KOPI DARAT Kongkow Pendidikan: Diskusi Ahli dan Tukar Pendapat 13 Mei 2015
Topik #1
Manajemen Guru
Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015-‐2019 secara eksplisit menyebutkan sejumlah prioritas bagi peningkatan sistem pendidikan Indonesia dalam 5 tahun ke depan. Termasuk dalam prioritas tersebut adalah soal manajemen dan pengembangan guru. Berbagai temuan terkait manajemen guru telah disampaikan oleh studi-‐studi terkini, termasuk studi yang dilakukan oleh Kemitraan untuk Pengembangan Kapasitas dan Analisis Pendidikan atau Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP), dan melalui sebuah laporan lanjutan yang disusun oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) – yang juga didukung ACDP – berjudul “Pendidikan di Indonesia Siap Menyongsong Tantangan”. Berbagai persoalan dalam manajemen dan pengembangan guru sendiri dapat dibagi ke dalam 4 aspek utama, yaitu : suplai atau ketersediaan, kualitas, distribusi dan biaya. Kebijakan terkait guru harus memastikan keselarasan antara keempat dimensi ini, yang kemudian perlu dimodifikasi ke dalam berbagai Peraturan dan Perundang-‐undangan untuk dapat menjawab begitu banyak persoalan kinerja sektor pendidikan yang terkait manajemen dan pengembangan guru. Fitur khas kebijakan terkait guru yang terdapat saat ini adalah kurangnya kesesuaian dengan berbagai aspek di sekitar masalah dan kurang jelinya mencermati konsekuensi tak terduga yang mungkin timbul dari kebijakan yang dihasilkan. Hal-‐hal tersebut berpotensi menghambat kualitas belajar-‐mengajar, alih-‐alih meningkatkannya. Studi-‐studi ACDP mengidentifikasi setidaknya 9 masalah utama yang perlu diselesaikan untuk memperbaiki manajemen guru nasional Indonesia dan mempresentasikan sejumlah opsi kebijakan yang diharapkan dapat membantu membenahi persoalan. Masalah-‐masalah dan rekomendasi-‐rekomendasi kebijakan tersebut dikelompokkan dalam dokumen ini menurut 4 aspek utama yang saling berhubungan di atas. SUPLAI ATAU KETERSEDIAAN No. Persoalan-‐Persoalan dalam Manajemen Guru 1. Kelebihan suplai atau ketersediaan: Terdapat suplai berlebih secara total – secara umum – dari 3 juta guru di Indonesia, dengan distribusi yang tidak merata di seluruh sistem pendidikan nasional. Sejumlah sekolah mengalami kekurangan guru, sementara sejumlah sekolah lainnya memiliki terlalu banyak guru, dan tampak terdapat ketimpangan besar antara situasi di provinsi dan kabupaten.
Opsi Kebijakan yang Dimungkinkan o 30% guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan memasuki masa pensiun dalam 10 tahun ke depan. Hal ini membuka kesempatan untuk membenahi masalah suplai dan distribusi guru, dengan tidak menggantikan atau menambah guru di sekolah-‐sekolah yang telah kelebihan tenaga pengajar. o Mengalokasikan guru sesuai Perbandingan Guru-‐Murid, mengurangi jumlah sekolah-‐sekolah kecil, memperkenalkan pengajaran multi-‐ jenjang dan memungkinkan guru untuk mengajar dua mata pelajaran untuk membantu mewujudkan distribusi-‐ulang guru yang lebih merata.
2.
Suplai Guru-‐Guru Baru dan Perencanaan Suplai Guru: Terdapat sedikit sekali koordinasi antar Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang beroperasi di Indonesia dalam hal kurikulum, materi ajar dan pendekatan ajar. Saat ini belum tersedia sistem monitoring yang mengawasi efektivitas program pelatihan guru mereka terhadap kualitas guru atau hasil belajar murid. Juga hampir tidak ada kontrol terhadap ekspansi dari institusi ini dalam beberapa tahun belakangan.
