International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
Pola Kasus Korupsi di Indonesia 2012 Wiwiek Prihandini Institut Perbanas Abstract This study tried to obtain the pattern of corruption in Indonesia, based on the characteristics of major corruption cases. The Model of Corruption Resources Allocation is used to describe cases of corruption involving bureaucrats, political parties, legislators, and the public. The study used a qualitative-descriptive approach and applying the method of content analysis. Data on corruption news were obtained from print edition of newspaper which published in 2012. News about corruption is then analyzed based on the type of corruption such as bribery, embezzlement, fraud, and extortion, as well as the perpetrators of corruption and the legal process. It followed by information of policy on combating corruption in Indonesia; the dynamics that occur between the various elements, and the opinions that emerged during 2012. Results of this study indicate that corruption which published in the newspaper involving legislative-bureaucrat-public dominated by bribery case, the relative young age actors, involving women , and some of actors have family ties. Keywords: The agency model of corruption, bribery, embezzlement, fraud, and extortion. 1. Latar Belakang Penelitian Setiap tahun Transparency International mengeluarkan indeks pengukuran tingkat korupsi global. Indeks ini mengukur tingkat persepsi korupsi sektor publik, yakni korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan politisi. Rentang indeks berdasarkan angka 0-10. Semakin kecil angka indeks menunjukkan potensi korupsi negara tersebut cukup besar. Pada tahun 2008, Corruption Perception Index (CPI) untuk Indonesia berada pada peringkat 126 dari 180 negara, dengan skor 2,6.Tahun 2011, skor CPI kita perlahan merangkai naik menjadi 3,0 dan berada di posisi ke-100 dari 183 negara (Transparancy International, 2012). Fakta ini semakin membenarkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Korupsi dinilai cenderung meluas dan dilakukan pejabat dari berbagai
1
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
level dan meluas ke semua pemerintah daerah (tempo.co.id, 6 Desember 2012). Tabel 1 Corruption Perception Index (CPI) berikut ini menyajikan posisi Indonesia selama lima tahun terakhir. Tabel 1.1 Corruption Perception Index, 2008-2012 No 1 2 3 4 5
Tahun 2008 2009 2010 2011 2012
CPI 2,6 2,8 2,8 3,0 32
Peringkat/Total Negara 126 /180 111 / 180 110 / 178 100 / 183 118 / 174
Sumber: Transparency International 2012
Namun fakta tersebut berbeda dengan hasil penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilakukan pada Oktober 2012. Berdasarkan hasil survei Perilaku Anti Korupsi tingkat
permisifitas
(PAK) yang dilakukan BPS di 33 provinsi ,mengenai masyarakat
Indonesia
terhadap
perilaku
korupsi,
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia cenderung anti korupsi. Hal ini terlihat dari nilai Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) sebesar 3,55 dari rentang 0-5. Skalanya 1-1,25 sangat permisif terhadap korupsi, 1,26-2,50 permisif, 2,51-3,75 anti korupsi, sedangkan 3,76-5,00 sangat anti korupsi. Pemberitaan mengenai korupsi sepanjang tahun 2012 baik di media cetak maupun elektronik menempati porsi yang cukup tinggi. Penelitian analisis isi konten media yang dilakukan oleh Founding Fathers House bulan Oktober 2011 hingga Oktober 2012 mendapati bahwa 7 dari 10 berita dengan frekuensi pemunculan paling tinggi adalah tentang suap dan korupsi (kompas.com, 25 Oktober 2012). Sementara itu, pengamatan yang dilakukan oleh tim Litbang Kompas mendapati bahwa pada tahun 2012, topik tentang korupsi merupakan isu yang paling sering dimuat sebagai headline oleh 6 surat kabar nasional (lihat Kompas, 18 Februari 2013). Mengingat korupsi memiliki dampak yang sangat besar terhadap produktivitas dan efektivitas kerja pemerintah, sendi kehidupan masyarakat, dan tingkat kemiskinan, maka dapat dikatakan bahwa korupsi adalah kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Sehingga tidak salah juga kemudian diperlukan penanganan yang luar biasa pula. Menurut Arief (2006: 87), diperlukan peran serta seluruh komponen masyarakat dalam hal pencegahan dan penindakan perkara korupsi sangat diperlukan. Meningkatnya aktivitas tindak pidana korupsi
2
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
yang tidak terkendali, tidak saja akan berdampak terhadap kehidupan nasional, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Metode penanganannyapun juga harus menggunakan cara-cara yang luar biasa, tidak lagi dengan cara-cara yang konvensional. Amiruddin (2012:36) menyebutkan strategi pemberantasan korupsi harus diawali dengan penegakan hukum yang berintikan pada controlling yang dilakukan secara berkelanjutan (sustainable) dan dilakukan tanpa tebang pilih. Penelitian ini ingin mendapatkan data mengenai pola kasus korupsi di Indonesia, berdasarkan karakteristik kasus-kasus korupsi besar, yang mencakup tentang latar belakang pelaku, nilai korupsi, jenis korupsi, hubungan antara para pelaku korupsi, dan pihak yang dikorupsi.
2. Kajian Teori Menurut Jain (2001:73) meskipun agak sulit untuk mendifinisikan korupsi yang dapat diterima oleh semua pihak, namun terdapat suatu konsensus bahwa korupsi
merujuk
pada
tindakan
pejabat
publik
yang
menggunakan
kewenangannya untuk kepentingan pribadi, dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan dan peraturan yang ada. Oleh karenanya tindakan illegal seperti fraud, pencucian uang, perdagangan obat, dan kegiatan black market, tidak termasuk korupsi karena tidak melibatkan penggunaan kewenangan pejabat publik. Meskipun tidak dapat dipungkiri kegiatan-kegiatan tersebut seringkali melibatkan pejabat publik, sehingga kemudian berkembang menjadi tindakan korupsi. Terjadinya korupsi, dalam identifikasi Jain (2001:77) memerlukan tiga unsur yang harus ada. Pertama, seseorang harus memiliki discretion power (kekuasaan yang penerapannya tergantung pada dia sendiri). Dalam pengertian yang luas, kekuasaan ini mencakup kewenangan untuk merancang peraturan dan melaksanakannya. Kedua, harus ada peluang ekonomi terkait dengan kekusaan ini. Selain itu, peluang tersebut harus sedemikian rupa sehingga dapat diketahui oleh kelompok yang ingin memanfaatkannya. Ketiga, sistem peradilan harus menawarkan kemungkinan ketahuan yang rendah, serta denda yang rendah atas perilaku salah tersebut. Korupsi terjadi ketika peluang yang tinggi berhubungan dengan penyalahgunaan dari kekuasaan diskresi, dikurangi dengan biaya tidak
3
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
resmi dan denda serta hukuman terkait dengan pelanggaran tersebut, dan hasilnya masih cukup besar. Lebih jauh Jain (2001:77) menyoroti kegiatan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik, birokrat, legislator (DPR), dan politisi yang menggunakan kekuasaan yang dipercayakan oleh publik kepadanya. Ada tiga macam korupsi yang dapat diidentifikasi dalam suatu masyarakat demokratis. Gambar 1 berikut ini memperlihatkan hubungan antara masyarakat/publik dengan elit politik, administratif, dan legislator. Ketiga jenis korupsi tersebut diperlihatkan dalam garis putus-putus yang tercetak tebal. Masing-masing memiliki perbedaan dalam jenis keputusan yang diambil yang dipengaruhi korupsi oleh penggunaan kekuasaan yang salah dari para pengambil keputusan. 2.1. Hubungan Korupsi dalam Masyarakat Demokratis Grand corruption sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2.1. pada hubungan (1) antara politikus dengan konstituen, umumnya merujuk pada tindakan elite politik, yang mengeksploitasi kewenangan mereka dalam membuat kebijakan publik. Sebagai pejabat yang dipilih, para politikus seharusnya sematamata membuat keputusan alokasi sumber daya berdasarkan kepentingan prinsipalnya, yaitu publik. Dalam mengambil keputusan mereka tentu saja harus menyeimbangkan kepentingan berbagai segmen dalam masyarakat, sama baiknya dengan kepentingan mereka sendiri untuk menjaga kekuasaannya. Seorang elite politik yang korup akan merubah kebijakan nasional atau implementasi kebijakan nasional untuk melayani kepentingan mereka sendiri dengan biaya publik. Jenis korupsi ini agak sulit diidentifikasi dan diukur karena setidaknya kemungkinan ada kelompok masyarakat tertentu yang memperoleh manfaat dari kebijakan itu. Jenis korupsi seperti ini sangat tepat dijelaskan dengan model yang mendasarkan diri pada agency theory dimana efisiensi hubungan tergantung pada kemampuan publik untuk untuk merancang insentif yang tepat untuk si agen.
