KEJAHATAN KEHUTANAN KONTEMPORER (Studi kasus Riau) 1
Latar Belakang Penangganan tindak pidana kehutanan khususnya kasus penebangan pohon secara tidak sah atau yang secara popular dikenal dengan istilah “illegal logging” sejak 1990-an sampai sekarang masih menjadi perhatian dikarenakan skala dan intensitas dampaknya sedemikian besar. Dalam satu diskusi dengan tema Illegal Logging Sumber Bencana Nasional yang diselenggarakan Kelompok Komisi IV F-PKS DPR RI beberapa 2006 yang lalu yang, dihadiri oleh staf ahli Menteri Kehutanan Suraryo dan Hariadi Kartodihardjo, disebutkan kerugian materil akibat maraknya aksi pembalakan liar (illegal logging) mencapai Rp 562 Triliun dimana sebanyak Rp 532 Triliun merupakan akumulasi kerugian ekonomi akibat dampak tidak langsung illegal logging terhadap kerusakan lingkungan dan sebanyak Rp 30 Triliun merupakan kerugian negara akibat hilangnya potensi pendapatan dari sector kehutanan 2 Selain memberikan kerugian sedemikian besar, kegiatan kejahatan kehutanan juga menjadi sumber utama pengrusakan hutan secara massif di Indonesia dan tentu saja dampak ekologis yang ditimbulkan berkurangnya kualitas dan kuantitas ekosistem dan biodiversity yang diantaranya ditandai oleh kepunahan satwa khas dari pengundulan hutan yang terjadi. Sebagai satu bukti dalam 25 tahun terakhir populasi gajah di Riau menurun lebih dari 84% dari awalnya 1617 ekor tahun 1984 menjadi 210 ekor pada 2007 dan Harimau Sumatera yang sebelumnya (1984) berjumlah 640 ekor, saat ini diperkirakan hanya tersisa 192 ditahun 2007 3. Banjir dan kebakaran hutan yang terjadi di Riau, ditenggarai dampak dari penggundulan hutan yang terjadi. 46% hutan rawa gambut di Riau dimana saat sekarang yang tersisa hanya 40% dan 60% diantaranya telah berubah fungsi menjadi kawasan non hutan dan 77% deteksi titik api (hot spot) dari 2001-2008 berada di kawasan-kawasan gambut. Penderita ISPA (Inveksi Saluran Pernapasan Atas) 2005 mencapai 7.608 anak4. Banjir tidak bisa dipandang sebatas bencana rutin tahunan, tetapi banjir secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan efek yang serius bagi efisiensi penggunaan anggaran (APBD maupun APBN). Akibat banjir berbagai sarana prasarana publik rusak dan harus diperbaiki lagi setiap saat setalah banjir. Sedikitnya ada 7 sektor publik yang selalu kena dampak banjir, yaitu sektor pertanian dan kehutanan, sektor sumber daya air dan irigasi, sektor transportasi, Sektor pembangunan daerah dan pemukiman, sektor lingkungan hidup dan tata ruang, Sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan wanita, anak dan remaja, dan sektor perumahan dan pemukiman. Di Kabupaten Kampar dan
1
Susanto Kurniawan, Koordinator Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau) Sumber : http://fpks-dpr.or.id/?op=isi&id=1930 3 WWF 4 Dinas Kesehatan Provinsi Riau, 2005 2
1|J i k a l a h a r i
Rokan Hulu pada Banjir tahun 2003 mengalami kerugian dari 7 sektor tersebut masing-masing sebesar 93,346 Milyar dan 97,815 Milyar (Greenomic dan Walhi Riau, 2004). Dua “bencana ekologis” terakhir ditenggarai dampak dari pengundulan hutan yang terjadi di Provinsi Riau dan tentunya perlu dilihat pendekatan dan penegakan hukum yang terbaik untuk menjerat pelaku tindak pidana kehutanan yang terjadi di belahan bumi Indonesia ini. Modus Kejahatan Kehutanan Sejak 2005, pemerintah telah mengambil sikap untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara illegal dikawasan hutan dan peredarannya diseluruh wilayah Republik Indonesia dengan mengeluarkan INPRES 4/2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara illegal dikawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia dengan melibatkan 18 instansi melakukan pemberantasan penebangan kayu secara illegal. Upaya penangganan kasus tindak pidana kehutanan yang telah dilakukan pemerintah dirasa masih belum menampakan hasil optimal berdasarkan indikasi-indikasi antara lain: 1. Semakin tingginya laju kerusakan hutan 2. Proses penegakan hukum yang masih belum memiliki kemampuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku terutama dalang (mastermind) dari pelaku tindak pidana illegal logging. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch, tingkat efektivitas pemberantasan pembalakan liar masih sangat rendah. Hanya 4,3 persen upaya pemberantasan yang berakhir dengan putusan berkekuatan hukum. Sebanyak 72 persen cukong kayu diputus bebas. Putusan pengadilan terhadap 205 terdakwa sepanjang tahun 2005-2008 juga hanya memberikan hukuman ringan hingga putusan bebas. Sebanyak 137 terdakwa (66,8 persen) di antaranya bebas, 44 terdakwa (21,6 persen) dihukum satu tahun, 14 terdakwa (6,8 persen) dihukum hingga dua tahun, dan hanya 10 terdakwa (4,8 persen) yang dihukum di atas dua tahun 5. Modus kejahatan kehutanan yang terjadi saat sekarang semakin berkembang, tidak saja terbatas pada kasus penebangan pohon secara tidak sah dibuktikan tidak adanya dokumen, tetapi penebangan pohon dengan dokumen yang didalam proses mendapatkannya “cacat” proses. Dalam manual investigasi illegal logging yang diterbitkan oleh ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), disebutkan setidaknya ada 5 modus operandi dalam kejahatan kehutanan yakni: 1. Modus operandi terkait penebangan kayu 2. Modus operandi terkait pengangkutan dan peredaran kayu 3. Modus operandi terkait pengolahan kayu 4. Modus operandi terkait transaksi keuangan 5. Modus operandi terkait proses penegakan hukum
5
http://nasional.kompas.com/read/2009/10/26/16573794/Mayoritas.Aktor.Kejahatan.Kehutanan.Bebas. 2|J i k a l a h a r i
Menebang kayu pada kawasan hutan tanpa izin, menebang diluar perizinan, merambah kawasan hutan tanpa mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang, kayu tidak dilengkapi dokumen SKSHH (surat keterangan sahnya hasil hutan), kayu dilengkapi dengan dokumen palsu, Muatan kayu dalam Dokumen SKSHH tidak sesuai dengan muatan angkut, SKSHH digunakan berulang-ulang, dan IPK Fiktif adalah Contoh-contoh ini membuktikan per”model”an kontemporasi dari tindak kejahatan kehutanan yang semakin lama semakin memberikan warna lain atas kejahatan yang berkembang. Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada pasal 50 ayat (3) jika dijadikan rujukan, maka Tindak Kejahatan Kehutanan yang paling banyak terjerat adalah para pelaku lapangan (buruh tebang, buruh angkut dan lain), dan atau pemilik jasa transportasi sementara mastermind tidak tersentuh atau sangat sulit untuk disentuh. Polimik Hutan Rawa Gambut Semenanjung Kampar dilihat dari Modus yang diduga terjadi Kepres No. 32/1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, dimana disebutkan kawasan bergambut yang termasuk didalam Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa jelas memberikan batas atas segala perizinan yang dimungkin ada di kawasan tersebut. Beberapa fakta lain, memperlihatkan terjadi dugaan pelanggaran dalam pemberian izin mulai dari penggunaan AMDAL yang telah kadaluarsa dimana dalam referensi dari izin Kepmenhut No.327/Kpts-II/2009 adalah AMDAL tahun 2004. Berdasarkan PP No 27/1999 dimana dalam pasal 24 disebutkan “Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan dinyatakan kadaluarsa atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini, apabila rencana usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan keputusan kelayakan tersebut”. Berdasarkan dari aturan yang ada dalam Peraturan Pemerintah ini, maka izin dengan menggunakan AMDAL 2004 menjadi tidak berlaku. Terhadap perizinan untuk perkebunan, diprasyaratkan dimana kawasan hutan terlebih dahulu dilepas menjadi APL atau HPK, sehingga kawasan tersebut tidak lagi dimasukan dalam kawasan hutan. Perda 10/1994 tentang Rencana Tataruang Riau menyebutkan bahwa kawasan yang diberikan izin merupakan peruntukan dari HP (Hutan Produksi) dan atau Kawasan Lindung sehingga tidak layak untuk diberikan izin perkebunan. Dalam TGHK 1986 juga memperlihatkan bahwa sebagian besar areal yang diberikan untuk perkebunan masih berstatus hutan (HP dan HPT) dan belum di lepas menjadi kawasan non hutan. Terkait dengan izin IUPHHKHT (Izin usaha pemanfaatan hutan kayu hutan tanaman) yang dikeluarkan pada 2009, maka beberapa aturan yang diduga dilanggar, diantaranya : A. Kontroversi kriteria areal yang dapat dijadikan IUPHHKHT/HTI 3|J i k a l a h a r i
