RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XV/2017 Nominal Transaksi Keuangan Mencurigakan, Kewajiban Pembuktian Tindak Pidana Asal, Penyitaan Kekayaan Diduga TPPU I. PEMOHON Anita Rahayu Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017 II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 8/2010) III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: -
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
-
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
-
Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
1
IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) Pemohon adalah warga Negara Indonesia yang telah dijatuhkan putusan pemidanaan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan Putusan Nomor 367/Pid.Sus/2016/PN.Jkt.Brt, tanggal 19 Juli 2016. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Norma materiil yaitu: 1. Pasal 1 angka 5 UU 8/2010; Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah: a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan; b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. 2. Pasal 69 UU 8/2010; Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. 3. Pasal 74 UU 8/2010; Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.
2
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 2. Pasal 28G ayat (1): Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. 3. Pasal 28H ayat (4): Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Kendati Pasal 1 angka 5 telah menentukan jenis-jenis transaksi yang dapat dikategorikan sebagai “transaksi yang mencurigakan” namun ternyata nilai nominal minimum agar suatu transaksi dapat dikategorikan sebagai “transaksi yang mencurigakan” ternyata tidak diatur dalam pasal ini; 2. Dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a jo huruf b terdapat suatu pedoman mengenai besar nilai nominal minimum dari suatu transaksi, yang dapat dikategorikan sebagai “transaksi yang mencurigakan” yakni sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah), namun nilai ini hanya secara samar saja dinyatakan, karena yang diatur adalah suatu kewajiban yang dibebankan ke pihak Penyedia Jasa Keuangan untuk membuat laporan ke pihak otoritas, yakni PPATK; 3. Hakekat dibentuknya Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah, untuk menjaring para pelaku kejahatan khususnya pelaku kejahatan kelas kakap, sehingga juga tentunya harus terdapat suatu batasan nilai nominal tertentu dari suatu tindak pidana asal agar kemudian untuk disamarkan oleh pelaku kejahatan tindak pidana asal sehingga dapat dikategorikan sebagai “tindak pidana pencucian uang”;
3
4. Patut dan wajar apabila dipertegas suatu batasan dalam bentuk nilai nominal transaksi minimum untuk dapat dikategorikan sebagai “transaksi yang mencurigakan” vide Pasal 23 ayat 1 huruf a jo huruf b, yakni sebesar Rp. 500.000.000
(lima
ratus
juta
rupiah)
dikarenakan
“transaksi
yang
mencurigakan” akan dapat berfungsi sebagai “bukti permulaan” atas dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang; 5. Berdasarkan Pasal 69 untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang, maka “tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu”, dan dalam hal ini seharusnya dipahami bahwa yang dimaksud dengan “tidak wajib dibuktikan terlebih dulu” adalah tidak wajib adanya putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht); 6. Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan Follow Up Crime karena Tindak Pidana Pencucian Uang tidak dapat berdiri sendiri dan harus didahului oleh Predicate Offense (Tindak Pidana Asal) dan sesungguhnya tergolong ke dalam perbarengan tindak pidana (concurcus realis), sehingga meskipun tindak pidana asal tidak harus dibuktikan terlebih dahulu, namun tindak pidana asal adalah wajib ada dan harus terdapat kesesuaian antara:
tempus de licti antara “tindak pidana asal” dengan “Tindak Pidana Pencucian Uang”;
nilai nominal hasil kejahatan dari tindak pidana asal;
7. Dengan ketidakjelasan dari Pasal 69 akan berakibat terciptanya asumsi, persepsi kesimpulan dari para aparat penegak hukum yakni: “tidak perlu adanya tindak pidana asal”.
Padahal yang dimaksud sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 69 adalah hanya sebatas mengenai waktu pembuktiannya saja, yaitu bahwa “untuk membuktikan perkara TPPU tidaklah wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”; 8. Pasal 74 tidak mengatur mengenai "penyidik yang berwenang untuk melakukan penyitaan dan atau pemblokiran" terhadap harta kekayaan tersangka yang diduga merupakan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana asal, sehingga Pemohon telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya sebagai akibat penyitaan dan pemblokiran yang sewenang-
4
wenang yang dilakukan oleh penyidik yang bukan merupakan penyidik "tindak pidana asal"; 9. Untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan (abuse of power) yang telah seringkali dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum, maka Pemohon memohon 1 (satu) ayat tambahan agar dapat mempertegas "siapa penyidik yang berwenang untuk melakukan penyitaan atas harta kekayaan yang merupakan tindak pidana pencucian uang" serta "besaran nilai nominal dari harta kekayaan yang disita". VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan bahwa Pasal 1 angka 5, Pasal 69 dan Pasal 74 - UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang "tindak pidana pencucian uang" adalah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), pasal 28G ayat (1) dan pasal 28H ayat (4) - UUD 1945 sehingga harus ditambahkan pada masing-masing pasal berupa huruf dan / atau ayat sehingga berbunyi sebagai berikut: - Pasal 1 angka 5 - UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang "tindak pidana pencucian uang": Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah: a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan; b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. e. berupa transaksi keuangan yang memenuhi kriteria huruf a dan/atau huruf b dan/atau huruf c dan/atau huruf d dan dalam jumlah paling sedikit Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu 5
kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; - Pasal 69 - UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang "tindak pidana pencucian uang": 1. Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. 2. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 (satu) tidak menghapuskan kewajiban terdapatnya Tindak Pidana Asal. - Pasal 74 - UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang "tindak pidana pencucian uang": 1. Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan
perundang-undangan,
kecuali
ditentukan
lain
menurut
Undang-Undang ini. 2. Penyitaan dan/atau pemblokiran terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana asal, dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal. 3. Nilai dari harta kekayaan yang disita dan/atau diblokir dan yang diduga merupakan tindak pidana pencucian uang adalah setara dengan besarnya nilai dari tindak pidana asal. 3. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Lembaran Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; atau apabila Mahkamah berpendapat lain mohon Putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).
6