4
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
Gambar 2.1. Hubungan Korupsi dalam Masyarakat Demokrasi Sumber: Jain (2001:74)
Bureucratic corruption (Korupsi birokratis) ditunjukkan dalam gambar hubungan (2) antara birokrat yang ditunjuk dalah membuat kesepakatan dengan atasan mereka (politikus), dan dengan publik. Secara umum, korupsi ini dikenal dengan
istilah
petty
corruption.
Publik
harus
menyuap
birokrat
untuk
mendapatkan pelayanan yang seharusnya memang mereka dapatkan, atau agar dapat mempercepat prosedur birokrasi. Atau, penyuapan dilakukan agar mendapatkan pelayanan yang seharusnya memang tidak diperbolehkan. Birokrat kadang juga menerima pembayaran untuk tugas yang diberikan kepadanya dari elit politik. Korupsi di pengadilan untuk meringankan denda atau hukuman juga termasuk dalam kategori korupsi ini. Model untuk jenis korupsi ini terletak pada keseimbangan pasar permintaan dan penawaran pelayanan yang pada gilirannya mengarah pada analisis kompetisi, serta biaya dan pendapatan yang terkait dengan pelayanan yang diberikan. Legislative corruption, seperti tampak dalam hubungan (3) merujuk pada cara dan perilaku pemilih legislator yang dapat dipengaruhi. Para legislator dapat disuap oleh kelompok yang memiliki kepentingan untuk mempengaruhi
5
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
perundang-undangan yang dapat merubah pendapatan yang mempengaruhi kekayaan. Praktek ’pembelian suara’ agar dapat terpilih kembali, juga termasuk dalam jenis korupsi ini. Selanjutnya, Jain (2001:87-90) merumuskan tiga model korupsi yang disebut dengan the agency model of corruption yang dapat diterapkan dalam menjelaskan grand corruption (hubungan 1) dan legislative corruption (hubungan 3); the resource allocation model yang cocok digunakan untuk menjelaskan petty corruption (hubungan 2), dan corruption and internal market. Model korupsi tersebut berusaha menjelaskan tingkat korupsi di masyarakat berdasarkan peluang dan risikonya. 1. The Agency Model of Corruption Agensi model dalam konteks dengan korupsi pertama kali digunakan dalam ilmu ekonomi dan politik untuk menanyakan motivasi para legislator (pembuatan kebijakan). Keseimbangan model ini bergantung pada bagaimana normalnya agensi model diterapkan pada situasi dimana terdapat asimetry information, situasi di mana prinsipal (dalam konteks perusahaan adalah posisi pemilik) kurang memiliki informasi mengenai kegiatan agen (dalam konteks perusahaan dapat berupa posisi manager). Dengan demikian prinsipal harus merancang insentif yang dapat memotivasi agen untuk berperilaku sesuai dengan keinginan prinsipal. Dalam kasus korupsi, masalah muncul tidak saja pada saat terjadi ketidakseimbangan informasi antara agen dan prinsipal tetapi juga ketika prinsipal tidak dapat mengendalikan sepenuhnya
pertanggungjawaban
agen atas perilakunya. Dalam model ini prinsipal diwakili oleh pemilih (voters) dan agen diwakili oleh legislator. Model ini menjelaskan legislator yang tidak bermoral akan menjaga kesempatan untuk dipilih kembali dan mempertahankan pendapatan yang telah mereka peroleh. Pemilih yang memiliki informasi lengkap menuntut legislator untuk memenuhi janji. Legislator dapat mencari manfaat ekonomi dari posisinya dan mendisain kebijakan untuk meningkatkan keuntungan. Menurut Rose-Ackerman (1999:132) dalam Jain (2001:87) pengendalian dari grand corruption akan bergantung pada kekuatan partai politik, institusi, dan metode pembiayaan kampanye.
6
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
2. The resource allocatioin model Penerapan paling jelas mengenai resource allocation model adalah perilaku mencari keuntungna (rent-seeking behaviour). Model ini menjelaskan korupsi melalui teori ekonomi klasik (neo clasical welfare economics), yang beranggapan pemerintah memiliki kekuatan “exogenous”, yang mencoba berbuat
baik
dalam
menjaga
keseimbangan
pasar,
yang
dalam
kebijakannya akan mencerminkan kepentingan masyarakat. Rent-seeking merupakan bagian dari aktivitas ekonomi seperti halnya distribusi dan produksi. Dalam kaitannya dengan korupsi,resource allocation model dapat diterapkan melalui persaingan kegiatan-kegiatan birokrasi yang berbeda untuk mendapatkan alokasi anggaran (Faith, 1980) dalam Jain (2000:88). Teori permintaan dan penawaran dapat digunakan untuk menjelaskan the resources allocation model. Permintaan merujuk pada persaingan antara para pelaku penyuapan, sedangkan sisi penawaran dicerminkan dari para birokrat yang memiliki kewenangan pemberian hak monopli yang juga bersaing dengan para birokrat-birokrat lainnya. Birokrat menawarkan jasa atau
hak
monopoli,
sedangkan
penyuap
mengajukan
permintaan
pelayanan atau hak monopoli dari birokrat. Menurut Jain, tantangan dalam membangun model ini ada pada tingkat ketidakpastian informasi dan pelaksanaan. Berdasarkan sifat dari kesepakatan, adalah sulit bagi para pejabat untuk menegosiasikan tingkat penyuapan secara terbuka kepada partner (penyuap). Juga sulit bagi para pejabat untuk menjamin bahwa kontrak akan dilaksanakan. Birokrat juga tidak dapat menjamin bahwa birokrat lain tidak akan menutup transaksi meskipun penyuap sudah melakukan pembayaran. Namun kemungkinan yang terjadi adalah situasi di mana pejabat korup memperoleh pendapatan dari beban publik yang berasal dari adanya kenaikan beban publik, tanpa mempengaruhi pendapatan pemerintah. 3. Corruption and Internal Market Satu penyebab mengapa korupsi tumbuh subur mungkin karena adanya perkembangan pasar internal (posisi-posisi yang peluang korupsinya besar) di antara pejabat yang terlibat dalam transaksi koruptif. Salah satu cara untuk mengurangi ketidakpastian dan hukuman yang mungkin akan
7
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
dijatuhkan pada pelaku korupsi adalah dengan membagi hasil dari korupsi dengan mereka, yang dapat menimbulkan biaya yang dikeluarkan untuk pejabat yang korup. Ketika hal tersebut menjadi jelas dapat meningkatkan pendapatan melalui penghasilan yang diperoleh, para pejabat mulai bersaing untuk mendapatkan posisi-posisiyang menguntungkan. Dalam usaha untuk menjamin posisi-posisi ini, pejabat dapat mengeluarkan sumberdaya sesuai dengan harapan potensi pendapatan yang akan diperoleh. Posisi yang menguntungkan ini dapat diperoleh dengan suatu harga berdasarkan perjanjian. Posisi-posisi ini selanjutnya menjadi subyek dari internal market. 2.2. Jenis Korupsi Di Indonesia pengertian korupsi secara hukum dapat dipahami melalui UU no 31 tahun 1999 dan UU no 20 tahu 2001 tentang tindak pidana korupsi. Disebutkan oleh Ardisasmita (2006) dan Muqodas dalam Hartiningsih (2011:351) berdasarkan 13 pasal dalam UU tersebut terdapat 30 bentuk atau jenis tindak korupsi. Ketigapuluh bentuk atau jenis tindak korupsi dapat dikelompokkan menjadi Kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Tidak dijelaskan secara eksplisit tindak pidana korupsi yang seperti apa yang masuk dalam salah satu dari tujuh kelompok tindak pidana korupsi tersebut. Andvig, Fjeldstad, Amundesen, Sissener, Soreide (2000:14) menjelaskan pemahaman mengenai bentuk korupsi kedalam lima kelompok yaitu, penyuapan (bribery), penggelapan (embezzlement), kecurangan (fraud), dan pemerasan (extortion). Berikut dijelaskan pemahaman bentuk korupsi sebagaimana dijelaskan oleh Andvig et. al (2000:15-17) 1. Bribery (Penyuapan) Bribery