DISTRIBUSI No. Persoalan-‐Persoalan dalam Manajemen Guru 1. Kurangnya Efisiensi Terkait STR: Indonesia memiliki rasio perbandingan guru-‐murid (STR) terendah di dunia. Rekrutmen guru melampaui jumlah pendaftaran murid di segala tingkat pendidikan. Di 10 tahun terakhir, jumlah guru di seluruh sekolah (termasuk madrasah) meningkat sebanyak 51%, yang mana mengakibatkan turunnya rasio perbandingan guru-‐ murid dari 20:1 menjadi hampir 15:1. 2. Rumus Sembilan-‐Guru: Sekolah di daerah-‐daerah pedesaan memiliki rasio perbandingan guru-‐murid yang rendah karena mereka memiliki begitu banyak sekolah kecil – sebagai hasil dari sedikitnya jumlah murid (seringkali kurang dari 100 orang murid). Sekolah
o Meningkatkan insentif mengajar di daerah terpencil dan pedesaan. o Suplai guru perlu diatur lebih baik dan dikendalikan berdasarkan data akurat akan kebutuhan guru secara efisien. Pengaturan ini mensyaratkan perencanaan yang jelas untuk mengantisipasi kebutuhan akan guru yang kerap berubah dari waktu ke waktu karena terkait data demografis, STR, pemetaan sekolah dan angka penurunan guru. o Suplai guru juga perlu dipisah-‐pisahkan untuk memenuhi kebutuhan akan guru di berbagai tingkat pendidikan yang berbeda (SD, SMP dan SMA/SMK) dan sesuai mata pelajaran yang berbeda (matematika, sains, olahraga, agama, dsb) – terutama terkait dengan kurikulum yang diberlakukan setelah terjadi kaji ulang Kurikulum 2013. o Institusi-‐institusi pelatihan guru perlu melakukan koordinasi yang lebih baik dan memastikan pengawasan kualitas untuk dapat membangun maupun berbagi gagasan akan cara-‐cara yang efektif dan inovatif dalam menyeleksi dan menyiapkan guru.
Opsi Kebijakan yang Dimungkinkan o Menetapkan rasio perbandingan baru antara guru-‐murid (seperti sesuai rekomendasi yang ditetapkan UNESCO tahun 2014 yaitu 26:1 untuk negara-‐ negara Asia; atau 24:1 untuk negara-‐ negara berpenghasilan menengah), serta kemudian mengalokasikan guru sesuai rasio perbandingan guru-‐murid, daripada sesuai kelompok murid (kelas). o Menghapuskan peraturan yang mewajibkan tersedianya minimum sembilan guru di Sekolah Dasar (SD). o Membangun kemampuan mengajar multi-‐jenjang (mendorong guru untuk belajar bagaimana caranya mengajar
Dasar (SD) dilengkapi dengan sembilan orang guru berdasarkan formula bahwa setiap sekolah harus memiliki sedikitnya sembilan orang guru. Hal ini membuktikan tidak efektifnya penempatan tenaga guru.
KUALITAS No. Persoalan-‐Persoalan dalam Manajemen Guru 1. Guru Pengajar Satu Pelajaran dan Peraturan Wajib Ajar 24 Jam : Seringkali mustahil bagi guru di sekolah-‐sekolah kecil untuk mengajar penuh-‐waktu, ketika dimandatkan oleh kebijakan nasional untuk menghabiskan sedikitnya waktu 24 jam dalam seminggu untuk mengajar secara tatap muka. Sebagai konsekuensi dari peraturan ini, guru umumnya memaksakan diri untuk mengajar di beberapa sekolah sekaligus dan menghasilkan dampak kemangkiran guru yang meningkat tajam (guru yang mengajar di lebih dari 1 sekolah berpotensi absen mengajar 4 kali lebih tinggi). 2. Pemanfaatan Guru: Produktivitas guru dipengaruhi oleh kelebihan suplai dan distribusi yang tidak merata, dimana keduanya berdampak pada jumlah kelas yang diajar, jumlah jam yang dihabiskan dalam minggu ajar dan pengaturan jadwal yang efisien. Menurut Studi Ketidakhadiran Guru yang dibuat oleh ACDP (ACDP 011, 2014), sebagian besar waktu dimana guru berada di sekolah namun tidak mengajar dalam kelas (meski mereka dijadwalkan) tampak menghabiskan waktu menunggu kelas berikutnya (44%) atau menghabiskan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan-‐pekerjaan administratif (32%), dibandingkan dengan mengerjakan tugas-‐ tugas yang berhubungan dengan pengembangan akademis/profesional (24%). Waktu mengajar guru pun seringkali di bawah waktu yang ditetapkan. Hanya 44% dari total guru yang secara aktual mengajar dalam waktu minimum yang diminta, dengan 53% guru di pedesaan, 59% guru di daerah terpencil dan 37% guru di kota bekerja di bawah 18
murid dengan perbedaan kebutuhan yang beragam dan lintas jenjang, namun seringkali dalam ruang kelas yang sama). o Melatih para kepala sekolah untuk menangani para stafnya secara lebih efektif dan efisien dalam sekolah-‐ sekolah kecil mereka. o Menggabungkan sekolah-‐sekolah kecil di desa maupun kota, untuk meningkatkan skala ekonomi dari penempatan staf pengajar dan pembiayaan operasional.
