i
ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN SERTA AKTIVITAS FISIK PADA MAHASISWI DENGAN STATUS GIZI NORMAL DAN GEMUK
IFNA FANI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
ABSTRACT IFNA FANI. Energy and Protein Intake on Adolescent Girl Students with Normal Nutritional Status and Overweight/obese. Supervised by LILIK KUSTIYAH The objective of this study was to analyze energy and protein intake on adolescent girl students with normal nutritional status and overweight/obese. The design of this study was cross-sectional. The subject were 78 adolescent girl students lived in Preparation Level (TPB) dormitory, Bogor Agricultural University. Samples were divided into two groups, based on nutritional status (normal and overweight/obese). Data was collected using questionnaire in May to July 2012. Spearman correlation test showed that no significant correlation between breakfast habits, lunch habits, consumption of animal and plant protein, vegetable and fruit consumption, consumption of fast food, soft drinks, snacks, sweet drinks, milk and dairy products, energy and protein sufficiency level as well as physical activity and nutritional status (p>0.05). But there was significant positive correlation between family income and dinner habits and a significant negative correlation between meal frequency and nutritional status (p<0.05). Linear regression showed that meal frequency and dinner habits were two factors had influenced on nutritional status. Key words: adolescents, energy and protein intake, physical activity
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asupan energi dan protein serta aktivitas fisik pada mahasiswi dengan status gizi normal dan gemuk. Desain penelitian adalah cross-sectional. Subyek adalah 78 orang mahasiswi yang tinggal di asrama putri Tingkat Persiapan Bersama (TPB), Institut Pertanian Bogor. Subyek dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok dengan status gizi normal dan status gizi gemuk (overweight/obese). Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2012 menggunakan kuesioner. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan sarapan, kebiasaan makan siang, konsumsi protein hewani dan nabati, konsumsi sayur dan buah, konsumsi fast food, soft drink, konsumsi cemilan, minuman manis, susu dan olahannya, tingkat kecukupan energi dan protein serta aktifitas fisik dengan status gizi (p>0.05), namun terdapat hubungan yang positif signifikan antara pendapatan keluarga, dan kebiasaan makan malam serta hubungan negatif signifikan antara frekuensi makan dengan status gizi (p<0.05). Hasil uji regresi linier menunjukkan bahwa frekuensi makan sehari dan kebiasaan makan malam merupakan faktor yang mempengaruhi status gizi. Kata kunci: remaja, asupan energi dan protein, aktivitas fisik
iii
RINGKASAN IFNA FANI. Asupan Energi dan Protein serta Aktivitas Fisik pada Mahasiswi dengan Status Gizi Normal dan Gemuk. Dibimbing oleh LILIK KUSTIYAH. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asupan energi dan protein serta aktivitas fisik pada mahasiswi dengan status gizi normal dan gemuk. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengkaji karakteristik contoh (umur, status gizi, uang saku) serta karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh (pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga; (2) Mengkaji tingkat pengetahuan gizi contoh; (3) Mengkaji asupan energi dan protein yang ditentukan berdasarkan konsumsi pangan yaitu kebiasaan makan yang meliputi (frekuensi makan, kebiasaan sarapan, kebiasaan makan siang dan malam, konsumsi protein hewani dan nabati, konsumsi sayur dan buah, kebiasaan konsumsi fast food, kebiasaan konsumsi soft drink, kebiasaan mengonsumsi camilan, kebiasaan minum minuman manis, kebiasaan minum susu/olahannya); (4) Mengkaji tingkat kecukupan energi dan protein contoh; (5)Mengkaji aktivitas fisik sehari-hari contoh; (6) Menganalisis hubungan antara karakteristik contoh, karakteristik sosial ekonomi keluarga, pengetahuan gizi, asupan energi dan protein serta aktivitas fisik dengan status gizi contoh; (7) Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi contoh. Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah cross-sectional study. Contoh pada penelitian ini berjumlah 78 orang dari mahasiswi yang tinggal di asrama putri Tingkat Persiapan bersama (TPB), Institut Pertanian Bogor. Contoh pada penelitian ini dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok dengan status gizi normal dan status gizi gemuk dengan jumlah masing-masing 39 orang setiap kelompok. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data karakteristik contoh, (umur, berat badan dan tinggi badan, uang saku per bulan dan alokasi pengeluaran makanan dan minuman), karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh (pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga), pengetahuan gizi contoh, asupan energi dan protein yang ditentukan berdasarkan konsumsi pangan, (frekuensi makan, kebiasaan sarapan, kebiasaan makan siang dan malam, konsumsi protein hewani dan nabati, konsumsi sayur dan buah, kebiasaan konsumsi fast food, kebiasaan konsumsi soft drink, kebiasaan mengonsumsi camilan, kebiasaan minum minuman manis, dan kebiasaan minum susu/olahannya), serta aktivitas fisik. Data sekunder dalam penelitian ini adalah gambaran umum tentang asrama Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor yang diperoleh dari Badan Pengawas Asrama TPB. Contoh dalam penelitian ini berumur 18-20 tahun dengan rata-rata usia contoh secara keseluruhan adalah 18.8±0.6 tahun. Sebagian besar contoh berada pada kelompok umur 18-19 tahun (71.8%). Rata-rata uang saku contoh adalah sebesar Rp 705.769±211.055./bulan dan sebanyak 70.7% dialokasikan untuk membeli makanan dan minuman. Rata-rata jumlah anggota keluarga contoh termasuk kategori sedang dengan persentase pada kedua contoh adalah 51.3%. Pendidikan ayah dan ibu kedua contoh menamatkan pendidikan terakhirnya pada tamat SMA. Pekerjaan ayah dikedua kategori contoh bekerja sebagai pegawai swasta (30.8%), sedangkan ibu dikedua kategori contoh bekerja sebagai ibu rumah tangga (44.9%). Secara keseluruhan (82.1%) pendapatan orang tua kedua kategori contoh kurang dari Rp 4.000.000/bulan. Tingkat pengetahuan gizi contoh tergolong sudah baik (56.4%), Contoh normal terbiasa makan tiga kali sehari dengan persentase sebesar 64.1%.
iv
Sedangkan frekuensi makan contoh gemuk sebagian besar dua kali sehari dengan persentase sebesar 71.8%. Sebagian besar (59.0%) contoh normal terbiasa melakukan sarapan 6-7 kali/minggu. Sedangkan contoh gemuk hanya 43.6% yang terbiasa melakukan sarapan 6-7 kali/minggu. Sebesar (84.6%) contoh memiliki kebiasaan makan siang 6-7 kali/minggu. Sebesar 61.5% contoh normal dan 30.8% contoh gemuk terbiasa makan malam 6-7 kali/minggu. Jenis pengolahan makanan yang paling disukai yaitu digoreng. Sebagian besar contoh (93.6%) memiliki kebiasaan mengonsumsi protein hewani 6-7 kali/minggu. Sumber protein hewani yang paling sering dikonsumsi oleh kedua contoh adalah telur ayam. Lebih dari separuh contoh (71.8%) mengonsumsi protein nabati 6-7 kali/minggu. Sumber protein nabati yang paling sering dikonsumsi oleh kedua contoh adalah tempe. Lebih dari separuh contoh (62.8%) memiliki kebiasaan mengonsumsi sayur 6-7 kali/minggu dengan persentase tertinggi yaitu contoh gemuk. Jenis sayuran yang paling sering dikonsumsi contoh adalah sayur kol dan wortel. Sebesar 28.2% contoh gemuk mengonsumsi buah-buahan 6-7 kali/minggu. Sebesar (71.8%) contoh terbiasa mengkonsumsi fast food 1-2 kali/minggu. Lebih dari separuh contoh (74.4%) baik contoh normal maupun