kupersembahkan buat kedua orangtuaku dan keempat adikku yang kucintai
KAUSA DAN CARA PENGENDALIAN PANARITIUM
SKRIPSI
oleh AMAN
IRIANTO
B.170715
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
I 9 B 5
RINGKASAN
AMAN IRIANTO.
Kausa dan Cara Pengendalian Panaritium.
Dibawah bimbingan Ibu Dr. Sri Utami Pramono. Panaritium adalah peradangan nekrotik disertai proses perna nahan pada jaringan lunak diantara kuku dari hewan berkuku genap.
Adapun jenis ternak yang sering menderita
panaritium adalah sapi, domba dan babi.
Panaritium yang
bersifat khronis pada sapi menimbulkan rasa sakit pada waktu sapi berdiri atau berjalan, sehingga hewan penderita cenderung untuk berbaring.
Pada domba, sebagai akibat panari-
tium yang khronis sering terjadi kukunya terlepas, sedangkan pada babi dapat berakhir dengan kematian akibat terja-' dinya sepsis. Panaritium merupakan penyakit infeksius dan kontagius. Mikroorganisme yang berperanan sebagai penyebab infeksi ialah bakteri dari genera Fusobacterium, Bacteroides, Corynebacterium, Staphylococcus, Peptococcus, Peptostreptococcus. dan Propionibacterium.
Beberapa faktor predisposisi yang
menunjang kejadiannya ialah adanya kerusakan jaringan antar kuku yang antara lain disebabkan oleh penetrasi larva parasit, deformitas kaki dan bentuk lantai kandang yang bercelah, serta tingkat sanitasi lingkungan yang rendah. Tindakan pengendalian panaritium dapat dilakukan dengan cara pencegahan dan tindakan pengobatan individual. Cara pencegahan panaritium yang utama adalah meningkatkan
sanitasi lingkungan dan pemberantasan parasit, serta menjaga kesehatan kuku.
Beberapa negara maju bahkan melakukan
tindakan vaksinasi sebagai tindakan pencegahan panaritium. Tindakan pengobatan diawali dengan membuang jaringan yang rusak secara operatif, kemudian diikuti dengan pemberian antibiotika atau kemoterapetika baik secara lokal maupun parenteral.
8elama perawatan sebaiknya hewan penderita
ditempatkan dalam kandang yang bersih dan kering.
RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah putra dari bapak W.Widayat,B.A. dan ibu Rr Siti Aminah, dilahirkan pada tanggal 9 Juli 1962 di Surakarta dan rnerupakan anak pertama dari lima bersaudara. Pada tahun 1973 penulis lulus Sekolah Dasar Negeri Pertiwi di Trenggalek, tahun 1976 lulus Sekolah Menengah Pertama Negeri di Trenggalek dan pada tahun 1980 lulus Sekolah Menengah Atas Negeri di Trenggalek.
Kernudian pada ta-
hun 1980 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor dan mulai belajar di Fakultas Kedokteran Hewan IPB pada tahun 1981.
Pada tahun 1984 penulis telah berhasil memperoleh
gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah diangkat sebagai asisten muda luar biasa pada mata ajaran Fisiologi Veteriner (1982 - 1985)
KAUSA DAN CARA PENGENDALIAN PANARITIUM
Oleh AMAN IRIANTO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Bewan pada Fakultas Kedokteran Bewan, Institut
~ertanian
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITU'I' PERTANIAN BOGOR
1985
Bogor
Judul skripsi
:
KAUSA DAN CARA PENGENDALIAN PANARITIUM
Nama mahasiswa
:
ANAN IRIANTO
Nomor pokok
B 17 0715
Diperiksa dan disetujui oleh
~~. Dr. Sri Utami
~ramono
Dosen Pembimbing
TAN G GAL
KATA PENGANTAR
Penulisan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pertama-tama penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Sri Utami Pramono, Staf di jurusan Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat veteriner sebagai dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu dan fikirannya membirnbing penulis menyelesaikan skripsi ini. Pada kesernpatan ini penulis juga rnengucapkan terirna kasih kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. Djokowoerjo Sastradipradja, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor yang telah rnemberikan bimbingan selama penulis bela jar di FKH-IPB.
2.
Seluruh Staf FKH-IPB yang telah rnernberi bekal ilmu pengetahuan dasar untuk terjun ke rnasyarakat
3.
Seluruh pegawai Perpustakaan Fusat, FKH-IPB, Balitvet, BPT Ciawi yang telah memberi fasilitas buku-buku bacaan selama penulisan skripsi ini.
4.
Seluruh ternan-ternan yang membantu penulisan baik dalam rnernberi inforrnasi, kritik dan saran
5.
Orangtua serta adik-adikku tercinta yang selalu memberi dorongan dan doa
ii Dalam kesempatan inipun penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Allah yang telah memberi rahmat dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Oleh sebab itu penulis dengan
tangan terbuka selalu menerima kritik dan saran yang bersifat membangun.
Semoga hasil yang dituangkannya bermanfaat
bagi yang memerlukan.
DAFTAR lSI Halaman
......................................................
i
. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. . .. .. . .. . .. .. . .. .. . .. ..
iii
KATA PENGANTAR DAFTAR lSI I-
II.
PENDAHULUAN
..........................
10
................................
5
............................
5
..................................
8
. . .. .. .. .. .. .. . .. . . .. .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. . .. .. . .. .. ..
11
......................................................
15
Pencegahan
....................................................
15
Pengobatan
....................................................
18
.. .. . .. . .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. ..
21
....................
25
.. .. .. .. .. .. .. .. .. ..
26
...................................................................
29
Faktor predisposisi DIAGNOSA
PENGENDALIAN
IV.
1
.. .. .. . .. . . .. . . .. . . .. .. .. .. .. . .. .. . PANARITIUM .. .. .. .. . . .. .. .. .. . . .. .. .. .. . .. . .. .. . . . .. .. .. KAUSA .. .. . .. . .. .. .. .. .. .. .. .. . .. . .. .. .. .. .. . .. . .. .. .. .. . .. .. .. .. ..
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Agen penyebab penyakit
III.
..
PEMBAHASAN DAN KESnlPULAN SARAN
.. .. . .. . .. . .. .. . .. . . .. .. .. . .. .. .. .. . .. '" .
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
3 3
LANPIRAN Nom or 1.
Data Kasus Penyakit yang Diobati di Wilayah Kerja KPBS Pangalengan
2.
Keterangan Gambar Beberapa Kelainan pada Kuku Sa pi Akibat Panaritium
I.