Opsi Kebijakan yang Dimungkinkan o Mengubah peraturan waktu mengajar minimum 24 jam. o Guru harus memiliki kualifikasi mengajar 2 mata pelajaran, dengan komposisi 1 pelajaran utama dan 1 pelajaran non-‐ utama, dilatih dalam Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
o Peningkatan manajemen guru di sekolah dilakukan oleh kepala sekolah, diawasi pula oleh pengawas saat kunjungan rutin. o Jaminan mutu kepala sekolah dan pengawas pelatihan, terutama dalam hal kepemimpinan mengajar dan pemanfaatan waktu oleh guru untuk menyiapkan pelajaran, alat-‐alat bantu visual, menawarkan bantuan dukungan pada murid ketika murid menemui kesulitan, menyiapkan ujian dalam kelas dan bekerjasama dengan komunitas/orang tua melalui komite sekolah, dsb. o Perlu dilakukan revisi terhadap peraturan mengajar 24 jam agar guru dapat menunaikan tugas-‐tugas profesionalnya lebih banyak.
3.
4.
jam per-‐minggu. Ketidakhadiran Guru: Sekitar 1 dari 10 guru didapati tidak hadir di sekolah, meski mereka dijadwalkan mengajar. Alasan umum yang diberikan adalah untuk menghadiri pertemuan dan pelatihan (26%), meski temuan ini bervariasi tergantung wilayah. Walaupun angka ketidakhadiran guru menurun dalam 10 tahun terakhir (19% di tahun 2003 dan kini 10% di tahun 2013), terdapat bukti bahwa guru-‐guru mungkin berada di lingkungan sekolah namun tidak mengajar dalam kelas. Hilangnya waktu yang efektif untuk mengajar terjadi saat guru absen dari kelas meski mereka dijadwalkan untuk bertatap muka dengan para muridnya. Sekitar 12% guru tercatat tidak hadir di kelas mereka.
Kepemimpinan Sekolah: Kepala sekolah memiliki kecenderungan untuk fokus pada aspek-‐aspek administratif dari sistem penilai guru di sekolah. Banyak kepala sekolah dan pengawas merasa tidak nyaman dan merasa tidak memiliki kualifikasi untuk memberikan penilaian profesional tentang guru-‐guru mereka, apalagi
o Mempertimbangkan ulang kebijakan nasional saat ini tentang jam kerja guru, dengan mengikutsertakan waktu di luar kegiatan mengajar, dan dengan demikian mengurangi insentif untuk bekerja di lebih dari 1 sekolah. o Menyentuh masalah yang lebih luas dari distribusi guru – ketidakhadiran guru adalah gejala dari distribusi guru yang tidak merata dalam sistem. o Fokus pada penguatan perangkat pendukung dan supervisi terhadap proses belajar-‐mengajar dengan memastikan kunjungan rutin pengawas dan staf lainnya di tingkat kabupaten/kota, pengawasan terhadap kepala sekolah, dan terutama untuk memonitor kehadiran guru, seperti halnya pada penilaian guru yang efektif dalam sekolah, serta untuk memastikan adanya sistem panduan. o Memonitor kehadiran guru melalui buku kehadiran guru, pengawasan oleh orang tua / komunitas melalui komite sekolah, setelah program peningkatan kapasitas yang memadai untuk dapat menilai efektivitas sekolah, dll. o Kepala sekolah meningkatkan manajemen guru untuk memastikan terdapat guru pengganti yang sesuai tersedia untuk mengajar di kelas, saat guru regular tidak hadir. Kepala sekolah juga perlu mendorong dan mendukung guru untuk menggunakan waktu di luar kelas dengan cara yang lebih bermanfaat bagi murid-‐murid mereka. o Guru tidak dapat diharapkan untuk menghadiri pertemuan dan mengikuti pelatihan yang diselenggarakan di tingkat kabupaten / kota, di saat waktu mengajar. o Menetapkan mandat nasional untuk memastikan bahwa semua kepada sekolah dan pengawas ditunjuk sesuai kapabilitas dan seluruh wilayah harus memastikan bahwa mereka dilatih secara memadai dan menerima sertifikat sesuai program yang
lebih jauh untuk memberikan saran yang bersifat pedagogis.
