Nama : Yuni Annisa NIM : 20150610139 Kelas :C HUKUM PIDANA KORUPSI
ANALISIS KASUS KORUPSI ABDULLAH PUTEH
BIODATA Jenis Kelamin : Laki-laki Pendidikan : S-2 Universitas Indonesia Profesi :
Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Institusi : Pemerintah Provinsi Naggroe Aceh Darussalam Waktu Kejadian Perkara : 2002-2003 Waktu Inkracht : 2005 Area korupsi : Naggroe Aceh Darussalam Jenis TPK : Pengadaan Barang dan Jasa
Dakwaan rimair: Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TPK Sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo pasal 55 ayat (1) Jo pasal 64 ayat (1) KUHP jo Subsidair : Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf a,b ayat (2), (3) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan TPK jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 (KUHP
Tuntutan Pidana Penjara : 8 (delapan) tahun,Denda : Rp. 500.000.000,- Subsidair 6 (enam) bulan kurungan; Uang Pengganti : Rp. 10.087.500.000,- Subsidair 1 (Satu) tahun; Biaya Perkara : Rp. 10.000,-
Putusan Pengadilan Negeri: No. 01/PID.B/TPK/2004 PN.JKT.PST Tgl : 11 April 2005, Mengadili : Pidana Penjara : 10 (sepuluh) tahun; Denda : Rp. 500.000.000,- Subsidair 6 (enam) bulan kurungan; Uang Pengganti : Rp. 3.687.500.000,- Subsidair 1 (satu) tahun penjara,Biaya Perkara : Rp. 10.000,-
Pengadilan Tinggi: No. 01/PID/TPK.2005/PT.DKI Tgl : 16.06.2005, Mengadili : Pidana Penjara : 10 (sepuluh) tahun,Denda : Rp. 500.000.000,- Subsidair 6 (enam) bulan kurungan,Uang Pengganti : Rp. 1.714.350.000,- Subsidair 1 (satu) tahun penjara,Biaya Perkara : Tingkat Pertama Rp. 10.000,- Tingkat Kedua Rp. 7.500,-
Mahkamah Agung: No. 1344 K/pid/2005 Tgl : 13.09.2005, Mengadili : Menolak permohonan kasasi dari terdakwa, dan mengabulkan permohonan kasasi dari Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi serta membatalkan putusan Pengadilan Tinggi TIPIKOR pada Pengadilan Tinggi DKI. Mengadili Semdiri : Pidana Penjara : 10 (sepuluh) tahun,Denda : Rp. 500.000.000,- Subsidair 6 (enam) bulan kurungan,Uang Pengganti : Rp. 6.564.00.000,- Subsidair 3 (tiga) tahun penjara,Biaya Perkara : Rp. 7.500,Deskripsi Kasus 2001 Februari 2011. Abdullah Puteh menghadiri rapat kerja Gubernur se Sumatera di Palembang, dan dalam salah satu acara Rapat Kerja tersebut adalah presentasi pesawat terbang buatan Rusia yang disampaikan oleh Bram HD Manoppo, MBA Presdir PT. Putra Poliagan Mandiri (PPM). Empat bulan kemudian, tepatnya pada 28 Juni 2011, Ia menandatangani Letter of Intent (LoI) yang dikirimkan kepada Presdir PT. PPM. Isi LoI antara lain menyatakan bahwa Pemprov NAD bermaksud membeli 1 (satu) unit pesawat helikopter type MI-2, VIP Cabin versi sipil buatan tahun 2000-2001 dari pabrik Mil Moscow Helicopter Plant Rusia. Padahal, dana untuk pembelian helikopter tersebut belum tersedia dalam APBD, dan parahnya lagi belum dibicarakan / dimintakan persetujuan kepada DPRD NAD. Juli 2001. Abdullah Puteh kemudian menyarankan kepada Presdir PPM untuk membuat surat permintaan pembayaran uang muka pembelian helikopter kepada Pemprov NAD. Dan atas saran itulah, Presdir PPM mengajukan surat penagihan pembayaran uang muka sebesar Rp. 4 Miliar untuk ditransfer ke pabrik Mil Moscow Helicopter Plant Rusia. Agustus 2001. Abdullah Puteh kemudian menerbitkan surat yang ditujukan kepada para Bupati/Walikota se Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berisi mengenai pemberitahuan tentang diterimanya tambahan alokasi Dana Bantuan Perlakuan Khusus sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 451/KMK.07/2001. Dalam surat tersebut, juga memberitahukan bahwa dana sumbangan biaya pengadaan helikopter akan