KONSUMSI SERAT DAN FAST FOOD SERTA AKTIVITAS FISIK ORANG DEWASA YANG BERSTATUS GIZI OBES DAN NORMAL
ZULAIKA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT Zulaika. Fiber and Fastfood Consumption and Physical Activities of Adults with Obese and Normal Nutritional Status. Supervised by Ali Khomsan and Mira Dewi. The negative impact of the development of economy, social and technology is the change in people lifestyle, such as less physical activities, high energy intake and low fiber. The change in lifestyle resulted in overweight or obese. In general, this research aimed to study fiber and fastfood consumption and physical activities of obese and normal nutritional status. The design of the research was cross sectional study. The samples were chosen purposively, consisted of 25 who had normal nutritional status and 25 who were obese. Primary data consisted of individual characteristics, fiber consumption, fast food consumption and physical activities. The results of the research showed that there were no significant difference between age and nutritional knowledge, education and nutritional knowledge, nutritional knowledge and fiber consumption, income and fiber consumption, income and consumption of fastfood, age and fiber consumption, age and physical activities, fiber consumption and nutritional status, as well as fastfood consumption and nutritional status. The results of the research also showed that there were no significant difference between physical activities and nutritional status, income and education, age and fastfood consumption, nutritional knowledge and fastfood consumption, nutritional knowledge and physical activities . It was found in this research that genetic factors and nutritional status had significant correlation.
Keywords: Fibre Consumption, Fastfood, Physical Activities, Obese
RINGKASAN ZULAIKA. Konsumsi Serat dan Fast food serta Aktivitas Fisik Orang Dewasa yang Berstatus Gizi Obes dan Normal. Dibimbing Oleh ALI KHOMSAN dan MIRA DEWI. Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari konsumsi serat dan fastfood serta aktivitas fisik orang dewasa yang berstatus gizi obes dan normal. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) mempelajari karakteristik individu dewasa berstatus gizi obes dan normal, 2) mempelajari konsumsi serat individu dewasa berstatus gizi obes dan normal, 3) mempelajari konsumsi fastfood individu dewasa berstatus gizi obes dan normal, 4) mempelajari aktivitas fisik individu dewasa berstatus gizi obes dan normal, 5) menganalisis hubungan karakteristik individu, konsumsi serat, konsumsi fastfood dan aktivitas fisik. Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Lokasi penelitian dilakukan di Kampus IPB (Institut Pertanian Bogor) pada bulan OktoberNovember 2010. Penelitian ini merupakan bagian penelitian yang berjudul ”Efikasi Temulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb.) dengan bahan aktif Xanthorrhizol untuk meningkatkan Imunitas pada Orang Dewasa Obes”. Contoh dalam penelitian ini adalah pegawai di Kampus IPB. Pemilihan contoh dilakukan berdasarkan kriteria contoh yaitu pegawai di kampus IPB yang memiliki status gizi normal dan obes. Metode pengambilan contoh yaitu dengan cara purposif dengan kriteria jenis kelamin pria dan wanita yang berumur lebih dari 21 tahun dan bersedia menjadi contoh dalam penelitian ini. Jumlah dibagi dalam 2 kelompok, yang berstatus gizi obese dan normal, dengan jumlah per kelompok 25 orang. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup karakteristik individu (umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, tingkat pendidikan, pendapatan, faktor genetik, dan besar keluarga), pengetahuan gizi, konsumsi serat (jumlah konsumsi dan frekuensi konsumsi sumber serat yaitu sayur dan buah), konsumsi fast food (jenis fast food dan frekuensi konsumsi) dan aktivitas fisik (lama aktivitas dan jenis aktivitas). Data tentang karakteristik individu, konsumsi serat, konsumsi fastfood dan aktivitas fisik diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner. Data diolah baik secara manual maupun menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan SPSS version 16.0 for windows. Tahap pengolahan data adalah cleaning, editing, coding, dan processing. Analisis statistik yang dilakukan adalah uji beda menggunakan independent t-test, uji korelasi Pearson, uji korelasi Spearman. Umur contoh berkisar antara 30-49 tahun baik pada contoh obes (18 orang) maupun contoh normal (16 orang). Contoh perempuan lebih banyak dibandingkan dengan contoh laki-laki, baik pada contoh obes (15 orang) maupun contoh normal (18 orang). Pendidikan terakhir contoh obes pada tingkat SMA (52%) sedangkan pendidikan terakhir contoh normal adalah Perguruan Tinggi (60%). Pendapatan contoh perbulan berada pada kisaran 2-3.9 juta Rupiah. Pada umumnya, besar keluarga contoh terdiri dari <4 orang. Baik contoh normal maupun obes, sebagian besar tidak memiliki orangtua yang obes. Pengetahuan gizi contoh obes dan normal berada pada tingkat pengetahuan gizi baik berturutturut-turut 68% dan 60%, berdasarkan uji beda t-test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0.427) antara contoh obes dan normal.
Rata–rata konsumsi serat contoh obes dan normal berturut-turut sebesar 14.9±7.4 gram dan 13.4±6.4 gram, berdasarkan uji beda t-test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0.757) antara contoh obes dan normal. Golongan bahan pangan beras dan buah-buahan yang menyumbang paling banyak asupan serat pada contoh. Contoh dengan status gizi obes dan normal mempunyai rata-rata tingkat aktivitas fisik yang kurang lebih sama yaitu sebesar 1.4±0.1, berdasarkan uji beda t-test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0.427) antara contoh obes dan normal. Perbedaan terbesar alokasi waktu yang digunakan adalah ketika melakukan duduk. Frekuensi konsumsi nasi per minggu nya lebih tinggi pada contoh normal dibandingkan dengan contoh obes. Pada kelompok kacang-kacangan, tempe merupakan bahan pangan yang paling sering dikonsumsi oleh contoh, baik contoh obes 3.3 kali/minggu dan contoh normal (3.5 kali/minggu). Frekuensi konsumsi buah pada contoh adalah 1-2 kali/minggu. Sama halnya dengan buah, frekuensi konsumsi sayur pada kedua kelompok umumnya 1-2 kali/minggu. Fried chicken banyak dikonsumsi oleh contoh baik contoh obes mapun normal. Pada contoh obes, frekuensi konsumsi terbesar contoh adalah Pizza yaitu sebanyak dua kali/minggu. Pada contoh normal, frekuensi konsumsi terbesar contoh adalah fried chicken yaitu sebanyak 1.3 kali/minggu, berdasarkan uji beda t-test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,741) antara contoh obes dan contoh normal. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan konsumsi serat (r=0.167 p=0.248), pengetahuan gizi (r=0.276 p=0.052), konsumsi fast food (r= 0.091 p=0.529) dan aktivitas fisik (r=0.033 p=0.821), status gizi dengan konsumsi serat (r=0.108 p=0.457), aktivitas fisik (r=-0.200 p=0.163) dan konsumsi fast food (r=0.063 p=0.665), pengetahuan gizi dengan konsumsi serat (r=0.083 p=0.567), konsumsi fast food (r=0.144 p= 0.318), aktivitas fisik (r=-0.172 p= 0.233). Namun terdapat hubungan yang signifikan antara faktor genetik dengan status gizi (r=0.308 p=0.030). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan dan pendidikan (r=0.221 p=0.124), pengetahuan gizi dan pendidikan (r=0.172 p=0.231), pendapatan dengan konsumsi serat (r=0.054 p=0.709) dan konsumsi fastfood (r=0.130 p=0.368). Berdasarkan hasil penelitian, aktivitas fisik dan konsumsi serat pada contoh obes dan normal masih tergolong kurang. Oleh karena itu, diperlukannya peningkatan aktivitas fisik dan konsumsi serat agar kesehatan tubuh dapat meningkat pula. Bagi IPB, sebaiknya mengadakan penyuluhan tentang konsumsi serat, konsumsi fast food dan aktivitas fisik meskipun dari hasil penelitian pengetahuan gizi contoh sudah tergolong baik, agar contoh meningkatkan asupan serat setiap harinya dan peningkatan aktivitas fisik, juga memfasilitasi adanya kegiatan berolahraga bersama satu hari dalam satu minggu. Bagi penelitian yang selanjutnya yang akan mengambil topik yang sama, sebaiknya untuk mengetahui konsumsi makan contoh dapat menggunakan metode SQFF (Semi Quantitative Food Frequency) untuk mengetahui jumlah setiap kali makan, perhitungan lebih rinci dan lebih akurat.
KONSUMSI SERAT DAN FAST FOOD SERTA AKTIVITAS FISIK ORANG DEWASA YANG BERSTATUS GIZI OBES DAN NORMAL
ZULAIKA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul
: KONSUMSI SERAT DAN FAST FOOD SERTA AKTIVITAS FISIK ORANG DEWASA YANG BERSTATUS GIZI OBES DAN NORMAL
Nama
: Zulaika
NIM
: I14086009
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS NIP:19600202 198403 1 001
dr. Mira Dewi, S. Ked., M.Si NIP:19761116 200501 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP: 19621218 198703 1 001
Tanggal Disetujui:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan penyusunan tugas akhir ini dengan baik. Penyusunan tugas akhir penulis yang berjudul “Konsumsi Serat dan Fast food serta Aktivitas Fisik Orang Dewasa yang Berstatus Gizi Obes dan Normal” dilakukan sebagai salah satu syarat yang harus penulis penuhi dalam rangka menyelesaikan pendidikan Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
Fakultas
Ekologi
Manusia
Institut
Pertanian
Bogor.
Pada
kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan dr. Mira Dewi, S. Ked., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan banyak waktu dan pikirannya, memberikan arahan, masukan, kritikan, dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir ini. 2. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, MSc yang telah mengizinkan ikut dalam bagian penelitian serta selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji atas saran yang diberikan. 3. Kedua orangtua dan keluarga, atas do’a yang selalu dipanjatkan, dorongan dan semangat. 4. Seluruh pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat disebutkan satu– persatu. Penulis menyadari penyusunan tugas akhir ini jauh dari kesempurnaan dan tidak lepas dari kesalahan. Namun demikian, penulis berharap tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga bermanfaat.
Bogor, April 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 Januari 1987. Penulis adalah anak tunggal dari keluarga Bapak Zaenudin dan Ibu Fauziah. Pendidikan SD ditempuh dari tahun 1993 sampai 1999 di SD. Bina Insani Bogor. Tahun 1999 penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah di SMA Negeri 6 Bogor dan lulus pada tahun 2005. Penulis diterima sebagai mahasiswa Diploma III IPB pada tahun 2005 melalui jalur reguler. Pada tahun yang sama penulis diterima di program keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi. Penulis pernah melaksanakan Praktek Kerja Lapang
(PKL) di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
selama empat bulan yaitu dari tanggal 3 Desember 2007 hingga 29 Maret 2008. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor program penyelenggaraan khusus Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.
Penulis pernah melaksanakan kegiatan Internship
Dietetik (ID) selama tiga minggu pada bulan April 2010 di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Penulis juga pernah melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) selama dua bulan yaitu pada bulan Oktober hingga Agustus 2010 di Desa Karang Papak, Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI..........................................................................................................i DAFTAR TABEL............................................................................................. ... iii PENDAHULUAN Latar Belakang .............................................................................................. Tujuan ........................................................................................................... Tujuan Umum ......................................................................................... Tujuan Khusus ....................................................................................... Hipotesis....................................................................................................... Kegunaan Penelitian ....................................................................................
1 3 3 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Obesitas ...................................................................................................... 4 Penyebab Obesitas ..................................................................................... 5 Aktifitas Fisik........................................................................................... 6 Faktor Genetik ........................................................................................ 9 Fast food ................................................................................................ 10 Sosial Ekonomi........................................................................................... 13 Jenis Kelamin ......................................................................................... 13 Tingkat Pendidikan ................................................................................ 13 Besar Keluarga ....................................................................................... 13 Pendapatan ............................................................................................ 14 Konsumsi Pangan ..................................................................................... 14 Pengetahuan Gizi ...................................................................................... 16 Serat Pangan ............................................................................................ 17 KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................. 22 METODE PENELITIAN Desain, Waktu danTempat ........................................................................ 24 Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ......................................................... 24 Cara Pengambilan Data ............................................................................ 24 Pengolahan dan Analisis Data .................................................................. 26 Definisi Operasional .................................................................................. 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Individu ................................................................................. 29 Umur...................................................................................................... 29 Jenis Kelamin ........................................................................................ 29 Pendidikan............................................................................................. 30 Pendapatan ........................................................................................... 30 Besar Keluarga...................................................................................... 31 Riwayat Obes pada Orangtua ............................................................... 31 Pengetahuan Gizi .................................................................................. 32 Konsumsi Serat ......................................................................................... 34 Frekuensi Konsumsi Sumber Serat........................................................... 36 Frekuensi Konsumsi Nasi...................................................................... 36 Frekuensi Konsumsi Kacang-kacangan ................................................ 36 Frekuensi Buah dan Sayur .................................................................... 38 Frekuensi Konsumsi Buah .................................................................... 38 Frekuensi Konsumsi Sayur ................................................................... 41
i
Konsumsi Fastfood.................................................................................... 44 Aktivitas Fisik............................................................................................. 46 Hubungan Antar Variabel .......................................................................... 48 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan................................................................................................. 53 Saran .......................................................................................................... 54 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 55 LAMPIRAN ........................................................................................................ 59
ii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Klasifikasi Berat Badan pada Penduduk Asia.................................................4 2. Nilai Physical Activity Ratio (PAR) Setiap Kegiatan .................................... 8 3. Klasifikasi Serat……………...........................................................................20 4. Cara Pengambilan Data……….....................................................................25 5. Pengkategorian Masing-Masing Variabel Penelitian ................................... 27 6. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Umur ......................................... 29 7. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Jenis Kelamin............................ 30 8. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Pendidikan Terakhir .................. 30 9. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Tingkat Pendapatan .................. 31 10. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Besar Keluarga ......................... 31 11. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Riwayat Obes pada Orangtua... 32 12. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Tingkat Pengetahuan Gizi......... 32 13. Sebaran Contoh berdasarkan Jawaban yang Benar dari Pertanyaan tentang Pengetahuan Gizi ........................................................................... 33 14. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Konsumsi Serat Per Hari .......... 34 15. Perkiraan Konsumsi Serat Pangan berdasarkan Status Gizi Contoh ......... 35 16. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Frekuensi Konsumsi Nasi ......... 36 17. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Frekuensi Konsumsi Kacang-kacangan ....................................................................................... 37 18. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Frekuensi Konsumsi Buah ........ 39 19. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Frekuensi Konsumsi Sayuran ... 42 20. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Frekuensi Konsumsi Fast food . 45 21. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Tingkat Aktifitas Fisik ................ 47 22. Alokasi Waktu Contoh berdasarkan Jenis dan Lama Kegiatan................... 47 23. Hubungan Umur dengan Variabel Lain ....................................................... 48 24. Hubungan Status Gizi dengan Variabel Lain............................................... 49 25. Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Variabel Lain ................................... 50 26. Hubungan Pendapatan dengan Variabel Lain............................................. 51
iii
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kemajuan di bidang ekonomi, sosial dan teknologi selain membawa dampak positif juga dampak negatif bagi masyarakat Indonesia. Dampak negatif yang terjadi adalah perubahan gaya hidup yakni aktivitas fisik yang kurang serta penyimpangan pola makan dengan asupan cenderung tinggi energi (lemak, protein, karbohidrat) dan rendah serat (Hadi 2005). Serat pangan sempat cukup lama diabaikan sebagai faktor penting dalam gizi makanan. Hal ini mungkin disebabkan serat pangan tidak menghasilkan energi. Selain itu, kekurangan serat tidak menimbulkan gejala spesifik seperti halnya yang terjadi pada kekurangan zat-zat gizi tertentu (Astawan & Wresdiyati 2004). Rata-rata konsumsi serat pangan penduduk Indonesia adalah 10.5 gram per hari (hasil riset Puslitbang Gizi Depkes RI, 2001). Angka ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia baru memenuhi kebutuhan seratnya sekitar sepertiga dari kebutuhan ideal sebesar 30 gram setiap hari. Hal ini mengakibatkan penyakit degeneratif meningkat tajam. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap konsumsi serat pangan adalah tingkat pendapatan, jenis kelamin, umur, dan faktor lingkungan. Diet yang tinggi kandungan seratnya lebih cepat menyebabkan rasa kenyang dan memperlama rasa kenyang tersebut. Hal ini akan menurunkan jumlah konsumsi energi sehingga akan mengurangi kemungkinan kelebihan energi di dalam tubuh (Astawan & Wresdiyati 2004). Perkembangan dunia teknologi pengolahan makanan, transportasi dan adanya arus globalisasi menyebabkan perubahan yang mendasar pada pola makan masyarakat di hampir semua belahan dunia. Struktur dan komposisi makanan dari banyak negara mengalami perubahan mengikuti tren perubahan pola makan dunia. Perubahan dalam pola makan yaitu dari pola makan tradisional ke pola makan ala Barat, dengan mengonsumsi fast food yang banyak mengandung kalori, gula sederhana, lemak dan kolesterol (Feitag 2010). Menurut Khomsan (2002), fast food dikatakan negatif karena ketidak seimbangannya (dari segi porsi serta komposisi sayuran sehingga miskin akan vitamin dan mineral), tinggi garam dan rendah serat (merupakan faktor pemicu munculnya
penyakit
hipertensi),
serta
sumber
lemak
dan
kolesterol.