menurut Andvig et. al adalah pembayaran dalam bentuk tunai
maupun non tunai yang diterima atau diambil dari suatu korupsi. Membayar atau menerima suap harus dipahami sebagai inti dari korupsi. Suap adalah persentas tertentu dari suatu kontrak yang biasanya dibayarkan kepada pejabat negara yang dapat membuat kontrak atas nama
8
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
negara, atau yang menguntungkan perusahaan, individu, dan bisnis. Ada banyak istilah yang mirip dengan penyuapan, seperti gratifikasi, sogok, pemanis,
hadiah,
atau
uang
pelicin.
Kesemuaannya
mengandung
pengertian korupsi dalam bentuk uang atau nikmat yang dibayarkan kepada karyawan perusahaan, pejabat publik, dan politisi. Ini merupakan pembayaran yang diperlukan atau dituntut agar sesuatu menjadi lebih cepat selesai, lebih halus atau lebih menguntungkan melalui birokrasi negara
atau
pemerintahan.
Dengan
"minyak
pelumas"
tersebut,
perusahaan dan kepentingan bisnis dapat membeli dukungan politik, dan lepas dari beban pajak dan peraturan mengenai lingkungan. Mereka juga dapat membeli perlindungan terhadap pasar dan monopoli, lisensi dan kuota impor/ekspor , dan mendapatkan akses ke kontrak negara yang besar pada modal barang, pasokan, proyek teknik sipil yang besar, pekerjaan konstruksi, dan sebagainya 2. Embezzlement (penggelapan) Embezzlement menurut Andvig et. al adalah pencurian terhadap sumber daya yang dilakukan oleh orang yang ditugaskan untuk hal tersebut. Ini merupakan pelanggaran serius ketika pejabat publik menggelapkan sumber daya milik publik, atau ketika pejabat negara mencuri dari institusi publik di mana dia bekerja dan dari sumber-sumber daya yang harus dia kelola atas nama publik. Dari sudut pandang hukum, embezzlement (penggelapan) tidak dipandang sebagai korupsi, namun termasuk dalam definisi yang lebih luas. Dalam istilah hukum, korupsi adalah transaksi antara dua individu. Yang satu disebut sebagai agen dan yang satunya sebagai orang sipil, di mana agen negara melampaui batas hukum dan peraturan dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan pribadi dalam bentuk suap. Karena tidak melibatkan warga sipil secara langsung embezzlement dianggap sebagai pencurian. Hak publik dirampas bersamaan dengan dicurinya dana publik. Namun tidak ada milik masyarakat yang dicuri dan masyarakat sipil secara bersamaan telah kehilangan hak hukum. Ini menunjukkan salah satu bahaya penggelapan. Harus ada kemauan politik, peradilan yang independen, dan kapasitas hukum yang besar untuk menekan penggelapan. Penggelapan merupakan bentuk pelecehan
9
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
korupsi dan kekuasaan yang dapat berkembang di bidang kelembagaan dan moral yang tertutup, terlepas dari moral publik dan dengan beberapa kemungkinan sanksi publik. Di negara-negara yang korup, penggelapan adalah penggalian dengan paksa sumber daya yang dilakukan oleh elite penguasa, yang dianggap lebih penting daripada pemerasan melalui suap. Penggelapan merupakan pelecehan proses dimana beberapa kekuatanpemegang sistematis menggunakan kantor politik mereka untuk masuk ke dalam, mengamankan dan memperluas kepentingan pribadi bisnis mereka, harus dianggap sebagai bentuk lain dari penggelapan. Di beberapa negara, elit politik memiliki perusahaan asing yang dinasionalisasi, properti dan hak monopoli, dan didistribusikan kepada para anggota keluarga yang berkuasa. 3. Fraud (kecurangan) Fraud
menurut Andvig et. al adalah sebuah kejahatan ekonomi yang
melibatkan beberapa jenis tipu daya, penipuan atau kebohongan. Penipuan melibatkan manipulasi atau distorsi informasi, fakta dan keahlian, yang dilakukan oleh pejabat publik. Mereka memposisikan dirinya di antara politisi dan warga negara, yang berusaha untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Fraud terjadi ketika seorang pejabat publik (agent), yang bertanggung jawab untuk melaksanakan perintah atau tugas yang diberikan oleh atasannya (prinsipal), memanipulasi aliran informasi untuk keuntungan pribadinya. Fenomena ini oleh ekonom dapat dijelaskan dengan menggunakan principal-agent teori atau teori insentif (Eskeland dan Thiele 1999; Fjeldstad 1999) dalam Andvig et al (2000: 16). Kecurangan juga merupakan istilah hukum yang populer, mencakup lebih dari suap dan penggelapan. Misalnya ketika lembaga negara dan perwakilan negara terlibat dalam jaringan perdagangan ilegal, palsu, dan usaha pemerasan, juga ketika pemalsuan, penyelundupan dan kejahatan ekonomi lainnya yang terorganisir dan mendapat dukungan atau keterlibatan pejabat pemerintah. 4. Extortion (pemerasan)
10
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
Extortion menurut Andvig et. al (2000:17) merupakan uang dan sumber daya lainnya yang diambil dengan menggunakan paksaan, kekerasan atau ancaman. Pemerasan dan penghisapan adalah transaksi koruptif di mana uang diambil secara paksa oleh mereka yang memiliki kekuasaan untuk melakukannya, di mana sangat sedikit yang kembali ke "klien" (mungkin hanya berupa janji samar). "Perlindungan" atau "keamanan" uang dapat diperas dalam gaya klasik mafia yang terkenal, di mana penjahat yang terorganisir menggunakan ketidakamanan, pelecehan dan intimidasi untuk memeras uang dari warga negara, perusahaan swasta, dan pejabat publik. Korupsi dalam bentuk pemerasan biasanya dipahami sebagai bentuk pemerasan "dari bawah", oleh mafia dan penjahat. Praktek-praktek korupsi semacam ini bisa juga menjadi "dari atas", ketika negara itu sendiri adalah mafia terbesar dari mereka semua. Hal ini misalnya ketika negara, dan khususnya bagian keamanan dan kelompok paramiliter, memeras uang dari individu, kelompok dan bisnis. Dengan ancaman tersembunyi, pajak, biaya dan sumber daya lainnya yang diperas dari wisatawan, pedagang pasar, pengangkut dan bisnis lainnya di sektor swasta. Selain itu, pejabat negara yang lain dapat memeras "di bawah meja" berupa biaya dan "hadiah" dari warga negara ketika mereka mendekati negara sebagai klien, pelanggan, pasien, anak-anak sekolah dll. Praktik ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk perpajakan yang "informal" .
