EXAMINASI KASUS KORUPSI Catatan Hukum (kritis) atas Putusan No. 303/Pdt.G/2003/PN.Jak.Sel David Nusa Widjaya & Tarunodjojo Nusa Vs BPPN (hASIL eKSAMINASI: Lihat www.antikorupsi.org/docs/blbi.pdf Oleh: abdul fickar hadjar I. Pengantar Paket Oktober-Nopember (1987-1988, dalam bentuk directives organ eksekutif) yang membuka kesempatan bagi pembukaan sector perbankan dan sekaligus merealisasikan kebijakan kebijakan deregulasi-debirokrasi ternyata dimanfaatkan oleh para konglomerasi untuk meluaskan usaha mereka (diversifikasi) ke sektor perbankan. Bahkan banyak pula pengusaha di sector perbankan kemudian melakukan diversifikasi usaha. Dengan cara ini konglomerasi yang menguasai dan memiliki bidang usaha dari hulu kehilir memiliki sarana untuk menarik dan menghimpun dana masyarakat demi kepentingan perluasan dan pengembangan kegiatan-kegiatan usaha mereka. Peningkatan usaha perbankan berkorelasi dengan tingkat persaingan tinggi antar bank untuk menarik nasabah (kreditur maupun debitur) dan kemudahan yang ditawarkan perbankan untuk mendapat kredit kepada para pengusaha khususnya yang berasal dari kelompok usaha mereka sendiri. Krisis yang melanda Indonesia menurunkan kepercayaan terhadap rupiah sejak terjadinya gejolak moneter juli 1997 mulai menyangkut sector perbankan pada waktu timbul masalah kekurangan likuiditas (liquidity mismatch). Peningkatan usaha perbankan (termasuk cabangcabangnya yang tersebar diseluruh pelosok tanah air) berdampak langsung pada tingkat efisiansi pengawasan Bank Indonesia (BI). Menurunnya tingkat pengawasan BI ini menyebabkan terjadinya mismagement perbankan (Negara dan swasta) dan penyimpangan / pelanggaran terhadap ketentuan pemberian kredit (BMPK) yang kemudian menimbulkan kesulitan likuiditas perbankan dan mendorong BI untuk mengucurkan BLBI. Pengucuran BLBI terhadap bank-bank yang kekurangan likuiditas ini termasuk PT. Bank Servitia, Tbk, rupanya tidak berpengaruh banyak terhadap kesehatan perbankan, yang pada akhirnya Pemerintah melalui berdasarkan UU perbankan membentuk badan khusus untuk menangani penyehatan perbankan yaitu Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pada tanggal 14 Pebruari 1998, BI melalui Surat keputusan Direksi BI No. 30/218/KEP/DIR telah menempatkan Bank servitia dalam program penyehatan dan sehubungan dengan hal tersebut BI mendelegasikan tugas pelaksanan pembinaan dan pengawasan dalam penyehatan dan restrukturisasi Bank Servitia kepada BPPN. Namun program penyehatan terhadap BS ini tidak berjalan dengan baik sampai akhirnya BI mengeluarkan keputusan pada tanggal 13 Maret 1999 yang mengkatagorikan BS sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Dengan keputusan tersebut BI menyerahkan BS kepada BPPN untuk penyelesaian yang konsisten dengan kebijakan
dan prosedur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU Perbankan jo PP BPPN) dalam rangka penyelesaian asset dan pengembalian uang Negara. Dalam kurun waktu 17 Maret 1999 sampai dengan 17 Oktober 2000 dilakukanlah negosiasinegosiasi penyelesaiannya dengan para pemegang saham BS yang dalam hal ini diwakili oleh David Nusa Djaya dan Tarunojojo Nusa menandatangani Akta No. 28 tentang Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (APU). Untuk melepaskan diri dari kewajibannya David Nusa Widjaya dan Tarunodjojo Nusa, selaku penanda tangan Akta Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (BBKU) PT Bank Umum Servitia Tbk tanggal 17 Oktober 2000 sebagai Para Penggugat mengajukan gugatan pada tanggal 2 Juni 2003 kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) selaku Tergugat untuk membatalkan Akta Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (BBKU) yang kemudian lebih dikenal dengan APU. Majelis Hakim dalam putusannya pada tanggal 20 November 2003 memutuskan antara lain : 1. Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum Akta Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (BBKU) PT. Bank Umum Servitia Tbk. 2. Menghukum Tergugat untuk mengembalikan kepada Penggugat Uang Pembayaran sebesar 325 juta dalam waktu 14 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Dengan dibatalkannya APU tersebut maka negara (BPPN) berpotensi menderita kerugian sebesar lebih dari Rp. 3 triliun sebagai akibat tidak dikembalikannya dana BLBI yang sudah dipakai oleh David Nusa Wijaya dkk, sebagai pemegang saham eks. Bank Servitia. Dengan adanya putusan ini tidak mustahil akan mendorong para obligor nakal lain untuk membatakan APU atau instrumen lain yang telah dibuat dengan BPPN (MSAA atau MRNIA) atau digunakan untuk menghindari tagihan BLBI atau kewajibannya dalam melunasi utang kepada negara. II. Tabulasi perkara No. 303/Pdt.G/2003/PN.Jak.Sel antara David Nusa Widjaja & Tarunodjojo Nusa Versus BPPN. Gugatan David Nusa Widjaja & Tarunodjojo Nusa Jawaban BPPN) Dalam Konpensi Eksepsi: 1. Gugatan Para Penggugat sudah jelas dan terang sebagai gugatan PMH, karena APU dibuat dan ditandatangani dengan melanggar hukum; 2. Gugatan Para Penggugat berdasarkan hukum; 3. Gugatan diajukan dengan itikad baik, justru Tergugat yang beritikad buruk dengan tidak memenuhi komitmennya untuk mengaudit ulang JKPS BS; Pokok Perkara 1. Para Penggugat pribadi bukan pemegang saham Bank Sertivia (BS) yang bertanggung jawab dalam penndatanganan PKPS & APU, karena pada saat pembekuan BS 13 Maret 1999 pemegang saham BS adalah :
