KORUPSI PERIZINAN KEHUTANAN (KASUS RIAU)
Penulis : Susanto Kurniawan Triono Hadi Raflis Rusmadya Made Ali
Di dukung oleh :
Page 38 of 85
Sekapur Sirih. Pembaca yang Budiman, Apapun upaya yang dilakukan untuk memberantas korupsi jika tidak ada penegakkan hukum yang memberikan efek jera, konsistensi akan kepastian hukum dan menjadikan korupsi sebagi musuh bersama, maka impian untuk menjadikan negri ini sebagai negri yang bersih dari praktek korupsi pastinya hanya akan menjadi impian belaka. Kecendrungan untuk mencari dan menciptakan celah sebagai pembenaran terhadap praktek korupsi yang dilakukan oleh pejabat dinegri ini menjadi salah satu penyebab penegakkan hukum tidak berjalan.Regulasi sebagai dasar hukum dalam implementasi cenderung dimultitafsirkan yang berujung kepada perbedaan pandangan, seperti perbedaan pengertian dan penafsiran terhadap defenisi illegal logging telah mendorong keluarnya SP3 terhadap 14 perusahaan di Riau yang nyata-nyata telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan. Perbedaan pandangan dari para saksi ahli terkait keluarnya SP3 kejahatan kehutanan dirasakan sangat tidak memenuhi rasa keadilan terhadap upaya penegakkan hukum disektor kehutanan. Dapat kita simak beberapa pendapat saksi ahli seperti berikut: Menurut Dr. Ir. Bejo Sentosa, Msibahwa pejabat yang berwenang dalam Kepmenhut No. 10.1/Kpts-ll/2000 dibenarkan menerbitkan IUPHHK-HT pada kawasan hutan produksi terbatas maupun kawasan hutan produksi tetap. Hal ini bertentangan dengan pendapat Prof. Bambang Hero,M.Agr, beliau adalah guru besar kehutanan IPB. Menurut Bambang, areal yang dapat dimohon untuk usaha hutan tanaman adalah areal kosong di dalam kawasan hutan produksi dan atau areal hutan yang akan dialih fungsikan menjadi kawasan kawasan hutan produksi serta tidak dibebani hak-hak lain. UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan juga PP No. 6 Tahun tentang pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan pada hutan produksi tidak mengenal hutan
Page |1
produksi terbatas maupun hutan produksi tetap. Istilah kawasan hutan produksi terbatas maupun kawasan hutan produksi tetap baru dikenal pada PP No. 44 Tahun 2004 tentang perencanaan Kehutanan. Ir. Sugeng Widodo menyatakan bahwa dalam penjelasan pasal 28 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dijelaskan, bahwa untuk menjaga kualitas lingkungan, maka didalam pemanfaatan hutan, sejauh mungkin dihindari terjadinya konversi dari hutan alam yang masih produksit menjadi hutan tanaman dengan kata lain hutan tanaman hanya boleh dilakukan pada areal hutan yang tidak produktif sesuai dengan Kemenhut No. 10.1 tahun 2000 dan Kepmenhut No. 21 tahun 2001 yang mengatur bahwa kawasan yang dapat dimohonkan untuk hutan tanaman adalah areal kosong dimana penutupan vegetasi berupa non hutan atau areal bekas tebangan yang kondisinya rusak dengan potensi kayu ulat berdiameter 10 cm untuk semua jenis kayu dengan kubikasi tidak lebih dari 5 m3 per hektar. Praktek korupsi di sector kehutanan terutama sekali dalam proses pemberian izin pengelolaan terhadap kawasan hutan, selalunya sarat dengan pelanggaran terhadap peraturan. Hal ini telah dibuktikan dari beberapa kasus korupsi yang melibatkan pejabat seperti mantan Bupati Pelalawan, mantan kepala dinas kehutanan, mantan Bupati Siak dan menyusul proses hokum terhadap Gubernur Riau. Pernyataan berikut ini dikemukakan oleh para saksi pada saat sidang Tipikor Korupsi perizinan sektor Kehutanan dengan terdakwa Mantan Bupati Pelalawan T. Azmun Jaafar, Mantan Bupati Siak Arwin As dan juga Suhada Tasman mantan Kepala Dinas Kehutan Propinsi Riau. Soenarijo Direktur PT. Siak Raya Timber menyatakan “Takut kalau tidak diberikan (uang) akan bermasalah, karena Pak Syuhda adalah Kadishut dan izin RKT berkaitan dengan kelancaran operasional perusahaan” Budi Artiful Direktur PT. Tenaga Kampar mengatakan bahwa “Dapat informasi dari orang kalau urus RKT harus serahkan uang. terbukti setelah
Page |2
diberikan uang tersebut, pengurusan RKT sudah lancar. Staf Dishut bilang uang itu untuk Kadis, semacam uang pelicin untuk mengeluarkan RKT. Ketidak konsistenan regulasi juga menjadi pemicu tumbuh suburnya praktek korupsi sektor kehutanan. Kriteria area yang diperuntukkan untuk pemberian izin bagi HTI seperti lahan kosong, alang-alang dan seterusnya nyata-nyata dalam implementasinya tidak berjalan. Untuk membuktikan ini dapat kita lihat dari kesaksian pada sidang salah satu pejabat di Riau yang tersandung masalah hukum. “Semua yang saya cek kelapangan berasal dari kayu hutan alam, bukan hutan tanaman “kata Zulfahmi AR, mantan subdin produksi pada dinas kehutanan Kabupaten Pelalawan. Lim Wi Lin direktur keuangan PT. RAPP menyebutkan bahwa seluruh volume kayu hasil land clearing yang telah dibeli oleh PT. RAPP dari perusahaan seperti PT. Selaras Abadi Utama dan lain-lain adalah berasal dari kawasan hutan alam. Yang melakukan land clearing tersebut adalah PT. RAPP. Pada tahun 2010 yang lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak memprioritaskan penanganan sembilan kasus dugaan korupsi di sektor kehutanan yang pernah dilaporkan ke KPK agar ditangani KPK pada tahun 2010 tersebut. Enam darisembilan kasus yang menarik perhatian publik tersebut terjadi di Riau yaitu pertama, Kasus RKT bermasalah yang diberikan oleh Gubernur Riau berinisial RZ pada tahun 2003-2006 dengan estimasi kerugian negara Rp 1,1 triliun. Kedua, Kasus pemberian izin IUPHHKHT oleh Bupati di 5 kabupaten di Riau terhadap 13 perusahaan dengan estimasi kerugian negara Rp 2,8 triliun. Dugaan pihak yang bertanggungjawab yaitu lima bupati di Riau. Ketiga, Kasus alih fungsi hutan di Kabupaten Pelalawan, Riau, dengan estimasi kerugian negara Rp 1,2 triliun. Dugaan pihak yang bertanggungjawab yaitu Gubernur Riau RZ, Bupati Kampar BU, mantan Kadinas Kehutanan AR, dan mantan Kadinas Kehutanan ST. Keempat, Kasus pemberian izin HTI di Kabupaten Siak oleh Bupati SIAK terhadap beberapa
Page |3
perusahaan di Siak. Dugaan pihak yang bertanggungjawab yaitu Bupati Siak dan Kelima, Kasus dugaan keterlibatan mantan menteri kehutanan dalam penyalahgunaan kewenangan untuk mempermudah pemberian izin di Riau, Sumatera Utara, dan daerah lain. Dugaan pihak yang bertanggung jawab yaitu Mantan Menteri Kehutanan. Dari enam kasus tersebut, lima kasus sudah memilki kekuatan hukumtetap dan menyusul satu kasus lagi yang melibatkan Gubernur Riau dimana saat ini yang bersangkutan sudah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka.
Page |4
I.
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Korupsi adalah satu kata yang saat ini menggerogoti hampir disetiap sendi dan denyut nadi kehidupan yang berhubungan dengan admnistrasi dan pelayanan public dinegeri ini. Korupsi tumbuh subur dalam relevansi fungsi pelayanan oleh pejabat Negara dengan masyarakat yang berposisi sebagai pihak yang dilayani.Keinginan untuk mendapatkan kemudahan, keuntungan dan perjuangan kepentingan pribadi atau golongan merupakan pupuk dan katalis yang ampuh untuk terciptanya iklim korupsi yang sehat. Korupsi
didefenisikan
secara
sederhana
sebagai
bentuk
penyalahgunaan wewenang atau jabatan public untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu (Lambsdorff 2003).Korupsi juga tergolong kedalam bentuk kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime), yang telah menyebabkan terjadinya kemiskinan dan kerugian terhadap Negara dan mestinyalah dijadikan musuh bersama. Korupsi di sector kehutanan terjadi mulai dari pra perizinan, pada saat izin sudah diperoleh sampai kepada pasca perizinan. Ruang korupsi sudah dibuka mulai dari proses penyusunan reguasi sampai kepada implementasi regulasi tersebut. Korelasi
kerusakan
hutan
dengan
Pelaku
tindak
pidana
Kehutananmeliputi; pelaku tindak pidana kehutanan tanpa izin, pelaku tindak pidana kehutanan dengan izin (menebang diluar kawasan yang diizikan) dan pelaku tindak pidana kehutanan dengan izin (memperoleh izin secara tidak sah).(Bahan presentasi KPK pada saat seminar dan koordinasi pemberantasan mafia hukum, 7 juni 2011). Modus tindak pidana korupsi sector kehutanan yang terjadi di Pelalawan merupakan contoh nyata bagaimana korupsi terkait dengan perizinan
dilakukan.
Berawal
dari
kebijakan
pemerintah
ketika
Page |5
diberlakukannya Otonomi Daerah, dimana ada pelimpahan kewenangan kehutanan kepada daerah telah menyebabkan Bupati Pelalawan tergoda untuk melakukan penyalahgunaan wewenang dengan mendirikan perusahaan untuk selanjutnya dilakukan take over kepada perusahaan pulp dan kertas yang ada di Kabupaten Pelalawan dengan mengabaikan proses perolehan IUPHHKHT secara sah, melakukan aktivitas penebangan yang tidak sesuai dengan ketentuan dan berakibat pada Kerugian Negara. Indonesia Corruption Watch (ICW) memperkirakan bahwa kerugian yang diderita negara akibat laju deforestasi hutan di Indonesia diperkirakan dapat mencapai hingga sekitar Rp71 triliun. Berdasarkan data riset ICW menyebutkan bahwa, kerugian dari aspek laju deforestasi hutan pada periode 2005-2009 mencapai 5,4 juta hektare atau setara Rp 71,28 triliun. Jumlah tersebut
terdiri atas kerugian nilai tegakan (Rp 64,8 triliun) dan provisi
sumberdaya hutan/PSDH (Rp 6,48 triliun). Hal itu diperkirakan juga masih dapat ditambah dengan kerugian yang diderita negara akibat dana reboisasi yang tidak didapatkan. Human Rights Watch (HRW) juga pernah meluncurkan riset pada 2009 yang menyebutkan bahwa praktik korupsi dan mafia sektor kehutanan setidaknya merugikan negara rata-rata Rp 20 triliun per tahun. Angka tersebut dinilai tidak sebanding antara risiko kerusakan dan kerugian yang diderita dengan pendapatan negara. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah merilis kajian terkait 17 masalah
sistemik
dalam
perencanaan
dan
pengawasan
kawasan
hutan.Sebanyak sembilan dari 17 masalah sistemik tersebut terkait masalah regulasi, tiga terkait kelembagaan, empat terkait Tata Laksana, dan satu terkait manajemen sumberdaya Alam. Rentannya perubahan peruntukkan kawasan hutan, perubahan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan terhadap praktik korupsi juga dipicu oleh proses pemberian izin yang tidak transparan, kompleks serta
Page |6
berada di ruang yang tumpang tindih. Tumpang tindih lahan ini menciptakan ketidakakuratan data, menciptakan konflik antar level pemerintah, memberi ruang luas bagi pejabat untuk melakukan interpretasi atau memakai kewenangan diskresi dalam pengambilan keputusan serta mendorong pemutihan atau penutupan tindakan dengan dalih administarasi. Potensi praktik korupsi di sektor kehutanan disebabkan oleh tiga hal yakni adanya biaya transaksi perizinan, masalah kebijakan perizinan kehutanan serta isi kebijakan (teks) dan praktiknya.Biaya transaksi muncul akibat ketergantungan calon pemegang izin kepada unit kerja atau pejabat untuk memperoleh pengesahan, rekomendasi atau penetapan tanpa disertai mekanisme secara terbuka. Biasanya, informasi obyek penilaian tersamar serta tidak adanya pihak ketiga yang menilai proses maupun hasil pengesahan, rekomendasi dan penetapan tersebut. (Hariadi Kartodiharjo). Tumpang
tindih
peraturan,
regulasi
yang
berubah-ubah
dan
inkonsistensi dalam implementasinya telah menjadi pemicu terjadinya permasalahan dalam pemanfaatan dan pegelolaan sektor kehutanan. Dari kajian Kebijakan Titik Korupsi dalam Lemahnya Kepastian Hukum pada Kawasan Hutan, KPK menemukan adanya ketidakpastian definisi kawasan hutan dalam UU no. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP no. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, SK Menhut no. 32 tahun 2001 tentang Kriteria dan Standart Pengukuhan Kawasan Hutan, dan Peraturan Menteri Kehutanan no. 50 tahun 2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan. Situasi tersebut memungkinkan terjadinya perlakuan memihak yang dapat dimanfaatkan untuk meloloskan pelaku illegal logging dari tuntutan hukum. Tulisan ini ingin memberikan gambaran bagaimana ruang korupsi tercipta atau diciptakan melalui pelanggaran atau pembuatan aturan utamanya dalam proses pemberian izin yang dapat dilihat dalam setiap
Page |7
periodenya. Periodeisasi tidak dihitung berdasarkan urutan tahun, akan tetapi lebih dititik beratkan kepada terjadinya perubahan terhadap regulasi. Dapat diambil contoh terkait dengan dinamika perubahan administrasi perizinan jika dilihat dari masa waktu, maka akan terlihat perubahan misalnya sehubungan
dengan
mekanisme
permohonan
pengajuan
izin
yang
berhubungan dengan syarat prosedur untuk luasan Kurang dari 10.000 Ha dengan Mekanisme Permohonan kepada Gubernur. Sementara syarat Prosedural untuk Luas 10.000 – 50.000 Ha dengan Mekanisme Permohonan kepada Menteri Kehutanan dan syarat Prosedural untuk Luas Lebih dari 50.000 Ha dengan Mekanisme Lelang. Sektor kehutanan merupakan sektor industry dengan revenue loss yang sangat tinggi di Indonesia. Hal itu diperkuat dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tahun 2011 bahwa kerugian Negara akibat pembalakan liar sebesar Rp. 83 Miliyar perhari atau Rp. 30,3 Triliun pertahun atau sebesar 70-80% produksi kayu bulat di Indonesia diestimasi datang dari kayu ilegal, sedangan penerimaan Negara yang dipungut dari nilai tegakan kayu baik dalam bentuk PSDH/DR mapun pungutan lainnya hanya 20-30% . Sumber Daya Hutan di Riau, kerugian uang Negara yang berasal dari sektor kehutanan tersebut berasal dari berbagai modus yang dilakukan oleh perusahaan maupun pemerintah yang tidak optimal dan sengaja melakukan pembiaran. Hasil audit BPK RI tahun 2009 menunjukkan PSDH / DR yang tidak terpungut sehingga mengakibatkan kerugian negara mencapai Miliyaran Rupiah. Selain fakta-fakta korupsi PBNP sektor kehutanan akibat dari tidak ektrasi ilegal yang dilakukan perusahaan, peluang korupsi PNBP sektor kehutanan (PSDH/DR) sebagaimana diuraikan diatas dapat dilihat dari hal penarikan, pengalokasian dan penggunaan (DR). Implikasi dari praktek buruk pengelolaan tata kelola kehutanan dinegeri ini setidaknya sampai saat ini masih menyisakan kesan negatif di mata masyarakat di Pulau Padang. Kebijakan yang diambil dalam penyelesaian
Page |8
konflik sosial akibat dikeluarkannya izin konsesi PT. RAPP dipulau padang tidaklah mampu menjawab substansi permasalahan sehubungan dengan keberlanjutan akses masyarakat terhadap sumberdaya alam (hutan) dan juga kepentingan aspek ekologi yang terabaikan mengingat pulau padang adalah kawasan gambut dalam.
1.2 TUJUAN Tulisan ini ingin memberikan gambaran atau mengilustrasikan bagaimana terjadniya praktek korupsi perizinan di sector kehutanan dikaitkan dengan rezim regulasi mulai dari UMH (Unit Management Hutan) mendapatakan izin sampai kepada izin didapat (operasional) termasuk titiktitik rawan terjadinya praktek korupsi sebelum unit management beroperasi sampai kepada pengawasan terhadap operasinya. Disamping itu, tulisan ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat sipil untuk berinisiatif melakukan perlawanan dan pengawasan terhadap praktek korupsi perizinan di sector kehutanan.
Page |9
II.
POTRET PERIZINAN HUTAN TANAMAN
Hutan berdasarkan UU 41 Tahun 1999 disebutkan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya dalam kenyaataan sehari-hari terdapat beda pandang implementasi tentang apa yang dimaksud dengan hutan tanaman. Berdasarkan PP No 6 Tahun 1999 Hutan tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif.
Selanjutnya juga
disebutkan tujuan pembangunan hutan tanaman (atau HTI/Hutan Tanaman Industri) antara lain adalah 1. Membangun hutan tanaman yang secara ekonomis menguntungkan, secara ekologis sehat, dan secara social bermanfaat bagi masyarakat setempat. 2. Meningatkan produktivitas hutan dalam arti meningatkan riap (growth Per ha/tahun), sehingga diperoleh volume akhir daur (yield) yang tinggi. 3. Memenuhi kebutuhan bahan baku industry yang ada (existing industry) serta yang akan dikembangkan. Pemahaman diatas inilah yang selanjutnya menimbulkan polemik didalam implementasinya dimana banyak kasus membuktikan bahwa benar terjadi peningkatan produktivitas produksi hutan tanaman dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industry pulp dan keras namun disisi lain kerusakan hutan berjalan parallel dengan peningkatan produktivitas tersebut. Pemberian izin pemanfaatan hutan memiliki resiko korupsi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari penyimpangan yang terjadi dalam proses pemberian izin yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penyimpangan pemberian izin ini dapat dilihat dalam kasus korupsi kehutanan di provinsi riau
P a g e | 10
yang telah melibatkan 2 bupati, 3 kepala dinas kehutanan yang telah divonis bersalah oleh pengadilan tindak pidana korupsi. Fenomena ini sebetulnya juga terjadi pada izin yang diterbitkan oleh mentri kehutanan, namun sampai saat ini belum ada upaya hukum untuk mempersoalkan izin tersebut. Secara umum pemberian izin konsesi dapat dibagi kedalam tiga tahap diantaranya: Pra Perizinan, Perizinan dan Pasca Perizinan. Tahap pra perizinan terkait dengan legalitas kawasan hutan pada areal yang akan diberikan izin serta perubahan ketentuan dalam pemberian izin. Tahap perizinan terkait dengan syarat syarat administrasi yang menyertai keluarnya izin.Tahap Pasca perizinan terkait dengan pelaksanaan ketentuan yang harus dilakukan pasca keluarnya izin. Ambisi Kementerian Kehutanan yang menargetkan tanaman HTI sampai dengan tahun 2009 seluas 5 juta hektar dan pada tahun 2014 seluas 9 juta hektar (tanaman HTI efektif sebesar 50% s/d 70 % dari luas izin /konsesi HTI) turut menjadi pemicu kerusakan dimana hutan produktif yang harusnya tidak dberikan izin untuk Hutan Tanaman atau HTI tetap saja menjadi target pemberian izin.
Gambar 1. Realitas Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan Indonesia (s/d Januari 2011).
