LAPORAN AKHIR ANALISIS KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN PERIODE TAHUN 2000 – 2004
Oleh: Nizwar Syafa’at Supena Friyatno Armen Zulham Achmad Djauhari M. Suryadi
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI PETANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2004
RINGKASAN EKSEKUTIF
A.
PENDAHULUAN
1.
Evaluasi kinerja pembangunan pertanian sangat penting untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan, masalah dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program pembangunan pertanian sekaligus sebagai bahan pertimbangan (lesson learn) untuk penyusunan program periode berikutnya.
2.
Sebagai kelanjutan dari program tahun sebelumnnya, mulai tahun 20002004 Departemen Pertanian memfokuskan pada dua program utama yaitu: (1) pembangunan sistem dan usaha agribisnis dan (2) peningkatan ketahanan pangan. Tujuan akhir kedua program tersebut adalah untuk memulihkan kondisi sektor Pertanian dari krisis multi dimensi yang menerpa Indonesia sejak tahun 1997. Secara rinci tujuan akhir program tersebut adalah: (1) meningkatkan kapasitas produksi pertanian; (2) mengentaskan kemiskinan di sektor Pertanian dan wilayah pedesaan; (3) meningkatkan pendapatan rumah tangga tani; (4) memantapkan ketahanan pangan baik di tingkat rumah tangga maupun di tingkat nasional; dan (5) meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja sektor Pertanian dan (6) meningkatkan kontribusi sektor Pertanian terhadap devisa negara. Keenam tujuan akhir pembangunan pertanian tersebut perlu dievaluasi sejauhmana tingkat pencapaiannya. Kajian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tersebut.
B.
TUJUAN PENELITIAN
3.
Adapun tujuan umu kajian ini adalah untuk memperoleh gambaran kinerja pembangunan pertanian selama periode 2000-2004, secara rinci tujuan kajian ini adalah sebagai berikut: (a) menganalisis tingkat kemampuan program Departemen Pertanian selama periode 2000-2004 dalam memulihkan sektor pertanian dari krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 dengan menggunankan indikator : (i) kapasitas produksi pertanian; (ii) insiden kemiskinan di wilayah pedesaan; (iii) pendapatan rumah tangga tani; (iv) ketahanan pangan baik di tingkat rumah tangga maupun di tingkat nasional; (v) kapasitas penyerapan tenaga kerja sektor pertanian; (vi) kontriBusi sektor pertanian terhadap devisa negara; (b) menganalisis kemampuan program Departemen Pertanian dalam meningkatkan pendapatan dan daya saing usahatani; (c) menganalisis kemampuan program Departemen Pertanian dalam mendorong perkembangan agribisnis daerah serta (d) menganalisis analisis faktor kendala dan prospek pelaksanaan program Departemen Pertanian era otonomi daerah.
C.
PENDEKATAN DAN CAKUPAN ANALISIS
4.
Cakupan analisis untuk melihat Kinerja Pembangunan Pertanian terdiri dari dua, yaitu : (a) kinerja makro memfokuskan pada analisis kemampuan program Departemen Pertanian dalam memulihkan sektor 1
pertanian dari krisis ekonomi sejak tahun 1997, dengan menggunakan data series makro nasional seperti : PDB (Produk Domestik Bruto), luas panen, produksi dan produktivitas dari berbagai komoditas utama tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan peternakan; kesempatan kerja, insiden kemiskinan, devisa, pendapatan dan lainnya; (b) kinerja mikro untuk melihat sejauh mana pengaruh program pembangunan pertanian terhadap kinerja pertanian pada tingkat petani dengan menggunakan data tingkat petani tentang usahatani, masalah dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program. 5.
Penentuan lokasi dan responden untuk mendapatkan data dan informasi di tingkat petani mengenai keberhasilan, masalah dan kendala dalam implementasi program ditentukan secara berjenjang mulai propinsi, kabupaten sampai lokasi dimana program diimplementasikan. Rancangan contoh petani meliputi dua yaitu : (a) petani peserta dan (b) petani non peserta. Jumlah petani peserta dan non peserta masingmasing sebanyak 10 petani yang ditentulan secara purposif sedemikian sehingga contoh yang diambil mampu merepresentasikan data yang dibutuhkan. Sedangkan jumlah responden pedagang tergantung pada variasi rantai sistem vertikal agribisnis, dengan catatan responden yang diwawancarai mampu merefleksikan sistem agribisnis komoditas pertanian yang ada.
6.
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan statistik deskriptif (rata-rata, pertumbuhan dan lain-lain) dalam bentuk tabulasi silang mengkaitkan antar peubah yang relevan untuk menjelaskan permasalahan yang dianalisis. Selain itu juga digunakan statistik komparatif untuk membandingkan kinerja program dan non program berupa uji beda rata-rata dan Koefisien Variasi dari peubah yang diperbandingkan.
D.
KINERJA KEBIJAKAN DEPARTEMEN PERTANIAN
D.1. Anggaran Pembangunan Sektor Pertanian 7.
Anggaran pembangunan pertanian relatif amat kecil. Pada periode tahun 2000-2004, anggaran pembangunan pertanian rata-rata Rp. 2,4 triliun per tahun, anggaran pembangunan pertanian tersebut hanyalah sekitar Rp. 10.000 atau satu dollar AS per kapita penduduk Indonesia selama satu tahun.
8.
Pada tahun 2000 anggaran irigasi sebesar Rp 2,22 triliun, meningkat menjadi Rp 4,27 triliun pada tahun 2001, dan sedikit menurun pada tahun 2002 yaitu menjadi Rp 3,71 triliun, namun kembali meningkat pada tahun 2003 menjadi Rp 4,76 triliun. Bahkan pada tahun 2003 jumlah anggaran pembangunan irigasi adalah terbesar selama masa pemulihan ekonomi.
2
9.
Secara keseluruhan efisiensi anggaran Departemen Pertanian cukup besar. Rata-rata setiap Rp 1 trilyun anggaran pembangunan pertanian mampu menghasilkan PDB sekitar 120 trilyun.