2.3. Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian yang dilakukan oleh Suwarno dan Junanto (2006) menyimpulkan beberapa hal dua diantaranya adalah sektor yang paling tinggi tingkat korupsinya dan jenis korupsi yang paling banyak terjadi. Disebutkan pengadaan barang dan jasa yang meliputi konstruksi dan pekerjaan umum, perlengkapan militer, dan barang dan jasa pemerintah merupakan sector yang paling banyak dikorupsi. Untuk jenis korupsi, jenis penyuapan merupakan korupsi banyak terjadi, terutama di kepolisian, perijinan, pajak, bea cukai, dan politisi (anggota DPR dan partai politik). Sedangkan untuk jenis Favoritism (korupsi, kolusi, dan nepotisme), korupsi terbesar banyak terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan
11
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
pegawai negeri melalui koperasi dan yayasan. Kedua, berkaitan dengan pelaku korupsi dilakukan oleh aparat pemerintah, sektor bisnis, dan warga masyarakat. Hasil penelitian Pradiptyo (2013) mengenai pola korupsi di Indonesia selama tahun 2001-2012 memberikan diskripsi atas 1.424 kasus korupsi. Berdasarkan pelaku korupsi, 7% perempuan dan 93% laki-laki yang terjadi 59% di luar Jawa, 29% Jawa non Jabodetabek, dan 12 Jabodetabek. Dengan biaya eksplisit yang ditanggung Negara luar jawa Rp 75.870,85 milliar, Jawa non Jabodetabek 1.218,52 milliar, dan Jabodetabek 91.096,28 milliar. Dengan demikian total kerugian yang dialami Negara adalah Rp 168,19 trilliun. Dari total tersebut telah dikembalikan kepada Negara sebesar Rp 15,09 trilliun. Rinaldi dkk (2007) melakukan penelitian atas 10 kasus korupsi yang terjadi di lima provinsi di Indonesia yaitu Sumatra Barat,Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah. Berdasarkan kelompok pelaku, korupsi dilakukan oleh lembaga legislative dan eksekutif. Modus Operandi atas 10 kasus korupsi tersebut untuk lembaga legislative adalah memperbanyak dan memperbesar mata anggaran, menyalurkan dana APBD untuk lembaga/Yayasan ternyat fiktif, dan manipulasi perjalanan dinas. Sedangkan untuk lembaga eksekutif adalah penggunaan sisa dna tanpa prosedur, penyimpanan prosedur dan pencairan dana kas daerah, sisa APBD, dan manipulasi proses pengadaan. Penelitian yang dilakukan Syahril dan Saleh (2013) menemukan, selama tahun 2004-2012 telah terjadi 28 kasus korupsi yang terjadi di pemerintahan daerah yang telah berkekuatan hukum tetap dan dieksekusi. Atas korupsi yang terjadi ini besarnya kerugian Negara
adalah Rp. 2.623.212.042.642,26. Korupsi ini terjadi di lima daerah tingkat
provinsi dan 21 kabupaten/kota di Indonesia. Dengan melibatkan 6 gubernur, 18 bupati, 5 walikota, dan 1 wakil wali kota. Atas 28 kasus korupsi Syahril dan Saleh (2013:10) mengelompokkan menjadi tiga tipe kasus korupsi yaitu perizinan, penyalahgunaan anggaran , dan pengadaan barang (diurutkan berdasarkan besarnya kerugian Negara). Masing-masing besarnya mencapai Rp 1.857.113.579.210,34; Rp 657.564.969.381,28; Rp 112.231.641.210,-.
12
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
3. Metode Penelitian 3.1 Rancangan Penelitiam Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan diskriptifkuantitatif. Data berupa berita dan artikel opini tentang korupsi di Indonesia yang ada dalam surat kabar selama tahun 2012 akan dianalisis dengan metode analisis isi (content analysis). Menurut Eriyanto (2011:15) analisis isi adalah suatu teknik penelitian ilmiah yang ditujukan untuk mengetahui gambaran karakteristik isi dan menarik inferensi dari isi pesan komunikasi. Analisis isi ditujukan untuk mengidentifikasi secara sistematis isi informasi yang tampak atau manifest, dan dilakukan secara obyektif, valid, reliabel, dan dapat direplikasi. Metode penelitian analisis isi banyak digunakan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. 3.2 Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah berita dan artikel opini mengenai korupsi yang terjadi di Indonesia yang terdapat di berbagai surat kabar. Alasan pemilihan berita yang terdapat dalam surat kabar disebabkan karena berita surat kabar lebih memiliki kedalaman, akurasi, dan lebih mudah didokumentasikan dibanding dengan media elektronik seperti televisi maupun radio. Untuk menentukan sampel surat kabar yang akan dianalisis, dilakukan perbandingan frekuensi pemuatan berita tentang korupsi pada 3 surat kabar nasional, yaitu Kompas, Media Indonesia, dan Republika, serta 2 surat kabar daerah yaitu Pikiran Rakyat, dan Suara Merdeka. Dari hasil pengamatan selama 6 hari, yakni hari Senin 19 November hingga Sabtu 24 November 2012, diketahui bahwa Surat Kabar Kompas memiliki jumlah pemberitaan tentang korupsi yang paling tinggi dibanding keempat surat kabar lainnya, yaitu 43 item berita. Sementara itu, Media Indonesia memuat 41 item berita; Republika memuat 16 item berita; Pikiran Rakyat memuat 12 item berita; dan Suara Merdeka memuat 29 item berita. Informasi selengkapnya dapat diamati dalam Tabel 2. Tabel 3.1. Informasi Jumlah Berita Mengenai Korupsi 19 November s.d. 24 November 2012 No 1.
Surat Kabar Kompas
Cakupan Nasional
Berita dan Opini Tentang Korupsi (Nov 2012) Jumlah Sn, 19 Sl, 20 Rb, 21 Km, 22 Jm, 23 Sb, 24 6 7 7 10 8 5 43
13
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
2. 3. 4. 5.
