KOTA (PUSAKA) SEBAGAI LIVING MUSEUM1 Widjaja Martokusumo Ketua Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB Email:
[email protected]
Kawasan Kota Bersejarah dan Konservasi Kawasan bersejarah atau kota lama di Indonesia mengalami tekanan pembangunan. Sudah bukan rahasia umum, bahwa aset budaya berupa bangunan dan kawasan kota lama/tua terancam oleh modernisasi. Pembangunan kota yang kurang dapat mengakomodasi kepentingan budaya, hanya berkonsentrasi pada fokus pembangunan ekonomi, seringkali mengakibatkan kota tidak lagi menyisakan warisan bersejarah, berupa bangunan dan kawasan lama sebagai tanda-tanda/penciri peradaban. Atas dasar pertimbangan dinamika pembangunan dan dampak pembangunan berupa potensi hilangnya warisan sejarah tersebut, maka sudah selayaknya dilakukan sejumlah upaya perlindungan. Pelestarian memang dilematis, pada satu sisi mencoba mempertahankan, namun di sisi lain justru harus mengakomodasi perubahan. Pengendalian perubahan merupakan salah satu hal penting dalam proses perlindungan aset bersejarah (Martokusumo/Zulkaidi, 2014). Implementasi kegiatan konservasi, sebagai payung dari kegiatan pelestarian, sebagaimana kerap diberitakan, masih bersifat trial dan eror, dan belum diformulasikan sebagai sebuah kebijakan publik. Sejumlah upaya telah dilakukan, namun memang persoalan implementasi di lapangan tidak mudah dan masih membutuhkan proses pematangan (Logan et al., 2002) Kriteria penetapan, penggolongan serta tindakan seperti apa yang mesti dilakukan, sejauhmana intervensi boleh dilakukan, seberapa besar perubahan dizinkan, serta implikasi terhadap setting lingkungan masih menyisakan sejumlah pertanyaan, misalnya adakah dampak terhadap keutuhan struktur/morfologi kawasan akibat sisipan bangunan baru (infill) selain persoalan visual? Selain itu ada perbedaan perlakuan (treatment) yang mendasar antara objek konservasi berupa bangunan tunggal dengan objek konservasi berupa kawasan. Perbedaan ini juga menimbulkan sejumlah catatan, yang perlu dituntaskan. Sehubungan dengan hal tersebut, UU 11/2010 Cagar Budaya secara eksplisit sudah menyatakan keberadaan kawasan cagar budaya, namun operasionalisasi dan implementasi proses perlindungan masih terbuka lebar. Sejumlah kecil kota besar memang sudah memiliki daftar bangunan/kawasan yang dilindungi, namun implementasinya belum secara eksplisit merujuk kepada arahan yang baku. Sebagai sebuah wacana pelestarian berbasis kawasan (area-based conservation), bukanlah sesuatu yang baru, karena Konvensi UNESCO 1972 tentang kategori cultural heritage juga menyatakan adanya situs (sites), selain kelompok bangunan (groups of building) dan monumen (monuments). Hingga saat ini dalam praktek kegiatan pelestarian masih masih bersifat eksperimental. Berbeda dengan museum, kota merupakan sebuah organisme hidup, dan kota memuat segala cerita kehidupan masyarakatnya, sehingga tidak mungkin me-museum-kan kota. Cerita akan tanda-tanda peradaban tersebut mesti dipertahankan untuk dapat diteruskan kepada generasi selanjutnya. Oleh karenanya, tanda-tanda berupa kawasan kota lama sudah semestinya dan perlu dimanfaatkan kembali, sebagai penyertaan fabric kedalam kerangka modernisasi. Di dalam pemanfaatan tersebut, perlu ada penafsiran, yakni memberi makna kembali melalui perubahan dan penyesuaian fungsi dan aktivitas. Pada dasarnya, perubahan dan penyesuaian fungsi/aktivitas dan fisik menjadi bagian utama dalam kegiatan pelestarian. Tidak heran, bila
1
Makalah disampaikan dalam diskusi Temu Pusaka Indonesia 2014, di Galeri Cemara, Jakarta, 7-9 September 2014. Materi tulisan ini dikembangkan dari materi diskusi bulanan dewan pakar Badan Pelestarian Pusaka Indonesia, W. Martokusumo (2014). “Pelestarian dan Perencanaan/Perancangan Lingkungan Binaan. Sejumlah Catatan Diskusi untuk Konsep dan Implementasi Pelestarian.”
