Seminar PPI Belanda, ‘ Korupsi Struktural’ Groningen, 25 Maret 2012
Korupsi Struktural di Indonesia
Rimawan Pradiptyo, PhD (York, UK) Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
Pengantar • Analisis pada paparan ini merupakan penggabungan dari beberapa arOkel yang saya susun sejak 2009. • Data yang digunakan berdasarkan putusan MA yang diupload di www.putusan.mahkamahagung.go.id. Sejauh yang saya ketahui, database tersebut adalah database korupsi satu-‐satunya di dunia yang didasarkan pada putusan MA di Ongkat individu. • Beberapa paper terkait analisis korupsi telah saya upload di www.ssrn.com. Anda Onggal click ‘search’ lalu keOka nama saya di kolom ‘author’ dan anda akan bisa mengunduh paper-‐paper tersebut secara graOs. Semua paper di sana telah saya presentasikan di berbagai conference di berbagai belahan penjuru dunia. • Dalam paparan ini analisis economic evaluaOon, logisOc regression dan Tobin’s logisOc regression (Tobit) digunakan untuk menilai efekOvitas KPK dan juga mengevaluasi putusan pengadilan tentang berbagai kasus korupsi di Indonesia. • Data base masih terbatas pada periode 2001-‐2009, dan saat ini kami sedang meng-‐update database untuk mencakup periode 2001-‐2011. Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
2
Pembahasan Anatomi Korupsi Dampak Korupsi Program Pemberantasan Korupsi Evaluasi Kinerja KPK Evaluasi Kinerja Pengadilan Korupsi Struktural
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
3
CorrupOons
•
•
•
•
• Efficient grease hypothesis, Leff (1964), Meon and Weill (2005): Corruption: illegal, immoral or dishonest behaviour, especially Corruption might grease the by people in positions of economy in the country where the power (Cambridge Advanced institution is ineffective. Learner’s Dictionary, 2003) • Kuncoro (2004), Rivayani (2011): The abuse of public power and influence for private ends (Waterbury, found that in Indonesia, there was a 1973) An act “in which the power of positive correlation between time spend with government officials public office is used for personal gain in a manner that and the amount of bribery contravenes the rules of the • Economic analysis of corruption game” (Jain, 2001) (Rose-Ackerman, 1975, Bowles, Corruption includes Bowles (2000): 2000, Polinsky and Shavell, 2001, – Embezzlement 2007 etc) – Bribery • Police corruption (Bowles and – Extortion Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 4 1997) 25 Maret Garoupa, 2012
Penjahat Konvensional
Koruptor
• Umumnya berpendidikan rendah dan berasal dari keluarga kurang mampu • Sebagian besar kejahatan akibat dorongan memenuhi kebutuhan hidup • Korban bullying bertendensi sebagai penjahat keOka dewasa(Bowles & Pradiptyo, 2005) • Perilaku kejahatan sensiOf terhadap umur (Bowles and Pradiptyo, 2005) • Cenderung mudah terdeteksi
• Umumnya berpendidikan Onggi dan memiliki jabatan • Tindak korupsi cenderung kurang sensiOf terhadap umur • Menggunakan metoda yang canggih dan Odak mudah dibukOkan • Menggunaan jabatan untuk menghalangi penyidikan • Pendeteksian cenderung rendah
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
5
Desistant Rate
Appearance Multiplier Offence Multiplier of Cohort 1953 by Gender
Desistant rate of cohort 1953
6.00 5.00 Male
4.00
Female
3.00
Total
2.00 1.00
10.00 8.00 Male
6.00
Female
4.00
Total
2.00
9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39
0.00
39
33 36
27 30
21 24
15 18
9 12
0.00
Average appearances
Number of appearances
7.00
Age at last appearance
Age at first offence Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, Sumber: Bowles and Pradiptyo (2005) 25 Maret 2012
6
Pola Kejahatan Konvensional vs Korupsi • Appearance mulOplier menghitung berapa kali seorang pelaku kejahatan akan melakukan reoffending behaviour dan diajukan ke pengadilan jika mereka memulai karir kejahatan-‐nya pada usia tertentu. – Semakin muda seseorang mengawali karir kriminalitas, semakin Onggi apperance mulOpliernya.
• Desistant rate menghitung berapa kemungkinan seseorang memulai melakukan Ondak pidana pada usia tertentu dan kemudian ybs berhenO melakukan Ondakan tersebut. – Semakin muda seseorang mengawali karir kriminalitas, semakin rendah desistant rate-‐nya.