10. Nilai ICVAR sektor pertanian berkisar 0.2 – 6.9. Sub sektor pertanian yang paling efisiensi untuk kegiatan investasi adalah sub sektor peternakan disusul oleh sub sektor tanaman pangan dan perkebunan. Tingginya nilai ICVAR pada sub sektor perkebunan dibanding dua sub sektor lainnya adalah karena nilai investasi pada sektor perkebunan bersifat jangka panjang sehingga apa yang diinvestasikan pada tahun berjalan tidak langsung menghasilkan nilai tambah pada tahun itu juga. D.2. Penyaluran Kredit 11. Kredit bersubsidi bagi petani mutlak perlu dalam memacu pembangunan pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. Sejak tahun 2001 pemerintah mencanangkan program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang merupakan penyempurnaan KUT. Pemerintah menetapkan plafon penyaluran yang cukup besar, yakni Rp. 2,08 triliun per tahun dengan subsidi bunga 6 persen per tahun. Pada bulan Juli 2004, realisasi KKP telah mencapai Rp. 2,057 triliun atau hampir 100 persen dari plafon setahun. 12. Pemerintah periode tahun 2000-2004 telah memulihkan program penyediaan kredit bersubsidi kepada petani yang sempat dihentikan pada periode sebelumnya. Walau plafond tetap, nilai realisasinya terus meningkat tajam. D.3. Harga Dasar Pembelian Pemerintah 13. Keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian, khususnya petani, diwujudkan melalui Inpres No. 9 Tahun 2001, tentang Kebijakan Perberasan Nasional, yang kemudian disempurnakan lagi pada tahun 2002. Dalam Inpres tersebut, pemerintah melindungi petani dari gejolak harga musiman dan dampak dari gejolak harga beras di pasar dunia, melalui instrumen Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP). 14. Data BPS menunjukkan bahwa kebijakan perberasan yang dituangkan dalam Inpres No. 9/2001, yang berlaku efektif pada awal tahun 2002, ternyata cukup efektif untuk meningkatkan ekonomi perberasan nasional. Berbagai kebijakan pendukung dalam Inpres tersebut, termasuk tarif impor beras sebesar Rp. 430 per kg, mampu meningkatkan harga gabah di tingkat petani hingga di atas HDPP. 15. Secara kumulatif, efektifitas kebijakan insentif harga, termasuk dukungan harga output dan subsidi input usahatani, dapat dicerminkan oleh dinamika indeks nilai tukar petani. Data BPS menunjukkan bahwa setelah mengalami keterpurukan akibat krisis multidimensi (1998-1999), nilai tukar petani (NTP) secara konsisten mengalami peningkatan selama periode 2000-2004. 3
E.
KINERJA SEKTOR PERTANIAN
E.1. Produk Domestik Bruto 16. Keragaan sektor Pertanian dan Peternakan selama periode tahun 20002003 telah mengalami pemulihan menuju pertumbuhan berkelanjutan. Selama periode tersebut, rata-rata laju pertumbuhan tahunan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor Pertanian dan Peternakan mencapai 1,83 persen, jauh lebih tinggi dibanding periode krisis (1998-1999) yang hanya mencapai 0,88 persen, bahkan dibanding periode tahun 19931997 (sebelum krisis ekonomi) yang mencapai 1,57 persen. Subsektor Tanaman Bahan Makanan menunjukkan kinerja yang semakin membaik, terlihat dari laju pertumbuhannya sebesar 0,58 persen, lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan selama periode sebelum krisis ekonomi yang hanya mencapai 0,13 persen. Hal yang sama juga terjadi pada subsektor Perkebunan yang tumbuh sebesar 5,02 persen, lebih tinggi dari periode sebelum krisis yang tumbuh sebesar 4,30 persen, sedangkan subsektor Peternakan walaupun telah tumbuh positif sebesar 3,13 persen, namun masih lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelum krisis yang mencapai 5,01 persen. 17. Setelah mengalami sedikit kontraksi (tumbuh negatif 0,74%) pada tahun 1998, PDB sektor Pertanian dan Peternakan telah pulih, melam-paui level sebelum krisis, pada tahun 1999. Sebagai perbandingan, pada tahun 1998, total perekonomian mengalami kontraksi luar biasa, tumbuh negatif 13,13 persen dan baru pulih ke level di atas sebelum krisis pada tahun 2003. Selain jauh lebih mampu bertahan, sektor Pertanian dan Peternakan juga mampu pulih jauh lebih cepat dari perekonomian secara umum. Namun demikian, pertumbuhan sektor Pertanian dan Peternakan pasca krisis masih belum sepenuhnya stabil. 18. Keragaan subsektor Tanaman Bahan Makanan selama periode tahun 2000-2003, relatif lebih baik dibanding selama periode sebelum krisis ekonomi (1993-1997). Ini semua tidak terlepas dari kebijakan Departemen Pertanian selama periode 2000-2003 yang memfokuskan pada upaya mewujudkan kemandirian pangan, khususnya pangan beras, bagi seluruh masyarakat Indonesia. 19. Dapat disimpulkan bahwa sektor Pertanian dan Peternakan telah terlepas dari “perangkap spiral pertumbuhan rendah” yang berlangsung selama periode tahun 1998 – 1999. Sektor Pertanian dan Peternakan telah melewati fase pertumbuhan rendah (1998–1999), dan kini (2003) tengah berada pada fase percepatan pertumbuhan (accelerating growth) sebagai masa transisi menuju pertumbuhan berkelanjutan (sustaining growth). Berdasarkan perkembangan indeks PDB terbukti bahwa sektor Pertanian dan Peternakan mampu pulih lebih awal dibanding sektor ekonomi secara keseluruhan. Walaupun telah pulih ke level sebelum krisis, laju pertumbuhan subsektor Perkebunan dan subsektor Peternakan, yang merupakan sumber pertumbuhan tinggi dalam sektor Pertanian, masih labil dan belum sepenuhnya pulih. Kedua subsektor ini amat tergantung pada kondisi perekonomian nasional maupun global. 4
20. Dengan cepat teratasinya masalah flu burung dan kondisi iklim yang diperkirakan normal, maka pada tahun 2004 kinerja PDB sektor Pertanian dan Peternakan diperkirakan akan lebih baik lagi. Optimisme ini antara lain didukung oleh angka ramalan BPS bahwa pada tahun 2004 produksi padi diperkirakan meningkat 1,26 persen, jagung 4,11 persen, kedelai 5,19 persen, kacang tanah 5,30 persen dan ubikayu 3,91 persen, sehingga laju pertumbuhan subsektor Tanaman Bahan Makanan akan meningkat nyata. Semakin pulihnya perekonomian akan mendorong peningkatan laju pertumbuhan subsektor Peternakan dan Perkebunan secara nyata. E.2. Produksi Komoditas a.