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan, Pasal 38 Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI, dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif. Penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Jikalahari dan Yayasan Mitra Insani di konsesi ini menunjukan rata-rata volume 82,5 m3 per hectare, sehingga tidak layak disebut areal izin hutan produksi yang tidak produktif. 2. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 dan Keputusan Menteri Kehutanan NOMOR : SK. 101/Menhut-II/2004, hutan alam yang terletak di kawasan hutan gambut yang berada di hulu sungai dan rawa memiliki kedalaman lebih dari 3 meter harus dilindungi. 3. PP 26 Tahun 2008 tentang Rencana tataruang Nasional (RTRWN), dimana dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini memberikan peruntukan bagi areal di Semenanjung kampar termasuk areal konsesi SK Menhut 327/Menhut-II/2009 ini adalah kawasan lindung gambut. 4. P.78/Menhut-II/2006 (29 Desember 2006) tentang TAMBAHAN (PERLUASAN) AREAL KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN juga disebutkan Persyaratan areal hutan yang dapat diberikan sebagai tambahan (perluasan) areal kerja IUPHHK pada hutan tanaman (Pasal 2): a. Hutan negara yang mempunyai fungsi sebagai hutan produksi; b. Tidak dibebani izin/hak lainnya; c. Letak areal tambahan (perluasan) berada di dalam atau bersinggungan dan satu hamparan dengan areal kerja pemohon; d. Memenuhi syarat untuk dijadikan areal kerja IUPHHK pada Hutan Tanaman. 5. P.19/Menhut-II/2007 (28 Mei 2007) TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN DAN PERLUASAN AREAL KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI, yang merupakan aturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 terkait dengan ketentuan pasal 68 dan pasal 70 dari PP yang berhubungan dengan tatacara dan prasyarat permohonan izin hutan tanaman. Dari aturan P.19/MenhutII/2007 dalam pasal 3 ayat (1) juga menyebutkan bahwa areal untuk pembangunan hutan tanaman adalah Hutan Produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani hak/izin lainnya. B. Kontroversi Pelelangan 1. PP 34 tahun 2002 tentang TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN dimana Pasal 43 ayat (3) ditentukan bahwa pada dasarnya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu 4|J i k a l a h a r i
pada Hutan tanaman diberikan melalui penawaran dalam pelelangan; Meskipun sekarang telah ada PP 6 tahun 2007 tentang TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN namun aturan ini menyebutkan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4206), dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan pemerintah ini. 2. Kepmenhut 32/Kpts-II/2003 (5 Feb 2003) tentang PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM ATAU HUTAN TANAMAN MELALUI PENAWARAN DALAM PELELANGAN, dimana aturan ini merupakan aturan pelaksanaan dari PP 34 Tahun 2002. Didalam aturan ini termasuk juga aturan-aturan lainnya menyebutkan bahwa Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan tanaman yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) adalah izin untuk memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari penyiapan lahan, perbenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu. Selanjutnya juga disebutkan bahwa pelelangan IUPHHK pada hutan alam atau hutan tanaman adalah cara untuk memperoleh IUPHHK pada hutan alam atau hutan tanaman melalui suatu penawaran terbuka, yang penyelenggaraannya diumumkan secara luas melalui media masa baik elektronik maupun media cetak, sehingga masyarakat luas yang berminat dapat mengikutinya. Dimana maksud pelelangan adalah untuk memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat yang ingin memanfaatkan hutan melalui izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam atau pada hutan tanaman. 3. Berdasarkan pasal 3 dari Kepmenhut 32/Kpts-II/2003, status areal hutan yang dapat dilelang untuk dapat dibebani IUPHHK pada hutan alam atau hutan tanaman adalah : a. Hutan negara yang mempunyai fungsi sebagai hutan produksi b. Tidak dibebani hak/ izin lainnya c. Tidak ada konflik kepentingan didalamnya Selanjutnya di pasal 4 dilanjutkan, bahwa kriteria areal hutan yang dapat dilelang untuk dibebani IUPHHK pada hutan tanaman adalah : a. Lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar pada kawasan hutan produksi sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan tentang kondisi hutan berupa lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar pada hutan produksi yang dapat diberikan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman;
5|J i k a l a h a r i
b.