• Fakta ini hanya berlaku untuk kejahatan konvensional, di mana sebagian besar pelaku berhenO melakukan Ondak pidana pada usia 40 tahun. Namun untuk korupsi, umur 40 tahun barulah awal dari karir korupsi. • Data di atas diperoleh dari Offender Index yang disusun di Inggris sejak tahun 1953 untuk semua orang yang lahir di minggu ke 2 dan ke 3 di bulan Agustus 1953 dan memiliki catatan kriminalitas. Observasi dilakukan hingga tahun 1993 atau saat mereka berumur 40 tahun. Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
7
Kecanggihan Korupsi di Indonesia Korupsi oleh anggota • Pra Pengadilan masyarakat
Korupsi oleh Polisi
• Pra pengadilan
Makelar Kasus
Korupsi oleh Jaksa dan Hakim
Teori Korupsi di Ekonomika Kriminalitas
Teknologi Baru dalam Korupsi Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
• Pengadilan
Korupsi di LP
• Pasca Pengadilan
8
24 Metoda Praktik Makelar Kasus (Kompas, 2010) • Makelar kasus melibatkan polisi, jaksa, hakim, petugas penjara, dll. • Implikasi: – meningkatkan error types I and II dalam pengambilan LP keputusan Hakim – Praktik pungli merebak di Jaksa lembaga penegak hukum Polisi – Meningkatkan ketidakpastian hukum • Meski India bergejolak akibat korupsi, namun makelar kasus BELUM DIKENAL di India Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
9
Sumber Penyebab Makelar Kasus UU Tipikor
Denda Max Rp 1 M
UU Lain Denda puluhan/ ratusan miliar rup iah Hukuman lain lebih berat
Intensitas Korupsi O mempengaruhi hu dak kuman
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
Apakah fenomena ini by accident ataukah by designed? 10
Rasionalitas Bisnis vs PNS Entry
Exit
Pasar Sunk Cost
Sunk Cost
Bisnis • Sulit dipecat (bisa Entry
Sunk Cost
PNS
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
masuk, tak bisa keluar) • Riskless prospect • Korupsi = upaya mengembalikan investasi keOka entry 11
Rasionalitas Bisnis
Rasionalitas PNS
• Para calon PNS menanggung sunk cost • Pelaku bisnis harus untuk menjadi PNS (usaha untuk tes menanggung sunk costs keOka CPNS, kelengkapan administrasi dll) ybs ingin memasuki pasar KeOka seseorang sudah menjadi PNS, (mempelajari seluk-‐beluk bisnis, • terlepas dari kinerja ybs, kemungkinan mencari informasi yang dipecat hampir mendekaO 0 diperlukan dll) • Dampaknya PNS menghadapi riskless prospect. Meski sulit untuk menjadi • KeOka pelaku bisnis akan PNS, namun setelah menjadi PNS ybs meninggalkan pasar pun, Odak pecat-‐able. mereka menanggung sunk costs • PNS pusat hanya bisa dipecat oleh (closing down sale hingga 70% Menteri dan proses ini bisa memakan untuk meminimasi kerugian) waktu 3-‐4 tahun atau lebih (selama itu • Sunk costs adalah semua biaya si PNS tetap menerima gaji) • Di negara maju, apapun jenis yang perlu dikeluarkan oleh pengusaha untuk memulai atau pekerjaannya, seOap pekerja memiliki probabilitas yang cukup besar untuk mengakhiri usaha dan biaya dipecat selama ybs Odak memenuhi tersebut Odak dapat dialihkan kinerja tertentu. ke konsumen. Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 12 25 Maret 2012
Rasionalitas Bisnis vs Keuangan Negara Pemasukan
Pengeluaran Pemasukan dan Pengeluaran via satu pintu
Pemasukan
Penerimaan
Anggaran Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
• Uang yang sudah dikeluarkan sulit dimasukkan kembali • Uang yang sudah terlanjur masuk, sulit dikembalikan
Pengeluaran
13
Rasionalitas Bisnis vs Pilleg/Pilkada Penerimaan Output
Biaya Input Semurah mungkin
Semaksimal mungkin
Biaya PoliOk
Pendapatan dari jabatan
PoliOsi Sangat Mahal
Tidak Besar