Media Indonesia Republika Pikiran Rakyat Suara Merdeka
Nasional Nasional Jawa Barat Jawa Tengah
4 1 -3
9 2 4 7
12 3 4 4
6 6 2 5
6 3 1 5
4 1 1 5
41 16 12 29
Sumber: Pengolahan data
Dibanding dengan surat kabar Media Indonesia, jumlah pemberitaan mengenai korupsi di Surat Kabar Kompas hanya selisih 2 item berita. Peneliti memutuskan untuk mengambil sampel Surat Kabar Kompas karena isi/volume pemeberitaannya pada umumnya lebih panjang dan lebih mendalam. Dengan demikian, sampel penelitian ini adalah berita dan opini mengenai korupsi yang diterbitkan oleh surat kabar Kompas edisi cetak, yang diambil selama satu tahun penerbitan, mulai tanggal 2 Januari 2012 hingga 31 Desember 2012. 3.3 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data Pengambilan data dilakukan dengan memeriksa seluruh edisi harian “Kompas” sepanjang tahun 2012, kemudian mengkliping berita dan artikel opini yang terkait dengan korupsi di Indonesia, serta mengelompokkannya setiap bulan. Perkiraan jumlah item berita dan artikel opini mengenai korupsi selama tahun 2012 di Surat Kabar Kompas adalah lk. 1.100 item, baik yang dimuat di halaman depan (halaman 1) maupun halaman dalam. Selanjutnya, setiap item berita dan artikel yang didapatkan, akan dibaca dan dianalisis berdasarkan kategori yang telah ditentukan, yaitu: 1. Informasi tentang kasus korupsi. Misalnya, menyangkut
nama kasus
korupsi, modus, jenis atau bidang korupsi, pelaku korupsi dan institusi asal pelaku, jenis kerugian dan besarnya kerugian yang ditimbulkan. 2. Proses hukum kasus korupsi. Yakni berupa perkembangan penanganan kasus korupsi yang ditangani oleh aparat penegak hukum di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sidang di pengadilan, putusan pengadilan, eksekusi, dan seterusnya. 3. Perkembangan kebijakan dan peraturan tentang korupsi di Indonesia. 4. Dinamika yang terjadi di antara institusi penegak hukum, pemerintah, DPR, masyarakat, dalam kaitan dengan pemberantasan korupsi. 5. Opini mengenai upaya pemberantasan korupsi. Hasil dari pengkategorian tersebut kemudian akan disajikan dalam tabel berdasarkan frekuensi, intensitas, dan kriteria lainnya. Informasi tersebut juga
14
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
akan dideskripsikan agar mudah dipahami konteksnya, dan dapat diketahui secara lebih mendalam. Selanjutnya, akan dilakukan intepretasi dan diskusi tentang bagaimana pola korupsi di Indonesia, bagaimana penanganan kasuskasus korupsi dijalankan, bagaimana interaksi dan dinamika pemberantasan korupsi di antara aktor-aktor dalam masyarakat. Hal ini dilakukan sesua dengan rumusan dalam pertanyaan dan tujuan penelitian. Juga akan dianalisis bagaimana korupsi sebagai sebuah tindakan kriminal disikapi oleh institusi penegak hukum, masyarakat, pemerintah, dan legislatif sebagaimana pembahasan dalam Bab 2. 4. Analisa Hasil dan Pembahasan Jain (2002) menyebutkan bahwa hubungan korupsi dalam masyarakat demokrasi dapat dikelompokkan menjadi Grand Corruption, Bureucrats Corruption, dan Legislative Corruption. Jain (2002) juga menyebutkan bahwa korupsi dapat dijelaskan dengan tiga model yaitu Agency Model of Corruption, The Resource Allocation Model, dan Internal Market. Sementara Andvig et. Al (2000) menjelaskan korupsi dengan mengelompokkan korupsi menjadi 5 kelompok yaitu penyuapan (bribery), penggelapan (embezzlement), kecurangan (fraud), dan pemerasan (extortion), dan favouritism. Dalam pembahasan terkait dengan 11 kasus korupsi yang menjadi obyek pengamatan penelitian ini, akan menggunakan jenis, model, dan pengelompokkan berdasarkan pemikiran Jain (2002) dan Andvig (2000). 4.1 Model Korupsi Pembahasan akan diawali dengan mengelompokkan 11 kasus korupsi beredasarkan hubungan pelaku, model, dan jenis korupsi sebagaimana tampak dalam Tabel 4.3. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan lebih dalam mengenai pola hubungan kasus korupsi berdasarkan jenis korupsi, pola korupsi, penanganan kasus korupsi yang cukup mendapat perhatian mas media. Tabel 4.3. Hubungan Pelaku, Model, dan Jenis Korupsi 2012 No. 1 2 3 4 5
Kasus Korupsi Wisma Atlet Simulator Hambalang Pajak Pemilihan DGS BI
Hubungan Pelaku Birokrasi Birokrasi Birokrasi Birokrasi Legislatif
Model Resources Allocation Resources Allocation Resources Allocation Agency Model Internal Market
Jenis Penyuapan Pengelembungan Penyuapan Pengelapan Penyuapan
15
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
6 7 8 9 10 11
Suap Bupati Buol Pengadaan Al’Quran Ruang Banggar Pengadaan PLTS DPID Vaksin Flu Burung
Birokrasi Birokrasi Birokrasi Birokrasi Birokrasi Birokrasi
Resources Allocation Resources Allocation Resources Allocation Resources Allocation Resources Allocation Resources Allocation
Penyuapan Penyuapan Pengelembungan Pengelembungan Penyuapan Pengelembungan
Sumber: Pengolahan Data Ket: DGS BI, Deputy Gubernur Senior Bank Indonesia PLTS, Pembangkit Listrik Tenaga Surya DPID, Dana Penyesuaian Infrastrukutr Daerah
Pelaku Penyuapan Dalam pendekatan hubungan pelaku korupsi, dari sebelas kasus korupsi yang banyak dipublikasi media massa, hampir seluruhnya masuk kategori korupsi birokrasi, satu satunya yang berbeda adalah kasus korupsi pemilihan DGS BI. Dari sepuluh kasus korupsi yang terkategori korupsi birokrasi, dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis korupsi yaitu penyuapan, kecurangan (penggelembungan), dan pengelapan. Masuk dalam kasus penyuapan adalah kasus Wisma Atelt, Hambalang, Pemilihan DGS BI, Bupati Buol, Pengadaan AlQuran,
dan
DPID.
Sedangkan
empat
yang
terkategori
kecurangan
(pengelembungan) adalah kasus Simulator, renovasi ruang Banggar, pengadaan PLTS, dan vaksin flu burung. Sedangan kasus korupsi pajak terkategori penggelapan. Tabel 4.4. merupakan tabel yang memapaparkan kasus penyuapan yang dilihat dari aspek hubungan antar pelaku yaitu legislatif, birokrasi, dan publik/swasta. Pelaku yang masuk kategori legislatif adalah mereka yang berasal dari kelompok anggota Dewan Perwakilan Rakyat, birokrasi adalah mereka yang masuk dalam kategori pejabat pemerintah, pegawai negeri, aparat penegak hukum yang memiliki tugas untuk melayani publik. Sedangkan yang masuk dalam kategori publik adalah masyarakat sipil, baik yang masuk dalam kelompok perusahaan maupun individu. Tabel 4.4. Unsur Pelaku Penyuapan (Kasus Korupsi yang Diproses pada tahun 2012) No Kasus Legislatif 1. Wisma Atlet M. Nazaruddin (PD)
Birokrat Wafid Muharam (Pejabat Penguasa Anggaran)
Publik/Swasta Keterangan PT DGI Legislatif terlibat dalam usulan anggaran proyek yang dibiayai APBN. Pemenang tender (swasta) menyerahkan uang kepada birokrat sebagai komisi. Salah satu PT yang menang tender milik pengurus partai.