Tanaman Pangan
21. Selama periode 2000-2003 kinerja komoditas pangan secara umum mengalami perbaikan. Produksi komoditas padi, jagung, kacang tanah, ubi kayu, dan ubi jalar mengalami peningkatan masing-masing 0,55; 3,33; 3,24; 2,87 dan 3,26 persen per tahun, namun rata-rata laju pertumbuhan komoditas kedelai mengalami penurunan sebesar 18,50 persen per tahun. Sumber pertumbuhan produksi komoditas pangan praktis hanyalah peningkatan produktivitas, sementara luas panen cenderung menurun untuk semua komoditas. Produktivitas padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar mengalami pertumbuhan positif masing-masing 1,60; 5,04; 1,26; 2,00; 4,55 dan 1,45 persen per tahun, sedangkan luas panen semua komoditas pangan tersebut mengalami penurunan masing-masing 1,04; 1,70; 19,76; dan 1,68 persen per tahun, kecuali kacang tanah dan ubijalar yang mengalami peningkatan sebesar 1,24 dan 1,82 persen per tahun. 22. Penurunan luas panen disebabkan oleh konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian, serangan hama, banjir dan kekeringan, yang kesemuanya amat sukar dicegah dan di luar kendali Departemen Pertanian. Peningkatan produktivitas merupakan hasil dari inovasi teknologi seperti penemuan bibit unggul baru, inovasi teknologi budidaya dan perbaikan infrastruktur maupun kelembagaan. Fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan Departemen Pertanian untuk mengembangkan teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas cukup berhasil dalam memperbaiki kinerja produksi pangan. Namun, peningkatan produktivitas saja tidaklah memadai. Agar peningkatan produksi pangan cukup untuk memenuhi peningkatan kebutuhan nasional, maka upaya peningkatan luas panen melalui perluasan areal, pengendalian konversi lahan dan perbaikan sistem irigasi mutlak diperlukan. Semua ini membutuhkan dukungan investasi dan fasilitas dari pemerintah. 23. Patut dicatat secara khusus bahwa pada tahun 2003, empat komoditas utama tanaman pangan yaitu padi, jagung, kacang tanah dan ubi kayu mencapai rekor produksi tertinggi sepanjang sejarah. Produksi padi mencapai 52 juta ton, jagung hampir 11 juta ton, kacang tanah 785 ribu 5
ton dan ubi kayu 18,5 juta ton. Berdasarkan angka ramalan II (ARAM II) Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2004, kecuali ubi jalar, produksi seluruh komoditas tanaman pangan mengalami peningkatan. Produksi padi diperkirakan melonjak menjadi lebih dari 53 juta ton dan jagung lebih dari 11 juta ton yang berarti melampaui rekor tahun 2003. 24. Laju pertumbuhan produksi padi yang hanya sekitar satu persen selama lima tahun terakhir masih belum memadai untuk memenuhi peningkatan kebutuhan beras yang diperkirakan di atas 1,5 persen per tahun. Impor beras masih akan terus berlanjut namun dengan volume yang semakin menurun. Namun, jika ARAM II produksi padi pada tahun 2004 yang meningkat 2.93 persen dapat terwujud maka impor beras Indonesia akan menurun tajam atau bahkan tidak diperlukan lagi. Kalaupun angka ramalan tidak sepenuhnya terwujud, produksi padi tahun 2004 diperkirakan tidak akan lebih rendah dari produksi tahun 2003. Dengan demikian kita optimis impor beras pada tahun 2004 setidaknya akan menurun drastis. 25. Dari semua komoditas pangan utama, yang menurun kinerjanya ialah kedelai. Penurunan produksi kedelai sudah berlangsung lebih dari 10 tahun terakhir. Namun demikian, laju penurunan produksi kedelai telah berubah dari trend akselerasi ke deselerasi dan bahkan menurut ARAM I, BPS akan tumbuh positif pada tahun 2004. Jika ramalan tersebut terwujud, maka pertumbuhan positif produksi kedelai tahun 2004 merupakan prestasi luar biasa yang tidak pernah terjadi selama 10 tahun terakhir. 26. Dalam tiga tahun terakhir, secara umum produksi tanaman pangan mengalami titik belok dari trend deselerasi ke trend akselerasi. Titik balik trend pertumbuhan tersebut merupakan bukti keberhasilan kita membawa komoditas tanaman pangan keluar dari perangkap kontraksi berkelanjutan menuju tahap akselerasi positif. 27. Walaupun sudah menunjukkan tanda-tanda terlepas dari perangkap deselerasi berkelanjutan, tingkat pertumbuhan produksi tanaman pangan masih menghadapi dua tantangan besar yaitu pertumbuhan rendah dan tidak stabil. Masalah pokok rendahnya laju pertumbuhan produksi pangan lebih dominan diakibatkan oleh penurunan luas baku lahan. Penurunan luas baku lahan telah berlangsung sejak paruh kedua dekade 1980-an dan cenderung semakin besar seiring dengan peningkatan konversi sawah ke nonpertanian, khususnya di pulau Jawa. Pada beberapa tahun terakhir, luas baku lahan sawah di luar Jawa juga telah mengalami penurunan. Oleh karena itu, jika kita hendak meraih kemandirian pangan, tidak ada pilihan lain program pembukaan lahan sawah baru oleh pemerintah yang sudah terhenti sejak lama haruslah segera diaktifkan kembali secara besar-besaran. Hal ini juga penting guna meredam peningkatan jumlah petani gurem kita yang akhir-akhir ini cenderung meningkat.
6
28. Peningkatan ketidakstabilan produksi tanaman pangan merupakan refleksi dari semakin pekanya usahatani terhadap perubahan iklim, tidak saja terhadap anomali iklim tetapi juga perubahan iklim musiman normal. Ini merupakan akibat dari semakin menurunnya kualitas sistem irigasi maupun Daerah Aliran Sungai (DAS) kita. Perubahan serta perluasan sistem irigasi serta rehabilitasi dan konservasi DAS merupakan kunci utama penentu keberhasilan kita dalam mempertahankan momentum pertumbuhan produksi pangan berkelanjutan yang masih pada fase titik awalnya. Sayangnya kedua agenda pembangunan tersebut di luar kewenangan Departemen Pertanian. b.
