untuk dimanfaatkan menjadi bagian dari gerakan promosi pangan lokal dan pengenalan kuliner tradisional Indonesia baik di ranah dalam negeri maupun dunia internasional.
Keterlibatan Industri Televisi dan Film dalam Promosi Kuliner Metode pengenalan kuliner tradisional Indonesia dewasa ini masih di dominasi oleh metode konvensional seperti poster, pamflet dan spanduk yang terbatas dan belum tepat sasaran. Meskipun pemerintah sudah menerapkan berbagai program untuk bisa menaikan citra makanan tradisional, namun ternyata animo masyarakat tidak menunjukkan peningkatan yang berarti. Langkah pertama yang perlu dilakukan sebelum memperkenalkan kuliner Indonesia melalui televisi dan film adalah membangun image yang sesuai untuk kuliner Indonesia itu sendiri. Beberapa contoh image-building yang berhasil dilakukan oleh Pemerintah Korea adalah dengan mengidentikkan makanan tradisional Korea sebagai makanan yang sehat dan bergizi seimbang seperti pertanyaan Korean food is well balanced (WHO, 2004) dan kimchi is one of the world’s top five healthiest foods. Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Opini : Media Perfilman dan Televisi sebagai Sarana Promosi Kuliner Tradisional
“
“
Image-building yang menarik dan tepat sasaran akan mempermudah pengemasan program baik di televisi, film, ataupun media lain dalam rangka menarik minat masyarakat dunia mengenal dan mencicipi makanan Indonesia
26
Image-building ini menjadi sangat penting karena berkaitan dengan strategi branding, pengemasan, promosi dan derivasi bentukbentuk program yang akan dibuat berikutnya. Image-building yang menarik dan tepat sasaran akan mempermudah pengemasan program baik di televisi, film, ataupun media lain dalam rangka menarik minat masyarakat dunia mengenal dan mencicipi makanan Indonesia. Beberapa kelebihan makanan Indonesia yang bisa diangkat dan digunakan sebagai elemen image-building: Kekayaan rempahrempah Indonesia dan rasa yang menyusun makanan tersebut. Variasi rempah-rempah dalam masakan ini akan menyajikan sensasi yang kaya di lidah dan khas Indonesia. Produk olahan dari Indonesia mengutamakan komposisi bahan dan metode memasak yang mendukung diet sehat. Keseimbangan nutrisi dalam makanan tersebut didukung oleh bahan rempah-rempah berkhasiat obat, sayuran segar dan seafood yang mengandung banyak nutrisi. Image-building ini juga perlu dikemas dengan menarik dan terpadu dengan elemen-elemen lain. Salah satunya adalah dengan mengembangkan resep standar untuk jenisjenis kuliner daerah agar lebih mudah dipelajari, direproduksi dan dikenalkan ke masyarakat. Selain itu, perlu ditetapkan sebuah nama formal atau baku yang lebih mudah di ingat. Pengusulan nama baku ini terkait dengan branding dan marketing yang lebih mudah ketika hendak dikemas menjadi sebuah produk. Untuk target jangka panjang, Pemerintah bisa mengusulkan makanan tradisional Indonesia yang khas dan bernilai tinggi untuk dimasukkan menjadi salah satu world heritage ke UNESCO. Apabila makanan kuliner Indonesia bisa mendapatkan pengakuan dari UNESCO sebagai warisan dunia, maka penerimaan oleh masyarakat dunia akan lebih mudah.
Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Opini : Media Perfilman dan Televisi sebagai Sarana Promosi Kuliner Tradisional
Beralaskan pondasi berupa image-builidng yang sudah dikemas dengan menarik, programprogram yang berhubungan dengan pemasaran melalui media televisi dan film kemudian bisa direncanakan sesuai dengan visi jangka panjang yang telah disusun. Dalam pelaksanaannya, pemerintah tentu membutuhkan kerja sama dengan beberapa pihak terkait, terutama insan media dan pihak swasta. Beberapa alternatif metode untuk mengenalkan kuliner Indonesia melalui media televisi dan film antara lain :
Mengambil Makanan | GettyImage
27
1. Memasukkan unsur makanan tradisional dalam berbagai adegan di program televisi dan film. Drama televisi dan film melibatkan berbagai elemen public figure yang mempunyai pengaruh besar terhadap audiensnya. Salah satu elemen penting dari drama dan film adalah artis-artis yang terlibat dalam drama tersebut. Penyajian makanan tradisional dalam adeganadegan drama dan film diharapkan bisa menjadi ajang pengenalan makanan tersebut kepada khalayak ramai, sarana untuk meluruskan bahwa makanan tradisional pun bisa dinikmati dalam situasi modern dengan kemasan yang lebih menarik, serta memanfaatkan pengaruh dari public figure tersebut untuk mengajak penggemarnya. Untuk target jangka panjang, public figure tersebut bisa dilibatkan sebagai duta pangan nasional atau role model. Pemilihan role model ini bukan hanya didasarkan pada penampilan semata, namun harus mendukung imagebuilding terhadap makanan tersebut. Sebagai contoh, Korea mengusung Wonder Girls (WG) sebagai girl band yang menjadi duta makanan tradisional Korea. WG yang berhasil menembus pasar internasional dengan lagu “No Body” tersebut digambarkan sebagai public figure yang sadar akan makanan sehat dan gizi seimbang dengan rajin mengkonsumsi makanan tradisional Korea yang di steam atau direbus bahkan ketika berada di luar negeri. Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Opini : Media Perfilman dan Televisi sebagai Sarana Promosi Kuliner Tradisional
2. Mengangkat kisah tentang pembuatan makanan tradisional baik dalam bentuk film dokumenter maupun dalam bentuk adaptasi berupa drama berseri. Salah satu yang drama yang bisa digunakan sebagai contoh adalah drama Jewel in the Palace (20032004). Drama ini mengisahkan kisah perjuangan koki istana di Korea yang dibumbui konflik dan kisah cinta yang romantis dan yang sangat menarik di mata penonton. Jewel in the Palace adalah salah satu drama televisi Korea yang menjadi pemantik Korean Wave di Asia dan beberapa negara Eropa beberapa tahun ke belakang. Sejak saat itu, Korean Wave bukan hanya mengangkat tentang hiburan semata namun juga tentang kuliner Korea sebagai identitas budaya. Survei dari Pemerintah Korea (2006) menyebutkan bahwa kuliner tradisional menjadi
salah satu alasan utama gelombang kedatangan turis internasional ke Korea, disamping daya tarik wisata dan tempat belanja. Fakta ini menunjukkan bahwa pengaruh drama TV yang digarap dengan matang mampu memperkenalkan kuliner tradisional hingga ke dunia internasional. 3. Mengadakan tournamen/kompetisi memasak di televisi yang bertemakan kuliner tradisional Indonesia. Program ini bertujuan untuk mendukung image-building dengan menjelaskan mengenai cara pembuatan makanan tersebut, bagaimana penyajian yang menarik dan bahanbahan yang digunakan. Seperti acara Korea Taste yang ada di Korea, kompetisi memasak seperti ini sebaiknya tidak hanya dibatasi untuk orang lokal saja tetapi juga mengundang orang asing untuk ikut berpartisipasi.
GettyImage
28
Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Opini : Media Perfilman dan Televisi sebagai Sarana Promosi Kuliner Tradisional
GettyImage
4. Mengangkat resep tradisional di berbagai cooking show di televisi. Program cooking show menjadi salah satu program yang digemari oleh berbagai kalangan, dari ibu-ibu hingga remaja dan anak-anak. Masing-masing program mempunyai segmentasi produk olahan yang berbeda, ada yang berfokus pada makanan ringan, kue, minuman, makanan olahan seafood dan sebagainya. Program ini hendaknya juga mengupas lebih dalam mengenai kekayaan kuliner khas Indonesia agar masyarakat lebih mengenal dan tertarik untuk membuat di dapur rumah tangga. Apabila kuliner tradisional ini dibawakan oleh celebrity chef papan atas yang diakui kemampuannya, masyarakat akan lebih mudah untuk tertarik sehingga citra kuliner inipun akan terangkat.