diambilkan dari penerimaan Dana Bantuan Perlakuan Khusus bagian Kabupaten/Kota, padahal dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 451/KMK.07/2001 Dana Bantuan Perlakuan Khusus hanya dapat dipergunakan untuk membiayai belanja pegawai dan non pegawai. Abdullah Puteh mengadakan pertemuan dengan para Bupati/Walikota beserta Ketua DPRD masing-masing pada 7 Agustus 2001 di Pendopo Gubernur NAD di Banda Aceh, dan dalam pertemuan itu ia meminta para Bupati / Walikota dan Ketua DPRD untuk menandatangani surat pernyataan yang telah dipersiapkan, yang isinya agar mereka dapat menyetujui Dana
Bantuan Perlakuan Khusus tahun 2011 dialokasikan untuk membiayai pengadaan helikopter masing-masing sebesar Rp. 700 Juta. Tiga minggu kemudian, tepatnya 28 Agustus 2011, ia menerbitkan SK Gubernur nomor 45 tahun 2001 tentang penetapan rincian jumlah Dana Bantuan Perlakuan Khusus untuk Pemprov dan Pemkab/Pemkot, dan SK Gubernur NAD nomor 255/R/2001 tanggal 24 September 2001 tentang Otorisasi Anggaran Belanja Rutin yang antara lain memuat pemotongan secara langsung Dana Bantuan Perlakuan Khusus sebesar Rp. 700 Juta. Berikut rinciannya :
No
Kabupaten/Kota
Jumlah Dana Bantuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Banda Aceh Sabang Aceh Besar Pidie Beureun Aceh Utara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Singkil Aceh Singkil Jumlah
2.712.5000.000 2.607.500.000 2.712.500.000 2.695.000.000 2.719.500.000 2.688.000.000 2.688.000.000 2.870.000.000 2.695.000.000 2.667.000.000 2.695.000.000 2.677.500.000 2.572.500.000 35.000.000.000
Biaya Pengadaan Helikopter 700.000.000 700.000.000 700.000.000 700.000.000 700.000.000 700.000.000 700.000.000 700.000.000 700.000.000 700.000.000 700.000.000 700.000.000 700.000.000 9.100.000.000
Biaya Rutin Kab/Kota 2.012.500.000 1.907.500.000 2.012.500.000 1.995.000.000 2.019.500.000 1.988.000.000 1.988.000.000 2.170.000.000 1.995.000.000 1.967.000.000 1.995.000.000 1.977.500.000 1.872.500.000 25.900.000.000
Jumlah pemotongan dari Dana Bantuan Perlakuan Khusus bagian Kabupaten/Kota terkumpul Rp. 9,1 Miliar, dan oleh Abdullah Puteh dana tersebut tidak dimasukkan ke dalam Perubahan APBD Provinsi NAD tahun anggaran 2002, sehingga bertentangan dengan mekanisme pengelolaan dan pertangungjawaban keuangan daerah. Ia kemudian memerintahkan Kepala Kas Daerah untuk menempatkan dana APBD NAD tahun 2001 sebesar Rp. 4 Miliar ke rekening pribadinya. Pada 24 Agustus 2001, Abdullah Puteh membayar uang muka pembelian helikopter MI-2 kepada Presdir PPM dengan memberikan cek senilai Rp. 750 Juta, sedangkan pada waktu itu belum ada kontrak perjanjian pembelian helikopter. Oktober 2001. Abdullah Puteh mengirimkan surat kepada Pimpinan DPRD Provinsi NAD untuk meminta persetujuan prinsip pengadaan helikopter sebesar Rp. 12,5 Miliar dan disebutkan pula bahwa pembayaran akan dilakukan sebesar 30% dari total harga, yang dibayar pada saat penandatanganan kontrak. DPRD tidak lantas memberi persetujuan, hingga akhirnya enam bulan kemudian tepatnya pada 12 Juni 2002, DPRD Provinsi NAD memberi
persetujuan prinsip pengadaan helikopter. 2002 Abdullah Puteh menandatangani kontrak perjanjian jual/beli helikopter dengan Presdir PT. PPM pada 26 Juni 2002, dengan menerbitkan surat rekomendasi Penunjukan Langsung. Asumsi yang dipakai kala itu, bahwa perusahaan tersebut merupakan satu-satunya agen tunggal untuk pemasaran helikopter dari Mil Moscow Helicopter Plant Rusia, padahal dalam kenyataannya PT. PPM bukanlah satu-satunya agen tunggal. 2003 Dilakukan serah terima pesawat helikopter dari PT. PPM kepada Pemprov NAD, tanpa dilakukan pengecekan spesifikasi fisik.