PENDAHULUAN
Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan protein hewani pemerintah telah mengusahakan melalui pengembangan usaha sapi perah yang dimulai sejak tahun 1979 (Ditjen Peternakan Di t Bina Program, 1983). Berbagai hambatan dialami oleh para peternak.
Teruta-
rna hambatan yang berupa penyakit merupakan masalah yang dapat menyebabkan kurangnya gairah beternak.
0ecara langsung
penyakit akan mendatangkan kerugian berupa turunnya produksi susu, selain dari pada itu tidak jarang diakhiri dengan kematian hewan penderita, sedangkan untuk hewan yang sakit diperlukan biaya perawatan yang cUkup mahal. Melalui pengamatan pada waktu penulis rnengikuti keaktifan Satgas Klinik Hewan Keliling FKH-IPB dan pada waktu rnelakukan praktek daerah di daerah Pangalengan, penulis sangat tertarik akan kejadian panaritium pada sapi perah. Yanaritium ini merupakan penyakit yang kasusnya cUkup tinggi dan merupakan salah.· sa tu; hambatan yang penting dalam usaha ternak sapi perah disarnping penyakit lainnya seperti mastitis, gangguan reproduksi dan gangguan metabolisme. Khususnya didaerah pangalengan panaritium yang dapat menyerang baik kuku kaki belakang dan depan, diperkirakan telah menurunkan produksi susu seki tar 40 % (K.PBS Pangalengan, 1984) •
2
Mengingat di Indonesia usaha peternakan sapi perah pada saat ini sedang digalakkan, sedangkan panaritiummerupakan salah satu penyakit yang menghambat pengembangannya, maka dalam membuat karya tulis ini penulis ingin menelaah masalah panaritium terutama dalam hal agen penyebab penyakit, cara diagnosa dan usaha untuk pengendaliannya.
II.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
PANARITIUM Panaritium atau Foot rot adalah peradangan nekrotik disertai pernanahan pada kulit dan jaringan lunak diantara kuku dari hewan berkuku genap (Raven dan Cornelisse, 1971; Berg dan Loan, 1975;
Siegmund, et al, 1979).
Beberapa genera bakteri bertindak sebagai penyebab dalam kejadian panaritium.
Bakteri-bakteri tersebut ada yang
berasal dari lingkungan dan ada pula yang berasal dari dalam usus yang diekskresikan oleh hewan bersama tinja (Buxton dan Fraser, 1977).
Di a1am bakteri penyebab pana-
ritium dapat diketemukan dalam tanah atau tanah berlumpur (Buxton dan Fraser, 1977;
Holt, 1977).
Lesio yang ditim-
bulkannya bersifat nekrotik dan supuratif (Berg dan Loan,
1975;
Buxton dan Fraser, 1977;
Holt, 1977).
Kejadian panaritium dimulai dengan rusaknya jaringan lunak antar kuku dan diikuti oleh adanya infeksi. Kasus panaritium di beberapa negara maju seperti di Inggris (Edwards, 1980) dan Australia (Egerton, 1983) frekuensinya tinggi dibandingkan dengan penyakit, lainnya yang menimbulkan lesio pada kaki. ,Di Indonesia panari ti urn pada sapi perah termasuk penyakit penting disamping mastitis, gangguan reproduksi dan gangguan metabolisme. Hewan yang menderita panaritium umumnya menunjukkan tanda-tanda kepincangan, kenaikan suhu badan, nafsu makan menurun bahkan tidak dapat mengambil makananya karena
4
kaki terasa sakit waktu berjalan (Seddon, 1965; Siegmund, et ~, 1979).
Egerton, Robert dan Parsonson (1969) menge~
mukakan tanda-tanda panari tium secara lokal, sebagai berikut:
kaki bag ian karpus atau tarsus ke bawah membengkak,
bagian koroner hyperemis dan panas, serta terjadi kerusakan Hall (1977)
kulit sampai jaringan epidermis diantara kuku.
menambahkan bahwa kerusakan jaringan ini dapst berlanjut sehingga terbentuk ulkus yang supuratif.
Lesio yang ter-
jadi dapat sampai ke tendon dan menimbulkan rasa sakit pada waktu diadakan palpasi. Diantara hewan ternak yang sering mender ita panaritium adalah sapi, domba dan babi (Siegmund, et al, 1979). Tanda-tanda panaritium akut pada sapi ialah adanya kebengkakan oedematus dan hyperemis di daerah sekitar 1esio pada jaringan lunak antar kuku, sedangkan pada permukaan 1esio seringkali didapatkan eksudat yang mengering.
Pada stadium
khronis sapi cenderung untuk berbaring disebabkan rasa sakit bila berdiri atau berjalan.
Disamping itu disekitar
koroner ke1uar eksudat yang bersifat sereus sampai purulenta (Smedegaard, 1964;
Siegmund, et a1, 1979).
Panaritium yang
bersifat khronis pada domba dapat mengakibatkan terlepasnya kuku, sedangkan peradangan yang terjadi dapat menyebar sampai jaringan lunak dibawah kuku dan sekitar koroner dengan disertai timbulnya bau busuk (Robert dan E'gerton,
1969).
Tanda-tanda panaritium pada babi ialah adanya peradangan haemorrhagis pada telapak kaki dan dinding kuku bagian lateral.
Lesio ini terutama terjadi pada kaki belakang.
5
Infeksi yang terjadi mudah menyebar menyerang organ paruparu, otak, medulla spinalis.
Menurut Siegmund, et al. (1979)
panaritium pada babi sering berakhir dengan kematian akibat terjadinya sepsis.
aiegmund et al.(1979) juga mengemukakan
bahwa bila panaritium menyerang kedua kaki belakang maka babi akan berjalan seperti angsa. Selain pada sapi, domba dan babi, peradangan panaritium dapat dibuat secara eksperimen pada kelinci (Buxton dan Fraser, 1977).
Peradangan serupa juga didapatkan pada he-
wan berkuku satu, yaitu pada kuda, adapun daerah yang mengalami lesio ialah di sekitar koroner (Stableforth dan Galloway, 1959). KAUSA Agen Penyebab Mikroorganisme yang berperanan sebagai agen penyebab panaritium adalah bakteri dari genera Fusobacterium, Bacteroides, Corynebacterium, Staphylococcus, Peptococcus, Peptostreptococcus dan Propionibacterium (Berg dan Loan, 1975;
Siegmund et al, 1979).