a. PT. Chandranusa Multikapita (PT.CMK) (131.949.000 lbr = 66 %); b. PT. Chandranusa Multindustries (CMD) ( 27.426.000 lbr = 14 %); c. Masyarakat ( 40.625.000 lbr = 20 %) 2. PPKPS & APU tidak memnuhi asas kesetaraan dalam berkontrak, karena PKPS & APU ditetapkan secara sepihak tidak didukung oleh bukti-bukti hukum, tidak seimbang dan menguntungkan Tergugat; 3. APU tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian (psl 1320 KUHPer), karena tidak memenuhi syarat “sepakat”, yaitu: - tidak pernah menyetujui PPKPS & APU; - adanya “komitmen” Tergugat untuk mengaudit ulang atas JKPS; - Tergugat tidak pernah melakukan audit ulang JKPS; 4. APU tidak memenuhi asas kebebasan berkontrak (pasal 1320 jo pasal 1338 KUHPer), karena APU ditetapkan sepihak tanpa melibatkan Para Penggugat, yang isinya hanya mengatur dan menetapkan kewajiban Para Penggugat tanpa memperhatikan hak-hak para Penggugat; 5. Terdapat “penyalahgunaan keadaan” (misbruik van omstandigneden) dalam penandatanganan APU, karena: - berdasarkan pendapat HP Panggaben & Van Dunne : perkembangan ajaran penyalahgunaan keadaan salah satunya adalah “berlakunya itikad baik secara terbatas” artinya sejalan dengan ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUHPer, para pihak wajib memperhatikan (memperhitungkan) kepentingan pihak lawan. - APU mencerminkan adanya penyalah gunaan dimana Tergugat sama sekali tidak memperhatikan apa yang menjadi hak dan kepentingan Para Penggugat; 6. Pengembalian atas pembayaran JKPS BS sejumlah Rp.325.000.000,-, karena dengan batalnya APU pembayaran harus dikembalikan oleh Tergugat; (Doktrin Subekti : pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua pihak kembali pada keadan sebelum perjanjian. Kalau salah satu pihak telah menerima uang atau barang, maka itu hharus dikembalikan) Dalam Rekonpensi: Eksepsi: 1. Surat Kuasa Tergugat Konpensi/ Penggugat Rekonpensi tidak sesuai dengan UU No. 13/1985, karena meterai tidak diberi Tanggal, bulan dan tahun; 2. Gugatan Rekonpensi bertentangan dengan hukum dan menunjukan Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi tidak taat dan tidak menghormati putusan pengadilan; - gugatan Penggugat Rekonpensi tidak memerinci tuntutan ganti kerugian; Pokok Perkara
Karena APU cacat hokum, maka tidak ada kewajiban Para Tergugat Rekonpensi (PTR) untuk membayar kewajiban pembayaran utang berdasarkan APU; APU adalah perjanjian cacat hokum karena tidak adanya kesepakatan para pihak dan terjadi penyelahgunaan keadaan. Dengan demikian tuntutan Penggugat Rekonpensi (PR) yang mengharuskan PTR membayar kewajiban utang berdasarkan APU adalah tidak berdasarkan hokum. Dalam Konpensi: Eksepsi: 1. Gugatan Para Penggugat tidak jelas dan kabur, karena dalam positanya Para Penggu gat menggunakan ketentuan pasal 1320 dan pasal 1338 KUHPer, tetapi dalam petitumnya tidak menuntut wanprestasi & Para Penggugat tidak jelas mengkualifikasi perbuatan Tergugat; 2. Gugatan tidak berdasar hukum, karena: APU merupakan akta otentik yang dibuat secara sah: 3. Gugatan diajukan dengan secara licik dan diajukan dgn itikad buruk untuk menghindari kewajiban; Pokok Perkara: 1. Para Penggugat sebagai Direktur Utama & Dir pemasaran PT. CMK & CMD menguasai 80% saham BS memenuhi criteria sebagai pemegang saham pengendali (SK Meko Ekuin No. Kep.12/M EKUIN/04/2000); - Berdasarkan Putusan Perkara Pidana No.504/PID.B/2001/PN.Jak.Bar jo Putusan PT DKI Jakarta No.67/Pid/2002/PT.DKI Penggugat DNW terbukti sebagai orang yang bertanggung jawab atas penyelewengan BLBI (Korupsi); 2. Berdasarkan UU No. 7/1992 jo UU No.10 /1998 (UU Perbankan) jo PP No.17/1999 jo PP 47/2001 (PP BPPN) Tergugat merpakan badan khusus yang dibentuk dalam rangka memulihkan kepercayan masy. Yang berfungsi untuk melakukan upaya penyehatan perbankan nasional; - Berdasarkan dokumen-dokumen (al Cessi No.29, tanggal 22/2/1999), Informasi dari BI, dan penelitian dan didukung Pasal 43 ayat (1) PP 17/1999, Tergugat berhak dan berwenang untuk menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami Bank dalam penyehatan; 3. APU BS telah secara sah dibuat berdasarkan persyaratan psl 1320 KUHPer, karena: - dengan ditanda tanganinya APU oleh Para Penggugat & Notaril, terbukti Para Penggugat telah sepakat; - Penggugat tidak dapat membuktikan adanya “komitmen” dari Tergugat; - andai ada “komitmen” pelaksanaan APU tdk tergantung pada dilaksanakan atau tidaknya audit ulang, karena sepenuhnya merupakan hak Tergugat (Psl 3 btr 3.2 APU); 4. APU telah memenuhi asas kebebasan berkontrak (psl 1320 jo psl 1338 KUHPer), karena : - dengan adanya surat menyurat dari Para Penggugat sebelum ditandatanganinya