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
14
Rasionalitas Bisnis vs Parpol Output
Biaya Input
Sumber Pembiayaan jelas
Minimasi Biaya
Kegiatan Parpol
Sumbangan Parpol
Parpol Tidak Jelas
Cenderung Berbiaya Besar
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
15
Pembahasan Anatomi Korupsi Dampak Korupsi Program Pemberantasan Korupsi Evaluasi Kinerja KPK Evaluasi Kinerja Pengadilan Korupsi Struktural
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
16
Dampak Korupsi • M ulOplier ekonomi Onggi • Cenderung terjadi di dalam negeri • M e n u r u n k a n k e s e n j a n g a n pendapatan
Tanpa Korupsi
Masyarakat Public Money • Multiplier ekonomi relatif kecil • Meningkatkan kesenjangan pendapatan • Misallocation of
Korupsi IndividualRimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
resources 17
Dampak Korupsi + Pencucian Uang Tidak menekan nilai Rupiah • M u l t i p l i e r ekonomi lebih banyak terjadi di dalam negeri •
No Money Laundering
Uang Kejahatan
Money Laundering
DomesOc market/bankyak
Cash Demand for Outflow Foreign Currency Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, Increase 25 Maret 2012
• Memberikan tekanan terhadap nilai Rupiah • Meningkatkan loanable fund di LN • Multiplier ekonomi lebih dinikmati pihak asing • Dana sulit kembali ke dalam negeri 18
Dampak Korupsi • Dampak korupsi adalah misallocaOon of resources sehingga perekonomian Odak dapat berkembang opOmum • Biaya sosial korupsi Odak saja dari besarnya uang yang dikorupsi (biaya eksplisit korupsi), namun juga mencakup perbedaan mulOplier ekonomi jika uang tersebut Odak dikorupsi dibandingkan dengan jika uang tersebut dikorupsi (biaya implisit korupsi atau opportunity costs) • Selama uang hasil korupsi Odak dicuci ke luar negeri, dampak korupsi Odaklah sebesar jika uang hasil korupsi dicuci ke luar negeri – Kalaupun toh uang yang dicuci di luar negeri bisa dikembalikan, maksimal hanya 75% dari uang yang dicuci ke luar negeri bisa dikembalikan ke tanah air, mengingat proses penelusuran dan penyidikan pencucian uang dilakukan oleh pihak mitra asing (FIU/financial invesOgaOve unit dari negara mitra atau setara dengan PPATK di Indonesia) Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
19
The Social Costs of Corruption Biaya Eksplisit Korupsi Biaya AnOsipasi Terhadap Korupsi Biaya Reaksi dari Korupsi Biaya Oportunitas (implisit) Korupsi Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
20
Biaya Sosial Korupsi • Biaya Eksplisit Korupsi
– Nilai uang yang dikorupsi, baik itu dinikmati sendiri maupun bukan (kerugian negara secara eksplisit)
• Biaya Implisit Korupsi
– Opportunity costs yang ditimbulkan akibat korupsi – Beban cicilan bunga di masa datang yang timbul akibat korupsi di masa lalu – Perbedaan multiplier ekonomi antara kondisi tanpa adanya korupsi dengan kondisi jika terdapat korupsi
• Biaya Antisipasi Tindak Kejahatan
– Biaya sosialisasi korupsi sebagai bahaya laten – Reformasi birokrasi untuk menurunkan hasrat korupsi (memisahkan orang korupsi karena terpaksa atau karena keserakahan)
• Biaya Akibat Reaksi Terhadap Kejahatan – – – –
Biaya peradilan (jaksa, hakim, dll) Biaya penyidikan (KPK, PPATK, dll) Policing costs (biaya operasional KPK dan PPATK) Biaya proses perampasan aset di luar dan di dalam negeri Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
21
Contoh Kasus: Beban Biaya Dana Rekapitalisasi Perbankan (1998-‐2000) • Pengelolaan aset oleh BPPN:
Kasus Bank BDNI:
• Desember 1997, modal BDNI sejumlah 16,904 triliun rupiah • April 1998 total kredit yang diberikan kepada perusahannya sendiri sinilai 12,847 triliun rupiah • Terjadi krisis moneter, para nasabah menarik uang dari BDNI sehingga Total Rp618.13T b a n k t e r s e b u t d i t u t u p o l e h • Konglomerat diuntungkan dari proses Pemerintah pada tanggal 21 Agustus rekapitulasi perbankan. Perusahaan-‐ 1998 perusahaan yang ditangani BPPN dijual kembali ke para konglomerat dengan • Pemberian kredit melanggar Pasal 11 ayat (4) Undang-‐Undang Nomor 7 harga murah. Tahun 1992 jo. Undang-‐Undang • Master Seklement of AcquisiOon Nomor 10 Tahun 1998. Agreement (MSAA) antara bankir dan • Samsu Nursalim Odak dipidana tetapi BPPN: ‘bila aset yang dijual Odak cukup penyelesaiannya melalui Master untuk melunasi utang konglomerat, S e k l e m e n t A n d A c q u i s i O o n maka BPPN akan menanggung Agreement (MSAA). kekurangannya’. Tagihan BLBI: Rp217.53 T Tagihan BBO dll: Rp194.66 T Aset eks BBO dll: Rp112.02 T Aset pemerintah di bank-‐bank rekap : Rp103.70 T ________________________ – – – –
•
Sumber: hkp://www.oociOes.org/ekonomiindonesia/ banrampok.html Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen,
Sumber: Hiarej, E.O.S (2009) 25 Maret • 2012
22
Pembahasan Anatomi Korupsi Dampak Korupsi Program Pemberantasan Korupsi Evaluasi Kinerja KPK Evaluasi Kinerja Pengadilan Korupsi Struktural
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
23
Program Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi
Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) 2004
UU AnO Korupsi 1999 & 2001
UU AnO Pencucian Uang PPATK 2005 dan 2010
Program AnO Korupsi Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
Reformasi Birokrasi (2003)
Asset recovery dengan pembukOan terbalik (dalam proses review) 24
Dual System Penanggulangan Korupsi Polisi dan Jaksa • Korupsi skala menangah ke bawah (kurang dari Rp 1 Miliar) • Memiliki keterbatasan wewenang untuk merekam percapakan telepon, email, sms, BBM dari tersangka pelaku korupsi tanpa surat dari pengadilan • Karena keterbatasan SDM umumnya bukO-‐bukO yang diajukan ke pengadilan Odak sekomprehensif KPK
KPK • Merupakan lembaga ad-‐hoc. • Menyelidiki kasus-‐kasus korupsi menengah ke atas (Rp 1M ke atas) • Memiliki kewenangan merekam percakapan telepon, email, sms dari tersangka tanpa perlu ijin dari pengadilan • Keunggulan SDM membuat bukO-‐bukO yang ditampilkan di pengadilan komprehensif dan kuat.
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
25
Konsep Merugikan Keuangan Negara Pasal-‐2 TPK -‐ (UU NO 31/1999 & 20 / 2001)
Pasal 2 (Break of Law) - secara melawan hukum; Setiap Orang atau Korporasi
- memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi;
Pasal 3 (Abuse of Power) - dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
- menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; Sumber: Dr Haryono Umar (2009) disampaikan pada Seminar Korupsi dan Money Laundering: Tantangan, Prospek dan Dampak terhadap Perekonomian Magister Sains Pdradiptyo, an Doktor , FEB-‐UGM, 31 Januari 2009 Rimawan FEB-‐UGM, Groningen, 26 25 Maret 2012
UU AnO Korupsi UN ConvenDon Against CorrupDon
• Penyogokan kepada PNS, pegawai negeri asing dan di sektor swasta • Penggelapan di sektor publik dan swasta • Memperjualbelikan pengaruh/ kekuasaan • Penyalahgunaan kekuasaan • Ellicit enrichment • Pencucian hasil korupsi • Penyembunyian hasil korupsi • Mempengaruhi proses pengadilan
UU Tipikor
• Penyogokan kepada PNS dan staff pengadilan • Penggelapan di sektor publik • Memperjualbelikan pengaruh/kekuasaan • Penyalahgunaan kekuasaan • Ellicit of enrichment