Penutup
FOTO: Hesty/ Beranda Foto
29
Perkembangan budaya dan ekonomi menjadi dua elemen yang tidak terpisahkan dalam dinamika struktur sosial masyarakat. Promosi kuliner tradisional melalui industri televisi dan perfilman menjadi salah satu contoh nyata bahwa pembangunan ekonomi dan pariwisata bisa berjalan beriringan dengan promosi budaya serta kultur tradisional. Disinilah peran industri televisi dan perfilman sebagai katalisator perkembangan budaya, standar hidup, dan estetika berbicara. Strategi marketing melalu media televisi dan film di bioskop sudah sejak lama diterapkan oleh Jepang dan Korea. Kedua negara ini berhasil memasarkan kuliner tradisionalnya hingga dikenal oleh masyarakat dunia melalui programprogram televisi dan film yang dikemas dengan menarik. Inisiatif untuk mengangkat unsur budaya berupa kuliner tradisional Indonesia dalam program-program televisi dan film diharapkan dapat menjadikan televisi sebagai kiblat positif ditengah masyarakat Indonesia. Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Opini : Media Perfilman dan Televisi sebagai Sarana Promosi Kuliner Tradisional
GettyImage
Di lain pihak, promosi melalu program televisi dan film ini juga menjadi bukti bahwa pendekatan pengenalan makanan tradisional bisa dilakukan dengan cara yang efektif dan tepat sasaran. Audiens tidak hanya dijejali dengan promosi yang mengandalkan iklan, poster, fair, atau film dokumenter khusus yang terbatas waktu penayangan dan target audiensnya. Pesan yang disampaikan terus menerus dan dikemas dengan cantik melalui sebuah program televisi atau film akan lebih efektif dan tepat sasaran. Melalui pendekatan ini, diharapkan kuliner Indonesia lebih dikenal baik oleh masyarakat Indonesia sendiri sebagai bagian dari kekayaan bangsa, maupun oleh masyarakat dunia sebagai sebuah daya tarik pariwisata. Profil penulis: Fajar Sofyantoro @fajarsofyantoro fajarsofyantoro.wordpress.com Fajar menyelesaikan program S1 nya di Dept Biologi UGM tahun 2007. Saat ini, Fajar tengah menempuh pendidikan pasca sarjana di Graduate School of Biological Science, NAIST, Taiwan.
Referensi
[1] Strombald J. 2011. Living a balanced healthy lifestyle. Seoul : Korea Times. Di akses 7 Mei 2013. [2] Park M. 2012. K-Drama fever impacts other industries. Korea herald. Di akses 7 Mei 2013. [3] Susiarti S, Setyowati FM. 2005. Bahan rempah tradisional dari masyarakat dayak kenyah di Kalimantan Timur. Biodiversitas (6), 4 : 285-267. [4] Tae-gyu K. 2011. K-food to be the next big thing in Korea wave. The Korea Times. Di akses 7 Mei 2013. [5] Hyeon J. 2008. The Korean food wave. The Korea Herald. Di akses 7 Mei 2013. [6] s.d.a [7] Korean Culture and Information Service. (2011). The Korean Wave: A New Pop Culture Phenomenon. Seoul: Korean Culture and Information Service, & Ministry of Culture, Sports and Tourism 30
Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Aji S. Anom | Beranda Foto
Pangan Lokal untuk Ketahanan Pangan Nasional Oleh: Prof. Dr. Slamet Budijanto Pembangunan ketahanan pangan (food security) di Indonesia telah ditegaskan dalam undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan yang dirumuskannya sebagai usaha mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rurnah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, arnan dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu. Undang-undang (UU) tersebut pada tahun 2012, disempurnakan dengan UU No 18 tahun 2012, yaitu mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar 31
manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan. Tujuan penyelenggaraan pangan antara lain meningkatkan kemampuan memproduksi pangan secara mandiri, menyediakan pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi konsumsi masyarakat, serta meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pangan di pasar dalam negeri dan luar negeri. Penjelasan lebih lanjut penganekaragaman pangan merupakan upaya meningkatkan Ketersediaan Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Ulasan Ahli : Pangan Lokal untuk Ketahanan Pangan Nasional Kue Cincin by Anggit | Beranda Foto