16
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
No Kasus 2. Hambalang
Legislatif M. Nazaruddin, Anas Urbaningrum (PD)
Birokrat Publik/Swasta Keterangan Dedy Kusdinar PT Adhi Karya Legislatif terlibat dalam usulan (Pejabat Pembuat anggaran proyek. Pemenang tender Komitmen); Andi (PT Adhi Karya, Tbk.) menyerahkan Alfian uang komisi kepada oknum legislatif Malarangeng melalui perusahaan yang dimilikinya, (Menpora) Permai Grup. Separuh dana tersebut digunakan untuk pemenangan Anas Urbaningrum dalam pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat dan selebihnya dibagikan kepada anggota DPR, dan birokrat. 3. Pemilihan Agus S Condro Miranda Swaray Nunun Sejumlah anggota legislatif dari DGS Bi (PDIP); Dudhie Gultom, mantan Nurbaeti (PT Komisi IX mendapatkan traveller MM (PDIP); DG Senior Bank Wahana Esa cheque setelah seorang birokrat Endin Soefihara Indonesia Sejati), terpilih menjadi pejabat deputi (PPP); Hamka gubernur Bank Sentral. Cek Yandhu (PBR); perjalanan diberikan oleh pihak Udju Juheri swasta, namun sponsor/pemilik dana (TNI/Polri). tidak diketahui. 4. Bupati Buol Amran Batalipu PT HIP dan PT Swasta menyerahkan uang kepada (Bupati Buol) CCM birokrat untuk mendapatkan hak guna usaha lahan perkebunan. 5. Pengadaan Zulkarnaen Dendy P (Dirut Legislatif mengarahkan anggaran agar Al’Quran Djabar (anggota PT KSAI), Imam dimenangkan pihak tertentu, agar komisi VIII dari Fauzi; M Alfian mendapat komisi terkait pengadaan Partai Golkar) (PT Jaya Abadi barang dan jasa di Kementerian Nusantara) Agama. 6. Dana Wa Ode Fadh A. Rafiq Atas perantara anggota parlemen, Penyesuaian Nurhayati (pengusaha, publik/swasta meminta kepada Infrastruktur (Banggar, PAN) Jakarta), anggota Banggar Wa Ode N agar 3 Daerah Zamzami daerah di Aceh memperoleh DPID. (DPID) (pengusaha, Wa Ode menyanggupi dan meminta Aceh) sejumlah uang. Fahd menyediakan dana yang berasal dari pengusaha di Aceh. Meski dana sudah diserahkan namun dana DPID tidak dialokasikan. Sumber: Pengolahan Data
Pelaku Penggelembungan Selain kasus penyuapan, terdapat 4 kasus kecurangan (penggelembungan) yang dikaji dalam penelitian ini. Keempat kasus korupsi dalam bentuk penggelembungan anggaran itu adalah Kasus Simulator Mengemudi di Korlantas Polri, Renovasi Ruang Banggar DPR, dan Pengadaan PLTS di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; serta pembangunan pabrik vaksin flu burung di Kementerian Kesehatan. Keempat kasus tersebut dapat dicermati dalam Tabel 4.5. berikut ini.
17
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
Tabel 4.5. Unsur Pelaku Pengelembungan (Kasus Korupsi yang Diproses pada tahun 2012) No
Kasus
Legislatif
Birokrat
1.
Simulator Korlantas
2.
Ruang Banggar DPR
3.
Pengadaan PLTS
Timas Ginting (Pejabat Pembuat Komitmen Kemennakertrans)
4.
Vaksin Flu M. Nazaruddin Burung (PD)
Tunggul P. Sihombing (PPK)
Swasta
Keterangan
Mantan Kepala Dua rekanan dan Wakil Kepala Korlantas, Mabes Polri.
Nining Indra Saleh (Setjen DPR); Soemirat (Ka. Biro Pemeliharaan Bangunan Setjen DPR); Melehias Mekeng (Ketua Banggar)
PT Gubah Laras
Sampai dengan ahun 2012 kasus ini dalam tahap penyidikan belum masuk ketahapan Pengadilan, sehingga pembahasan di media lebih banyak mengulas mengenai konflik antara Polri dan KPK, di mana masyarakat mendukung penuh KPK Kasus ini tidak sempat ditangani oleh KPK. Karena nilai biaya renovasi sangat besar dan dianggap tidak masuk akal, sehingga menimbulkan polemik dan dianggap mencenderai rasa keadilan publik.
Neneng Sri Wahyuni (pemilik PT Anugrah Nusantara); PT Alfindo Nuratama; PT Sundaya Indonesia
Swata (PT AN) meminta PT Alfindo Nuratama ikut dalam tender Proyek Pengadaan PLTS. PT AN bekerjasama dengan birokrat (PPK) agar PT Alfindo Nuratama menang tender. Kemudian, PT Alfindo Nuratama mensubkontrakkan pekerjaan kepada PT Sundaya Indonesia dengan nilai di bawah kontrak dengan pemerintah. PT. Bioframa; PT Awalnya PT Bio Farma mengajuAnugrah Nusatara; kan usulan pembangunan pabrik dan PT Exaartech vaksin ke Kementerian Kesehatan, Technology namun usulan ini ditolak. Selanjutnya usulan tersebut dikembangkan oleh Nazaruddin cs. yang kemudian membawanya ke Badan Anggaran DPR hingga akhirnya disetujui. Kemudian realisasi anggaran untuk PT Bio Farma itu disalurkan melalui Kementerian Kesehatan.
Sumber: Pengolahan Data
Berbeda
dengan
kasus
korupsi
dalam
bentuk
penyuapan
dan
pengelembungan, kasus korupsi yang terkait dengan pajak termasuk dalam jenis penggelapan. Secara umum penggelapan dapat dijelaskan sebagai pencurian terhadap sumber daya publik yang dilakukan oleh pejabat publik. Dalam kasus Dhana Widyatmika, penggelapan melibatkan pihak tiga perusahaan swasata. Dhana Widyatmika menerima aliran dana dari ketiga perusahaan tersebut. Uang yang dia terima kemudian diinvestasikan ke berbagai jenis usaha yaitu PT Mitra
18
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
Modern Mobilindo yang bergerak di bidang jual beli mobil, PT Bangun Bumi Persada yang bergerak di bidang property, dan PT Trisula Artamega yang bergerak di bidang trading. Selain itu Dhana Widyatmika juga memiliki usaha minimarket dan peternakan ayam. Masih dalam korupsi jenis penggelapan, Tommy Hindratno pegawai Ditjen Pajak, menerima uang dari James Gunardjo, pegawai dari PT Agis Tbk. James adalah orang diutus oleh pemimpin PT Bhakti Investama untuk mengurus restitusi pajak perusahaan perusahaan tersebut. PT Agis merupakan perusahaan ritel peralatan elektronik yang berada di bawah grup Media Nusantara Citra (MNC) . Kedekatan PT Agis dan PT Bhakti Investama terlihat pada lokasi kantor, keduanya berkantor di MNC Tower, Jakarta Pusat. 4.2. Karakteristik Pelaku Korupsi Selanjutnya Tabel 4.6. berikut memperlihatkan pelaku korupsi dari aspek pekerjaan, umur, hubungan keluarga, dan jumlah kerugian negara. Tabel 4.6. Pola Korupsi di Indonesia 2012 (Kasus-kasus Korupsi yang Diproses pada tahun 2012) No Kasus Korupsi Pekerjaan 1. Wisma Atlet Legislatif 5 Birokrat 2 Swasta 2 2. Pengadaan Polisi 1 Simulator 3. Hambalang Legislatif 2 Birokrat 2 Swasta 5 4. Pajak (Dhana Birokrat 2 Widyatmika) Swasta 4
5.
