MASALAH KORUPSI DI INDONESIA
Nama
: HENDRI YUDHA PERMANA
NIM
: 11.02.8029
Kelompok
: A
Kelas
: 11.D3MI.02
Dosen
: M Khalis Purwanto, Drs, MM
Abstrak Korupsi bukanlah kejahatan yang baru, melainkan kejahatan yang lama yang sangat pelik. Di Indonesia korupsi sudah ada sejak dulu. Korupsi bertentangan dengan konsep negara hukum, Menurut Sri Soemantri unsur negara hokum salah satunya adalah jaminan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu negara harus mengatasi korupsi karena korupsi tidak hanya meruugikan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak ekonomi dan hak sosial masyarakat luas. Untuk mengatasi korupsi, pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan dan membentuk lembaga untuk membantu mengatasi korupsi. Lembaga yang sampai saat ini masih melakukan pemberantasan korupsi adalah
Komisi
Pemberantasan
Korupsi.
Komisi
ini
dibentuk
karena
pemberantasan korupsi oleh lembaga konvensional (kepolisian dan kejaksaan) belum dapat mengatasi permasalahan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan merupakan lembaga negara independen dan mempunyai kewenangan yang sangat luas. Oleh karena itu masyarakat berharap kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dapat memberantas korupsi. Kewenangan yang luas meliputi Koordinasi dangan
instansi
lain,
supervisi,
penyelidikan,
penyidikan,
penuntutan,
pencegahan dan monitoring. Sebagaimana diketahui secara umum para ahli membagi dua lembaga Negara yaitu Lembaga negara utama (main State’s organ) dan Lembaga negara pembantu (auxiliary State’s organ). Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga negara pembantu yang bersifat independen, hal ini akan menimbulkan masalah yaitu tentang kedudukan dalam struktur ketatanegaraan. Ada sebagian besar yang beranggapan bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga ekstra konstitusional. Masalah lain yang muncul adalah apakah Komisi Pemberantasan Korupsi harus ada terus atau hanya sebagai Problem solving saja. Untuk mengetahui hal tersebut maka dilakukan penelitian dengan menggunakan metode penelitian normative didukung dengan metode penelitian empiris. Di samping itu juga didukung dengan pendekatan sejarah dan komperatif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga Negara independen, namun bukan lembaga negara utama tetapi lembaga Negara pembantu. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dijelaskan berada diranah kekuasaan manapun baik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Akan tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dimasukkan kedalam kekuasaan ke empat. Komisi Pemberantasan Korupsi sebaiknya terus ada, karena korupsi tidak mungkin dapat hilangkan, hanya dapat diminimalkan. Namun Kewenangannya tidak lagi luas, hanya mencakup penindakan, pencegahan dan monitoring, sedangkan untuk penuntutan dikembalikan kepada kejaksaan.
Latar Belakang Masalah Maraknya pelanggaran yang di lakukan oleh para pejabat negara yang terkait dengan kasus korupsi merupakan sebuah pencerminan di mana sistem pemerintahan dan pengawasan terhadap kinerja para aparatur negara masih sangat minim. Saat ini kasus korupsi yang ada di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Korupsi seaakan sudah menjadi hal yang biaa di mata masyarakat tetapi juga merugikan banyak pihak. Korupsi merupakan sebuah masalah besar bagi negara yang mana dampak dari Korupsi itu adalah kerugian yang di alami oleh negara. Korupsi telah melanggar hukum dan juga melanggar nilai-nilai pancasila.
Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah :
Apa yang dimaksud dengan korupsi ? Apa penyebab terjadinya korupsi ? Apa akibat terjadinya korupsi ? Apakah upaya untuk memberantas korupsi ?
