KOPI DARAT Kongkow Pendidikan: Diskusi Ahli dan Tukar Pendapat 20 Juli 2016
Topik #24
Apa Itu Sekolah Ramah Anak dan Mengapa Itu Sangat Penting?
Apa itu pendidikan? Ada banyak pandangan tentang tujuan pendidikan. Sebagian pandangan menekankan peran pendidikan dalam hal membentuk kemampuan akademik anak-anak serta keterampilan teknis yang mereka perlukan demi keberhasilan transisi mereka ke dunia kerja. Pandangan lainnya menyoroti peran pendidikan dalam membentuk karakter dan nilainilai pada anak serta mendukung perkembangan sosial, emosional dan fisik mereka. Pada pertemuan OECD mengenai Keterampilan untuk Kemajuan Sosial di Sao Paulo, Brasil, 2014, para pembuat kebijakan setuju bahwa pendidikan harus mengembangkan "anak seutuhnya" dengan keterampilan yang seimbang, dari segi kognitif, sosial dan emosional, sehingga mereka mampu menghadapi tantangan abad ke-21 dengan lebih baik. Dalam bukunya "Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences", 1983, profesor bidang psikologi perkembangan dari Harvard, Howard Gardner, mengubah paradigma “kecerdasan” yang selama ini dianggap sebagai entitas tunggal, di mana ia mengidentifikasi 7 jenis kecerdasan yang berbeda: musik-ritmik, visual-spasial, verballinguistik, logis-matematis, kinestetik-jasmani, interpersonal, intrapersonal dan naturalis. “Kecerdasan interpersonal”, misalnya, adalah kapasitas untuk mendeteksi dan merespon dengan tepat suasana hati, motivasi dan keinginan orang lain, sedangkan “kecerdasan intrapersonal” di sisi lain mengacu pada kapasitas untuk mengenal diri, menghargai perasaan, mengenal ketakutan dan memahami motivasi. Kecerdasan akan eksistensi dan moral diri juga ditambahkan oleh Gardner. Setiap individu memiliki perpaduan kecerdasan yang unik. Gardner kemudian mengembangkan gagasan bahwa pendidikan memiliki tanggung jawab untuk mengidentifikasi kapasitas unik individu dan mengembangkannya bagi halhal yang konstruktif. Gagasan tersebut juga melepaskan pendidikan dari batasan-batasan seputar keterampilan mengajar, kurikulum dan pengujian yang dijadikan paradigma tentang bagaimana pendidikan dapat membantu manusia untuk menjalani kehidupan mereka dengan baik. Pokok pemikiran yang penting di sini adalah bagaimana kecerdasan dan moralitas dapat bekerja sama. Bahkan jauh sebelumnya, pada tahun 1960, filsuf pendidikan dari Inggris, R.S. Peters meminta pembacanya untuk tidak mendefinisikan karakteristik “pendidikan berkualitas”, namun lebih condong mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “orang terdidik”. Hal ini memprovokasi pemikiran yang akhirnya menyimpulkan serangkaian kriteria pendidikan yang lebih luas daripada sekedar mengajarkan pengetahuan atau keterampilan teknis. Konsep orang terdidik biasanya dipahami lebih dari sekedar pembelajaran kognitif tetapi juga mencakup cara seseorang berperilaku dalam masyarakat - perilaku moral dan kemampuannya untuk berinteraksi baik dengan orang lain. Peters memberi perhatian khusus pada peran guru dan proses pembelajaran. Idenya adalah bahwa guru memiliki kewajiban moral untuk menghormati anak-anak dengan melihat mereka sebagai peserta sukarela dalam belajar dan membiarkan mereka dan bakat mereka menentukan apa yang mereka anggap bermanfaat untuk dipelajari. Senada dengan yang disampaikan oleh R.S. Peters, Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia menyatakan bahwa peran guru adalah menghormati murid dengan menjadi teladan dan mendorong pembelajaran mereka. Semboyannya yang terkenal mengenai pendidikan yang ideal adalah “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, yang diartikan sebagai “di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.”