6. 7. 8. 9.
Umur (th) Jenis Kelamin Hub. Keluarga Jenis Korupsi 30-40 5 Laki-laki 7 Individu 9 Penyuapan 41-50 3 Perempuan 2 >51 1 >51 1 Laki-Laki 1 Individu 1 Penggelembungan 30-40 1 Laki-laki 7 Individu 7 Penyuapan 41-50 7 Perempuan 1 Suami-Istri 1 >51 1 Kakak-Adik 1 30-40 2 Laki-laki 6 Individu 6 Penggelapan & Pencucian 40-50 4 Uang 1 30-40 1 Laki-laki 2 Individu 2 Penyuapan 1 41-50 1
Jumlah Rp 3,2 miliar
Legislatif Birokrat Swasta TNI/Polri Bupati Buol Birokrat Swasta Pengadaan Al- Legislatif Quran Swasta Renovasi Birokrat Banggar
3 1 3 1 1 3 1 3 3
Pengadaan PLTS
1 30-40 4 41-50
Pajak (PT Bhakti Investama) Pemilihan DGS BI
Birokrat Swasta
Legislatif Swasta
30-40 41-50 >51 40-50 >51 40-50 >51 >51
Laki-laki Perempuan
Belum teridentifikasi Nilai proyek 2,5 triliun 125,66 miliar (kerugian negara) 280 juta (nilai suap)
2 Individu 6
6 Penyuapan
24 miliar (nilai suap)
2 Individu 2 4 Ayah-anak Individu 2 Individu 1 4 Suami -istri 2 Individu
4 Penyuapan
3 miliar (nilai suap)
1 Favoritism 2 2 Penggelembungan
4 miliar (Nilai suap)
1 Pengelem4 bungan
2,7 miliar
2 3 Laki-laki 1 Perempuan Laki-laki 2 Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Nilai proyek 20,3 milliar
19
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
No Kasus Korupsi
Pekerjaan Birokrat 1 Legislatif 3 10. DPID Swasta 3 Legisaltif 1 11. Vaksin Flu Burung Birokrat 1 Swasta Sumber: Pengolahan Data
Umur (th) Jenis Kelamin Hub. Keluarga Jenis Korupsi >51 30-40 1 Laki-laki 5 Individu 6 Penyuapan 41-50 Perempuan 1 30-40 Laki-laki 2 Individu Penggelembungan
Pelaku atau tersangka korupsi
Jumlah Rp 6,25 miliar (nilai suap) Potensi kerugian 693 miliar
banyak yang melibatkan mereka yang
berusia relatif muda (sekitar 40 tahun atau lebih muda). Misalnya, Muhammad Nazaruddin, Dhana Widhyatmika, Tommy Hindratno, Fahd A. Rafiq. Pelaku korupsi perempuan juga mencatat jumlah yang meningkat, seperti Angelina Sondakh, Neneng Sri Wahyuni, Wa Ode Nurhayati, Mindo Rosalina Manulang, dan sebagainya. Sedangkan hubungan keluarga di antara pelaku dan tersangka korupsi, misalnya adalah suami-istri Nazaruddin dan Neneng Sri Wahyuni, Andi Mallarangeng dan Choel Mallarangeng, Zulkarnaen Djabar (ayah) dan Dandhy Prasetya (anak). Hasil penelitian ini mempertajam hasil penelitian yang dilakukan oleh Suwarno dan Junanto (2006) menyebutkan bahwa sektor yang paling tinggi tingkat korupsinya dan jenis korupsi yang paling banyak terjadi adalah sector pengadaan danbarang dan jasa, dan konstruksi dan pekerjaan umum. Dengan jenis korupsi yang banyak terjadi adalah penyuapan. Sedangkan untuk pelaku dilakukan oleh aparat pemerintah, sector bisnis dan swasta. Mengenai pola korupsi sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Pradiptyo (2013) yang menyebutkan secara eksplisit keterlibatan perempuan sebagai pelaku korupsi mencapai 7%, konsisten dengan dengan hasil penelitian ini, meskipun dalam penelitian ini tidak menyebutkan jumlah keterlibatan perempuan, namun di beberapa kasus korupsi peran perempuan sebagai pelaku korupsi semakin besar. Hasil penelitian ini juga konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Rinaldi dkk (2007), berdasarkan kelompok pelaku, korupsi dilakukan oleh lembaga legislative dan eksekutif dengan modus operandi adalah memperbanyak dan memperbesar mata anggaran, menyalurkan dana APBD. 5. Kesimpulan dan Saran Penelitian ini telah menelaah pemberitaan mengenai korupsi di surat kabar Kompas yang dilengkapi dengan media lain seperti Republika, surat kabar dan Majalah Tempo, beserta situs beritanya. Data utama berasal dari sekitar 900 kliping surat kabar Kompas edisi cetak sepanjang tahun 2012, yang kemudian
20
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
dikelompokkan menurut kasus korupsinya, dan berdasarkan isu lain terkait dengan penanganan korupsi di Indonesia. Selanjutnya, kliping kasus tertentu dibuat ringkasannya untuk memudahkan penelusuran informasi mengenai penanganan kasus tertentu. Setelah dianalisis berdasarkan jenis korupsinya, juga dianalisis dengan menggunakan resources allocation model, penelitian ini menghasilkan sejumlah kesimpulan dan rekomendasi. 5.1 Kesimpulan Keterlibatan unsur birokrasi merupakan jenis korupsi yang banyak diberitakan sepanjang tahun 2012. Ada tiga unsur pelaku korupsi yaitu legislatif, birokrat, dan publik/swasta yang dapat diwakili individu atau perusahaan. Modus korupsi birokrasi berawal dari upaya untuk memenangkan tender suatu proyek yang melekat pada sebuah kementerian untuk satu tahun anggaran, kepada pihak tertentu. Agar proyek tersebut masuk dalam mata anggaran APBN, maka diperlukan pendekatan kepada pihak legislatif, yang memiliki kewenangan untuk menyetujui anggaran tersebut. Setelah kegiatan atau proyek sudah masuk dalam mata anggaran APBN, proses berikutnya dilakukankan oleh birokrat, sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan tender atau menunjuk pihak swasta yang akan melaksanakan proyek. Proses tender ini dikoordinasikan oleh seorang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) suatu kementerian. Pada proses ini, berdasarkan sejumlah criteria yang sudah ditentukan,
akan diputuskan pihak swasta yang akan memenangkan
tender dan mengerjakan proyek tersebut. Aturannya, pihak yang akan menjalankan proyek adalah swasta yang dinyatakan sebagai pemenang tender. Setelah ditentukan pemenang tender, selanjutnya terjadi pencairan dana APBN kepada pemenang tender (pihak swasta). Seringkali, sebagai uacapan terimakasih karena telah memenangkan tender, pihak swasta akan mengalirkan dana kepada birokrat dan anggota legislatif. Dalam beberapa kasus aliran dana dari publik (pihak swasta) dapat terjadi sebelum proses tender atau penentuan pemenangan tender dilakukan. Aliran dana ini sering disebut sebagai uang pelicin. Pola korupsi seperti ini termasuk dalam model Resource Allocation, sebuah model korupsi yang menjelaskan adanya persaingan kegiatan birokrasi untuk mendapatkan alokasi anggaran. Dengan demikian, APBN (termasuk APBN-P) merupakan lahan dan
21
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