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
27
Hukuman di UU 20/2001 Pasal
Nilai Korupsi
Jenis Korupsi
Denda
Penjara
Pasal 5
Rp 5 jt -‐ ∞
Penyogokan PNS/ penyelenggara negara
Rp 50-‐250 1-‐5 th juta
Pasal 6
Rp 5 jt -‐ ∞
Penyogokan Rp Hakim, aparat 150-‐750 hukum & saksi ahli juta
3-‐15th
Pasal 8
Rp 5 jt -‐ ∞
Penggelapan uang oleh PNS
Rp 150 – 750 juta
3-‐15th
Pasal 12 Rp 5 jt -‐ ∞
Korupsi oleh PNS
Rp 200 jt – Rp 1 M
4-‐20th
Catatan: Jaksa dan hakim belum tentu menuntut/ menjatuhkan hukuman pembayaran uang pengganti sebesar Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 28 jumlah uang yang dikorupsi25 Maret 2012
Kelemahan UU AnOkorupsi
• Hanya mencakup Ondak pidana korupsi di sektor publik (belum mencakup korupsi di sektor swasta) • UU anOkorupsi Odak mengatur kegiatan pasca korupsi (money laundering) yang sulit dipisahkan dari korupsi itu sendiri • UU anOkorupsi Odak menjangkau Ondak korupsi yang lebih luas misalnya: – Money poliOk (KUHP 148-‐150) – Pemilu DPR/D (UU12/2003) – Pilpres (UU 23/2003) – Pilleg (UU 10/2008) – UU Suap No 11/1980 – UU Perbankan Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
29
Kelemahan (lanjutan) • Kurang memperhaOkan rasionalitas pelaku/calon pelaku korupsi – Pencantuman hukuman maksimal justru merangsang pelaku/calon pelaku untuk melakukan perhitungan Ongkat korupsi yang menguntungkan – Pencantuman denda maksimum di UU membuat efek jera lemah dengan semakin berjalannya waktu, karena inflasi di Indonesia Onggi – Semakin Onggi inflasi, semakin rendah efek jera denda dan kebutuhan amandemen UU makin mendesak (biaya bagi tax payers)
• Koruptor diasumsikan memiliki karakterisOk yang sama dengan penjahat konvensional Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
30
Kompleksitas Korupsi di Indonesia Diatur di UU Tipikor YudikaOf
Lembaga Internasional di Indonesia
Belum Diatur di UU Tipikor
Swasta Internasional di Indonesia
LegislaOf
EksekuOf
Swasta Nasional
Korupsi Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
Non-‐Profit OrganisaOon
31
Pembahasan Anatomi Korupsi Dampak Korupsi Program Pemberantasan Korupsi Evaluasi Kinerja KPK Evaluasi Kinerja Pengadilan Korupsi Struktural
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
32
Evaluasi Kinerja KPK • Apakah penanggulangan korupsi yang dilakukan KPK efekOf? • Apakah penanggulangan korupsi yang dilakukan KPK cost-‐effec9ve? • Evaluasi kinerja KPK dilakukan dengan menggunakan Economic EvaluaOon (evidence-‐ based policy) • Evidence-‐based policy digunakan untuk membedakan ‘Mitos’ dengan ‘Realitas’ • ‘KPK perlu dibubarkan karena Odak efekOf memberantas korupsi’. Apakah ini ‘mitos’ ataukah ‘realitas’? Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
33
Input-‐Output-‐Outcome Input: semua sumberdaya yang digunakan untuk mendirikan dan menjalankan fungsi KPK. Outcomes: ◦ Intermediate outcomes: jumlah penuntutan Mengindikasikan detecOon rate dari KPK dan menciptakan general deterrence effect kepada potenOal offenders ◦ Final outcomes: rate of convicOon General Deterrence Benefits Specific Deterrence Benefits Incapacita9on Benefits Res9tu9on Benefits Rehabilita9on Benefits Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
34
EffecOveness Analysis (Penuntutan) Year
Prosecutor
KPK
1999
6
1
2000
14
3
2001
20
4
2002
25
8
2003
56
20
Baseline (Total)
121
36
2004
119
31
2005
162
46
2006
95
100
2007
51
25
2008
34
7
461
209
IntervenDon (Total)
Underlying of KPK
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
137