Apa peran sekolah dalam mendidik “anak seutuhnya”? Sekalipun sekolah memainkan peran yang jelas dalam mendukung pembentukan keterampilan kognitif seperti kemampuan verbal, numerik dan bahasa, namun sebenarnya tidak selalu jelas bagaimana pendidikan membantu anak berkembang menjadi individu bermoral atau dapat membentuk keterampilan sosial, emosional dan interpersonal mereka. Meski demikian, sekolah jelas memainkan peran penting dalam kemampuan seorang anak untuk membentuk keterampilan; baik kognitif dan non-kognitif. Anak-anak tidak dilahirkan dengan kemampuan yang statis, dan biasanya keterampilan-keterampilan terpenting mudah dibentuk. Ini berarti bahwa para pembuat kebijakan, guru dan orang tua dapat menjadi pengaruh kuat untuk melakukan perbaikan pada lingkungan belajar di mana anak-anak berkembang. Laporan OECD mengenai "Keterampilan untuk Kemajuan Sosial", menyatakan bahwa hubungan dengan sesama, pengalaman dan pembelajaran langsung yang diperoleh di sekolah dapat secara efektif memberikan anakanak rasa tanggung jawab dan membentuk keterampilan seperti kerja sama tim, empati, toleransi dan rasa percaya diri. Sekolah juga merupakan pengalaman pertama bagi anak-anak untuk hidup dan bekerja dengan orang lain di luar rumah, termasuk orang-orang yang berbeda dari segi ras, agama, etnis, jenis kelamin dan ideologi. Pengalaman ini memungkinkan mereka mengatasi stereotip saat mereka bekerja bersama, berteman, kehilangan teman, menyatakan perspektif mereka, berbagi ruang sosial, beraktivitas dalam kelas dan dalam hal meraih perhatian guru. Selanjutnya, Robert J. Starratt berpendapat dalam bukunya, "Cultivating an Ethical School", 2012, bahwa upaya mendidik anak-anak, selain merupakan tugas intelektual juga merupakan sebuah tugas etis. Starratt mengklaim bahwa untuk mendidik anak-anak menjadi individu yang beretika atau bermoral, maka seluruh proses dan tujuan pendidikan harus etis dan memiliki integritas. Starratt menyebut proses pembentukan sekolah yang seperti itu sebagai "Penanaman Sekolah Etis." Dalam makalahnya, “Sekolah Ramah Anak: Sebuah Perspektif Neuropsikologi”, Ihshan Gumilar memperkenalkan konsep neuroplasticity dan mendefinisikannya sebagai kemampuan pola pikir / otak manusia untuk berubah sepanjang perjalanan hidupnya. Ihshan menjelaskan bahwa sekolah dapat menjadi "Ramah Anak" dengan memanfaatkan penelitian ilmiah mengenai neuroplasticity untuk menciptakan lingkungan sekolah yang membentuk interaksi dengan cara yang berdampak positif pada pembelajaran anak. Apa itu Sekolah “Ramah Anak” (SRA)? Bagaimana SRA mendukung perkembangan anak? Konsep Sekolah Ramah Anak muncul dari sebuah karya yang dilakukan di pertengahan 1990-an oleh sebuah lembaga di Bangkok, termasuk Biro Regional UNICEF untuk Pendidikan dan Save the Children Alliance. Inisiatif awal Sekolah Ramah Anak fokus pada bagaimana wujud suatu sekolah jika dilandaskan pada Konvensi Hak Anak yang dijalankan sebagai praktik pendidikan yang efektif (lihat kotak di bawah). Menurut Konvensi PBB tentang Hak Anak, semua anak memiliki hak untuk: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Dilahirkan, memiliki nama dan kewarganegaraan; Memiliki keluarga yang mencintai dan peduli kepadanya; Merasa aman dan dilindungi dari kekerasan, pelecehan dan eksploitasi; Menerima pendidikan yang berkualitas dan yang dapat mengembangkan potensi dirinya; Mengekspresikan pendapat dan dihargai untuk kontribusinya Diberikan kesempatan untuk bermain dan rekreasi; Memiliki tempat tinggal yang memadai dan hidup dalam masyarakat yang damai.