Bakteri-bakteri ini umumnya
dapat menimbulkan lesio nekrotik disertai proses pernanahan. Fusobacterium Fusobacterium (Sphaerophorus) necrophorum yang disebut juga Fusiformis necrophorus atau Bacillus necrophorus adalah spesies dari Fusobacterium yang sering didapatkan sebagai penyebab infeksi pada kejadian panaritium.
6 Bakteri ini dikenal sebagai komensal dalam usus dari berbagai jenis hewan dan diekskresi oleh hewan bersama tinja (MUrry, 1947). Bakteri yang bersifat anaerob ini dalam sua sana aerob hanya tahan 2 - 10 hari, baik dalam suhu 37 0 u maupun dalam lemari es.
Di alam bakteri ini didapatkan dalam tanah atau
tanah berlumpur.
Dalam tanah atau padang berlumpur ia ta-
han sampai 10 bulan.
Terhadap pemanasan 60 0 C bakteri ini
akan mati dalam waktu 15 menit.
Biakan
~.necrophorum
bi-
asa disimpan dalam biakan campuran bersama bakteri aerob Staphylococcus (Buxton dan Fraser, 1977). Lesio yang ditimbulkan oleh I.necrophorum bersifat nekrotik (Buxton dan Fraser, 1977;
Siegmund et al, 1979).
--
Menurut Holt (1977) bakteri ini juga menimbulkan lesio yang bersifat purulenta dan gangraenosa. Bacteroides Genus Bacteroides mempunyai dua spesies yang dapat menyebabkan panaritium yaitu B.nodosus dan
~.melaninogenicus
(Berg dan Loan, 1975). Pada hewan sehat bakteri yang bersifat anaerob ini dapat diketemukan pada mukosa rongga mulut, usus dan alat kelamin bagian luar,. serta diekskresi bersama tinja dan air kemih.
Selain itu bakteri ini juga sering terdapat pada
luka infeksi (Murry, 19~7).
Di alam bakteri ini didapat-
kan pada tempat pembuangan kotoran hewan (Holt, 1977).
7
Kedua spesies bakteri tersebut bila menginfeksi
jari~
ngan akan menimbulkan lesio nek:r:'otik (Berg dan Loan, 1975 j Holt, 1977).
Corynebacterium Corynebacterium pyogenes merupakan spesies yang penting dari genus Corynebacterium. Biasanya yang bertindak sebagai sumber infeksi ialah absces baik pada hewan maupun manusia.
BBkteri yang ber-
sifat fakultatif anaerob atau aerob ini juga dapat diketemukan dalam air susu yang berasal dari ambing mastitis lBuxton dan Fraser, 1977). Q.pyogenes menimbulkan lesio supuratif (Buxton dan Fraser, 1977). 0taphylococcus Staphylococcus aureus merupakan spesies patogen dari genus staphylococcus. Bakteri ini banyak tersebar luas di alam, baik diudara, tanah atau lantai, dalam air dan pada permukaan tubuh hewan maupun manusia, serta dalam saliva dan isi usus (Murry, 1947). Selain dari pada itu bakteri ini juga terdapat pada proses peradangan yang disertai proses pernanahan atau pada absces baik pada organ maupun pada kejadian dermatitis (Murry, 1947). Staphylococcus mudah mati dalam suhu pasteurisasi juga oleh desinfektans seperti. phenol, CUC1 2 , larutan hypochlorit, kristalviolet 1 : 500.000. Dalam biakan aerob bakteri
8 ini mempunyai daya hidup relatif lama (Buxton dan Fraser,
1977;
Ditkeswan Ditjen Peternakan, 1981).
Peptococcus, Peptostreptococcus o
Kedua genera ini secara normal didapatkan pada kolon, rumen dan vagina dari hewan ruminansia.
Selain dari pada
itu bakteri yang bersifat anaerob ini juga didapatkan pada radang bernanah baik pada organ maupun traktus urogenitalis (Cowan, 1974). Propionibacterium Propionibacterium sering didapatkan sebagai penyebab panaritium.
Bakteri ini dapat ditemukan pada traktus intes-
tina1is dan diekskresikan me1a1ui tinja (Murry, 1947). Bakteri yang bersifat anaerob ini da1am sua sana aerob hanya tahan beberapa hari.
Di a1am bakteri ini didapatkan
da1am tanah atau lumpur di daerah peternakan sapi perah (Murry, 1947). ~
Lesio yang ditimbulkan oleh Propionibacte-
bersifat puru1enta (Berg dan Loan, 1975).
Faktor Predisposisi Kejadian panaritium erat hubungannya dengan beberapa hal atau keadaan yang diduga sebagai faktor predisposisi. Faktor predisposisi ini antara'lain ada1ah meningkatnya popu1asi bakteri terutama da1am kandang sehubungan dengan keadaan sanitasi kandang yang buruk, kerusakan jaringan lunak antar kuku oleh sebab penetrasi larva cacing atau
9 caplak dan kerusakan jaringan oleh sebab berbagai hal lainnya seperti pemotongan kuku yang terlambat, kurangnya pergerakan hewan diluar kandang, deformitas persendian kaki yang bersifat menurun. Sanitasi Tingkat sanitasi yang rendah antara lain disebabkan kandang jarang disapu dan drainage yang kurang lancar.
Se-
bagian bakteri penyebab panaritium kerena sifatnya yang anaerob akan hidup di alam lebih lama bila terlindung oleh bertumpuknya kotoran dan sua sana lingkungan yang lembab. Terutama untuk K.nodosus yang mempunyai peranan sebagai agen penyebab panaritium, suasana ini sangat menguntungkan untuk kelangsungan hidupnya (Holt, 1977).
Keadaan lantai
kandang yang selalu basah juga akan berpengaruh bur uk terhadap kesehatan kuku, sehingga mudah terserang panaritium. Kerusakan jaringan oleh sebab parasit Penetrasi dari larva cacing Strongyloides papillosus atau gigitan caplak Hyaloma dan Rhipicephalus pada jaringan lunak antar kuku pada hewan berkuku genap akan menimbulkan kerusakan jaringan tersebut (Lapace, 1956).
Hal ini akan
merupakan port d'entre terjadinya infeksi oleh mikroorganisme penyebab panaritium.
10 Kerusakan jaringan oleh sebab kelainan kaki Pada ternak sapi dan domba sering didapatkan pada kaki yang diduga bersifat menurun.
kelainan
Kelainan tersebut
lebih banyak dijumpai pada kaki belakang dari pada kaki depan (Edwards, 1980;
Allenstein, 1981).
