RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 96/PUU-XI/2013 Pemenuhan Perjanjian Pekerjaan Waktu Tertentu, Perjanjian Pekerjaan Pemborongan, dan Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial I.
PEMOHON Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), dalam hal ini diwakili oleh Sofjan Wanadi dan Suryadi Sasmita selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal. KUASA HUKUM Dra. Endang Susilowati, S.H., M.H., dan Ibrahim Sumantri, S.H., M.Kn., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 26 September 2013.
II.
OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8) dan Pasal 66 ayat (4) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945
III.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji adalah: 1. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. 2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” 3. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman “salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar” 4. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan “dalam hal suatu UndangUndang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi” 5. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan Pemohon
IV.
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Pemohon adalah perkumpulan berbentuk badan hukum yang merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8) dan Pasal 66 ayat (4) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
V.
NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DI UJI A. NORMA FORMIL dan MATERIIL Norma yang diujikan, yaitu: 1. Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu 2. Pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan 3. Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu : Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat bangsa dan negaranya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
VI.
ALASAN-ALASAN PEMOHON UNDANG-UNDANG A QUO BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945 1. Terkait sifat dan jenis pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2) Undang-Undang a quo tidak diberikan penafsiran yang pasti oleh pembentuk Undang-Undang sehingga penerapan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang a quo menjadi multi tafsir baik pemerintah, pengusaha, pekerja/buruh;
2. Dalam pendapat Mahkamah dalam Putusan Perkara Nomor 27/PUUIX/2011 menyatakan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 59 bukanlah persoalan konstitusionalitas melainkan hanya persoalan implementasi, namun pada kenyataannya persoalan implementasi Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang a quo menjadi persoalan konstitusionalitas karena penegakan norma dilakukan tidak sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku; 3. Pasal 65 ayat (8) Undang-Undang a quo memberikan ketidakjelasan pada saat implementasi karena adanya penafsiran yang berbeda-beda, antara lain mengenai jenis pekerjaan yang dapat diserahkan melalui perusahaan pemborongan dan lembaga mana yang berwenang untuk menentukan terpenuhi atau tidaknya norma a quo; 4. Implementasi Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang a quo bersifat multi tafsir dari para stake holder bidang hubungan industrial di Indonesia, yaitu terkait dengan jenis-jenis pekerjaan yang dapat diserahkan melalui perusahaan pemborongan, lembaga mana yang berwenang untuk menentukan terpenuhi atau tidaknya norma a quo, dan mekanisme penegakan norma hukum apabila tidak terpenuhi syarat-syarat berkaitan dengan jenis pekerjaan yang diserahkan melalui Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja (PPJTK) dan legalitas syarat badan hukum PPJTK tersebut. VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan permohonan uji materiil (Judicial Review) Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusional bersyarat) sepanjang frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak dimaknai setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap dari badan yang melaksanakan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri; 3. Menyatakan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (konstitusional bersyarat) sepanjang frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak dimaknai setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap dari badan yang melaksanakan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri;; 4. Menyatakan Pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “demi hukum” dalam Pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak dimaknai setelah adanya
5.
6.
7.
8.
putusan berkekuatan hukum tetap dari badan yang melaksanakan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri; Menyatakan Pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (konstitusional bersyarat) sepanjang frasa “demi hukum” dalam Pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak dimaknai setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap dari badan yang melaksanakan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri; Menyatakan Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusional bersyarat) sepanjang frasa “demi hukum” dalam Pasal 66 ayat (4) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak dimaknai setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap dari badan yang melaksanakan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri; Menyatakan Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (konstitusional bersyarat) sepanjang frasa “demi hukum” dalam Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak dimaknai setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap dari badan yang melaksanakan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri; Memerintahkan agar putusan ini diumumkan dalam lembaran Berita Negara selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Catatan: Perubahan pada Petitum, yaitu : a) Permohonan Awal 1. Menerima dan mengabulkan permohonan uji materiil (Judicial Review) Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan 28D ayat (1) UUD 1945; 3. Menyatakan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
4. Menyatakan Pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; 5. Menyatakan Pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; 6. Menyatakan Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; 7. Menyatakan Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; 8. Memerintahkan agar putusan ini diumumkan dalam lembaran Berita Negara selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). b) Perbaikan Permohonan 1. Menerima dan mengabulkan permohonan uji materiil (Judicial Review) Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusional bersyarat) sepanjang frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak dimaknai setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap dari badan yang melaksanakan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri; 3. Menyatakan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (konstitusional bersyarat) sepanjang frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak dimaknai setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap dari badan yang melaksanakan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri;; 4. Menyatakan Pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “demi hukum” dalam Pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak dimaknai setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap dari badan yang melaksanakan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri;
5. Menyatakan Pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (konstitusional bersyarat) sepanjang frasa “demi hukum” dalam Pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak dimaknai setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap dari badan yang melaksanakan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri; 6. Menyatakan Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusional bersyarat) sepanjang frasa “demi hukum” dalam Pasal 66 ayat (4) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak dimaknai setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap dari badan yang melaksanakan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri; 7. Menyatakan Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (konstitusional bersyarat) sepanjang frasa “demi hukum” dalam Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak dimaknai setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap dari badan yang melaksanakan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri; 8. Memerintahkan agar putusan ini diumumkan dalam lembaran Berita Negara selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).