Hortikultura
29. Komoditas hortikultura merupakan salah satu andalan utama sumber akselerasi pertumbuhan sektor pertanian karena sifat permintaannya yang elastis terhadap pendapatan. Volume maupun harga produk hortikultura meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Produk hortikultura, khususnya sayuran, dapat digolongkan sebagai produk bernilai tinggi (high value products), sehingga dapat dijadikan sebagai sumber peningkatan pendapatan keluarga tani, termasuk petani gurem dengan penguasaan luas lahan amat sempit. Pertumbuhan produksi hortikultura yang amat pesat merupakan cerminan keberhasilan program diversifikasi pertanian ke “ high value commodities “ yang merupakan strategi utama kita untuk meraih pertumbuhan tinggi dan meningkatkan pendapatan keluarga tani. 30. Sudah sejak lama kelompok komoditas sayuran sebagai salah satu sumber pertumbuhan tinggi sektor Pertanian. Sebagai gambaran, pada tahun 1993-1997, produksi komoditas sayuran tersebut tumbuh amat pesat dengan laju 3,70–27,84 persen per tahun. Krisis ekonomi 1998 tidak membuat produksi sayuran mengalami kontraksi, bahkan sebagian besar komoditas sayuran justru mengalami akselerasi pertumbuhan produksi. Hal ini terjadi karena harga jual produk sayuran justru membubung pada masa krisis tersebut. Perpaduan antara penurunan harga dan insiden anomali iklim pasca krisis telah membuat pertumbuhan produksi sayuran anjlok dan bahkan beberapa mengalami kontraksi pada periode tahun 2000–2002. Namun demikian, pada tahun 2002–2003, komoditas sayuran telah kembali ke fase pertumbuhan tinggi. Pada tahun 2003, komoditas utama sayuran, bawang merah, kubis, kentang, cabai dan tomat, tumbuh amat pesat dengan laju 9,3821,4 persen. 31. Pada periode tahun 2000-2003, produksi buah-buahan tumbuh amat pesat, hampir seluruhnya jauh di atas pertumbuhan pada periode tahun 1993-1997, dengan laju pertumbuhan rata-rata 5,83-34,75 persen per tahun. Ini merupakan bukti tak terbantahkan, bahwa buah-buahan merupakan salah satu sumber utama pertumbuhan tinggi bagi sektor Pertanian. Fenomena pertumbuhan tinggi ini diperkirakan akan terus berlangsung. Kunci utamanya ialah bagaimana meningkatkan produktivitas kebun dan kualitas produk dalam jangka pendek, 7
sedangkan agenda jangka panjang ialah meningkatkan investasi untuk perluasan kebun. 32. Kiranya patut dicatat, usahatani hortikultura cocok untuk dan memang telah didominasi oleh usahatani keluarga skala kecil. Kendala utamanya ialah sifat usahatani yang tinggi ancaman resiko dan butuh modal investasi maupun modal kerja yang cukup besar. Selain itu, kelancaran distribusi dan efisiensi pemasaran juga merupakan kunci bagi akselerasi pertumbuhan tinggi hortikultura. Masalah-masalah tersebut akan terus menjadi prioritas yang ditangani sungguh-sungguh oleh Departemen Pertanian. c.
Perkebunan
33. Subsektor Perkebunan juga merupakan salah satu andalan sumber pertumbuhan tinggi bagi sektor Pertanian. Pertumbuhan amat tinggi terutama dialami oleh komoditas kelapa sawit dan kakao yang pada tahun 1993-1997 tumbuh dengan laju di atas 10 persen per tahun. Produksi komoditas perkebunan tradisional lainnya, yakni tebu/gula, teh, kopi, dan karet, sudah sejak lama tumbuh lambat, stagnan atau bahkan menurun (tebu/gula). Krisis ekonomi tahun 1998-1999 tidak berdampak negatif, tetapi ternyata justru berdampak positif terhadap komoditas perkebunan, kecuali tebu/gula. Alasan utamanya ialah depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika menyebabkan harga komoditas perkebunan melonjak tajam yang selanjutnya mendorong peningkatan volume ekspor komoditas tersebut. 34. Pada tahun 2000-2003, kinerja komoditas perkebunan seluruhnya membaik, jauh lebih baik dibanding pada periode 1993-1997, kecuali untuk kakao. Prestasi luar biasa yang mungkin tidak diperkirakan sebelumnya oleh sebagian pihak ialah untuk tebu/gula yang mengalami titik balik ekstrim dari pertumbuhan negatif hingga tahun 1999, menjadi tumbuh positif. Pada tahun 2000-2003, produksi tebu/gula tumbuh dengan rata-rata laju 7,43 persen per tahun, jauh di atas pertumbuhan permintaannya. Pertumbuhan produk yang amat tinggi tersebut telah berhasil membelokkan trend volume impor gula dari cenderung meningkat akseleratif menjadi cenderung menurun. Ini merupakan bukti empiris bahwa Program Akselerasi Produksi Gula Nasional yang kita laksanakan dalam tiga tahun terakhir telah memberikan hasil yang cukup mengesankan. 35. Walaupun sempat anjlok, berubah dari tumbuh amat tinggi (rata-rata 17,38 persen per tahun pada periode 1998-1999) menjadi tumbuh negatif (bahkan minus hampir 10 persen pada tahun 2000), produksi kakao telah mulai pulih kembali. Sejak tahun 2000, produk kakao telah tumbuh positif dan pada tahun 2003 telah mencapai 633.239 ton. Anjloknya laju pertumbuhan produksi kakao tersebut terutama merupakan akibat dari anjloknya nilai dolar AS dan harga kakao di pasar dunia, serangan hama penggerek buah, serta pengenaan pajak pertambahan nilai (PPn) dan pungutan retribusi. Dalam kondisi pasar internasional yang tidak baik dan nilai rupiah yang terus meningkat 8
belakangan ini, disarankan agar pengenaan pajak dan retribusi atas proses produksi atau pemasaran kakao ditinjau ulang, paling tidak untuk sementara. 36. Ke depan, pertanyaan mendasar ialah apakah pertumbuhan tinggi subsektor Perkebunan tersebut dapat dipertahankan berkelanjutan ?. Sumber utama pertumbuhan produksi berkelanjutan untuk tanaman perkebunan ialah pertambahan luas panen. Masalahnya ialah sejak krisis tahun 1998-1999, investasi swasta maupun pemerintah pada perluasan areal perkebunan belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan signifikan. Kiranya patut dicatat, investasi swasta pada usaha perkebunan bersifat jangka panjang yang umumnya membutuhkan insentif khusus dari pemerintah. Oleh karena itu, agar pertumbuhan tinggi subsektor Perkebunan dapat dipertahankan berkelanjutan, pemerintah perlu memulihkan kembali fasilitas kredit khusus untuk investasi perluasan areal perkebunan. d.