APU membuktikan adanya proses negosiasi yang membuktikan adanya cukup waktu bagi Para Penggugat (kebebasan – red) untuk menandatangani atau tidak APU Servitia; - secara hokum Tergugat mempunyai kedudukan yang lebih kuat dari Para Pengugat , karena Tergugat merupakan badan khusus yang dibentuk Negara berdasar UU; - berdasar “doktrin” dalam perkembangannya “asas kebebasan berkontrak” semkin sempit dilihat dari berbagai segi al : kepentingan umum, perjanjian baku, dan perjanjian dengan pemerintah; 5. Dalam penandatanganan APU tidak ada penyalahgunaan keadaan, karena: - Doktrin (Z Asikin Kusumah Atmaja) al: sebelum penerapan pasal 1338 in concreto harus diteliti dulu apakah ada keseimbangan dan keserasian antara para pihak sebelum tercapainya consensus. Penyalahgunaan keadaan atau penyalah gunaan kekuasan ekonomi untuk mencakup keadaan yang tidak dapat dimasukkan dalam “itikad baik”, patut dan adil, bertentangan dengan kepentingan umum sebagai pengertian klasik, karena keadan yang disalahgunakan telah ada sebelum tercapainya kata sepakat /consensus; - dengan adanya bukti sebelum APU dibuat sudah ada kesepakatan awal antara Para Penggugat dengan Tergugat, maka unsur “keadaan yang disalahgunakan telah ada sebelum tercapainya kata sepakat” tidak terpenuhi, karenanya terbukti dalam pembuatan APU telah memenuhi asas kebebasan berkontrak dan tidak ad ape nyalahgunaan keadaan. 6. Pengembalian atas pembayaran harus ditolak, karena tidak ada dasar hukum atau bukti-bukti kuat yang diajukan Para Penggugat untuk membatalkan APU; Dalam Rekonpensi: Eksepsi: 1. Surat Kuasa Tergugat Konpensi /Penggugat Rekonpensi telah sah dan telah diberi meterai secukupnya, sehngga memenuhi UU No.13/1985 (Bea Meterai ( Yurisprodensi MARI tgl. 25/5/1987 No 292K/Pdt/1986) 2. Gugatan Penggugat rekonpensi/Tergugat Konpensi tidak bertentangan dengan hukum, tetapi
semata-mata untuk mempertahankan hak, karena putusan provisi belum bias dilaksanakan; - Tuntutan ganti rugi sudah jelas dan terperinci: Pokok Perkara Para Tergugat Rekonpensi (PTR) telah melakukan perbuatan Wanprestasi atas APU Servitia, karena: - PTR telah melanggar ketentuan tidak boleh menggugat; - PTR telah lalai melakukan kewajiban pembayaran hutangnya; - PTR telah lalai melakukan kewajibannya atas bunga dan bunga denda; - PTR telah lalai menyerahkan agunan dan lalai memelihara nilai agunan; Putusan PN Jakarta Selatan Perkara No. 303/Pdt.G/2003/PN.Jak.Sel Dalam Konpensi Eksepsi: 1.Gugatan Para Penggugat sudah jelas dan terang yaitu berkenaan dengan keberataannya terhadap JKPS yang ditetapkan sepihak . Walaupun Para Penggugat ikut menandatangani dengan konsekwensi menyetujui dan sepakat atas seluruh ketentuan didalamnya termasuk Para Penggugat tidak berhak lagi meminta pembatalan, namun hukum tidak menentukan demikian sepanjang Para Penggugat dapat membuktikan perjanjian dan kesepakatan itu dibuat dan ditandatangani dengan telah melanggar hukum; 2.Gugatan Para Penggugat didasarkan atas PMH yang dilakukan Tergugat, dimana Para Penggugat menandatangani APU setelah mendapatkan “permakluman” dari Tergugat akan ketidak mampuan memenuhi syarat-syarat dan jaminan APU dan adanya komitmen Tergugat untuk meninjau dan mengaudit ulang, namun Tergugat tidak melaksanakan janji-janji dan komitmennya. Dengan tidak dipenuhinya komitmen yang mengawali ditandatanganinya APU oleh Tergugat, menurut hemat Majelis “dasar gugatan” Para Penggugat sudah jelas dan terang, yaitu pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan kedewasaan dan kejujuran di dalam berkontrak sebagaimana diatur di dalam Hukum Perdata Indonesia; Pokok Perkara: 1.Berdsarkan bukti-bukti yang diajukan oleh Para Penggugat (P-4) dan Tergugat (T/PR-1) benar antara Para Penggugat dengan Tergugat telah ditandatangani APU Servitia yaitu akta Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham No. 28 tanggal 17 oktober 2000; 2.Berdasarkan bukti T/PR-2, T/PR-3 (Putusan Pidana PN Jakarta Barat jo PT. DKI), T/PR-4 s/d T/PR-4m(Risalah Rapat), T/PR-5 s/d T/PR-9 (SK Dir BI & SK Menko Ekuin), T/PR-10, T/PR11, T/PR-T/PR-12, T/PR-13 (Kep Rapat PT.BS, BA RUPS, Cessie dan Satgas Verifikasi BLBI) benar Para Penggugat merupakan pihak yang bertanggung jawab selaku pemegang saham dan mempunyai peran yang signifikan dalam tubuh PT. BS; 3.Berdasarkan bukti T/PR-14 s/d T/PR-28 (kesepakatan awal antara PP dengan T, Surat-surat T kepada PP) telah menunjukkan bahwa Tergugat sebagai lembaga khusus Pemerintah yang ditetapkan dan ditunjuk dalam program penyehatan perbankan telah melaksanakan tugasnya berkenaan dengan penyehatan BS guna menarik dan menyelamatkan asset negara khususnya dalam kaitannya dengan BLBI kepada BS yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Dan