Kota (Pusaka) Sebagai Living Museum
1
konservasi atau pelestarian, seringkali disebut sebagai kerja budaya. Hal ini mengindikasikan adanya proses belajar dan bagaimana keberlanjutan artefak dapat sekaligus menjadi bagian dari kebutuhan kontemporer. Hal yang sulit dihindari adalah sebuah keniscayaan, bahwa konservasi harus menjadi kerangka kebijakan modernisasi, selaian kenyataan bahwa kegiatan pelestarian tidak bisa dilepaskan di dalam konteksnya, yakni masyarakat itu sendiri. Terkait dengan kemiripan peran museum sebagai wadah penyimpan memori kolektif, makalah ini membahas potensi kota dan kemungkinan pendekatan dalam memanfaatkan tanda-tanda peradaban untuk memperkaya kualitas kota. Konservasi Lingkungan Perkotaan Menurut Ouf (2001) selama lima dekade terakhir konservasi lingkungan perkotaan (urban conservation) telah berkembang secara signifikan menjadi bagian dari disiplin rancang kota (urban design), yang secara khusus menangani upaya-upaya perlindungan kawasan kota tua/bersejarah. Awalnya, kawasan kota lama/bersejarah hanya dianggap sebagai tempat (locus) bagi monumen atau objek arsitektur yang dilestarikan. Konservasi lingkungan perkotaan ini ternyata juga menarik minat para perancang dan pengelola kota, yang perduli terhadap pembentukan identitas kota dengan nilai kesejarahan sebagai bagian dari identitas kota yang otentik. Selain itu, khususnya dalam dekade terakhir ini, terindikasi meningkatnya peran perancang kota (urban designer) dan tumbuhnya pemahaman baru tentang urban heritage juga membawa kebaharuan dalam pendekatan praksis dan teoretis pada kajian lingkungan perkotaan. Diskursus terkini tentang pelestarian lingkungan perkotaan (urban conservation) tidak lagi sekedar dibatasi pada upaya mempertahankan keaslian (authenticity)2 sejarah kota, namun justru lebih banyak membahas penciptaan pengalaman urban (experience) yang khas serta tetap memiliki identitas kesejarahan. Oleh karena itu, upaya untuk mewujudkan sebuah sense of place dinilai jauh lebih penting ketimbang hanya sekedar melakukan restorasi (detail) elemen fisik urban. Penciptaan suasana (experience) ini bisa dilakukan melalui (lih. Martokusumo, 2011 dan Ouf, 2001) tindakan-tindakan sbb.: a. pemilihan kawasan-kawasan (bersejarah) kota yang perlu dilestarikan, b. pemilihan bagian kota yang penting bagi upaya pelestarian/konservasi, dan c. melalui pemilihan elemen-elemen khas urban, misalnya RTH, badan air, aktivitas dlsb., yang memang perlu dipertahankan. Terkait bahasan urban conservation di atas, Punter dan Carmona (1997), menegaskan bahwa gagasan tentang kelestarian kualitas ruang kota (urban space) telah mewarnai diskusi tentang pelestarian/konservasi lingkugan perkotaan (urban conservation) modern. Wacana ini bertolak dari kondisi, bahwa dari pengalaman internasional kegiatan pelestarian lingkungan perkotaan (urban conservation) memang memperlihatkan adanya kepentingan yang berseberangan (conflicting interest) antara displin arkeologi dan displin rancang kota (Ouf, 2001). Arkeologi memiliki fokus kajian pada restorasi monumen sebagai objek, sedangkan disiplin rancang kota (urban design) secara tegas menyatakan pentingnya kelestarian semangat zaman (spirit of the past) melalui kualitas ruang kota. Meski demikian, pada prakteknya Ouf (1999) melihat adanya potensi kolaborasi antara arkeolog, perencana kota, arsitek, arsitek lanskap dan perancang kota demi terujudnya pengalaman urban yang utuh dan memiliki identitas kesejarahan. Untuk mencapai tujuan tersebut masing-masing disiplin,