Sekitar tahun 1997, gerakan "Ramah Anak" tumbuh bersama dengan munculnya definisi dan kerangka kerja yang lebih konkret, meliputi gagasan bahwa sekolah harus dikembangkan lebih dari sekedar kesiapan akademis anak-anak. Sekolah Ramah Anak akhirnya didefinisikan sebagai sekolah-sekolah yang bergerak berlandaskan kepentingan yang terbaik untuk anak, menyediakan kondisi sosial, fisik dan emosional yang tepat untuk mempromosikan pembelajaran dan pembentukan identitas. Lingkungan sekolah ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak anak sembari menuju pada realisasi potensi terbaik mereka di dalam dan di luar sekolah. Ini berarti mempromosikan inklusivitas, martabat, toleransi, kesehatan, status gizi dan kesejahteraan serta sistem dukungan masyarakat. UNICEF mencirikan sekolah ini sebagai "inklusif, sehat dan protektif untuk semua anak, efektif bagi anak-anak, dan terlibat dengan keluarga dan komunitas - serta anak-anak" (Shaeffer, 1999).
Pilar-Pilar Sekolah Ramah Anak
Proaktif Inklusif
Sehat, Aman, & Melindungi
Efektif secara Akademis & Relevan dengan Kebutuhan Anak
Memungkinkan Adanya Partisipasi Keluarga & Komunitas
Responsif Gender
Apa langkah-langkah yang diambil Indonesia untuk membangun sekolah yang “Ramah Anak”? Pemerintah Indonesia mengakui perlunya pengembangan anak secara holistik dan telah mendukung sejumlah inisiatif dan peraturan perundangan yang merujuk pada hal tersebut. Bentuk dukungan Pemerintah antara lain adalah dengan memperluas akses ke Pendidikan dan Pengasuhan Anak Usia Dini (PPAUD) dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 82 Tahun 2015, serta melalui upaya-upaya konkret dalam mewujudkan sekolah yang aman. Pendidikan dan Pengasuhan Anak Usia Dini: waktu yang tepat untuk memulai dukungan pengembangan anak secara holistik Pendidikan dan Pengasuhan Anak Usia Dini (PPAUD) dianggap sebagai waktu yang paling baik untuk memperkenalkan prinsip-prinsip pokok Sekolah Ramah Anak. Investasi dalam membangun keterampilan emosional dan sosial di PPAUD sangat penting berdasarkan fakta bahwa keterampilan-keterampilan ini terbangun secara progresif dari investasiinvestasi yang telah dilakukan di masa lalu. Sebagai tambahan, anak-anak dengan keterampilan sosial dan emosional yang kuat akan mengambil lebih banyak manfaat dari investasi-investasi dalam pengembangan keterampilan kognitif saat pendidikan dasar dan menengah. Kesenjangan kemampuan yang awalnya kecil dapat terakumulasi dan mengarah ke kesenjangan yang lebih besar di masa depan. Intervensi pada usia dini juga dapat menargetkan keluarga yang kurang beruntung dan melibatkan para orangtua dalam program-program pelatihan. Harris Iskandar, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, menekankan pentingnya “usia dini [sebagai] waktu yang tepat untuk membentuk karakter dan nilai-nilai.” Sampai saat ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KemenDikBud) telah menetapkan tujuan untuk menjamin satu tahun “Pendidikan PraDasar untuk Semua” sementara tetap melanjutkan agenda nasional untuk memberikan tiap komunitas akses kepada pusat PPAUD yang berkualitas. KemenDikBud juga telah menekankan pentingnya menjamin kesetaraan akses