Pangan yang beragam dan yang berbasis potensi sumber daya lokal untuk : (i) Memenuhi pola konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman; (ii) Mengembangkan usaha Pangan; dan/atau (iii) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan definisi di atas, bisa diambil kesimpulan jika saat ini ketahanan pangan belum dicapai, karena masih banyak rurnah tangga yang belum mampu mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup, terutama dalam hal mutu dan tingkat gizinya. Program swasembada beras yang sering disosialisasikan oleh pemerintah sejak lama, sepertinya sulit untuk dicapai (Indonesia tercatat swasembada beras dua kali, yaitu tahun 1985/1986 dan 2008). Berbagai usaha sudah dilakukan untuk mewujudkan program tersebut, kenyataannya sampai saat beras 32
Lopes dan Cenil by Ronny Pamuji | Beranda Foto
masih menjadi masalah, kita masih mengimpor beras dalam jumlah yang cukup besar. Hampir semua lapisan masyarakat membicarakan polemik ini, masyarakat awam, LSM, mahasiswa, juga pemerintah. Pro dan kontra impor pun sering menghiasi pemberitaan di media. Sekarang saatnya untuk tidak mencari siapa yang salah dan siapa yang harus bertanggungjawab, akan lebih bermakna jika kita sama-sama mencari solusi terbaik untuk keluar dari masalah pemenuhan kebutuhan akan makanan pokok masyarakat Indonesia. Pilihan untuk terus mengimpor beras, tentu bukan pilihan yang menyelesaikan masalah. Dalam kondisi perekonomian Indonesia yang sedang terpuruk, pilihan impor hanya akan menambah permasalahan baru. Sudah sejak lama, program diversifikasi pangan dimunculkan, yaitu ke arah konsumsi produk-produk Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Ulasan Ahli : Pangan Lokal untuk Ketahanan Pangan Nasional
GettyImage
tepung terutama dalam bentuk mie. Proses tersebut memang patut dicatat sebagai bagian dari proses diversifikasi pangan. Namun disayangkan bahwa makanan alternatif tersebut adalah produk yang berbasis bahan baku impor. Kita terlena untuk banyak mengonsumsi berbagai residual goods, yaitu produk-produk kelebihan dari berbagai negara dengan harga murah yang justeru mematikan industri dalam negeri sendiri. Makanan pokok untuk masyarakat idealnya bersumber dari bahan baku lokal, agar biaya transportasinya dapat ditekan. Upaya kampanye dan bantuan subsidi pemerintah terhadap tepung terigu, sepertinya juga tidak menyelesaikan masalah. Saat ini, masyarakat Indonesia yang hidup di daerah tropis dimana gandum sulit bisa tumbuh, menjadi pemakan mie dari gandum terbesar setelah RRC. Begitu banyak jenis umbiumbian lainnya selain gandum yang bisa tumbuh dengan baik di Indonesia dan bisa menjadi alternatif untuk menuju ketahanan pangan. Ubi jalar 33
merupakan salah satu dari 20 jenis makan yang berfungsi sebagai sumber karbohidrat. Ubi jalar bisa menjadi salah satu alternatif untuk mendampingi beras menuju ketahanan pangan. Mengapa Ubi Jalar Pilihan untuk mensosialisasikan ubi jalar, bukan pilihan tanpa alasan. Selain (1) Sesuai dengan agroklimat sebagian besar wilayah Indonesia, ubi jalar juga (2) Mempunyai produktivitas yang tinggi, sehingga menguntungkan untuk diusahakan, (3) Mengandung zat gizi yang berpengaruh positif pada kesehatan (prebiotik, serat makanan dan antioksidan), serta (4) Potensi penggunaan cukup luas dan cocok untuk program diversifikasi pangan. Produktivitas ubi jalar cukup tinggi dibandingkan dengan beras maupun ubi kayu. Ubi jalar dengan masa panen 4 bulan dapat berproduksi lebih dari 30 Ton/Ha, tergantung dari bibit, sifat tanah dan pemeliharaannya. Walaupun saat ini rata - rata produktivitas ubi jalar nasional baru mencapai 12 ton/Ha. Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Ulasan Ahli : Pangan Lokal untuk Ketahanan Pangan Nasional
Tetapi masih lebih besar, jika kita bandingkan dengan produktivitas gabah (±4.5 Ton/ Ha) atau ubi jalar (±8 Ton/Ha), padahal masa panen lebih lama dari masa panen ubi jalar. Penelitian mengenai ubi jalar pun semakin banyak dan berkembang, karena mempunyai kandungan gizi yang bermanfaat bagi kesehatan. Komponen gizi ubi jalar selengkapnya pada Table berikut. Banyaknya dalam No.
Kandungan Gizi
Ubi Putih
Ubi Merah
Ubi Kuning
Daun
1.
Kalori (kal)
123,00
123,00
136,00
47,00
2.
Protein (g)
1,80
1,80
1,10
2,80
3.
Lemak (g)
0,70
0,70
0,40
0,40
4.
Karbohidrat (g)
27,90
27,90
32,30
10,40
5.
