RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 58/PUU-XIII/2015 Kualifikasi Selisih Perolehan Suara Peserta Pemilihan Kepala Daerah Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Penghitungan Perolehan Suara I. PEMOHON 1. Mohammad Ibnu (Pemohon I); 2. Fahatul Azmi Bahlawi (Pemohon II); 3. Octianus (Pemohon III); 4. Iwan Firdaus (Pemohon IV); 5. Muhammad Rizki Firdaus (Pemohon V). Semuanya secara bersama-sama disebut sebagai para Pemohon. Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Para Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” 1
2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang
terhadap
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)”; 3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; 4. Bahwa objek permohonan adalah
pengujian formil dan materiil Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara”. 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji.
2
c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya UndangUndang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 3. Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia merupakan
warga
Kota Tangerang Selatan
yang
yang menurut usianya
merupakan warga negara yang berhak mengikuti Pemilu. 4. Para Pemohon mendalilkan bahwa dengan berlakunya Pasal 158 ayat (1) dan (2) para Pemohon berpotensi dirugikan secara konstitusional yaitu sulit mendapatkan keadilan pada proses Pemilukada karena menurut pengalaman Pemilukada Kota Tangerang Selatan Tahun 2010 terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif karena di pasal tersebut menyatakan bahwa pengajuan permohonan persengketaan hasil pemilihan umum dibatasi secara kuantitatif. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dasar Pengujian Formil: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(UU
Pembentukan
Peraturan
Perundang-
Undangan) 1. Pasal 5 huruf e: “Dalam membentuk Peraturan Perundang-Undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi: kedayagunaan dan kehasilgunaan.”
3
2. Pasal 6 ayat (1) huruf g: “Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas keadilan.” Pengujian Materiil UU Pilkada: 1. Pasal 158 ayat (1): “Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan: a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi; b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta), pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi; c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi; dan d. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.” 2. Pasal 158 ayat (2): “Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan: 4
a. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota; b. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan apabila terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota; c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota; dan d. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota”.
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 1 ayat (3): “Negara Indonesia adalah negara hukum.” 2. Pasal 24 ayat (1): “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
5
3. Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa menurut Pemohon, secara formil UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 5 huruf e dan Pasal 6 ayat (1) huruf g UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan justru merupakan wujud dari degradasi pemenuhan hak hukum dan pencabutan hak konstitusional warga negara karena tidak benar-benar dibutuhkan dan tidak bermanfaat, serta tidak dapat memberikan keadilan yang proporsional Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal a quo mengatur pengajuan permohonan sengketa pemilihan kepala daerah ke Mahkamah Konstitusi terbatas pada selisih suara pemilih yang tidak melebihi dari 2%, 1,5%, dan 0,5% baik untuk pemilihan gubernur maupun bupati/walikota sesuai dengan aturan jumlah penduduk di wilayah pemilihan tersebut. 2. Bahwa bila ada calon tertentu yang telah dipilih rakyat seharusnya menang dalam Pemilu, kemudian menjadi tidak terpilih karena adanya kecurangankecurangan yang dilakukan oleh calon lainnya dengan selisih perolehan jumlah suara yang cukup lebar, maka pemilihan kepala daerah yang merupakan
sarana
untuk
rakyat
agar
terlibat
dalam
pembentukan
penyelenggaraan pemerintahan menjadi tidak terwujud, sehingga hal ini justru dapat menimbulkan pelanggaran terhadap hak dan kehendak rakyat sebagai warga negara dalam menentukan kepala daerah yang dipercaya mewakili rakyat. 3. Bahwa Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena bertentangan dengan prinsip dasar negara hukum yakni prinsip supremasi hukum, prinsip kesetaraan di hadapan hukum, dan prinsip penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
6
4. Bahwa ketentuan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada telah meminggirkan prinsip persamaan dalam hukum dan pemerintahan karena ada perlakuan berbeda antara warga negara yang masuk kualifikasi persyaratan yang dikualifikasikan oleh Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada dan warga negara yang tidak termasuk kualifikasi pasal a quo. 5. Bahwa ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 karena pembatasan pengajuan permohonan perselisihan hasil perolehan suara pemilihan kepala daerah ke Mahkamah Konstitusi telah membatasi Mahkamah Konstitusi untuk tidak berlaku merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dan berpotensi mereduksi peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dan penafsir UUD 1945. 6. Bahwa Pasal 158 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena mengandung norma yang berpotensi menyebabkan para Pemohon tidak memperoleh kepastian hukum yang adil dan diperlakukan secara berbeda dengan warga negara Indonesia lainnya yang berstatus sama dengan para Pemohon yakni para pemilih dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
bertentangan
dengan
asas
pembentukan
peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf e dan Pasal 6 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; 3. Menyatakan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang 7
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; 4. Menyatakan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya; 5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
8