contoh gemuk terbiasa mengonsumsi soft drink 1-2 kali/minggu. Contoh normal terbiasa mengonsumsi cemilan 3-5 kali/minggu dengan persentase 38.5%, sedangkan contoh gemuk terbiasa mengonsumsi cemilan 1-2 kali/minggu dengan persentase 43.6%. Sebagian besar contoh (62.8%) baik contoh normal maupun contoh gemuk terbiasa mengonsumsi minuman manis 1-2 kali/minggu. Terdapat 25.6% pada contoh gemuk dan 23.1% pada contoh normal yang mengonsumsi susu 6-7 kali/minggu. Pada hari kuliah aktivitas fisik kedua contoh tergolong dalam kategori ringan dan sedang. Begitupun pada hari libur, aktivitas fisik kedua contoh juga termasuk ke dalam kategori ringan. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur, besar uang saku, besar keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pengetahuan gizi, kebiasaan sarapan, kebiasaan makan siang, konsumsi prootein hewani dan nabati, konsumsi sayur dan buah, konsumsi fast food, soft drink, konsumsi cemilan, minuman manis, susu dan olahannya, tingkat kecukupan energi dan protein serta aktifitas fisik dengan status gizi (p>0.05), namun terdapat hubungan negatif signifikan antara frekuensi makan dan hubungan positif signifikan antara pendapatan keluarga, dan kebiasaan makan malam dengan status gizi (p<0.05). Berdasarkan uji regresi linier berganda yang didapat, diketahui bahwa variabel yang berpengaruh terhadap status gizi contoh adalah frekuensi makan sehari dan kebiasaan makan malam (p<0.05). Persamaan yang dapat dibuat dari hasil uji regresi linier berganda adalah adalah Y=1.704 – 0.255X1 + 0.132X2. (Y= status gizi, X1= frekuensi makan sehari, X2= kebiasaan makan malam).
v
ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN SERTA AKTIVITAS FISIK PADA MAHASISWI DENGAN STATUS GIZI NORMAL DAN GEMUK
IFNA FANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
vi
Judul
: Asupan Energi dan Protein serta Aktivitas Fisik pada Mahasiswi dengan Status Gizi Normal dan Gemuk
Nama
: Ifna Fani
NIM
: I14096012
Disetujui oleh
Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
vii
PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Asupan Energi dan Protein serta Aktivitas Fisik pada Mahasiswi dengan Status Gizi Normal dan Gemuk” dapat diselesaikan. Penyusunan skripsi ini merupakan syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas
Ekologi
Manusia,
Institut
Pertanian
Bogor.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si
selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
senantiasa sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi. 2.
Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc selaku pemandu seminar dan penguji skripsi yang telah memberikan saran dan masukan dalam perbaikan skripsi.
3.
Katrin Roosita SP, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama perkuliahan.
4.
Ayah, Ibu, adik-adik tercinta, dan seluruh keluarga besar yang senantiasa memberikan doa, dukungan, motivasi, dan semangat dengan penuh kasih sayang.
5.
Sahabat-sahabat terbaik yang selalu menyemangati dan memotivasi dari proses penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.
6.
Teman-teman alih jenis Gizi Masyarakat (GM) angkatan ke-3.
7.
Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala bantuan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai taraf sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua.
Bogor, Maret 2013 Penulis
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Maret 1987 di Payakumbuh Provinsi Sumatera Barat. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara pasangan Bapak Irfan Am dan ibu Efni. Tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD negeri 13 Ompek Diateh. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 1 Payakumbuh dan lulus tahun 2002. Pendidikan selanjutnya ditempuh penulis di SMA Negeri 2 Payakumbuh dan lulus pada tahun 2005.