berdasarkan bukti T/PR-29 s/d T/PR-32 ternyata Para Penggugat sebagai penanggung jawab APU Servitia telah melarikan diri dan berusaha melepaskan tanggung jawab hokum dalam kasus BLBI; 4.Berdasarkan bukti P-7a s/d P-7h, P-8a dan P-8b, T/PR-4a s/d T/PR-4m, T/PR-14, T/PR-15, T/PR-16, T/PR-17, T/PR-18 s/d T/PR-28 ternyata terkandung ketidak sepakatan dan telah terjadi perselisihan kehendak antara Para Penggugat dengan Tergugat berkenaan dengan penetapan JKPS oleh Tergugat yang lebih lanjut dituangkan dalam APU Servitia; 5.Mencermati pasal demi pasal APU, Majelis melihat isinya melulu tentang kewajiban Para Penggugat berkenaan dengan program penyehatan erbankan yang dilaksanakan Tergugat sebagai kepanjangan tangan Pemerintah utamanya dalam pengembalian asset Negara termasuk penyelamatan BLBI yang telah diluncurkan BI kepada perbankan nasional khususnya BS; 6.Berdasarkan bukti T/PR-18 s/d T/PR-26, P-8b dan P-15 “ternyata terkandung makna yang tersirat” bahwa sebenarnya didalam persetujuan menngenai angka-angka JKPS yang dituangkan dalam APU-Servitia, antara Para Penggugat dengan Tergugat sebelumnya telah ada komitmen yang dilakukan dalam bentuk “gentlement agreement” tentang akan dilakukannya audit ulang guna mendapatkan angka-angka yang kongkrit dan riel berkenaan dengan kewajiban pemegang saham BS ic Para Penggugat; 7.Menimbang berdasarkan kenyataan yang didukung jawabannya ternyata Tergugat telah tidak membuka peluang dilakukannya audit ulang atas segala asset BS, dengan mana secara nyata sesungguhnya Tergugat telah menyalahgunakan kekuasaannya didalam melakukan penekanan secara hokum dan kekuasaan yang ada padanya terhadap Para Penggugat untuk sampai pada posisi penandatanganan APU servitia; 8.Menimbang bahwa gentlement agreement yang memang dibuat tidak tertulis namun berdasarkan bukti-bukti tertulis lainnya menunjukkan adanya kemungkinan dan hubungan kausal yang nyata bahwa angka-angka JKPS yang memberatkan Para Penggugat akhirnya telah disetujui walaupun Para Penggugat nyata-nyata tidak memiliki kemampuan memenuhi syaratsyarat financial dan jaminan untuk itu, sehingga APU telah ditandatanganinya dalam ketidak mampuan, dan menurut hemat majelis indikasi adanya komitmen diluar apa yang tersurat dan tertulis adalah memang benar adanya; 9.Menimbang bahwa mencermati situsi perbankan nasional salaam masa krisis moneter / ekonomi yang secara nyata telah memberikan catatan dilikwidasinya sebagian besar bank swasta nasional termasuk BS, Majelis memaklumi keadaan Para Penggugat selaku pemegang saham yang bertanggung jawab atas BS berada pada pihak yang lemah berhadapan dengan Tergugat . Dengan posisi Para Penggugat selaku pihak yang lemah dan mengemukakan ketidak mampuannya tokh ternyata diizinkan pula menandatangani JKPS yang dituangkan dalam APU jelas tidak mungkin terpenuhi, satu dan lain hal karena disebabkan adanya permakluman dan komitmen untuk dilakukannya audit ulang yang lebih terang dan jelas atas segala asset BS; 10.Menimbang dengan tidak dipenuhinya komitmen-komitmen tersebut walaupun merupakan hak dan kewenangan Tergugat, jelas “telah melanggar asas kebebasan berkontrak, untuk itu pasal 1321 dan pasal 1449 KUHPerdata harus diterapkan sebagai upaya penegakkan hokum perdata
yang harus dipenuhi dan dipatuhi oleh kedua belah pihak, khususnya berkenaan dengan asas kebebasan berkontrak; 11.Menimbang dengan dilanggarnya komitmen yang telah menimbulkan kesepakatan dalam penandatanganan APU servitia oleh Tergugat dengan dalih hal tersebut merupakan kewenangannya, menurut majelis merupakan arogansi Tergugat yang tidak menghendaki penyelesaiaan masalah secara terang dan jujur, karenanya dalil gugatan Para Penggugat cukup beralasan hukum dan patut dan adil petitum gugatan Para Penggugat butir 2 untuk dikabulkan; 12.Menimbang bahwa karena APU servitia yang ternyata mengandung cacat tersembunyi karena diingkarinya komitmen-komitmen yang mengawalinya, maka setoran Para Penggugat sebesar Rp.325.000.000,- harus dikembalikan kepada Para Penggugat, karenanya petitum ke-3 gugata patut dan adil pula untuk dikabulkan; Putusan: Dalam Konpensi Dalam Eksepsi - menolak eksepsi-eksepsi Tergugat seluruhnya; Dalam Pokok Perkara -mengabulkan seluruh gugatan Penggugat; -menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hokum Akta PPKPS dan APU PT.BS, Tbk No. 28 tanggal 17 oktober 2000 yang dibuat dihadapan Martin Roestamy, SH Notaris di Jakarta; -menghukum Tergugat mengembalikan kepada Para penggugat uang pembayaran sejumlah Rp.325 juta dalam waktu 14 hari setelah putusan berkekuatan hokum tetap; -menghukum Turut Tergugat untuk tunduk pada putusan ini; Dalam Rekonpensi - menolak gugatan rekonpensi dari Penggugat Rekonpensi / Tergugat Konpensi untuk seluruhnya. III. Kedudukan BPPN sebagai badan khusus pemerintah dalam APU Sebagai pelaksanaan dari Pasal 37A ayat (1) dab (2) Undang-undang No. 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 tahun 19999 dibentuklah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai badan khusus yang berfungsi untuk melakukan upaya penyehatan terhadap bank-bank umum yang kesulitan agar tercipta lagi industri perbankan yang sehat baik secara system maupun individual. Dalam melaksanakan program penyehatan BPPN mempunyai tugas antara lain a) penyehatan bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia, b) penyelesaian asset bank baik fisik maupun kewajiban debitor melalui unit pengelolaan asset, dan c) pengupayaan pengembalian uang Negara yang telah tersalur pada bank-bank melalui penyelesaian asset dalam restrukturisasi.