P a g e | 11
BerdasarkanRENCANA KEHUTANAN TINGKAT NASIONAL (RKTN) 20112030 (lampiran P. 49/Menhut-II/2011) dimana sampai dengan Januari 2011 luas perizinan hutan tanaman
telah mencapai 9.393.535 hectare. Selanjutnya
sampai dengan 2030 target pembangunan hutan tanaman akan mencapai 15,9 juta hectare atau kebutuhan kedepan akan mencapai 6,5 juta hectare lagi. Untuk memenuhi pencapaian target pemenuhan penggunaan kawasan hutan untuk perizinan hutan tanaman, maka pengurusan perizinan IUPHHK-HT (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman) terkesan dipermudah walaupun dalam UU No 41 Tahun 1999 disebutkan usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan dilaksanakan pada Hutan Produksi yang tidak produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam (penjelasan Pasal 28 ayat (1). Selanjutnya PP 34 tahun2002 pasal 30 (3) disebutkan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar, maka jelas semangat dari Undang-Undang Kehutanan ini adalah melindungi dan mengendalikan hutan yang ada serta optimalisasi pemanfaatan demi kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan daya dukung dari pemanfaatan tersebut. 2.1 Potret Perizinan Provinsi Riau merupakan provinsi dengan tingkat pertumbuhan industry kehutanan yang massif di Indonesia. Setidaknya sampai tahun 2000 jumlah Industri kehutanan yang beroperasi di Propinsi Riau mencapai 312 unit yang terdiri dari Industri kayu lapis (plywood) 10 unit, sawmil 270 unit, moulding 27, chip mill sebanyak 3 unit dan 2 unit industri Pulp dan Kertas. Keseluruhan industri ini berkapasitas 4,9 juta ton/tahun dengan kebutuhan mencapai 15,8 juta m3/tahun. Pada hal kemampuan produksi hutan alam saat itu hanya sekitar 1,1 juta m3/tahun2. Kemudian pada tahun 2005 Dinas kehutanan Propinsi Riau mencatat terjadi peningkatan jumlah dan kapasitas
P a g e | 12
industry kehutan di Riau menjadi 576 Unit dengan kebutuhan bahan baku menjadi 22,7 juta M3/tahun3 (Jikalahari, 2009). Sejak Januari 2007 hingga awal 2008, Kepolisian Daerah Riau melakukan penyidikan kasus Tindak Pidana Pengerusakan Lingkungan Hidup dan illegal logging terhadap 21 perusahaan HTI. Pada 14 Desember 2007, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Bupati Pelalawan dengan tuduhan melakukan tindak pidana korupsi dengan menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2002 dan sejumlah peraturan lainnya selain itu juga menerima pemberian uang (gratifikasi) dari perusahaan yang menerima izin dari Bupati Pelalawan tersebut. Buntut dari penahanan Bupati Pelalawan ini, kemudian melibatkan beberapa mantan kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau yakni Ir Syuhada Tasman, MM, HAsral Rachman, SH dan Drs H Burhanudin Husin MM (sekarang Bupati Kampar) yang telah memberikan RKT (Rencana Kerja Tahunan) terhadap perusahaan yang terkait masalah Bupati Pelalawan tersebut. Proses penegakan hukum berkaitan dengan kasus kejahatan kehutanan bukan tidak mungkin akan menambah deretan pejabat pemerintahan yang terlibat di Riau melihat banyak persamaan kasus perizinan dengan apa yang dialami oleh Bupati Pelalawan. Melihat argumentasi argumentasi yang dikemukakan oleh para pejabat yang telah terseret dalam kasus kejahatan kehutanan di Riau, dapat ditarik kesimpulan bahwa muara dari terjadinya kasus-kasus ini adalah simpang siurnya kebijakan kehutanan yang ada, sehingga setiap pejabat pemerintah bisa mengartikulasikan kebijakan dengan presepsi yang berbeda.
P a g e | 13
Gambar 2. Illegal Logging di Riau (KPK, 2010)
Sejak tahun 1990 hingga saat ini, telah banyak peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait pembangunan HTI di Indonesia. Berdasarkan peraturan, pada awalnya HTI diusahakan pada kawasan hutan produksi tetap yang tidak produktif.
Namun pada tahun 2000, terjadi
perubahan, HTI diusahakan pada areal kosong di dalam kawasan hutan produksi dan/atau areal hutan yang akan dialih fungsikan menjadi kawasan Hutan Produksi serta tidak dibebani hak-hak lain. Pada tahun 2001, pembangunan HTI dilaksanakan pada kawasan hutan produksi dan keadaan vegetasi pada kawasan hutan produksi sudah tidak berupa hutan alam atau areal bekas tebangan dengan kriteria lahan hutan telah menjadi lahan kosong/terbuka, vegetasinya berupa alang-alang dan atau semak belukar, vegetasi hutan alam yang tidak terdapat pohon berdiameter diatas 10 cm untuk semua jenis kayu dengan potensi kurang dari 5 meter kubik per hektar atau jumlah anakan jenis pohon dominan kurang dari 200 batang per hektar.
P a g e | 14
Pada tahun 2002, pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar di hutan produksi. Pada tahun 2007, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif. Pada tahun 2008, hutan produksi yang tidak produktif adalah hutan yang dicadangkan oleh Menteri sebagai areal pembangunan hutan tanaman. Dengan berubah-ubahnya peraturan terkait areal yang dapat dikembangkan menjadi HTI, memberi peluang perusahaan HTI untuk mengambil area yang memiliki hutan alam yang masih bagus dibandingkan mengambil lahan yang benar-benar tidak produktif seperti padang alang-alang dan lainnya. Hal lain tentu saja, membuka ruang korupsi yang juga makin besar. Mekanisme perizinan usaha kayu dapat mempresentasikan praktek usaha pemanfaatan hasil hutan kayu secara keseluruhan dalam jangka waktu tertentu yang dapat juga mengilustrasikan titik rawan praktek korupsi perizinan dan atau potensi penghancuran hutan. Komitmen terhadap pembangunan hutan tanaman indutri dimana sebelumnya telah ada beberapa kebjakan turunan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Petentuan-ketentuan Pokok Kehutanan seperti Kepmenhut 320/Kpts-II/1986 dan 418/Kpts-II/1989 ditingkatkan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) dimana PP ini diterbitkan dengan pertimbangan bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam yang dapat
diperbaharui,
yang
perlu
dimanfaatkan
secara
lestari
bagi
pembangunan nasional secara berkelanjutan untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat. Dalam PP ini areal hutan yang dapat diusahakan sebagai areal HTI adalah kawasan hutan produksi yang tidak produktif (Psl 5 ayat (1) dimana kriteria hutan produksi yang tidak produktif ditandai dengan : i.
Pohon inti yang berdiameter > 20 cm, kurang dari 25 batang/ha.
P a g e | 15
ii.
Pohon induk < 10 batang/ha.
iii.
Permudaan alamnya kurang, yaitu : semai < 1000 batang/ha, dan atau pancang < 240 batang/ha, dan atau tiang < 75 batang/ha. Setelah PP No 7 Tahun 1990, pada 27 Januari 1999 diterbitkan kembali
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan Dan Pemungutan Hasil Hutan. Pada Hutan Produksi, dimana dalam PP ini Tujuan Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan adalah mewujudkan keberadaan sumberdaya hutan yang berkualitas tinggi, memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan ekologi yang maksimum dan lestari, serta menjamin distribusi manfaatnya secara adil dan merata, khususnya terhadap masyarakat yang tinggal di dalam dan atau di sekitar hutan. Selanjutnya areal yang dapat diberikan izin hutan tanaman yakni : a. Areal hutan yang dapat diusahakan sebagai areal HTI adalah kawasan hutan produksi yang tidak produktif (Psl 5 ayat (1). b. SK Menhut No. 200/Kpts-II/1994; kriteria HP tidak produktif ditandai dengan : Hak pengusaan hutan tidak dapat diberikan dalam areal hutan yang telah dibebani hak yang telah ada sebelumnya (Pasal 13).
Dalam kedua PP yang dikeluarkan sebelum UU No. 41 Tahun 1999 ini jelas menekankan pentingnya perlindungan ekologi dan kemanfaatan bagi masyarakat sekitar. Berikut dibawah akan dijelaskan kriteria perizinan berdasarkan kebijakannya (UU, PP dan peraturan pelaksanaannya) setelah UU 41 Tahun 1999 dimana ini bertujuan untuk memotret perbedaan kebijakan dalam kaitan dengan kriteria areal perizinan dan dugaan titik rawan praktek korupsi perizian sector kehutanan. UU No. 41/1999 & peraturan pelaksanaannya (sampai dengan 2001)
P a g e | 16
Terkait dengan syarat procedural secara umum yakni : 1. Hak Pengusahaan Hutan Tanaman diterbitkan oleh: Menteri Kehutanan ; atau Gubernur, dalam hal pelimpahan kewenangan oleh Menteri Kehutanan untuk luas areal di bawah 10.000 Ha 2. Izin diberikan tidak lebih dari 35 (tiga puluh lima) tahun ditambah 1 (satu) daur tanaman pokok. 3. Untuk satu pelaku usaha, luas Hak Pengusahaan Hutan Tanaman tidak melebihi: 100.000 Ha dalam satu Provinsi 400.000 Ha dalam Indonesia Khusus Provinsi Irian Jaya, 200.000 Ha dalam satu Provinsi 4. Dilakukan dengam mekanisme lelang, kecuali untuk izin yang luasnya 50.000 atau kurang Ha 5. Syarat Prosedural untuk Luas Lebih dari 50.000 Ha dengan Mekanisme Lelang : a) Lahan memenuhi seluruh kriteria berikut: Luas Hutan 50.000 – 100.000 Ha; Kawasan hutan produksi tetap yang tidak produktif; Tidak dibebani hak; Tersedia potret udara skala 1 : 100.000 berumur kurang dari 2 tahun saat pelelangan. b) Adanya pengumuman lelang oleh Kementerian Kehutanan melalui media masa nasional dan/atau daerah TK. I setempat; c) Adanya surat permohonan ikut lelang oleh pengusaha dengan menggunakan Bahasa Indonesia; d) Adanya surat penawaran dari pengusaha dilampiri dengan dokumen/informasi: e) Adanya proposal Teknis, yang mencakup: Rencana Pengusahaan Hutan
P a g e | 17
a.
Penataan Hutan : Keadaan hutan Penataan batas kawasan hutan Identifikasi lapangan dan potensi tegakan Penataan areal Pembukaan wilayah
b. Pemanfaatan dan pembinaan hutan: Sistem silvikultur Luas tebangan dan produksi kayu Pemanfaatan kayu Pembinaan/pemeliharaan tegakan sisa tebangan pilih (LOA) Penanaman tanah kosong Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Rencana Pembinaan Ekonomi : Kesempatan kerja Kemitraan dengan pengusaha kecil, menengah dan koperasi Pengalihan saham kepada koperasi Rencana Pembinaan Sosial : pengembangan sarana dan prasarana Kelembagaan (organisasi dan personalia) Rencana Investasi sesuai PSAK 32 (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) 6. Adanya surat Penetapan Pemenang Lelang oleh Menteri Kehutanan 7. Membayar IHPH-T sesuai dengan Surat Perintah Pembayaran IHPH-T
Terhadap kriteria areal yang dapat diberikan perizinan HTI :
P a g e | 18
a. usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan dilaksanakan pada Hutan Produksi yang tidak produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam (penjelasan Pasal 28 ayat (1) b. SK Menhut No. 10.1/Kpts-II/2000 tanggal 6 November 2000 Kriteria HP untuk HTI : penutupan vegetasi non hutan (semak belukar, padang alang-alang, dan tanah kosong) atau areal bekas tebangan yang kondisinya rusak dgn potensi kayu bulat berdiameter 10 cm utk semua jenis kayu dengan kubikasi tdk lebih dr 5m kubik perhektar (Bab III Pasal 3 ayat (4). c. IUPHHK-HT yg diterbitkan sebelum ditetapkannya keputusan ini tetap berlaku sampai berakhir masa berlakunya izin (Bab X psl 15 ayat (1) d. permohonan IUPHHK-HT yang telah mendapatkan persetujuan pencadangan, proses penyelesaian perizinannya dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan (Bab X Pasal 15 ayat (2). e. SK. Menhut No. 21/Kpts-II/2001 Tgl. 31/1/2001 dan SK Menhut No. 10.1/Kpts-II/2000, dicabut dengan SK Menhut No. 32/Kpts-II/2003 sehingga kriteria HP untuk HTI berlaku sesuai UU No. 41/1999. (Diutamakan pada HP yang tidak produktif)
Peraturan Pemerintah No 34/2002 tanggal 8 Juni 2002 dan kebijakan lainnya s/d 2006 Berdasarkan PP 34 tahun 2002 tentang TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN dimana usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman, dilaksanakan pada lahan kosong, padang alangalang, dan atau semak belukar di hutan produksi. (Pasal 30 ayat (3). Selanjutnya terkait dengan prosedur, berdasarkan Pasal 43 ayat (3) ditentukan bahwa pada dasarnya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan tanaman diberikan melalui penawaran dalam pelelangan;
P a g e | 19
Meskipun telah ada PP 6 tahun 2007 tentang TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN namun aturan ini menyebutkan bahwa semua peraturan perundangundangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4206), dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan pemerintah ini (pasal 143 PP No 6/2007) Terkait dengan aturan tata cara pemberian izin ada banyak peraturan yang mengatur mulai dari Kepmenhut 32/Kpts-II/2003 (5 Feb 2003) tentang PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM
ATAU
HUTAN
TANAMAN
MELALUI
PENAWARAN
DALAM
PELELANGAN, dimana aturan ini merupakan aturan pelaksanaan dari PP 34 Tahun 2002. Didalam aturan ini termasuk juga aturan-aturan lainnya menyebutkan bahwa Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan tanaman yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) adalah izin untuk memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari penyiapan lahan, perbenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu. Selanjutnya juga disebutkan bahwa pelelangan IUPHHK pada hutan alam atau hutan tanaman adalah cara untuk memperoleh IUPHHK pada hutan alam atau hutan tanaman melalui suatu penawaran terbuka, yang penyelenggaraannya diumumkan secara luas melalui media masa baik elektronik maupun media cetak, sehingga masyarakat luas yang berminat dapat mengikutinya. Dimana maksud pelelangan adalah untuk memberi kesempatan
yang
seluas-luasnya
kepada
masyarakat
yang
ingin
P a g e | 20
memanfaatkan hutan melalui izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam atau pada hutan tanaman. Berdasarkan pasal 3 dari Kepmenhut 32/Kpts-II/2003, status areal hutan yang dapat dilelang untuk dapat dibebani IUPHHK pada hutan alam atau hutan tanaman adalah : a. Hutan negara yang mempunyai fungsi sebagai hutan produksi b. Tidak dibebani hak/ izin lainnya c. Tidak ada konflik kepentingan didalamnya Selanjutnya di pasal 4 dilanjutkan, bahwa kriteria areal hutan yang dapat dilelang untuk dibebani IUPHHK pada hutan tanaman adalah : a. Lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar pada kawasan hutan produksi sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan tentang kondisi hutan berupa lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar pada hutan produksi yang dapat diberikan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman; b. Topografi dengan kelerengan maksimal 25% (dua puluh lima persen), dan topografi pada kelerengan 8% - 25% (delapan persen - dua puluh lima persen) harus diikuti dengan upaya konservasi tanah; c. Tidak ada konflik kepentingan di dalamnya atau tidak dibebani dengan izin di bidang kehutanan atau izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan usaha pertambangan dengan pola penambangan terbuka; d. Apabila telah ada hasil tata hutan pada hutan produksi, areal/ lokasi yang dimohon berada pada blok/ pengelolaan yang peruntukannya bagi usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman.
P.05/Menhut-II/2004 (10 Agustus 2004) tentang PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN
P a g e | 21
MELALUI PENAWARAN DALAM PELELANGAN, juga menyebutkan Status areal hutan yang dapat dilelang untuk dapat dibebani IUPHHK pada hutan tanaman (Pasal 4) adalah: 1. Hutan Negara yang mempunyai fungsi sebagai hutan produksi. 2. Tidak dibebani hak/izin lainnya.
Selanjutnya pada pasal 5 ayat (1) nya juga menyebutkan, bahwa kriteria areal hutan yang dapat dilelang untuk dibebani IUPHHK pada hutan tanaman adalah lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar pada hutan produksi sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. P.78/Menhut-II/2006 (29 Desember 2006) tentang TAMBAHAN (PERLUASAN) AREAL KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN juga disebutkan Persyaratan areal hutan yang dapat diberikan sebagai tambahan (perluasan) areal kerja IUPHHK pada hutan tanaman (Pasal 2): a. Hutan negara yang mempunyai fungsi sebagai hutan produksi; b. Tidak dibebani izin/hak lainnya; c. Letak areal tambahan (perluasan) berada di dalam atau bersinggungan dan satu hamparan dengan areal kerja pemohon; d. Memenuhi syarat untuk dijadikan areal kerja IUPHHK pada Hutan Tanaman.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan Jo PP No 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan
P a g e | 22
Point penting dari kebijakan ini, yakni : a.
PP 34/ 2002 dicabut.
b. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan pemerintah ini (pasal 143 PP No 6/2007) c.
Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif (Pasal 38 ayat (3). Lebih lanjut bahwa pengertian produksi yang tidak produktif adalah hutan produksi yang dicadangkan oleh Menteri sebagai areal pembangunan hutan tanaman.
Prosedur perizinan HTI berdasarkan kebijakan ini dan aturan turunannya : a) Di berikan untuk jangka waktu paling lama 100 tahun. b) Dilakukan
melalui
mekanisme
lelang,
Kecuali
bagi
izin
yang
permohonannya sudah dilakukan sebelum periode ini, serta sudah memperoleh persetujuan prinsip. c) Kriteria areal: Hutan produksi; dan Lahan kosong, alang – alang dan atau semak belukar d) Kriteria peserta lelang: Perorangan Koperasi BUMS (PT, Firma, CV) BUMN BUMD e) Surat permohonan untuk mengikuti lelang. f)
Kelengkapan administrasi lelang:
g) Adanya proposal teknis. Isi proposal teknis meliputi: Keadaan umum areal hutan yang meliputi:
P a g e | 23
a. Aspek biofisik : letak dan luas, topografi lapangan, jenis tanah, geologi, hidrologi, aksesibilitas, pembukaan wilayah dan infrastruktur yang ada, serta sarana dan prasarana lainnya; b. Aspek social, budaya dan ekonomi masyarakat setempat : data penduduk, keterkaitan tenaga kerja, Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB), multiplier effect hutan tanaman, sarana social, sarana ekonomi dan lembaga-lembaga social, budaya dan ekonomi yang ada serta dampaknya terhadap hutan tanaman; c. Aspek pengelolaan dan pemantauan lingkungan d. Perencanaan Pembangunan Hutan Tanaman : e. Rencana Pembangunan wilayah dan sejarah f. calon lokasi hutan tanaman; g. Penataan batas areal kerja; Pembagian blok/petak pemanfaatan hutan (compartement); Rencana tanaman
dan
penetapan
silvikultur,pemilihan
jenis
tanaman;
Pengaturan hasil hutan; Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) dan pengembangan pola kemitraan; Kegiatan pendukung, dan lain-lain. h) Surat Menteri tentang Penetapan Pemenang Lelang i)
Dokumen AMDAL dan UKL/UPL
j)
Bukti pembayaran IIUPH
k) Kesesuaian antara jumlah yang tertera dalam surat perintah pembayaran dengan jumlah IIUPH yang sudah dibayarkan l)
Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang IUPHHK yang dilampiri Peta Wilayah Areal Kerja
P.19/Menhut-II/2007 (28 Mei 2007) TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN DAN PERLUASAN AREAL KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN
P a g e | 24
KAYU PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI, yang merupakan aturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 terkait dengan ketentuan pasal 68 dan pasal 70 dari PP yang berhubungan dengan tatacara dan prasyarat permohonan izin hutan tanaman. Dari aturan P.19/Menhut-II/2007 dalam pasal 3 ayat (1) juga menyebutkan bahwa areal untuk pembangunan hutan tanaman adalah Hutan Produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani hak/izin lainnya. P.60/Menhut II/2007 (17 Desember 2007) tentang Perubahan Peraturan menteri No. 19/Menhut II/2007 tentang TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN DAN PERLUASAN AREAL KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI, dimana dalam peraturan ini hanya menambahkan satu pasal yang mengubah pasal 15 ayat (1) P.19/Menhut–II/2007 dari yang semula disebutkanPermohonan dalam pelelangan IUPHHK-HT yang telah mendapat penetapan
pemenang
sebelum
ditetapkannya
Peraturan
ini,
proses
penyelesaian selanjutnya mengikuti Peraturan dari P.19/Menhut II/2007 ini DIUBAH menjadi Permohonan IUPHHK-HT melalui pelelangan yang telah mendapat penetapan pemenang lelang, diproses berdasarkan peraturan sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/MenhutII/2007.
2.2 Titik Rawan Praktek Korupsi Perizinan Sebagaimana disebut diatas bahwa mekanisme perizinan usaha kayu dapat mempresentasikan praktek usaha pemanfaatan hasil hutan kayu secara keseluruhan dalam jangka waktu tertentu yang dapat juga mengilustrasikan titik rawan praktek korupsi perizinan termasuk potensi penghancuran hutan. Dilihat dari rentetan proses perizinan kesemuanya memiliki titik celah kerawanan korupsi terutama dalam hal areal perizinan Hutan Produksi yang
P a g e | 25
tidak produktif. Penentuan HP yang tidak produktif harusnya didasarkkan pada kriteria sebagaimana yang tertuang dalam aturan pelaksanaannya seperti berada dialang-alang, semak belukar, dan lainnya.Fakta yang terjadi izin tetap diberikan kepada hutan produksi yang relative masih dalam kondisi yang baik. Keluarnya PP 6 Tahun 2007 mengaburkan kembali istilah hutan produksi yang tidak produktif dikarenakan lebih lanjut bahwa pengertian produksi yang tidak produktif adalah hutan produksi yang dicadangkan oleh Menteri sebagai areal pembangunan hutan tanaman.