Pendekatan Adapun pendekatannya dengan menggunakan pendekatan historis, pendekatan sosiologis, dan pendekatan yuridis adalah sebagai berikut: Pendekatan historis, korupsi di Indonesia telah membudaya sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Pendekatan sosiologis, korupsi didefinisikan sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau untuk perorangan, keluarga dekat, atau kelompok sendiri. (Syafuan, 1999). Sebagai tingkah laku yang menyimpang, korupsi tentu saja tidak dapat dibenarkan. Tetapi pada kenyataannya, penyimpangan yang satu ini banyak dipraktekkan sehingga tak berlebihan jika korupsi telah dianggap diantaranya oleh Bung Hatta, sebagai persoalan yang membudaya sehingga disebut budaya korupsi. Alasannya, karena perbuatan tersebut diulang-ulang dan menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari. Dengan begitu, tentu pantas jika korupsi disebut sebagai bagian dari kebudayaan kita. Pendekatan yuridis, penerapan pidana mati bagi para koruptor sudah dimungkinkan karena sudah diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati ini diatur dalam 2 pasal, yakni Pasal 2 ayat (2). Pasal itu berbunyi 'Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Ancaman hukuman mati dalam undangundang No 20 tahun 2001 belum sepenuhnya efektif guna mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana korupsi, karena belum sekalipun pidana mati dijatuhkan kepada para koruptor walaupun sudah memiliki landasan hukum yang kuat untuk dijatuhkan
Pembahasan 1. Pengertian korupsi. Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatanyang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
2. Penyebab terjadinya korupsi. Ada beberapa sebab terjadinya praktek korupsi. Singh (1974) menemukan dalam penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di India adalah kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2 %), hambatan struktur sosial (7,08 %). Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut : a. Peninggalan pemerintahan kolonial. b. Kemiskinan dan ketidaksamaan. c. Gaji yang rendah. d. Persepsi yang populer. e. Pengaturan yang bertele-tele. f. Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
3. Akibat terjadinya korupsi Akibat – akibat terjadinya korupsi adalah sebagai berikut : 1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal. 2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial. 3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik. 4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya
keahlian,
hilangnya
sumber-sumber
negara,
keterbatasan
kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. Secara
umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan.
4. Upaya untuk memberantas korupsi. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah korupsi di Indonesia adalah dengan membentuk peraturan hukum khusus yang mengatur masalah kejahatan korupsi diluar ketentuan hukum pidana umum yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pemisahan pengaturan tersebut bertujuan agar dapat mengoptimalkan proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Wujud pengaturan khusus diluar KUHP untuk mengatasi masalah korupsi pertama kali adalah Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/06/1957. Perkembangan pengaturan khusus tersebut pada saat ini diwujudkan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Upaya lain yang dilakukan untuk mengatasi masalah korupsi di Indonesia adalah dengan memberlakukan ajaran atau doktrin dalam ilmu hukum pidana yang dipandang dapat mendukung upaya untuk memberantas kejahatan korupsi tersebut. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam hukum pidana mengandung arti bahwa suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan pidana tidak hanya didasarkan pada ketentuan yang telah ada dalam peraturan perundang-undangan saja melainkan apabila perbuatan tersebut dianggap melanggar norma-norma atau melukai rasa keadilan dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Kesimpulan
Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya. Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa. Dapat disimpulkan bahwa Langkah yang dapat diambil guna mengatasi masalah korupsi di Indonesia jika dihubungkan dengan skala nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktural masyarakat (Sobural) adalah dengan memfokuskan perubahan pada faktor struktur guna melakukan percepatan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Referensi http://www.google.co.id/#pq=artikel+tentang+korupsi+dengan+pendekatan+his toris&hl=id&sugexp=kjrmc&cp=15&gs_id=12&xhr=t&q=korupsi+menurut+pende katan+historis&pf=p&sclient=psyab&source=hp&pbx=1&oq=korupsi+menurut+pendekatan+historis&aq=f&aqi=& aql=&gs_sm=&gs_upl=&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.,cf.osb&fp=49c0e0ae39c343e7& biw=1024&bih=579 http://ikhwan-kiri.blogspot.com/2010/10/upaya-pemberantasan-korupsi.html http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3800/1/fisip-erika1.pdf http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/blog/mengurai-benang-kusut-korupsidi-indonesia-16.html http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21543/5/Abstract.pdf