Sebagai lembaga khusus kepanjangan tangan pemerintah yang dibentuk berdasarkan UU, BPPN juga dilengkapi dengan kewenangan public diantaranya melakukan pengosongan atas tanah asset bank dalam penyehatan, menerbitkan Surat Paksa dalam rangka penagihan, melakukan penyitaan (sita eksekusi) atas kekayaan milk debitor, menjual asset debitor melalui pelelangan, serta kewenangan public lainnya yang berkenaan dengan penyelamatan asset Negara (vide PP 17/99). Pada realitasnya, sebagai badan hukum public BPPN menggantikan kedudukan perbankan (nasional, swasta maupun milik Negara) sebagai kreditur tatkala berhadapan dengan para obligor mendayagunakan mekanisme pembaharuan perjanjian utang-piutang (MSAA, MRNIA, APU) dan juga membentuk AMI (untuk membereskan asset-asset perusahaan swasta yang diserahkan kepadanya). Ini berarti sebagai badan hukum public BPPN mentransformasikan dirinya menjadi badan hukum privat yang menutup kesepakatan keperdataan dengan para obligor untuk merestrukturisasi hutang-hutang mereka. Bila kemudian para obligor kembali ingkar janji terbuka pilihan bagi BPPN untuk menempuhsemua upaya hukum keperdataan atau upaya hukum pidana atau mendayagunakan hukum public yang ada padanya. Persoalannya kemudian adalah posisi BPPN sebagai badan hukum public/privat yang dapat memanggil para obligor untuk datang kehadapannya dan menutup kesepakatan keperdataan mengenai restrukturisasi nyata telah memunculkan keraguan tentang dipenuhinya asas konsensualitas. Dari perspektif hukum administrasi Negara, tindakan hukum sebuah badan hukum public, (seperti halnya BPPN-red), dapat dibedakan dalam dua tindakan hukum, yaitu a) tindakan – tindakan hukum public (publiekrechtelijke rechttshandelingen), dan b) tindakan-tindakan keperdataan (privaatrechtelijke rechtshandelingen). Tindakan-tidakan hukum public juga dapat dibedakan menjadi : tindakan hukum public sepihak yang bersifat umum (regeling) dan tindakan hukum public sepihak yang bersifat individual (beschiking). Meski suatu tindakan hukum dilakukan oleh sebuah badan hukum publik, tidak serta merta hanya tunduk pada koridor dan mekanisme hukum public, tetapi tergantung pada kapasitas apa badan hukum public itu melakukan tindakan. Sebagai contoh sengketa yang lahir dari tindakan hukum public yang bersifat umum / pengaturan, maka mekanisme penyelesaiannya dilakukan melalui “judicial review”, sedangkan yang bersifat individual melalui mekanisme gugatan tata usaha Negara di peradilan tata usaha Negara. Demikian juga dengan tindakan badan hukum public yang merupakan tindakan keperdataan, maka sepenuhnya tunduk pada koridor hukum perdata, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 jo pasal 1338 KUHPerdata. Dalam konteks ini APU servitia harus dilihat dan dipahami sebagai perbuatan hukum perdata dari BPPN dan Para Pemegang Saham Bank Sertvia. Pendekatan dengan mengunakan “kewenangan public” dalam suatu sengketa keperdataan, justru akan menunjukkan adanya “ketidak seimbangan” para pihak dalam suatu kesepakatan perjanjian yang terbuka untuk ditafsirkan sebagai tidak memenuhi asas kebebasan berkontrak. APU Servitia perspektif psl 1320 jo psl 1338 KUHPer Tanggal 17 Oktober 2000 antara David Nusa Widjaja (DNW) & Tarunodjojo Nusa (TN) dengan
BPPN ditandatangani Akta No. 28 tentang Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Penggakuan Utang PT. Bank Servitia, Tbk (APU Servitia). Dalam konteks pasal 1313 KUHPerdata APU Servitia telah memenuhi unsure-unsur sebuah perjanjian, yaitu: (a) ada pihak-pihak sedikitnya dua orang, ic DNW & TN dan BPPN; (b) ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak itu, yaitu persetujuan yang bersifat tetap bukan dalam proses perundingan / negosiasi, dalam hal ini telah ditandatanganinya APU Servitia oleh DNW&TN dan BPPN; (c) ada tujuan yang akan dicapai, ic penyelesaian pengembalian dana BLBI; (d) ada prestasi yang akan dilaksanakan, dengan adanya persetujuan (ditandatanganinya perjanjian) maka timbullah kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian. Dalam konteks APU Servitia, BPPN yang dalam hal ini mewakili Pemerintah ic BI telah melaksanakan kewajibannya yaitu menyalurkan BLBI kepada Bank servitia, Tbk (BS), sedangkan kewajiban BS yang dalam hal ini diwakili DNW&TN mengembalikan BLBI sebagaimana diatur dalam pasal-pasal APU Servitia; (e) ada bentuk tertentu, dalam hal ini berupa Akta No. 28 tanggal 17 Oktober 2000; (d) ada syarat-syarat tertentu, yang dari syarat-syarat ini dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak. Syarat-syarat ini biasanya terdiri dari syarat pokok seperti barangnya, harganya; dan juga sayarat tambahan misalnya mengenai cara pembayaran, cara penyerahan dan lain-lain. Dalam konteks APU Servitia syarat-syarat tersebut tertuang didalam “isi perjanjian” APU tersebut. Jika unsure-unsur perjanjian tersebut dihubungkan dengan pasal 1320 KUHPerdata, maka unsure yang signifikan untuk dikaji adalah unsur Syarat adanya persetujuan kehendak antara pihakpihak meliputi unsure persetujuan, syarat-syarat tertentu dan bentuk tertentu. Dalam konteks ini apakah “persetujuan penandatanganan APU Servitia” yang oleh DNW&TN disebut didahului dengan “komitmen-komitmen” atau disebut oleh Majelis Hakim sebagai “gentlemen agreement” yang tidak dilaksanakan oleh BPPN merupakan pelanggaran asas kebebasan berkontrak (freedom of making contract) karena adanya paksaan, kekhilafan atau penipuan (psl 1321 jo 1449 KUPer) ? Bahwa BPPN sebagai badan hukum public yang mempunyai kewenangan public adalah benar, akan tetapi dalam hal penandatanganan APU Servitia tindakan hukum BPPN merupakan tindakan hukum keperdataan yang kedudukannya setara / sejajar atau tidak lebih tinggi dari DNW&TN. Harus dipisahkan dalam konteks apa BPPN bertindak sebagai badan hukum public / Badan Tata Usaha Negara maupun bertindak sebagai badan hukum perdata. Tindakan BPPN menghitung dan menetapkan sepihak JKPS BS bersumber dari kewenangan public yang diberikan UU (psl 37A (3)l UU No. 10/1998 jo psl 43 PP 19/1999), karena itu produk yang dihasilkan merupakan “keputusan tata usaha Negara”. Jika ada pihak yang keberatan terhadap produk penetapannya itu, termasuk BS ic DNW&TN, maka kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa / keberatan tersebut merupakan otoritas “peradilan tata usaha Negara”, bukan peradilan umum ic PN Jakarta Selatan. Sehingga tidak beralasan dan tidak berdasar untuk mempersoalkan “komitmen mengaudit ulang”, karena pada hakekatnya keberatan itu merupakan keberatan atas penetapan JKPS oleh BPPN, sementara defacto APU servitia sudah