2
Berbeda dengan pemahaman dunia Barat tentang authenticity yang lebih menekankan pada ranah material/fisik, Larkham (1996) menjelaskan bahwa otentisitas, khususnya pemahaman di dunia Timur, tidak sekedar berada pada tataran material objek (fabric). Konsep authenticity (keaslian) justru dipahami pada aspek kelestarian dari tradisi dan teknik membangun, serta pada kelestarian fungsi/pemakaian yang menjamin kelangsungan/keberadaan artefak tersebut. Pendlebury (2009) dan Orbașli (2008) mencontohkan dengan kasus kuil Shinto di Jepang. Penghancuran dan rekonstruksi bangunan yang terjadwal dinilai, sebagaimana tersirat di dalam Dokumen Nara (1994), sebagai sebuah upaya pelestarian tradisi membangun yang tidak melulu kepada budaya material (tangible), serta mengilustrasikan siklus kehidupan yang sesungguhnya yang sarat makna (intangible).
Kota (Pusaka) Sebagai Living Museum
2
arkeolog dan perancang kota, harus bisa menerima kenyataan adanya diversifikasi upaya tentang metodologi, yang bervariasi dari mulai pekerjaan restorasi monumen, rehabilitasi bangunan, pembuatan replika bangunan yang telah hancur, dan bahkan hingga kepada upaya pelestarian kawasan/situs. Pada realitanya, pelestarian kawasan bersejarah kota (urban heritage conservation) memang bukan sekedar upaya untuk mempertahankan dan menciptakan hubungan visual yang harmonis antara bentuk-bentuk lama dan baru. Pemanfaatan bangunan-bangunan tua pada kawasan bersejarah memiliki kontribusi penting dalam upaya peningkatan kualitas kawasan, dan sekaligus membuka peluang proses apresiasi budaya. Oleh karenanya, penciptaan sense of place lebih dari hanya sekedar mengembalikan keaslian (authenticity) kawasan kota. Intervensi fisik (new in-fill developments) justru harus dibuat lebih bermakna dan responsif, demi terjaminnya keberlanjutan sosial, budaya dan lingkungan. (lihat Martokusumo, 2011; Ouf, 2001 dan Ouf, 1999) Artinya, pelestarian melalui intervensi fisik mesti dipahami pula sebagai sebuah upaya atau kegiatan berkelanjutan dalam membentuk lingkungannya.3 Diskusi tentang urban conservation ini mengungkapkan adanya pergeseran substansi desain sebagai sekedar “penampilan eksternal”. Perhatian tidak sekedar pada bahasan ranah townscape, tetapi mencakup ranah publik dan ruang publik, serta pergeseran fokus kepada persepsi publik dan penciptaan pengalaman/suasana yang ditawarkan oleh keberadaaan bangunan dan ruang kotanya. Pergeseran dan perubahan tersebut berkaitan dengan perkembangan pendekatan pelestarian kontemporer, dimana fokus tidak lagi hanya pada bangunan tunggal, tetapi secara substansi dan spatial meluas, karena adanya pertimbangan fungsional maupun kesadaran dari aspek ekologis. Hal ini menjadi sebuah legitimasi bahwa adanya perubahan, pergeseran dan perluasan makna, membutuhkan pengkajian dan pengujian ulang terhadap kebijakan perlindungan yang ada (Jokilehto, 1999). Dalam hal ini maka, perancang kota perlu lebih kritis ketika membaca/menafsirkan otentisitas di dalam konteks urban, mengingat kompleksitas urban sebagai objek dan keberhasilan untuk mencapainya. Singkatnya, konservasi lingkungan perkotaan dianggap berhasil bila bersifat responsif dan memiliki kontribusi nyata. Pelestarian Berbasis Kawasan Kualitas tempat yang khas memang tidak sekedar dibentuk oleh bangunan saja, tetapi juga oleh elemen rancang kota lainnya seperti: pola dan struktur jalan, jalur pedestrian dan batasbatas kawasan, material bangunan