Adapun kelainan
yang dimaksud ialah adanya kekakuan sendi-sendi kaki, sehingga hewan cenderung menyeret kakinya pada waktu ber ja.lan.
Trauma yang terjadi akibat menyeret kaki ini akan
menimbulkan lUka-luka yang kemudian bertindak sebagai port d'entre untuk terjadinya infeksi. Hewan selalu dalam kandang Raven dan Cornelisse (1971) menyatakan bahwa hewan ternak yang selalu berdiam dikandang maka peredaran darahnya akan kurang baik, sedangkan kaki dan teracak akan selalu menahan beban berat badan.
Bila kuku tidak dipotong secara
teratur, maka kuku yang menjadi lunak dan selalu menumpu berat badan ini akan memanjang dan mencuat keatas, sehingga berat badan ditumpu oleh teracak bagian belakang.
Tekanan
ini bila terus-menerus akan merusak jaringan sampai menimbulkan ulkus (Raven dan Cornelisse, 1971;
Allenstein, 1981).
Bentuk kandang dengan lantai dari kayu atau bambu yang tidal, rapat dapat menyebabkan kuku-kuku yang memanjang karena tidak dipotong masuk kedalam dan mengakibatkan jaringan antar kuku terbelah.
11
Kadar protein tinggi dalam pakan Harrow dan Mazur (1958) menyatakan bahwa kadar protein tinggi dalam pakan menyebabkan kadar N darah tinggi.
Hal
ini akan menyebabkan tidak sempurnanya pembentukan jaringan kuku, sehingga bila terjadi trauma yang ringan saja sudah mengkoyakkan jaringan tersebut. DIAGNOSA Diagnosa panaritium ditempuh berdasarkan tanda-tanda penyakit secara klinis.
Untuk mendeteksi agen penyebab pa-
naritium perlu dilakukan pemeriksaan laboratorik.
Dalam
pemeriksaan Iaboratorik ini perlu ketrampilan teknik dalam pengambilan spesimen dan teknik pemeriksaan bakteriologik. ~engambilan
dan Pengiriman Spesimen
Pengambilan spesimen dilakukan secara aseptis untuk tidak menyulitkan pemeriksaan dilaboratorium.
Kuku dan
jaringan sekitar kuku penderita dilap dan dicuci dengan lap dan air yang bersih.
Kemudian disekitar jaringan yang
mengalami lesio atau disekitar luka diusap dengan kapas yang dibasahi alkohol 70
%.
Dengan menggunakan pilinan
kapas bergagang yang steril korek bag ian luka sebelah daIam, yang masih dibawah kulit.
Pilinan kapas bergagang tersebut
. * dan dikirim kemudian dimasukkan kedalam transport medlum kelaboratorium untuk diperiksa. *Difco, Laboratories, Detroit, MI
12
Pemeriksaan Bakteriologik Spesimen dibiakkan pada dua lempengan agar darah, ya-
. * Brain Heart Infusion Agar yang ditambah 5 ltu
% darah
sa-
pi, kemudian dieramkan pada suhu 37°C selama 48 - 72 jam, masing-masing dalam suasana aerob dan anaerob. Bakteri pembentuk lesio bernanah yang bersifat aerob ialah Staphylococcus dan Corynebacterium, sedangkan Fusobacterium, Bacteroides, Propionibacterium, Peptococcus dan Peptostreptococcus bersifat anaerob (lihat Bagan I). Identifikasi bakteri isolat selanjutnya mengikuti cowan (1974) dan Holt (1977). Bagan I Spesimen
I
. Blakan agar darah
~70C,
48 - 72
ja~
Aerob
Anaerob
I Staphylococcus Corynebacterium
--
Coccus Gram +
.!
::itaphylo~
Ba~ng
tidak berspora Gram + I ba 0 te ~ Coryne
----------I Batang. Batang Gram Gram + Fuso1bacte rium Baoteroi-
~ Coccus
ProJionibacterium
d.e..s
Gram + Jepto_ coccus Peptostre pto_ coccus
coccus Sta phylococcus Koloni bulat, bertepi rata, permukaan cembung, berwarna putih porselin atau kuning keemasan.
::iecara mikroskopis
bakteri ini berbentuk bulat bergerombol dan bersifat gram positif. Sifat lainnya ialah tidak motil dan tidak *Difco, Laboratories, Detroit, MI
membentuk spora, uji katalase positif, serta uji oxidase negatif.
Bakteri ini memfermentasi glukose.
Untuk membedakan £.aureus yang bersifat patogen terhadap Q.epidermidis yang non patogen dengan melakukan uji mannitol dan koagulase. tol dan
S.aureus dapat memfermentasi manni-
mengkoagula~i-plasma'kelin6i,
_sedangkan §. epider-
midis menunjukkan reaksi negatif terhadap kedua uji tersebut. Corynebacterium Pada biakan agar darah Corynebacterium rnembentuk koloni bulat dan berwarna kelabu suram, serta membentuk zone hemolyse. Bakteri yang berbentuk batang, gram positif, tidak membentuk spora dan tidak motH ini, bersifat tidak tahan asam.
Bakteri ini juga menunjukkan reaksi positif pada
uji katalase dan negatif untuk uji oksidase, serta memecah karbohydrat secara fermentatif. Q.pyogenes yang berperanan sebagai agen penyebab panaritium dibedakan dengan Corynebacterium
!ill
lainnya karena
sifatnya mencairkan gelatin, urease negatif, memecah dan membentuk asam terhadap glukosa, laktosa, maltosa dan xylosa serta dapat memecah patio Fusobacterium dan Bacteroides Fusobacterium membentuk koloni bundar, permukaan cembung dan dikelilingi zona hemolyse. putih kotor atau kecoklatan.
Koloni ini berwarna
Bacteroides membentuk koloni
14
kecil, permukaan cembung atau cekung, serta bening atau agak suram. Kedua genera bakteri ini berbentuk batang, bersifat gram negatif dan tidak membentuk spora.
Bentuk batang da-
ri Fusobacterium ujung-ujungnya runcing sedangkan Bacteroides tumpul. Kedua genera ini juga dibedakan dalam sifat memfermentasi karbohydrat.
Fusobacterium membentuk asam butirat
sedangkan Bacteroides tidak membentuk asam butirat. Propionibacterium Koloni Propionibacterium berbentuk bulat, kecil, suram. Bakteri
batang, tidak membentuk spora, tidak
ini'b~rbentuk
bergerak dan bersifat gram positif. Uji katalase ia positif, memecah karbohidrat secara fermentatif dan menghasilkan asam propionat. E.acnes dan E.granulosum, dua spesies yang mempunyai sifat sangat mirip.