P a g e | 26
III.
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (Sektor Kehutanan)
PNBP merupakan salah satu sumber pendapatan Negara, dan oleh karena itu, PNBP dapat setiap saat digunakan untuk membiayai pelaksanaan tujuan Negara sebagaimana diamanatkan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.Penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang PNBP1. Walaupun semua PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke kas Negara, tetapi menurut pasal 8 ayat (1) UU PNBP, sebagian dana dari suatu jenis PNBP dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP tersebut. instansi yang berhak menggunakan adalah instansi atau berhak menggunakan adalah instansi atau unit kerja yang menghasilkan PNBP. Dalam setiap tahun anggaran, pencairan dana PNBP dilakukan dalam 4 tahap (triwulan). Dalam setiap triwulan, akan dilakukan rekonsisliasi data setoran PNBP antara departemen kehutanan dan departemen keuangan, yang disaksikana dengan instansi daerah yang membidangi sector kehuatan (Dinas Kehutanan). Rekonsiliasi tersebut untuk mengetahui kesesuaian diantara keduanya
sekaligus
untuk
meminimalisir
adanya
penyalahgunaan
kewenangan. Satuan kerja setiap daerah diberikan kewenangan untuk menggunakan dana PNBP berdasarkan surat edaran yang dikeluarkan oleh derektorat Jenderal Perbendarahaan Negara mengenai batas maksimal pencairan dana DIPA.
3.1 Mekanisme PemungutanPSDH dan Dana Reboisasi (DR) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sector kehutanan merupakan kumpulan dari berbagai sekor penerimaan, diantaranya adalah Provisi Sumber 1
Muhammad Dja’far Saidi dan Rohana Huseng, 2008, Hukum Penerimaan Negara Bukan Pajak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.6.
P a g e | 27
Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) yang diperoleh dari Iuran Pemanfaatan Kayu (IPK). Alur pungutan kedua penerimaan Negara bukan pajak ini, sebagaimana ditetapkan dalam peraturan menteri kehutanan P.18/Menhut-II/2007, tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan, Pemungutan dan Pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Sebagai tangungjawab penagihan atas PSDH dan DR pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan, berdasarkan LHP yang diterima dari perusahaan, kemudian Pejabat Penagih menerbitkan Surat Perintah pembayaran (SPP) baik SPP-PSDH maupun SPP-DR. Selanjutnya wajib bayar (WB) berdasarkan SPP tersebut menyetorkan ke kas Negara melalui bendaharawan bank yang telah ditentukan. PSDH atau Resources Royalty Provision adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intristik dari hasil yang dipungut dari hutan Negara atau dengan kata lain nilai hasil hutan yang menjadi bagian pemerintah sebagai pemilik aset. PSDH diantaranya dikenakan pada IPK bagi pemanfaatan kawasan hutan yang diubah statusnya menjadi bukan kawasan hutan. Sedangkan Dana reboisasi adalah dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan terkait lainnya. DR pada awalnya bukan dimaksudkan sebagai penerimaan Negara dari kegiatan pengusahaan hutan, melainkan sekedar dana jaminan atas kelestarian hutan, namun selama ini diberlakukan sebagai penerimaan Negara bukan pajak. Sama halnya dengan PSDH, DR juga dikenakan pada IPK bagi pemanfaatan kawasan hutan yang diubah statusnya menjadi bukan kawasan hutan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 18/MenhutII/2007 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan, Pemungutan, dan Pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi (DR) pasal 3 bahwa Hasil hutan yang dikenakan PSDH meliputi ; Hasil hutan kayu pada hutan alam dan atau hutan tanaman yang berasal dari hutan Negara.
P a g e | 28
Hasil hutan kayu atau bukan kayu yang telah ada dan tumbuh secara alami walaupun areal tersebut telah dibebani alas titel yang mengalami perubahan peruntukan menjadi bukan kawasan hutan negara Hasil hutan bukan kayu pada hutan alam dan atau hutan tanaman yang berasal dari hutan Negara.dll Pada pasal 4 P.18/menhut –II/2007 juga menjelaskan mengenai pengenaan DR dikenakan pada, Pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam.Pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman yang memanfaatkan kayu dari pembersihan (land clearing) areal hutan alam.Pemilik hasil hutan kayu yang telah ada dan tumbuh secara alami walaupun areal tersebut telah dibebani alas titel yang mengalami perubahan peruntukan menjadi bukan kawasan hutan negara.Dll. Merujuk pada Paraturan Menteri Kehutanan ini pula dalam pasal 6 disebutkan tentang tata cara pengenaan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) berdasarkan atas hasil hutan, hasil hutan bukan kayu dan hutan tanaman didasarkan pada LHP serta Pengenaan PSDH atas hasil hutan kayu dari hasil penjualan tegakan didasarkan pada LHP. Dengan demikian LHP adalah alat utama dalam bekerja bagi pejabat pemungut yang dibentuk di satuan kerja yang ada didaerah dalam memungut PNBP sektor kehutanan (PSDH/DR). Meskipun ada mekanisme cross check, dengan mempelajari Laporan Hasil Cruising (LHC) sebelum kegiatan penebangan kemudian dibandingkan dengan LHP, namun tidak berarti penerimaan PSDH/DR dari pelaku usaha hutan tanaman industri tidak terjadi kebocoran yang menyebabkan kerugian Negara. Lemahnya monitoring dan evaluasi (monev) PSDH/DR, sangat berpotensi terjadinya Kongkalikong antarapejabat teknis dengan perusahaan (pelaku konsesi hutan) dalam penerbitan Rencana Kerja Tahunan (RKT) sebagai dasar penentuan target PSDH/DR.
P a g e | 29
Gambar 3 Skema Pengenaan & Tata Cara Pembayaran PSDH dan DR PSDH-DR Pemegang IUPHHKH LHC Ke Bupati
LHP Ke Bupati
Bupati Memerintahkan Dinas Kehutanan Melakukan checking Crossing
Bupati Mengesah kan LHC Pemegang IUPHHKH (Wajib Bayar)
Laporan Pelunasan DRPSDH Ke Bupati
Bupati Memerintahkan Dinas Kehutanan Melakukan Pengukuran dan Pengujian Bupati Mengesah kan LHP
SPP PSDH-DR
Kas Negara SSBP-Lunas
SSBP
Laporan Pelunasan DRPSDH: - Provinsi - DJA - Menkeu - Menhut
Sumber: Hasil Olahan dari P.18/Permenhut-II/2007 dan Draf Revisi P.18/Mehut-II/2007 tahun 2012
3.2 PNBP Sektor Kehutanan, Pelepas Dahaga Rakyat Sektor kehutanan yang digadang-gadangkan mampu berperan, baik dalam pembangunan ekonomi maupun pembangunan lingkungan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 hanya isapan jempol. Selain dampak bencana alam seperti banjir yang terus bergulir silih berganti, konflik masyarakat akibat konsesi lahan, juga dilihat dari
P a g e | 30
PNBP sector kehutanan yang kecil, sangat memperkuat bahwa Negara gagal dalam menata kelola hutan. Selama kurun waktu 6 (enam) tahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Realisasi 2007- 2012 Perubahan), PNBP Sektor kehutanan hanya mampu menyumbang Rp. 16,0 Triliun lebih. Pada realisasi tahun 2007 sebesar Rp. 2,1 triliun, realisasi tahun 2008 Rp. 2,3 Triliun. Kemudian pada realisasi tahun 2009 Rp. 2,3 triliun, realisasi tahun 2010 sebesar Rp. 3,0 triliun. Selanjutnya realisasi tahun 2011 PNBP sektor kehutanan menyumbang APBN sebesar Rp. 3,2 Triliun dan pada tahun 2012 APBN P PNBP sektor kehutanan hanya menyumbang Rp.3,1 Triliun. Lihat gambar dibawah ini.
Gambar 4.Persentase PNBP Sektor Kehutanan dengan Total PNBP Pusat Dalam Realisasi APBN 2007 - 2012 Perubahan Persentase PNBP Sektor Kehutanan dengan Total PNBP Pusat Dalam Realisasi APBN 2007 - 2012 Perubahan
1.2% 1.0% 0.8%
1.1%
1.0%
1.0%
1.0%
0.9%
0.7%
0.6% 0.4% 0.2% 0.0% R 2007
R 2008
R 2009
R 2010
R 2011
P 2012
Sumber : Fitra Riau, diolah dari Dokumen NK RAPBN tahun 2013
Realisasi
APBN
tahun
2007
PNBP
sektor
kehutanan
hanya
menyumbang 1% terhadap total PNBP, Realisasi tahun 2008 0,7%. Sedangkan tahun 2009 PNBP sektor kehutanan menyumbang APBN sebesar 1%, realisasi tahun 2010 1,1%, realisasi tahun 2011 sebesar 1% dan tahun 2012 PNBP kehutanan dibandingkan dengan PNBP secara umum hanya menyumbang 0,9% terhadap PNBP.
P a g e | 31
Sumber penerimaan Negara sektor kehutanan terbesar yaitu pada Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Secara nasional sumbangan PSDH dan DR dapat dilihat pada grafik berikut ini yaitu ata-rata penerimaan dari PSDH dan DR dari tahun 2004- 2010 sebesar Rp 698.45 milyar dan Rp 1.83 triliyun, dengan rata-rata kontribusinya terhadap PNBP sebesar 1.35%. Grafik 1. Penerimaan PSDH dan DR Nasional Tahun 2004-2010 Grafik
tersebut
menunjukkan
bahwa kurun waktu 7 (tujuh) tahun, penerimaan Negara dari Dana Sumber: ICW,diolah dari LKPP tahun 2004-2010
reboisasi
lebih
besar
dibandingkan PSDH.Tahun 2004
penerimaan Negara dari DR sebesar Rp. 2,415 Triliun sedangkan PSDH Rp.907 Miliyar. Sampai tahun 2010 DR masih mendominasi PNBP sektor kehutanan sebesar Rp.1,7 Triliun dibandingkan dengan PSDH yang diterima Negara Rp. 797 miliyar. Penerimaan Negara yang berasal dari PNBP sektor kehutanan tersebut, jika dibandingkan dengan PNBP lainnya dalam APBN, yang tidak berhubungan dengan ektrasi sumber daya alam, seperti PNBP lainnya yang berasal dari Kementrian Komunikasi dan Informasi jumlahnya masih cukup rendah. PNBP Sekto kehutanan tahuan 2007 Rp. 2,1 Triliun sedangkan PNBP yang berasal dari Keminfo mencapai Rp. 2,3 Triliun. Sampai APBN P tahun 2012 PNBP Sektor kehutanan masih diberada dibawah PNBP yang berasal dari Keminfo. (lihatgrafik dibawah ini).
P a g e | 32
Grafik 2. PNBP Kehutanan vs Keminfo PNBP Kehutanan VS PNBP Keminfo Rp12.0 Rp10.0
60%
48%
50% 33%
Rp8.0
26%
Rp6.0 Rp4.0 Rp2.0
34%
Rp2.1 Rp4.4
Rp2.3 Rp7.0
28% Rp3.0
Rp2.3 Rp9.0
Rp10.9
31%
40% 30%
Rp3.2 Rp9.5
Rp3.1
20% 10%
Rp10.1
Rp-
0% R 2007
R 2008
PNBP Keminfo
R 2009
R 2010
PNBP Kehutanan
R 2011
T 2012
Persentase
Sumber : FITRA Riau, diolah dari NK RAPBN Tahun 2012
Grafik diatas menunjukkan perbandingan antara PBNP yang berasal dari sektor kehutanan dengan PNBP yang berasal dari Kementrian Komunikasi dan Informasi (Keminfo). Kurun waktu (2007-2013), PNBP sektor kehutanan dipersentasekan berkisar antara 26-44% dibandingkan besaran PNBP yang berasal dari K/L. tahun 2012 PNBP kehutanan 32% dari PNBP KL. Dengan demikian artinya sumbangan PNBP yang berasal dari sektor hutan tidak sebanding dengan pendapatan – pendapatan Negara dari sektor lainnya yang tidak berdampak pada ekploitasi sumber daya alam.
3.3 Penerimaan Riau Dari DBH Sektor Kehutanan Dengan diberlakukannya desentralisasi sejak era reformasi, maka terdapat beberapa penerimaan Negara yang dibagihasilkan ke daerah sesuai dengan Undang-undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yaitu bagi hasil pajak yang terdiri dari PBB dan BPHTB serta bagi hasil bukan pajak yaitu penerimaan sumber daya alam kehutanan (PSDH dan DR). Dana bagi hasil ini merupakan
P a g e | 33
bagian dari dana perimbangan yang akan menjadi tambahan pendapatan daerah selain pajak dan retribusi daerah serta pendapatan daerah lainnya DBH hutan (PSDH), 80% untuk daerah dengan rincian 16% untuk provinsi, 32% untuk kabupaten/kota penghasil, dan 32% dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Untuk DR, 60% bagian pemerintah untuk rehabilitasi hutan dan lahan secara nasional dan 40% bagian daerah untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di kabupaten/kota penghasil. Sedangkan untuk DBH IIUPH 80% dibagian ke daerah penghasil dengan rincian 16% untuk Provinsi, 64% dibagikan keKabupaten/kota penghasi, sedangkan sisanya 20% untuk pemerintah pusat untuk dibagikan ke seluruh Kabupaten Kota dengan porsi yang sama2. Tabel 1. Persentase Dana Bagi Hasil PNBP Sektor Kehutanan Sesuai Dengan UU 33 tahun 2004 Jenis UU 33 / 2004 UU Penerimaan Otsus No Pusat Provinsi Kabupaten/kota Kabupaten Papua dan Penghasil Lainnya UUPA 1 IIUPH 20% 16% 64% 80% 2 PSDH 20% 16% 32% 32% 80% 3 DR 60% 40% 40% Provinsi Riau merupakan wilayah yang memiliki tinggkat emisi tinggi.pada tiga tahun terakhir 2009 – 2012 riau kehilangan hutan alam 0,5 juta hektar. Dengan laju deforestasi 188 ribu hektar pertahunnya, dan sekarang sisa hutan tinggal 22,5% dari luas daratan yang ada. (Jikalahari, 2012).Laju deforestasi selain akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, penebangan hutan secara liar, juga Izin usaha perusahaan hutan industry. Dari data yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi Riau, luas lahan hutan yang diberikan izin IUPHHK-HTI seluas 1,659.311 hektar.Izin tersebut diberikan kepada 58 perusahaan dengan luas lahan yang bervariasi, mulai dari seribu herktar sampai ratusan ribu hektar.Perusahaan dengan lahan terluas 2
UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Pusat dan Daerah
P a g e | 34
yaitu PT. Riau Andalan Pulp & paper dengan luas lahan 350,150 hektar.Kemudian disusul PT. Arara Abadi dengan luas lahan konsesi 299.975 hektar.Dengan luas lahan terbesar ke tiga yaitu PT. Sumatera Riang Lestari (SRL) dengan luas lahan konsesi 148,075 hektar. Berdasarkan laporan hasil rekonsiliasi PSDH dan DR tahun 2008 sampai tahun 2012, yang diusulkan kedepartemen keuangan RI, hutan Riau menyumbang penerimaan Negara PNBP (PSDH) sebesar Rp. 653.021.784.095. Sedangkan untuk Dana Reboisasi tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 berdasarkan hasil rekonsiliasi sebesar Rp. 1.350 Triliun lebih. Dengan rincian pada gambar dibawah ini.
Billions
Grafik 3.Hasil Rekonsiliasi PSDH/DR Provinsi Riau 2008-2012 Rp563.96
Rp600.00
Rp462.35
Rp500.00 Rp400.00 Rp300.00
PSDH Rp204.70
Rp200.00 Rp114.97 Rp201.19 Rp100.00
DR
Rp175.61 Rp186.01
Rp4.32 Rp-
Rp38.83 Rp51.38 2008 2009
2010
2011
2012
Sumber : Fitra Riau diolah dari data Dinas Kehutanan Provinsi Riau 2013 3
Sebagaimana data dari hasil rekonsiliasi tersebut, pada dasarnya penerimaan Negara yang bersal dari PNBP (PSDH/DR) yang berasal dari provinsi Riau dalam kurun waktu lima tahun (2008-2012) berjalan secara vulkuatif (naik turun). Seperti PNBP sektor DR pada tahun 2008-2010 mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari Rp.4,3 Miliyar meningkata
3
Hasil Rekonsiliasi Provisi Sumber Daya Hutan dan Reboisasi yang diusulkan Departemen Keuangan tahun 2008-208 (Dinas Kehutanan Provinsi Riau)
P a g e | 35
ditahun 2010 menjadi Rp. 563,9 Miliyar. Pada tahun 2012 justur mengalami penurunan yang signifikan pula, yaitu sebesar Rp. 204,7 miliyar. Sedangkan PNBP sektor PSDH, pada dasarnya terus mengalami peningkatan, namun peningkatan tidak signifikan, dan pada tahun 2011-2012 sebagaimana penerimaan DR, PSDH juga mengalami penurunan. Sebagimana prinsip dana bagi hasil PNBP sebagaimana di atur dalam UU 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, DBH hutan (PSDH), 80% untuk daerah dengan rincian 16% untuk provinsi, 32% untuk kabupaten/kota penghasil, dan 32% dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Untuk DR, 60% bagian pemerintah untuk rehabilitasi hutan dan lahan secara nasional dan 40% bagian daerah untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di kabupaten/kota penghasil. Rendahnya penerimaan Negara PNBP yang berasal dari sektor kehutanan, yang berasal dari provinsi Riau, berimplikasi pada rendahnya DBH yang diperoleh dari ektraksi sumberdaya hutan. Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Riau hasil dari rekonsiliasi penerimaan Negara PNBP sektor kehutanan (PSDH/DR), maka diperoleh bagihasil 80% PSDH untuk Provinsi Riau dalam kurun waktu 2008-2012 sebesar Rp.522,4 miliyar. Sedangkang untuk DR 40% untuk provinsi Riau sebesar Rp.540,1Miliyar. Dana Bagi Hasil PNPB (PSDH/DR) Provinsi Riau 2008-2012 Tahun
DR (40%)
PSDH (80%)
2008
Rp
1,728,628,049.00
Rp
31,060,033,543.00
2009
Rp
45,987,596,334.00
Rp
41,105,992,527.00
2010
Rp 225,583,874,002.00
Rp 160,953,782,065.00
2011
Rp 184,940,281,823.00
Rp 140,485,743,429.00
2012
Rp
Total
81,879,885,439.00
Rp 148,811,875,710.00
Rp 540,120,265,647.00
Rp 522,417,427,274.00
Sumber : Data rekonsiliasi PSDH/DR Dinas Kehutanan Riau
P a g e | 36
Penerimaan Negara sektor kehutanan (PSDH) dalam kegunaannya berbeda dengan Dana Reboisasi.Dana bagi hasil PSDH diberikan wewenang kepada daerah dipergunakan sebagai anggaran pembangunan, pengentasan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan masyarakat.Namun, jika dilihat dari jumlah anggaran DBH sektor kehutanan (PSDH), tidak sebanding dengan dampak yang timbul akibat ektraksi hutan. Jika dibandingkan dengan dana perimbangan pusat dan daerah baik PNPB maupun pajak, tahun 2010 sampai 2012 PSDH hanya mampu menyumbang antara 0,9-1,4% dalam APBD se Provinsi Riau.