dan bahan penutup jalan, fungsi bangunan campuran khusus, ruang-ruang publik dan privat, seperti misalnya kebun, taman, daerah/ruang hijau, pepohonan dan street furniture, yang secara keseluruhan memiliki kontribusi signifikan, termasuk aktivitas khas dan semua elemen pentinglainnya yang diyakini juga merupakan bagian dari karakter cagar budaya (Burgess dan Tuvey, 2005). Dengan demikian, pelestarian berbasis kawasan4 diperlukan untuk melindungi kawasan berkarakter, baik karena pertimbangan rona (setting) lingkungan dan/atau makna yang memiliki kontribusi signifikan. Bila dikaitkan dengan pemikiran keberlanjutan dalam pembangunan kota, pelestarian berbasis kawasan ini, di negara-negara industri, bertalian erat dengan model-model pembangunan
3
Perlu dipahami bahwa skala intervensi pada pelestarian kawasan cagar budaya kota lebih kompleks dibandingkan dengan pelestarian bangunan tunggal. Oleh karena itu dalam konteks authenticity akan sangat sulit intervensi dalam skala kawasan kota (urban setting) dibandingkan dalam skala bangunan. Pada kenyataannya keinginan untuk mempertahankan keaslian lingkungan kota masih sangat dominan, ketimbang upaya untuk menawarkan pengalaman urban. Tantangan kedepan justru bagaimana pelestarian kawasan cagar budaya bisa dilakukan untuk memperkuat pengalaman urban yang khas (urban authenticity) tanpa harus mengorbankan kondisi eksisting dari keaslian detail arsitektural, komunal dan fitur urban lainnya 4 Bila dicermati dari tinjauan sejarah perkembangannya, pelestarian berbasis kawasan termasuk kedalam fase akhir kegiatan pelestarian, yang tentu saja lebih kompleks dibanding pada tahap awalnya (Martokusumo/Zulkaidi, 2014; Martokusumo, 2011 dan Larkham, 1996).
Kota (Pusaka) Sebagai Living Museum
3
yang ramah lingkungan. Di dalam model pembangunan tersebut terdapat juga upaya-upaya penguatan kemampuan kota/tempat dalam menjaga kelangsungan struktur sosial-ekonominya. Selanjutnya, elemen rancang kota (urban design elements)5 akan digunakan untuk menciptakan wadah bagi keberlanjutan struktur sosial-ekonomi kawasan. Dengan demikian, upaya-upaya untuk membangun kota yang berkelanjutan seharusnya juga didasari oleh motivasi untuk menciptakan lingkungan yang berkualitas, termasu penguatan jejaring sosialekonomi kawasan. Dalam konteks ini, Moughtin (2005) ingin mengingatkan kembali bahwa selaian aspek fungsional, kualitas lingkungan perkotaan juga turut ditentukan oleh nilai-nilai estetika. Berbeda penanganan pada pelestarian bangunan (architectural conservation) yang bersifat lebih sederhana, maka penciptaan kawasan pelestarian lingkungan perkotaan (urban conservation) memerlukan sejumlah pertimbangan.6 Terkait hal ini, Ouf (2001) menjelaskan bahwa identitas fisik kesejarahan dari sebuah rona kota dapat berasal dari koridor jalan, massa bangunan, dan keseluruhan karakter kotanya. Dengan demikian, sebagai konsekuensinya, fokus dari kegiatan pelestaruan lingkungan perkotaan adalah sbb. (Martokusumo/Zulkaidi, 2014): a. Dapat berupa pendekatan berbasis elemen sirkulasi/jalan, dimana upaya pelestarian akan tertuju pada penanganan bangunan dan fitur-fitur urban sepanjang sebuah koridor utama, b. Merujuk kepada bangunan dan fitur-fitur urban yang berada di dalam sebuah kawasan tertentu (kota) yang berkembang dengan batas-batas yang jelas (area-based conservation atau area-bound approach), dan c. Berkaitan dengan penerapan konsep sense of place pada sebuah kawasan (inti) urban tertentu, untuk membentuk