Yerbedaan kedua spesies ini ialah
E.acnes indol positif dan mencairkan gelatin, sedangkan ~.granulosus
menunjukkan reaksi negatif.
Peptococcus dan Peptostreptococcus Kedua genera ini adalah bakteri berbentuk coccus, gram positif yang tumbuh dalam biakan anaerob . . Keduanya menunjukkan reaksi katalase negatif. Peptococcus
adalah bakteri berbentuk coccus yang ber-
susun bergerombol .. sedang .Beptostreptococcus adalah coccus yang berbentuk rantai.
15
Peptococcus memfermentasi glukosa, Peptostreptococcus selain glukosa juga memfermentasi Iaktosa dan maltosa dan keduanya tidak memfernentasi sukrosa. PENG."NDALIAN Panaritium adalah peradangan nekrotik pada kulit dan jaringan Iunak dian tara kuku dari hewan berkuku genap. Peradangan ini bersifat infeksius dan kontagius, sedangkan kejadiannya dapat berjalan secara akut atau kronis.
Pera-
dangan ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain ialah adanya kelainan kuku dan infeksi oleh beberapa jenis bakteri.
Usaha pengeridalHln panari tium dapa t di tempuh de-·' ,c.
ngan tindakan pencegahan dan pengobatan • .l:'encegahan Untuk mencegah terjadinya panaritium, dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan kuku dan mencegah terjadinya infeksi.
Kesehatan kuku Pemotongan dan perawatan kuku sebaiknya dilakukan secara teratur yaitu dengan membuang sebagian jaringan tanduk kuku yang sudah kelihatan panjang dengan menggunakan pisau pemotong kuku.
Pembuangan jaringan tanduk kuku sebaiknya
diusahakan seimbang antara kaki sebelah kanan dan sebelah kiri supaya sikap berdiri hewan seIaIu dalam keadaan wajar. Selain itu konstruksi bangunan lantai kandang dapat dibuat dari beton dan diberi pelapis karet atau dapat pula lantai
16 dibuat dari papan.
Apabila lantai kandang terbuat dari pa-
pan maka diusahakan tidak mempunyai celah yang lebar, maksudnya agar kaki tidak terpelosok (Raven dan Cornelisse, 1 971 ) •
Hewan sebaiknya digembalakan atau diberi kebebasan bergerak diluar kandang untuk menjaga kesehatan kuku, dan tiap dua minggu diusahakan memindahkan tempat penggembalaan supaya hewan tak mengalami infeksi ulang (Stableforth dan Galloway, 1959).
Faktor makanan perlu pula diperhatikan
yaitu dengan tidak memberi makanan yang terlalu banyak protein, atau sebaiknya memberi pakan dengan berbandingan konsentrat dan serat kasar 40 : 60.
Disamping itu haruslah
mengandung cukup mineral dan vitamin, seperti Ng, :On, Se, Cu, Ca, P serta vitamin A, D dan E (Allenstein, 1981). Mencegah terjadinya infeksi Sanitasi lingkungan perlu diperhatikan yaitu dengan menyapu kotoran yang menumpuk dikandang dan dilanjutkan dengan tindakan desinfeksi dengan menggunakan phenol 2
%.
Selain itu diusahakan agar kandang mempunyai sistem drainage yang baik ,Stableforth dan Galloway, 1959). Di Australia khususnya pada ternak domba biasa dilakukan vaksinasi dengan menggunakan bakterin dalam emulsi minyak, yang mengandung 2,5 x 10 9 sel/ml dari Bacteroides nodosus (Egerton dan Merritt, 1973).
Vaksinasi mulai di-
berikan pada umur 15 minggu (Tizard, 1982) dan diberikan satu bulan sebelum musim hujan tiba.
Karena pada umumnya
17 peledakan penyakit ini terjadi pada musim penghujan.
Vak-
sin tersebut diberikan secara subkutan dengan dosis 2 ml per hewan (Egerton dan 11erri tt, 1973).
Pengulangan vaksi-
nasi sebaiknya dilaksanakan 6 bulan sekali (Seddon, 1965). Pada sapi biasa dilakukan vaksinasi dengan menggunakan bakterin dalam adjuvan aluminium potasium sulfat yang berisi Fusobacterium necrophorum (oeddon, 1965).
Vaksinasi
mulai diberikan pada umur 6 bulan (Tizard, 1982) dan diberikan satu bulan sebelum musim hujan datang.
Vaksin terse-
but diberikan secara subkutan dengan dosis 4 ml per hewan (Siegmund, et al, 1979).
1'engulangan vaksinasi sebaiknya
dilaksanakan 6 bulan sekali loeddon, 1965). Uisamping vaksinasi perlu pula dilakukan pemberantasan vektor seperti misalnya larva c;trongyloides papillosus, Hvaloma dan l{hipicephalus.
Larva strongyloides papillosus
dapat terberantas dengan cara menggunakan gentian violet yang dioleskan pada kaki, mengering\(an kandang atau menggembalakan hewan dengan berpindah-pindah tempat dalam periode tertentu.
Cara yang tersebut terakhir ini dimaksudkan
untuk memo tong siklus hidup dari pada larva Strongyloides papillosus.
Hyaloma dan Rhipicephalus dapat dibasmi dengan
cara dipping atau menggunakan alat semprot yang diisi laru, tan 0,9 % gamma BHCatau 0,02% arsenic trioxide serta pyrethrine atau acarisidal yang lain
l~apace,
1956).
18 Pengobatan Lesio yang terjadi pada kasus panaritium berupa kerusakan jaringan kuku disertai proses pernanahan bahkan sampai terjadi abces, yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
Oleh
sebab itu pengobatan dapat dilakukan dengan berbagai tahapan yaitu membuang jaringan yang nekrotik, membuka abces secara operatif serta memcuci luka atau merendamnya dengan 5 % ~u804 atau 5 %
~n004.
Selain itu untuk merendam luka
dapat pula digunakan campuran
~nS04
perbandingan 1 : 20, alkohol 70
dan kapur tohor dengan
% atau larutan formalin 1 %.
Setelah dicuci pada luka segar diberikan pengobatan dengan salep yang mengandung antibiotika atau kemoterapetika (Raven dan Cornelisse, 1971;
Siegmund, et al, 1979).