Ketidakseimbangan zat gizi dalam tubuh dapat terjadi jika fast food dijadikan sebagai pola makan setiap hari. Kelebihan kalori, lemak, dan natrium akan terakumulasi dalam tubuh seseorang dapat menimbulkan berbagai penyakit
2
degeneratif (tekanan darah tinggi, ateroksklerosis, jantung koroner, dan diabetes mellitus, serta obesitas) (Novitasari 2005). Perubahan mendasar yang terjadi di seluruh belahan dunia tidak hanya berkaitan dengan pola makan saja. Dengan adanya perkembangan teknologi, baik itu teknologi transportasi dan komunikasi, pola aktivitas masyarakat pun mengalami perubahan. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak pekerjaan yang dapat dilakukan di balik meja kantor sehingga energi yang diperlukan untuk beraktivitas menurun dengan drastis (Freitag 2010). Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktivitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg (Hidayati et al. 2006). Dalam jangka panjang, jika pola makan yang digunakan tidak seimbang dan kurangnya aktivitas fisik maka akan berakibat pada terjadinya kegemukan atau obesitas. Obesitas adalah penyakit multifaktorial yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktivitas fisik, gaya hidup, sosial ekonomi dan gizi (Hidayati et al. 2006). Dampak obesitas pada orang dewasa adalah munculnya risiko terkena penyakit degeneratif seperti jantung koroner, diabetes tipe II atau NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus), gangguan fungsi paru, peningkatan kadar kolesterol, gangguan ortopedik (kaki pengkor) serta rentan terhadap kelainan kulit (Damayanti 2002). Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh organisasi kesehatan dunia atau WHO (World Health Organization) pada tahun 2000, obesitas saat ini merupakan masalah epidemiologi global yang menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat dunia. Pada masyarakat di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat, kejadian obesitas yang tinggi menjadikannya sebagai salah satu penyebab kematian terbesar selain alkohol, tembakau, dan obat terlarang. Sebanyak 1.6 milyar orang dewasa di seluruh dunia mengalami berat badan berlebih (overweight), dan sekurang-kurangnya 400 juta di antaranya mengalami obesitas. Pada tahun 2015, diperkirakan 2.3 milyar orang dewasa akan mengalami overweight dan 700 juta di antaranya obesitas (Freitag 2010). Di Indonesia masalah obesitas belum mendapat perhatian yang cukup, karena pemerintah masih terfokus pada masalah gizi kurang. Meskipun obesitas belum menjadi masalah gizi utama, tetapi obesitas perlu mendapat perhatian karena ada kecenderungan angkanya terus meningkat. Menurut data Riset
3
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi nasional obesitas pada penduduk berusia lebih dari 15 tahun adalah 10.3% (laki-laki 13.9% dan perempuan 23.8%). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 melaporkan bahwa prevalensi nasional obesitas pada penduduk berumur lebih dari 18 tahun adalah 21.7% dan prevalensi obesitas pada perempuan lebih tinggi (26.9%) dibanding laki-laki (16.3%). Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mempelajari konsumsi serat dan fast food serta aktivitas fisik orang dewasa yang berstatus gizi obes dan normal Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari konsumsi serat dan fast food serta aktivitas fisik orang dewasa yang berstatus gizi obes dan normal. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu : 1. Mempelajari karakteristik individu dewasa berstatus gizi obes dan normal. 2. Mempelajari konsumsi serat dan frekuensi konsumsi sumber serat individu dewasa berstatus gizi obes dan normal. 3. Mempelajari konsumsi fast food individu dewasa berstatus gizi obes dan normal. 4. Mempelajari aktivitas fisik individu dewasa berstatus gizi obes dan normal. 5. Menganalisis hubungan karakteristik individu, konsumsi serat, konsumsi fast food dan aktivitas fisik. Hipotesis H1= terdapat hubungan antara karakteristik individu, konsumsi serat dan fast food serta aktivitas fisik individu dewasa dengan kejadian obesitas. Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi serat, fast food dan aktivitas fisik orang dewasa yang berstatus gizi obes dan normal. Selain itu diharapkan penelitian ini juga dapat memberikan informasi tentang hubungan antara konsumsi serat, fast food dan aktivitas fisik dengan kejadian obesitas.
4
TINJAUAN PUSTAKA Obesitas Obesitas (obesity) berasal dari bahasa latin yaitu “ob” yang berarti akibat dari dan “esum” artinya makan, sehingga obesitas dapat didefinisikan sebagai akibat dari pola makan yang berlebihan (Freitag 2010). Obesitas atau kegemukan merupakan kelebihan berat badan karena terdapatnya timbunan lemak berlebihan dalam tubuh. Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah sekitar 25%-30% pada wanita dan 18%-23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 30% dan pria dengan lemak tubuh lebih dari 25% disebut mengalami obesitas (Mustofa 2010). Kegemukan
(obesitas)
juga
dapat
diartikan
sebagai
refleksi
ketidakseimbangan asupan dan pengeluaran energi. Salah satu penyebabnya adalah kegemaran makan secara berlebihan, terutama makanan tinggi kalori tanpa diimbangi oleh aktivitas cukup. Hal itu mengakibatkan surplus energi hanya disimpan sebagai lemak tubuh. Penyebab lainnya adalah adanya gangguan metabolik dalam tubuh yang dapat menyebabkan hiperfagia atau nafsu makan berlebihan (Anwar & Khomsan 2009). Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok
orang
yang
diakibatkan
oleh
konsumsi,
penyerapan
dan
penggunaan zat gizi makanan (Riyadi 2006). Klasifikasi berat badan berdasarkan IMT pada penduduk Asia dewasa dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini. Tabel 1. Klasifikasi Berat Badan pada Penduduk Asia Klasifikasi Underweight Normal Overweight Berisiko Obes I Obes II Sumber:WHO (2002)
IMT <18.5 18.5-22.9 >23 23-24.9 25-29.9 >30
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan indeks pengukuran sederhana untuk kekurangan berat (underweight), kelebihan berat (overweight), dan kegemukan atau obesitas dengan membandingkan berat badan dengan tinggi badan kuadrat. Berdasarkan cut off point obesitas pada penduduk Asia Pasifik, obesitas obesitas dibagi menjadi dua kategori, yaitu: obesitas tingkat I dengan IMT 25.00-29.99 dan obesitas tingkat II dengan IMT > 30.00 (WHO 2000).
5
Seseorang dianggap mengalami obesitas apabila berat badannya 20% lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat badan yang normal. Menurut kriteria ini, obesitas digolongkan menjadi tiga kelompok (Mustofa 2010): 1. Obesitas ringan, yaitu kelebihan berat badan 20%-40%. 2. Obesitas sedang, yakni kelebihan berat badan 41%-100%. 3. Obesitas berat, yaitu kelebihan berat badan >100%. Dewasa ini obesitas telah menjadi masalah kesehatan dan gizi masyarakat dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Review atas epidemik obesitas yang dilakukan Low et al. (2009) memperlihatkan bahwa prevalensi kelebihan berat badan (overweight) di negara maju berkisar dari 23.2% di Jepang hingga 66.3% di Amerika Serikat, sedangkan di negara berkembang berkisar dari 13.4% di Indonesia sampai 72.5% di Saudi Arabia. Adapun prevalensi kegemukan (obesity) di negara maju berkisar dari 2.4% di korea Selatan hingga 32.2% di Amerika Serikat, sedangkan di negara berkembang berkisar dari 2.4% di Indonesia sampai 35.6% di Saudi Arabia. Penelitian yang dilakukan oleh Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) tahun 2004 mendapatkan angka prevalensi obesitas (IMT >30kg/m2) yakni 9.16% pada pria dan 11.02% pada wanita (Mustofa 2010). Di Indonesia, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi nasional obesitas pada penduduk berusia lebih dari 15 tahun adalah 10.3% (lakilaki 13.9% dan perempuan 23.8%). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 melaporkan bahwa prevalensi nasional obesitas pada penduduk berumur lebih dari 18 tahun adalah 21.7% dan prevalensi obesitas pada perempuan lebih tinggi (26.9%) dibanding laki-laki (16.3%). Penyebab Obesitas Obesitas merupakan penyakit yang berkembang dari interaksi genetik dan lingkungan dalam waktu yang cukup lama sehingga obesitas tidak hanya terjadi pada sekali waktu, tetapi merupakan konsekuensi dari apa yang dilakukan oleh seseorang dalam hidupnya. Asupan energi yang berlebihan, pengeluaran energi dalam bentuk aktivitas fisik yang rendah atau kombinasi dari kedua faktor tersebut menyebabkan keseimbangan energi menuju ke arah positif. Balance energi yang positif seringkali menuju ke arah peningkatan berat badan (Freitag 2010).
6
Penyebab utama masalah obesitas adalah lingkungan dan perubahan perilaku. Peningkatan proporsi lemak dan peningkatan densitas energi dalam diet, penurunan level aktivitas fisik dan peningkatan perilaku sedentary, merupakan faktor utama yang dapat meningkatkan berat badan pada populasi genetik, faktor biologi dan faktor individu lain seperti penghentian merokok, jenis kelamin, dan umur saling berinteraksi mempengaruhi peningkatan berat badan (WHO 2000). Penelitian juga menunjukkan ada hubungan yang bertolak belakang antara IMT dan aktivitas fisik. Menurun dan rendahnya tingkat aktivitas fisik dipercaya sebagai salah satu hal yang menyebabkan obesitas. Tren kesehatan terkini juga menunjukkan prevalensi obesitas meningkat bersamaan dengan meningkatnya perilaku sedentary dan berkurangnya aktivitas fisik (WHO 2000). Menurut Indriati (2010), faktor utama terjadinya obesitas adalah intake zat gizi yang lebih dari pemakaian energi aktivitas fisik. Selain aktivitas fisik yang rendah sebagai faktor pemicu obesitas, juga metabolisme dasar yang menurun secara fisiologis dengan bertambahnya umur. Sehingga perlu pengurangan asupan diet pada umur sesudah periode pertumbuhan dan perkembangan selesai di remaja akhir (umur 21 tahun) apalagi orang dewasa tidak lagi seaktif masa kanak-kanak yang banyak berlarian dan bermain. Sebagian besar peneliti sepakat bahwa kelebihan berat badan dan obesitas disebabkan oleh beberapa faktor, namun ketidakseimbangan energi dalam jangka waktu panjang antara asupan dan pengeluaran menjadi penyebab utama (Tucker & Thomas 2009). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern sudah mampu mengidentifikasi penyebab obesitas di segala umur. Dari berbagai penyebab yang teridentifikasi, dapat dikatakan semuanya terkait dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh baik dari segi makanan, cara memakan, hingga jumlah dan kemampuan tubuh untuk mengolah makanan tersebut. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan
7
bergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2006). Gaya hidup di era modern dengan aktivitas fisik ringan akan memudahkan terjadinya penumpukan lemak tubuh. Proses timbulnya lemak di sekeliling tubuh berlangsung perlahan, lama dan seringkali tidak disadari. Fasilitas
perkantoran
dan
belanja
yang
dilengkapi
dengan
lift/elevator
menyebabkan seseorang malas untuk berjalan dan menggerakkan anggota tubuhnya. Sementara kesibukan di tempat kerja atau di rumah tidak menyisakan waktu sedikitpun untuk berolahraga (Khomsan 2005). Perubahan pola aktivitas ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya obesitas. Lingkungan, baik itu dari segi teknologi maupun kebudayaan, telah memainkan peranannya dalam perubahan aktivitas fisik manusia sehingga menjadi lebih rendah dibandingkan sebelumnya. Rendahnya aktivitas fisik ini akan mendorong keseimbangan energi ke arah positif sehingga mengarah pada penyimpanan energi dan penambahan berat badan (Freitag 2010). Faktor aktivitas fisik yang kurang sangat kentara menjadi penyebab kegemukan terutama pada anak masa kini. Orang-orang makmur yang tidak aktif memerlukan lebih sedikit kalori. Seseorang yang cenderung mengonsumsi makanan kaya lemak dan tidak melakukan aktivitas fisik yang seimbang, akan mengalami obesitas. Kurangnya aktivitas gerak badan menjadi penyebab kegemukan karena kurangnya pembakaran lemak dan sedikitnya energi yang dipergunakan (Mustofa 2010). Rissanen et al. (2003) menyatakan bahwa rendahnya aktivitas fisik merupakan faktor yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya obesitas. Sebagai contoh, obesitas tidak terjadi pada para atlet yang aktif, sedangkan para atlet yang berhenti melakukan latihan olahraga lebih sering mengalami kenaikan berat badan dan kegemukan. Dengan banyak berolahraga, jantung akan tetap terlatih untuk bekerja dengan baik, sirkulasi darah menjadi lancar, otot tetap lemas dan lentur, kondisi tubuh tetap fit serta terhindar dari kegemukan (Astawan & Wahyuni 1988). Rendahnya aktivitas fisik berhubungan positif dengan obesitas pada perempuan tetapi tidak pada laki-laki (Janghorbani et al. 2007). Intervensi latihan (exercise) intensif tingkat moderat selama 12 bulan secara nyata merubah berat tubuh. Exercise berperan pada penurunan lemak tubuh khususnya lemak pada perut (Irwin et al. 2003). Latihan sedang sampai berat selama 12 bulan menurunkan berat tubuh rata-rata pada perempuan 1.4 kg
8
dan kontrol 0.7 kg, pada laki-laki 1.8 kg dan 0.1 kg pada kontrol. Exercise dapat menurunkan obesitas sentral dengan durasi 370 menit/minggu pada laki-laki dan 295 menit/minggu pada perempuan. Aktivitas fisik berat atau sedang minimal 60 menit/hari disarankan untuk menurunkan obesitas (McTiernan et al. 2007). Aktivitas fisik menentukan kondisi kesehatan seseorang. Tabel 2 menunjukkan nilai PAR untuk setiap kegiatan. Nilai PAR diperlukan untuk menentukan tingkat aktivitas fisik (PAL). Tingkat aktivitas fisik (Physical Activity Level) diperoleh dengan mengalikan PAR (Physical Activity Ratio) dengan lama melakukan sebuah aktivitas (FAO/WHO/UNU 2001). Secara sederhana, rumus untuk menghitung nilai PAL adalah: Physical Activity Level (PAL)= ∑ (Lama melakukan aktivitas x PAR) 24 jam Tabel 2. Nilai Physical Activity Ratio (PAR) Setiap Kegiatan Kegiatan Aktivitas Ringan (Sedentary/Light Activity Lifestyle) Tidur Perawatan Diri (mandi dan berpakaian) Makan Memasak Kegiatan yang dilakukan dengan duduk Pekerjaan Rumah Tangga Mengendarai kendaraan Berjalan Kegiatan Ringan (menonton televisi) Aktivitas Sedang (Active/Moderately Active Lifestyle) Tidur Perawatan Diri (mandi dan berpakaian) Makan Kegiatan yang dilakukan dengan berdiri Transportasi bekerja dengan bus Berjalan Olahraga Ringan Kegiatan Ringan (menonton televisi) Aktivitas Berat (Vigorous/Vigorously Active Lifestyle) Tidur Perawatan Diri (mandi dan berpakaian) Makan Memasak Kegiatan pertanian tanpa menggunakan alat Mengambil air Pekerjaan rumah tangga yang berat Berjalan Kegiatan Ringan Sumber: FAO/WHO/UNU 2001
PAR 1 2.3 1.5 2.1 1.5 2.8 2.0 3.2 1.4 1 2.3 1.5 2.2 1.2 3.2 4.2 1.4 1 2.3 1.4 2.1 4.1 4.4 2.3 3.2 1.4
Keterangan: PAR= Physical Activity Ratio (faktor aktivitas) Kategori ringkat aktivitas fisik (PAL /Physical Activity Level) dibedakan menjadi tiga, yaitu aktivitas ringan, sedeang dan berat. Aktivitas fisik ringan
9
memiliki nilai PAL antara 1.40-1.69. Seseorang yang mempunyai aktivitas fisik yang ringan menggunakan kendaraan untuk transportasi, umumnya tidak berolahraga, dan cenderung meluangkan waktu hanya untuk kegiatan yang dilakukan dengan duduk dan berdiri, dengan sedikit gerakan tubuh. Aktivitas fisik sedang memiliki nilai PAL 1.70-1.99. Seseorang yang mempunyai tingkat aktivitas fisik sedang tidak memerlukan energi yang besar, namun kebutuhan energi pada kegiatan ini lebih tinggi dari kegiatan aktivitas yang ringan. Aktivitas fisik berat memiliki PAL 2.00-2.39. Aktifitas fisik berat dilakukan oleh seseorang yang melakukan kerja berat dalam waktu yang lama (FAO/WHO/UNU 2001). Faktor Genetik Kelebihan konsumsi energi bukan satu-satunya penyebab kegemukan. Faktor genetik juga berperan penting terhadap munculnya kegemukan pada seseorang. Jika kedua orangtua gemuk, risiko kegemukan pada anak-anaknya mencapai 80%. Namun, jika hanya satu orangtua yang gemuk, peluang anakanaknya menjadi gemuk adalah sebesar 40% (Anwar & Khomsan 2009). Penelitian
terbaru
menunjukkan
bahwa
rata-rata
faktor
genetik
memberikan pengaruh sebesar 33% terhadap berat badan seseorang. Hal ini merupakan faktor keturunan dari orang tua yang sulit dihindari. Bila ayah atau ibu memiliki kelebihan berat badan, hal ini dapat diturunkan pada anak. Obesitas yang disebabkan oleh lingkungan pada generasi sebelumnya dapat tertanam di dalam gen generasi tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Sering didapati, anak yang obesitas biasanya berasal dari keluarga yang obesitas. Bila kedua orangtua obes, sekitar 80% anak-anak mereka akan obes. Bila salah satu orang tua obes, menjadi 40% dan bila orangtuanya tidak obes prevalensi obes untuk anak turun menjadi 14% (Mustofa 2010). Para ilmuwan curiga bahwa gen-gen mungkin dapat menyebabkan obesitas pada manusia karena berat seorang anak seringkali berhubungan dengan berat badan orangtua. Di dalam penelitian terhadap anak-anak SMA, hanya terdapat 8% dari pelajar dengan orangtua kurus menjadi obesitas. Jika salah satu atau kedua orangtua mereka menderita obesitas, sekitar ¾ dari mereka menjadi gemuk. Berat badan anak yang diadopsi tidak bergantung kepada orangtua angkat mereka. Pada tahun 1994 ilmuwan mengumumkan penemuan gen pertama yang dipercaya ada hubungannya dengan obesitas bagi manusia. Sejak itu, para peneliti menemukan gen-gen yang lain yang terlihat memainkan peranan bagi obesitas manusia (Mustofa 2010).
10
Di masyarakat sering ditemukan kasus dimana anak yang gemuk biasanya salah satu atau kedua orangtuanya gemuk. Hingga saat ini belum diketahui secara pasti apakah obesitas selalu diturunkan sebagai bawaan dari orangtuanya atau karena kebiasaan makan yang berlebihan yaitu ditiru oleh anaknya dan faktor lingkungan yang sama. Meskipun demikian, penyelidikan kearah molekuler telah mendorong pada kesimpulan bahwa gen dalam tubuh manusia
memainkan
peranan
besar
dalam
membentuk
kecenderungan
seseorang untuk menjadi lebih gemuk (Freitag 2010). Sebagai contoh, perubahan pada gen akan mempengaruhi berat badan individu sejak lahir hingga dewasa. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa individu dengan kondisi yang demikian memiliki berat badan lahir yang lebih tinggi daripada individu biasa. Pada umur 7 hingga 20 tahun individu dengan varian Ala akan memiliki penambahan berat badan yang tidak terlalu tinggi, tetapi penambahan tersebut akan meningkat pada umur 20 hingga 41 tahun (Freitag 2010). Fast food Kegemukan adalah faktor risiko penyakit jantung koroner. Sebagian masyarakat sudah sangat menyadari hal ini. Salah satu penyebab kegemukan adalah kebiasaan makan kalori atau lemak berlebihan. Ketika makan banyak kalori, maka tubuh dipaksa untuk menghasilkan insulin dalam jumlah extra untuk mengubah karbohidrat menjadi gula darah. Kehadiran insulin yang terlalu banyak memicu terjadinya persekongkolan dengan lemak yang kemudian merusak pembuluh darah. Akhirnya pembuluh darah akan terisi oleh segala macam kotoran termasuk kolesterol dan menyumbat aliran darah sehingga menimbulkan penyakit jantung koroner (Khomsan 2005). Beberapa penelitian mengklaim bahwa lebih dari 300.000 orang Amerika meninggal karena obesitas setiap tahun dan jumlah itu meningkat setiap tahun. Angka ini juga termasuk anak-anak. Banyak dokter mulai menyalahkan makanan cepat saji sebagai nomor satu alasan karena beberapa orang dan keluarga yang makan lebih banyak makanan cepat saji dan junk food setidaknya tiga kali seminggu
sebagai
makanan
utama
mereka.