Source: http://acch.kpk.go.id/jejak-kasus/-/jejak-kasus/viewdetails/8/view
Analisis Kasus Faktor-faktor terjadinya korupsi Jika kita tinjau dari segi faktor-faktor terjadinya korupsi. Adapun factor internal didalam kasus Abdullah puteh disebabkan karena gaya hidup atau perilaku materialistik dan konsumtif serta sistem politik yang masih mendewakan seperti yang telah dijelaskan oleh Ansari Yamamah. Selain itu karena moral yang kurang kuat dalam menghadapi godaan dan sifat yang tidak pernah puas bisa jadi menjadi faktor penyebab korupsi. Selain itu adapun faktor eksternal yang merupakan faktor penyebab korupsi dari luar adalah rendahnya integritas dan profesionalisme sebagai penjabat daerah yang pada saat itu Abdullah puteh menjabat sebagai gubenur NAD, Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga perbankan, keuangan, dan birokrasi belum mapan dan Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat sehingga bisa membuka peluang bagi puteh melakukan tindakan korupsi serta Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan perundangan, hal ini bisa kita lihat ketika Abdullah puteh berdalih bahwa dana perlakuan khusus sebesar Rp 700 juta yang dipersoalkan dalam tuntutan tidak ada aturan hukumnya dan kurangnya keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa Serta Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral dan etika yang meskipun tergolong ke factor internal namun tidak bisa dilepaskan di factor eksternal. Adapun pendapat diatas adalah pendapat yang mengarah pada faktor eksternal yang
dikemukakan oleh Erry Riyana Hardjapamekas meskipun terdapat satu pendapatnya lain yang tidak dimasukan kedalam factor eksternal kasus korupsi Abdullah puteh yaitu Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil karena mengingat Abdullah puteh pada saat itu merupakan gubenur NAD yang memiliki pendapatan yang tidak bisa dibilang rendah.
Kejahatan korupsi Kejahatan korupsi yang dilakukan oleh Abdullah puteh adalah termasuk kedalam White Collar Crime (kejahatan kerah putih). white collar crime adalah istilah temuan Hazel Croal untuk menyebut berbagai tindak kejahatan di lembaga pemerintahan yang terjadi, baik secara struktural yang melibatkan sekelompok orang maupun secara individu. Hazel Croal mendefinisikan kejahatan kerah putih sebagai penyalahgunaan jabatan yang legitim sebagaimana telah ditetapkan oleh hukum. motif WCC terbagi dua yaitu mendapat keuntungan finansial dan mendapat jabatan pemerintahan dalam kasus Abdullah Puteh ini yaitu korupsi terhadap pengadaan barang dan jasa sudah jelas jika motifnya yaitu mendapat keuntungan finansial. Adapun tipe pelaku WCC yang dilakukan oleh Abdullah puteh adalah tipe Justifikasi yaitu mengakui telah melakukan tindakan pelanggaran, namun tindakan tersebut bukan suatu tindakan yang salah atau bertentangan dengan hukum. Dalam hal ini Abdullah Puteh berpendirian tindakannya membeli helikopter dapat digolongkan sebagai diskresi yang terjadi saat NAD sedang dalam keadaan darurat sehingga merupakan kebijakan pemerintahan yang termasuk dalam wilayah hukum administrasi negara,Dengan kata lain,Perbuatan yang dilakukan Abdullah Puteh bukan perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum pidana, melainkan masih dalam lingkup kebebasan membuat kebijakan oleh seorang pejabat negara (beleids vrijheid) alias discretionary power sehingga tidak bisa dipidana. Selain itu, dana sharing sebesar Rp 700 juta yang dipersoalkan dalam tuntutan, menurut Puteh tidak ada aturan hukumnya. puteh juga menegaskan kebijakan yang diambilnya tersebut telah dipertanggungjawabkan kepada DPRD NAD. Sehingga, pembelian helikopter itu menurutnya sudah disetujui oleh DPRD. Hal ini sebagaimana diungkapkan pada bulan April 2005 ketika majelis hakim Pengadilan ad hoc Korupsi memvonis 10 tahun penjara. Juan Felix Tampubolon, pengacara Abdullah Puteh, menyatakan protes atas vonis untuk kliennya. Menurut dia, majelis hakim Pengadilan ad hoc Korupsi dan jaksa penuntut umum tidak bisa membedakan ruang lingkup administrasi negara dan pidana. "Jadi, majelis hakim telah keliru menerapkan hukum," kata Felix Tampubolon. Menurut Felix, pembelian helikopter dilakukan Puteh untuk menjalankan kebijakan pemerintah. Keputusan