Macam-macam antibiotika yang sering digunakan antara lain Penicillin G potasium, tetracycline, erythromycin, tylosin tartrat.
Beberapa antibiotika selain diberikan
dalam bentuk salep dapat pula diberikan dalam bentuk cairan yaitu ditambah dengan 70 % etanol (Gradin dan Schmitz, 1983). Stableforth dan Galloway (1959) mengobati panaritium 10 % chloramphenicol, 15
dengan
% asam pikrat ditambah chloramphe-
nicol, 5 mg terramycin ditambah 50 000 unit polymycin B sulfat. Macam-macam obat kemoterapetika yang sering digunakan antara lain sulfonamide, chlorhexidine, 5 phenol, 4.6
% o-benzyl-chlor
% o-phenyl phenol, 4·.5 % p-tertiary amylphenol,
iodin, sodium bisulfat, sodium hypochlorite 5.25 dan Schmitz, 1983).
% (Gradin
Di Tasmania dalam mengobati panariti-
urn menggunakan campuran kaolin dan gliserin (Seddon, 1965).
19 Setelah obat salep atau cairan itu dioleskan atau dikompreskan pada bagian yang luka selanjutnya dilakukan pembalutan luka dan hewan diletakkan dalam kandang yang bersih (Raven dan Cornelisse, 1971). Obat antibiotika selain diberikan dalam bentuk salep maupun dalam larutan yang dioleskan untuk pengobatan lokal, dapat diberikan juga secara umum melalui suntikan atau cam puran makanan.
Gradin dan Schmitz (1983) mengatakan bahwa
panaritium terutama yang disebabkan oleh
~.nodosus
dapat
diobati dengan tetracycline yang diberikan per oral dengan dosis 22 - 55 mg/Kg berat badan/hari selama 5 hari, erythromycin diberikan intra muskular dengan dosis 20 mg/Kg berat badan/hari selama 5 hari.
Allenstein (1981) melaku-
kan pengobatan panaritium dengan penicillin yang disuntikkan intra muskular dengan dosis 10 000 unit / Kg berat badan/hari selama 5 hari, streptomycin yang disuntikan intra mUSkular dengan dosis 1,25 mg/Kg berat badan/hari selama 5 hari, spectinomycin diberikan intra muskular dengan dosis 4- - 5 mg/Kg berat badan/hari selama 5 hari.
Seddon
(1965) mengungkapkan bahwa di Australia dalam mengobati panaritium digunakan sulfa metathine dan sulfa guanidin. Obat ini disuntikkan dengan cara subkutan.
Selain itu Hall
(1977) dalam mengobati panaritium menggunakan sulfapyrimidine yang disuntikkan intra vena dengan dosis 0,15 gr/Kg berat badan/hari.
Ethylene diamine dihydroiododide (EDDI)
dapat digunakan untuk mengobati atau mencegah panaritium pada domba maupun sapi, yang biasanya dicampur dalam
20
makanan hewan.
Dosis obat ini untuk sapi 500 mg/hewan/hari
dan untuk domba 12 mg/hewan/hari (Gradin dan Schmitz, 1983). Di Francis, Yunani dan Ohio untuk mencegah panaritium pada domba pernah digunakan znS0
yang dicampur dalam makan4 an dengan dosis 0,5 gr/hewan/hari (Gradin dan Schmitz, 1983).
III.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Panaritium merupakan tanda klinis yang berupa lesio nekrotik dan supuratif pada jaringan diantara kuku-kuku dari hewan berkuku genap (Berg dan Loan, 1975; 1977;
Siegmund, et aI, 1979).
Buxton dan Fraser,
Lesio yang serupa dapat di-
buat secara eksperimen pada kelinci (Buxton-dan Fraser,"'1977) dan jugadapat pula terjadi pada kuda (Stableforth dan Galloway, 1959), meskipun kedua jenis hewan ini tidak termasuk jenis hewan berkuku genap.
Pada kuda lesio yang terja-
di terdapat pada daerah koroner (Stableforth dan Galloway, 1959) • Jenis hewan berkuku genap yang sering terserang panaritium ialah sapi, domba dan babi (Siegmund, et aI, 1979). Sapi yang cenderung suka berbaring (Allenstein, 1981), hal ini disebabkan timbulnya rasa sakit pada waktu ia berdiri atau berjalan.
Terlepasnya kuku pada domba yang menderita
panaritium khronis (Egerton dan Robert, 1969), kemungkinan karena domba ini cenderung berjalan bertumpu pada lutut dan akibatnya kukunya terseret dan akhirnya terlepas.
0edang-
.
kan pada babi panaritium yang terjadi lebih bersifat akut . dan umumnya diakhiri dengan kematian yang disebabkan sepsis (Siegmund, et al, 1979).
Babi yang terserang panaritium
pada kaki belakang, bila berjalan rnenyerupai berjalannya angsa (Siegmund, et aI, 1979).
22
Di luar negeri kejadian panaritium umumnya lebih banyak timbul pada kaki belakang.
Hal ini kemungkinan dise-
babkan kaki belakang lebih sering berkontak dengan tinja dan basah oleh air kemih serta lantai kandang yang datar ikut menunjang kejadiannya, karena bertumpuknya tinja serta air kemih disekitar kaki belakang.
Di Indonesia khususnya
di peternakan sapi perah rakyat di daerah Pangalengan kabupaten Bandung, panaritium menyerang kaki belakang maupun kaki depan.
fllenurut pengamatan penulis hal ini erat hubung-
annya dengan bentuk lantai kandang, . perawatan kuku yang kurang teratur dan tingkat sanitasi kandang yang rendah. Hewan yang lebih banyak diam didalam kandang akan mengakibatkan pertumbuhan kukunya memanjang, karena kaki bagian bawah akan selalu menahan berat badan.
Bila perawatan dan
pemotongan kuku tidak dijalankan dengan baik, maka kuku yang memanjang ini dapat masuk ke dalam celah-celah lantai yang umumnya terbuat dari papan atau bambu.
Masuknya kuku
kedalam celah lantai kandang ini menyebabkan jaringan antar kuku mudah terkoyak.
Keadaan sanitasi kandang yang
kurang baik, yaitu oleh bertumpuknya tinja dan selalu dalam keadaan basah, selain dapat mempengaruhi kesehatan kuku juga dapat merupakan sumber infeksi yang potensial dari agen penyebab panaritium. Panaritium yang merupakan penyakit bersifat kontagius dan infeksius tRaven dan Cornelisse, 1971), mudah ditularkan dari hewan ke hewan.
