RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 77/PUU-XII/2014 Kewenangan Penyidikan, Penuntutan dan Penyitaan Harta Kekayaan dari Tindak Pidana Pencucian Uang I.
PEMOHON Dr. M. Akil Mochtar, S.H., M.H. KUASA HUKUM Adardam Achyar, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Agustus 2014.
II.
OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap UndangUndang Dasar 1945.
III.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. 2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. 3. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menegaskan bahwa dalam suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan UUD 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. 4. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan Pemohon a quo.
IV.
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merasa hakhak konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 69, Pasal 76 ayat (1), Pasal 77, Pasal 78 ayat (1), dan Pasal 95 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kerugian konstitusional yang dimaksud Pemohon adalah V.
NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DI UJI A. NORMA MATERIIL Norma yang diujikan, yaitu: − Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n. − Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). − Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). − Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) − Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.
− Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidana Pencucian Uang kepada pengadilan negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap. − Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. − Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). − Pasal 95 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tindak Pidana Pencucian Uang yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu : − Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Negara Indonesia adalah negara hukum. − Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. − Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. − Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. − Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. VI.
ALASAN-ALASAN PEMOHON UNDANG-UNDANG A QUO BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945 1. Frasa “atau patut diduga” dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena frasa tersebut merupakan sesuatu yang sangat sulit ditemukan indikatornya secara pasti apalagi diimplementasikan tidak mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum; 2. Frasa “patut diduganya” dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, karena frasa tersebut menyebabkan anggapan bahwa dengan terpenuhinya unsur“patut diduganya” maka tidak diperlukan lagi proses pembuktian mengenai adanya “mens rea” atau tidak. Selain itu frasa tersebut merupakan konsep yang mengacu pada instrumen hukum UN Model sehingga tidak berakar dan bersumber dari Pancasila dan UUD 1945; 3. Kata “tidak” dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, karena ketentuan Pasal 69 merupakan implikasi dari adanya frasa “patut diduganya” dan menimbulkan seorang terdakwa dipidana dengan dakwaan yang belum terbukti secara materiil dan belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Hal tersebut tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 8 UndangUndang Kehakiman dan juga Pasal 14 angka 2 International Covenan Civil and Political Right; 4. Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan tindak pidana yang muncul dikarenakan tindak pidana asal, namun dengan adanya ketentuan a quo KPK menjadi tidak memiliki kewajiban untuk membuktikan tindak pidana asal tersebut (predicate crime) ; 5. Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memberikan kejelasan tentang siapa yang dimaksud dengan “Penuntut Umum”, dalam hal TPPU ini yang dimaksud dengan Penuntut Umum dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, dalam hal ini KPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan perkara TPPU, namun karena ketidakjelasan tersebut menimbulkan multi tafsir; 6. Pasal 77 dan Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak memberikan kejelasan tentang “harta kekayaan yang harus dibuktikan asal-usulnya” sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945;
7. Pasal 95 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, karena menyebabkan ketidakpastian hukum sehingga akan menimbulkan ketidakadilan; 8. Perbuatan KPK yang telah melakukan “penyidikan dan penuntutan” terhadap Pemohon dalam perkara TPPU berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 berdasarkan kewenangan yang menurutnya dimiliki oleh KPK merupakan tidakan yang memberlakukan surut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, ini bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon; 2. Menyatakan: a) Frasa “atau patut diduga” dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi “harta kekayaan yang diketahui akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n” b) Frasa “atau patut diduga” dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak mempunyai kekuatan mengikat sehingga ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Noomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi “harta kekayaan yang diketahui akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n” c) Frasa “atau patut diduga” dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi, “setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
d)
e)
f)
g)
dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak RP. 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah)” Frasa “atau patut diduga” dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak mempunyai kekuatan mengikat sehingga Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi, “setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak RP. 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah)” Frasa “atau patut diduganya” dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi “setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya, atas harta kekayaan yang diketahuinya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana maksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak RP. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah)” Frasa “atau patut diduganya” dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi “setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya, atas harta kekayaan yang diketahuinya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana maksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak RP. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah)” Frasa “atau patut diduganya” dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
h)
i)
j)
k)
Pidana Pencucian Uang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi menyatakan “setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah)” Frasa “atau patut diduganya” dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi menyatakan “setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah)” Kata “tidak” dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga Pasal 69 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi menyatakan, “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya” Kata “tidak” dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi menyatakan, “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya” Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyatakan “penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidana pencucian uang kepada pengadilan negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap” bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang tidak dimaknai “penuntut umum pada Kejaksaan RI wajib menyerahkan kepada
pengadilan negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap” l) Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyatakan “penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidana pencucian uang kepada pengadilan negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “penuntut umum pada Kejaksaan RI wajib menyerahkan kepada pengadilan negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap” m) Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bertentangan dengan UUD 1945; n) Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; o) Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bertentangan dengan UUD 1945; p) Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; q) Pasal 95 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bertentangan dengan UUD 1945; r) Pasal 95 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara dengan sebagaimana mestinya;. Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Catatan: − Perubahan pada norma yang menjadi dasar pengujian, yaitu dengan ditambahkan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.