berdasarkan fakta bahwa anak perempuan yang terdaftar lebih banyak jumlahnya daripada anak laki-laki, dan meningkatnya persentase anak laki-laki yang terdaftar pendidikan pra-dasar namun tidak dapat menyelesaikan satu tahun penuh. Sementara Pemerintah Indonesia bergerak untuk mencapai tujuan PPAUD tersebut, penting bagi Pemerintah Indonesia agar mengambil langkah-langkah untuk memastikan pelatihan guru yang tepat dan penjaminan mutu yang diperlukan agar PPAUD dapat memenuhi potensinya sebagai investasi bermakna bagi perkembangan sosial, emosional dan holistik seorang anak. Bagaimana inisiatif-inisiatif anti-kekerasan dapat masuk ke dalam kerangka kerja Sekolah Ramah Anak? Salah satu pilar utama dari Sekolah Ramah Anak adalah tersedianya lingkungan yang sehat, aman dan protektif. Sekolah juga berfungsi melindungi hak anak agar anak merasa aman dari kekerasan, penganiayaan dan eksploitasi. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Anies Baswedan, belakangan ini telah menekankan pentingnya pencegahan penganiayaaan, perundungan, pelecehan, perkelahian, perploncoan, eksploitasi, kekerasan seksual, pemerkosaan dan diskriminasi di sekolah. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan terdapat 970 kasus kerundangan tercatat pada tahun 2014, meningkat dari 632 kasus yang tercatat di tahun 2013. Harian Jakarta Post juga pernah melaporkan adanya pelarangan publikasi dan distribusi sejumlah buku pelajaran sekolah yang mengandung tema-tema kekerasan yang didasarkan pada perbedaan agama dan diskriminasi etnis. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, yang menurut Menteri akan ditingkatkan menjadi Peraturan Presiden, mengatur sekolah-sekolah untuk memasang papan informasi sekolah aman di serambi sekolah serta agar guru dan kepala sekolah melaporkan tindakan kekerasan di sekolah. Bapak Menteri juga telah mendedikasikan sebagian situs web KemenDikBud untuk transparansi dan pelaporan aksi kekerasan. Sejauh ini, terdapat 12 kasus yang tercatat. Selain itu, sekolah-sekolah juga diharapkan untuk memiliki unit anti-kekerasan, yang melibatkan tenaga pendidik, anggota komite sekolah, psikolog, pegawai pemerintah daerah dan pemimpin agama di daerah, yang akan mengawasi sekolah-sekolah setiap 6 bulan sekali dan meninjau laporan kekerasan di sekolah. Para guru diminta untuk melaporkan kepada unit tersebut kapan pun mereka mencurigai adanya aksi kekerasan di sekolah. Walaupun mudah untuk memahami bahwa lingkungan tanpa kekerasan adalah prasyarat dari pembelajaran yang produktif, lebih sukar untuk mengetahui bagaimana merespon isu kekerasan dengan cara yang paling tepat agar dapat mencegahnya. Beberapa pihak telah mengaku bahwa mencegah kekerasan memerlukan bahan pembelajaran yang bebas dari tema kekerasan, kebencian ataupun diskriminasi etnis atau agama. Namun, hasil penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa mengenali kekerasan adalah langkah penting dalam mencegah terjadinya kekerasan di masa depan. Pelatihan guru juga diketahui sebagai elemen penting dalam mencegah kekerasan. Para guru perlu dilatih untuk menjadi panutan, menunjukkan hubungan saling menghormati di sekolah dan mengajarkan siswa untuk memecahkan konflik tanpa tindakan kekerasan. Usaha-usaha ke depannya untuk menciptakan lingkungan tanpa kekerasan memerlukan peningkatan usaha-usaha pelaporan dan penghentian aksi kekerasan dengan mempromosikan cara-cara pencegahan dan penyelesaian. Kesimpulan “Membina Sekolah yang Etis”, bagi Robert J. Starratt, adalah sebuah proses, ketimbang dipandang sebagai hasil akhir atau pesan yang terukur, yang mensyaratkan peran etis dalam tata kelola sekolah dan guru, dalam iklim ruang kelas serta hubungan saling menghormati antara guru, siswa, orangtua dan masyarakat. Indonesia sudah mulai mengembangkan proses tersebut: baru-baru ini anak-anak Indonesia memulai hari pertamanya di sekolah, dan Pemerintah Indonesia mendorong para orangtua untuk berpartisipasi dengan mengantar anak mereka di hari pertama mereka sekolah, bertemu dengan guru dan mulai terlibat dalam pendidikan anak mereka. Indonesia telah mengambil langkah penting terhadap terciptanya pusat pengembangan anak usia dini, dan sekolah yang melayani kebutuhan pengembangan anak secara holistik.