EffecDveness
72 35
EffecOveness Analysis (Hukuman) Year
Prosecutor
KPK
4 12
1 2
2003
15 22 32
4 8 16
Baseline (Total)
85
31
2004
86 101 62 21 33
17 36 42 19 7
1999 2000 2001 2002
2005 2006 2007 2008 IntervenDon (Total)
Underlying of KPK
111 303 121 Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
EffecDveness
10 36
Cost-‐EffecOveness of KPK
Tahun
2004 2005
Biaya operasional KPK (Harga Berlaku)
Rp39,31 miliar Rp48.55 miliar
2006
Rp221.80 miliar
2007
Rp164.05 miliar
2008
Rp204.71 miliar
Total
Biaya Operasional KPK (Harga Konstan (2008))
Rp55.79 miliar Rp62.48 miliar Rp261.28 miliar Rp180.46 miliar Rp204.71 miliar
Rp678.43 miliar
Rp764.72 miliar
Cost-Effectiveness (Prosecution) = 72: Rp764,7 miliar = 1: Rp10,6 miliar Cost-Effectiveness (Conviction) = 10: Rp764,7 miliar = 1: Rp76,5 miliar Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
37
Manfaat Sangsi Hukum (Bowles & Pradiptyo, 2005) • General Deterrence Benefits; Odak bisa diesOmasi • Specific Deterrence Benefits; Odak ada kemungkinan reoffending (Odak bisa diesOmasi) • Incapacita9on Benefits; lama waktu dipenjara (esOmasi biaya koruptor keOka dipenjara Odak mudah dilakukan) • Punishment Benefits; proxy: biaya denda • Rehabilita9on Benefits; sulit diesOmasi • Res9tu9on Benefits; proxy: biaya pengganO, nilai aset yang disita, biaya pengadilan, dll Proxy manfaat hukuman = Hukuman Finansial yaitu penjumlahan Denda + Uang PengganD + Perampasan Aset sebagai barang bukD (terbatas pada uang saja). Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
38
EsOmasi Rata-‐rata Manfaat/Kasus Tahun
Dituntut (Real Price 2008)
Dihukum (Real Price 2008)
2004
Rp8,84 miliar
Rp7,62 miliar
2005
Rp15,13 miliar
Rp5,05 miliar
Rp866,03 miliar
Rp7,87 miliar
Rp6,84 miliar
Rp1,80 miliar
Rp5,44 miliar
Rp1,22 miliar
Rp180,46 miliar
Rp4,71 miliar
2006 2007 2008 Rata-‐rata
Benefit-Cost Ratio (Prosecution) = Rp180,5 miliar : Rp10,6 miliar = 17.03 Benefit-Cost Ratio (Conviction) = Rimawan Pradiptyo, F= EB-‐UGM, Groningen, Rp4,71 milar: Rp76.5 miliar 0.062 25 Maret 2012
39
Mengapa benefit-‐cost KPK rendah? • Biaya korupsi hanya dihitung berdasarkan explicit cost of corrupOon dan belum memperhitungkan social cost of corrupOon (biaya ekplisit dan implisit korupsi) • UU AnOkorupsi menggunakan hukuman maksimum – Inflasi di Indonesia Onggi 2001-‐2009 inflasi 100% – Hukuman maksimum justru mendorong potenOal offenders untuk melakukan korupsi
• Koruptor Odak bisa dihukum lebih berat dari intensitas hukuman yang diatur dalam UU AnOkorupsi • Tuntutan dan putusan pengadilan tentang denda dan biaya pengganD Ddak ada kaitannya dengan jumlah uang yang dikorupsi!! Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
40
Pembahasan Anatomi Korupsi Dampak Korupsi Program Pemberantasan Korupsi Evaluasi Kinerja KPK Evaluasi Kinerja Pengadilan Korupsi Struktural
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
41
Evaluasi Kinerja Pengadilan Data set terdiri dari 549 kasus, melibatkan 831 terdakwa
Data dibagi dalam 5 (lima) skala korupsi Gurem ∈ (Rp 0, Rp10 juta) Kecil ∈ [Rp10 juta, Rp100 juta) Sedang ∈ [Rp100juta, Rp1 miliar) Besar ∈ [Rp1 miliar, Rp25 miliar) Kakap ∈ [Rp25 miliar, ∾] Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
42
Evaluasi Putusan Pengadilan • Becker (1968) deterrence effect (efek jera) akan opOmum ditentukan oleh dua faktor: – Detec9on rate – Intensitas hukuman • Hypothesis: Jenis dan intensitas hukuman = f(social cost of crime) – Hanya biaya eksplisit korupsi yang diperhitungkan