disepakati dan ditandatangani. (contoh lain: gugatan PTUN atas pemutusan perjanjian Cessie Bank Bali-Joko Tjandra oleh BPPN). Demikian juga tidak dapat dinapikan bahwa fakta tindakan BS ic DNW&TN tidak dapat mengembalikan BLBI karena disalahgunakan peruntukannya tidak hanya berdimensi keperdataan (wanprestasi) tapi juga berdimensi pidana (korupsi), dan penuntutan melalui pendekatan pidana tidaklah dapat dijadikan alasan /argument bahwa kedudukan DNW&TN sebagai pihak yang lemah atau tidak setara dengan BPPN. Keadaan perbankan nasional selama krisis moneter / ekonomi yang mengakibatkan sebagian besar bank nasional dilikwidasi termasuk BS, tidak juga beralasan digunakan sebagai argument bahwa DNW&TN sebagai penanggung jawab BS sebagai pihak yang lemah berhadapan dengan BPPN, karena sudah cukup waktu hukum bagi DNW&TN ( Maret 1999 – 17 Oktober 2000) untuk menyatakan menolak menandatangani APU, disamping itu DNW&TN bukanlah orang yang belum dewasa atau “sakit jiwa” ketika menandatangani APU. Demikian juga DNW&TN mempunyai hak & kesempatan untuk mempersoalkan “penetapan sepihak jumlah utang oleh BPPN” ke peradilan tata usaha Negara sebelum APU ditandatangani. Argument penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang dikaitkan dengan “penyalahgunaan keunggulan ekonomi” dimana DNW&TN dianggap berada pada pihak yang lemah, merupakan argument yang keliru, karena dalam konteks APU ini justru Pemerintah ic BPPN yang berada dipihak yang lemah, karena sejumlah uang (+/- rp.3 triliun) telah diambil dan digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya tanpa kejelasan pengembaliannya (penyalahgunaan BLBI). Demikian juga merupakan kenyataan selama masa krisis itu lebih banyak bank yang tidak dilikwidasi dibandingkan yang dilikwidasi. Dengan menggunakan argument ini menunjukkan bahwa BS adalah bank yang “brengsek” dalam pengelolaannya (al: BMPK terhadap group sendiri) sehingga di bekukan (BBKU). Hukum acara perdata yang dalam system hukum Indonesia menggunakan pendekatan formal (bukti tertulis), karenanya komitmen (DNW&TN) atau gentlement agreement (Majelis Hakim) eksistensinya harus diukur dengan pembuktian secara tertulis, sehingga tidak dilaksanakannya sesuatu hal yang dianggap ada dan tidak tertulis tidaklah dapat ditafsirkan sebagai pemaksaan, kekhilafan atau penipuan. Demikian juga surat menyurat pemberitahuan batas jatuh tempo pembayaran antara BPPN dengan DNW&TN (P-5 s/d P8b dan P-15, T/PR-18 s/d T/PR-26) tidaklah dapat ditafsirkan sebagai “terkandung makna tersirat” adanya komitmen atau gentlement agreement. Hal mana jelas bahwa surat menyurat itu berisi penagihan BPPN terhadap DNW&TN yang tidak/belum melaksanakan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam APU Servitia. Asas “kebebasan berkontrak” mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam UU. Walaupun demikian asas ini dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh UU, tidak bertentangan dengan kesusilaan. Sepanjang penandtanganan APU Servitia tidak ada koridor pembatasan kebebasan berkontrak ini yang terlanggar, termasuk “penetapan jumlah utang sepihak” oleh BPPN yang didasarkan atas kewenangan yang diberikan UU.
Dari perspektif 1320 KUHPer, APU Sertivia merupakan perjanjian yang sah yang dibuat memenuhi syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alas an-alasan yang cukup menurut UU dan harus dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana dimaksudkan pasal 1338 KUHPerdata. Catatan atas pertimbangan hakim: Ada beberapa hal dari tindakan majelis hakim dalam membuat pertimbangan putusan Penggadilan Negeri Jakarta Selatan No. 303/Pdt.G/2003/PN. Jak.Sel antara lain : 1) terjadi simpilkasi / penyederhanaan masalah dalam pembahasan DNW & TN sebagai pemegang saham yang bertanggung jawab atas APU, seharusnya ada pembahasan tentang pemegang saham pengendali yang komprehensif berdasarkan peraturan perundangan dalam hal ini UU PT, UU Pasar Modal, Peraturan Bapepam dan peraturan lainnya yang terkait; Demikian juga terjadi simplikasi dalam pembahasan keabsahan APU Servitia dengan penafsiran yang kurang didukung argument /dalil yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademis maupun praktis, utamanya dalam menerapkan “asas patut dan adil” yang sama sekali melupakan bahkan menegasikan / mengingkari spirit “asas kepentingan umum”. Padahal sengketa itu sarat dengan kepentingan umum ic pengembalian asset Negara. 2). Independensi yang kebablasan tanpa akuntabiliti; Kebebasan kekuasaan kehakiman (indevendency judiciary) yang melekat pada diri hakim dalam memutus perkara bukanlah kebebasan tanpa batas. Didalam “Independensi” selalu saja melekat “akuntability” yang selain peraturan perundang-undangan, juga kepentingan umum. Nampaknya hal ini kurang dihayati oleh Majelis yang memutus perkara ini, keyakinannya yang tidak mustahil didorong oleh “motivasi ekonomis” lebih mendominasi dalam membuat pertimbangan hokum, dan akuntability terhadap “demi keadilan berdasarkan keTuhanaan Yang Maha Esa” pun sudah mulai dilupakan. 3) Indikasi Judicial Corruption Melihat dari pertimbangan hukum Majelis Hakim yang demikian sarat kepentingan dan mengingat David Nusa Wijaya selaku Penggugat memiliki track record yang tidak baik (divonis bersalah dalam kasus korupsi dan kabur ke luar negeri) ada indikasi adanya Korupsi dan Kolusi sehingga hukum tidak diterapkan dengan baik. ------ 00000 -------
CATATAN HUKUM Atas Perkara No. 135/Pid/B/2004/PN.Cn a.n Terdakwa H. Suryana Cs Pengadilan Negeri Cirebon.