Sebuah
penelitian
juga
menunjukkan bahwa orang kurang tergantung pada bahan makanan dan konsumsi bahan makanan sehat. Banyak toko kelontong melaporkan bahwa kebutuhan akan sayur-sayuran ini akan tenggelam dan tidak banyak orang telah membeli mereka, khususnya sayuran dan salad sayuran lain seperti wortel dan
11
mentimun. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan pada makanan cepat saji telah meningkat selama periode waktu (Anonim 2007). Menurut WHO (2000), perkembangan industri makanan yang salah satunya berkembangnya makanan cepat saji, yaitu makanan yang tinggi lemak tetapi rendah karbohidrat kompleks merupakan salah satu faktor risiko terjadinya obesitas. Banyaknya jenis fast food yang dikonsumsi merupakan faktor risiko terjadinya obesitas (OR=11.0). Ini berarti mengonsumsi fast food akan berisiko 11 kali mengalami obesitas jika dibandingkan yang tidak mengonsumsinya. Fast food atau ready-to-eat-food jadi pilihan utama orangtua yang sibuk atau konsumsi ketika menghabiskan waktu bersama keluarga pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan karena pengolahannya yang cenderung cepat karena menggunakan tenaga mesin, terlihat bersih karena penjamahnya adalah mesin, restoran yang mudah ditemukan serta karena pelayanannya yang selalu sedia setiap saat, bagaimanapun cara pemesanannya (Worthington&William 2000). Pada hakekatnya fast food (makanan siap saji) tidak sama dengan junk food (makanan sampah yang hanya padat kalori). Bahan penyusun fast food termasuk golongan pangan bergizi. Hal yang paling penting adalah pengaturan frekuensi makannya agar tidak mengonsumsinya secara berlebihan (Khomsan 2005). Menurut Khomsan (2002), fast food dikatakan negatif karena ketidak seimbangannya (dari segi porsi serta komposisi sayuran sehingga miskin akan vitamin dan mineral), tinggi garam dan rendah serat (merupakan faktor pemicu munculnya
penyakit
(mengandalkan
hipertensi),
pangan
hewani
serta
sumber
ternak
lemak
sebagai
dan menu
kolesterol utama).
Ketidakseimbangan zat gizi dalam tubuh dapat terjadi jika fast food dijadikan sebagai pola makan setiap hari. Hasil penelitian Virgianto dan Purwaningsih (2006) mengatakan bahwa variasi jenis makanan cepat saji bukanlah faktor risiko untuk terjadinya obesitas. Setelah dilakukan uji korelasi, ternyata memang tidak didapatkan hubungan antara variasi jenis makanan cepat saji dengan terjadinya obesitas. Jenis-jenis makanan cepat saji yang banyak dikonsumsi adalah hamburger, fried chicken, pizza dan donat. Makanan cepat saji memberikan sumbangan kalori yang bervariasi terhadap total konsumsi harian tergantung dari jenis makanan cepat saji tersebut. Kandungan energi, lemak, kolesterol dan garam pada makanan cepat saji pada umumnya tinggi, namun sangat miskin serat. Dalam 100 gram, burger
12
mengandung 261 kalori, french fries mengandung 342 kalori, fried chicken pada bagian dada ayam atau sayapnya mengandung 303 kalori, pizza yang berisi keju mengandung 268 kalori, dan hotdog mengandung 247 kalori. Kandungan serat dalam berbagai macam makanan cepat saji relatif rendah. Oleh karena itu, diperlukan konsumsi serat sebagai tambahan untuk mengimbangi tingginya kolesterol dalam darah (Virgianto&Purwaningsih 2006). Satu buah fried chicken mempunyai ukuran 116.51 gram dan mempunyai kandungan energi sebesar 287.85 kkal. Satu porsi burger mempunyai ukuran 127.96 gram dan mempunyai kandungan energi sebesar 380.67 kkal. Satu porsi fried fries berukuran 100 gram mempunyai kandungan energi sebesar 321.05 kkal (Anonim 2006) Pengertian fast food lebih luas dari makanan yang dibuat dengan cepat dan dapat dinikmati dalam waktu yang singkat. Jenis makanan ini memiliki ciri khas yaitu porsi yang disajikan sangat besar, padat energi, sangat lezat, banyak mengandung gandum terproses, banyak ditambahkan gula, tinggi lemak, tinggi lemak jenuh dan lemak trans dan rendah serat (Feitag 2010). Dengan melihat ciri khas makanan itu, sudah dapat dipastikan bahwa ujung dari fast food adalah obesitas. Tidak hanya di Amerika dan Negara-negara barat lainnya, fast food juga sudah merambah ke negara-negara Asia termasuk Indonesia (Feitag 2010). Secara umum produk fast food dapat dibedakan menjadi dua, yaitu produk fast food yang berasal dari Barat dan lokal. Fast food yang berasal dari Barat sering juga disebut fast food modern seperti Mc. Donald, Kentucky Fried Chicken (KFC), Pizza Hut dan sejenisnya. Makanan yang disajikan pada umumnya berupa hamburger, pizza, dan sejenisnya. Sedangkan fast food lokal sering juga disebut dengan istilah fast food tradisional
seperti warung tegal, restoran
padang, warung sunda (Hayati 2000). Sebuah penelitian di Amerika Serikat sebanyak 6212 anak dan remaja yang berumur antara 4-19 tahun ikut serta dalam penelitian ini dan dari keseluruhan sampel tersebut terdapat 30% lebih yang mengonsumsi makanan fast food. Penelitian ini telah membuktikan bahwa orang yang sering mengonsumsi fast food akan lebih banyak mendapatkan energi tapi tidak dengan zat gizi lainnya (Feitag 2010). Di dalam makanan fast food terdapat kalori dalam jumlah tinggi, lemak dan gula sederhana yang mampu meningkatkan risiko untuk menjadi gemuk bahkan obesitas. Selain itu, kandungan vitamin yang seharusnya ada didalam sayur dan buah menjadi lebih jarang dikonsumsi oleh penikmat fast food (Freitag 2010).
13
Sosial Ekonomi Jenis kelamin Wanita
yang
asupan
seratnya
menurun
sebenatnya
cenderung
mengalami penambahan berat badan secara signifikan, sedangkan mereka yang asupan seratnya meningkat dari waktu ke waktu cenderung mengalami penurunan berat badan (Tucker & Thomas 2009). Setiap penambahan anak, risiko obesitas meningkat 4% pada laki-laki dan 7% pada perempuan (Weng et.al 2004). Wanita yang asupan seratnya meningkat dari waktu ke waktu akan cenderung mengonsumsi makanan lebih sehat, mengonsumsi lebih banyak karbohidrat kompleks, serta mengonsumsi makanan rendah lemak dan rendah energi (Tucker & Thomas 2009). Tingkat Pendidikan Menurut Suprijanto (2007), pendidikan dibedakan menjadi 9 jenis antara lain: 1). Pendidikan Masal; 2) Pendidikan Masyarakat; 3) Pendidikan Dasar; 4) penyuluhan; 5) Pengembangan Masyarakat; 6) Pendidikan Orang Dewasa; 7) Masyarakat Seumur Hidup; 8) Masyarakat Belajar; 9) Pendidikan Formal, nonformal dan informal. Pendidikan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat seseorang. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang/masyarakat
untuk
menyerap
informasi
dan
mengimplikasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Atmarita & Tatang 2004). Pendidikan akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Menurut Martianto & Ariani (2004), seseorang yang mempunyai pendidikan formal dan pendapatan yang tinggi maka makanan yang dikonsumsi akan lebih beragam dan memiliki kualitas dan kuantitas yang baik. Besar Keluarga Menurut BKKBN tahun 1998, besar keluarga adalah keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, isteri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama. Berdasarkan jumlah anggota keluarga, besar keluarga dikelompokkan menjadi tiga, yaitu keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar. Keluarga kecil adalah keluarga dengan jumlah anggota keluarga < dari 4 orang, keluarga sedang adalah keluarga dengan jumlah anggota 5-7
14
orang, sedangkan keluarga besar adalah keluarga dengan jumlah anggota kurang dari 7 orang. Bentuk keluarga berdasarkan jumlah anggotanya di Indonesia dibedakan menjadi keluarga inti, extended family dan keluarga besar. Extented family menurut Soediatama (2008) adalah keluarga yang terdiri atas sepasang suami istri yang biasanya menanggung biaya keluarga dan semua orang yang bernaung di bawah satu atap dan menjadi tanggungan suami istri tersebut, sehingga dapat meliputi anak-anak, kemenakan, bibi dan paman, bahkan eyang. Besar keluarga yang dimiliki akan mempengaruhi kesehatan seseorang atau anggota keluarga yang terlibat di dalamnya. Selain itu pula, besar keluarga akan mempengaruhi konsumsi zat gizi dalam suatu keluarga (Soediatama 2008). Jumlah anggota keluarga tidak berhubungan dengan kegemukan. Besarnya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi distribusi pangan yang akan diterima masing-masing individu. Sebuah keluarga yang terdiri dari banyak individu,
selain
dapat
mengurangi
distribusi
pangan
juga
mengurangi
kenyamanan dalam hidup berkeluarga. Dengan banyaknya anggota keluarga, akan memperkecil kemungkinan seseorang menjadi gemuk (Adiningrum 2008). Pendapatan Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan kualitas makanan. Menurut Madanijah (2004), perubahan pendapatan secara langsung
akan
berpengaruh
terhadap
konsumsi
pangan.
Peningkatan
pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli. Selain pendapatan, faktor ekonomi yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan adalah harga pangan dan harga barang non pangan. Perubahan harga dapat berpengaruh terhadap besarnya permintaan pangan. Harga pangan yang tinggi
menyebabkan
berkurangnya
daya
beli
masyarakat.
Keadaan
ini
menyebabkan daya beli masyarakat berkurang. Konsumsi Pangan Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia agar dapat hidup sehat karena pangan meupakan sumber utama zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Zat gizi tersebut menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses
15
metabolisme dalam tubuh, memperbaiki jaringan tubuh serta pertumbuhan (Harper et al. 1986). Konsumsi pangan secara garis besar adalah kuantitas pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dengan jenis tunggal atau beragam. Ada tiga hal yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu kuantitas dan ragam pangan yang tersedia dan diproduksi, pendapatan, dan tingkat pengetahuan gizi (Wulandari 2000). Sanjur (1989) menyatakan bahwa konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat maupun keluarga, sedangkan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi individu atau keluarga. Konsumsi makanan diartikan sebagai jumlah makanan yang dinyatakan dalam bentuk energi dan zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral). Konsumsi makanan yang tidak memadai kebutuhan tubuh baik kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan masalah gizi. Konsumsi makanan adalah faktor yang berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang (Soediaoetama 1996 dalam Dasuki 2002). Survei konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan seseorang atau kelompok orang baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Survei konsumsi pangan secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi (Suhardjo et al. 1988). Metode kuantitatif juga dapat menghitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (DPM). Metode pengukuran konsumsi makanan bersifat kualitatif antara lain metode frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon, metode pendafataran makanan (food list) (Supariasa et al. 2001). Metode mengingat-ingat (recall method) merupakan salah satu penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu. Metode ini dilakukan dengan cara mencatat jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam Ukuran Rumah Tangga (URT) setelah itu dikonversikan ke dalam satuan berat. Pada metode ini subjek diminta untuk mengingat semua makanan yang telah dimakan dalam 24
16
jam atau sehari yang lalu. Metode ini dapat menaksir asupan gizi pada individu (Gibson 2005). Pengetahuan Gizi Khomsan (2000) menyatakan bahwa pengetahuan gizi menjadi landasan penting
yang
menentukan
konsumsi
pangan
keluarga.
Individu
yang
berpengetahuan gizi baik akan mempunyai konsumsi pangan keluarga yang baik pula. Individu yang berpengetahuan gizi baik akan mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizinya didalam pemilihan maupun pengolahan pangan sehingga konsumsi pangan yang mencukupi dapat lebih terjamin. Pengetahuan gizi merupakan aspek kognitif yang mencirikan seseorang memahami tentang gizi, pangan dan kesehatan (Sukandar 2007). Pengetahuan gizi mempunyai peranan penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang, sebab hal ini akan mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis dan jumlah makanan yan dikonsumsi (Harper et al. 1985). Pengetahuan terbentuk setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan dicakup dalam dominan kognitif dan mempunyai
enam tingkatan
yaitu mengetahui, memahami, menggunakan,
melakukan analisa, melakukan sintesa, dan evaluasi. Pengetahuan diperoleh seseorang melalui pengetahuan melalui media masa, pendidikan formal maupun non formal (Notoatmodjo 1993). Menurut Apriadji (1986) diacu dalam Madaniah (2002), seseorang yang memiliki pendidikan rendah, belum tentu kurang mampu menyusun makan yang memenuhi persyaratan gizi sebanding dengan orang yang berpendidikan lebih tinggi. Hal ini disebabkan, orang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi maka akan rajin dalam mendengarkan informasi tentang gizi sehingga pengetahuan gizinya akan baik. Engel et al. (1994) mendefenisikan pengetahuan adalah informasi yang disimpan dalam ingatan yang menjadi penentu utama perilaku seseorang. Menurut harper et al. (1985), suatu hal yang menyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan: 1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan 2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yan dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi
17
3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan gizi. Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati et al. 1992). Serat Pangan Serat akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian karena peranannya dalam mencegah berbagai penyakit (Almatsier 2001). Hanya dalam beberapa dasawarsa terakhir ini diungkapkan oleh para ilmuan, bahwa serat-serat yang terdapat dalam bahan pangan yang tidak tercerna mempunyai pengaruh positif bagi tubuh. Nama atau istilah yang digunakan untuk serat tersebut adalah serat pangan (dietary fiber). serat kasar tidaklah identik dengan serat pangan (Winarno 1997). Skala (1975) diacu dalam Winarno (1997) menyatakan bahwa kira-kira hanya sekitar seperlima sampai setengah dari seluruh serat kasar yang benarbenar berfungsi sebagai serat pangan. Serat-serat tersebut banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buah-buahan. Berbagai jenis makanan nabati pada umumnya banyak mengandung serat pangan. Serat merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil (Winarno 1997). Menurut Linder (1992), serat adalah istilah/pemberian nama yang salah karena materi tersebut tidak berserat, tidak panjang berupa benang dan sebenarnya dapat larut. Pencernaan juga memerlukan definisi lebih lanjut, karena bakteri flora saluran pencernaan dapat menyerang
dan mendegadasi serat tersebut
terutama dalam kolon (enzim saluran pencernaan manusia sendiri tidak ada yang dapat memecahkanya). Serat dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu serat tidak larut air dan serat larut air. Serat yang tidak larut dalam air adalah selulosa, hemiselulosa, dan liginin. Serat yang larut dalam air adalah pektin, gum, mukilase, glukan, dan algal (Almatsier 2001). Serat yang tidak larut air (insoluble fibers) didefinisikan sebagai serat yang tidak dapat dilarutkan dalam air dan tidak dapat dicerna oleh bakteri di dalam usus besar. Serat yang larut di dalam air (soluble fibers) adalah serat yang dapat dilarutkan dalam air dan dapat dicerna (difermentasi) oleh bakteri di dalam usus besar (Wardlaw 1999).
18
Menurut Astawan & Wresdiyati (2004), serat pangan larut dalam air merupakan komponen serat yang dapat larut di dalam air dan dalam saluran pencernaan. Komponen serat ini dapat membentuk gel dengan cara menyerap air. Kelompok serat pangan larut air adalah pektin, psilium, gum, musilase, karagenan, asam alginat, dan agar-agar. Fungsi utama serat pangan larut air adalah sebagai berikut ( Astawan & Wresdiyati 2004): 1. memperlambat kecepatan pencernaan dalam usus sehingga aliran energi ke dalam tubuh menjadi stabil; 2. memberikan perasaan kenyang yang lebih lama; 3. memperlambat kemunculan gula darah (glukosa) sehingga insulin yang dibutuhkan untuk mengubah glukosa menjadi energi semakin sedikit; 4. membantu
mengendalikan
berat
badan
dengan
memperlambat
munculnya rasa lapar; 5. meningkatkan kesehatan saluran pencernaan dengan cara meningkatkan motilitas (pergerakan) usus besar; 6. mengurangi risiko penyakit jantung; 7. mengikat asam empedu; 8. mengikat lemak dan kolesterol kemudian dikeluarkan melalui feses (proses buang air besar). Serat pangan tidak larut adalah serat yang tidak dapat larut, baik di dalam air maupun didalam saluran pencernaan. Sifat yang menonjol dari komponen serat ini adalah kemampuannya menyerap air serta meningkatkan tekstur dan volume feses sehingga makanan dapat melewati usus besar dengan cepat dan mudah. Kelompok serat pangan tidak larut air adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Sebaiknya mengonsumsi kombinasi bermacam serat pangan dari beras yang masih terdapat kulit arinya, biji-bijian, sayur-sayuran, dan buah-buahan, agar dapat memenuhi kebutuhan serat pangan dan sekaligus memenuhi gizi yang lengkap dan seimbang ( Astawan & Wresdiyati 2004). Fungsi serat pangan tidak larut air adalah sebagai berikut ( Astawan & Wresdiyati 2004): 1. mempercepat waktu transit makanan dalam usus dan meningkatkan berat feses; 2. memperlancar proses buang air besar; 3. mengurangi risiko wasir, divertikulosis dan kanker usus besar.
19
Para peneliti masa kini menduga bahwa kandungan serat dalam makanan yang dikonsumsi sebagian besar orang sangat kurang memadai. Di Negara-negara industri, kebanyakan karbohidrat yang dikonsumsi adalah dalam bentuk yang amat murni, seperti gula putih, tepung terigu dan roti tawar. Dinergara
inilah
terjadi
serangan
penyakit
saluran
pencernaan
seperti
divertikulosis (tonjolan-tonjolan kecil atau borok pada usus besar), kanker usus besar dan hernia. Penyakit-penyakit ini berkaitan dengan sembelit dan lambatnya makanan bergerak dalam saluran pencernaan. Diduga pula susunan makanan yang mengandung banyak serat meperlambatkecepatan absorpsi glukosa dan lemak dari usus halus sehingga mengurangi risiko diabetes dan penyakitpenyakit pembuluh darah (Gaman & Sherrington 1992). Hasil penelitian Puslitbang Gizi Bogor menunjukkan bahwa konsumsi serat rata-rata penduduk Indonesia tahun 2001 adalah sekitar 10,5 gram per hari. Angkakonsumsi tersebut tentu saja masih sangat jauh dari angka kecukuopan yang dianjurkan. Dietary Guidelines for American menganjurkan untuk mengonsumsi makanan yang mengandung pati dan serat dalam jumlah tepat (20-35 gram/hari) (Depkes 2008). National Cancer Institute menganjurkan konsumsi serat makanan untuk orang dewasa adalah sebanyak 20-30 gram/hari, sementara America Diet Association (ADA) merekomendasikan 25-35 gram/hari (Sulistijani 2005). Batas bawah konsumsi serat makanan menurut WHO adalah 27 gram serat/hari dan batas atasnya 40 gram serat/hari (Sizer & Whitney 2000). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa konsumsi serat berkontribusi ke sejumlah efek metabolisme terhadap perubahan berat badan, yang meliputi perbaikan sensitivitas insulin, modulasi sekresi hormon usus tertentu, dan efek pada penanda metabolisme dan berbagai inflamasi yang berkaitan dengan sindrom metabolik (Pfeiffer & Weickert 2008). Kebutuhan akan serat dapat terpenuhi pada buah, sayur, kacang-kacangan, dan padi-padian. Walaupun tidak mengandung gizi, tetapi serat makanan memiliki khasiat kesehatan yang tergantikan oleh zat gizi lain. Klasifikasi serat dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.