Adapun
bakteri~bakteri
penyebab
infeksi ini umumnya bersifat anaerob dan di alam dapat diketemukan dalam tanah, tanah berlumpur dan tinja.
Bakteri-bakteri
penyebab panaritium ini selain dapat menimbulkan lesio
23 yang nekrotik juga menimbulkan lesio supuratif.
Berg dan
Loan (1975), Siegmund, et al (1979) mengemukakan bahwa yang termasuk agen penyebab panaritium adalah bakteri-bakteri genera Fusobacterium, Bacteroides, Corynebacterium, Staphylococcus; Peptococcus, Peptostreptococcus dan Propionibacterium.
Sebagai agen penyebab panaritium bakteri penginfeksi
ini umumnya tidak didapatkan secara tunggal. Diagnostikum panaritium dapat di1akukan secara k1inik dan diteguhkan secara laboratorik.
Secara 1aboratorik atau
t)akteriologik di tu.jukan 'untuk mendeteksi bakteri penyebab infeksi, sehingga dapat dilakukan tindakan pengobatan dengan antibiotika maupun dengan cara vaksinasi yang tepat. Mengingat agen penyebab panaritium umumnya tidak tunggal, maka untuk mendeteksi bakteri sebagai kausa primer panaritium disuatu tempat, diper1ukan beberapa spesimen yang berasal dari beberapa penderita di daerah tersebut. Tindakan pencegahan dengan cara vaksinasi ini telah dilakukan di Australia pada·ternak domba .dengan menggunakan bakter~~.d~lam ~~u~siminyak'yang
nodosus.
mengandung Bacteroides
Vaksin~tersebut:,diberikan
secara subkutan dengan
dosis 2 ml per hewan. (Egerton dan Merritt, 1973).
Vaksina-
si pada domba mulai diberikan pada umur 15 minggu (Tizard,
1982).
Pada sapi biasa dilakukan vaksinasi dengan menggu-
nakan bakterin dalam adjuvan aluminium potasium sulfat yang berisi Fusobacterium necrophorum (Seddon, 1965).
Vaksin
terse but diberikan secara subkutan dengan dosis 4 ml per hewan (Siegmund, et a1, 1979).
Vaksinasi pada sapi mulai
24
diberikan pada umur 6 bulan (Tizard, 1982).
Pengulangan vak-
sinasi sebaiknya dilaksanakan 6 bulan sekali (Seddon, 1965). Menurut Tizard (1982) perlakuan vaksinasi tersebut dimaksudkan agar dapat menggertak pembentukan antibodi, karena antibodi yang diperoleh dari induk sudah mulai menghilang.
Apa-
bila vaksinasi diberikan sebelum umur tersebut malahan akan menurunkan kekebalan yang diperoleh dari induk.
Di Indonesia
pengendalian panaritium umumnya dilakukan dengan meningkatkan sanitasi kandang, memelihara kesehatan kuku dan pemberantasan parasit.
Terhadap hewan penderita dilakukan tindakan
operatif yang diikuti pengobatan dengan antibiotika, serta meletakkan hewan di kandang yang kering dan bersih. Dalam usaha pengembangan ternak sapi perah panaritium merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai, disamping beberapa penyakit yang lainnya seperti mastitis, gangguan metabolisme dan gangguan reproduksi.
Kerugian oleh sebab
panaritium segera dapat terbaca berdasarkan turunnya produksi khususnya pada sapi perah ialah turunnya produksi susu (Edwards, 1980).
Menurut pengamatan penulis sewaktu mela-
kukan praktek daerah di Pangalengan kabupaten Bandung, kerugian berupa penurunan produksi susu akibat panaritium ini dapat mencapai 40 %.
IV.
SARAN
Dalam rangka pengembangan ternak sapi perah di Indonesia, panaritium merupakan salah satu penyakit yang berpengaruh terhadap penurunan produksi susu.
Oleh karena itu
perlu difikirkan usaha-usaha pengendaliannya.
Karena pada
umurnnya kejadian panaritiurn ini erat hubungannya dengan pemeliharaan sapi perah yang kurang baik, maka perlu diadakan penyuluhan khususnya kepada petani peternak dalam hal kesehatan kuku dan tindakan sanitasi kandang. Pemikiran usaha pengendalian panaritiurn dengan cara vaksinasi dapat disarankan.
Untuk ini perlu didahlilui bleh
suatu penelitian tentang agen penyebab panaritium, sehingga selanjutnya dapat dibuat vaksin yang sesuai dengan keperluannya.
DAFTAR PUSTAKA
Allenstein, L. C. 1981. Veterinary Journal.
Lamenesses of Cattle. 22: 65 - 67
Canadian
Berg, J. N. dan Loan, R. W. 1975. Fusobacterium necropho~ and Bacteroides melaninogenicus As Etiologic Agents of Foot Rot in Cattle. American Journal Veterinary Research. 36, 8, 1115 - 1122 Buchanan, R. E. dan Gibbon, N. E. 197th Bergey's Manual of Determinative Ba cteriology ..·8 ed. The Williams and Wilkins Company. Baltimore. Buxton, A. dan Fraser, G. 1977. Animal Microbiology. Blackwell Scientific Publication Oxford. London. 151 - 183 Cowan, S. T. 1974. ~anual for The Identivication of Medical Bacteria. 2 ed. Cambridge University Press. London. Direktorat Kesehatan Hewan. 1981. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Jilid IV. Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta. Direktorat Bina Program. 1983. Pokok-Pokok Kebijaksanaan Operasional Pembangunan Peternakan di Dalam Repelita III (1979 - 1983). Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta. Dubos, R. J. 1948. Bacterial and Mycotic Infection of Man. J. B. Lippincott Company. London. Edwards Barrie. 1980. R, 4, 25 - 31
Foot Lameness in Cattle.
Practice.