Peternakan
37. Selain hortikultura dan perkebunan, subsektor Peternakan, juga merupakan andalan utama sumber pertumbuhan tinggi sektor Pertanian. Bahkan sudah menjadi fenomena global bahwa subsektor Peternakan merupakan sektor penggerak pertumbuhan sektor Pertanian melalui apa yang disebut dengan “Revolusi Peternakan“ (Livestock Revolution). Indonesia pun tidak ketinggalan, “Revolusi Peternakan” telah berlangsung sejak awal tahun 1980’an melalui perkembangan amat pesat industri peternakan ayam ras. 38. Saat krisis tahun 1998-1999, industri ayam benar-benar terpuruk, produksi ayam pedaging anjlok dari tumbuh positif 12,74 persen per tahun pada periode tahun 1993-1997 menjadi tumbuh negatif 28,23 per per tahun pada periode tahun 1998-1999. Produksi telur anjlok dari tumbuh positif 6,76 persen per tahun pada periode tahun 1993-1997 menjadi tumbuh negatif 8,92 persen pada periode tahun 1998-1999. Secara umu seluruh produk Peternakan mengalami anjlok produksi pada masa krisis 1997-1998. 39. Seiring dengan pulihnya perekonomian nasional, subsektor Peternakan mengalami pemulihan dengan cukup pesat. Dapat dikatakan, pada tahun 2003 subsektor Peternakan sudah sepenuhnya pulih dari terpaan krisis tahun 1998-1999. Pada tahun 2003, level produksi seluruh komoditas peternakan sudah melampaui level tertinggi periode sebelum krisis, kecuali untuk daging kerbau dan kuda yang memang sudah sejak lama stagnan atau menurun berkelanjutan. 40. Epidemi flu burung di Indonesia yang mulai berjangkit pada akhir tahun 2003 dapat menjadi ancaman serius bagi kinerja subsektor Peternakan. Industri peternakan ayam yang sudah mulai pulih terancam terpuruk lagi jika epidemi flu burung tersebut berkelanjutan. Namun demikian, pada akhir Februari 2004 nampaknya epidemi flu burung sudah dapat dikendalikan dan diberantas tuntas. Departemen Pertanian sudah 9
melaksanakan program komprehensif untuk mengendalikan dan memberantas epidemi flu burung tersebut dan kini tengah melaksanakan program pemulihan dampak negatifnya terhadap industri peternakan. 41. Kita optimistis, subsektor Peternakan yang telah pulih dari terpaan krisis tahun 1998-1999 akan terus mengalami akselerasi pertumbuhan. Kata kuncinya ialah kondisi kesehatan perekonomian makro dan ancaman epidemi penyakit menular. Belajar dari bencana sebelumnya, Departemen Pertanian akan membangun sistem pencegahan dan penanggulangan penyakit ternak menular secara nasional. Pemulihan kesehatan perekonomian nasional merupakan tugas kita bersama. E.3. Kesejahteraan Petani 42. Tujuan akhir utama pembangunan pertanian ialah meningkatkan kesejahteraan petani dan penduduk pedesaan secara khusus serta seluruh rakyat Indonesia secara umum. Salah satu indikator utama tingkat kesejahteraan umum ialah prevalensi jumlah penduduk miskin. Salah satu prestasi luar biasa pembangunan Indonesia ialah keberhasilannya dalam menurunkan jumlah penduduk miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan. Pada masa pemerintahan Orde Baru, jumlah penduduk miskin di pedesaan menurun tajam dari 44,2 juta orang atau 40,4 persen pada tahun 1978 menjadi 13,3 persen atau 15,3 juta orang pada tahun 1996, sementara di perkotaan menurun dari 38,8 persen atau 10,0 juta orang pada tahun 1978 menjadi 9,7 persen atau 7,2 juta orang. Krisis multi dimensi telah menyebabkan jumlah penduduk miskin pada tahun 1998 melonjak menjadi 26 persen atau sekitar 32 juta orang di pedesaan dan 22 persen atau hampir 18 juta orang. Namun pada tahun 2002, jumlah penduduk miskin telah menurun drastis menjadi 21,1 persen atau 25 juta orang di pedesaan dan 14,5 persen atau 13 juta orang di perkotaan. 43. Berdasarkan data prevalensi kemiskinan, dapat disimpulkan bahwa pada periode tahun 2000-2002 kesejehtaraan penduduk pedesaan maupun perkotaan jauh lebih baik dari pada periode tahun 1998-1999 (masa krisis), dan sudah mendekati keadaan tahun 1996. 44. Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan pendapatan petani ialah produktivitas tenaga kerja yang diukur sebagai nilai PDB per tenaga kerja di sektor Pertanian. Berdasarkan data resmi BPS, pada harga-harga konstan 1993, setelah menurun pada tahun 1998-1999, pendapatan tenaga kerja pertanian meningkat konsisten selama periode tahun 2000-2003. Rata-rata pendapatan tenaga kerja pada periode tahun 2000-2003 telah melampaui nilai periode sebelum krisis (1993-1997). Hal ini merupakan bukti empiris bahwa, berbeda dengan sinyalemen sebagian pihak di media massa, kesejahteraan petani pada tahun 2000-2003 telah lebih baik dari pada masa Orde Baru. Selain meningkat dalam level, senjang pendapatan pekerja pertanian dengan pekerja nonpertanian pada tahun 2003 telah sama dengan pada periode sebelum krisis (1993-1997). 10
45. Walaupun sesungguhnya kurang valid, variabel lain yang kerap digunakan pengamat di Indonesia sebagai indikator kesejahteraan petani ialah indeks nilai tukar petani (NTP), yakni indeks rasio harga yang diterima dengan harga yang dibayar rumah tangga tani. Setelah anjlok sejak tahun 1998 hingga tahun 2000, nilai tukar petani secara nasional menunjukkan perbaikan signifikan pada tahun 2001 dan terus meningkat hingga tahun 2003. Nilai tukar petani pada tahun 2003 telah jauh melampaui titik tertinggi pada masa Orde Baru (tahun 1995). 46. Namun patut dicatat bahwa perbaikan NTP tersebut tidak merata antar wilayah. Perbaikan NTP lebih awal dan lebih cepat di Jawa daripada di luar Jawa. Di pulau Jawa, perbaikan NTP mulai terjadi pada tahun 2001 dengan laju rata-rata 5,07 persen per tahun selama periode tahun 20012003. Sedangkan di luar Jawa perbaikan NTP baru terjadi pada tahun 2002 dengan laju rata-rata 2,90 persen per tahun pada periode tahun 2001-2003. Perbaikan kesejahteraan petani di Jawa lebih awal dan lebih besar daripada di luar Jawa. 47. Selama periode tahun 2000-2002 pendapatan petani meningkat signifikan juga didukung oleh data mikro hasil survei lapang. Rata-rata pendapatan riil rumah tangga petani sawah di Jawa Barat melonjak dari Rp. 2.063.751 per tahun pada tahun 1999 menjadi Rp. 4.746.884 per tahun pada tahun 2002. Sedangkan di Sulawesi Selatan meningkat dari Rp. 1.820.852 per tahun pada tahun 1984 menjadi Rp. 3.948.269 per tahun pada tahun 2002. Sekali lagi, data yang ada tidak mendukung sinyalemen bahwa kesejah-teraan petani pada era Reformasi saat ini lebih buruk dari pada era Orde Baru. E.4. Ketahanan Pangan 48. Selama periode tahun 2000-2003, Indonesia tidak pernah mengalami masalah kekurangan persediaan pangan. Berdasarkan perhitungan rasio impor beberapa bahan pangan penting terhadap total penyediaan pangan menunjukkan bahwa ketergantungan impor dalam bentuk kalori per jenis bahan pangan terhadap total penyediaan kalori, secara umum relatif kecil. Pada tahun 2003, ketergantungan terhadap impor (kalori) yang berasal dari bahan pangan, berkisar antara 0 persen pada daging ayam, telur, ubi jalar, dan ubikayu hingga 2,2 persen pada beras. Angka ketergantungan yang relatif tinggi adalah gula 1,69 persen, kedelai 1,51 persen, dan jagung 1,25 persen. Perkembangan ketergantungan tersebut berfluktuasi, namun cenderung menurun. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan nasional semakin mantap. Kekhawatiran sebagian pihak bahwa Indonesia semakin terancam terperosok ke dalam perangkap ketergan-tungan impor pangan tidak didukung oleh data yang ada. 49. Selama periode 2000-2003, aksesibilitas masyarakat terhadap pangan juga semakin baik sebagai hasil perpaduan dari peningkatan pendapatan dan penurunan harga riil bahan pangan. Dibandingkan dengan periode krisis tahun 1998-1999 harga riil beras telah menurun tajam dan semakin stabil. Secara umum, harga riil bahan makanan 11
cenderung menurun dan semakin stabil sehingga ketahanan pangan nasional semakin mantap. Membaiknya indikator ketahanan pangan makro (nasional) juga diikuti oleh perbaikan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Setelah menurun cukup signifikan dari 2.022 kalori/kapita/hari pada tahun 1996 menjadi 1852 kalori/kapita/hari pada tahun 1999, asupan energi pada tahun 2002 meningkat cukup signifikan menjadi 1.986 kalori/kapita/hari. Fenomena yang sama berlaku untuk asupan protein. Setelah menurun dari 54,41 gram/kapita/hari pada tahun 1996 menjadi 48,67 gram/kapita/hari pada tahun 1999 asupan protein meningkat menjadi 54,42 gram/kapita/hari pada tahun 2002. Asupan protein pada tahun 2002 sudah di atas norma kebutuhan dan praktis sama seperti pada tahun 1996 (sebelum krisis). E.5. Kesempatan Kerja Dan Neraca Perdagangan 50. Salah satu persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia adalah defisit neraca pembayaran (balance of payment) dan pengangguran kronis. Kebijakan yang paling superior untuk mengatasi masalah tersebut adalah meningkatkan penerimaan devisa melalui ekspor karena kebijakan tersebut mampu mengatasi defisit neraca pembayaran sekaligus mampu pula menurunkan pengangguran. Kebijakan ekspansif melalui peningkatan output justru akan menambah defisit neraca pembayaran dan sebaliknya kebijakan kontraktif akan gagal mengatasi pengangguran. 51. Tingkat dan laju pengangguran di Indonesia cukup tinggi. Sebelum periode krisis (1992-1997) rata-rata pengangguran terbuka 4,2 juta orang dengan laju 16,84 persen, meningkat menjadi 5,5 juta orang dengan laju 17,20 persen pada saat krisis (1998-1999) dan meningkat lagi menjadi 8,1 juta orang dengan laju 13,67 persen dalam masa pemulihan (2000-2003). Peningkatan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia yang cukup tinggi, selain disebabkan oleh jumlah angkatan kerja yang besar juga karena laju peningkatan angkatan kerja yang lebih besar dibanding kesempatan kerja yang tersedia. Pada periode 19931997, rata-rata jumlah angkatan kerja 87 juta orang meningkat menjadi 98,9 juta orang pada periode 2000-2003. Pada periode sebelum krisis (1993-1997), laju angkatan kerja per tahun 2,65 persen lebih besar dibanding laju kesempatan kerja yang hanya mencapai 2,08 persen. Begitu juga pada periode pemulihan (2000-2003) dimana laju angkatan kerja per tahun 1,64 persen lebih besar dibanding laju kesempatan kerja yang hanya mencapai 0,64 persen. 52. Seiring dengan perbaikan ekonomi nasional, kemampuan penyerapan tenaga kerja sektor Pertanian mengalami peningkatan yang cukup mengesankan dari 37,35 juta orang per tahun sebelum masa krisis (1992-1997) menjadi 40,76 juta orang per tahun pada masa pemulihan (2000-2003). Peningkatan kemampuan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian terutama terjadi pada tenaga kerja yang bekerja penuh. Ini merupakan bukti tak terbantahkan bahwa sektor Pertanian sudah lepas dari cengkraman krisis ekonomi sejak tahun 2000 dan sektor Pertanian masih menjadi andalan penyerapan kesempatan kerja nasional. 12
53. Kemampuan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tersebut adalah sekitar 40 persen angkatan kerja nasional hanya berasal dari kegiatan sektor pertanian primer, belum termasuk sektor sekunder dan tersier sepanjang vertikal sistem dan usaha agribisnis. Apabila tenaga kerja yang terserap pada sektor sekunder dan tersiernya, maka kemampuan sektor pertanian tentu akan lebih besar lagi. Walaupun kemampuan sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja nasional sangat besar, namun di sisi lain justru menjadi beban bagi sektor Pertanian dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya. Oleh karena itu, Departemen Pertanian telah mengupayakan semaksimal mungkin untuk menciptakan nilai tambah di luar kegiatan pertanian primer yang mampu dinikmati oleh rumah tangga tani melalui program pengembangan sistem dan usaha agribisnis. 54. Peningkatan penerimaan devisa negara melalui ekspor merupakan suatu yang amat penting untuk mengatasi masalah defisit neraca pembayaran. Kinerja neraca perdagangan (balance of trade) komoditas pertanian mengalami peningkatan secara konsisten selama periode 1993-2002. Nilai ekspor komoditas pertanian selama periode sebelum krisis ekonomi (1993-1997) sebesar US$ 5.166 juta meningkat menjadi US$ 5.596 juta pada periode 1998-1999 dan meningkat lagi mejadi US$ 5.676 juta. Sedangkan nilai impor komoditas pertanian sebelum krisis ekonomi tidak banyak mengalami perubahan berarti dibanding masa pemulihan ekonomi. Hal tersebut menyebabkan neraca perdagangan komoditas pertanian mengalami surplus dan cenderung meningkat. Kalau pada periode sebelum krisis ekonomi (1993-1997) neraca perdagangan sebesar US$ 2.243 juta, maka pada periode 1998-1999 meningkat menjadi US$ 2.509 juta dan pada periode 2000-2002 meningkat lagi menjadi US$ 2.710. 55. Surplus neraca perdagangan di atas bukan semata-mata disebabkan oleh penekanan impor tetapi lebih disebabkan oleh peningkatan ekspor. Surplus tersebut merupakan kontribusi sektor Pertanian dalam perbaikan neraca pembayaran. Fakta-fakta tersebut merupakan bukti tak terbantahkan, bahwa selain sektor Pertanian mampu mengatasi masalah pengangguran nasional, sektor Pertanian juga mampu memberikan kontribusi pada perbaikan neraca pembayaran. Fakta tersebut juga merupakan bukti bahwa daya saing komoditas pertanian di pasar internasional sudah mulai mengalami perbaikan secara konsisten sejak periode 2000-2002. Dengan demikian program pemerintah dalam meningkatkan ekspor komoditas pertanian dan peran sektor Pertanian dalam penerimaan devisa negara sudah cukup berhasil. F.