Air (g)
68,50
68,50
-
84,70
6.
Serat Kasar
0,90
1,20
1,40
-
7.
Kadar gula
0,40
0,40
0,30
8.
Beta karoten
31,20
174,20
-
-
Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI, 1981, Suismono, 1995)
Membaca Tabel di atas, dapat kita lihat, selain sumber karbohidrat yang baik, juga sebagai sumber serat pangan dan sumber betakaroten yang baik. Karbohidrat yang dikandung ubi jalar masuk dalam klasifikasi Low Glycemix Index (LGI, 54), artinya komoditi ini sangat cocok untuk penderita diabetes. Mengonsumsi ubi jalar tidak secara drastis menaikkan gula darah, berbeda halnya dengan sifat karbohidrat dengan Glycemix index tinggi, seperti beras dan jagung. Sebagian besar serat ubi jalar merah merupakan serat larut, yang menyerap kelebihan lemak/kolesterol darah, sehingga kadar lemak/ kolesterol dalam darah tetap aman terkendali. Serat alami oligosakarida yang tersimpan dalam ubi jalar ini sekarang menjadi komoditas bernilai 34
dalam pemerkayaan produk pangan olahan, seperti susu. Selain mencegah sembelit, oligosakarida memudahkan buang angin. Hanya pada orang yang sangat sensitif oligosakarida mengakibatkan kembung. Kandungan serat yang berfungsi sebagai komponen non-gizi ini, juga bermanfaat bagi keseimbangan flora usus dan prebiotik, merangsang pertumbuhan bakteri yang baik bagi usus sehingga penyerapan zat gizi menjadi lebih baik dan usus lebih bersih. Kandungan karotenoid (betakaroten) pada ubi jalar, dapat berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan yang tersimpan dalam ubi jalar merah mampu menghalangi laju perusakan sel oleh radikal bebas. Kombinasi betakaroten dan vitamin E dalam ubi jalar bekerja sama menghalau stroke dan serangan jantung. Betakarotennya mencegah stroke sementara vitamin E mecegah terjadinya penyumbatan dalam saluran pembuluh darah, sehingga munculnya serangan jantung dapat dicegah.
Industrialisasi Ubi Jalar Saat ini, produk olahan ubi jalar yang dikenal oleh masyarakat, selalu ditampilkan dalam bentuk semacam cemilan/jajanan seperti ubi jalar rebus, bakar, goreng, kripik,getuk atau kolak yang sudah sejak dulu ada dan bukan barang aneh bagi masyarakat. Untuk menjadikan ubi jalar sebagai makanan pokok pilihan, tentu perlu dilakukan diversifikasi produk olahan ubi jalar. Saat ini sudah mulai dikembangkan french fries dan sweet potato flake (SPF) dari ubi jalar. Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Ulasan Ahli : Pangan Lokal untuk Ketahanan Pangan Nasional
Selain itu juga sudah ada produsen yang memproduksi tepung ubi jalar. Diharapkan setelah dalam bentuk tepung, maka akan lebih banyak lagi produk yang dihasilkan dari ubi jalar, seperti mie, aneka kue kering, kue basah dan produk-produk lainnya yang berbasis tepung-tepungan. Di beberapa negara ubi jalar itu sudah merupakan makanan yang cukup mahal. Misalnya di Jepang, masakan tempura yang cukup terkenal di Jepang, selalu menyajikan ubi jalar goreng. Jika kita naik pesawat, menu ubi jalar bias kita temukan di tawaran menu yang ada di katalog mereka. Negara-negara maju telah lama memanfaatkan ubi jalar sebagai produk olahan bernilai gizi tinggi dan secara ekonomis memiliki peluang pasar yang besar.