BIAYA No. Persoalan-‐Persoalan dalam Manajemen Guru 1. Biaya : Biaya untuk mempekerjakan guru – Pegawai Negeri Sipil atau Non-‐Pegawai Negeri Sipil : guru kontrak dan guru honorer – dan meningkatnya biaya pendidikan, dimana secara keseluruhan jumlahnya membengkak, sebagai hasil dari program sertifikasi guru yang menjamin guru bersertifikat menerima tunjangan yang nilainya setara dengan gaji pokok mereka. Mereka yang ditugaskan ke daerah terpencil atau daerah tertinggal juga menerima tunjangan tambahan yang secara efektif menjadikan gaji mereka tiga kali lipat. Namun demikian, banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak menerima tunjangan-‐tunjangan ini meski mereka telah terkualifikasi (meraih gelar sarjana S1 mereka atau telah mengantongi sertifikat), atau pun tidak menerima tunjangan penempatan mereka di daerah terpencil. Data biaya gaji guru seringkali tidak tersedia di tingkat kabupaten. Juga tidak terdapat sistem yang konsisten untuk mencatat biaya gaji dari tahun ke tahun, untuk dapat membuat perbedaan antara gaji guru dan gaji non-‐guru.
disediakan (misalnya PPP). o Membangun sistem yang sudah disempurnakan; dimana pengawasan independen terhadap sekolah dan guru berjalan seiring dengan badan pengawas penjaminan mutu yang juga independen – seperti halnya sistem inspeksi sekolah yang umum ada di berbagai negara lain. o Sistem penilaian guru harus dikembangkan untuk dapat membangun sistem yang berbasis kepantasan bagi promosi, dan tidak hanya berdasar pada senioritas. o Struktur 5-‐langkah dalam karir guru harus ditinjau ulang untuk memastikan bahwa hal tersebut dapat melahirkan guru-‐guru utama berdasarkan kelayakan/kecakapan dan kemampuan mereka dalam melatih serta menjadi mentor bagi guru-‐guru baru.
Opsi Kebijakan yang Dimungkinkan o
o
Kebijakan yang ada saat ini mengubah status guru kontrak menjadi guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) menyebabkan meningkatnya biaya gaji sebesar 35% dan melakukan sertifikasi semua guru (baik yang PNS maupun non-‐PNS) akan melipatgandakan biaya gaji tersebut. Guru kontrak juga berada dalam sistem penggajian Pemerintah, namun sekolah dapat mempekerjakan guru honorer, yang persentasenya adalah sekitar 27% guru SD, 20% guru SMP dan 21% guru SMA. Angka ini sangat tinggi mengingat sekolah harus menutup biaya guru non-‐PNS dari sumber dana non-‐gaji atau mengandalkan kontribusi orang tua. Kajian terhadap efisiensi penggunaan dana di tingkat kabupaten telah terlambat. Kajian tersebut harus dapat mengukur dampak kualitas belajar-‐mengajar dari sistem pembiayaan yang kompleks bagi penggajian berbagai jenis guru (PNS, kontrak atau
honorer) dan pengiriman uang tunjangan mereka. Di luar kesembilan persoalan di atas, terdapat 1 isu yang dapat ditemukan secara lintas aspek, yaitu tata kelola. Data yang tersedia di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota tentang pembiayaan dan manajemen sangatlah terbatas. Sebuah Keputusan Bersama Menteri dikeluarkan di tahun 2011 untuk menjawab persoalan distribusi guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tidak efisien dan tidak merata di tingkat Kabupaten/Kota, dengan cara melakukan sentralisasi ulang sejumlah aspek dalam manajemen di tingkat Kabupaten/Kota. Meski demikian, terdapat penolakan terhadap Keputusan tersebut yang menyebabkan buruknya implementasi di lapangan. Di bawah prosedur saat ini, kabupaten mempekerjakan guru, namun Pemerintah Pusat menggaji mereka. Hal ini menciptakan insentif yang kontraproduktif bagi kabupaten/kota dalam meningkatkan proporsi dan jumlah guru Pegawai Negeri Sipil. Di bawah skema desentralisasi, Kabupaten/Kota bertanggungjawab untuk manajemen guru, termasuk membayar gaji mereka (guru kontrak atau guru honorer) yang akhirnya diambil dari pos pengeluaran lain; termasuk dari alokasi dana pengadaan komponen-‐komponen kualitas ajar seperti materi ajar tambahan, program pelatihan guru, dll. Di masa lalu, banyak sekolah bahkan tidak menerima dukungan operasional tambahan dari Kabupaten/Kota – atau dana tersebut sangat terlambat diterima. Opsi Kebijakan yang Dimungkinkan : o Mengkaji kembali Keputusan Bersama Menteri tahun 2011 untuk mengembalikan rasional dari peran Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota terkait manajemen guru untuk memastikan efisiensi dan akuntabilitas.
*** Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi : Agnes Simamora agnes@acdp-‐indonesia.org
[email protected] 0815-‐130-‐77546
Annisaa Rachmawati annisaa@acdp-‐indonesia.org
[email protected] 08788-‐5595-‐184