Millions
Grafik 4. Persentase DBH PSDH Terhadap Dana Perimbangan Pusat Dalam APBD Se Riau 2010-2012 Rp165,000.00
1.6% 1.4%
1.4%
Rp160,000.00
1.2%
Rp155,000.00 Rp150,000.00 Rp145,000.00
0.9%
0.9%
Rp160,953.78
0.8% 0.6%
Rp140,000.00
Rp148,811.88 Rp140,485.74
Rp135,000.00
1.0%
0.4% 0.2%
Rp130,000.00
0.0% 2010 PSDH
2011
2012
Persentase Dana Perimbang
Sumber :Fitra Riau, Diolah dari Dokumen APBD Se Provinsi Riau 2010-2012
P a g e | 37
3.4 Inkonsistensi Data DBH (PSDH/DR) Mekanise pemungutan PNBP sektor hutan (PSDH/DR), sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa PSDH dipungut oleh petugas teknis yang bentuk oleh dinas kehutanan di daerah provinsi maupun kabupaten/kota. PSDH dikenakan berdasarkan Laporan Hasil Produksi (LHP) dari perusahaan yang disampaikan kepada petugas pemungut di daerah.LHP yang dilaporkan perusahaan kemudian di lakukan cross chek dari laporan Hasil Cruising (LHC).Kemudian petugas pemungut PSDH/DR menerbitkan SPP PSDH dan SPP-DR, untuk dibayarkan pada bendaharan penerima (bank) yang ditunjuk. Kemudian data PNBP PSDH/DR yang dimiliki petugas pemungut dalam hal ini DInas Kehutanan didaerah penghasil,menjadi dasar dalam proses rekonsiliasi dengan Departemen kehutanan dan Departemen Keuangan di pusat. Namun panjangnya proses pemungutan PBNP sektor PSDH/DR tesebut masih terdapat selisih antara Data yang dikeluarkan Dinas Kehutanan terkait penerimaan Negara PSDH/DR yang diperoleh dari ektraksi hutan di Provinsi Riau dengan data alokasi dana bagi hasil PSDH/DR untuk Provinsi Riau yang dikeluarkan departemen kauangan berdasarkan peraturan menteri keuangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), tentang Penetapan Alokasi Dana Bagi Hasil PSDH/DR dari tahun 2008 – 2012 secara kumulatif DBH dari PSDH sebesar Rp. 559,09 Miliyar. Sedangkan Dana Bagi Hasil DR sebesar Rp. 450,77 Miliyar. Secara kumulatif maka antara data Dinas Kehutanan dengan PMK Menteri Keuangan, DBH PSDH selisih Rp. 36,6 Miliyar lebih besar dari data Dinas Kehutanan. Sedangkan untuk Dana Reboisasi selisih Rp. 89,3 Miliyar, PMK menteri keuangan lebih kecil dari Data rekonsiliasi yang dimiliki Dinas Kehutanan.
P a g e | 38
Dana Bagi Hasil PSDH/DR Provinsi Riau tahun 2008-2012 Versi PMK Menteri Keuangan Tahun PSDH DR Rp Rp 2008 74,326,712,628.00 10,292,812,028.00 Rp Rp 2009 94,978,561,302.00 29,017,903,342.00 Rp Rp 2010 134,509,547,328.00 187,308,049,350.00 Rp Rp 2011 115,800,569,216.00 151,965,865,838.00 Rp Rp 2012 139,480,571,907.00 72,191,830,962.00 Rp Rp Total 559,095,962,381.00 450,776,461,520.00 Versi Dinas Kehutanan Tahun PSDH(80%) DR(40%) 2008 31,060,033,543.00 1,728,628,049.00 2009 41,105,992,527.00 45,987,596,334.00 2010 160,953,782,065.00 225,583,874,002.00 2011 140,485,743,429.00 184,940,281,823.00 2012 148,811,875,710.00 81,879,885,439.00 Total 522,417,427,274,00 540,120,265,647,00 Secara akumulatif DBH (PSDH) yang dialokasikan pusat ke Provinsi Riau melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tahun 2008-2012, lebih besar dibandingkan dengan Data yang dimilki oleh dinas kehutanan provinsi Riau yang diusulkan dalam rekonsiliasi. Sementara itu, secara ukumulatif pula DBH (DR) justur alokasi DBH dari pemerintah pusat ke Riau selisih lebih rendah dibandingkan data dari Dinas. Memang Secara kumulatif DBH (PSDH/DR) 2008-2012 tidak menunjukkan selisih yang cukup tinggi. Namun, secara rinci per tahunnya, selisih antara laporan Dinas kehutanan dengan PMK Kementrian Keuangan terlihat cukup bersar. Akibat selisih tersebut mengakibatkan potensi kerugian Negara akibat tidak ada kejelasan, tentu dari LHP – LHC, dan SPP – PSDH dan SPP-DR. seperti tahun 2010 Keputusan Menteri Keuangan
sebagaimana
tertuang
dalam
PMK
Kementrian
keuangan
(PMK
NO242/PMK.07/2010) hanya mengalokasikan DBH (PSDH) selisih lebih sedikit Rp. 26,4 Miliyar dari data yang diusulkan Dinas Kehutanan. Lihat tabel dibawah ini.
P a g e | 39
Tebel 2. Selisih Alokasi Anggaran antara Data LHP,SPP (PSDH/DR) dari Dinas Kehutanan Dengan PMK Kementrian Kehutanan tahun 2008-2012 Tahun PSDH (80% DR (40%) 2008 Rp 43,266,679,085.00 Rp 8,564,183,979.00 2009 Rp 53,872,568,775.00 Rp (16,969,692,992.00) Rp 2010 (26,444,234,737.00) Rp (38,275,824,652.00) 2011 Rp (24,685,174,213.00) Rp (32,974,415,985.00) 2012 Rp (9,331,303,803.00) Rp (9,688,054,477.00) Antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, jelas merupakan fakta kesimpang siuran data sebagai dasar dalam menentukan penerimaan Negara.Hal itu berpotensi terjadi kerugian Negara, padahal pusat memperoleh data dari pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan sesuai amanat P.18/Menhut-II/2007. Selain berpotensi terjadi kerugian Negara, yang tidak sedikit jumlahnya, inkonsistensi data dari pemerintah daerah dan putusan PMK kementrian keuangan berakibat pula penyusunan anggaran (APBD) provinsi maupun Kabupaten Kota. Seperti pada APBD Riau tahun 2012 – 2013, penerimaan PSDH yang masuk menjadi APBD Riau tahun 2012 sebagaimana PMK pertama tahun anggaran 2012 DBH PSDH untuk provinsi sebesar Rp. 12,03 Miliyar. Perkiraan DBH (PSDH) Provinsi Riau tersebut masih dipakai di dalam penyusunan APBD Riau tahun 2013, dengan perkiraan alokasi masih sama yaitu Rp. 12,03 Miliyar. Sementara PMK ke dua tentang DBH sektor kehutanan telah diterbitkan kembali dengan penetapan alokasi sebesar Rp. 27,8 miliyar. Hal ini jelas berdampak pada penyusunan program, karena menggunakan perkiraan pesimis.
3.5 Peluang Korupsi PNBP Sektor Kehutanan Sektor kehutanan merupakan sektor industry dengan revenue loss yang sangat tinggi di Indonesia. Hal itu diperkuat dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tahun 2011 bahwa kerugian Negara akibat pembalakan liar sebesar Rp. 83 Miliyar perhari atau Rp. 30,3 Triliun pertahun atau sebesar 70-80% produksi kayu bulat di Indonesia diestimasi datang dari kayu ilegal, sedangan penerimaan Negara yang dipungut dari nilai tegakan kayu baik dalam bentuk PSDH/DR mapun pungutan lainnya hanya 20-30%4.
4
Article 33 Indonesia (transparansi penerimaan negara sektor kehutanan.
P a g e | 40
Sumber Daya Hutan di Riau, kerugian uang Negara yang berasal dari sektor kehutanan tersebut berasal dari berbagai modus yang dilakukan oleh perusahaan maupun pemerintah yang tidak optimal dan sengaja melakukan pembiaran. Hasil audit BPK RI tahun 2009 menunjukkan PSDH / DR yang tidak terpungut sehingga mengakibatkan kerugian negara mencapai Miliyaran Rupiah. Selain fakta-fakta korupsi PBNP sektor kehutanan akibat dari tidak ektrasi ilegal yang dilakukan perusahaan, peluang korupsi PNBP sektor kehutanan (PSDH/DR) sebagaimana diuraikan diatas dapat dilihat dari hal penarikan, pengalokasian dan penggunaan (DR). Pertama, dalam hal penarikan, peluang yang sangat rentan terjadi yaitu manipulasi LHP/LHC.Dalam Peraturan Menteri Kehutanan (P.18/Menhut-II/2007) tentang tata cara pengenaan PSDH/DR, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dijadikan sebagai dasar pengenaan PSDH maupun DR. LHP diserahkan kepada petugas pemungut yang dibentuk oleh dinas kehutanan kabupaten/kota kemudian dilakukan pengukuran dan pengujian atas LHP tersebut oleh petugas pemungut. Jika menggunakan Laporan Hasil Crussing (LHC) maka petugas pemungut melakukan checking croschek untuk disesuaikan dengan LHC/LHP.Dengan demikian mekanisme tersebut berpeluang besar hilangnya penerimaan negara dari (PSDH/DR) akibat manipulasi LHP/LHC yang dilaporkan oleh perusahaan kepada Dinas kehutanan Kabupaten/kota. Hal itu mengakibat SPP PSDH/DR yang dibayarkan oleh wajib bayar tidak sesuai dengan kondisi senyatanya yang menyebabkan kerugian negara akibat tidak dibayarkan sepenuhnya oleh wajib bayar. Oleh karena itu maka diperlukan pengawas eksternal diluar pejabat pemungut (Dinas Kehutanan + perusahaan) yang dilibatkan dalam pengujian dan pengukuran / checking croschek untuk menyesuaikan data LHP/LHC yang dilaporkan perusahaan sampai dikeluarkan SPP PSDH/DR. Kedua, dalam hal pengalokasian, bahwa PNBP sektor kehutanan merupakan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah penghasil yaitu IUPH, PSDH dan DR. Alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) tersebut ditentukan berdasarkan hasil rekonsiliasi triwulan-semesteran dan tahunan antara dinas kehutanan daeran – Kementrian Kehutanan dan Kementria Keuangan dan kementrian terkait lainnya guna mengevaluasi antara SPP dan LHP wajib bayar. dalam rekonsiliasi tersebut sampai pengalokasian DBH sesuai peraturan menteri keuangan (PMK) berpeluang terjadinya negosiasi antara dinas kehutanan dan kementrian keuangan. Hal itu terlihat dengan ketidak sesuaian antara P a g e | 41
data yang diusulkan Dinas Kehutanan kepada Departemen Keuangan atas LHP-SPP PSDH/DR yang berasal dari Provinsi Riau.tahun 2008-2012 terdapat selisih antara usulan dinas kehutanan Provinsi Riau dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait penetapan alokasi DBH Sektor kehutanan. Tahun 2008 perbedaan nilai pungutan antara dinas kehutanan dengan PMK Departemen Keuangan pada PSDH sebesar Rp. 43,2 Miliyar dan DR Rp. 8,5 Miliyar. Tahun 2009 selisih PSDH sebesar Rp. 53,8 Miliyar sedangkan DR berkurang sebesar Rp. 16,9 miliyar. Tahun 2010 DBH PSDH/DR yang dialokasikan sesuai PMK/2010 lebih sedikit dari nilai DBH yang berasal dari Dinas Kehutanan, masing –masing berkurang Rp. 26,4 Miliyar (PSDH) dan Rp. 38,2 Miliyar (DR). begitu juga tahun 2011 PSDH/DR berkurang masing RP. 24,6 miliyar dan 32,9 miliyar. Tahun 2012 DBH PSDH/DR Provinsi Riau yang dialokasikan kementrian keuangan juga berkurang dari data rekonsiliasi masing sebesar Rp. 9,3 miliyar (PSDH) dan Rp. 9,6 miliyar (DR).
P a g e | 42
IV.
PERIZINAN DAN TATARUANG5.i
Pemberian izin yang tidak sesuai dengan ketentuan merupakan sebuah pelanggaran administrasi negara. Apabila ditemukan unsur korupsi didalamnya maka akan menjadi sebuah tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah diputuskan oleh pengadilan tindak pidana korupsi terhadap bupati Siak dan Bupati Pelalawan dalam memberikan izin IUPHHK-HT yang tidak sesuai dengan ketentuan. Korupsi perizinan yang berhasil diungkap oleh KPK sangat kecil dibandingkan dengan praktek pelanggaran administrasi negara dalam pemberian izin IUPHHK-HT di provinsi
riau
karena
sebagian
besar izin IUPHHK-HT dikeluarkan oleh
mentri
1.910.155
ha
kehutanan. izin
HTI
Dari yang
dikeluarkan di provinsi riau 78,8% diantaranya mentri
dikeluarkan kehutanan
oleh 11,94%
dikeluarkan oleh bupati pelalawan, Gambar 4.1. Penerbit Izin IUPKH HT di provinsi Riau
3,37% dikeluarkan oleh bupati siak, 3,29% dikeluarkan oleh bupati inhu,
2,52% dikeluarkan oleh bupati indragiri hilir, sedangkan 2,57% belum teridentifikasi (lihat gambar 4.1) Selain itu izin yang sudah dikeluarkan tersebut berada pada kawasan hutan yang belum mempunyai kekuatan hukum (Legalitas), baik berdasarkan fungsi maupun status kawasan hutan. Fungsi kawasan hutan yang sudah ditetapkan baru sampai bulan mei 2013 baru seluas 552.448 ha atau 13,05% dari luas keseluruhan6. Sedangkan status kawasan hutan belum ada yang ditunjuk apalagi ditetapkan, namun dalam prakteknya pemerintah mengasumsikan bahwa fungsi kawasan hutan yang ditunjuk dianggap
5
http://artikata.com/arti-331222-izin.html Presentasi Dishut Prov Riau 2013 “FAKTA PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DI PROVINSI RIAU” Disampaikan pada Semiloka Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Perkeadilan yang diselenggarakan Transparancy Internasional Indonesia di hotel pangeran pekanbaru pada tanggal 28 mei 2013. 6
P a g e | 43
sebagai hutan negara7 bahkan sampai saat ini belum ada pedoman pengukuhan kawasan hutan berdasarkan status kawasan hutan, atas hal itu KPK 2012 meminta kementrian kehutanan untuk membuat pedoman pengukuhan kawasan hutan berdasarkan status kawasan hutan8. Disisi lain secara spasial terdapat beberapa aturan dalam pengelolaan hutan diantaranya: Penunjukan kawasan hutan (TGHK), Tata Ruang (RTRWN dan RTRWP) dan Pengelolaan kawasan lindung yang tidak singkron satu sama lain. Hal ini diperburuk dengan perubahan kriteria kawasan yang diatur dalam peraturan pemerintah maupun peraturan mentri yang tidak konsisten dalam menetapkan kriteria kawasan yang dapat diberikan izin IUPHHK-HT. 4.1 Legalitas Kawasan Hutan (KPK tahun 2010) menemukan setidaknya terdapat empat aturan yang mengatur pemanfaatan ruang pada lokasi yang sama yang terdiri dari Rencana tata ruang nasional (RTRWN), rencana tata ruang provinsi (RTRWP), rencana tata ruang kabupaten dan Tata guna hutan kesepakatan (TGHK)/ penunjukan kawasan hutan. Raflis 2010 menemukan perbedaan fungsi yang besar antara TGHK, RTRWP dan RTRWN di Provinsi Riau9 (lihat grafik 5)
Grafik 5. Perbandingan Luas Kawasan Lindung dan budidaya pada RTRWN, TGHK dan RTRWP
Akuntabilitas dari dokumen RTRWN, TGHK maupun RTRWP dapat dipertanyakan, karena masing masing menggunakan kriteria yang hampir sama dalam penetapan zonasi 7
Presentasi Wasekjend Fortrust “Kepastian Hukum dan Politik Penguasaan Ruang” Disampaikan pada Semiloka Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Perkeadilan yang diselenggarakan Transparancy Internasional Indonesia di hotel pangeran pekanbaru pada tanggal 28 mei 2013. 8 KPK 2012 “ Menuju Kawasan Hutan Yang berkepastian hukum dan berkeadilan. 9 Raflis 2010 Menyerahkan hutan kepangkuan modal
P a g e | 44
kawasan hutan. Kriteria kawasan dalam tata ruang merupakan kriteria dalam TGHK ditambah perlindungan kawasan bergambut. Dalam praktek pemberian izin yang digunakan oleh kementrian kehutanan adalah peta TGHK/ penunjukan kawasan hutan. Sementara itu, mahkamah konstitusi menyatakan telah terjadi diskresi10 dalam penetapan fungsi kawasan hutan oleh kementrian kehutanan. Selanjutnya kementrian kehutanan secara sepihak mendefinisikan fungsi kawasan hutan merupakan hutan negara dari sisi status kawasan hutan serta mengabaikan mandat pasal 5 UU 41 tahun 1999 yang merupakan akar dari konflik agraria yang terjadi dalam kawasan hutan11. Lebih jauh lagi MK juga sudah menetapkan bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara.12
4.2 Ketentuan Perizinan IUPHHK-HT Berbagai aturan yang dikeluarkan dalam pemberian izin tidak konsisten dengan beberapa aturan lainnya. Secara umum perizinan HTI dapat ditinjau dari 4 regulasi, yaitu regulasi Kehutanan, pengelolaan kawasan lindung, RTRWP dan RTRWN seperti terlihat pada gambar dibawah (perubahan aturan dapat dilihat pada lampiran 1)
Gambar 5. Aturan Waktu Aturan Perizinan HTI
Ketentuan tentang perizinan HTI dapat dilihat dari 4 aturan yaitu aturan kehutanan, gambut tata ruang dan tata ruang provinsi.Keempat aturan ini mengatur zonasi yang berbeda secara zonasi maupun kriteria. Analisis perizinan terhadap aturan pemanfaatan kawasan dapat dibagi kedalam 4 kategori yaitu terhadap regulasi kehutanan, perlindungan gambut, rencana tata ruang
10
PUU 45 2012 Raflis 2013 Politik penguasaan ruang 12 PUU 35 2012 11
P a g e | 45
provinsi dan rencana tata ruang nasional. Analisis perizinan dapat dilakukan setelah keluarnya Kepmentan no 683/kpts/um/8/1981 tentang kriteria dan tata cara penetapan hutan produksi. Sedangkan terhadap perlindungan gambut dapat dilakukan setelah keluarnya kepres no 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung.Selanjutnya terhadap RTRWP dapat dilakukan setelah keluarnya perda no 10 tahun 1994 tentang rencana tata ruang provinsi riau.Selanjutnya analisis terhadap rencana tata ruang nasional dapat dilakukan setelah keluarnya PP no 47 tahun 1997 tentang rencana tata ruang wilayah nasional.Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3. Fungsi Hutan, Gambut dan RTRW Periode Waktu
Kehutanan
Gambut
RTRWP
RTRWN
8 Agustus 1981-25 Juli 1990
HP
_
_
_
25 Juli 1990-1994
HP
< 3m
_
_
1994-1997
HP
< 3m
APKK
_
1997-1999
HP
< 3m
APKK
HP, <3m
1999-2006
HP, tidak produktif
< 3m
APKK
HP, <3m
2006-2013
HP, HPT, tidak produktif
< 3m
APKK
HP, <3m
4.3 Peraturan Kehutanan Aturan penggunaan kawasan hutan untuk HTI pertama kali dijelaskan dalam Kepmentan no 683/kpts/um/8/1981 tentang kriteria dan tata cara penetapan hutan produksi “hutan produksi bebas ialah hutan produksi yang dapat dieksploitasi baik dengan cara tebang pilih maupun dengan cara tebang habis13”. Selanjutnya pada tanggal 6 juni 1986 kawasan hutan provinsi riau ditunjuk dengan SK No. 173/Kpts-II/1986 yang kemudian dikenal dengan istilah TGHK dengan hutan produksi tetap seluas1.844.000ha14 .