KINERJA MIKRO
56. Keberhasilan sektor pertanian ditingkat makro ternyata tidak semuanya dikuti dengan keberhasilan kinerja sektor tersebut pada tingkat usahatani (mikro). Implementasi kinerja pembangunan sektor pertanian pada tingkat mikro yang terkait dengan faktor pembanding tersebut menunjukkan adanya variabilitas yang lebar antara satu lokasi dengan 13
lokasi lain, hal ini disebabkan oleh kendala sosial ekonomi dan budaya, kondisi geografis yang tidak menguntungkan serta keadaan infrastruktur yang terbatas. pada tingkat mikro satu program pengembangan komoditas pertanian mempunyai varian spesifik lokasi dan telah disesuaikan dengan kendala yang dihadapi. 57. Pada daerah pertanian yang orientasi produksi pertaniannya masih pada taraf kepentingan konsumsi dan tabungan, maka dalam usaha pertanian didaerah tersebut peran pemerintah sangat dominan dalam mendorong proses adopsi teknologi. Pada daerah pertanian maju, proses adopsi teknologi sangat tergantung pada pasar, dan proses pendampingan berorientasi komersial. F.1. Kasus Kakao Di Sulawesi Tenggara 58. Secara umum tingkat produktivitas dan profitablitas petani kakao peserta program di lokasi contoh lebih baik dibanding non peserta, meskipun besarnya pengaruh tersebut berbeda menurut umur tanaman. 59. Kondisi sarana dan prasarana yang mendukung KIMBUN dilokasi penelitian tidak ditemukan masalah yang berarti, terutama terkait dengan pasar input maupun output. F.2. Kasus Jagung Di Papua 60. Secara umum tingkat produktivitas dan profitablitas petani jagung peserta program di lokasi sampel lebih baik dibanding non peserta. 61. Penerapan teknologi usahatani jagung petani peserta program, relatif lebih baik dibanding dengan peserta non program, hal ini dapat dilihat dari penggunaan sarana produksi (benih, pupuk, dan pestisida). Pada petani peserta penggunaan benih relatif lebih efisien dibanding non peserta. 62. Penggunaan pupuk oleh petani peserta menunjukkan jumlah yang cukup yaitu 100 kg urea dan 75 kg TSP per ha, sementara untuk petani non peserta hanya menggunakan urea 80 kg dan TSP 60 kg per ha, walaupun dari segi ragam pupuk yang digunakan pada kedua kelompok tersebut sama yaitu hanya menggunakan urea dan TSP, tetapi dari sisi kuantitas pupuk yang digunakan, peserta progam menunjukkan keragaan yang lebih baik. 63. Faktor utama yang menghambat profitabilitas usahatani jagung di Papua, khususnya di lokasi penelitian adalah harga faktor input yang tinggi karena jarak antara toko prasarana denga lokasi jauh. F.3. Kasus Jagung Dan Padi Di Nusa Tenggara Timur 64. Seiring dengan makin tingginya permintaan padi/beras sebagai pangan utama akibat adanya pergeseran pola makan jagung di NTT juga peran pemerintah dalam program pengembangan wilayah, seperti jaringan 14
irigasi, kinerja produksi, luas panen, dan produktivitas terus meningkat dari tahun ke tahun. 65. Ketersediaan saprodi pendukung, teknologi yang diperkenalkan dan faktor keterbatasan modal merupakan dua faktor yang penting bagi keberhasilan program pengembangan padi di NTT, selain akibat faktor sosial budaya masyarakat setempat. 66. Keragaan usahatani padi di daerah contoh penelitian (NTT) menunjukkan petani peserta program lebih baik dari peserta non program, baik dari sisi produktivitas maupun profitabilitas. Bantuan pupuk yang diberikan pemerintah secara signifikan mampu menaikkan jumlah penggunaan pupuk ditingkat usahatani sehingga berpengaruh pada produktivitas padi. 67. Potensi pengembangan jagung di NTT besar, namun kadang kala selain kendala teknis, kendala yang bersifat non teknis sering sekali menghambat pengembangan jagung dari sudut pandang agribisnis. 68. Pada masa pelaksanaan program, bantuan ini mendapat respon yang baik dari masyarakat, namun keberlanjutan program tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pengaruh positif dari program tersebut hanya terlihat signifikan saat program berjalan. 69. Keragaan petani peserta program pengembangan padi dan non program menunjukkan bahwa keragaan tidak banyak berbeda baik dari sisi produktivitas maupun profitabilitasnya. Hal ini disebabkan lingkungan geografis dan teknologi usahataninya antara dua kelompok petani hampir sama/sepadan. F.4. Kasus Jagung Di Blitar 70. Berkembangnya usahatani jangung didaerah ini didukung oleh satu sistem agribisnis yang sangat mapan, dimana antar pelaku (perusahaan perbenihan - petani jagung - pengusaha pakan ternak) dalam agribisnis ini terjadi kerjasama yang sinergi. 71. Intensifnya perusahaan swasta bermitra dengan petani jagung di Blitar ini, seharusnya merubah visi pemerintah dalam mendorong usahatani didaerah ini. Berdasarkan perkembangan usahatani jagung tersebut, maka program pemerintah sebaiknya didorong untuk mengembangkan social engineering yang arahnya untuk menjaga kestabilan harga dan jumlah pasokan faktor produksi yang diperlukan petani, dan harga hasil produksi petani. Program pemerintah pada daerah yang diharapkan tidak terlalu jauh mengurusi masalah-masalah teknis, karena secara teknis usahatani jagung di daerah ini telah sesuai dengan inovasi teknologi yang diharapkan pemerintah. 72. Perbedaan sistem usahatani antar petani yang mengikuti program dan petani yang tidak mengikuti program tidak terlalu signifikan. Hal ini berarti juga dana bantuan untuk kegiatan usahatani ini umumnya 15