20
Tabel 3. Klasifikasi Serat Polisakarida
Non Polisakarida Sumber
Efek terhadap kesehatan
Serat
berfungsi
Larut dalam air Gum Hemiselulosa* Muciages Paktin Buah-buahan Oats Barley Legum Menurunkan kolesterol darah Menurunkan penyerapan glukosa
mengontrol
berat
badan
Tidak larut dalam air Selulosa Hemiselulosa* Lignin Sayuran Gandum Biji-bijian
karena
serat
tidak
menyumbangkan banyak energi. Serat juga dapat mencegah atau meringankan risiko diare dan konstipasi karena serat dapat menarik air ke dalam saluran cerna dan melembutkan feses. Dengan mekanisme tersebut, serat dapat mencegah konstipasi dan juga diare. Serat penting dalam mencegah kanker kolon karena serat dapat mendorong percepatan lewatnya makanan melalui saluran cerna, karena itu mempunyai transit time yang pendek sehingga mencegah terbukanya jaringan
yang
menyebabkan
kanker
dalam
makanan.
Beberapa
serat
menangkap cairan empedu dan membawanya keluar tubuh serta hal ini juga menurunkan risiko kanker (Devi 2010). Riset yang telah dibuat menunjukkan bahwa makanan yang mengandung serat menolong untuk menghindarkan manusia dari masalah kanker usus dan kanker dubur. Fungsinya dapat meningkatkan sekresi pankreas, memproduksi asam lemak rantai pendek dan cairan empedu, membuat rasa cepat kenyang karena volumenya yang besar, dan meningkatkan berat feses karena mampu larut dan terikat dengan air. Selain itu, serat juga mampu menurunkan serum lemak, mempercepat proses makanan dalam saluran pencernaan, dan menguntungkan pertumbuhan mikroflora yang baik bagi pencernaan (Devi 2010). Belum ada AKG untuk serat. Namun, untuk diet 2000 Kalori pada orang dewasa, paling sedikit 1000-2000 Kalori harus berasal dari karbohidrat kompleks. Diet serat yang dianjurkan adalah 20-35 gram per hari dan cukup untuk pemeliharaan tanpa efek negatif terhadap kesehatan. Kekurangan konsumsi serat memberikan efek negatif pada kesehatan, terutama sembelit atau buang air besar. Adapun apabila asupan serat berlebih, tubuh akan mengalami dampaknya karena serat tidak mengandung energi atau zat gizi lain sehingga menyebabkan defisiensi zat gizi. Serat di fermentasi oleh bakteri dalam usus besar sehingga menyebabkan kembung. Serat juga membatasi penyerapan mineral, seperti
21
kalsium, kalium, seng, dan besi sehingga dikhawatirkan tubuh akan kekurangan mineral tersebut (Devi 2010). Diet tinggi serat adalah modifikasi dari susunan makanan biasa dengan menambahkan bahan pangan yang banyak mengandung serat pangan. Banyaknya serat pangan yang diperoleh umumnya sekitar lima kali banyaknya serat kasar (2-10 kali) yang terdapat dalam bahan pangan, bergantung pada jenis bahannya. Menurut Astawan dan wresdiyati (2004), untuk memenuhi kebutuhan serat 25-30 gram setiap hari, penyusunan menu pola seimbang sehari-hari adalah 3 porsi nasi, 2 porsi lauk hewani (daging/ikan atau ayam/telur), 2 porsi lauk nabati (tempe/tahu atau kacang-kacangan lain), 1 porsi kudapan (misalnya kacang hijau atau umbi-umbian), 3 porsi aneka sayuran, 2 porsi aneka buah-buahan. Satu porsi setara dengan satu satuan penukar pada bahan makanan.
22
KERANGKA PEMIKIRAN Perkembangan peradaban manusia menuju ke semakin dominannya pekerjaan mental daripada pekerjaan fisik mengakibatkan kurang gerak dan kelebihan berat badan, serta gangguan metabolisme. Kelebihan berat badan dan akumulasi lemak sentral dan ekstremital telah menjadi kondisi epidemik kronis di berbagai segmen masyarakat di Indonesia, dan WHO melaporkan juga terjadi di dunia (Indriati 2010). WHO membuat definisi baku dari obesitas dan menyatakan kondisi ini sebagai suatu keadaan di mana terjadi penimbunan lemak tubuh secara berlebihan. Ketidakseimbangan dalam asupan dan pemakaian kalori dapat disebabkan oleh banyak faktor. Kelebihan berat badan dan obesitas bukan hanya permasalahan pola makan yang buruk saja. Hal ini juga terkait dengan interaksi dari berbagai faktor termasuk faktor genetik, metabolik, perilaku, dan lingkungan (Freitag 2010). Faktor utama terjadinya obesitas adalah asupan zat gizi yang lebih dari pemakaian energi aktivitas fisik. Selain aktivitas fisik yang rendah sebagai faktor pemicu obesitas, juga metabolisme dasar yang menurun secara fisiologis dengan bertambahnya umur. Sehingga perlu pengurangan asupan zat gizi pada umur sesudah periode pertumbuhan dan perkembangan selesai di remaja akhir (umur 21 tahun) apalagi orang dewasa tidak lagi seaktif masa kanak-kanak yang banyak berlarian dan bermain (Indriati 2010). Obesitas merupakan penyakit yang berkembang dari interaksi genetik dan lingkungan dalam waktu yang cukup lama sehingga obesitas tidak hanya terjadi pada sekali waktu, tetapi merupakan konsekuensi dari apa yang dilakukan oleh seseorang dalam hidupnya. Asupan energi yang berlebihan, pengeluaran energi dalam bentuk aktivitas fisik yang rendah atau kombinasi dari kedua faktor tersebut menyebabkan keseimbangan energi menuju ke arah positif. Balance energi yang positif seringkali menuju ke arah peningkatan berat badan (Freitag 2010). Asupan makanan yang berlebihan dapat diasumsikan melakukan pola makan yang tidak seimbang, seperti konsumsi serat yang rendah dan kecenderungan memilih makanan yang siap saji. Adapun kerangka pemikiran konsumsi serat dan fast food serta aktivitas fisik orang dewasa yang berstatus gizi obes dan normal dapat dilihat pada Gambar 1.
23
Karakteristik Individu: - Umur - Pendidikan - Pendapatan - Besar Keluarga Pengetahuan Gizi
Konsumsi Serat: - Jenis Sumber Serat - Frekuensi Konsumsi Sumber Serat
Aktivitas Fisik: - Lama Aktivitas - Jenis Aktivitas - Frekuensi Aktivitas
Status Gizi (Obesitas)
Konsumsi Fast food: - Jenis Fast food - Frekuensi Konsumsi
Faktor Genetik
Gambar 1. Kerangka pemikiran konsumsi serat dan fast food serta aktivitas fisik orang dewasa yang berstatus gizi obes dan normal
24
METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Desain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu pengambilan data dilakukan pada waktu yang bersamaan atau pada satu saat, baik variabel independen maupun variabel dependen. Lokasi penelitian dilakukan di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian ini menggunakan sebagian data penelitian yang berjudul ”Efikasi Temulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb.) dengan bahan aktif Xanthorrhizol untuk meningkatkan Imunitas pada Orang Dewasa Obes”. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2010. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Contoh dalam penelitian ini adalah pegawai di lingkungan Kampus IPB. Pemilihan contoh dilakukan berdasarkan kriteria: pegawai IPB berstatus gizi normal (IMT 18.5–25.0 kg/m2) atau berstatus gizi obes (IMT 27.0-35.0 kg/m2). Metode pengambilan contoh dengan cara purposif dengan kriteria jenis kelamin pria atau wanita, berumur lebih dari 21 tahun dan bersedia menjadi contoh dalam penelitian ini. Penelitian payung mensyaratkan pada contoh berstatus gizi obes memiliki kadar gula darak kurang dari 200 mmHg. Pegawai rektorat IPB yang secara fisik terlihat obes dikumpulkan sebanyak 50 orang, kemudian dilakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan untuk dihitung nilai IMTnya. Selain pengukuran berat badan dan tinggi badan, dilakukan juga pengukuran kadar gula darah, kolesterol, dan asam urat. Contoh yang memenuhi kriteria adalah 26 orang dan terdapat satu orang yang tidak bersedia menjadi contoh dalam penelitian ini, sehingga jumlah contoh yang sesuai dengan kriteria dan bersedia menjadi contoh adalah 25 orang. Cara Pengambilan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer mencakup karakteristik individu (umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, tingkat pendidikan, pendapatan, faktor genetik, pengetahuan gizi dan besar keluarga), konsumsi serat (jumlah konsumsi dan frekuensi konsumsi sumber serat), konsumsi fast food (jenis fastfood dan frekuensi konsumsi) dan aktivitas fisik (lama aktivitas dan jenis aktivitas). Data tentang karakteristik individu, konsumsi serat, konsumsi fast food dan aktivitas fisik diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner.
25
Penilaian status gizi contoh ditentukan berdasar pengukuran berat badan dan tinggi badan. Pengukuran berat badan diukur menggunakan timbangan digital. Subjek berpijak pada timbangan dan pandangan lurus ke depan tanpa menggenggam atau menyentuh apapun, sepatu, tas, barang lain dilepas, kemudian angka penunjuk dibaca. Tinggi badan diukur menggunakan alat pengukur tinggi badan berkapasitas 200 cm. Subjek berdiri tegak tanpa sepatu sejajar alat pengukur, tumit, bokong dan kepala bagian belakang menempel ke dinding dalam sikap tegak memandang ke depan, kemudian alat pengukur ditahan sampai menyentuh kepala bagian atas kemudian skala dibaca. Data konsumsi serat diperoleh melalui metode recall 1x24 jam yang dilakukan dua kali pada hari yang berbeda yaitu pada hari kerja dan hari libur. Data konsumsi yang dikumpulkan berupa jenis makanan yang dimakan dan jumlah makanan (dalam URT) pada hari kerja dan hari libur. Data frekuensi konsumsi buah dan sayur selama satu bulan terakhir dikumpulkan menggunakan Food Frequency Questionnairre (FFQ). Data frekuensi fastfood selama satu bulan terakhir pun dikumpulkan menggunakan Food Frequency Questionnairre (FFQ). Data pengetahuan gizi contoh diperoleh dengan cara wawancara langsung kepada contoh berdasarkan kuesioner. Kuesioner pengetahuan gizi berisi 20 buah pertanyaan pilihan berganda dengan memilih jawaban yang paling benar. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan gizi seimbang (4 soal), fungsi zat gizi (4 soal), tanda-tanda obesitas (4 soal), faktor penyebab obesitas (4 soal), dan dampak obesitas (4 soal). Data aktivitas fisik diperoleh melalui metode recall 1x24 jam yang dilakukan dua kali pada hari yang berbeda yaitu pada hari kerja dan hari libur. Data aktivitas fisik yang dikumpulkan berupa jenis aktivitas yang dilakukan dan durasi waktu melakukan aktivitas dalam sehari. Cara pengambilan data dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Cara Pengambilan Data Data Karakteristik Contoh (Berat Badan, Tinggi Badan, Umur, Jenis Kelamin, Sosial Ekonomi) Pengetahuan Gizi Konsumsi Serat Konsumsi Buah dan Sayur Konsumsi Fast food Aktivitas Fisik
Cara Pengambilan Data Wawancara menggunakan kuesioner Wawancara menggunakan kuesioner Metode recall 1x24 jam yang dilakukan selama 2 hari (hari kerja dan hari libur) Food Frequency Quesioner Food Frequency Quesioner Metode recall 1x24 jam yang dilakukan selama 2 hari (hari kerja dan hari libur)
26
Pengolahan dan Analisa Data Data diolah baik secara manual maupun menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan SPSS version 16.0 for windows. Tahap pengolahan data adalah cleaning, editing, coding, dan processing. Penilaian status gizi contoh berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT). Contoh yang tergolong normal adalah contoh yang memiliki IMT 18.5-25.0 kg/m2 dan contoh yang tergolong obes adalah contoh yang memiliki IMT 27.0-35.0 kg/m2. Secara sederhana contoh dinilai status gizinya berdasarkan nilai IMT dengan rumus: IMT= Berat badan (kg)/Tinggi badan (m2) Data karakteristik contoh diolah dengan cara tabulasi. Data pengetahuan gizi dinilai berdasarkan jawaban yang paling benar. Setiap satu pertanyaan diberi nilai satu (1) bila jawaban benar dan skor nol (0) bila jawaban salah atau tidak memilih jawaban. Skor kemudian dijumlahkan dan dikategorikan baik, sedang, dan kurang. Pengetahuan gizi dikategorikan baik apabila skor yang diperoleh lebih dari 80% dari total skor, kategori sedang apabila skor yang diperoleh antara 60%-80% dari total skor, dan kategori kurang apabila skor yang diperoleh kurang dari 60% dari total skor (Khomsan 2000). Konsumsi serat pada hari kerja dan hari libur dihitung dengan mengacu daftar kadar serat makanan (Almatsier 2006). Frekuensi konsumsi buah dan sayur dikelompokkan menjadi >3kali/minggu, 1-2kali/minggu, dan <1 kali/minggu. Frekuensi
konsumsi
fastfood
dikelompokkan
menjadi
<7kali/minggu,
7kali/minggu, 3-6kali/minggu, 1-2kali/minggu, <1 kali/minggu. Tingkat aktivitas fisik dikategorikan menjadi empat, yaitu sangat ringan (PAL<1.40); ringan (1.4
sedang
(1.70
dan
berat
(2.00
Perbedaan antar variabel dianalisis dengan uji beda t-test (Independent t-test), sedangkan hubungan antar variabel dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Pearson dan uji korelasi Spearman. Tabel pengkategorian masing-masing variabel penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.
27
Tabel 5. Pengkategorian Masing-Masing Variabel Penelitian No. 1.
Umur
Variabel
2.
Pendidikan terakhir
3.
Pendapatan
4.
Besar Keluarga
5.
Faktor Genetik/Riwayat Obes pada Orangtua
6.
Pengetahuan Gizi
7.
Konsumsi Serat
8.
Frekuensi Konsumsi Buah dan sayur
9.
Frekuensi Konsumsi Fastfood
10.
Aktivitas Fisik
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Kategori 19-29 tahun 30-49 tahun 50-64 tahun Tidak sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi < 1 juta 1-1.9 juta 2-3.9 juta 4-6 juta > 6 juta < 4 orang > 4 orang Ayah Ibu Keduanya Tidak keduanya Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) <20 gram 20-35 gram >35 gram <3kali/minggu 1-2kali/minggu <1 kali/minggu <7kali/minggu 7kali/minggu 3-6kali/minggu 1-2kali/minggu <1 kali/minggu Sangat Ringan (PAL <1.40) Ringan (1.4≤PAL≤1.69) Sedang (1.70≤PAL≤1.99) Berat (2.00≤PAL≤2.39)
Sumber/keterangan Angka Kecukupan Gizi (2004) Sebaran Contoh
Sebaran contoh
BKKBN (1997) Sebaran Contoh
Khomsan (2000) Sebaran Contoh
Sebaran Contoh
Almatsier (2006)
FAO/WHO/UNU (2001)
28
Definisi Operasional Aktivitas fisik adalah jenis kegiatan fisik yang dilakukan bersamaan dengan hari pencatatan konsumsi makan 1x24 jam selama dua hari yang berbeda yaitu hari kerja dan hari libur. Besar keluarga adalah banyaknya individu yang tinggal bersama dalam satu atap dan bergantung pada sumber penghidupan yang sama. Faktor Genetik adalah faktor keturunan atau riwayat obes pada orangtua (ayah dan ibu). Fast food adalah makanan yang cepat saji dan praktis (ayam goreng, kentang goreng, burger, pizza, spaghetti dan lainnya) yang berasal dari restoranrestoran fast food : McDonald’s, Kentucky Fried Chicken (KFC), JCo, dll. Recall Makanan adalah konsumsi makan saat ini yang diketahui dengan pencatatan makanan 1x24 jam selama dua hari yang berbeda yaitu hari kerja dan hari libur. Konsumsi Pangan adalah jenis dan banyaknya makanan yang dikonsumsi oleh contoh. Konsumsi Serat Makanan adalah banyaknya serat makanan yang diperoleh dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari diyatakan dalam satuan gram/kapita/hari dan diukur dengan Food Recall 1x24 jam selama dua hari yang berbeda yaitu hari kerja dan hari libur. Obes adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak, yang berdasarkan standar WHO (2007), memiliki IMT lebih dari 27.0 kg/m2. Status gizi adalah keadaan gizi contoh yang diukur secara antropometri berdasarkan indikator berat badan dan tinggi badan dengan ambang batas IMT untuk Indonesia. Status gizi normal adalah keadaan gizi contoh dengan kategori IMT 18.5-25.0 kg/m2 Pendidikan adalah tingkat pendidikan formal yang telah diikuti oleh contoh meliputi tidak sekolah, tamat SD, tamat SLTP, tamat SMU, dan tamat perguruan tinggi. Pengetahuan gizi contoh adalah pemahaman contoh yang berkaitan dengan pola gizi seimbang.
29
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Individu Umur Umur merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktifitas seseorang (Khomsan et al. 2007). Orang yang mempunyai umur lebih muda cenderung memiliki produktifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang lebih tua. Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase terbesar contoh terdapat pada kisaran umur 30-49 tahun baik pada contoh obes (72%) maupun contoh normal (64%). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Kantachuvessiri et al. (2005), yang menyatakan bahwa pada umur 40-59 tahun seseorang cenderung obesitas dibandingkan dengan umur yang lebih muda. Hal ini diduga karena lambatnya metabolisme, kurangnya aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan yang lebih sering. Umur contoh normal antara 24 tahun hingga 54 tahun dengan rata-rata 36.0±9.0 tahun. Umur contoh obes antara 26 tahun hingga 53 tahun dengan rata-rata 42.8±7.4 tahun. Sebaran status gizi contoh berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 6 dibawah ini. Tabel 6. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Umur Obes No. 1. 2. 3.
Umur (Tahun) 19-29 30-49 50-64 Total Rata-rata±SD
n 2 18 5 25
Normal % 8 72 20 100
42.8±7.4
n 6 16 3 25
% 24 64 12 100 36.0±9.0
Jenis Kelamin Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, prevalensi obesitas pada perempuan lebih besar (26.9%) dibanding laki-laki (16.3%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar contoh adalah perempuan baik pada contoh obes (60%) maupun contoh normal (72%). Hal ini seiring dengan penelitian yang dilakukan oleh Gutierrez-Fisac et al. (2004) yang menyatakan bahwa prevalensi obesitas lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Janghorbani et al. (2007) juga menyatakan bahwa tingginya prevalensi obesitas pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki karena adanya perbedaan tingkat aktivitas fisik dan asupan energi pada laki-laki dan perempuan. Studi longitudinal pada Alumni Universitas Harvard menunjukkan bahwa pria setengah baya mempunyai rentang umur lebih panjang 40% apabila
30
badannya ramping dibandingkan yang berbadan gemuk. Badan ramping dan pengendalian konsumsi kalori umumnya berkaitan sangat erat. Pria-pria ramping ini juga berisiko terserang jantung 60% lebih kecil (Khomsan 2005). Tabel 7 menunjukkan sebaran status gizi contoh berdasarkan jenis kelamin. Tabel 7. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Jenis Kelamin Obes No. 1. 2.