itu, kata dia, telah dipertanggungjawabkan kepada DPRD sebagai "atasan". Para bupati yang "menyumbangkan" sejumlah anggaran pun sudah mempertanggungjawabkannya ke parlemen daerah masing-masing. "Semua itu diterima, jadi sebenarnya tidak ada masalah pidana," tuturnya. Selain itu dalam hal pembacaan putusan perdana pada tanggal 11 april 2005 oleh majelis pengadilan korupsi yang pada saat itu tidak dihadiri Abdullah puteh karena alasan sakit disertai dengan surat keterangan dari dokter di Rumah Sakit Tamrin diserahkan oleh penuntut umum kepada majelis hakim pada tanggal 11 april 2005, menurut penasehat hukum Abdullah puteh
dinilai bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa: “Jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang pengadilan tanpa memberi alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh Hakim tanpa kehadirannya” Namun dengan berpegangan pada Pasal 18 UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, majelis menyebutkan bahwa hakim dapat membacakan putusan tanpa kehadiran terdakwa. Hal tersebut juga disetujui pihak penuntut umum dengan alasan ada keterbatasan waktu dalam perkara korupsi yaitu 90 hari. Dalam pasal 18 UU No 4 tahun 2004 menyatakan: (1). Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain. (2). Dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa. Namun menurut hemat penulis, tindakan yang dilakukan majelis hakim itu sudah benar, karena didalam pasal 23 UU No 3 tahun 1971 tidak disebutkan mengenai ketidakhadiran terdakwa dengan alasan yang sah. Maka dalam hal ini bisa kembali ke pasal 18 UU No 4 tahun 2004. Kemudian Abdullah Puteh mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung karena merasa keberatan atas putusan pengadilan yang menghukumnya selama 10 tahun. Dalam hal ini Pihak JPU juga mengajukan kasasi karena merasa kecewa terhadap putusan Pengadilan Korupsi tingkat banding yang menyatakan bahwa dakwaan primer mengenai penyalahgunaan jabatan tidak terbukti. Dalam putusannya majelis kasasi yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar menyatakan menerima permohonan kasasi yang diajukan JPU sekaligus menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak terdakwa. Putusan majelis hakim agung juga membatalkan putusan Pengadilan Korupsi tingkat banding 15 Juni 2005 No. 01/TIK/TPK/2005/PT DKI. Lebih lanjut, majelis menyatakan Puteh terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana disebutkan dalam dakwaan primer. Untuk itu, majelis menjatuhkan pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan. Selain dijatuhkan pidana sebagaimana tersebut di atas, Puteh juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp6,564 miliar. Pembayaran uang pengganti tersebut berdasarkan putusan majelis harus dilakukan dalam jangka waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Apabila batas waktu tersebut tidak terpenuhi maka harta benda terpidana agar disita oleh jaksa dan kemudian dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka terpidana dijatuhi pidana penjara tambahan selama tiga tahun. Menanggapi putusan tersebut Abdullah puteh melakukan upaya hukum luar biasa yaitu mengajukan peninjauan kembali hal ini didasarkan bahwa terdapat kekeliruan Putusan Mahkamah Agung yang dinyatakan telah terbukti itu ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Helikopter Mi-2 berada di Lapangan Udara (Lanud AURI) Sultan Iskandar Muda Aceh adalah milik negara, terbukti dari Laporan Pertanggungjawaban Pemohon Peninjauan Kembali (selaku Gubernur Nanggroe Aceh
Darussalam Tahun 2001 -2002 - 2003 - 2004 - 2005 telah diterima dengan baik. Sumber dana untuk pembelian helikopter Mi-2 berasal dari kontribusi Pemprov NAD dan Pemkab I Pemkot se Provinsi NAD. Penggunaan dana yang berasal dari Pemprov NAD sudah diterima pertanggungjawabannya di DPRD Provinsi NAD. demikian juga masing-masing Pemkab/Pemkot sudah mempertanggungjawabkannya kepada DPRD Kabupaten/Kota masing-masing; Menurut ahli otonomi daerah Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, apabila kebijakan Kepala Daerah sudah dipertanggung-jawabkan dan diterima oleh DPRD, maka persoalan sudah dianggap selesai. Selain itu mengenai barang bukti berupa helikopter tidak dijadikan barang