Ubi Oven CIlembu by Hasna | Beranda Foto
35
Saatnya Memilih Ubi Jalar Merubah kebiasaan orang tentu bukan pekerjaan yang mudah. Selain kendala teknis, yaitu, peningkatan produktivitas melalui berbagai metode intensifikasi pertanian, pengolahan hasilnya menjadi produk-produk yang bervariasi dan menarik untuk dikonsumsi, hingga menata pasar yang pasti untuk produk ini., juga kendala yang cukup besar adalah pengalihan pola pikir. Diperlukan sosialisasi yang terus menerus dan kerjasama yang baik antara semua pihak. Pemerintah harus berani membuat kebijakan yang mendukung percepatan program ini, seperti contohnya Korea Selatan. Selain memberikan berbagai subsidi dan mengeluarkan kebijakan proteksi, Pemerintah Korea Selatan jugamewajibkan sehari tanpa beras dalam seminggu. Jika pemerintah sangat mendukung kampanye tepung terigu yang notabene justru menghabiskan devisa negara dan hanya dikuasai oleh segelintir pengusaha importir, semestinya untuk kampanye ubi jalar pemerintah lebih memberikan dukungan yang lebih, karena ubi jalar produk hasil negeri sendiri. Karena sifat masyarakat kita yang paternalistik, di mana suara pemimpin akan lebih mudah dicontoh, maka sebaiknya, sosialisasi diversivikasi pangan ini dimulai dari istana dan para pejabata lainnya. Berikan contoh yang nyata, untuk mulai mengkonsumsi ubi jalar. Merubah kebiasaan dari konsumsi beras ke ubi jalar, tentu tidak bias dilakukan secara sporadis, Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
Ulasan Ahli : Pangan Lokal untuk Ketahanan Pangan Nasional
sebaiknya secara bertahap dari jumlah yang sedikit lama - kelamaan dengan porsi yang semakin banyak dan harus secara terus menerus. Budi daya dan pengembangan ubi jalar menjadi bahan pangan alternatif untuk menuju ketahanan pangan membutuhkan lebih dari sekadar sosialisasi dan ceramah-ceramah seremonial, seperti dalam acara panen
raya atau pameran pembangunan, tetapi perlu segera dilakukan tindakan nyata yang melibatkan semua pihak, dan mari kita mulai dari lingkup yang terkecil, yaitu kita. Diharapkan semangat kemandirian pangan menjadi kesadaran semua elemen bangsa, agar tidak lagi menjadi negara importer. Saatnya kita menjatuhkan pilihan bukan hanya pada beras.
Profil penulis opini ahli
Prof Slamet Budijanto, yang biasa disapa dengan Prof Slamet dikenal sebagai ahli pengembangan diversifikasi pangan lokal terutama sumber karbohidrat. Beras Analog, merupakan salah satu hasil penelitiannya yang sangat membanggakan. Pada tahun 2011, hasil penelitian Prof Slamet tercantum dalam 104 Inovasi Paling Prospektif dari Menteri Negara Riset dan Teknologi. Sedangkan, pada tahun 2012 lalu Prof Slamet memperoleh penghargaan anugerah inovasi Jawa Barat bidang pangan 36
kategori kelompok dari Gubenur Jawa Barat serta mendapatkan Rekor MURI atas penemuannya tersebut dalam kategori Beras Non Padi dan Makan Nasi Non Padi Dengan Peserta Terbanyak ditahun yang sama. Kecintaanya terhadap penelitian ilmu pangan juga telah melahirkan banyak paten diantaranya adalah mesin penstabil bekatul dan metode preparasi beras analog rendah indeks glisemik. Guru besar Dept Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB ini sehari-hari aktif mengajar dan meneliti serta membimbing mahasiswanya mulai dari program sarjana hingga program doktor. Tidak hanya itu saja, Prof Slamet juga aktif mengisi acara seminar pangan dan aktif menulis baik tulisan ilmiah maupun populer. Diantara kesibukannya, beliau juga selalu menyempatkan untuk membina UKM pangan di berbagi daerah diantaranya pendampingan penguatan teknologi IKM pengolahan sagu di Pulau Padang Riau. Meskipun hari-hari beliau begitu padat namun Prof Slamet selalu tampak bersahaja dan terbuka kepada rekan-rekannya. Majalah Beranda MITI edisi 1 - November 2013
MITI KM
(Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Klaster Mahasiswa) Gak Eksis Gak KEREN. Biar keren ayo segera beli ,dengan membuka link dibawah ini : https://www.facebook.com/pages/KAOZ/549830955060386 Nantikan program unggulan MITI KM ^_^ yang keren • HIBAH MITI --> Lomba Hibah dana, untuk pememberdayaan masyarakat berbasis teknologi • MITI PAPER CHALLENGE --> Lomba Paper terbaik se indonesia • NEURON AWARD --> Penghargaan kelompok studi universitas terbaik Untuk waktu,dan teknis akan di update via web MITI KM, so jangan lupa untuk selalu lihat webnya dan dapatkan info-info yang keren .
www.mahasiswa.miti.or.id
Facebook :KAOZ