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Total
n 10 15 25
Normal % 40 60 100
n 7 18 25
% 28 72 100
Pendidikan Pendidikan formal seseorang dapat mempengaruhi pengetahuan gizinya. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan formal yang tinggi dapat mempunyai pengetahuan yang tinggi pula (Pranadji 1988). Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa pendidikan terakhir contoh obes, memiliki persentase terbesar pada tingkat SMA (52%). Pendidikan terakhir contoh normal memiliki persentase terbesar pada tingkat Perguruan Tinggi (60%). Dari hal tersebut diketahui bahwa pendidikan terakhir contoh normal lebih tinggi dibandingkan contoh obes. Sebaran status gizi contoh berdasarkan pendidikan terakhir dapat dilihat pada Tabel 8 dibawah ini. Tabel 8. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Pendidikan Terakhir Obes No. 1. 2. 3. 4.
Pendidikan Terakhir SD SMP SMA Perguruan Tinggi Total
n 2 2 13 8 25
Normal % 8 8 52 32 100
n 0 1 9 15 25
% 0 4 36 60 100
Pendapatan Menurut Harper et al (1986), pendapatan seseorang atau keluarga akan menentukan daya beli terhadap pangan. Semakin meningkatnya pendapatan seseorang maka akan terjadi perubahan di dalam susunan menunya setiap hari. Tabel 9 menunjukkan sebaran status gizi contoh berdasarkan tingkat pendapatan. Persentase pendapatan contoh perbulan yang terbesar adalah pada kisaran 2-3.9 Juta rupiah baik pada contoh obes (56%) maupun contoh normal (48%). Sebaran status gizi contoh berdasarkan tingkat pendapatan dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah ini.
31
Tabel 9. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Tingkat Pendapatan Obes No. 1. 2. 3. 4. 5.
Pendapatan <1 Juta 1-1.9 Juta 2-3.9 Juta 4-6 Juta >6 Juta Total
n 4 6 14 1 0 25
Normal % 16 24 56 4 0 100
n 3 10 12 0 0 25
% 12 4 48 0 0 100
Besar Keluarga Menurut Sukarni (1989), besar keluarga akan mempengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga. Besar keluarga ditentukan dengan cara mendata jumlah anggota keluarga. Ukuran besarnya keluarga berkaitan erat dengan kejadian masalah gizi dan kesehatan. Tabel 10 menunjukkan sebaran status gizi contoh berdasarkan besar keluarga. Besar keluarga contoh dengan status gizi normal berkisar dari satu orang sampai tujuh orang dengan rata-rata 4.0±1.5 orang. Besar keluarga contoh dengan status gizi obes berkisar dari dua orang sampai enam orang dengan rata-rata 4.0±1.0 orang. Tabel 10 menunjukkan bahwa persentase terbesar terdapat pada besar keluarga yang terdiri dari <4 orang baik pada contoh obes (60%) maupun contoh normal (64%). Sebaran status gizi contoh berdasarkan besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 10 dibawah ini. Tabel 10. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Besar Keluarga Obes No. 1. 2.
Besar Keluarga <4 orang >4orang Total Rata-rata±SD
n 15 10 25
Normal % 60 40 100
n 16 9 25
4.0±1.0
% 64 36 100 4.0±1.5
Riwayat Obes pada Orangtua Faktor genetik atau riwayat obes pada orangtua berperan penting terhadap munculnya kegemukan pada seseorang. Jika kedua orangtua gemuk, risiko kegemukan pada anak-anaknya mencapai 80%. Namun, jika hanya satu orangtua yang gemuk, peluang anak-anaknya menjadi gemuk adalah sebesar 40% (Anwar & Khomsan 2009). Menurut Hidayati et al. (2006) jika keduaorangtua tidak obesitas, memiliki peluang sebesar 14%. Tabel 11 menunjukkan bahwa persentase terbesar riwayat obes adalah pada kelompok tidak keduanya baik pada contoh obes (52%) maupun contoh normal (92%). Dari hal tersebut dapat diartikan bahwa riwayat obes pada orangtua tidak selalu menentukan anak tersebut akan menjadi obes. Faktor
32
lingkungan yang berperan terhadap kejadian obesitas seseorang. Hal ini seiring dengan penelitian yang dilakukan Badan Internasional Obesity Task Force (IOTF) dari badan WHO yang mengurusi masalah kegemukan pada anak menyebutkan bahwa faktor genetik hanya berpengaruh 1% dari kejadian obesitas pada anak sedangkan 99% disebabkan oleh faktor lingkungan (Anonim 2007). Dari Tabel 11 juga menunjukkan bahwa contoh obes memiliki riwayat obes pada orangtua (ayah/ibu/keduanya) yang lebih besar yaitu 12 contoh dibandingkan dengan contoh normal yaitu dua contoh (ayah/ibu). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi nilai IMT (Indeks Massa Tubuh) contoh maka peluang contoh menjadi obes semakin tinggi. Sebaran status gizi contoh berdasarkan riwayat obes pada orangtua dapat dilihat pada Tabel 11 dibawah ini. Tabel 11.Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Riwayat Obes pada Orangtua Obes No. 1. 2. 3. 4.
Riwayat Obes Ayah Ibu Keduanya Tidak Keduanya Total
Normal
n 2 6 4 13 25
% 8 24 16 52 100
n 1 1 0 23 25
% 4 4 0 92 100
Pengetahuan Gizi Khomsan (2000) menyatakan bahwa pengetahuan gizi menjadi landasan penting
yang
menentukan
konsumsi
pangan
keluarga.
Individu
yang
berpengetahuan gizi baik akan mempunyai konsumsi pangan keluarga yang baik pula. Skor pengetahuan gizi contoh normal berkisar dari 30 sampai 100 dengan skor rata-rata 79.8±18.3. Skor pengetahuan gizi contoh obes berkisar dari 50 sampai 100 dengan skor rata-rata 83.4±13.0. Tabel 12 menunjukkan sebaran status gizi contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi. Tabel 12. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Tingkat Pengetahuan Gizi Obes No. 1. 2. 3.
Tingkat Pengetahuan Gizi Baik (>80%) Sedang (60-80%) Kurang (<60%) Total Rata-rata±SD
n 17 7 1 25
% 68 28 4 100 83.4±13.0
Normal n % 15 60 5 20 5 20 25 100 79.8±18.3
Dari Tabel 12 dapat diketahui bahwa pengetahuan gizi contoh dengan status gizi obes (68%) dan normal (60%) berada pada tingkat pengetahuan gizi baik. Sisanya contoh dengan status gizi obes termasuk pada tingkat pengetahuan gizi sedang yaitu 7 orang (28%) dan 1 orang contoh (4%) dengan tingkat pengetahuan gizi rendah. Berdasarkan uji beda t-test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0.427) antara contoh obes dan contoh normal.
33
Pada contoh dengan status gizi normal terdapat 5 orang contoh (20%) dengan tingkat pengetahuan gizi sedang dan rendah. Tabel 13 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan jawaban yang benar dari pertanyaan tentang pengetahuan gizi. Tabel 13. Sebaran Contoh berdasarkan Jawaban yang Benar dari Pertanyaan tentang Pengetahuan Gizi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Pengetahuan gizi Susunan menu gizi seimbang yaitu nasi, ikan, tempe, sayur kangkung, jeruk Fungsi makan pagi yang cukup bagi orang dewasa yaitu meningkatkan produktivitas kerja Dengan bertambahnya umur, kalori yang dikonsumsi sebaiknya dikurangi Sebelum membeli makanan kemasan, sebaiknya membaca label makanan terlebih dahulu Protein berfungsi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh Karbohidrat berfunsi sebagai sumber tenaga bagi tubuh Kalsium berfungsi membantu pembentukan tulang dan gigi Peranan lemak yaitu mempertahankan suhu tubuh pada keadaan suhu di luar tubuh rendah Tanda obesitas yaitu berat badan saat ini lebih berat dibandingkan berat idealnya Bagian tubuh yang menyimpan kelebihan lemak pada pria yaitu pinggang dan rongga perut Bagian tubuh yang menyimpan kelebihan lemak pada wanita yaitu pinggul dan paha Gejala fisik penderita obesitas yaitu perut menggantung ke bawah, lipatan kulit lebih tebal Faktor yang mempengaruhi terjadinya obesitas yaitu faktor genetik Penyebab internal obesitas yaitu permasalahan metabolisme (hormonal) Makanan yang dapat memicu terjadinya obesitas yaitu makanan tinggi lemak stres dapat menyebabkan seseorang makan berlebih Risiko kesehatan penderita obesitas yaitu cenderung lebih sering sakit Penyakit yang ditimbulkan oleh obesitas yaitu jantung Gangguan bernafas dialami oleh penderita obesitas Hal yang dialami oleh penderita obesitas ketika mengalami gangguan persendian yaitu nyeri pada sendi diikuti dengan pembengkakan
Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat
Obes (n=25)
Normal (n=25)
Total (n=50)
n 25
% 100
n 25
% 100
n 50
% 100
24
96
24
96
48
96
11
44
12
48
23
46
25
100
24
96
49
98
22
88
21
84
43
86
22
88
23
92
45
90
24
96
23
92
47
94
18
72
19
76
37
74
24
96
22
88
46
92
24
96
21
84
45
90
15
60
17
68
32
64
24
96
21
84
45
90
21
84
17
68
38
76
14
56
15
60
29
58
23
92
24
96
47
94
12
48
13
52
25
50
21
84
20
80
41
82
24
96
21
84
45
90
22
88
18
72
40
80
22
88
19
76
41
82
hasil persentase pertanyaan,
pertanyaan tentang kalori yang dikonsumsi ketika bertambah umur memiliki hasil yang rendah dibanding dengan pertanyaan lainnya yaitu 46%. Hal ini berarti masih kurangnya pengetahuan contoh tentang makanan yang dikonsumsi ketika umur bertambah. Contoh sebaiknya mengurangi makanan yang dikonsumsi
34
ketika umur contoh bertambah. Pada contoh obes dan normal, pertanyaan yang dapat dijawab dengan benar oleh semua contoh adalah pertanyaan tentang susunan menu yang bergizi seimbang. Hal ini dapat diketahui bahwa contoh mengetahui bahwa contoh susunan menu yang bergizi seimbang adalah nasi, ikan, tempe, sayur kangkung, dan jeruk. Selain itu, pertanyaan tentang hal yang dilakukan sebelum membeli makanan kemasan juga dapat dijawab dengan benar oleh seluruh contoh obes. Konsumsi Serat Serat pangan sempat cukup lama diabaikan sebagai faktor penting dalam gizi makanan. Hal ini mungkin disebabkan serat pangan tidak menghasilkan energi. Selain itu kekurangan serat tidak menimbulkan gejala spesifik seperti halnya yang terjadi pada kekurangan zat-zat gizi tertentu. Melalui penelitian epidemiologis telah dibuktikan peranan fisiologis serat pangan terhadap usus. Kurangnya konsumsi serat pangan dapat menyebabkan timbulnya “civilization western diseases” (penyakit ala masyarakat Barat) seperti penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi dan kanker usus (Astawan & Wresdiyati 2004). Konsumsi serat adalah asupan makanan dalam bentuk serat dengan memperhatikan aspek kuantitasnya. Aspek kuantitas berkaitan dengan jumlah zat gizi yang dianjurkan (Suhardjo 1989). Survei kuantitatif yang paling sering digunakan diantaranya adalah metode recall (mengingat). Tabel 14 menunjukkan sebaran status gizi contoh berdasarkan konsumsi serat per hari. Tabel 14. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Konsumsi Serat Per Hari No. 1 2 3
Konsumsi Serat/hari (g) < 20 20-35 > 35 Total Rata-rata±SD
Obes n 19 6 0 25
Normal % 76 24 0 100
14.9±7.4
n 24 0 1 25
% 96 0 4 100 13.4±6.4
Tabel 14 menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah pada konsumsi serat kurang dari 20 gram baik pada contoh obes (76%) dan contoh normal (96%). Rata–rata konsumsi serat contoh obes dan normal berturut-turut sebesar 14.9±7.4 gram dan 13.4±6.4 gram. Berdasarkan uji beda t-test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0.757) antara contoh obes dan contoh normal. Konsumsi serat pada masing-masing contoh tidah jauh berbeda dan masih jauh dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) serat yang dianjurkan yaitu 20-35
35
gram per hari (Devi 2010). Secara umum, contoh masih kurang mengonsumsi serat. Hal ini disebabkan contoh mengonsumsi buah dan sayur yang kurang pada setiap harinya, padahal buah dan sayur merupakan sumber serat pangan yang baik. Jahari dan Sumarno (2001) melaporkan bahwa rata-rata tingkat konsumsi serat penduduk Indonesia adalah 10.5 gram/orang/hari. Penelitian yang dilakukan di Bogor oleh
Amalia (2002) menemukan bahwa rata-rata
konsumsi serat di desa dan kota Bogor sebanyak 12.3 gram/kapita/hari. Diet yang tinggi kandungan seratnya lebih cepat menyebabkan rasa kenyang dan memperlama rasa kenyang tersebut. Hal ini akan menurunkan jumlah konsumsi energi sehingga akan mengurangi kemungkinan kelebihan energi di dalam tubuh. Adanya serat juga akan mengurangi penyerapan gizi sehingga akan mengurangi konsumsi energi ke dalam tubuh. Penelitian Southgate dan Durnin (1970) di Inggris dalam Astawan&Wresdiyati (2004) menunjukkan bahwa peningkatan kadar serat di dalam diet dapat menurunkan penyerapan energi secara nyata. Penelitian di India Selatan menunjukkan bahwa jumlah energi yang dapat diserap tubuh hanya sekitar 90% dari yang dikonsumsi, sedangkan energi yang terbuang melalui feses orang sehat rata-rata sekitar 250 kkal/hari. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan jumlah energi yang terbuang melalui feses orang-orang Barat yang hanya sekitar 100 kkal/hari. Tabel 15 menunjukkan perkiraan konsumsi serat pangan berdasarkan status gizi contoh. Tabel 15. Perkiraan Konsumsi Serat Pangan berdasarkan Status Gizi Contoh Bahan Pangan Beras Tepung-tepungan Kacang-kacangan Sayuran Buah-buahan
Obes Rata-rata(g/org)
Serat (g)
381.4 29.5 83.3 73.1 94.1
3.8 0.2 2.6 2.9 3.6
Normal Rata-rata(g/org) Serat (g) 367.2 43.2 94.2 68.2 87.6
3.7 0.3 1.9 2.8 3.6
Tabel 15 menunjukkan golongan bahan pangan beras, contoh obes mengonsumsi lebih banyak beras (nasi) yaitu sebesar 381.4 gram. Pada golongan bahan pangan tepung-tepungan, contoh normal mengonsumsi lebih banyak makanan yang berbahan dasar tepung yaitu sebesar 43.2 gram. Pada golongan bahan pangan kacang-kacangan, contoh normal pun mengonsumsi lebih banyak makanan yang berbahan dasar kacang-kacangan seperti kacang merah, kacang tanah, kacang kedelai, oncom, tempe dan tahu yaitu sebesar 43.2 gram. Pada golongan bahan pangan sayuran contoh obes lebih banyak mengonsumsi sayuran yaitu sebesar 73.1 gram. Pada golongan bahan pangan
36
buah-buahan, contoh obes pun lebih banyak mengonsumsi buah-buahan yaitu sebesar 94.1 gram. Dari Tabel menunjukkan bahwa golongan bahan pangan beras dan buah-buahan yang menyumbang paling banyak asupan serat pada contoh. Frekuensi Konsumsi Sumber Serat Pangan Frekuensi Konsumsi Nasi Nasi merupakan bahan pangan pokok bagi sekitar 90% penduduk Indonesia. Beras mengandung protein antara 40-80%. Kandungan beras dalam mengisi kandungan gizi tersebut semakin besar pada lapisam penduduk yang berpenghasilan rendah. Komposisi kimia beras berbeda-beda bergantung pada varietas dan cara pengolahannya. Selain sebagai sumber energi dan protein, beras juga mengandung berbagai unsur mineral dan vitamin. Sebagian besar karbohidrat beras adalah pati (85-90%) dan sebagian kecil adalah pentosan, selulosa, hemiselulosa, dan gula. Sebaran status gizi contoh berdasarkan frekuensi konsumsi nasi dapat dilihat pada Tabel 16 dibawah ini. Tabel 16. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Frekuensi Konsumsi Nasi Jenis Pangan Nasi
Obes Jumlah yang mengonsumsi (%) 100
Rata-rata frekuensi (kali/minggu) 14.8
Normal Jumlah yang Rata-rata mengonsumsi frekuensi (%) (kali/minggu) 100 17.4
Tabel 16 menunjukkan bahwa contoh obes mengonsumsi nasi sebanyak 14.8 kali per minggu sedangkan contoh normal mengonsumsi nasi sebanyak 17.4 kali per minggu. Ini dapat diartikan bahwa frekuensi konsumsi nasi per minggu nya lebih tinggi pada contoh normal dibandingkan dengan contoh obes. Hal ini disebabkan contoh obes telah menyadari berat badan contoh lebih dari normal sehingga contoh membatasi konsumsi nasi. Beras giling (nasi) mempunyai kadar serat sebesar 1 gram untuk ¾ gelas atau 100 gram (Almatsier 2006). Frekuensi Konsumsi Kacang-kacangan Kacang-kacangan seperti kedelai, kacang hijau, kacang merah, kacang gude, kacang kara, umumnya dikenal sebagai sumber protein. Kacang-kacangan dalam bentuk kering atau hasil olahannya, walaupun mengandung protein dengan nilai biologi sedikit lebih rendah daripada lauk hewani karena mengandung lebih sedikit asam amino esensial metionin, merupakan sumber protein yang baik. Disamping itu, kacang-kacangan kaya akan vitamin B,
37
kalsium, fosfor, zat besi, mangan, seng, tembaga, dan kalium. Kandungan serat yang tinggi dalam kacang-kacangan dihubungkan dalam pencegahan penyakitpenyakit jantung koroner, divertikular, apendisitis, kanker usus besar dan diabetes mellitus. Kacang-kacangan dan biji-bijian juga merupakan sumber serat pangan yang sangat potensial, terutama jika dikonsumsi dalam keadaan utuh. Pengolahan kacang-kacangan menjadi tepung tentu akan mengurangi kadar seratnya karena sebagian serat terdapat pada bagian kulit yang terbuang pada proses penepungan ( Astawan & Wresdiyati 2004). Porsi lauk nabati yang dianjurkan sehari untuk orang dewasa sebanyak 100-150 gram atau 4-6 potong tempe sehari. Tempe dapat diganti dengan tahu atau kacang-kacangan kering (Almatsier 2001). Sebaran status gizi contoh berdasarkan frekuensi konsumsi kacang-kacangan dapat dilihat pada Tabel 17 dibawah ini. Tabel 17. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Frekuensi Konsumsi Kacangkacangan Jenis Pangan Tempe Tahu Kc. Merah Kc. Hijau Kc. Tanah
Obes Jumlah yang mengonsumsi (%) 100 100 28 12 28
Rata-rata frekuensi (kali/minggu) 3.3 3.1 1.4 1.3 1.6
Normal Jumlah yang Rata-rata mengonsumsi frekuensi (%) (kali/minggu) 100 3.5 100 3.3 24 2.1 16 1.5 36 2.1
Tabel 17 menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi tempe pada contoh normal lebih besar (3.5 kali/minggu) dibandingkan dengan contoh obes yaitu (3.3 kali/minggu). Tempe mempunyai kadar serat sebesar 3.5 g untuk dua potong sedang atau 50 gram (Almatsier 2006). Frekuensi konsumsi tahu pada contoh obes sebanyak 3.1 kali/minggu dan contoh normal 3.3 kali/minggu. Tahu mempunyai kadar serat sebesar 0.555 g untuk satu biji besar atau 110 gram (Almatsier 2006). Frekuensi konsumsi kacang merah pada contoh obes sebanyak 1.4 kali/minggu dan contoh normal 2.1 kali/minggu. Konsumsi kacang merah pada contoh normal lebih besar daripada contoh obes. Kacang merah mempunyai kadar serat sebesar 4 g untuk dua sendok makan atau 20 gram (Almatsier 2006). Frekuensi konsumsi kacang hijau pada contoh obes sebanyak 1.3 kali/minggu dan contoh normal 1.5 kali/minggu. Kacang hijau mempunyai kadar serat sebesar 7.5 g untuk dua sendok makan atau 20 gram (Almatsier 2006)
38
Frekuensi konsumsi kacang tanah pada contoh obes sebanyak 1.6 kali/minggu dan contoh normal 2.1 kali/minggu. Kacang tanah mempunyai kadar serat sebesar 2.175 g untuk dua sendok makan atau 15 gram (Almatsier 2006) Frekuensi Konsumsi Buah dan Sayur Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber zat gizi dan zat-zat non gizi yang keduanya berperan penting bagi kesehatan tubuh. Sebagai sumber zat gizi, sayuran dan buah-buahan berperan dalam mengatur pertumbuhan, pemeliharaan, dan penggantian sel-sel pada tubuh manusia. Belakangan ini peranan zat-zat non gizi pada sayuran dan buah-buahan menjadi semakin penting dalam pencegahan dan pengobatan berbagai macam penyakit (Astawan 2004). Mengonsumsi sayuran dan buah-buahan sangat perlu dilakukan untuk meraih tingkat kesehatan yang optimal. Pentingnya sayuran dan buah-buahan, sehingga WHO (World Health Organization) dan para ahli gizi di Amerika Serikat menganjurkan agar paling sedikit mengonsumsi tiga porsi sayuran dan dua porsi buah-buahan setiap harinya (Astawan & Wresdiyati 2004). Konsumsi buah dan sayur sangat penting dalam pola makan seimbang. Hal ini disebabkan buah dan sayur
mengandung
vitamin
dan
mineral,
serat
makanan,
dan
zat-zat
phytochemical yang diperlukan tubuh (Sekarindah & Rozaline 2006). Menurut penelitian, konsumsi sayuran dan buah-buahan di Indonesia meningkat rata-rata 3.9% per tahun selama periode 1995-2010. Hal ini menggambarkan, secara tidak langsung
adanya
peningkatan
kesadaran
masyarakat
akan
pentingnya
mengonsumsi sayur dan buah yang bermanfaat bagi kesehatan (Kusumo 2010). Analisis kuantitatif didasarkan atas kelompok buah dan sayur serta frekuensi konsumsinya perminggu. Frekuensi Konsumsi Buah Komponen terbesar buah-buahan adalah air. Oleh karena itu, kandungan serat pangan dalam buah-buahan lebih rendah. Komponen terbesar dari serat pangan pada buah-buahan adalah senyawa pektin dan lignin. Selain sebagai sumber serat pangan, buah-buahan juga merupakan sumber vitamin yang sangat baik (khususnya vitamin B dan C) dan mineral (Astawan & Wresdiyati 2004). Mengonsumsi buah-buahan merupakan salah satu kebiasaan yang menyenangkan sekaligus menyehatkan. Banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dari konsumsi buah-buahan setiap harinya (Kusumo 2010).