• LogisOc Regressions: – Probabilitas pengenaan hukuman = f(criminogenic factors, biaya eksplisit korupsi, dll) • TOBIT (Tobin’s LogisOc) Regressions: – Intensitas hukuman = f(criminogenic factors, biaya eksplisit korupsi, d ll) Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
43
LOGIT (Denda) Gender Umur Biaya Ekplisit Korupsi D_Jawa* D_Jabodetabek D_Karyawan_BUMN D_Anggota_DPR D_Swasta D_Korupsi_Kakap D_Korupsi_Besar*** D_Korupsi_Kecil* D_Korupsi_Gurem D_Denda_PN*** D_Banding_PT D_Peninjuan_Kembali
TOBIT (Denda) 0.7496 0.4905 0.3908 0.0842 0.1963 0.0865 0.1479 0.8366 1 0.038 0.098 0.656 0.000 0.103 0.873
Gender Age Explicit Cost D_Jawa D_Jabodetabek D_Karyawan_BUMN D_Anggota_DPR D_Swasta** D_Korupsi_Kakap*** D_Korupsi_Besar*** D_Korupsi_Kecil*** D_Korupsi_Gurem Ln(DC_Denda)*** D_Banding_PT** D_Peninjauan_Kembali
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
0.400 0.498 0.241 0.289 0.132 0.806 0.523 0.029 0.000 0.004 0.006 0.150 0.000 0.018 0.257 44
Hukuman Denda • Intensitas Hukuman (ideal) – Kakap > Besar > Sedang > Kecil > Gurem • Probabilitas Menerima Hukuman (ideal) – Kakap > Besar > Sedang > Kecil > Gurem • Intensitas Hukuman (di lapangan) – Kakap atau Besar > Sedang = Gurem > Kecil • Probabilitas Menerima Hukuman (di lapangan) – Besar > Kakap = Sedang = Gurem > Kecil
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
45
LOGIT (Biaya PengganD) Gender Umur Biaya Ekplisit Korupsi D_Jawa** D_Jabodetabek** D_Karyawan_BUMN D_Anggota_DPR D_Swasta** D_Korupsi_Kakap** D_Korupsi_Besar D_Korupsi_Kecil D_Korupsi_Gurem D_B_PengganD_PN*** D_Banding_PT** D_Peninjauan_Kembali
TOBIT (Biaya PengganD) 0.426 0.539 0.301 0.023 0.014 0.252 0.564 0.047 0.027 0.135 0.161 0.536 0.000 0.033 0.449
Gender Umur Biaya Ekplisit Korupsi D_Jawa D_GreaterJakarta D_Karyawan_BUMN D_Anggota_DPR D_Private Sector D_Korupsi_Kakap*** D_Korupsi_Besar D_Korupsi_Kecil D_Korupsi_Gurem D_B_PengganD_PN*** D_Banding_PT D_Peninjaun_Kembali**
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
0.806 0.118 0.927 0.346 0.134 0.916 0.508 0.445 0.000 0.482 0.995 0.903 0.000 0.721 0.035 46
Hukuman Uang PengganO • Intensitas Hukuman (ideal) – Kakap > Besar > Sedang > Kecil > Gurem • Probabilitas Menerima Hukuman (ideal) – Kakap > Besar > Sedang > Kecil > Gurem • Intensitas Hukuman (di lapangan) – Besar = Sedang = Kecil = Gurem > Kakap • Probabilitas Menerima Hukuman (di lapangan) – Besar = Sedang = Kecil = Gurem > Kakap
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
47
Rata-rata hukuman penjara Rata-rata tuntutan hukuman penjara Rata-rata hukuman penjara oleh MA oleh Jaksa (bulan) [B] Skala Korupsi (bulan) [A] B:A (%)
Gurem
22.3
13.7
61.4%
Kecil
21.6
15.2
70.3%
Sedang
53.2
32.8
61.6%
Besar
79.0
43.5
55.0%
Kakap
115.7
58.0
50.1%
53.8
31.7
58.8%
Total
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
48
Perbandingan Kerugian dan Hukuman Finansial kepada koruptor (harga 2008) Total Biaya Eksplisit Korupsi (hasil hitungan jaksa)
Skala Korupsi
Gurem
Jumlah Pelaku
22 Rp108,40 Jt
Total Hukuman Finansial yang dituntut jaksa / Total Biaya Eksplisit Korupsi (%)
Total Hukuman Finansial yang dijatuhkan MA/ Total Biaya Eksplisit Korupsi/ (%)
1682.2% 1141.3%
Kecil
128
Rp6,300 M
183.2%
401.1%
Medium
240
Rp101,3 M
118.6%
88.9%
Besar
122
Rp735,5 M
65.6%
49.4%
Kakap
30
Rp72,2 T
44.0%
6.7%
Total
542
Rp73,1 T
44.4%
7.3%
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
49
Beban siapa?? n Nilai biaya eksplisit korupsi Rp73,07 T, namun total nilai hukuman finansial hanya Rp5,32 T (7,29%) n Biaya oportunitas korupsi belum termasuk!!!