c.
d.
4.
Topografi dengan kelerengan maksimal 25% (dua puluh lima persen), dan topografi pada kelerengan 8% - 25% (delapan persen - dua puluh lima persen) harus diikuti dengan upaya konservasi tanah; Tidak ada konflik kepentingan di dalamnya atau tidak dibebani dengan izin di bidang kehutanan atau izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan usaha pertambangan dengan pola penambangan terbuka; Apabila telah ada hasil tata hutan pada hutan produksi, areal/ lokasi yang dimohon berada pada blok/ pengelolaan yang peruntukannya bagi usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman.
P.05/Menhut-II/2004 (10 Agustus 2004) tentang PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN MELALUI PENAWARAN DALAM PELELANGAN, juga menyebutkan Status areal hutan yang dapat dilelang untuk dapat dibebani IUPHHK pada hutan tanaman (Pasal 4) adalah: 1. Hutan Negara yang mempunyai fungsi sebagai hutan produksi. 2. Tidak dibebani hak/izin lainnya. Selanjutnya pada pasal 5 ayat (1) nya juga menyebutkan, bahwa kriteria areal hutan yang dapat dilelang untuk dibebani IUPHHK pada hutan tanaman adalah lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar pada hutan produksi sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. P.19/Menhut-II/2007 (28 Mei 2007) TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN DAN PERLUASAN AREAL KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI, yang merupakan aturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 terkait dengan ketentuan pasal 68 dan pasal 70 dari PP yang berhubungan dengan tatacara dan prasyarat permohonan izin hutan tanaman. Dari aturan P.19/MenhutII/2007 dalam pasal 3 ayat (1) juga menyebutkan bahwa areal untuk pembangunan hutan tanaman adalah Hutan Produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani hak/izin lainnya. 6. P.60/Menhut II/2007 (17 Desember 2007) tentang Perubahan Peraturan menteri No. 19/Menhut II/2007 tentang TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN DAN PERLUASAN AREAL KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI, dimana dalam peraturan ini hanya menambahkan satu pasal yang mengubah pasal 15 ayat (1) P.19/Menhut– II/2007 dari yang semula disebutkan Permohonan dalam pelelangan IUPHHK-HT yang telah mendapat penetapan pemenang sebelum ditetapkannya Peraturan ini, proses penyelesaian selanjutnya mengikuti Peraturan dari P.19/Menhut II/2007 ini DIUBAH menjadi Permohonan IUPHHK-HT melalui pelelangan yang telah mendapat penetapan pemenang lelang, diproses berdasarkan peraturan sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2007.
6|J i k a l a h a r i
Dari seluruh aturan perizinan yang disebutkan diatas, maka areal yang diperuntukan bagi pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI harus dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/ hak lainnya. Dan Sebagaimana kesimpulan yang disampaikan oleh Komisi A DPRD Riau dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau juga menyebutkan bahwa perizinan yang diberikan harus melalui proses ”Lelang”.
7|J i k a l a h a r i