bukti, tidak disebutkan dalam putusan mengenai statusnya, sedangkan Pemohon Peninjauan Kembali diwajibkan membayar uang pengganti sebesar harga helikopter tersebut. Tidak disebutnya helikopter a quo sebagai barang bukti dan tidak disebutkan statusnya dalam putusan Mahkamah Agung a quo, maka secara hukum menurut Abdullah puteh, dia tidak dapat dipersalahkan telah melakukan suatu peristiwa pidana (korupsi) yang menyebabkannya kembali dihukum Namun upaya hukum luar biasa yang diajukan Abdullah puteh tidak membuahkan hasil karena dalam putusan Mahkamah Agung No. 64 PK/PID.SUS/2013 yang diketuai oleh Dr. H. M. Zaharuddin Utama, S.H., M.M. memutuskan menolak permohonan peninjauan kembali dari Abdullah puteh dan Menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku serta Membebankan biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali kepada Terpidana sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) Hal ini didasarkan bahwa pada kenyataannya Pemda NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) belum menganggarkan adanya pembelian Helikopter, kemudian Fakta bahwa helikopter ada tetapi statusnya tidak ditetapkan, seharusnya Abdullah puteh mengajukan kepada Jaksa sehingga ini berarti bukan kesalahan Majelis Hakim. Namun mengenai uang penganti Mahkamah Agung telah melakukan kekhilafan sehingga permohonan peninjauan kembali dikabulkan sekedar mengenai jumlah uang pengganti, yaitu hanya sejumlah Rp1.714.350.000,00 berdasarkan uang yang jumlahnya sama dengan uang yang diperoleh Terpidana. Keputusan majelis hakim ini dengan memperhatikan Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat (1) huruf a, b Ayat (2), (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 Ayat (1) ke – 1 jo Pasal 64 Ayat (1), Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan keduaUndang-Undang No. 3 Tahun 2009 serta peraturan perundangundangan lain yang bersangkutan Adapun isi dari pasal 2 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi ialah: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Abdullah Puteh terbukti memenuhi seluruh unsur dalam tindak pidana korupsi. Sebagaimana fakta yang terungkap di persidangan, Puteh telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp7,750 000.000,00.
Mengenai pengabulan permohonan peninjauan kembali pada jumlah uang pengganti, yaitu sejumlah Rp1.714.350.000,00 . ini didasarkan pada uang milik Pemerintah Daerah NAD yang masih ada dalam kekuasaannya ditambah dengan uang keseriusan yang identik dengan uang pelicin sebesar Rp750.000.000,00 ditambah dengan uang yang diperintahkan diserahkan kepada orang yang tidak berhak untuk itu yaitu Teuku Djohan Basyar sebesar Rp964.350.000,00 dimana uang yang telah dikuasainya oleh Terdakwa sudah dibayarkan untuk pembayaran helicopter Mi-2 tersebut dan selebihnya seluruhnya telah dikembalikan ke Kas Daerah Propinsi. Sehingga yang harus dijadikan uang pengganti adalah sebesar Rp750.000.000,00 + Rp964.350.000,00 = Rp1.714.350.000,00. Karena berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) b UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jumlah pembayaran uang pengganti adalah sebanyakbanyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Putusan Pengadilan Tinggi sebelumnya telah dengan tepat mempertimbangkan jumlah uang pengganti yang harus dibayar terpidana yaitu sebesar Rp1.714.350.000,00 berdasarkan uang yang jumlahnya sama dengan uang yang diperoleh Terpidana. Dan Pasal 18 ayat (2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Abdullah Puteh terbukti melakukan korupsi karena ia secara pribadi telah menyerahkan uang sejumlah Rp750 juta kepada PT Putra Pobiagan Mandiri (PPM) sebagai uang tanda jadi' meski belum ada surat ataupun perjanjian pembelian.Tindakan ini telah melanggar ketentuan dalam Keputusan Presiden No.18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, dimana dalam ketentuan tersebut disebutkan tentang larangan mengadakan pembayaran sebelum ada perjanjian yang pasti. Terlebih lagi, proses pembelian helikopter MI-2 dilakukan tanpa melalui proses tender, dimana PPM ternyata terbukti bukan satu-satunya pemasok helikopter. Adanya penunjukan langsung yang dilakukan Puteh juga dinilai melanggar Pasal 12 (c) Keppres 