39
Tabel 18 menunjukkan bahwa persentase konsumsi apel terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (32%) maupun contoh normal (28%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien apel adalah provitamin A (karotenoid), vitamin B, dan vitamin C; mineral besi, kalsium, fosfor, dan potassium/kalium; ellagic acid,caffeic acid, dan khlorogenic acid (antikanker); pektin; serta serat (Wirakusumah 2010). Buah apel mempunyai kadar serat sebesar 1.275 g untuk 1 buah apel berukuran kecil atau 85 gram (Almatsier 2006). Buah apel juga mengandung fitokimia, yaitu suatu antioksidan untuk melawan radikal bebas yang berasal dari polusi. Zat ini juga berfungsi mengurangi kadar kolesterol jahat (LDL) yang menyebabkan penyumbatan pembuluh darah (Kusumo 2010). Penelitian oleh beberapa ahli dari Cornell University menunjukkan bahwa hanya buah apel yang memiliki kandungan quercetin. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa (ekstrak) apel segar mampu menyediakan antioksidan yang setara dengan 1500 mg vitamin C (Kusumo 2010). Manfaat dari buah apel adalah menurunkan kadar kolesterol darah, menurunkan tekanan darah tinggi, menstabilkan gula darah, mengurangi nafsu makan, membunuh virus infeksi, meningkatkan kolesterol baik (HDL), memperlancar sistem pencernaan, mempertahankan kesehatan urat saraf dan sebagai antikanker (Wirakusumah 2010). Sebaran status gizi contoh berdasarkan frekuensi konsumsi buah-buahan dapat dilihat pada Tabel 18 dibawah ini. Tabel 18. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Frekuensi Konsumsi Buahbuahan. Buah Obes - Apel - Mangga - Pisang - Jeruk - Pepaya Normal - Apel - Mangga - Pisang - Pir - Jeruk
< 1 Kali n %
Frekuensi Per Minggu 1-2 Kali < 3 Kali n % n %
Total n
%
4 4 3 3 2
16 16 12 12 8
7 4 10 10 9
28 16 40 40 36
0 4 2 4 1
0 16 8 16 4
11 12 15 17 12
44 48 60 68 48
3 0 2 0 2
12 0 8 0 8
8 6 3 4 10
32 24 12 16 40
5 3 4 3 5
20 12 16 12 20
16 9 9 7 17
64 36 36 28 68
Persentase konsumsi mangga terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (24%) maupun contoh normal (16%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien buah mangga adalah vitamin C, provitamin A
40
(karotenoid),
vitamin
E,
dan
niasin;
mineral
fosfor,
kalsium,
dan
potassium/kalium; flavonoid; serta serat (Wirakusumah 2010). Kandungan serat dalam buah mangga sebesar 2.2 g untuk 1 buah mangga berukuran sedang atau 90 gram (Almatsier 2006). Di dalam mangga terkandung kalium dengan kadar yang cukup tinggi (189mg/100 gram). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa jika seseorang menambahkan sepotong buah tinggi kalium ke dalam pola makan sehari-hari, maka risiko terkena stroke fatal dapat dikurangi sebesar 40% (Kusumo 2010). Manfaat dari mangga adalah sebagai desinfektan bagi tubuh dan membersihkan darah; menurunkan panas tubuh; menghilangkan bau tubuh; sebagai antikanker dan antioksidan; serta memperlancar saluran pencernaan dan mencegah konstipasi (Wirakusumah 2010). Persentase terbesar konsumsi pepaya pada contoh normal adalah konsumsi sebanyak 7 kali/minggu (8%) dan 3-6 kali/minggu (8%). Persentase terbesar konsumsi buah pepaya pada contoh obes adalah konsumsi selama 1-2 kali/minggu (36%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien pepaya adalah provitamin A dan vitamin C; mineral besi, potassium/kalium, dan magnesium; flavonoid; enzim papain; dan serat. Kandungan serat pada buah pepaya sebesar 4.75 gram untuk 1 potong berukuran sedang atau 110 gram (Almatsier 2006). Manfaat dari buah pepaya adalah sebagai antioksidan dan antikanker, memperlancar saluran pencernaan dan mencegah konstipasi, membantu pemecahan serat makanan sehingga feses lebih mudah dikeluarkan, dan menyembuhkan luka, infeksi, dan alergi (Wirakusumah 2010). Persentase konsumsi pisang terbesar pada contoh normal yaitu 12% pada kategori 3-6 kali/minggu dan 1-2 kali/minggu. Persentase terbesar pada contoh obes yaitu sebesar 40% pada kategori 1-2 kali/minggu. Kandungan zat gizi dan fitonutrien pisang adalah karbohidrat dalam bentuk pati dan gula; provitamin A (karotenoid), asam folat, vitamin B2 (riboflavin), dan vitamin C; mineral besi, potasium/kalium, dan magnesium; dan pektin. Kandungan serat pada buah pisang sebesar 1.4 gram untuk 2 buah pisang berukuran kecil atau 50 gram (Almatsier 2006). Manfaat buah pisang adalah memperlancar saluran pencernaan dan mencegah konstipasi, mengurangi asam lambung dan mengobati gangguan lambung, sebagai antioksidan dan antikanker, menurunkan kadar kolesterol dalam darah, baik untuk darah dan jantung, dan menjaga keseimbangan air di dalam tubuh (Wirakusumah 2010).
41
Konsumsi buah pir terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (16%) maupun contoh normal (16%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien buah pir adalah gula dalam bentuk fruktosa; vitamin C, provitamin A (karotenoid), dan asam folat; mineral besi, potassium/kalium, dan tembaga; dan serat. Kandungan serat buah pir sebesar 11.05 gram untuk ½ buah pir berukuran sedang (Almatsier 2006). Manfaat buah pir adalah menurunkan demam, melancarkan saluran pencernaan dan mencegah konstipasi, mengencerkan dan menghilangkan dahak, dan sebagai antioksidan (Wirakusumah 2010). Persentase konsumsi buah jeruk terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (40%) maupun contoh normal (40%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien buah jeruk adalah provitamin A, vitamin C, vitamin B1, vitamin B2, dan asam folat; mineral besi, kalsium, fosfor, dan potassium/kalium; dan flavonoid, coumarin, dan pektin. Kandungan serat buah jeruk sebesar 0.275 gram untuk 2 buah jeruk berukuran sedang atau 110 gram (Almatsier 2006). Manfaat buah jeruk adalah meningkatkan kekebalan tubuh, sebagai antioksidan dan antikanker, memerangi infeksi, menurunkan kadar kolesterol, mencegah dan mengobati sariawan, dan mengobati demam (Wirakusumah 2010). Frekuensi Konsumsi Sayur Kandungan serat pangan pada sayuran lebih tinggi dibandingkan buahbuahan. Kadar serat pangan pada sayuran berkisar antara 2-3 gram per 100 gram. Sebagian besar serat pangan dalam sayuran larut dalam air sehingga konsumsi serat pangan dalam bentuk sayuran segar (seperti lalapan) lebih efisien dibandingkan konsumsi serat pangan dalam sayuran olahan (seperti sayuran kaleng). Kandungan serat pangan pada bahan-bahan tersebut sangat bervariasi, dipengaruhi oleh tingkat kematangan bahan, varietas, dan cara pengolahan. Seperti halnya buah-buahan, sayuran juga merupakan sumber vitamin dan mineral yang sangat baik (Astawan & Wresdiyati 2004). Sebaran status gizi contoh berdasarkan frekuensi konsumsi pangan jenis sayuran dapat dilihat pada Tabel 19 dibawah ini.
42
Tabel 19. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Frekuensi Konsumsi Sayuran Sayur Obes - Kangkung - Bayam - Wortel - Buncis - Kol Normal - Kangkung - Bayam - Wortel - Buncis - Kc.Panjang
< 1 Kali n %
Frekuensi Per Minggu 1-2 Kali < 3 Kali n % n %
Total n
%
0 1 0 0 0
0 4 0 0 0
11 15 20 17 11
44 60 80 68 44
1 1 2 2 2
4 4 8 8 8
12 17 22 19 13
48 68 88 76 52
0 2 0 0 0
0 8 0 0 0
12 10 12 14 10
48 40 48 56 40
1 6 7 2 2
4 24 28 8 8
13 18 19 16 12
52 72 76 64 48
Tabel 19 menunjukkan bahwa persentase konsumsi wortel terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (80%) maupun contoh normal (48%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien wortel adalah provitamin A (karotenoid); mineral kalsium, fosfor, dan potassium/kalium; caumarin dan lutein; serta serat (Wirakusumah 2010). Kandungan serat wortel sebesar 3 gram untuk ½ gelas wortel atau 50 gram (Almatsier 2006). Diantara jenis sayuran lain, kandungan beta karoten dalam wortel adalah yang tertinggi, yaitu rata-rata 12.000 IU, sedangkan kebutuhan tubuh akan beta karoten per hari, menurut para ahli, adalah 15.000-25.000 IU (Kusumo 2010). Manfaat wortel adalah menurunkan
kolesterol
darah,
baik
untuk
kesehatan
mata
(mencegah
xeropthalmia), memperlancar saluran pencernaan dan mencegah konstipasi, meningkatkan ketahanan tubuh terhadap penyakit infeksi, sebagai antikanker, menjaga kesehatan hati, dan menurunkan tekanan darah (Wirakusumah 2010). Persentase konsumsi kangkung terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (44%) maupun contoh normal (48%). Kangkung berfungsi sebagai penenang (sedatif) dan mampu membawa zat gizi ke saluran pencernaan. Itulah sebabnya, tanaman ini mempunyai kemampuan menetralkan racun di dalam tubuh. Selain mengandung vitamin A, vitamin B1 dan vitamin C, kangkung juga mengandung protein, kalsium, fosfor, zat besi, karoten, hentriakontan dan sitosterol. Di Filipina, kangkung biasa digunakan untuk menyembuhkan sembelit dan obat bagi mereka yang sedang melakukan diet. Akar kangkung juga berguna untuk mengobati penyakit wasir. Kandungan serat kangkung sebesar 2 gram untuk 1 gelas kangkung atau 100 gram (Almatsier 2006). Manfaat lain dari kangkung adalah mengurangi nyeri saat haid, menghentikan
mimisan,
mengatasi
sakit
kepala,
mengatasi
ambeien,
43
melancarkan air seni, mengurangi ketombe, mengatasi gusi bengkak, dan mengatasi eksim (Kusumo 2010). Konsumsi bayam terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (60%) maupun contoh normal (40%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien bayam adalah provitamin A (karotenoid), vitamin C, dan asam folat; mineral besi, kalsium, potassium/ kalium, dan mangan; serta klorofil dan saponin (Wirakusumah 2010). Kandungan serat bayam sebesar 2.45 gram untuk ¾ gelas bayam atau 75 gram (Almatsier 2006). Zat besi yang terkandung dalam bayam memiliki peran langsung dan penting untuk mengatasi kelelahan. Terkait dengan zat besi, bayam juga merupakan sumber vitamin C, yang terlibat dalam penyerapan zat besi oleh tubuh (Kusumo 2010). Manfaat bayam adalah baik untuk kesehatan sistem pencernaan, menurunkan risiko serangan kanker, sebagai antidiabetes, menurunkan berat tubuh, menurunkan kolesterol darah, dan mencegah anemia (Wirakusumah 2010). Konsumsi kol terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (44%) maupun contoh normal (36%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien kol adalah provitamin A, vitamin C, vitamin E, vitamin B1, dan vitamin B2; mineral kalsium, potassium/kalium, klor, yodium, fosfor, sodium, dan sulfur; klorofil,
flavonoid,
fenol,
coumarin,
dan
glutamin;
selulosa
dan
serat
(Wirakusumah 2010). Kandungan serat kol sebesar 4.725 gram untuk ¾ gelas atau 75 gram (Almatsier 2006). Manfaat kol adalah menghambat pertumbuhan tumor, mencegah kanker usus dan lambung, melumpuhkan racun-racun aditif yang berbahaya, membantu melenyapkan alkohol dalam darah, memperlancar saluran pencernaan dan mencegah konstipasi, menurunkan kolesterol darah, mencegah terjadinya penyakit jantung koroner, menekan timbulnya infeksi, membantu dalam pengendalian diabetes dan stimulant estrogen (Wirakusumah 2010). Di beberapa negara, kacang panjang digunakan untuk mengobati rematik, arthritis, dan gangguan saluran kemih. Sayuran ini berkhasiat untuk menjaga kulit dari gangguan jerawat, membantu pemulihan luka bakar, peluruh air seni, mengatasi diare, eksim, gangguan ginjal, gatal-gatal. Kandungan gizi kacang panjang adalah vitamin A, vitamin B1, vitamin B2 dan vitamin C, protein, tiamin, riboflavin, fosfor, zat besi, potassium folat, magnesium, mangan, kalori, sodium, karbohidrat, kalsium. Sayuran ini berguna untuk mengendalikan kadar gula darah, mengatasi hipertensi, memperkecil risiko stroke dan serangan
44
jantung, meningkatkan fungsi organ pencernaan, menurunkan risiko kanker dan membantu mengatasi sembelit serta memiliki sifat diuretik (peluruh kencing) tingkat sedang. Dalam 100 gram kacang panjang mengandung 45 kkal, kalsium 49 mg, fosfor 34 mg, zat besi 0.8 mg, karotenoid 422 mcg, dan vitamin C 21 mg. Kandungan serat kacang panjang tergolong tinggi maka baik dikonsumsi oleh penderita diabetes. Kandungan serat kacang panjang sebesar 3.74 gram untuk ¾ gelas atau 75 gram (Almatsier 2006). Manfaat lain kacang ini adalah untuk melancarkan
buang
air
(Sekarindah&Rozaline 2006).