Pada tahun 2005
penulis diterima sebagai mahasiswa di Politeknik Kesehatan Depkes Padang Jurusan Gizi. Pada tahun 2008 penulis melakukan Praktek Kerja Lapangan di Rumah Sakit Umum Arifin Achmad Pekanbaru. Pada tahun yang sama penulis mendapatkan gelar Ahli Madya Gizi dengan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Pengaruh Substitusi Kacang Merah dalam Pembuatan Yoghurt terhadap mutu Organoleptik serta Kadar riboflavin (Vitamin B2). Pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan Sarjana di Institut Pertanian Bogor pada Program Penyelenggaraan Khusus Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................. xiv PENDAHULUAN Latar Belakang ..................................................................................................... Tujuan .................................................................................................................. Hipotesis .............................................................................................................. Kegunaan.............................................................................................................
1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Asupan Energi dan Protein................................................................................... Kebiasaan Makan ................................................................................................ Frekuensi Makan.................................................................................................. Kebiasaan Sarapan Pagi ...................................................................................... Konsumsi Buah dan Sayur ................................................................................... Fast Food ............................................................................................................. Soft Drink (Minuman Ringan) ............................................................................... Konsumsi Susu .................................................................................................... Konsumsi Cemilan ............................................................................................... Aktivitas Fisik ....................................................................................................... Status Gizi ............................................................................................................ Patofisiologi Obesitas ........................................................................................... Faktor-faktor yang Mempengaruhi status Gizi ...................................................... Pengetahuan Gizi ................................................................................................. Remaja.................................................................................................................
4 5 5 6 7 7 9 9 10 11 12 15 16 17 18
KERANGKA PEMIKIRAN .......................................................................................... 20 METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat .................................................................................. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh..................................................................... Jenis dan Cara Pengambilan Data ....................................................................... Pengolahan dan Analisis Data ............................................................................. Gambaran Umum Lokasi ..................................................................................... Karakteristik Contoh ............................................................................................. Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga ................................................................. Pengetahuan Gizi ................................................................................................. Kebiasaan Makan ................................................................................................ Aktivitas Fisik ...................................................................................................... Frekuensi Konsumsi Pangan................................................................................ Asupan Energi dan Protein................................................................................... Hubungan Antar Variabel ..................................................................................... Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Status Gizi .........................................
22 22 23 24 31 32 33 37 40 49 51 58 61 64
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .......................................................................................................... 66
x
Saran ................................................................................................................... 67 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 68 LAMPIRAN ................................................................................................................. 73
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1. Kontribusi energi dan protein yang berasal dari dua gelas susu ............................ 10 2. Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT/U .............................................................. 13 3. Nilai Physical Activity Ratio (PAR) setiap kegiatan ................................................ 27 4. Sebaran contoh berdasarkan umur dan status gizi ................................................ 31 5. Sebaran contoh berdasarkan uang saku dan status gizi ....................................... 33 6. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga dan status gizi ....................................................................................................... 34 7. Sebaran contoh berdasarkan jawaban yang benar dari pengetahuan gizi umum dan status gizi ...................................................................................... 37 8. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi dan status gizi.................. 40 9. Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan dan status gizi ............................ 43 10. Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik dan status gizi pada hari kuliah .......... 49 11. Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik dan status gizi pada hari libur ............. 50 12. Sebaran contoh berdasarkan tingkat aktivitas fisik dan status gizi ......................... 51 13. Sebaran frekuensi konsumsi pangan contoh berdasarkan jenis pangan sumber karbohidrat ............................................................................................... 53 14. Sebaran frekuensi konsumsi pangan contoh berdasarkan jenis pangan sumber protein hewani dan nabati......................................................................... 53 15. Sebaran frekuensi konsumsi pangan contoh berdasarkan jenis pangan sumber sayur-sayuran dan buah-buahan .............................................................. 54 16. Sebaran frekuensi konsumsi pangan contoh berdasarkan jenis pangan sumber makanan jajanan dan cemilan .................................................................. 56 17. Sebaran frekuensi konsumsi pangan contoh berdasarkan jenis pangan sumber makanan dan minuman manis .................................................................. 56 18. Sebaran frekuensi konsumsi pangan contoh berdasarkan jenis pangan sumber fast food dan soft drink................................................................. 57 19. Sebaran frekuensi konsumsi susu dan olahannya ................................................. 58 20. Sebaran rata-rata asupan, tingkat kecukupan energi dan status gizi ..................... 59 21. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan status gizi ................. 60 22. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein dan status gizi ................ 60 23. Hubungan antara umur dan uang saku contoh dengan status gizi ........................ 61
xii
24. Hubungan antara karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan status gizi .......... 61 25. Hubungan antara kebiasaan makan contoh dengan status gizi ............................. 63 26. Hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi .......... 64 27. Hubungan antara aktifitas fisik dengan status gizi ................................................. 64
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka pemikiran analisis pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik pada mahasiswi dengan status gizi normal dan kegemukan ..................... 21
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Hasil Uji Beda Independent t-Test Berbagai Variabel Antara Contoh Normal dan Contoh Gemuk ............................................................................... 74
2.