Egerton J. R. dan Robert, D. S. 1969. The Etiology and Pathogenesis of Ovine Foot Rot Histological Study of The Bacterial Invasion. Journal of Comparative Pathology and Therapeutics. 79: 207 Egerton, J. R. dan Merritt, G. C. 1973. Serology of Foot Rot Antibodies Against ~usiformis nodosus in Normal, Affected, Vaccinated and Passively Immunised Sheep. Australian Veterinary Journal. 49: 139 - 145 Egerton, J. R. 1974. Significance of Fusiformis nodosus Serotype in Resistance of Vaccinated Sheep to Experimental Foot Rot. Australian Veterinary Journal. 50: 59 - 62
27 Egerton, J. R. 1983. Foot Rot Control in Drought. Australian Veterinary Journal. 60, 10, 315 Egerton. J. R, Ribeiro. L. A, Kieran. P. J. dan Thorley. C. M. 1983. Onset and Remission of Ovine Foot Rot. Australian Veterinary Journal. 60, 11, 334 - 336 Fales, W. H. dan Teresa, G. W. 1972. A Selective Medium for The Isolation of Sphaerophorus necrophorus. American Journal of Veterinary Research. 33: 2317 Gradin, J. L. dan Schmitz, J. A. 1983. Susceptibility of Bacteroides nodosus to Various Antimicrobial Agents. Javma. 183, 4, 434 - 437 Hall,'H. T. E. 1977. Disease of Liverstock in The Tropics. Longman Group Ltd. London. th Harrow dan Mazur. 1958. Textbook of Biochemistry. 7 ed. W. E.. Saunders Company. London. Holt, J. G. 1977.' The ShortethBergey's Manual of Determinative B':;!cteriology. 8 ed. The Williams and Wilkins Company, Baltimore. Irianto Aman. 1984. Laporan Klinik Praktek Daerah di Pangalengan Bandung Selatan. FKH - IPB. Bogor. La pace, G. 1956. ~Bnnig "s Veterinary Helminthology and Entomology. 4 ed. Bailliere, Tindal and Cox Ltd. London. Murry, E. G. D. 1947. Bergey"s Manual of Determinative Bacteriology. The Williams and Wilkins Oompany, Baltimore. Merchant, I. A. dan Yecker, R. ~h 1961. Veterinary Bacteriology and Virology. 6 ed. Iowa state University Press. Iowa. Mitruka, B. M. dan Bonner. M. J. 1976. Methods of Detection of Bacteriology. C. R. C. Press Pennsylvania. Yelczar, M. J. dan Reid, R. D. 1958. Microbiology. Mc Graw - Hill Book Company, Inc. Tokyo. Richards, R. B, Depiazzi. L. J, Edwards. J .• R dan Wilkin;.son. F. C. 1980. Isolation and Characterisation of Bacteroides nodosus from Foot Rot Lesion of Cattle in Western Veterinary Journal. 56: 517 - 521.
28 Raven, E. T. dan Cornelisse, J. L. 1971. The Specific Contagious Inflamation of The Interdigital Skin in Cattle. Veterinary Medical Review. 223 - 245. Salle,tA' J. 1961. Fu~damental Principles of Bacteriology. 5 ed. McGraw -- Hlll Book Company, Inc. Tokyo. Seddon, H. R. 1965. Bacterial Diseases (Diseases of Domectic Animals in Australia). Comonwealth Departement of Health. Canberra. 1, 5, 170 - 171 Siegmund, O. H. dan {£aser, C. M, et al. 1979. The-Merck.vet. Manual. 5 ed. Merck and Co, Inc. Rahway, N.J. USA. Smedegaard, H. H. 1964. J!'oot Rot or Chronic Foot Rot in Cattle. Veterinarian. 2: 299 th Smith, A dan Conant, R. 1960. Microbiology. 12 ed. Appleton Century Croffs, Inc. New York. Stableforth, A. dan Galloway, L. 1959. Diseases Due to Bacteria.: Lutterworths Scientific Publication. London. Tizardnaan. 1982. An Introduction to Veterinary Immunology. 2 • W. B. Saunders Company. London.
LAM P I RAN
30 Lampiran 1. Data Kasus Penyakit yang Diobati di Wilayah Kerja KPBS Pangalengan
Nama Kasus
Tahun 1982
Tahun 1983
382
460
Pneumonia
78
124
Enteritis
414
251
Masti tis
961
520
Vaginitis
147
67
Tympani
330
347
Foo Rot
39
75
193
187
2147
_1432
Distokia
39
4-1
Endometritis
74-
77
Helminthiosis
43
51
Abortus
108
90
Absees
958
576
Sterili tas
226
170
66
58
Retensio Sekundinarium
Milk Fever Indigesti
Febris
31
Lampiran 2. Keterangan gam bar :
Beberapa Kelainan pada Kuku Sapi Akibat Panaritium
Gambar
1.
Bagian luar kuku belakang pada hewan sehat
2.
Bagian luar kuku belakang pada hewan yang terkena peradangan khronis
3.
Telapak kaki dari hewan sehat
4.
Telapak kaki dari hewan yang terkena peradangan khronis
5.
Kulit antar jari yang membusuk dilihat dari belakang
6.
Kulit antar jari yang membusuk dilihat dari samping
7.
Kulit antar jari dalam keadaan normal
8.
Kulit antar jari yang beradang dan basah
9.
Tanduk kuku yang mulai rusak
10.
Ulkus telapak kaki yang parah
11.
Jaringan lunak kuku robek disertai granuloma
12.
Permulaan ulkus telapak kaki
13. -Tanduk kuku rusak parah disertai kebengkakkan dan terlepasnya jaringan tanduk 14.
Peradangan jaringan lunak kuku yang khronis mengakibatkan kuku asimetris
15.
Peradangan jaringan lunak kuku yang khronis disertai timbulnya granulasi
16.
Eroliferasi jaringan pada tepi jaringan lunak kuku
32 17.
Lesio pada jaringan lunak antar jari
18.
Proliferasi jaringan disertai perdarahan pada jaringan lUnak kuku
19.
Keadaan tanduk kuku yang abnormal karena panaritium
20.
Keadaan tanduk kuku telapak kaki yang abnormal
21.
Kuku sebelum dipotong
22.
Kuku setelah dipotong
23.
Lesio jaringan lunak antar jari
24.
Lesio jaringan lunak antar jari pada hari ke empat setelah diinokulasi
~.melaninogenicu8
dan !.necrophorus 25.
Lesio 'jaringan lunak antar jari setelah tujuh hari diinokulasi
~.melaninogenicus
dan
!.necrophoruB 26.
Fistula pada daerah koroner karena panaritium
33
Ginb
1
Gmb
2
I
Gmb
3
Gmb
4
34
Gmb
Gmb
5
,
Gmb
1
Gmb
8
35
Gmb
Gmb
Gmb
9
11
Gmb
12
10
36
Gmb
Gmb
13
I I
Gmb
15
14
37
Gmb
Gmb
17
16
Gmb
18
38
Gmb
Gmb
19
21
Gmb
Gmb
20
22
39
G-mb
23
40
Gmb
24
41
Gmb
25
42
Gmb
26