suasana pelestarian yang kuat serta mendukung upayaupaya lanjut pelestarian. Prospek Pelestarian Pengelolaan bangunan dan lingkungan bersejarah memerlukan komitmen dan partisipasi yang luas. Memang tidak mudah untuk menempatkan pelestarian menjadi bagian dari kerangka politik kebijakan modernisasi pembangunan. Melihat hakekatnya, pelestarian acapkali dianggap merupakan hambatan pembangunan dan modernisasi. Dengan meningkatnya kompleksitas dan dinamika pembangunan persoalan ini menjadi semakin jelas. Bagaimanapun, sebagaimana terlihat pada realitasnya, mengakomodasi permasalahan sosial, ekonomi, ekologi serta aspek terkait lainnya dalam paket kegiatan konservasi memerlukan upaya ekstra. Dalam hal ini diperlukan kecermatan, kepekaan dan daya cipta. Mengedepankan pembangunan budaya dan peradaban tidaklah berarti solusi para arsitek terhadap masalah pelestarian bangunan lama boleh mengabaikan kehidupan ekonomi setempat. Selain harus menjadi bagian dari apresiasi budaya, kegiatan pelestarian ini harus mengakomodasi kepentingan ekonomi juga. Dari berbagai kajian empiris, upaya pelestarian ini lekat dengan usaha memulihkan kembali kawasan-kawasan yang telah jenuh (urban regeneration). (Hurley, 2010; Timothy dan Nyaupane, 2009 dan Logan et al., 2002) Penguatan ekonomi yang terarah dapat memperkuat kestabilan sturktur sosial yang pernah ada, melalui program penguatan komunitas lokal.
5
Pada dasarnya, kawasan pelestarian lingkungan perkotaan (urban conservation area) mencakup elemen signifikan urban, yakni bangunan dan ruang (kota) sebagai sebuah kesatuan unik, yang mencerminkan karakter kawasan dan identitas tempat. 6 Pelestarian arsitektur/architectural conservation (Orbașli, 2008) kini memposisikan dirinya sebagai sebuah disiplin keilmuan di antara sains material pelestarian dan pengelolaan berkelanjutan dan lingkungan binaan bersejarah (cagar budaya). Meski tidak harus selalu terkait dengan objek bangunan tungal, pertimbangan untuk pelestarian kelompok bangunan (ensemble) atau pun kawasan urban menjadi lebih kompleks.
Kota (Pusaka) Sebagai Living Museum
4
Dalam pemahaman inilah, keterkaitan antara keberadaan bangunan dan eksistensi masyarakatnya selalu menuntut interpretasi baru. Dengan demikian, seharusnya bangunan dan lingkungan lama sebagai aset budaya tidak lagi dianggap sebagai artefak sejarah belaka (komoditas), tetapi juga sebagai bagian dari proses investasi kegiatan lainnya yang mampu memberi perspektif kehidupan baru. Upaya untuk merelevankan dengan kebutuhan masa kini merupakan sebuah upaya pemberian makna baru bagi keberadaan objek pelestarian tersebut. Hanya dengan cara inilah, maka upaya untuk menyertakan objek pelestarian sebagai bagian dari kerangka modernisasi dapat diimplementasikan untuk dapat terus merespons dinamika. Sebagai konsekuensi logis, para arsitek dan perencana atau pun para penentu kebijakan kota, harus mau membuka wawasan ekstra dan lebih sensitif terhadap isu-isu sosial dan ekologi dalam persoalan bangunan dan lingkungan lama/cagar budaya. Penutup Tulisan ini membahas relasi dan peran kota (bersejarah) terkait dengan potensi sebagai wadah/penyimpan tanda-tanda perdaban. Meski secara analogis terdapat kemiripan peran dengan museum sebagai tempat penyimpan, kota memiliki peran/persoalan yang lebih kompleks. Sebagai organisme hidup, dinamika kota sebagai lingkungan hidup sangat tinggi dan berbeda dengan museum. Namun demikian memori kolektif sebuah kota yang direpresentasian melalui