13
Point 1.3 Lampiran kepmentan 683/Kpts/Um/8/1981; Hutan produksi bebas identik dengan hutan produksi terbatas dalam TGHK.Kriteria hutan produksi bebas adalah kawasan hutan dengan skor kurang dari 124, kriteria ini digunakan untuk menyusun TGHK dan Tata ruang yang masih berlaku sampai saat ini. 14 Setelah dikurangi dengan luas hutan produksi tetap di provinsi kepulauan riau
P a g e | 46
Selanjutnya pada tanggal 16 maret 1990 dikeluarkan PP No 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Tanaman Industri menjelaskan bahwa kawasan hutan yang dapat diberikan izin HTI adalah Kawasan Hutan Produksi Tetap. Kemudian PP ini dicabut pada tanggal 21 januari tahun 1999 oleh PP No 6 tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi tetapi tidak lagi menjelaskan tentang kawasan hutan yang dibolehkan untuk HTI. Pada tanggal 30 september tahun 1999 ditetapkan UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang membatalkan UU No 5 tahun 1967 tentang Pokok pokok Kehutanan, tetapi tidak membatalkan aturan Lampiran SK No 173/Kpts-II/1986
tehnis yang ada sebelumnya. Artinya SK No. 173/KptsII/1986, PP No 6 tahun 1999 dan Kepmentan no 683/kpts/um/8/1981 masih berlaku. Selain itu juga dijelaskan bahwa “Pembangunan HTI dilaksanakan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif” Tabel 4. Perkembangan aturan Penggunaan kawasan hutan terhadap IUPHHK HT Waktu
Kriteria yang
Praktek dalam
diatur
TGHK*
Regulasi
Keterangan
08-Agust-81
Kepmentan No 683/Kpts/Um/8/1981
HP
HP
_
6 Juni 1986
SK No. 173/Kpts-II/1986
_
_
Penunjukan Kawasan Hutan
16-Mar-90
PP No 7/ 1990
HP
HP
_
27-Jan-99
PP No 6/ 1999
Tidak dijelaskan
HP
Mencabut PP 7/ 1990
30-Sep-99
UU No 41/ 1999
HPTP
HP
_
06-Nop-00
SK No:10.1/Kpts-II/ 2000
HPTP
HP
_
08-Jun-02
PP No 34/ 2002
HPTP
HP
Mencabut PP 6/1999
05-Feb-03
SK 32/2003
HPTP
HP
Mencabut SK 10.1/2000
03-Jan-03
SK 162/Kpts-II/2003
HPTP
HP
_
HP
Gambut lebih dari 3m dilindungi
24-Mar-04
SK. 101/Menhut-II/2004
HPTP
dalam delineasi mikro**)
28-Sep-04
P.10/Menhut-II/2004
HPTP
HP
Merubah P.05 2004
25-Jul-05
P.23/Menhut-II/2005
HPTP
HP
Merubah SK 101/2004
06-Okt-06
P.61/Menhut-II/2006
HPT dan HP
HPT dan HP
_
08-Jan-07
PP No 6/ 2007
HPTP
HPT dan HP
Mencabut PP 34/2002
28-Mei-07
P.19/Menhut-II/2007
HPTP
HPT dan HP
Mencabut P.05/2004
24-Apr-08
P.11/Menhut-II/2008
HPTP
HPT dan HP
Merubah P.19/ 2007
31-Des-10
P.50/Menhut-II/2010
HPTP
HPT dan HP
Mencabut P.11/2008
Keterangan: HP= Hutan Produksi Tetap; HPT= Hutan Produksi Terbatas; HPTP = Hutan Produksi yang tidak produktif (Tidak dikenal dalam TGHK); *)praktek dalam TGHK diketahui dari Surat dirjen planologi No: S.05/VII-KP/2006, **)setelah tanggal 24 maret 2004 kawasan bergambut diidentifikasi dan dilindungi dalam delineasi mikro
P a g e | 47
4.4 Analisis Kesesuaian Perizinan terhadap regulasi kehutanan Analisis kesesuaian perizinan terhadap regulasi kehutanan dilakukan dengan menggunakan kepmen 173 tahun 1986, tutupan hutan tahun 1999, 2000, 2002, 2004, 2007 serta data kedalaman gambut15 dengan membagi kedalam beberapa periode waktu dengan analisis berbeda pada masing masing izin sesuai dengan regulasi yang berlaku pada saat izin di keluarkan. Periode analisis dapat dibagi kedalam 8 kategori waktu diantaranya: 1. Periode Sebelum 30 September tahun 1999, kriteria kawasan yang diperbolehkan untuk HTI adalah Kawasan hutan produksi tetap berdasarkan SK No. 173/Kpts-II/1986 tentang Penunjukan Kawasan Hutan 2. Periode tahun 30 September 1999 sampai 31 Desember 2000, kriteria kawasan yang diperbolehkan untuk HTI adalah Kawasan hutan produksi tetap berdasarkan SK No. 173/Kpts-II/1986 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan kawasan yang tidak berhutan dalam peta tutupan hutan tahun 1999. 3. Periode 1 Januari 2000 sampai 31 Desember 2002, kriteria kawasan hutan yang diperbolehkan untuk HTI adalah Kawasan hutan produksi tetap berdasarkan SK No. 173/Kpts-II/1986 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan kawasan yang tidak berhutan dalam peta tutupan hutan tahun 2000. 4. Periode 1 Januari 2003 sampai 24 Maret 2004, kriteria kawasan hutan yang diperbolehkan untuk HTI adalah Kawasan hutan produksi tetap berdasarkan SK No. 173/Kpts-II/1986 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan kawasan yang tidak berhutan dalam peta tutupan hutan tahun 2002 5. Periode 4 Maret 2004 sampai 31 Desember 2004, kriteria kawasan hutan yang diperbolehkan untuk HTI adalah Kawasan hutan produksi tetap berdasarkan SK No. 173/Kpts-II/1986 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan kawasan yang tidak berhutan dalam peta tutupan hutan tahun 2002 dan gambut dengan kedalaman 3m atau lebih dilindungi dalam delineasi mikro. 6. Periode 1 Januari 2005 sampai 6 oktober 2006, kriteria kawasan hutan yang diperbolehkan untuk HTI adalah Kawasan hutan produksi tetap berdasarkan SK No.
15
Wetland international 2002
P a g e | 48
173/Kpts-II/1986 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan kawasan yang tidak berhutan dalam peta tutupan hutan tahun 2004 dan gambut dengan kedalaman 3m atau lebih dilindungi dalam delineasi mikro. 7. Periode 6 Oktober 2006 sampai 1 Januari 2007, kriteria kawasan hutan yang diperbolehkan untuk HTI adalah Kawasan hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas berdasarkan SK No. 173/Kpts-II/1986 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan kawasan yang tidak berhutan dalam peta tutupan hutan tahun 2004 dan gambut dengan kedalaman 3m atau lebih dilindungi dalam delineasi mikro. 8. Periode 1 januari 2007 sampai sekarang (maret 2013)kriteria kawasan hutan yang diperbolehkan untuk HTI adalah Kawasan hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas berdasarkan SK No. 173/Kpts-II/1986 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan kawasan yang tidak berhutan dalam peta tutupan hutan tahun 2007 dan gambut dengan kedalaman 3m atau lebih dilindungi dalam delineasi mikro. Berdasarkan data spasial izin HTI di Provinsi Riau16 dilakukan overlay analisis terhadap peta lampiran SK No. 173/Kpts-II/1986 tentang Penunjukan Kawasan Hutan provinsi riau dan tutupan hutan tahun 1999, 2000, 2002, 2004, 2007 dan peta kedalaman gambut ditemukan pemberian izin terhadap ketentuan yang berlaku pada masing masing periode keluarnya izin.
Dari hasil analisis spasial terhadap izin seluas 1.910.261ha yang sudah dikeluarkan
Gambar 5. Peta Kesesuaian Terhadap Regulasi Kehutanan
Kesesuaian Terhadap Regulasi Kehutanan
di provinsi riau terhadap peraturan dibidang kehutanan yang berlaku pada saat itu 77 % 16
Data dishut provinsi riau 2013
P a g e | 49
diantaranya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hanya 23% dari izin tersebut yang sesuai dengan kriteria kawasan yang dapat diberikan izin HTI (Lihat gambar 5 diatas).
4.5 Perlindungan Kawasan Bergambut Perlindungan kawasan bergambut ditetapkan pada tanggal 25 juli tahun 1990 dengan kepres no 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, yang kemudian diperkuat dalam PP no 47 tahun 1997 jo PP no 26 tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional. Selain regulasi kehutanan seharusnya izin HTI tidak diberikan pada kawasan bergambut dengan kedalaman 3m atau lebih.
4.6 Analisis Kesesuaian Perizinan terhadap kawasan bergambut Analisis kesesuaian perizinan HTI terhadap kawasan bergambut dilakukan dengan melakukan overlay analisis izin HTI di provinsi riau dan peta kedalaman gambut (Wetland
International 2002). Data wetland international mengklasifikasikan kawasan bergambut berdasarkan beberapa kategori yaitu: Gambut dengan kedalaman 0 sampai 0,5m, Gambut dengan kedalaman 0,5m sampai 1m, Gambut dengan kedalaman 1 sampai 2m, Gambut dengan kedalaman 2 sampai 4m, Gambut dengan kedalaman lebih dari 4m. Karena tidak tersedia data kedalaman gambut pada kedalaman 3m atau lebih maka digunakan data kedalaman gambut lebih dari 4m untuk kebutuhan analisis.
Dari hasil analisis perizinan terhadap kedalaman gambut yang lebih dari 4m ditemukan 39% dari total izin yang berada pada kawasan bergambut yang harus
P a g e | 50
dilindungi, sedangkan sisanya 61% dari izin berada pada kawasan gambut dangkal dan tanah mineral. (Lihat gambar 6) 4.7 Rencana Tata Ruang Rencana tata ruang di provinsi riau pertama kali ditetapkan pada tahun 1994 dengan perda no 10 tahun 1994 tentang rencana tata ruang wilayah provinsi riau.Perda tata ruang ini merupakan mandat dari UU No 24 tahun 1992 tentang penataan ruang. Selanjutnya rencana tata ruang nasional ditetapkan melalui PP No 47 tahun 1997 yang kemudian diganti dengan PP no 26 tahun 2008 setelah penetapan UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Karena rencana tata ruang wilayah provinsi riau lebih dahulu dibuat, maka terminologi yang digunakan berbeda dengan rencana tata ruang wilayah nasional.Revisi rencana tata ruang wilayah provinsi riau sudah dilakukan semenjak tahun 1999, namun sampai saat ini belum ditetapkan karena belum keluarnya persetujuan substansi dari kementrian kehutanan. Disisi lain tidak keputusan yang membatalkan perda no 10 tahun 1994, sehingga analisis perizinan dapat menggunakan rencana tata ruang provinsi dan rencana tata ruang kabupaten. Kriteria kawasan dan periode waktu analisis dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 5. Periode berlakunya aturan tata ruang Waktu
Regulasi
RTRWP
RTRWN
1994
Perda No 10 /1994
APKK
_
30-Des-97
PP No 47/1997
APKK
HP* dan gambut kurang dari 3m
10-Mar-08
PP 26 2008
APKK
HP dan gambut kurang dari 3m
Keterangan: APKK = Alokasi Peruntukan Kawasan Kehutanan; HP = Hutan Produksi tetap; *)mengikuti aturan yang berlaku di kehutanan pada waktu itu sesuai dengan PP No 7 tahun 1990
4.7.1 Rencana Tata Ruang Provinsi (Perda No 10 Tahun 1994) Perda No 10 tahun 1994 tentang Rencana tata ruang wilayah provinsi riau membagi peruntukan kawasan kedalam 8 kategori yaitu: Arahan pengembangan kawasan lindung, arahan pemanfaatan kawasan kehutanan , arahan pemanfaatan kawasan perkebunan, arahan pemanfaatan kawasan pertanian tanaman pangan, arahan pemanfaatan kawasan yang diprioritaskan, arahan pemanfaatan kawasan pemukiman dan transmigrasi, arahan pemanfaatan kawasan perkotaan dan arahan pemanfaatan kawasan lainnya. Kawasan yang diperbolehkan
untuk budidaya kehutanan termasuk HTI adalah pada arahan pengembangan kawasan kehutanan.
P a g e | 51
4.7.2 Rencana Tata Ruang Nasional
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditetapkan melalui PP no 47 tahun 1997 dan diganti oleh PP no 26 tahun 2008. Pada kedua PP ini arahan perizinan pada umumnya hampir sama dimana pada PP 47 tahun 1997 dijelaskan pada pasal Pasal 44 “Kriteria kawasan budi daya merupakan ukuran yang digunakan untuk penentuan suatu kawasan yang ditetapkan untuk berbagai usaha dan/atau kegiatan dan yang dibagi dalam: a. criteria teknis sektoral, yaitu ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan ruang untuk suatu kegiatan dalam kawasan memenuhi ketentuan-ketentuan teknis, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, kesesuaian ruang, dan bebas bencana; “ sementara itu Kriteria tehnis sektoral dijelaskan dalam PP No 7 tahun 1990 dalam pasal 5 ayat 1” Areal hutan yang dapat diusahakan sebagai areal HTI adalah kawasan hutan produksi tetap yang tidak Produktif” dan ayat 2 “Menteri menetapkan lokasi areal hutan untuk pembangunan HTI” di sisi lain kawasan bergambut masuk kategori kawasan lindung sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (2)” ........yaitu kawasan tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa.”
Kriteria yang sama ditegaskan kembali dalam PP No 26 tahun 2008 sebagaimana dijelaskan dalam pasal penjelasan 64 ayat Ayat 1 Huruf b “ Yang dimaksud dengan “kawasan hutan produksi tetap”adalah kawasan hutan yang secara ruang digunakan untuk budi daya hutan alam dan hutan tanaman.” Disamping itu kawasan bergambut ditetapkan sebagai kawasan lindung sebagaimana dijelaskan dalam pasal Pasal 52 ayat (1) “Kawasan P a g e | 52
yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya terdiri atas: a. kawasan hutan lindung; b. kawasan bergambut; dan c. kawasan resapan air” dan Pasal 55 ayat (2) “Kawasan bergambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan kriteria ketebalan gambut 3 (tiga) meter atau lebih yang terdapat di hulu sungai atau rawa.” Lebih jelas lagi Lampiran VII PP 26 tahun 2008 menggambarkan Peta Pola Ruang wilayah nasional yang menjelaskan tentang kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Dari kriteria yang diatur baik dalam PP 47 tahun 1997 dan PP 26 tahun 2008 dapat dilihat bahwa kawasan yang dapat diberikan izin HTI adalah kawasan hutan produksi dan tidak berada pada kawasan bergambut dengan kedalaman 3 meter atau lebih. Analisis perizinan terhadap RTRWN dilakukan terhadap izin yang dikeluarkan setelah tanggal 30 Desember 1997 dengan meng overlay perizinan HTI dengan kawasan hutan produksi tetap dan kawasan bergambut dengan kedalaman lebih dari 4m.
Dari 1.207.915 ha izin yang dikeluarkan setelah tanggal 30 desember 1997 sekitar 89% dari izin tersebut tidak sesuai dengan kriteria kawasan yang dapat diberikan izin dalam RTRWN. Hanya 11% yang sesuai dengan kriteria kawasan yang diperbolehkan untuk izin HTI. (Lihat Gambar 7)
4.7.3
Penertiban Pola Ruang
Selain itu UU no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang pada ketentuan peralihan memberikan mandat untuk menertibkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang tercantum pada “Pasal 77 ayat 1 Pada saat rencana tata ruang ditetapkan,
P a g e | 53
semua pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus disesuaikan dengan rencana tata ruang melalui kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang. Ayat 2 Pemanfataan ruang yang sah menurut rencana tata ruang sebelumnya diberi masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian.Ayat (3) Untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan sebelum penetapan rencana tata ruang dan dapat dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur yang benar, kepada pemegang izin diberikan penggantian yang layak.” Lebih jauh lagi semangat penertiban izin juga dijelaskan dalam Pasal 37 ayat 2-7 “(2) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum. (4) Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. (5) Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin. (6) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan memberikan ganti kerugian yang layak. (7) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.”
P a g e | 54
Keluarnya UU 26 tahun 2007 diikuti dengan keluarnya PP no 26 tahun 2008 tentang rencana tata ruang nasional namun tidak diikuti dengan penertiban pola ruang sebagaimana yang dimandatkan oleh pasal 37 UU 26 tahun 2007.
Dari analisis terhadap regulasi kehutanan, kawasan bergambut dan tata ruang dapat kita lihat bahwa proses pemberian izin pada umumnya mengabaikan ketentuan yang berlaku. Ketidak pastian aturan yang digunakan menjadi ruang transaksional antara pemberi izin dan penerima izin yang erat hubungannya dengan korupsi. Untuk itu dibutuhkan uji akuntabilitas terhadap setiap dokumen yang dikeluarkan baik berupa aturan maupun analisis kesesuaian lahan yang terkait dengan proses keluarnya sebuah izin.
P a g e | 55
V.
KASUS KRIMINALISASI PEMERINTAH (AN) KORPORASI PADA MASYARAKAT PULAU PADANG
MESIN POMPONG itu menderu di pelabuhan rakyat Tanjung Buton, Kabupaten Siak. Setelah menempuh perjalanan darat lima jam dari Pekanbaru, saya menggunakan kapal kayu yang digerakkan mesin ke Desa Lukit, Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti. Siang itu, 22 September 2012, sengatan matahari mengenai muka, kaki dan pergelangan tangan, perih rasanya.Angka di ponsel menunjuk 12.15. Di atas pompong, saya melihat gugusan Pulau Padang. Hijau pepohonan segar terlihat. Nama Pulau Padang tenar lantaran lahan warga Pulau Padang masuk dalam konsesi PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) berdasaran SK Menhut No 327 tahun 2009 yang diteken Menhut MS Kaban seluas 41.205 ha. Separuh dari luasan PT RAPP, menurut Serikat Tani Riau adalah lahan warga. Luas pulau itu 1.109 km2, terbagi atas 14 desa,Desa Lukit salah satunya. Jumlah Penduduk Desa Lukit 548 KK, 2.192 jiwa. Delapa puluh persen mata pencaharian utama Petani adalah karet dan sagu. Pompong melaju 30 km per jam.Anjungan kapal kayu itu, membela air laut kecoklatan.Saya bersama Ahmad Solehan, 37 tahun, yang lahir di Desa Lukit.Ia petani karet. Membelah pohon sagu, hanya pekerjaan sampingan.Dominan pekerjaan warga Lukit bertani karet, sawit dan sagu.“Jumlah warga Lukit sekira 3.500 ha, 70 persen lahan petani warga masuk dalam konsesi PT RAPP,” katanya, “rumah memang tak disentuh PT RAPP, periuknya habis.”Istilah ‘periuk’, merujuk pada lahan petani warga masuk dalam konsesi
PT
RAPP.“Prinsip
kami
tak
menyerah
untuk
menyelamatkan
Pulau
Padang.Mempertahankan kebun masyarakat jalan terakhir.” Pukul 12.55, tiba di Tanjung Gambar, masih administrasi desa Lukit.Solehan dan Nurhadi menunjukkan bekas koridor kanal PT RAPP yang ditutup warga pada 2010.Dari arah kapal, kami berjalan di atas bekas galian yang sudah tertimbun tanah bergambut dan bekas potongan pohon sagu.“Pohon sagu dirobohkan menggunakan alat berat untuk membangun kanal,” kata Solehan. Saya menghitung setidaknya 500 langkah kaki, dan mentok di depannya hutan.Galian ini memang belum sempat diselesaikan.Galian itu sendiri lebar enam meter.Kiri-kanan saya, masih terlihat pohon sagu menjulang tinggi. Nurhadi menunjuk salah satu pohon sagu.Satu pohon itu, bisa hasilkan 6-7 tual.Satu tual, untuk saat ini, harganya berkisar Rp 30-40 ribu.Sagu dipanen setelah P a g e | 56
berusia 12 tahun, lantas tiap tahun bisa dipanen.Tiap hari setidaknya, warga bisa memotong 120 batang per ha.Penghasilan masyarakat sekitar Rp 36 juta per tahun. Begitu juga denga karet, pertama kali panen pada usia delapan tahun. Lantas, tiap hari bisa dipanen.sehari rata-rata produksi karet 12,5 kg per hektare. Bila harga karet Rp 13 ribu per kilogram, per bulan dari bisa hasilkan Rp 4.8 juta. “Itu salah satu kenapa saya berjuang.Bila RAPP beroperasi, mata pencaharia kami otomatis hilang,” kata Nurhadi, warga Desa Lukit.“Pohon sagu ibarat “emas tersimpan”bagi warga Padang.Dia tumbuh sendiri, dalam hitungan tahun baru bisa di panen,” terang Solehan.“Dari pohon sagu, anak-anak bisa bersekolah hingga berdasi,” timpal Nurhadi. Kami meninggalkan Tanjung Gambar. Pukul 13.55, saya tiba di pelabuhan umum Desa Lukit. Jembatan dari kayu, penghubung menuju daratan desa. Menggunakan sepeda motor, saya dan Solehan berkeliling desa.Saya lihat rumah warga dominan gunakan kayu dan berumah panggung.Beberapa warga sedang mendorong potongan pohon sagu dan dikumpulkan pada satu titik. Saya bertemu Bunyamin, 53, di rumahnya.Samping rumahnya ada parabola.Untuk sampai ke rumah Bunyamin, motor harus melewati tanah bergambut.Ia petani karet. Lahan karetnya, persis di samping rumahnya.Ia baru saja usai menorah getah pohon karet. Luas lahan karetnya 1,5 ha. “Semua lahan itu masuk dalam konsesi PT RAPP, termasuk rumah saya.” Ia tahu lahannya masuk dari keterangan Nurhadi. Nurhadi tahu dari Andiko ketua tim Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap IUPHHK-HT pada November 2011. Nurhadi ikut bersama tim waktu itu. “Tim mencocokkan peta milik perusahaan.Dan peta itu menunjukkan rumah dan lahan Bunyamin masuk dalam konsesi.” Tak jauh dari rumah Bunyamin.Ismail, 67, salah seorang sepuh, juga petani karet.“Luas lahan karet dan sagu saya 30 jalur, sekitar 10 ha.Masuk konsesi 3 ha.Tentu saya marahlah, karena itu lahan untuk makan, dari mana makan?Kita bertahanlah apapun caranya.” Di Desa Lukit, jumlah 190 KK. Rumah berjumlah 510 unit, hanya enam rumah berbatu, selebihnya terbuat dari kayu.“Semua areal Dusun II mayoritas masuk dalam konsesi PT RAPP, karena dekat dari Laut,” kata Nurhadi, 30, Kepala Dusun II Desa P a g e | 57
Lukit.Nurhadi sendiri, bekerja meneruskan lahan karet milik orang tuanya.“Lahan seluas 2-3 ha.Hampir semua masuk konsesi PT RAPP,” katanya, “warga Pulau Padang sangat bergantung pada kayu untuk membuat rumah.Untuk bangun rumah kita gotong royong, kita masuk dalam hutan, kayu kita pilih untuk membangun rumah,” kata Nurhadi. Menurut masyarakat, mereka sudah sejahtera jauh sebelum PT. RAPP beroperasi di Pulau Padang. Namun, kehadiran PT. RAPP menjadikan situasi lebih sulit karena: pertama, hancurnya pola ekonomi lokal yang berbasiskan sagu dan perkebunan karet. Kedua, menyempitnya lahan pertanian dan perkebunan.Ketiga,m akin sulitnya memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kayu untuk pembangunan rumah, mengebumikan orang meninggal, dimana karena Pulau Padang adalah pulau dengan kawasan gambut, maka pengebumian orang yang meninggal membutuhkan peti yang terbuat dari kayu.17 CERITA DI ATAS MENGGAMBARKAN PT RAPP telah merampas lahan kehidupan masyarakat di Pulau Padang.Konflik antara PT RAPP dengan masyarakat Pulau Padang telah berlangsung sejak SK 327 tahun 2009 terbit. Sejak saat itu, demi mempertahankan lahan kehidupan, sekitar 64 kali masyarkat melakukan protes pada Pemerintah, mulai dari turun ke jalan, menginap di depan DPRD Riau, memasang tenda di depan DPRRI dan Kemenhut RI, terakhir aksi ekstrim jahit mulut dan hendak membakar diri—terakhir ini urung dilakukan—pun mereka lakukan. Atas desakan dan tuntutan masyarakat Pulau Padang, Menteri Kehutanan membentuk Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau melalui SK.736/Menhut-II/2011 tanggal 27 Desember 2011. Tim berjumlah 11 orang tersebut diketuai Andiko dari Dewan Kehutanan Nasional itu langsung turun ke ke Pulau Padang mengumpulkan data, fakta, bertemu masyarakat, perusahaan, akademisi dan pemerintah Kabupaten. Tim mewawancarai semua pihak untuk memberikan kebenaran versi masing-masing.Hasil temuan berupa laporan setebal 107 halaman itu dilaporkan ke Menhut.