18/2000. Sebab, penunjukkan langsung hanya dapat dilakukan untuk pengadaan barang yang harganya tidak lebih dari Rp50 juta. Itupun harus dibeli dari usaha kecil maupun koperasi. Padahal, PPM tidak termasuk dalam kategori usaha kecil ataupun koperasi. Penunjukkan PPM yang tanpa tender oleh Puteh juga menyalahi prosedur Pasal 11 (3) Keppres 18/2000. Dalam ketentuan Keppres tersebut secara tegas dikatakan bahwa penunjukan langsung oleh gubernur tidak memerlukan persetujuan dari Menteri dalam Negeri. Sedangkan untuk pengadaan helikopter senilai Rp12 miliar yang dananya bersumber dari APBD, maka seharusnya mendapat persetujuan Mendagri. Selain itu mengenai alur keluar masuknya uang dari kas daerah ke rekening pribadi Puteh di Bank Bukopin Jakarta. hal ini melanggar PP No.105/2000. Karena Puteh dinilai tidak transparan, dan pembayaran seharusnya dilakukan langsung dan bukan memakai rekening pribadinya. Pembayaran yang menggunakan dana sharing dari 13 kabupaten di NAD juga dinilai majelis sebagai hal yang tidak dapat dibenarkan. Dari alur keluar masuknya dana, Puteh telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri. Sebagaimana fakta yang terungkap di persidangan, Puteh telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp7,750.000.000 dari jumlah yang telah ditransfer ke rekening pribadinya.
Pandangan Islam
Korupsi dalam Islam adalah perbuatan melanggar syariat. Syariat Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia dengan apa yang disebut sebagai maqashidussy syaria’ah. Diantara kemaslahatan yang hendak dituju tersebut adalah terpeliharanya harta (hifdzul maal) dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan. Islam mengatur dan menilai harta sejak perolehannya hingga pembelanjaannya, Islam memberikan tuntunan agar dalam memperoleh harta dilakukan dengan cara-cara yang bermoral dan sesuai dengan hukum Islam yaitu dengan tidak menipu, tidak memakan riba, tidak berkhianat, tidak menggelapkan barang milik orang lain, tidak mencuri, tidak curang dalam takaran dan timbangan, tidak korupsi, dan lain sebagainya. Dalam konteks islam tindakan yang dilakukan abdulah puteh adalah termasuk ghulul karena Puteh terbukti telah melakukan penyelewengan terhadap harta negara. Sebagaimana fakta yang terungkap di persidangan, Puteh telah memperkaya diri sendiri dengan melakukan tindak pidana korupsi dalam hal pengadaan barang dan jasa. Ghulul pada dasarnya adalah “mengambil sesuatu dan menyembunyikannya di dalam hartanya atau dapat juga disebut dengan penyalahgunaan jabatan. Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan." Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,"Ada apa gerangan?” Dia menjawab,"Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.)." Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata,"Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.” Selain itu tindakan yang dilakukan Abdullah puteh termasuk al-khianah karena pada saat itu Abdullah puteh merupakan Gubenur NAD yang memegang amanah besar dari rakyatnya. Mengenai al-khianah (khianat). Keterangan ini termaktub dalam surat al-Anfal ayat 27
Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan RasulNya dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” Dan sabda Rasulullah sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud: “Sampaikan amanah kepada orang yang mempercayaimu dan jangan berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu.” Jabatan kepala daerah adalah amanah besar dari rakyatnya. Sehingga apabila kepala daerah melakukan kecurangan dengan meraup uang rakyat untuk memperkaya diri adalah sebuah pengkhianatan yang besar. Sangat banyak kepala daerah yang telah berhasil diusut kekayaannya selama mereka menjalankan amanah dari rakyat dalam hal ini seperti yang telah dikatakan diatas salah satunya ialah Abdullah puteh.
DAFTAR PUSTAKA Putusan Mahkamah Agung No. 64 PK/PID.SUS/2013
http://acch.kpk.go.id/jejak-kasus/-/jejak-kasus/viewdetails/8/view https://m.tempo.co/read/news/2005/04/11/05559430/pengacara-puteh-protes-vonis-untuk-puteh https://ganimeda.wordpress.com/2010/12/07/perspektif-islam-terhadap-korupsi/ http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12623/akhirnya-puteh-divonis-10-tahun-penjara