bangunan dan kawasan bersejarah boleh jadi menjadi penciri sejarah panjang kota tersebut. Tidaklah berlebihan bila kota sebagai bentuk peradaban perlu menjaga dan melindungi tanda-tanda peradabannya. Selanjutynay ditegaskan kembali bahwa, berbeda dengan kegiatan pelestarian bangunan, pelestarian lingkungan perkotaan merujuk kepada kawasan ataupun daerah di perkotaan yang dinilai memiliki signifikansi tertentu. Pernyataan signifikansi ini disusun dari apresiasi terhadap konteks dan rona kota (urban setting) tersebut. Mengingat kompleksitas dan pengalaman empiris kegiatan pelestarian menunjukkan bahwa tantangan kedepan justru bagaimana pelestarian kawasan cagar budaya bisa dilakukan untuk memperkuat pengalaman urban yang khas tanpa harus mengorbankan kondisi eksisting dari keaslian detail arsitektural, komunal dan fitur urban lainnya. Makalah ini juga menawarkan pendekatan pelestarian berbasis kawasan (area-based conservation). Pendekatan ini adalah cara untuk menjaga aset kota yang memiliki kontribusi signifikan terhadap pembentukan kualitas (bagian) kota. Selain itu arahan perancangan, sebagai bagian dari mekanisme pengendalian, dan dukungan partisipasi luas dari komunitas dan stakeholders menjadi konsekuensi yang harus ditindaklanjuti. Referensi Burgess, R. dan Tuvey, W. (2005). Urban Conservation Areas Study for the Local and Central City Commercial Areas. Christchurch; Opus International Consultant ltd. Hurley, A. (2010). Beyond Preservation. Using public History to Revitalize Inner Cities, Philadelphia, Pennsylvania: Temple University Press Jokilehto, J. (1999). A History of Architectural Conservation. New York: Routledge. Larkham, P.J. (1996). Conservation and the city. London: Routledge Logan, W.S. et.al. (ed.). (2002) The disappearing “Asia” City: Protecting Asia’s Urban Heritage in a Globalizing World. Oxford: Oxford University Press. Martokusumo, W dan Zulkaidi, D. (2014). Heritage List. Some Notions on Area-‐based Conservation. Lesson Learned from Bandung. Proceeding on International Conference on Urban and Regional Planning, University Teknologi Malaysia, Skudai, Johor Bahru. ((http://tprgmice.wordpress.com/ conferencethemes/planning-and-managing-cities -at-risk/) Martokusumo, W. (2014). “Pelestarian dan Perencanaan/Perancangan Lingkungan Binaan. Sejumlah Catatan Diskusi untuk Konsep dan Implementasi Pelestarian.” Materi diskusi bulanan dewan pakar Badan Pelestarian Pusaka Indonesia, Agustus 2014 Martokusumo, W. (2011). Contesting The Past: Between Authenticity and Urban Conservation. Asean Journal on Hospitality and Tourism. Vol. 10, 1, July, hal. 63-‐76 Pendlebury, J. (2009). Conservation in the Age of Concensus. New York; Routledge Punter, J. and Carmona, M. (1997). The Design Dimension of Planning: Theory, Content and Best Practice for Design Policy. London: E & FN Spon.
Kota (Pusaka) Sebagai Living Museum
5
Orbașli, A. (2008). Architectural Conservation. Principles and Practice. Oxford: Backwell Publishing Ouf, A.M.S. (2001). Authenticity and the sense of Place in Urban Design. Journal of Urban Design 6/1, 73-‐86. Ouf, A.M.S. (1999). Urban conservation in practice and theory: shifting attitudes, in: Proceedings of Cairo University/Texas A&M University Conference on Planning Education for the 21st Century, 26-‐28 April Timothy, D.J. dan Yaupane, G.P. (eds.) (2009). Cultural Heritage and Tourism in the Developing World. A Regional Perspective. New York: Routledge.
Kota (Pusaka) Sebagai Living Museum
6