sumber dana yang akan dikorupsi. Dua pihak yang dekat dengan penyusunan APBN adalah legislatif dan birokrat. Modus yang digunakan unsur legislatif dan atau birokrat untuk melakukan korupsi melalui anggaran, pertama dengan melakukan perubahan mata anggaran dalam APBN yang akan dikorupsi dari single year menjadi multi years. Kedua, dengan melakukan pengelembungan atau mark up atas biaya suatu proyek. Korupsi dapat terjadi dengan melibatkan legislatif-birokrat-publik, birokratpublik, legislatif-publik. Berdasarkan 11 kasus korupsi yang menjadi obyek pengamatan dalam penelitian ini, tercatat jumlah dana APBN yang dikorupsi mencapai Rp 169 milliar. Selain itu, terdapat kasus pembangunan sarana olah raga Hambalang yang hingga akhir tahun 2012 belum dapat dipastikan jumlah kerugian yang ditanggung Negara. Fakta yang sudah terungkap di KPK adalah adanya aliran dana sejumlah Rp 100 miliar dari pelaku korupsi yang digunakan untuk pemenangan kader partai dalam konvensi pemilihan ketua umum suatu partai politik, dan aliran kepada anggota legislative serta birokrat. Sedangkan kasus korupsi yang lainnya yang juga belum dapat dipastikan besarnya kerugian Negara adalah kasus pembangunan pabrik vaksin flu burung. Diduga kasus ini berpotensi merugikan Negara hingga sebesar Rp 693 miliar. Dari sudut pelaku, banyak pelaku korupsi berasal dari golongan muda, berusia antara 30 an, selain laki-laki, wanita juga sudah banyak yang terlibat dalam tindak korupsi. Dalam melakukan tindak pidana korupsi tidak jarang melibatkan suami-istri, adik-kakak, ayah-dan anak. Sedangkan kasus korupsi di daerah melibatkan kepala daerah mulai dari gubernur, wali kota, bupati, anggota DPRD, kepala dinas, pejabat pemerintah provensi dan daerah, dan unsur swasta. Hal ini menunjukkan bahwa pola korupsi yang terjadi cukup bervariasi dan mencengkeram berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dana korupsi umumnya dipakai untuk kepentingan individu, rekan kerja di legislatif, dan kepentingan partai.
5.2. Saran 1. Dengan memperhatikan pola korupsi yang melibatkan legislatif, birokrat, publik, dan Badan Anggaran DPR-RI serta dana yang digunakan sebagai sumber korupsi adalah APBN dan APBD, maka perlu kiranya bagi Komisi
22
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
Pemberantasan Korupsi untuk mencermati pencairan dana APBN-APBD dan pemenang tender proyek yang bernilai besar dan multi year yang ada di setiap Kementerian. PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) wajib memberikan laporan kepada KPK untuk transaksitransaksi yang melibatkan pejabat pembuat komitmen maupun di kementerian maupun pemenang tender, yang dianggap mencurigakan. 2. Kebanyakan kasus korupsi yang ditangani KPK saat ini merupakan korupsi yang masuk dalam kategori resources allocation model atau sering disebut dengan petty corruption. Diharapkan KPK mampu membidik korupsi yang terkategori Agency Problem of Corruption atau dapat dikatakan sebagai grand corruption yaitu korupsi yang melibatkan pejabat publik yang seharusnya membuat kebijakan publik untuk kepentingan publik, namun kebijkannya lebih untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan golongannya, dengan menggunakan biaya publik. 3. Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar untuk lebih
fokus pada
model, jenis, dan pelaku korupsi. Baik dengan menggunakan data primer maupun sekunder dalam kurun waktu yang lebih panjang sehingga dapat diketahui proses penangannya dari awal hingga lahirnya vonis yang berkekuatan hukum tetap.
-----
REFERENSI Amiruddin (2012), Analisis Pola Pemberantasan Korupsi Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jurnal Kriminologi Indonesia, 8 ( 1), hal: 026-037 Andvig, Jens, Chr, Fjeldstad O. H, Amundesen. I, Sissener,T, Soreide.T (2000). Research on Corruption A Policy Oriented Survey, Commissioned by NORAD, Chr Michelsen Institute & Norwegian Institute of Intenational Affair (NUPI), www.icgg.org/download/contribution_advig.pdf Ardisasmita Syamsa (2006), Difinisi Korupsi Menurut Perspektif Hukum dan EAnnouncement untuk Tata Kelola Pemerintah yang Labih Terbuka, Transparan dan Akuntabel, Seminar Nasional Upaya Perbaikan Sistem Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Komisi Pemberantasan Korupsi.
23
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
Arief, Basrief (2006), Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum - Kapita Selekta, Jakarta: PT. Adika Remaja Indonesia. Eriyanto (2011), Analisis Isi – Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana. Jain Arvind K (2001), Corruption: A Review, Journal of Economic Survey, 15 ( 1), Colorado University, Blackwell Publisher Ltd. Pradiptyo Rimawan (2013), Peta Korupsi di Indonesia, Dalam Seminar: Membangun Akuntabilitas Partai Politik: Menaklukan Korupsi (Tantangan Pemberantasan Korupsi tahun 2014, acch.kpk.go.id/documents/10157/27926/peta-korupsiindonesia.pdf Rinaldi Taufik, Purnomo Marini, Damayanti Dewi (2007), Fighting Corruption in Decentralized Indonesia, Case Studies on Handling Local Government Corruption, siteresources.worldbank.org Suwarno Yogi, Junanto Deny (2006), Strategi Pemberantasan Korupsi, Dosen Tetap STIA LAN, Jakarta, www.stialan.ac.id/publik/artikel.php. Syahril Rizki Alfi, Saleh Samsubar (2013), Identifying State’s Loss in Local Government: Case in Indonesia, Accounting and Bussiness Information Systems Journal, 4, ISSN 23021500, Program Magister Akuntansi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gajah Mada, Jogyakarta, Indonesia
http://www.bps.go.id/ Badan Pusat Statistik (2013), Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2012, Berita Resmi Statistik No. 07/01/th XVI, 2 Januari http://www.transparancy.org/research/cpi/overview, Coruption Perception Index, Transparancy Intenationl 2012 http://nasional.kompas.com/read/2012/10/25/15022379/Indonesia.Darurat.Korupsi diakses pada 8 Januari 2013 pukul 12:53. “Koruptor Rampok Rp 39,3 Triliur”, (2012, 5 Desember), Surat Kabar Harian “Kompas”, halaman 1. http://www.tempo.co/read/news/2012/12/06/078446210/Indeks-Persepsi-KorupsiIndonesia-Masih-Buruk diakses pada 8 Januari 2013 pukul 13.15. http://edukasi.kompasiana.com/2013/01/03/bps-masyarakat-indonesia-cenderunganti-korupsi-516143.htmldiakses pada 2 Januari 2013 pukul 21.12. http://www.ti.or.id/index.php/press-release/2012/12/06/peluncuran-corruptionperception-index-2012diakses pada 5 Januari 2013 pukul 23.05
http://www.beritasatu.com/nasional/69920-eksklusif-korupsi-vaksin-fluburung-kongkalikong-sejak-perencanaan.html; diakses pada 20 Agustus 2012)
24
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
25
International Conference for Emerging Markets (ICEM 2013) – Yogyakarta, 27 November 2013 ISBN: 978-602-14666-0-5 _____________________________________________________________________________________________________________
26