n Lalu siapa yang menanggung kerugian sebesar Rp73,07T -‐ Rp5,32 T = Rp67,75 T??? n Tentu saja para pembayar pajak yang budiman n Ibu-‐ibu pembeli sabun colek dan mie instant n Anak-‐anak yang membeli permen n Orang tua yang membelikan anaknya obat dan susu kaleng
n Proporsi penerimaan pajak di Indonesia didominasi oleh pajak Odak langsung (pajak penjualan, dll) dan bukan oleh pajak langsung (pajak pendapatan). Dengan demikian seluruh konsumen di Indonesia pada dasarnya adalah PEMBAYAR PAJAK
n Hanya di Indonesia terjadi pemberian SUBSIDI dari RAKYAT KEPADA KORUPTOR, dan sistem ini dihasilkan justru oleh UU AnDkorupsi!! Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
50
Pembahasan Anatomi Korupsi Dampak Korupsi Program Pemberantasan Korupsi Evaluasi Kinerja KPK Evaluasi Kinerja Pengadilan Korupsi Struktural
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
51
Korupsi Struktural • Korupsi di Indonesia Odak saja bersifat sistemik, namun lebih dari itu korupsi di Indonesia cenderung bersifat struktural • Korupsi struktural adalah korupsi yang terjadi akibat sistem yang berlaku di suatu negara cenderung mendorong individu yang Onggal di negara tersebut untuk melakukan korupsi. • Dalam korupsi struktural, sistem yang berlaku memberikan insenOf lebih Onggi untuk melakukan korupsi daripada insenOf untuk mematuhi hukum. • Korupsi struktural terjadi akibat: – Perumus kebijakan Odak berorientasi pada opOmasi kemakmuran masyarakat (social welfare funcOon) – Perumus kebijakan mengedepankan rasionalitas pribadi (supply side) daripada berusaha memahami rasionalitas subyek yang terkena kebijakan (demand side) Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
52
Tanggung Jawab Siapa • RUU hanya akan disahkan menjadi UU jika mendapat persetujuan dari DPR • Menurut Principal-‐Agency Theory (untuk penyederhanaan saya sebut sebagai Teori Bos-‐Jongos): – Principal = DPR atau legislaOf (legislator = pembuat UU) – Agent = Birokrat atau eksekuOf • Namun demikian, posisi DPR dihadapan rakyat:
– Principal: Rakyat – Agent: DPR
• Konsekuensi: – Jika UU Tipikor menciptakan sistem subsidi kepada koruptor, maka tanggung jawab terletak pada legislator atau DPR yang menyetujui RUU menjadi UU – Anggota DPR = legislator = pembuat UU, jadi kinerja seorang legislator bisa diukur dari kualitas UU yang dibuatnya – Meski sebagian besar UU diusulkan oleh Birokrat, tetap saja pertanggung jawaban tentang mutu UU ada di anggota DPR, karena anggota DPR adalah legislator yang tugas utamanya membuat UU Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
53
Perbandingan Fungsi DPR
Anggaran Pengawasan Dari keOga tuposi DPR, fungsi legislasi kurang mendapat fokus dari anggota DPR. Padahal anggota DPR adalah legislator (pembuat legislasi)
Legislasi
DPR Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
Berapa persen dari UU teknis yang dirancang dan diusulkan oleh DPR? 54
UU yang Dihasilkan Pasca Reformasi (1999-‐2010) 50
47
45 40 UU APBN, 27, 7%
35 30
UU Pemekaran, 122, 31%
30
28
25
25
24
22
21
19
20 15
5 5
1
4
2
20
15 15 13
11
10
8
10 UU Teknis, 239, 62%
12
11
23
4
2
4 0 0 0 0
3 0
2
3
2 2
0
0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
UU APBN
UU Teknis
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
UU Pemekaran 55
Apakah DPR = Mesin Pembuat UU? • Selama periode 1999-‐2010 tercatat 388 UU dihasilkan oleh DPR – 122 UU pemekaran – 27 UU APBN – 239 UU teknis
• Di masa pemerintahan Presiden Habibie yang berumur hanya 1,5 tahun, tercatat 77 UU dihasilkan pada saat itu dan banyak UU yang merupakan adopsi dari UU dari negara lain. • Di awal era otonomi daerah, seOap UU pemekaran daerah hanya mencakup 1 daerah yang dimekarkan. Lambat laun 1 UU pemekaran berisi beberapa daerah sekaligus. – Biaya gaji pegawai membengkak akibat pemekaran karena dibutuhkan kepala daerah baru, kantor-‐kantor pemerintah baru (Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, BPS, Rumah Sakit, dll)
• Sebagian besar UU teknis diajukan oleh birokrat. Jika DPR adalah principal dan Birokrat adalah agent, lalu mengapa RUU justru sebagian besar diajukan oleh agent? Apakah di rumah tangga para anggota DPR kontrak kerja pembantu rumah tangga mereka diajukan juga oleh para pembantu mereka? Lalu bagaimana dengan tupoksi anggota DPR sebagai legislator? Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
56
Terima Kasih
Rimawan Pradiptyo, FEB-‐UGM, Groningen, 25 Maret 2012
57