besar
dan
menurunkan
kadar
kolesterol
Persentase konsumsi kacang panjang terbesar
terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (44%) maupun contoh normal (40%). Persentase konsumsi buncis terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (68%) maupun contoh normal (56%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien buncis adalah provitamin A (karotenoid), vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin C; mineral potassium, fosfor, dan sodium; gum guar dan pektin; enzim protease inhibitor, dan serat (Wirakusumah 2010). Kandungan serat buncis sebesar 6.65 gram untuk ½ gelas atau 50 gram (Almatsier 2006). Manfaat buncis adalah menurunkan kolesterol darah, menurunkan tekanan darah, mengontrol insulin dan gula darah, memperlancar saluran pencernaan dan mencegah konstipasi, mencegah kanker usus besar dan kanker payudara, mencegah hemorrhoid dan masalah pencernaan lainnya, mengobati tukak lambung, dan pembentuk otot (Wirakusumah 2010). Konsumsi Fast food Fast food sudah merambah ke negara-negara Asia termasuk Indonesia. Makanan ini banyak digemari oleh dewasa bahkan remaja dan anak-anak. Selain memiliki rasa yang enak, iklan yang gencar, fast food juga mulai menjadi tren sendiri di kalangan kita. Di Amerika, kejadian obesitas meningkat bersamaan dengan makin maraknya fast food di negara tersebut. Jenis-jenis fastfood yang sering dijumpai adalah pizza, burger, hotdog, kentang goreng (fried fries), ayam goreng (fried chicken), chicken nugget (Freitag 2010). Tabel 20 menunjukkan persentase terbesar konsumsi semua jenis fast food kecuali chicken nugget terdapat pada kategori kurang dari 1 kali/minggu baik pada contoh obes maupun contoh normal. Pada konsumsi chicken nugget hanya terdapat satu orang contoh dengan status gizi normal selama 3-6
45
kali/minggu. Berdasarkan uji beda t-test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0.741) antara contoh obes dan contoh normal. Daging ayam yang telah menjadi chicken nugget dapat jauh berbeda dengan daging ayam biasa. Sepotong daging ayam bagian dada yang telah digoreng dan siap makan, setiap 100 gramnya mengandung energi sebanyak 187 kkal, sedangkan ayam yang sudah menjadi chicken nugget dan telah digoreng memiliki kandungan energi mencapai 334 kkal atau hampir mencapai 2 kali lipatnya. Selain itu, terdapat fakta bahwa asam lemak jenuhnya dapat meningkat dari 1.29 gram menjadi 4.94 gram. Hal ini merupakan suatu penambahan yang tidak sedikit bahkan sangat berbahaya bagi kesehatan karena asam lemak jenuh yang tinggi tidak baik bagi jantung (Freitag 2010). Sebaran status gizi contoh berdasarkan frekuensi konsumsi fast food dapat dilihat pada Tabel 20 dibawah ini. Tabel 20. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Frekuensi Konsumsi Fast food Jenis Fast food
Fried chicken Pizza Spaghetti Fried fries Hamburger Chicken nugget
Obes Jumlah yang Rata-rata mengonsumsi frekuensi (%) (kali/minggu) 48 0.8 16 2 8 0.5 20 1.1 4 0.5 4 0.5
Normal Jumlah yang Rata-rata mengonsumsi frekuensi (%) (kali/minggu) 40 1.3 28 0.8 40 1.1 32 0.5 16 0.9 -
Tabel 20 menunjukkan bahwa jumlah yang mengonsumsi fried chicken pada contoh obes lebih banyak (48%) jika dibandingkan dengan contoh normal (40%). Frekuensi konsumsi fried chicken contoh tidak berbeda jauh (0.8 kali/minggu dan 1.3 kali/minggu). Jumlah yang mengonsumsi pizza pada contoh normal lebih banyak (28%) jika dibandingkan dengan contoh obes (16%), tetapi frekuensi konsumsi pizza pada contoh obes lebih sering (2 kali/minggu) dibandingkan dengan contoh normal (0.8 kali/minggu). Frekuensi konsumsi spaghetti pada contoh normal adalah 1.1 kali/minggu dan
contoh obes 0.5
kali/minggu. Jumlah yang mengonsumsi spaghetti pada contoh normal lebih banyak (40%) jika dibandingkan dengan contoh obes (8%). Jumlah yang mengonsumsi fried fries pada contoh normal lebih banyak (32%) jika dibandingkan dengan contoh obes (20%), tetapi frekuensi konsumsi fried fries pada contoh obes lebih sering (1.1 kali/minggu) dibandingkan dengan contoh normal (0.5 kali/minggu). Frekuensi konsumsi hamburger pada contoh
46
normal adalah 0.9 kali/minggu dan contoh obes 0.5 kali/minggu. Jumlah yang mengonsumsi hamburger pada contoh normal lebih banyak (16%) jika dibandingkan dengan contoh obes (4%). Chicken nugget hanya dikonsumsi oleh contoh obes yaitu sebanyak 0.5 kali/minggu oleh satu orang contoh (4%). Berdasarkan uji beda t-test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,741) antara contoh obes dan contoh normal. Sebuah penelitian di Amerika Serikat yang diikuti oleh 6212 anak dan remaja yang berumur antara 4 hingga 19 tahun, menunjukkan bahwa terdapat 30% lebih yang mengonsumsi makanan fast food. Berdasarkan penelitian ini, anak yang mengonsumsi fast food ternyata juga memperoleh energi 187 kkal lebih tinggi, lemak 9 gram lebih tinggi, karbohidrat 24 gram lebih tinggi, gula 26 gram lebih tinggi, minuman dengan gula 228 gram lebih banyak, serat 26 gram lebih sedikit, susu 65 gram lebih sedikit, sayur dan buah 45 gram lebih sedikit (Freitag 2010). Penelitian ini telah membuktikan bahwa orang yang sering mengonsumsi fast food akan lebih banyak mendapatkan energi tetapi tidak mendapatkan zat gizi lainnya. Hal ini menjadi alasan fast food sering dikatakan makanan yang tidak bergizi dan sering dikatakan sebagai junk food atau makanan tidak bermutu. Di dalam fast food, terdapat kalori dalam jumlah tinggi, lemak dan gula sederhana yang mampu meningkatkan risiko untuk menjadi gemuk bahkan obesitas. Selain itu, kandungan vitamin yang seharusnya ada di dalam sayur dan buah menjadi lebih jarang dikonsumsi oleh penikmat fast food (Freitag 2010). Aktivitas Fisik Perkembangan peradaban manusia menuju ke semakin dominannya pekerjaan mental daripada pekerjaan fisik mengakibatkan kurang gerak dan kelebihan berat badan, serta gangguan metabolisme (Indriati 2010). Pengaruh aktivitas fisik yang rendah terhadap obesitas telah banyak dibuktikan dari berbagai macam penelitian. Dengan semakin majunya teknologi yang diciptakan manusia, kebutuhan manusia untuk melakukan aktivitas fisik berkurang secara drastis (Freitag 2010). Tabel 21 menunjukkan sebaran status gizi contoh berdasarkan tingkat aktivitas fisik.
47
Tabel 21. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Tingkat Aktivitas Fisik Obes No. 1. 2. 3. 4.
Kategori Tingkat aktivitas Fisik Sangat Ringan (<1.40) Ringan (1.4-1.69) Sedang (1.70-1.99) Berat (2.00-2.39) Total Rata-rata±SD
Normal
n
%
n
%
14 11 0 0 25
56 44 0 0 100
9 16 0 0 25
36 64 0 0 100
1.4±0.1
1.4±0.1
Tabel 21 menunjukkan bahwa pada contoh obes mempunyai tingkat aktivitas fisik yang sangat ringan (56%). Pada contoh normal, persentase terbesar adalah kategori tingkat aktivitas fisik yang ringan (72%). Contoh obes maupun normal mempunyai rata-rata tingkat aktivitas fisik sebesar 1.4±0.1 Ratarata tingkat aktivitas fisik pada contoh tergolong sama. Hal ini disebabkan contoh obes dan normal mempunyai kegiatan pekerjaan yang hampir sama. Berdasarkan uji beda t-test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,427) antara contoh obes dan contoh normal. Tabel 22 menunjukkan sebaran alokasi waktu contoh berdasarkan jenis dan lama kegiatan. Tabel 22. Alokasi Waktu Contoh berdasarkan Jenis dan Lama Kegiatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Jenis Kegiatan Tidur Mandi/berpakaian/berdandan Makan Pekerjaan Rumah Tangga Ibadah/sholat Bekerja di kantor Naik mobil/bus/angkot Mengendarai mobil Mengendarai motor Berjalan tanpa beban Kegiatan waktu luang Olahraga Duduk Pekerjaan pertanian Berdiri membawa beban Mengasuh anak
Alokasi waktu (Jam) Obes
Normal
6.6 0.6 0.7 0.7 0.8 4.5 0.3 0.2 0.4 0.9 4.5 0.0 3.5 0.1 0.1 0.0
7.1 0.9 1.1 1.5 1.2 4.2 0.5 0.0 0.2 0.2 5.4 0.2 1.2 0.1 0.0 0.1
Tabel 22 menunjukkan bahwa waktu tidur tidak jauh berbeda antara contoh obes (6.6 jam) dan contoh normal (7.1 jam). Perbedaan waktu tidur contoh selama 0.5 jam. Tubuh memerlukan istirahat yang cukup, artinya tidak berlebihan dan kekurangan. Menurut Astawan (2008), kebutuhan tidur bervariasi
48
pada masing-masing orang, umumnya 6-8 jam perhari. Perbedaan alokasi waktu yang digunakan adalah ketika melakukan duduk, contoh obes selama 3.5 jam sedangkan contoh normal selama 1.2 jam, terdapat perbedaan 2.2 jam antara keduanya. Perbedaan alokasi waktu juga terdapat pada kegiatan waktu luang, contoh dengan status gizi obes selama 4.5 jam sedangkan contoh dengan status gizi normal selama 5.4 jam, terdapat perbedaan 0.8 jam diantara keduanya. Menonton televisi merupakan salah satu dari kegiatan waktu luang contoh. Kebiasaan menonton televisi sambil ngemil juga harus dikurangi. Umumnya, snack menjadi makanan selingan yang sering dikonsumsi secara berlebihan pada saat menonton televisi. Kegiatan menonton televisi yang termasuk dalam aktivitas ringan harus selalu diimbangi dengan aktivitas fisik lain yang bersifat lebih mengeluarkan energi. Oleh karena itu, sebaiknya, melakukan olahraga tiga kali seminggu masing-masing selama 50-60 menit (Anwar & Khomsan 2009). Hubungan Antar Variabel Tingkat konsumsi serat pangan sangat bervariasi antar negara, antar daerah, antar musim, dan antar individu. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi lingkungan, kemampuan daya beli, jenis kelamin dan pola makan masyarakat. Tabel 23 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji korelasi Pearson, umur contoh tidak memiliki hubungan dengan konsumsi serat contoh (r=0.167 p=0.248). Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambahnya umur contoh tidak mengggambarkan konsumsi serat mencukupi setiap harinya. Tabel 23 menunjukkan hubungan umur dengan variabel lain. Tabel 23. Hubungan Umur dengan Variabel Lain Variabel Lain Konsumsi serat Aktivitas Fisik Konsumsi Fast food
r 0.167 0.033 0.091
p 0.248 0.821 0.529
Menurut Astawan dan Wresdiyati (2004), faktor umur pada kaum pria tidak berpengaruh terhadap jumlah konsumsi serat pangan. Namun, pada wanita yang lebih muda tingkat konsumsi serat pangannya lebih tinggi jika dibandingkan wanita yang lebih tua. Perbedaan ini dapat dilihat pada wanita muda Parahiyangan yang gemar mengonsumsi lalap dalam jumlah yang cukup besar. Pada umur lanjut konsumsi serat akan semakin menurun karena perubahan susunan gigi-geligi yang mempengaruhi proses pengunyahan dan pencernaan makanan. Tabel 23 juga menunjukkan bahwa umur contoh tidak memiliki
49
hubungan yang signifikan dengan aktivitas fisik contoh (r=0.033 p=0.821). Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambahnya umur tidak menggambarkan aktivitas fisik contoh akan mengalami peningkatan. Semakin bertambahnya umur contoh, diduga erat kaitannya dengan banyaknya contoh yang mengalami gangguan kesehatan, sehingga dengan adanya gangguan kesehatan tersebut dapat mengakibatkan aktivitas fisik contoh mengalami penurunan. Umur contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan konsumsi fast food contoh (r= 0.091 p=0.529). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin bertambahnya umur contoh tidak menggambarkan konsumsi fast food contoh semakin tinggi. Tabel 24 menunjukkan hubungan status gizi dengan variabel lain. Tabel 24. Hubungan Status Gizi dengan Variabel Lain Variabel Lain Konsumsi serat Konsumsi fast food Aktivitas fisik Faktor Genetik
r 0.108 0.063 -0.200 0.308
p 0.457 0.665 0.163 0.030
Tabel 24 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji korelasi Pearson, konsumsi serat contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi contoh (r=0.108 p=0.457). Hasil tersebut dapat diartikan bahwa semakin tinggi nilai IMT (status gizi) contoh tidak menggambarkan konsumsi serat yang telah tercukupi setiap hari. Hal ini juga menunjukkan bahwa contoh dengan status gizi obes dan normal belum dapat memenuhi kebutuhan seratnya setiap hari. Konsumsi fast food contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi contoh (r=0.063 p=0.665). Hal ini menunjukkan bahwa semakin besarnya nilai IMT (status gizi) contoh tidak menggambarkan semakin tingginya konsumsi fast food contoh. Penelitian
Virgianto dan Purwaningsih
(2006) mengatakan bahwa variasi jenis makanan cepat saji bukanlah faktor risiko untuk terjadinya obesitas. Setelah dilakukan uji korelasi, ternyata memang tidak didapatkan hubungan antara variasi jenis makanan cepat saji dengan terjadinya obesitas. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa aktivitas fisik contoh tidak memiliki hubungan yang negatif dengan status gizi contoh (r=-0.200 p=0.163). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tingginya nilai IMT (status gizi) contoh maka aktivitas fisik contoh akan semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh jenis pekerjaan dan kegiatan setiap harinya pada hari kerja yang relatif sama. Selain itu, contoh dengan status gizi obes lebih berpeluang terhadap risiko mengalami
50
gangguan persendian, sehingga anggota tubuhnya akan mengalami sakit jika digerakkan terlalu sering. Penelitian menunjukkan ada hubungan yang bertolak belakang antara IMT dan aktivitas fisik. Menurun dan rendahnya tingkat aktivitas fisik dipercaya sebagai salah satu hal yang menyebabkan obesitas. Tren kesehatan terkini juga menunjukkan prevalensi obesitas meningkat bersamaan dengan meningkatnya perilaku sedentary dan berkurangnya aktivitas fisik (WHO 2000). Tabel 24 juga menunjukkan bahwa faktor genetik contoh memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi contoh (r=0.308 p=0.030). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai IMT yang menggambarkan status gizi contoh maka semakin tinggi juga peranan faktor genetik contoh. Menurut Anwar dan Khomsan (2009), faktor genetik berperan penting terhadap munculnya kegemukan pada seseorang. Jika kedua orangtua gemuk, risiko kegemukan pada anak-anaknya mencapai 80%. Namun, jika hanya satu orangtua yang gemuk, peluang anak-anaknya menjadi gemuk adalah sebesar 40%. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa rata-rata faktor genetik memberikan pengaruh sebesar 33% terhadap berat badan seseorang. Hal ini merupakan faktor keturunan dari orang tua yang sulit dihindari. Bila ayah atau ibu memiliki kelebihan berat badan, hal ini dapat diturunkan pada anak. Obesitas yang disebabkan oleh lingkungan pada generasi sebelumnya dapat tertanam di dalam gen generasi tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi berikutnya (Mustofa 2010). Tabel 25 menunjukkan hubungan pengetahuan gizi dengan variabel lain. Tabel 25. Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Variabel Lain Variabel Lain Umur Pendidikan Konsumsi serat Konsumsi fast food Aktivitas fisik
r 0.276 0.172 0.083 0.144 -0.172
p 0.052 0.231 0.567 0.318 0.233
Tabel 25 menunjukkan bahwa hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa
umur
contoh
tidak
memiliki
hubungan
yang
signifikan dengan
pengetahuan gizi contoh (r=0.276 p=0.052). Hal ini menunjukkan bahwa bertambahnya umur contoh tidak menggambarkan pengetahuan gizi contoh akan semakin baik. Pengetahuan gizi contoh yang tergolong baik tidak berdasarkan pertambahan dari umur contoh. Hasil uji korelasi Pearson juga menunjukkan bahwa pengetahuan gizi contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
51
konsumsi serat contoh (r=0.083 p=0.567). Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan gizi contoh yang baik tidak menggambarkan konsumsi serat contoh tercukupi pada setiap harinya. Hal ini dapat terjadi karena terdapat individu yang memiliki pengetahuan gizi yang baik tetapi tidak mempraktekkan sesuai dengan pengetahuan gizi yang dimilikinya. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa pengetahuan gizi contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan konsumsi fast food contoh (r=0.144 p= 0.318). Hal ini dapat diartikan bahwa pengetahuan gizi yang tergolong baik tidak menggambarkan konsumsi fast food contoh semakin tinggi. Pengetahuan gizi contoh juga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan aktivitas fisik contoh (r=-0.172 p= 0.233). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin baiknya pengetahuan gizi contoh maka aktivitas fisik contoh akan semakin rendah. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pendidikan contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pengetahuan gizi contoh (r=0.172 p=0.231). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya pendidikan tidak menggambarkan pengetahuan gizi contoh akan semakin baik. Pengetahuan gizi contoh yang tergolong baik tidak berdasarkan pada pendidikan contoh. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan gizi adalah perkumpulan sosial dan media informasi seperti membaca buku, membaca koran, internet sehingga dapat menyebabkan pengetahuan contoh bertambah, tetapi media informasi tidak diteliti dalam penelitian ini. Tabel 26 menunjukkan hubungan pendapatan dengan variabel lain. Tabel 26. Hubungan Pendapatan dengan Variabel Lain Variabel Lain Pendidikan Konsumsi serat Konsumsi fast food
r 0.221 0.054 0.130
p 0.124 0.709 0.368
Tabel 26 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, pendapatan contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pendidikan contoh (r=0.221 p=0.124). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan tidak menggambarkan pendapatan contoh akan semakin tinggi pula. Hal ini terlihat pada contoh yang mempunyai pendidikan terakhir pada tingkat perguruan tinggi mempunyai pendapatan yang lebih rendah dari contoh yang mempunyai pendidikan terakhir pada tingkat SMA. Pendapatan contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan konsumsi fast food contoh (r=0.130 p=0.368).
52
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
semakin
tingginya
pendapatan
tidak
menggambarkan semakin tingginya konsumsi fast food contoh. Hal ini diduga kaitannya dengan beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu anggaran pendapatan yang ada akan digunakan untuk keperluan biaya yang lain. Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan bahwa pendapatan contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan konsumsi serat contoh (r=0.054 p=0.709). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya pendapatan contoh tidak mengggambarkan konsumsi serat mencukupi setiap harinya. Menurut Astawan dan Wresdiyati (2004), tingkat pendapatan seseorang sangat mempengaruhi
jumlah
konsumsi
serat
pangan.
Semakin
tinggi
tingkat
pendapatan, tingkat konsumsi bahan hewani (daging, ikan telur) seseorang cenderung meningkat, sedangkan konsumsi bahan nabati seperti nasi, jagung, sayuran dan buah cenderung berkurang. Hal tersebut yang menyebabkan jumlah konsumsi serat pangan menurun dengan meningkatnya jumlah pendapatan.