17
Laporan tim Mediasi, halaman 67
P a g e | 58
TEMUAN TIM MEDIASI memverifikasi kebenaran tuntutan masyarakat Pulau Padang yang sejak awal menolak kehadiran PT RAPP. Setidaknya ada tujuh temuan tim mediasi; Pertama, Isu Penduduk Asli. Tim menemukan beberapa pernyataan berbagai pihak terkait keberadaan penduduk Pulau Padang.Jauh sebelum Indonesia merdeka, Pulau Padang adalah pulau yang memiliki penduduk plural berasal dari berbagai etnis.Sejak lama penduduk plural ini membangun interaksi sosial dengan sangat baik diantara mereka. Kedua, Tata Batas Kawasan Hutan. Belum ada kepastian tanda batas kawasan hutan negara, areal konsesi dengan kawasan kelola masyarakat, alias lahan masyarakat masuk dalam konsesi PT RAPP. Ketiga,
Ruang Kelola dan Klaim
Masyarakat.Masyarakat
Pulau
Padang
memperoleh tanah dan lahan melalui pewarisan turun temurun, masyarakat memiliki sistem penguasaan tanah di lapangan baik berdasarkan kebiasaan maupun berdasarkan hukum yang ada.Tim menemukan penguasaan-penguasaan berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) dari Kepala Desa dan Sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional. Sistem penguasaan lain adalah berupa penguasaan fisik di lapangan dengan bukti pohonpohon tua, kuburan tua, kampung tua dan sebagainya. Masyarakat Pulau Padang melakukan pengelolaan lahan di lapangan berupa : Perkebunan Karet dan Sagu. Khususnya masyarakat suku Akit melakukan pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti daun nipah untuk atap dan berburu. Keempat, Masalah-Masalah Terkait Tata Kuasa dan Tata Kelola.Ada kebun dan pemukiman yang tumpang tindih dengan areal perizinan IUPHHK-HTI PT. RAPP. Ditemukan penyimpangan terhadap proses pemberian Surat Keterangan Tanah yang berdampak pada tidak tepatnya penerima Sagu Hati. Kekhawatiran hilangnya sumbersumber ekonomi lokal bersumber dari ketidakpastian hak penguasaan masyarakat atau Kekhawatiran hilangnya sumber-sumber ekonomi lokal bersumber dari kemungkinan rusaknya Pulau Padang. Kelima,
Keterwakilan/Penyelesaian
Konflik
Lahan.
Keterwakilan
memiliki
keterkaitan kuat dengan diterima atau tidak diterimanya IUPHHK-HTI di Pulau Padang dan sekaligus berhubungan langsung dengan proses pelaksanaan negosiasi pemberian ganti rugi atau sagu hati. Terjadi perpecahan di tingkat aparatur desa dalam mensikapi P a g e | 59
IUPHHK-HTI. Kepala desa sepulau Padang menandatangani surat kesepakatan dengan perusahaan yang intinya memuat protokol/cara-cara bernegosiasi untuk operasional IUPHHK-HTI di Pulau Padang. Tiga Kepala Desa kemudian mencabut persetujuannya di surat perjanjian tersebut. Lantas 12 (Dua Belas) Ketua Badan Permusyawaratan Desa di Pulau Padang membuat surat pernyataan menolak keberadaan IUPHHK-HTI di Pulau Padang. Terjadi kekeliruan dalam pemberian Sagu Hati kepada pihak yang bukan pemilik lahan. Keenam, Perizinan Termasuk Lingkungan. Terkait dengan perizinan ada kontroversi yang mengemuka mengenai pemenuhan keabsahan syarat pemberian izin dan ada situasi tumpang tindih peraturan perundang-undangan, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum soal perizinan.Terkait dengan isu lingkungan ada kontroversi mengenai pengelolaan gambut dalam di Pulau Padang.Terdapat dua pandangan berbeda terhadap pengelolaan gambut dalam dan kerentanan Pulau Padang.Secara akademis kedua pandangan tersebut belum dapat diterima karena data-data yang diperlukan untuk menjawab isu lingkungan di Pulau Padang belum lengkap. Ketujuh, Potensi Konflik Horizontal. Kontroversi yang terjadi dilapangan terkait dengan adanya IUPHHK-HTI di Pulau Padang jika tidak tertangani dengan baik maka akan menimbulkan hal-hal: Ada potensi konflik horizontal diantara masyarakat yang menerima dengan yang menolak perizinan IUPHHK-HTI dan dengan pekerja perusahaan. Dan ada potensi konflik antara masyarakat Pulau Padang dengan masyarakat di Selat Panjang karena isu ketertiban dan keamanan yang timbul akibat terjadinya demonstrasi ke ibu kota kabupaten. Solusi Tim Mediasi kepada Menhut: pertama,
solusi Alternatif berupa Revisi
Keputusan Menteri Kehutanan No 327/Menhut-II/2009 dengan mengeluarkan seluruh blok Pulau Padang dari area konsesi. Kedua, Solusi Alternatif berupa Revisi Keputusan Menteri Kehutanan No 327/Menhut-II/2009 dengan mengurangi luasan IUPHHK-HTI blok Pulau Padang. Menhut memilih mengurangi luasan PT RAPP di Pulau Padang. Berdasarkan temuan tim mediasi, ada 10 tahapan penyelesaian dilakukan oleh Kemenhut sebelum merevisi SK 327 tahun 2009. Ada dua substansi yang harus dilakukan Menhut: Review independen perizinan dan Pelaksanaan Perizinan (Melibatkan Bagian Hukum Dephut, Dirjen BUK, NGO) dan melanjutkan mediasi dengan masyarakat P a g e | 60
Dengan tahapan kegiatan berupa.Pertama, Pemetaan Partisipatif ruang kelola masyarakat yang tumpang tindih dengan konsesi PT. RAPP.Pemetaan partisipatif yang melibatkan instansi terkait, perusahaan, LSM dan masyarakat diarahkan semaksimal mungkin mengeluarkan wilayah kelola masyarakat.Kedua, Mempercepat proses padu serasi RTRWP dengan TGHK terkait keberadaan desa-desa yang berada di Pulau Padang dengan menerbitkan SK Penetapan Sementara oleh Menteri Kehutanan terhadap areal yang tidak bermasalah dan tidak tumpang tindih dengan. Ketiga, melakukan identifikasi dan pemetaan partisipatif wilayah kelola masyarakat di semua desa di pulau padang yang tumpang tindih dengan konsesi RAPP dan HPT. Keempat, merasionalisasi ijin RAPP dengan mengeluarkan ruang kelola masyarakat yang berada dalam HPT dan dikelola dengan skema HTR atau hutan desa.Kelima, penyelesaian lahan pemukiman dan lahan garapan, kebun dan masyarakat yang ada di HPK diselesaikan melalui revisi RTRWP dan penataan batas kawasan hutan.Keenam, melakukan analisis tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan dan hutan sebagai dasar penyelesaian konflik dan model pemberdayaan masyarakat di Pulau Padang. Ketujuh, revisi terhadap protokol penyelesaian konflik dengan menambahkan pihak independen untuk melakukan pemantauan.Kedelapan, meninjau ulang proses negosiasi sagu hati yang sudah ada dan sedang berlangsung dengan menitikberatkan pada penerapan prinsip Keputusan Bebas Diinformasikan dan Didahulukan (Free, Prior, Informed and Consent). Kesembilan, membentuk tim kecil (3 orang) yang bertugas untuk mentransformasi gagasan
penyelesaian,
mendorong
rekonsiliasi
dan
mementoring
proses
negosiasi/mediasi. Tim juga ini harus memiliki kewenangan untuk menata ulang dan mengkonsilidasikan inisiatif penyelesaian yang sudah dilakukan oleh tim terpadu pemda kabupaten maupun tim land dispute perusahaan serta Tim 9 di setiap desa. Dan kesepuluh, Kementerian Kehutanan membentuk tim yang Independen yang bertugas: menelaah dan memverifikasi kontoversi proses perijinan dalam pendekatan legal audit untuk menjernihkan kesimpang siuran informasi dan kajian-kajian hukum yang beredar bebas, mengkaji resiko lingkungan terhadap rencana operasional PT. RAPP di Pulau Padang, melakukan studi mendalam oleh gabungan para pakar (ekosistem gambut, sosiologi, antropologi, dan ekonomi pedesaan) untuk melihat secara objektif dampak pembukaan hutan alam skala luas terhadap penurunan gambut dan kehidupan
P a g e | 61
social, ekonomi dan budaya masyarakat setempat serta melihat kerentannya sebagai pulau kecil. Lantas Menhut berdasarkan Sk Dirjen Bina UsahaKehutanan Kemenhut No: 5.3/VIBUHT/2012 tertanggal 3 Januari 2012 perihal Penghentian Sementara Kegiatan IUPHHKHT PT RAPP di Pulau Padang berisi memperhatikan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. SK. 736/Menhut-II/2011 tentang Pembentukan Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap IUPHHK-HT di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, dengan ini diminta agar saudara (Pimpinan PT RAPP) menghentikan sementara seluruh kegiatan pemanfaatan hutan oleh perusahaan di Pulau Padang sampai dengan adanya pemberitahuan lebih lanjut. Sebulan berselang, Menhut membentuk dua tim: Tim Pemantau Pelaksanaan Tata Batas dan Mediasi Tuntutan Masyarakat Terhadap IUPHHK-HT di Pulau Padang Kab Kepulauan Meranti tanggal 13 Februari 2012. 18dan tim Verifikasi Kerentanan lingkungan dan gambut pada tanggal 23 Februari 2012. 19 Meski operasional PT RAPP dihentikan sementara waktu oleh Menhut. Namun, pada Juli 2012 sekira 700 warga Pulau Padang setelah tiga hari menelusuri kedalam hutan terus menelusuri hutan, warga menemukan beberapa kanal dan lahan yang sudah ditebang PT RAPP sekira 8.000-an hektare . Ditengah hutan Lukit itu ada pekerja sedang lakukan pembibitan, pembangunan beberapa titik semacam perumahan.Ada satu speedboat mesin 40 PK sandar di kanal.Speedboat ini untuk membawa karyawan perusahaan. Satu kapal pompong bertonase kurang lebih lima ton sandar di dermaga sekitar basecamp milik PT RAPP. Beberapa kendaraan bermotor seperti mobil dan sepeda motor juga ada sebagai penunjang operasional pekerja. Ada pula kantin yang masih aktif. Ada karyawan sekitar 50-an orang di dalam sana. Sekuriti hampir 30 an, karyawan pembibitan 15 orang.Alat-alat siram bibit, dan mesin ada yang jaga.Klinik juga aktif.20Meski menemukan pelanggaran oleh PT RAPP, Menhut tidak memberikan sanksi kepada PT RAPP. PT RAPP juga melakukan pemetaan bersama masyarakat yang pro dengan mereka. Laporan mereka terkait progress tapal batas kerap mereka laporkan ke tim
18
Lihat Kepmenhut No. SK.102/Menhut-VI/2012 Lihat SK.118/Menhut-Vi/2012 20 Lihat www.riaulive.com dan www.mongabay.co.id, 19
P a g e | 62
pemantau tata batas. Selain PT RAPP masyarakat juga melakukan pemetaan kampung.Masyarakat memetakan wilayah desa, pemukiman, rumah, kebun dan lahan milik masyarakat harus keluar dari PT RAPP.Tim kerentanan lingkungan dan gambut, yang berisi akademisi dibidang lingkungan dan gambut juga melakukan tugas mereka.Tim turun ke Pulau Padang setelah melakukan serangkaian pertemuan di Batam, Kepulauan Riau. Namun, tim ini malah memunculkan kontroversi di media. Salah satunya membantah bahwa Pulau Padang akan tenggelam.
Koalisi Pendukung Perjuangan
Rakyat Pulau Meranti melalui media rilis, pada Rabu 5 September 2012, menyesalkan pernyataan Budi Indra Setiawan Ketua Tim Verifikasi Kerentanan Lingkungan dan Gambut HTI PT RAPP di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau yang menyatakan bahwa Pulau Padang akan tenggelam adalah isu belaka dan industri HTI tidak membahayakan Pulau Padang. Kendati kenyataan memperlihatkan bahwa Pulau Padang terus mengalami penurunan hingga satu meter setiap tahun.21 PADA SENIN 6 MEI 2013. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Jikalahari, LBH Pekanbaru, STR, riaucorruptiontrial dan Narasi Pokja Riau tergabung dalam SAKSI menilai Menhut RI dan PT RAPP telah melakukan perbuatan melawan hukum, mengintimidasi masyarakat, dan mengkriminalisasi petani aktifis lingkungan dan agraria di Pulau Padang, Kabuparen Kepulauan Meranti, Propinsi Riau, empat tahun terakhir ini. Sejak dua pekan ini, warga Pulau Padang melaporkan: setidaknya 40 unit alat berat milik PT RAPP sudah beroperasi di Sungai Hiu Desa Tanjung Padang, dan 3 unit alat berat di Desa Lukit, Senalit, Kecamatan Merbau. Tiga ponton berisi kayu alam hasil tebangan juga berada di Senalit. 22 Fakta di atas menunjukkan PT RAPP sudah diberi izin oleh Menhut untuk kembali beroperasi melalui No SK. 180/Menhut-II/2013 tentang Perubahan keempat keputusan Menteri Kehutanan Nomor 130/KPTS-II/1996 tanggal 27 Februari 1996 tentang pemberia hak pengusahaan hutan tanaman industry kepada PT Riau Andalan Pulp and Paper. Sejak 3 Januari 2012 Menhut menghentikan sementara seluruh kegiatan pemanfaatan hutan oleh perusahaan di Pulau Padang sampai dengan adanya
21
Lihat: http://www.mongabay.co.id/2012/09/06/tim-verifikasi-belum-nilai-amdal-ekspansi-lahan-pt-rapp-di-pulaupadang/#ixzz261qedsD7 22
(lihat video: http://www.youtube.com/watch?v=2XeD6PFsT-U)
P a g e | 63
pemberitahuan lebih lanjut.“Namun belum ada surat pemberitahuan lebih lanjut dari Menhut RI bahwa PT RAPP di Pulau Padang boleh beroperasi,” kata Pairan, Ketua STR Pulau Padang. “Kalau pun Menhut sudah mengizinkan PT RAPP beroperasi, itu berarti Menhut telah melanggar salah satu tahapan penyelesaian Konflik Pulau Padang yang menjadi solusi Menhut. Salah satunya masyarakat sedang melakukan pemetaan wilayah kelola yang masuk dalam konsesi PT RAPP.Hasil petanya belum selesai.Inti pemetaan, kebun dan rumah masyarakat yang masuk dalam konsesi wajib dikeluarkan,” kata Akhwan Binawan dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), yang mendampingi masyarakat Pulau Padang melakukan pemetaan sejak PT RAPP berhenti beroperasi. Sejak alat berat PT RAPP masuk di Pulau Padang, masyarakat resah lantaran kabar tersiar polisi akan memenjarakan masyarakat yang selama ini terlibat aksi menolak kehadiran PT RAPP. Selain itu, juga mengkriminalisasi Petani dan aktifis lingkungan dan agraria. PT RAPP melaporkan ke Polisi dengan tuduhan M Ridwan “membunuh” subkontraktor PT RAPP pada 2011, namun Ridwan ditangkap penyidik sejak April 2013 jelang PT RAPP beroperasi."Kenapa saat alat berat masuk ke Pulau Padang, penyidik tiba tiba saja mengkriminalkan aktifis Agraria dan Lingkungan Hidup?Kenapa tidak tahun 2011 lalu?" kata Suryadi, Direktur LBH Pekanbaru, yang juga Penasehat Hukum M Ridwan. “Ingat tidak akan ada korban meninggal dan retaknya kerukunan masyarakat Pulau Padang kalau PT RAPP tidak masuk di Pulau Padang.Konflik terjadi di Pulau Padang karena kehadiran PT RAPP,” kata Pairan.“Pembela Lingkungan Hidup tidak bisa dipidana.Itu perintah undang-undang,” kata Suryadi. UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 66 menyebut,”Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secaca perdata.” Konflik sosial dengan perusahaan di Pulau Padang yang berlangsung hingga hari ini menguatkan fakta buruknya tata kelola kehutanan berupa tahapan tata batas sebelum pengukuhan kawasan hutan. Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK mensinyalir buruknya tata kelola dan korupsi menjadi lingkaran setan bagi sektor kehutanan.Keduanya terus menggerogoti hak rakyat untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya atas hutan.“Pengukuhan kawasan hutan
P a g e | 64
tidak hanya menyebabkan buruknya pola pemanfaatan hutan tetapi juga menjadi jalan bagi korupsi.”23
23
Integrated White Paper KPK Semiloka Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan, hal 15
P a g e | 65
VI.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan Secara umum peluang terjadinya praktek korupsi disektorkehutanan dibagi atas 3 katagori, yakni : 1. Peluang Korupsi yang berkaitan dengan pemberian izin dibidang kehutanan 2. Peluang Korupsi yang berkaitan dengan pegawasan kegiatan usaha kehutanan 3. Peluang Korupsi terkait dengan pembayaran retribusi kenegara baik berupa DR, PSDH, dan lainya termasuk juga penggunaan anggaran
belanja pemerintah
dibidang kehutanan atau berkaitan dengan pendanaan upaya-upaya konservasi hutan dan lingkungan di Indonesia. Peluang korupsi dalam pemberian izin , dapat bagi menjadi 3 tahap yaitu Pra Perizinan , Perizinan dan Pasca Perizinan. Tahap pra perizinan terkait dengan legalitas kawasan hutan pada areal yang akan diberikan izin serta perubahan ketentuan dalam pemberian izin. Tahap perizinan terkait dengan syarat syarat administrasi yang menyertai keluarnya izin.Tahap Pasca perizinan terkait dengan pelaksanaan ketentuan yang harus dilakukan pasca keluarnya izin. Ketidak konsistenan regulasi juga menjadi pemicu tumbuh suburnya praktek korupsi sektor kehutanan. Kriteria area yang diperuntukkan untuk pemberian izin bagi HTI
seperti
lahan
kosong,
alang-alang
dan
seterusnya
nyata-nyata
dalam
implementasinya tidak berjalan. Peluang korupsi terkait pengawasan terjadi dikarenakan kelemahan dalam praktek/ implmentasi yang terjadi dilapangan. Bahwa ada aturan dan kebijakan prinsip tata kelola hutan lestari dimana pemerintah juga harus melakukan pengawasan dan pengaman terhadap aturan tersebut, namun terkadang ketidak professional akibat praktek korupsi dan moralitas yang rendah menjadi kendala didalam menegakan aturanaturan tersebut. Peluang Korupsi terkait dengan pembayaran retribusi kenegara berupa DR/PSDH berasal dari berbagai modus yang dilakukan oleh perusahaan maupun pemerintah yang tidak optimal dan sengaja melakukan pembiaran.Selain fakta-fakta korupsi PBNP sektor kehutanan akibat dari tidak ektrasi ilegal yang dilakukan perusahaan, peluang korupsi
P a g e | 66
PNBP sektor kehutanan (PSDH/DR) dapat dilihat dari hal penarikan dimana peluang yang sangat rentan yaitu manipulasi LHP/LHC. Selanjutnya, dalam hal pengalokasian, bahwa PNBP sektor kehutanan merupakan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah penghasil yaitu IUPH, PSDH dan DR. Alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) tersebut ditentukan berdasarkan hasil rekonsiliasi triwulan-semesteran dan tahunan antara dinas kehutanan daeran – Kementrian Kehutanan dan Kementria Keuangan dan kementrian terkait lainnya guna mengevaluasi antara SPP dan LHP wajib bayar. Dalam rekonsiliasi tersebut sampai pengalokasian DBH sesuai peraturan menteri keuangan (PMK) berpeluang terjadinya negosiasi antara dinas kehutanan dan kementrian keuangan.