digunakan oleh petani untuk memperkuat dana kelompok tani, sehingga anggota kelompok tersebut dapat mengembangkan jenis usaha lain. F.5. Kasus Jambu Mete Di Sulawesi Tenggara 73. Program KIMBUN jambu mete di Sultra (peremajaan, penjarangan) cukup sulit dilakukan oleh pemerintah, karena adanya asimetris tujuan, antara pemerintah (Dinas Pertanian Kab. Muna) yang ingin meningkatkan produksi jambu mete dan sebagian besar petani yang tidak ingin tanaman jambu metenya diganti, karena ketergantungan petani terhadap usahatani ini sangat tinggi. 74. Upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan produksi tanaman jambu mete dilakukan dengan mendorong petani memberi pupuk pada tanaman tersebut. Upaya ini masih jauh dari harapan karena pedagang saprotan di daerah ini tidak ada, hal ini disebabkan rendahnya permintaan pupuk dan pestisida di wilayah kabupaten Muna. 75. Peremajaan tanaman mete telah mendorong peningkatan produksi jambu mete dari 300 kg mete gelondongan menjadi sekitar 750 kg mete gelondongan per hektar per tahun. Peningkatan produksi ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh penggunaan bibit mete hasil seleksi, yang diberikan kepada petani melalui program peremajaan tersebut. F.6. Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Kinerja Program Di Tingkat Mikro. 76. Kinerja program sangat dipengaruhi oleh (a) Karakteristik sosial budaya masyarakat setempat; (b) Tingkat perekonomian masyarakat. Pada masyarakat yang subsisten maka pengembangan pertanian sulit dikembangkan, pengembangan pertanian hanya didasarkan pada bantuan pemerintah. (c). Informasi dan lokasi, keterbatasan informasi dan terisolasinya lokasi terhadap pasar menyebabkan proses adopsi teknologi pertanian berjalan tidak sempurna. G.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
77. Evaluasi kinerja sektor Pertanian selama periode tahun 2000-2004 akan lebih obyektif bila dilaksanakan dengan memperhatikan dua gejolak eksternal beruntun dan luar biasa yaitu : (a) anomali iklim El Nino berkepanjangan (1997-1998); dan yang berulang dalam tenggang waktu singkat (2001); (b) krisis multidimensi ekonomi-sosial politik berkepanjangan (1997-1999). Kedua kondisi abnormal tersebut tidak saja membuat kinerja sektor Pertanian pada tahun 2000-2004 beranjak dari tahap awal yang terpuruk, tetapi juga dengan lingkungan strategis yang tidak menguntungkan, serta perpaduan keduanya menciptakan pesimisme dan resiko ketidakpastian berusaha sehingga sektor Pertanian berada dalam ancaman stagnasi berkelanjutan. Dengan demikian, kinerja sektor Pertanian pada tahun 2000-2004 haruslah dievaluasi dengan tiga perspektif yaitu: (a) kemampuan berbalik dari ancaman kontraksi lebih buruk (rescue); (b) kemampuan pulih dari stagnasi 16
berkepanjangan (recovery); dan (c) kemampuan tumbuh akseleratif (accelerating) menuju pertumbuhan tinggi berkelanjutan (sustaining growth). 78. Secara umum, sektor Pertanian mampu melepaskan diri dari ancaman terpuruk secara berkepanjangan. Sektor Pertanian terbukti lebih tangguh dan mampu pulih lebih cepat dibanding sektor-sektor lain. Walaupun periode awalnya bervariasi antar subsektor apalagi antar komoditas, secara umum sektor Pertanian telah berhasil berbalik dari ancaman kontraksi berkelanjutan (1997-1990), melepaskan diri dari perangkap “ spiral pertumbuhan rendah “ (1999-2002), dan sejak tahun 2003 telah berada pada fase percepatan pertumbuhan (accelerating growth) menuju pertumbuhan berkelanjutan (sustaining growth). 79. Agenda jangka menengah-pendek (sekitar lima tahun ke depan) yang perlu segera kita rumuskan ialah bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kinerja yang cukup menggembirakan tersebut. Disadari, potensi pertumbuhan yang ada saat ini sudah hampir termanfaatkan secara optimal. Setidaknya lima upaya yang harus dan segera dilakukan agar momentum akselerasi pertumbuhan sektor Pertanian dapat terus dipertahankan secara berkelanjutan yaitu : (a) merenovasi dan memperluas infra struktur fisik (hard infrastructure), utamanya sistem irigasi, sistem transportasi, sistem telekomunikasi dan kelistrikan pedesaan; (b) revitalisasi sistem inovasi pertanian (penelitian dan pengembangan, diseminasi teknologi pertanian); (c) Pengembangan kelembagaan agribisnis (tata pemerintahan, organisasi pengusaha dan jejaring usaha); (d) rekonstruksi sistem insentif berproduksi dan investasi; (e) pengelolaan pasar input dan output. Semua ini hendaklah dirancang secara komprehensif dan terpadu. 80. Ke depan, pengalaman krisis pahit multidimensi 1997-1998 memberi-kan pelajaran berharga betapa strategisnya sektor Pertanian sebagai jangkar, peredam gejolak, dan penyelamat bagi sistem perekonomian nasional. Sektor Pertanian merupakan kunci untuk pengentasan kemiskinan dan pemantapan ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, pembangunan sektor Pertanian haruslah tetap dijadikan sebagai prioritas pembangunan nasional. Inilah konsensus politik yang masih perlu diperjuangkan bersama. 81. Program-program pembangunan pertanian yang dilaksanakan oleh pemerintah selama kurun waktu 2000-2004 memberikan dampak terhadap kinerja pertanian ditingkat petani (mikro) yang performanya berbeda dengan dampak terhadap kinerja makro. Dimana pada kinerja pertanian mikro tampak lebih kondisional, tergantung kepada kondusifitas lingkungan baik struktur, infrastruktur dan kelembagaan. Secara umum keragaan peserta program lebih baik dari non program, baik dari produktivitas dan profitabilitasnya.
17
82. Terkait dengan keberagaman kondisi struktur dan infrastruktur masingmasing daerah, untuk meningkatkan efektivitas program pembangunan pertanian di tingkat mikro, maka perlu memperhatikan prasyarat pendukung yang harus dipenuhi oleh daerah dimana program akan dilaksanakan dan atau program juga perlu melakukan justifikasi sesuai dengan ketersediaan infrastruktur yang ada .
18