Oleh : Abdul Fickar Hadjar (Hasil Eksaminasi lengkap lihat : www.antikorupsi.org/docs/blbi.pdf) Posisi Kasus: Perkara yang sidangnya digelar di Pengadilan Negeri Cirebon ini menghadirkan tiga terdakwa yang merupakan pimpinan DPRD Kota Cirebon periode 1999-2004. Ketiga terdakwa adalah Ketua DPRD Suryana dan dua wakil ketua, Sunaryo HW dan Haries Sutamin. Mereka dituduh telah merugikan Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon sebesar Rp 1.397.768.000. Sidang tersebut dipimpin Ketua Majelis Hakim Dehel K Sandan, SH dengan hakim anggota Togar Simamora, SH., MH dan Purwanto, SH. Adapun tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) terdiri dari Eman Sulaeman,SH dan Salman,SH. Dakwaan
:
Primer : Pasal 2 ayat (1) jo Psl 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 ygang telah dirubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP; Subsidair: Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 ygang telah dirubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP; Para Terdakwa Suryana Cs, secara melawan hukum (menyalah gunakan jabatan) menyusun dan menetapkan anggaran belanja DPRD Kota Cirebon tahun 2001 tanpa didasarkan / menyimpang dari PP No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD yang sekaligus merupakan perbuatan tercela, tidak patut dan tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma yang hidup dalam masyarakat, menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain, merugikan Negara sejumlah Rp.1.397.768.000,-.
Tuntutan Penuntut Umum: Dari fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, Jaksa penuntut Umum menuntut Para Terdakwa terbukti memenuhi “dakwaan Subsidair” dan menjatuhkan hukuman kepada para Terdakwa masing-masing selama 2 (dua) tahun.. Putusan Majelis Hakim Berdasarkan fakta-fakta persidangan pula Majelis Hakim memutuskan bahwa para Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan Primer maupun Subsidair, karenanya membebaskan Para Terdakwa dari dakwaan. Putusan Majelis Hakim ini didasarkan pada pertimbangan
Dakwaan Primer: - unsure melawan hukum tidak terbukti, karena penyusunan APBD Cirebon khususnya penetapan “dana penunjang DPRD” yang semula berjumlah Rp.728.536.000 menjadi Rp.2.088.536.000,- yang dikukuhkan Perda No. 8 Tahun 2000 dan disusun berdasarkan UU No. 4 Tahun 1999, UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 25 Tahun 1999, Permendagri No. 5 Tahun 1996. Perda 28/1996, Peraturan Tatib DPRD No. 6 Tahun 1999 dan TIDAK BERPEDOMAN kepada PP 110 tahun 2000, telah mendapat pembenaran atau telah dijustifikasi oleh Mahkamah Agung melalui putusan pembatalan PP 110 /2000; - meski PP 110 / 2000 sebagai hukum positif telah cacat hukum karena bersifat “ultra vires” mengatur yang bukan kewenangannya, dan ketentuannya khususnya pasal 16 ayat (2) PP 110/2000 “tidak bersifat imperative” melainkan fakultatif; Dakwaan Subsidair: - unsure “ menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” tidak terbukti sebagaimana diuraikan dalam unsure melawan hukum dakwaan primair; Beberapa Catatan Kritis 1. Bahwa dalam ketentuan UU Korupsi ic UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi tidak hanya diartikan melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi dapat juga mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut pidana. Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yaitu meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana sebagai tindak pidana korupsi. Ketentuan ini diadakan dengan maksud agar UU ini dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara dan perekonomian Negara yang semakin canggih dan rumit; 2. Dalam praktek penegakkan hukum, pembuktian terhadap unsure “melawan hukum” dalam pengertian formil dengan membuktikan bahwa suatu tindakan telah melanggar / tidak sesuai dengan hukum positif yang ada, relatif lebih mudah dibandingkan beban pembuktian “melawan hukum” dalam pengertian materiil seperti “perbuatan tercela”. Untuk dapat mengkongkritisasi pengertian tercela ini dibutuhkan fakta-fakta penunjang lainnya sebagai pembanding yang dapat menghasilkan suatu kesimpulan bahwa perbuatan/tindakan yang dilakukan seorang terdakwa itu merupakan tindakan yang tidak pantas dan tercela; 3. Dalam kasus korupsi aquo, jika melihat “dakwaan Jaksa Penuntut Umum” yang telah disusun sedemikian rupa baiknya, namun semangatnya masih menggunakan “standar” paradigma lama, yaitu positivis. Dalam dakwaan terlihat bahwa untuk dapat Para Terdakwa dipidana fakta-fakta hukum yang diangkat terbatas pada fakta-fakta yang menggambarkan pelanggaran PP No.110 tahun 2000 dan perhitungan kerugian Negara yang oleh BPKP didasarkan atas skema PP 110/2000, tanpa menyentuh fakta-fakta lain yang terjadi di kota Cirebon. Jika saja Jaksa penuntut Umum berani menampilkan fakta-fakta pendukung lain yang menggambarkan bahwa “penyusunan anggaran penunjang kegiatan DPRD” sangat tidak pantas jika dibandingkan dengan