5.2 Rekomendasi Tidak berlebihan
apabila dikatakan penegakan hukum merupakan kunci
pemberantasan praktek korupsi di Indonesia. Terkait dengan sector kehutanan, konsistensi regulasi juga menjadi penting agar tidak terjadi multi tafsir yang pada akhirnya hanya menguntung pemberi dan penerima izin. Didalam praktek korupsi perizinan kehutanan, masyarakat sipil juga diharapkan dapat berperan dalam memantau dan mengawasi kinerja kementrian kehutanan terutama dalam praktek-praktek pengerusakan hutan dan peluang korupsi perizinan di sector kehutanan. Memantau praktek perizinan kehutanan untuk menemukan kemungkinan adanya praktek korupsi dibidang kehutanan dan pengerusakan hutan.Ada 4 langkah untuk melakukan panduan pematauan yaitu : 1. Mengumpulkan data dan informasi serta menganalisis adanya indikasi korupsi 2. Mengembangkan hipotesis kejahatan 3. Melaksanakan pemantauan/investigasi untuk mengumpulkan bukti-bukti yang mendukung hipotesis 4. Menyusun laporan dan melaporkan
4 langkah ini yang kemudian bisa dikembangkan untuk pedoman peran aktif masyarakat sipil untuk mengawasi paraktek-praktek korupsi perizinan di sector kehutanan, selain itu masyarakat sipil perlu terus mengawasi serta memonitoring P a g e | 67
penerimaan Negara dengan terus melakukan uji akses data primer yang berkaitan dengan LPH- PSDH –DR di lembaga – lembaga pengelola seperti pemerintah (Departemen Kehutanan, dinas kehutanan) dan perusahaan – perusahaan pelaku ekploitasi kehutanan di Riau. Dan diharapkan juga, pihak pemerintah daerah untuk bekerjasama dengan masyarakat sipil untuk bersama melakukan audit.
P a g e | 68
LAMPIRAN Lampiran 1. Perubahan Kriteria Kawasan Untuk IUPHHK-HT Waktu
Regulasi
Kriteria kawasan hutan
Keterangan
8 Agustus 1981
Kepmentan No
Hutan Produksi Bebas (HP)
Kriteria kawasan sama
683/Kpts/Um/8/1981 16 Maret 1990
PP No 7/ 1990
25 Juli 1990
Kepres No 32/ 1990
dengan hutan produksi tetap Hutan Produksi Tetap (HP) Perlindungan kawasan bergambut lebih dari 3m
30 Desember 1997
Perda No 10 /1994
APK Kehutanan
PP No 47/1997
Hutan Produksi Tetap (HP)
(disesuai dengan kriteria tehnis sektoral yang berlaku pada saat itu) Perlindungan kawasan bergambut lebih dari 3m
27 Januari 1999
PP No 6/ 1999
Tidak mengatur kriteria kawasan
Mencabut PP No 7 tahun 1990
30 September 1999
UU No 41/ 1999
hutan yang tidak produktif
Tidak ada penjelasan tentang hutan yang tidak produktif
6 Nopember 2000
Kepmen No:10.1/Kpts-II/ 2000
areal kosong; areal hutan yang akan dialih fungsikan menjadi Hutan Produksi, tidak dibebani hak-hak lain, vegetasi berupa non hutan ; hutan produksi
8 Juni 2002
PP No 34/ 2002
lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar dihutan produksi
5 Feb 2003
SK 32/2003
24 Maret 2004
SK. 101/Menhut-II/2004
Mencabut PP No 6/1999 Mencabut Kepmen 10.1
lahan kosong dan atau padang alang-
Melindungi kawasan
alang dan atau semak belukar
bergambut lebih dari 3m dalam delineasi mikro Mencabut 162/Kpts-II/2003
28 September 2004
P.10/Menhut-II/2004
Tidak merubah kriteria
Merubah p.05 2004
25 Juli 2005
P.23/Menhut-II/2005
Tidak merubah kriteria
Perubahan SK 101/2004
6 Oktober 2006
P.61/Menhut-II/2006
HPT dan HP
8 Januari 2007
PP No 6/ 2007
hutan produksi yang tidak produktif
(tidak ada penjelasan pada HP atau HPT) Mencabut PP No 34/ 2002
28 Mei 2007
P.19/Menhut-II/2007
Hutan Produksi yang tidak produktif dan
Mencabut P.05/Menhut-
tidak dibebani hak/izin lainnya
II/2004 dan P.78/MenhutII/2006
10 Maret 2008
PP 26 2008
Hutan Produksi Tetap
Mencabut PP 47/1997 Melindungi gambut dengan kedalaman 3m lebih
24 April 2008
P.11/Menhut-II/2008
Hutan produksi yang tidak produktif
Perubahan P.19/Menhut-
adalah hutan yang dicadangkan oleh
II/2007
mentri sebagai hutan tanaman 31 Desember 2010
P.50/Menhut-II/2010
hutan produksi tidak dibebani izin/hak;
Mencabut
hutan produksi yang tidak produktif dan
P.11/Menhut-II/2008
P a g e | 69
dicadangkan/ ditunjuk oleh Menteri sebagai areal untuk pembangunan hutan tanaman
Waktu
Regulasi
Kriteria yang diatur
Keterangan
30 September
UU No 41/ 1999
hutan yang tidak produktif
Tidak ada penjelasan
6 Nopember
Kepmen No:10.1/Kpts-II/
areal kosong; areal hutan yang akan
( semak belukar, padang
2000
2000
dialih fungsikan menjadi Hutan
alang-alang, dan tanah
Produksi, tidak dibebani hak-hak lain,
kosong) potensi kayu bulat
1999
vegetasi berupa non hutan ; hutan produksi
berdiameter 10 Cm untuk semua jenis kayu dengan kubikasi tidak lebih dari 5 m3 per hektar
8 Juni 2002
PP No 34/ 2002
lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar dihutan produksi
24 Maret 2004
SK. 101/Menhut-II/2004
lahan kosong dan atau padang alang-
Melindungi kawasan
alang dan atau semak belukar
bergambut lebih dari 3m dalam delineasi mikro
P.10/Menhut-II/2004
Tidak merubah kriteria
Merubah p.05 2004
25 Juli 2005
P.23/Menhut-II/2005
Tidak merubah kriteria
Perubahan SK 101/2004
6 Oktober 2006
P.61/Menhut-II/2006
lahan kosong, padang alang-alang dan
Pada HPT dan HP
28 September 2004
atau semak belukar , dan tidak dibebani izin/hak lainnya
8 Januari 2007
PP No 6/ 2007
hutan produksi yang tidak produktif
Mencabut PP No 34/ 2002
28 Mei 2007
P.19/Menhut-II/2007
Hutan Produksi yang tidak produktif
dan tidak dibebani hak/izin lainnya
24 April 2008
P.11/Menhut-II/2008
Hutan produksi yang tidak produktif
hutan yang dicadangkan oleh mentri sebagai hutan tanaman
31 Desember 2010
P.50/Menhut-II/2010
hutan produksi tidak dibebani
dicadangkan/ ditunjuk
izin/hak; hutan produksi yang tidak
oleh Menteri sebagai areal
produktif
untuk pembangunan hutan tanaman
P a g e | 70
Lampiran 2. Regulasi dan Perlindungan Gambut
Waktu
Regulasi
25-Jul-90 Kepres No 32/ 1990
Gambut Kurang dari 3m
30-Des-97 PP No 47/1997
Kurang dari 3m
10-Mar-08 PP 26 2008
Kurang dari 3m
Catatan: Sampai saat ini belum ada peta resmi tentang kawasan gambut yang harus dilindungi.
P a g e | 71
Lampiran 3.Tabel Kesesuaian dengan Regulasi Kehutanan IUPHHK HT
Luas (ha)
Sesuai (ha)
Tidak Sesuai %
(ha)
%
Periode Sebelum 30 September tahun 1999 PT. ARARA ABADI
375.235
159.434
42,49%
215.802
57,51%
31.587
29.561
93,59%
2.026
6,41%
PT. EKA WANA LESTARI DHARMA
10.223
10.015
97,97%
208
2,04%
PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCTS (HTI SAGU)
21.383
0
0,00%
21.383
100,00%
PT. NUSA WANA RAYA
24.124
0
0,00%
24.124
100,00%
PT. PERAWANG SUKSES PERKASA INDUSTRI
54.605
0
0,00%
54.605
100,00%
PT. RIAU ABADI LESTARI
15.540
5.799
37,32%
9.741
62,68%
189.770
22.973
12,11%
166.797
87,89%
PT. RIMBA PERANAP INDAH
14.556
0
0,00%
14.556
100,00%
PT. RIMBA ROKAN LESTARI
11.112
0
0,00%
11.112
100,00%
PT. RIMBA SERAYA UTAMA
11.466
0
0,00%
11.466
100,00%
PT. SARI HIJAU MUTIARA
17.739
14.561
82,08%
3.178
17,91%
777.340
242.343
31,18%
534.998
68,82%
PT. SATRIA PERKASA AGUNG
78.995
296
0,37%
78.699
99,63%
Sub Total
78.995
296
0,37%
78.699
99,63%
3.250
0
0,00%
3.250
100,00%
PT. DEXTER TIMBER PERKASA INDONESIA & KTH WANA JAYA
PT. RIAU ANDALAN PULP & PAPER
Sub Total Periode tahun 30 September 1999 sampai 31 Desember 2000
Periode 1 Januari 2000 sampai 31 Desember 2002 KOPERASI IKRAM PT. ARTELINDO WIRATAMA
10.038
0
0,00%
10.038
100,00%
PT. BINA DUTA LAKSANA
29.328
82
0,28%
29.246
99,72%
PT. BUKIT RAYA PELALAWAN
4.034
0
0,00%
4.034
100,00%
PT. CITRA SUMBER SEJAHTERA
15.433
0
0,00%
15.433
100,00%
5.763
0
0,00%
5.763
100,00%
PT. MITRA KEMBANG SELARAS
14.508
0
0,00%
14.508
100,00%
PT. PEPUTRA SIAK MAKMUR
15.267
2.494
16,34%
12.774
83,67%
PT. PUTRA RIAU PERKASA
16.560
0
0,00%
16.560
100,00%
PT. MERBAU PELALAWAN LESTARI
PT. RIAU BINA INSANI
4.264
0
0,00%
4.264
100,00%
PT. RIAU INDO AGROPALMA
9.601
587
6,11%
9.013
93,88%
PT. SELARAS ABADI UTAMA
18.366
29
0,16%
18.337
99,84%
PT. SUMATERA SILVA LESTARI
9.686
0
0,00%
9.686
100,00%
PT. SUNTARA GAJA PATI
45.772
2.892
6,32%
42.880
93,68%
PT. TAMAN ROS INDAH
18.939
0
0,00%
18.939
100,00%
PT. UNI SERAYA
34.144
0
0,00%
34.144
100,00%
254.953
6.084
2,39%
248.868
97,61%
CV. ALAM LESTARI
4.705
0
0,00%
4.705
100,00%
CV. BHAKTI PRAJA MULIA
5.690
0
0,00%
5.690
100,00%
CV. HARAPAN JAYA
5.066
0
0,00%
5.066
100,00%
CV. MUTIARA LESTARI
2.554
91
3,56%
2.462
96,42%
CV. PUTRI LINDUNG BULAN
2.252
0
0,00%
2.252
100,00%
Sub Total Periode 1 Januari 2003 sampai 24 Maret 2004
P a g e | 72
PT. BALAI KAYANG MANDIRI
21.980
2.917
13,27%
19.063
86,73%
PT. BUKIT BATABUH SEI INDAH
13.599
0
0,00%
13.599
100,00%
PT. BUKIT BATU HUTANI ALAM
32.544
12.065
37,07%
20.479
62,93%
PT. MADUKORO
14.890
0
0,00%
14.890
100,00%
PT. MITRA HUTANI JAYA
9.279
70
0,75%
9.209
99,25%
PT. MITRA TANINUSA SEJATI
7.610
0
0,00%
7.610
100,00%
10.185
28
0,27%
10.157
99,73%
PT. RIMBA MANDAU LESTARI
5.744
0
0,00%
5.744
100,00%
PT. RIMBA MUTIARA PERMAI
8.089
0
0,00%
8.089
100,00%
PT. SATRIA PERKASA AGUNG UNIT SERAPUNG
11.828
58
0,49%
11.771
99,51%
PT. SEKATO PRATAMA MAKMUR
46.318
12.350
26,66%
33.968
73,34%
PT. SERAYA SUMBER LESTARI
18.679
2.154
11,53%
16.525
88,47%
PT. SINAR DELI PRATAMA
1.136
0
0,00%
1.136
100,00%
PT. SUMBER MASWANA LESTARI
9.302
0
0,00%
9.302
100,00%
PT. TRIOMAS FDI
9.872
26
0,26%
9.846
99,73%
241.322
29.759
12,33%
211.562
87,67%
8.701
8.701
100,00%
0
0,00%
PT. RIAU ANDALAN PULP & PAPER2
85.850
989
1,15%
84.861
98,85%
Sub Total
94.551
12.181
12,88%
82.370
87,12%
PT. BINA KELUARGA
9.188
266
2,90%
8.922
97,11%
PT. INHIL HUTAN PRATAMA
9.189
431
4,69%
8.758
95,31%
18.377
697
3,79%
17.680
97,11%
CV. TUAH NEGERI
1.774
0
0,00%
1.774
100,00%
KUD BINA JAYA LANGGAM
1.801
662
36,76%
1.139
63,25%
PT. BINA DAYA BENTALA
19.858
7.865
39,61%
11.993
60,39%
PT. LESTARI UNGGUL MAKMUR
10.651
273
2,56%
10.378
97,43%
PT. PRIMA BANGUN SUKSES
8.708
3.164
36,33%
5.544
63,66%
PT. RIMBA LAZUARDI
20.372
12.066
59,23%
8.306
40,77%
PT. RUAS UTAMA JAYA
PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCT
Sub Total Periode 4 Maret 2004 sampai 31 Desember 2004 PT. NUSA PRIMA MANUNGGAL
Periode 1 Januari 2005 sampai 6 oktober 2006
Sub Total Periode 6 Oktober 2006 sampai 1 Januari 2007
44.687
12.199
27,30%
32.488
72,70%
PT. SATRIA PERKASA AGUNG & KTH. SINAR MERAWANG
9.076
0
0,00%
9.076
100,00%
PT. SIAK RAYA TIMBER
24.132
10.814
44,81%
13.318
55,19%
148.138
1.956
1,32%
146.182
98,68%
8.043
5.074
63,09%
2.969
36,92%
297.240
54.074
18,19%
243.166
81,81%
97.469
10.747
11,03%
86.722
88,97%
PT. SUMATERA RIANG LESTARI PT. WANANUGRAHA BINA LESTARI Sub Total Periode 1 januari 2007 sampai sekarang (maret 2013) PT. RIAU ANDALAN PULP & PAPER3 PT. WANANUGRAHA BINA LESTARI Sub Total
Grand Total
8.043
5.074
63,09%
2.969
36,92%
105.512
15.821
14,99%
89.691
85,01%
1.868.290
361.255
19,34%
1.507.034 80,66%
P a g e | 73
Lampiran 4. Kesesuaian Perizinan terhadap kedalaman gambut
Sesuai
Tidak Sesuai
Total IUPHHK HT
(ha)
(ha)
%
(ha)
%
CV. ALAM LESTARI
4.705
20
0,43%
4.685
99,58%
CV. BHAKTI PRAJA MULIA
5.690
1
0,02%
5.690
99,99%
CV. HARAPAN JAYA
5.066
20
0,39%
5.046
99,61%
CV. MUTIARA LESTARI
2.554
2.554
100,00%
0
0,00%
CV. PUTRI LINDUNG BULAN
2.252
2.252
100,00%
0
0,00%
CV. TUAH NEGERI
1.774
0
0,00%
1.774
100,00%
KOPERASI IKRAM
3.250
0
0,00%
3.250
100,00%
KUD BINA JAYA LANGGAM
1.801
1.801
100,00%
0
0,00%
375.235
317.977
84,74%
57.258
15,26%
PT. ARTELINDO WIRATAMA
10.038
10.038
100,00%
0
0,00%
PT. BALAI KAYANG MANDIRI
21.980
5.978
27,20%
16.002
72,80%
PT. BINA DAYA BENTALA
19.858
19.858
100,00%
0
0,00%
PT. BINA DAYA BINTARA
7.719
7.719
100,00%
0
0,00%
PT. BINA DUTA LAKSANA
29.328
4.820
16,43%
24.508
83,57%
9.188
5.415
58,94%
3.773
41,07%
PT. BUKIT BATABUH SEI INDAH
13.599
13.599
100,00%
0
0,00%
PT. BUKIT BATU HUTANI ALAM
32.544
4.905
15,07%
27.640
84,93%
PT. BUKIT RAYA PELALAWAN
4.034
2.760
68,42%
1.274
31,59%
PT. CITRA SUMBER SEJAHTERA
15.433
15.433
100,00%
0
0,00%
31.587
0
0,00%
31.587
100,00%
PT. EKA WANA LESTARI DHARMA
10.223
2.173
21,26%
8.051
78,75%
PT. INHIL HUTAN PRATAMA
11.661
4.503
38,62%
7.159
61,39%
PT. LESTARI UNGGUL MAKMUR
10.651
10.651
100,00%
0
0,00%
PT. MADUKORO
14.890
1
0,01%
14.889
100,00%
PT. MERBAU PELALAWAN LESTARI
5.763
2.018
35,02%
3.745
64,99%
PT. MITRA HUTANI JAYA
9.279
768
8,28%
8.511
91,72%
14.508
776
5,35%
13.732
94,65%
7.610
7.610
100,00%
0
0,00%
10.185
619
6,08%
9.566
93,92%
21.383
21.383
100,00%
0
0,00%
8.701
8.701
100,00%
0
0,00%
PT. ARARA ABADI
PT. BINA KELUARGA
PT. DEXTER TIMBER PERKASA INDONESIA & KTH WANA JAYA
PT. MITRA KEMBANG SELARAS PT. MITRA TANINUSA SEJATI PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCT PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCTS (HTI SAGU) PT. NUSA PRIMA MANUNGGAL
P a g e | 74
PT. NUSA WANA RAYA
24.124
24.124
100,00%
0
0,00%
PT. PEPUTRA SIAK MAKMUR
15.267
15.267
100,00%
0
0,00%
PT. PERAWANG SUKSES PERKASA INDUSTRI