Amatlah penting untuk membangun momentum yang telah dibuat selama ini. Indonesia dapat meneruskan usahausahanya dalam meningkatkan kualitas dan akses PPAUD, serta untuk memastikan lingkungan yang aman di semua tingkat pendidikan. Akan sangat penting juga untuk melanjutkan wacana akan definisi dan tujuan dari sekolah dan pendidikan, definisi dan tujuan sekolah “ramah anak” dan “sekolah yang etis”, serta cara yang paling baik untuk merespon kekerasan di sekolah. Hal-hal tersebut merupakan langkah penting dalam memastikan bahwa sekolah berjalan untuk kepentingan anak-anak dan menjadi “Sekolah yang Etis”, yang berdedikasi untuk mengembangkan potensi masing-masing anak dengan mengenali perpaduan intelejensia yang unik di setiap individu serta kebutuhan untuk mengembangkan aspek-aspek non-kognitif dari perilaku moral mereka, dan di saat bersamaan menjamin keadilan sosial dan hak-hak setiap anak. Narasumber: 1. Hamid Muhammad Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2. Dr. Gutama Konsultan ACDP Indonesia untuk Studi Pengembangan Sistem Penjaminan Mutu PAUD 3. Ihshan Gumilar, MA Pakar Psikologi dan Perkembangan Manusia 4. Eva Simanjuntak Orang tua murid Sumber -
-
ACDP. 2014. Early Childhood Development Strategy Study in Indonesia. ACDP, 2015. Final Report on the Development of Quality Assurance for Early Childhood Education. Gardner, Howard, 1983. Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Gumllar, Ihshan, 2016. Child-Friendly School: A Neuropsychology Perspective. OECD, 2015. Skills for Social Progress: The Power of Social and Emotional Skills”. Peters, R.S., 1967. What is an Educational Process? In “The Concept of Education”. Shaeffer, Sheldon, 2007. Child-Friendly Schools as “Best Practice”. Network for International Policies and Cooperation in Education and Training. UNESCO, Bangkok. Shim, Jenna Min, 2014. The Other in Self: Acknowledging Complicity in Multi-Cultural Education. Starratt, Robert J., 2012. Cultivating an Ethical School. Unicef and UNESCO. Child Friendly Schools in East Asia and the Pacific: “How Friendly Can They Be?”
Background Note ini disiapkan oleh Knowledge Management Team, ACDP Indonesia: Hilary Saccomanno, Research Assistant, ditinjau oleh Dr. David Harding, Lead Adviser, Education and Knowledge Management, dan diterjemahkan oleh Fara Ramadhina, Tim Komunikasi dan Budiarti Rahayu, Research Assistant. Untuk informasi lebih lanjut silakan hubungi: Daniella Situmorang Fara Ramadhina
[email protected] [email protected] [email protected] [email protected] 0812-9718-1088 0811-9890-271