situasi social yang terjadi di kota Cirebon. Dalam hal ini JPU dapat menampilkan “data-data” pendapatan perkapita penduduk kota Cirebon, peta garis kemiskinan di kota Cirebon (perbandingan anggaran pemberantasan kemiskinan dengan anggaran penunjang DPRD), tingkat pendidikan masyarakat (perbandingan angaran pendidikan dengan anggaran penunjang DPRD), dsb, dsb yang dapat menggambarkan bahwa “penentuan jumlah uang penunjang kegiatan DPRD” seharusnya oleh Negara ic Pemda Cirebon dapat didayagunakan untuk kepentingan masyarakat banyak pada umumnya. 4. Dalam sistematika dakwaan, tidak terlihat jelas perbedaan uraian kejadian antara dakwaan Primer yang dititik beratkan pada “tindakan melawan hukum” memperkaya diri / orang lain, dengan penyalahgunaan wewenang / jabatan dengan melawan hukum, sehingga mempengaruhi akurasi dan efektivitas dakwaan dalam pemeriksaan di pengadilan. Uraian unsure melawan hukum sama dan sebangun dengan uaraian unsure menyelahgunakan kewenangan karena jabatan; 5. Dari catatan fakta-fakta persidangan dalam putusan perkara No. 135/Pid/B/2004/PN.Cn, nampak terlihat bahwa yang muncul kepermukaan adalah prosedur-prosedur yang terjadi dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kota Cirebon yang keseluruhannya didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang ada seperti Tata tertib DPRD, Perda, Keputusan DPRD, UU No. 22/1999 dan UU No. 25 tahun 1999 di satu sisi, di sisi lain uraian fakta-fakta PP No. 110/2000 justru melemahkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, yaitu tentang terlambatnya PP 110/2000 diterima oleh DPRD Cirebon dalam penyusunan APBD, PP 110/2000 cacat hukum karena Ultra Vires yaitu mengatur bukan kewenangannya dan PP 110/2000 tidak imperative melainkan fakultatif. Dari uraian-uraian fakta yang ditampilkan dalam putusan perkara aquo, sebenarnya nampak jelas keberpihakan Majelis Hakim kepada para Terdakwa, karena uraian-uraian tersebut jelas bersifat meringankan bahkan membebaskan Para Terdakwa dari dakwaan. Padahal ada satu fakta hukum yang tidak dapat disiasati oleh Majelis Hakim, yaitu adagium hukum yang menyebutkan : “setiap orang dianggap mengetahui Hukum” termasuk dalam hal ini para anggota DPR. Adagium ini dalam bentuknya berupa ketentuan yang tertulis dalam setiap perundang-undangan yang berbunyi : Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.; 6. Adalah fakta PP No. 110 tahun 2000 diundangkan pada tanggal 30 Nopember 2000, yang quajuridis setiap orang telah terikat pada PP aquo pada tanggal tersebut, karena jika kemudian Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum antara lain menyebutkan bahwa DPRD Kota Cirebon baru mengetahui PP 110/2000 aquo pada bulan Mei 2001 adalah pertimbangan yang mengada-ada, karena pertimbangan hukum tersebut justru telah dibuat dengan melanggar hukum yaitu tidak memepertimbang adagium mengenai setiap orang dianggap mengetahui hukum sejak hukum itu diundangkan, apalagi DPRD yang notabene juga merupakan “lembaga legislative” di daerah yang seharusnya lebih dahulu mengetahui dibandingkan masyarakat. Karenanya penyusunan APBD 2001 khususnya anggaran penunjang kegiatan DPRD yang dilakukan oleh para Terdakwa sebagai Ketua dan wakil ketua DPRD kota Cirebon dan atau Ketua / Wakil ketua Panitia anggaran tanpa mempertimbangkan ketentuan-ketentuan PP 110/2000 adalah tindakan penyalah gunaan kewenangan / jabatan dengan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain;
7. Demikian juga meski jelas bahwa perkara korupsi ini merupakan perkara pidana yang pendekatannya mencari kebenaran materiil, namun Majelis Hakim aquo dalam putusannya nampak bertindak seperti hakim dalam perkara perdata saja. Ia hanya mempertimbangkan apa yang secara tertulis diajukan oleh para pihak dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum dan Pembela / penasehat Hukum Para Terdakwa. Dalam fungsinya sebagai hakim pidana, Majelis Hakim kurang menggali apa-apa yang tersirat dari fakta-fakta persidangan yang tersurat. Sebagai contoh seharusnya Majelis hakim menggali latar belakang dan tujuan penyusunan APBD, adalah fakta bahwa APBD disusun dari uang Negara / daerah yang merupakan uang rakyat hasil dari pembayaran pajak dsb. Disisi yang lain ada fakta juga bahwa tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah termasuk penyusunan APBD sepenuhnya bertujuan menyejahterakan kehidupan rakyat, karenanya jika penyusunannya ic APBD ic anggaran penunjang kegiatan DPRD tidak mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang lebih luas, maka karena jabatannya paara Terdakwa telah menyalahgunakan kewenangannya dengan melawan hukum bertentangan dengan rasa keadilan dalam masyarakat. Kesimpulan Bahwa dalam uraian kejadian dalam Surat dakwaan primer dan subsidair tidak jauh berbeda, sehingga dalam proses pemeriksaan dalam persidangan baik Jaksa maupun Hakim tidak mengupas fakta-fakta hukum yang dalam dari peristiwa yang didakwakan sebagai tindak pidana korupsi. JPU dalam arugemen-argumennya kurang dapat menampilkan kekuatan PP No.110/2000 sebagai hukum positif yang berlaku pada siapa saja termasuk DPRD Cirebon, disamping tidak/kurang menampilkan fakta-fakta pendukung yang dapat membuktikan bahwa perbatan para Terdakwa adalah melawan hukum dalam pengertian materiil. Majelis hakim jelas nampak pemihakannya kepada para Terdakwa, karena secara detail selain hanya mempertimbangkan apa-apa yang secara tertulis ditampilkan para pihak, sehingga nampak berfungsi sebagai hakim perdata –quod non- padahal hakim pidana, juga sebagai hakim pidana yang pendekatan pemeriksaannya mencari kebenaran materiil tidak banyak menggali fakta-fakta dan latar belakang serta tujuan penyusunan APBD khususnya anggaran penunjang kegiatan DPRD yang nota bene menggunakan uang rakyat, dengan kata lain keadilan masyarakat belum menjadi bagian dari sesuatu yang harus dipertimbangkan dalam putusannya.