54.605
54.605
100,00%
0
0,00%
PT. PERKASA BARU
15.641
15.641
100,00%
0
0,00%
PT. PRIMA BANGUN SUKSES
8.708
8.708
100,00%
0
0,00%
PT. PUTRA RIAU PERKASA
16.560
26
0,16%
16.534
99,84%
PT. RIAU ABADI LESTARI
15.540
15.540
100,00%
0
0,00%
PT. RIAU ANDALAN PULP & PAPER
189.770
174.427
91,91%
15.342
8,08%
PT. RIAU ANDALAN PULP & PAPER2
85.850
3.480
4,05%
82.370
95,95%
PT. RIAU ANDALAN PULP & PAPER3
97.469
67.790
69,55%
29.679
30,45%
PT. RIAU BINA INSANI
4.264
4.264
100,00%
0
0,00%
PT. RIAU INDO AGROPALMA
9.601
5.584
58,16%
4.017
41,84%
PT. RIAU JAMBI SEJAHTERA
1.449
1.449
100,00%
0
0,00%
20.372
20.372
100,00%
0
0,00%
PT. RIMBA MANDAU LESTARI
5.744
0
0,00%
5.744
100,00%
PT. RIMBA MUTIARA PERMAI
8.089
8.089
100,00%
0
0,00%
PT. RIMBA PERANAP INDAH
14.556
14.556
100,00%
0
0,00%
PT. RIMBA ROKAN LESTARI
11.112
11.112
100,00%
0
0,00%
PT. RIMBA ROKAN PERKASA
22.733
22.733
100,00%
0
0,00%
PT. RIMBA SERAYA UTAMA
11.466
11.466
100,00%
0
0,00%
44.687
26.493
59,29%
18.194
40,71%
PT. SARI HIJAU MUTIARA
17.739
17.739
100,00%
0
0,00%
PT. SATRIA PERKASA AGUNG
78.995
10.157
12,86%
68.838
87,14%
9.076
0
0,00%
9.076
100,00%
11.828
1.444
12,21%
10.384
87,79%
PT. SEKATO PRATAMA MAKMUR
46.318
1.829
3,95%
44.489
96,05%
PT. SELARAS ABADI UTAMA
18.366
5.897
32,11%
12.469
67,89%
PT. SERAYA SUMBER LESTARI
18.679
2.308
12,36%
16.371
87,64%
PT. SIAK RAYA TIMBER
24.132
24.132
100,00%
0
0,00%
1.136
1.136
100,00%
0
0,00%
148.138
62.144
41,95%
85.994
58,05%
PT. SUMATERA SILVA LESTARI
9.686
9.686
100,00%
0
0,00%
PT. SUMBER MASWANA LESTARI
9.302
9.302
100,00%
0
0,00%
PT. SUNTARA GAJA PATI
45.772
17.041
37,23%
28.731
62,77%
PT. TAMAN ROS INDAH
18.939
18.939
100,00%
0
0,00%
PT. RIMBA LAZUARDI
PT. RUAS UTAMA JAYA
PT. SATRIA PERKASA AGUNG & KTH. SINAR MERAWANG PT. SATRIA PERKASA AGUNG UNIT SERAPUNG
PT. SINAR DELI PRATAMA PT. SUMATERA RIANG LESTARI
P a g e | 75
PT. TRIOMAS FDI
9.872
1.072
10,86%
8.800
89,14%
PT. UNI SERAYA
34.144
126
0,37%
34.018
99,63%
8.043
8.043
100,00%
0
0,00%
1.911.622
1.171.347
61,28%
740.275
38,72%
PT. WANANUGRAHA BINA LESTARI Grand Total
P a g e | 76
Lampiran 5. Kesesuaian Perizinan Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi IUPHHK HT
Total
Sesuai
Tidak Sesuai
%
(ha)
(ha)
%
CV. ALAM LESTARI
4.705
497
10,56%
4.208
89,45%
CV. BHAKTI PRAJA MULIA
5.690
0
0,00%
5.690
100,00%
CV. HARAPAN JAYA
5.066
0
0,00%
5.066
100,00%
CV. MUTIARA LESTARI
2.554
9
0,35%
2.545
99,65%
CV. PUTRI LINDUNG BULAN
2.252
2.252
100,00%
0
0,00%
CV. TUAH NEGERI
1.774
1.754
98,87%
20
1,15%
KOPERASI IKRAM
3.250
3.250
100,00%
0
0,00%
KUD BINA JAYA LANGGAM
1.801
1.801
100,00%
0
0,00%
375.235
313.380
83,52%
61.855
16,48%
PT. ARTELINDO WIRATAMA
10.038
9.939
99,01%
98
0,98%
PT. BALAI KAYANG MANDIRI
21.980
20.037
91,16%
1.943
8,84%
PT. BINA DAYA BENTALA
19.858
0
0,00%
19.858
100,00%
PT. BINA DAYA BINTARA
7.719
1.624
21,04%
6.094
78,96%
PT. BINA DUTA LAKSANA
29.328
14.990
51,11%
14.338
48,89%
9.188
907
9,87%
8.281
90,13%
PT. ARARA ABADI
PT. BINA KELUARGA PT. BUKIT BATABUH SEI INDAH
13.599
13.599
100,00%
0
0,00%
PT. BUKIT BATU HUTANI ALAM
32.544
29.649
91,10%
2.895
8,90%
PT. BUKIT RAYA PELALAWAN
4.034
1.883
46,68%
2.151
53,33%
PT. CITRA SUMBER SEJAHTERA
15.433
15.388
99,71%
45
0,29%
31.587
0
0,00%
31.587
100,00%
PT. DEXTER TIMBER PERKASA INDONESIA & KTH WANA JAYA PT. EKA WANA LESTARI DHARMA
10.223
767
7,50%
9.457
92,50%
PT. INHIL HUTAN PRATAMA
11.661
1.973
16,92%
9.688
83,08%
PT. LESTARI UNGGUL MAKMUR
10.651
9.956
93,47%
696
6,53%
PT. MADUKORO
14.890
0
0,00%
14.890
100,00%
PT. MERBAU PELALAWAN LESTARI
5.763
0
0,00%
5.763
100,00%
PT. MITRA HUTANI JAYA
9.279
5.517
59,46%
3.761
40,54%
14.508
4.766
32,85%
9.742
67,15%
7.610
7.292
95,82%
318
4,18%
10.185
6.810
66,86%
3.375
33,13%
21.383
9.852
46,07%
11.531
53,93%
8.701
4.391
50,47%
4.309
49,53%
PT. NUSA WANA RAYA
24.124
23.420
97,08%
704
2,92%
PT. PEPUTRA SIAK MAKMUR
15.267
0
0,00%
15.267
100,00%
PT. PERAWANG SUKSES PERKASA INDUSTRI
PT. MITRA KEMBANG SELARAS PT. MITRA TANINUSA SEJATI PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCT PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCTS (HTI SAGU) PT. NUSA PRIMA MANUNGGAL
54.605
48.611
89,02%
5.993
10,98%
PT. PERKASA BARU
15.641
4.739
30,30%
10.902
69,70%
PT. PRIMA BANGUN SUKSES
8.708
8.699
99,90%
10
0,11%
PT. PUTRA RIAU PERKASA
16.560
12.761
77,06%
3.799
22,94%
PT. RIAU ABADI LESTARI
15.540
14.797
95,22%
743
4,78%
P a g e | 77
PT. RIAU ANDALAN PULP & PAPER
189.770
147.198
77,57%
42.572
22,43%
PT. RIAU ANDALAN PULP & PAPER2
85.850
45.417
52,90%
40.433
47,10%
PT. RIAU ANDALAN PULP & PAPER3
97.469
64.685
66,36%
32.784
33,64%
PT. RIAU BINA INSANI
4.264
0
0,00%
4.264
100,00%
PT. RIAU INDO AGROPALMA
9.601
0
0,00%
9.601
100,00%
PT. RIAU JAMBI SEJAHTERA
1.449
1.449
100,00%
0
0,00%
20.372
19.359
95,03%
1.013
4,97%
PT. RIMBA MANDAU LESTARI
5.744
4.636
80,71%
1.108
19,28%
PT. RIMBA MUTIARA PERMAI
8.089
7.938
98,13%
151
1,87%
PT. RIMBA PERANAP INDAH
14.556
14.533
99,84%
23
0,16%
PT. RIMBA ROKAN LESTARI
11.112
7.362
66,25%
3.750
33,75%
PT. RIMBA ROKAN PERKASA
22.733
7.180
31,58%
15.553
68,41%
PT. RIMBA SERAYA UTAMA
11.466
11.072
96,56%
394
3,44%
PT. RUAS UTAMA JAYA
44.687
27.174
60,81%
17.513
39,19%
PT. SARI HIJAU MUTIARA
17.739
15.722
88,63%
2.018
11,37%
PT. SATRIA PERKASA AGUNG
78.995
21.706
27,48%
57.289
72,52%
9.076
8.831
97,30%
245
2,70%
PT. SATRIA PERKASA AGUNG UNIT SERAPUNG
11.828
9.028
76,33%
2.800
23,67%
PT. SEKATO PRATAMA MAKMUR
46.318
25.437
54,92%
20.881
45,08%
PT. SELARAS ABADI UTAMA
18.366
4.999
27,22%
13.367
72,78%
PT. SERAYA SUMBER LESTARI
18.679
18.679
100,00%
0
0,00%
PT. SIAK RAYA TIMBER
24.132
24.102
99,88%
30
0,12%
1.136
1.136
100,00%
0
0,00%
148.138
112.045
75,64%
36.094
24,36%
PT. SUMATERA SILVA LESTARI
9.686
0
0,00%
9.686
100,00%
PT. SUMBER MASWANA LESTARI
9.302
6.868
73,83%
2.434
26,17%
PT. SUNTARA GAJA PATI
45.772
32.041
70,00%
13.732
30,00%
PT. TAMAN ROS INDAH
18.939
15.554
82,13%
3.386
17,88%
PT. RIMBA LAZUARDI
PT. SATRIA PERKASA AGUNG & KTH. SINAR MERAWANG
PT. SINAR DELI PRATAMA PT. SUMATERA RIANG LESTARI
PT. TRIOMAS FDI
9.872
9.872
100,00%
0
0,00%
PT. UNI SERAYA
34.144
32.438
95,00%
1.707
5,00%
8.043
6.104
75,89%
1.939
24,11%
1.910.261
1.299.234
68,01%
612.389
32,06%
PT. WANANUGRAHA BINA LESTARI Grand Total
P a g e | 78
Lampiran 6.Kesesuaian Perizinan Terhadap RTRWN
Sesuai IUPHHK HT
Tidak Sesuai Tidak
Total
Sesuai
%
Sesuai
%
CV. ALAM LESTARI
4.705
20
0,42%
4.685
99,58%
CV. BHAKTI PRAJA MULIA
5.690
1
0,01%
5.689
99,99%
CV. HARAPAN JAYA
5.066
20
0,39%
5.046
99,61%
CV. MUTIARA LESTARI
2.554
92
3,58%
2.463
96,42%
CV. PUTRI LINDUNG BULAN
2.252
0
0,00%
2.252
100,00%
CV. TUAH NEGERI
1.774
0
0,00%
1.774
100,00%
KOPERASI IKRAM
3.250
0
0,00%
3.250
100,00%
KUD BINA JAYA LANGGAM
1.801
0
0,00%
1.801
100,00%
PT. ARTELINDO WIRATAMA
10.038
0
0,00%
10.038
100,00%
PT. BALAI KAYANG MANDIRI
21.980
4.519
20,56%
17.461
79,44%
PT. BINA DAYA BENTALA
19.858
15.988
80,51%
3.870
19,49%
PT. BINA DAYA BINTARA
7.719
3.046
39,47%
4.673
60,53%
PT. BINA DUTA LAKSANA
29.328
0
0,00%
29.328
100,00%
9.188
269
2,93%
8.919
97,07%
PT. BUKIT BATABUH SEI INDAH
13.599
0
0,00%
13.599
100,00%
PT. BUKIT BATU HUTANI ALAM
32.544
4.798
14,74%
27.746
85,26%
PT. BUKIT RAYA PELALAWAN
4.034
0
0,00%
4.034
100,00%
PT. CITRA SUMBER SEJAHTERA
15.433
0
0,00%
15.433
100,00%
31.587
100,00%
PT. BINA KELUARGA
PT. DEXTER TIMBER PERKASA INDONESIA & KTH WANA JAYA
31.587
0
0,00%
PT. INHIL HUTAN PRATAMA
11.661
815
6,99%
10.846
93,01%
PT. LESTARI UNGGUL MAKMUR
10.651
0
0,00%
10.651
100,00%
PT. MADUKORO
14.890
1
0,00%
14.889
100,00%
PT. MERBAU PELALAWAN LESTARI
5.763
0
0,00%
5.763
100,00%
PT. MITRA HUTANI JAYA
9.279
0
0,00%
9.279
100,00%
14.508
0
0,00%
14.508
100,00%
7.610
0
0,00%
7.610
100,00%
10.185
619
6,08%
9.566
93,92%
PT. MITRA KEMBANG SELARAS PT. MITRA TANINUSA SEJATI PT. NATIONAL TIMBER & FOREST
P a g e | 79
PRODUCT PT. NUSA PRIMA MANUNGGAL
8.701
0
0,00%
8.701
100,00%
PT. PEPUTRA SIAK MAKMUR
15.267
15.184
99,46%
83
0,54%
PT. PERKASA BARU
15.641
0
0,00%
15.641
100,00%
PT. PRIMA BANGUN SUKSES
8.708
0
0,00%
8.708
100,00%
PT. PUTRA RIAU PERKASA
16.560
26
0,16%
16.534
99,84%
PT. RIAU ANDALAN PULP & PAPER2
85.850
2.168
2,53%
83.682
97,47%
97.469
8.325
8,54%
89.144
91,46%
PT. RIAU BINA INSANI
4.264
0
0,00%
4.264
100,00%
PT. RIAU INDO AGROPALMA
9.601
5.584
58,16%
4.017
41,84%
PT. RIAU JAMBI SEJAHTERA
1.449
0
0,00%
1.449
100,00%
20.372
0
0,00%
20.372
100,00%
PT. RIMBA MANDAU LESTARI
5.744
0
0,00%
5.744
100,00%
PT. RIMBA MUTIARA PERMAI
8.089
0
0,00%
8.089
100,00%
PT. RIMBA PERANAP INDAH
14.556
0
0,00%
14.556
100,00%
PT. RIMBA ROKAN LESTARI
11.112
0
0,00%
11.112
100,00%
PT. RIMBA ROKAN PERKASA
22.733
2.787
12,26%
19.946
87,74%
PT. RUAS UTAMA JAYA
44.687
16.045
35,91%
28.642
64,09%
PT. SARI HIJAU MUTIARA
17.739
14.561
82,09%
3.178
17,91%
PT. SATRIA PERKASA AGUNG
78.995
9.785
12,39%
69.210
87,61%
9.076
100,00%
11.544
97,60%
PT. RIAU ANDALAN PULP & PAPER3
PT. RIMBA LAZUARDI
PT. SATRIA PERKASA AGUNG & KTH. SINAR MERAWANG PT. SATRIA PERKASA AGUNG UNIT
9.076
0
0,00%
11.828
284
2,40%
PT. SEKATO PRATAMA MAKMUR
46.318
1.829
3,95%
44.490
96,05%
PT. SELARAS ABADI UTAMA
18.366
0
0,00%
18.366
100,00%
PT. SERAYA SUMBER LESTARI
18.679
2.307
12,35%
16.372
87,65%
PT. SIAK RAYA TIMBER
24.132
0
0,00%
24.132
100,00%
1.136
0
0,00%
1.136
100,00%
148.138
3.207
2,16%
144.931
97,84%
PT. SUMATERA SILVA LESTARI
9.686
0
0,00%
9.686
100,00%
PT. SUMBER MASWANA LESTARI
9.302
0
0,00%
9.302
100,00%
SERAPUNG
PT. SINAR DELI PRATAMA PT. SUMATERA RIANG LESTARI
P a g e | 80
PT. SUNTARA GAJA PATI
45.772
16.699
36,48%
29.073
63,52%
PT. TAMAN ROS INDAH
18.939
0
0,00%
18.939
100,00%
PT. TRIOMAS FDI
9.872
1.013
10,26%
8.859
89,74%
PT. UNI SERAYA
34.144
113
0,33%
34.031
99,67%
8.043
0
0,00%
8.043
100,00%
1.207.915
130.105
10,77%
1.077.810
89,23%
PT. WANANUGRAHA BINA LESTARI Grand Total
P a g e | 81
Lampiran 6.Penerbitan Izin di Riau Belum Teridentifikasi 1
KOPERASI IKRAM
3.250
2
PT. INHIL HUTAN PRATAMA
11.661
4
PT. PEPUTRA SIAK MAKMUR
15.267
5
PT. TAMAN ROS INDAH
18.939
Jumlah
49.118
Bupati Indragiri Hilir 1
PT. BINA DUTA LAKSANA
2
PT. BINA KELUARGA
9.187
3
PT. RIAU INDO AGROPALMA
9.601
Jumlah
29.328
48.116
Bupati Indragiri Hulu 1
PT. ARTELINDO WIRATAMA
10.038
2
PT. BUKIT BATABUH SEI INDAH
13.595
3
PT. CITRA SUMBER SEJAHTERA
15.433
4
PT. MITRA KEMBANG SELARAS
14.508
5
PT. SUMBER MASWANA LESTARI
9.298
Jumlah
62.871
Bupati Pelalawan 1
CV. ALAM LESTARI
4.705
2
CV. BHAKTI PRAJA MULIA
5.690
3
CV. MUTIARA LESTARI
2.554
4
CV. PUTRI LINDUNG BULAN
2.252
5
CV. TUAH NEGERI
1.774
6
KUD BINA JAYA LANGGAM
1.801
7
PT. NUSA PRIMA MANUNGGAL
8.701
8
PT. BUKIT RAYA PELALAWAN
4.034
9
PT. MERBAU PELALAWAN LESTARI
5.763
10
PT. MITRA HUTANI JAYA
9.279
11
PT. MITRA TANINUSA SEJATI
7.607
12
PT. PUTRA RIAU PERKASA
16.560
P a g e | 82
13
PT. RIAU BINA INSANI
4.263
14
PT. RIAU JAMBI SEJAHTERA
1.449
15
PT. RIMBA MUTIARA PERMAI
8.089
16
PT. SATRIA PERKASA AGUNG UNIT SERAPUNG
11.828
17
PT. SELARAS ABADI UTAMA
18.365
18
PT. SINAR DELI PRATAMA
1.136
19
PT. TRIOMAS FDI
9.872
20
PT. UNI SERAYA
34.144
21
PT. MADUKORO
14.890
22
CV. HARAPAN JAYA Jumlah
5.066 179.821
Bupati Siak 1
PT. RIMBA MANDAU LESTARI
5.744
2
PT. BALAI KAYANG MANDIRI
21.980
3
PT. BINA DAYA BINTARA
4
PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCT
10.185
5
PT. SERAYA SUMBER LESTARI
18.679
Jumlah
64.306
7.719
Mentri Kehutanan 1
PT. ARARA ABADI
375.232
2
PT. BINA DAYA BENTALA
19.858
3
PT. BUKIT BATU HUTANI ALAM
32.544
PT. DEXTER TIMBER PERKASA INDONESIA & KTH WANA 4 JAYA
31.587
5
PT. EKA WANA LESTARI DHARMA
10.223
6
PT. LESTARI UNGGUL MAKMUR
10.651
8
PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCTS (HTI SAGU)
21.383
9
PT. NUSA WANA RAYA
24.124
10
PT. PERAWANG SUKSES PERKASA INDUSTRI
54.605
11
PT. PERKASA BARU
15.641
12
PT. PRIMA BANGUN SUKSES
8.708
13
PT. RIAU ABADI LESTARI
15.540
14
PT. RIAU ANDALAN PULP & PAPER
189.767
P a g e | 83
15
PT. RIAU ANDALAN PULP & PAPER2
85.850
16
PT. RIAU ANDALAN PULP & PAPER3
96.987
13
PT. RIAU ANDALAN PULP & PAPER3
482
17
PT. RIMBA LAZUARDI
20.372
18
PT. RIMBA PERANAP INDAH
14.556
19
PT. RIMBA ROKAN LESTARI
11.112
20
PT. RIMBA ROKAN PERKASA
22.733
21
PT. RIMBA SERAYA UTAMA
11.466
22
PT. RUAS UTAMA JAYA
23
PT. SARI HIJAU MUTIARA
17.739
24
PT. SATRIA PERKASA AGUNG
78.995
25
PT. SATRIA PERKASA AGUNG & KTH. SINAR MERAWANG
9.076
26
PT. SEKATO PRATAMA MAKMUR
46.317
27
PT. SIAK RAYA TIMBER
24.132
28
PT. SUMATERA RIANG LESTARI
29
PT. SUMATERA SILVA LESTARI
9.686
30
PT. SUNTARA GAJA PATI
45.772
31
PT. WANANUGRAHA BINA LESTARI Grand Total
44.687
148.055
8.043 1.505.923
P a g e | 84