53
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Persentase terbesar contoh berumur 30-49 tahun. Mayoritas contoh adalah perempuan. Pendidikan terakhir contoh obes, memiliki persentase terbesar pada tingkat SMA, sedangkan pendidikan terakhir contoh normal memiliki persentase terbesar pada tingkat Perguruan Tinggi. Dari hal tersebut diketahui bahwa pendidikan terakhir contoh normal lebih tinggi dibandingkan contoh obes. Sebagian besar pendapatan contoh obes dan normal adalah pada kisaran 2-3.9 Juta Rupiah perbulan. Persentase terbesar contoh memiliki besar keluarga yang terdiri dari <4 orang. Baik contoh normal maupun obes, sebagian besar tidak memiliki orangtua yang obes. Pada umumnya, pengetahuan gizi contoh obes dan normal berada pada tingkat pengetahuan gizi baik. Pertanyaan tentang kalori yang dikonsumsi ketika bertambah umur merupakan pertanyaan yang jawaban benar terendah ( 46%) dibandingkan pertanyaan lainnya. Hal ini berarti masih kurangnya pengetahuan contoh tentang jumlah energi yang harus dikonsumsi ketika umur bertambah. Rata–rata konsumsi serat contoh dengan status gizi obes dan normal berturut-turut sebesar 14.9±7.4 gram dan 13.4±6.4 gram. Konsumsi serat pada masing-masing contoh tergolong rendah. Golongan bahan pangan beras dan buah-buahan menyumbang paling banyak asupan serat contoh.
Frekuensi
konsumsi nasi per minggu nya lebih tinggi pada contoh normal dibandingkan dengan contoh obes. Pada kelompok kacang-kacangan, tempe merupakan bahan pangan yang paling sering dikonsumsi oleh contoh, baik contoh obes (3.3 kali/minggu) dan contoh normal (3.5 kali /minggu). Pada umumnya frekuensi konsumsi buah contoh adalah 1-2 kali/minggu. Sama halnya dengan buah, frekuensi konsumsi sayur contoh mayoritas adalah 1-2 kali/minggu. Fried chicken lebih banyak dikonsumsi oleh contoh baik contoh obes mapun normal. Pada contoh obes, frekuensi konsumsi terbesar contoh adalah Pizza yaitu sebanyak dua kali/minggu. Pada contoh normal, frekuensi konsumsi terbesar contoh adalah fried chicken yaitu sebanyak 1.3 kali/minggu. Contoh obes maupun normal mempunyai rata-rata tingkat aktivitas fisik sebesar 1.4±0.1. Rata-rata aktivitas fisik contoh tergolong ringan. Perbedaan terbesar alokasi waktu yang digunakan adalah ketika melakukan duduk, contoh
54
obes selama 3.8 jam sedangkan contoh normal selama 2.25 jam, terdapat perbedaan 1.6 jam antara keduanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dan pengetahuan gizi, pendidikan dan pengetahuan gizi, pengetahuan gizi dan konsumsi serat, pendapatan dan konsumsi serat, pendapatan dan konsumsi fast food, umur dan konsumsi serat, umur dan aktivitas fisik, konsumsi serat dan status gizi, serta konsumsi fast food dan status gizi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dan status gizi, pendapatan dan pendidikan, umur dan konsumsi fast food, pengetahuan gizi dan konsumsi fast food, serta pengetahuan gizi dan aktivitas fisik. Pada penelitian ini ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara faktor genetik dan status gizi. Saran Berdasarkan hasil penelitian, aktivitas fisik dan konsumsi serat pada contoh obes dan normal masih tergolong kurang. Oleh karena itu, diperlukannya peningkatan aktivitas fisik dan konsumsi serat agar kesehatan tubuh dapat meningkat pula. Bagi IPB, sebaiknya mengadakan penyuluhan tentang konsumsi serat, konsumsi fast food dan aktivitas fisik meskipun dari hasil penelitian pengetahuan gizi contoh sudah tergolong baik, agar contoh meningkatkan asupan serat setiap harinya dan peningkatan aktivitas fisik, juga memfasilitasi adanya kegiatan berolahraga bersama satu hari dalam satu minggu. Bagi penelitian yang selanjutnya yang akan mengambil topik yang sama, sebaiknya untuk mengetahui konsumsi makan contoh dapat menggunakan metode SQFF (Semi Quantitative Food Frequency) untuk mengetahui jumlah setiap kali makan, perhitungan lebih rinci dan lebih akurat.
55
DAFTAR PUSTAKA [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Kegemukan Akibat Kurang Serat. http://www.depkes.go.id [Oktober 2010]. Adiningrum RD. 2008. Karakteristik kegemukan pada anak sekolah dan remaja di Medan dan Jakarta Selatan [Skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Almatsier S. 2006. Penuntun Diet. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Amalia C. 2002. Konsumsi Serat Makanan pada Anak Umur Sekolah di Kota dan Desa Bogor. Skripsi Sarjana Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anonim. 2006. Informasi Nilai http://www.kfc.indonesia/index.php?option=com[12 April 2011]
Gizi.
Anonim. 2007. Fastfood yang menyebabkan http://www.scumdoctor.com/.../Fast-Food-That-Cause-Obesity Februari 2011]
Obesitas. [16
Anonim. 2009. Obesitas dan Kurang Aktivitas Fisik Menyumbang 30% Kanker . http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com [15Juni 2010]. Anwar F, Khomsan A. 2009. Makan Tepat Badan Sehat. Jakarta. Hikmah PT. Mizan Publika. Astawan M. 2004. Sehat Bersama Aneka Serat Pangan Alami. Solo. Tiga Serangkai. Astawan M, Wresdiyati T. 2004. Diet Sehat dengan Makanan Berserat. Solo. Tiga Serangkai. Astawan M, Wahyuni M. 1988. Gizi dan Kesehatan Manula (manusia Lanjut Umur). Jakarta. PT. Meton Putra. Damayanti. 2002. Waspadai kegemukan http://www.keluargasehat.com [2009].
pada
anak.
Devi N. 2010. Nutrition and Food gizi untuk Keluarga. Jakarta. Kompas Media Nusantara. Engel JF, Backwell RD, Miniard PW. 1994. Perilaku Konsumen. Ed ke-1. Budiyato, penerjemah; Jakarta. Binarupa Aksara. FAO/WHO/UNU. 2001. Energy Requirements of http://www.fao.org/docrep/007/y5686e/y5686e07.htm#bm07.3
Adults.
56
Freitag H. 2010. Bebas Obesitas Tanpa Diet Menyiksa. Yogyakarta. Media Pressindo. Gaman PM, Sherrington KB. 1992. Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Gibson RS. 2005. Principles of Nutrition Assesment (2nd Edition). New York: Oxford University Press. Gutierrez-fisac JL, Lopez E, Banegas JR, Graciani A, Ridriguez-Artalejo F. 2004. Prevalence of overweight and obesity in elderly people in Spain obesity. Obesity. 12: 710-715. Hadi H. 2005. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional, Pidato Pengukuhan abatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Harper LJ, Deaton BJ, Driskel JA, 1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Suhardjo, penerjemah. Hayati F. 2000. Faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi fast food waralaba modern dan tradisional pada remaja siswa SMU Negeri di Jakarta Selatan. [skripsi]. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. He K et al. 2004. Changes in intake of fruits and vegetables in relation to risk of obesity and weight gain among middle-aged women. Int J Obes. 28:15691574 Hidayati, Irawan R, Hidayat B. 2006. http://www.pediatrik.com[Maret 2006].
Obesitas
pada
Anak.
Indriati E. 2010. Antropometri untuk kedokteran, keperawatan, Gizi, dan Olahraga. Yogyakarta:Citra Aji Parama. Irwin ML et al. Effect of exercise on total ang intra-abdominal body fat in postmenopausal womenL a randomized controlled trial. JAMA. 289 (3):323-330. Jahari AB, Sumarno I. 2001. Epidemiologi Konsumsi Serat di Indonesia. Gizi Indonesia volume XXV. Persatuan Ahli Gizi Indonesia. Bogor. Janghorbani M et al. 2007. First nationwide survey of prevalence of overweight, underweight, and abdominal obesity in Iranian adults. Obesity. 15:27972808. Kantachuvessiri A et al. 2005. Factors associated with obesity among workers in a metropolitan waterworks authority. Southeast Asian JTrop Med Public Health. 36: 1057-1065.
57
Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian:Institut Pertanian Bogor. Khomsan A. 2002. Pangan dan Gizi Kesehatan. Bogor. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Khomsan A. 2005. Pangan dan Gizi Kesehatan 2. Bogor. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Khomsan A, Anwar F, Sukandar D, Riyadi H, Mudjajanto ES. 2007. Studi Implementasi Program Gizi; Pemanfaatan, Cakupan, Keefektifan, dan Dampak terhadap Status Gizi. Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi manusia, IPB. Kusumo RA. 2010. Buah+Sayur=Sehat, Mengenal Kandungan Dan Khasiat Untuk Menjaga Kesehatan Tubuh. Yogyakarta. Pionir Media. Low S, Chin MC, Deurenberg-Yap M. 2009. Review On Epidemic Of Obesity. Ann Acad Med Singapore. 38:57-65. McTiernan A et al. 2007. Exercise effect on weight and body fat in men and women. Obesity. 15:1496-1512. Mustofa A. 2010. Solusi Ampuh Mengatasi Obesitas. Yogyakarta: Hanggar Kreator. Novitasari. 2005. Kebiasaan mengkonsumsi western fast food pada remaja SMU yang berstatus gizi normal dan obese di Kota Bogor. [skripsi]. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pfeiffer AFH, Weickert MO. 2008. Metabolic Effects of Dietary Fiber Consumption and Prevention of Diabetes. 138 (3):439. Pranadji DK. 1988. Pendidikan Gizi (Proses Belajar Mengajar) [Diktat Mata Kuliah]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Riyadi H. 1996. Gizi dan Kesehatan dalam Pembangunan Pertanian Bogor. Bogor : IPB Press. Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi Secara Antropometri. Diktat Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sanjur D. 1982. Social and Culture Perspective in Nutritional. Englewood Cliffts, Prentice-Hall, New Jersey. Sekarindah T, Rozaline H. Puspaswara.
2006.
Terapi Jus Buah dan Sayur. Jakarta:
58
Sizer
F, Whitney E. 2000. Pennsylvania:Wadsworth.
Nutrition:
Concept
and
Controversies.
Soediatama AD. 2008. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat. Soekiman. 1993. Masalah Gizi dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua: Agenda Repelita Suhardjo LJ Harper, BJ Deaton, JA Driskel. 1988. Pangan, Gizi, dan Pertanian. Jakarta:UI Press. Suhardjo. 1989. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sukarni. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Yogyakarta. Kanisius. Sulistijani AD. 2002. Sehat dengan menu berserat. Jakarta. Trubus Agriwijaya. Sulistijani DA. 2005. Sehat dengan Makanan Berserat. Jakarta: Puspa Swara. Supariasa IDN, B Bakri, I Fajar. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta:Buku Kedokteran EGC. Tucker LA, Thomas KS. 2009. Increasing Total Fiber Intake Reduces Risk of Weight and Fat Gains in Women. 139(3):576. Virgianto G,Purwaningsih E. 2006. Konsumsi Fastfood Sebagai Faktor Risiko terjadinya Obesitas pada Remaja Umur 15-17 tahun (Studi kasus di SMUN 3 Semarang). Media Medika Muda (M3) (3). ISSN 1858-3318. Weng HH et al. 2004. Number of children associated with obesity in middle-aged women and men: results from the health and retirement study. http://www.medscape.com/viewarticle/471014 [Desember 2009] WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Report of a WHO consultation. Geneva, Switzerland. Wirakusumah ES. 2010. Jus Buah dan Sayuran. Jakarta. Penebar Swadaya. Worthington B, Williams RSR. 2000. Nutrition Throught Out the Life Cycle, Fourth Edition. Mc Graw Hill Companies, Boston.
59
60
Kode :
KUESIONER PENELITIAN
KONSUMSI SERAT DAN FAST FOOD SERTA AKTIVITAS FISIK ORANG DEWASA YANG BERSTATUS GIZI OBES DAN NORMAL
Nama
: ……………………………………………..
Jenis Kelamin
:L/P
Alamat Rumah
: ……………………………………………...
Nomor Telepon/ HP
: ………………………………………………
Enumerator
: ………………………………………………
Tanggal wawancara
: ………………………………………………
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Enumerator Responden Tanggal Wawancara
1. 2.
3.
4.
5.
: : :
Kode : O/........../........../........../ 61
I. Karakteristik Individu dan Keluarga Umur (tahun): …………………. Jenis Kelamin: (1) Laki-laki (2) Perempuan Pendidikan terakhir: (1) Tidak sekolah (2) SD/sederajat (3) SMP/sederajat (4) SMA/sederajat (5) Perguruan Tinggi Pendapatan (Rp/bln): (1) < 1 juta (2) 1 – 1.9 juta (3) 2 – 3.9 juta (4) 4 – 6 juta (5) > 6 juta Apakah ada riwayat obes pada orangtua: (1) Ya (2) Tidak
6.
Jika ya, siapakah anggota keluarga yang obes:...............................
7.
Besar Keluarga:…………orang
II. Pengetahuan Gizi Berikut ini adalah susunan menu yang bergizi seimbang : a. Nasi, ikan, tempe, sayur kangkung, jeruk c. Nasi, perkedel kentang, ayam goreng b. Burger, susu d. Tidak tahu 2) Makan pagi yang cukup bagi orang dewasa sangat penting untuk a. Menurunkan daya tahan saat bekerja c. Mengurangi konsentrasi bekerja b. Meningkatkan produktivitas kerja d. Tidak tahu 3) Dengan bertambahnya umur, kalori yang dikonsumsi sebaiknya a. Dikurangi c. Tetap seperti biasa b. Ditambah d. Tidak tahu 4) Sebelum membeli makanan kemasan, apa yang sebaiknya dilakukan? a. Melihat harga makanan c. Mencicip makanan b. Membaca label makanan d. Tidak tahu 5) Mana dari zat-zat gizi berikut yang berfungsi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh ? a. Lemak c. Karbohidrat b. Protein d. Tidak tahu 6) Manakah dari zat-zat gizi berikut yang berfungsi sebagai sumber tenaga bagi tubuh? a. Karbohidrat c. Protein b. Lemak d. Tidak tahu 7) Mineral kalsium dibutuhkan oleh tubuh untuk a. Membantu pembentukan tulang dan gigi c. Menambah nafsu makan b. Mencegah penuaan dini d. Tidak tahu 8) Peranan lemak dalam tubuh dapat berupa a. Mempertahankan suhu tubuh pada keadaan suhu di luar tubuh rendah c. Melindungi kulit dari ultraviolet b.Sebagai tekstur pada makanan d. Tidak tahu 9) Manakah dari tanda-tanda berikut yang merupakan tanda-tanda obesitas? a. Berat badan saat ini lebih berat dibandingkan berat idealnya c. Memiliki BB ideal dan tubuh yang pendek b. Tinggi badan saat ini lebih tinggi dibandingkan tinggi idealnya d. Tidak tahu 10) Pada pria, kelebihan lemak banyak disimpan pada dibagian: a. Pinggang dan rongga perut c. Tangan dan paha b. Wajah dan leher d. Tidak tahu 11) Pada wanita, kelebihan lemak banyak disimpan pada dibagian : a. Wajah dan leher c. Pinggul dan paha b. Pinggang dan rongga perut d. Tidak tahu 1)
Enumerator Responden Tanggal Wawancara 12) 13) 14) 15) 16) 17) 18) 19) 20)
: : :
Kode : O/........../........../........../ 62
Gejala fisik yang terlihat pada penderita obesitas : a. Seseorang terlihat langsing c. Sering terlihat dagu tunggal b. Perut menggantung ke bawah, lipatan kulit lebih tebal d. Tidak tahu Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya obesitas adalah a. Faktor genetik c. Sering melakukan olahraga b. Kebiasaan konsumsi sayur dan buah d. Tidak tahu Manakah penyebab berikut yang merupakan penyebab internal obesitas ? a. Ketidakseimbangan antara diet dan aktivitas fisik c. Permasalahan metabolisme (hormonal) b. Peningkatan pendapatan d. Tidak tahu Contoh makanan yang dapat memicu terjadinya obesitas adalah : a. Makanan tinggi lemak c. Makanan rendah karbohidrat b. Makanan tinggi serat d. Tidak tahu Manakah keadaan berikut yang menyebabkan seseorang makan berlebih ? a. Ketakutan c. Stress (adanya tekanan) b. Senang d. Tidak tahu Risiko medis (kesehatan) penderita obesitas adalah : a. Cenderung lebih sering sakit c. Mengalami gangguan makan b. Selalu sehat dan bugar d. Tidak tahu Manakah diantara penyakit berikut yang ditimbulkan oleh obesitas? a. Jantung c. Marasmus b. Diare d. Tidak tahu Gangguan yang dirasakan oleh penderita obesitas adalah a. Tidur c. Makan b. Bernafas d. Tidak tahu Apa yang dirasakan oleh penderita obesitas ketika mengalami gangguan persendian? a. Sendi menjadi lentur dan mudah digerakkan c. Nyeri pada sendi diikuti dengan pembengkakan b. Berjalan lebih cepat dari biasanya d. Tidak tahu IV. Aktivitas Fisik (selama 2 hari, hari kerja dan hari libur) Jenis Aktivitas
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Alokasi Waktu (Jam) Hari -1
Hari -2
24
24
A. Kegiatan Utama/Rutin: Tidur malam Tidur siang/sore Mandi/kebersihan diri/berdandan Makan (pagi, siang, dan malam) Perjalanan ke dan dari tempat kerja, menggunakan ............................. Bekerja di kantor (termasuk jam istirahat) Pekerjaan di luar kantor (jenis pekerjaan.................................) Olahraga di kantor: ………………………… Olahraga di luar kantor: …………………… Ibadah/sholat B. Kegiatan lainnya (misalnya nonton, nongkrong, pesta, jalan-jalan) Sebutkan kegiatannya :
1. 2. 3. 4. 5. Jumlah
Enumerator Responden Tanggal Wawancara
: : :
63 Kode : O/........../........../........../
DATA INTAKE MAKANAN DAN ZAT GIZI a. Hari 1 (Hari Kerja) Waktu
Nama makanan
Tanggal : Jenis Bahan Pangan
/
/2010
Banyaknya yang dimakan URT* gram
Keterangan
Pagi
Siang
Sore
Malam
Ket *) URT (Ukuran Rumah Tangga) : bh : buah gls bks : bungkus sdm ckr : cangkir sdt
: gelas : sendok makan : sendok teh
ptg btr bj
: potong : butir : biji
Enumerator Responden Tanggal Wawancara
: : :
64 Kode : O/........../........../........../
b. Hari 2 (Hari Libur) Waktu
Nama makanan
Tanggal :
Jenis Bahan Pangan
/
Banyaknya yang dimakan URT* gram
Keterangan
Pagi
Siang
Sore
Malam
Ket *) URT (Ukuran Rumah Tangga) : bh : buah gls bks : bungkus sdm ckr : cangkir sdt
: gelas : sendok makan : sendok teh
ptg btr bj
/2010
: potong : butir : biji
Enumerator Responden Tanggal Wawancara
: : :
65 Kode : O/........../........../........../
Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Serat dan Fast food dikonsumsi selama 1 bulan terakhir No. Bahan makanan 1. 2.
Nasi Kacang-kacangan Tempe Tahu Oncom Kacang…….
3.
Buah-buahan
4.
Sayuran
5.
Fast Food Fried chicken Fried fries Hamburger Pizza Spaghetti Lainnya ….
6.
Lainnya
Per hari
Frekuensi (kali) Per Per minggu bulan