Hasil Uji Spearman Berbagai Variabel dengan Status Gizi Contoh ..................... 75
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kegemukan
merupakan
suatu
masalah
yang
cukup
merisaukan
khususnya bagi kalangan remaja putri, karena keinginan untuk tampil sempurna yang seringkali diartikan dengan memiliki tubuh ramping, langsing dan proporsional (Francis et al. 2008). Menurut Santrock (2003), penampilan fisik merupakan suatu kontributor yang sangat berpengaruh terhadap rasa kurang percaya diri remaja karena masa remaja biasanya mulai bersibuk diri terhadap penampilan
fisiknya
dan
ingin
mengubah
penampilan
mereka
dengan
memberikan perhatian yang lebih terhadap masalah-masalah kulit, ingin memiliki tubuh yang ideal, ingin lebih tinggi atau pendek dan tentu saja memiliki berat badan yang ideal. Selain masalah penampilan dan rasa percaya diri, kegemukan saat remaja diketahui 3-4 kali lebih berisiko mengalami penyakit jantung yang berujung pada kematian, serta berisiko 2-3 kali terhadap penyakit kanker kolon dan penyakit pernapasan seperti asma dan emfisema (Drapeau et al. 2004). Jika kegemukan berisiko pada kematian tidak menutup kemungkinan bahwa kegemukan merupakan sumber masalah kesehatan yang utama dalam masyarakat selain kanker. Meningkatnya
jumlah
penderita
kegemukan
disebabkan
oleh
meningkatnya keadaan ekonomi masyarakat. Akan tetapi gaya hidup dan pola makan yang dijalankan tidak sesuai dengan kaidah hidup sehat (Ledikwe 2005). Sebelumnya fenomena kegemukan lebih banyak terjadi pada orang dewasa, akan tetapi saat ini juga terjadi pada remaja. Adapun kebiasaan remaja terhadap makanan sangat beragam seperti bersifat acuh terhadap makanan, lupa waktu makan karena padatnya aktivitas, makan berlebih, serta mengikuti trend dengan makan fast food tanpa memperhatikan kecukupan gizi yang mereka butuhkan sehingga akan berdampak terhadap kegemukan (Moehji 2003). Disamping pengaruh makanan, kegemukan juga dapat disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik pada remaja akibat dari kemakmuran dan kemudahan hidup, sehingga menimbulkan gaya hidup sedentaris (sedentary lifestyle) Anschutz et al. (2009). Dengan berkurangnya aktivitas fisik dan adanya perubahan perilaku konsumsi makanan pada remaja akan berdampak pada tidak seimbangnya energi positif yaitu pemasukan energi melalui konsumsi pangan
2 melebihi dari pengeluaran energi. Hal tersebut merupakan faktor utama yang dapat meningkatkan peluang terjadinya kegemukan selain faktor keturunan. Tren masalah kegemukan ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju dengan konsumsi bahan pangan yang tinggi dan pola hidup serba instan, tetapi juga
terjadi
di
negara
berkembang
dengan
tingkat
konsumsi
pangan
masyarakatnya tidak begitu tinggi. Low et al. (2009) menyatakan bahwa di negara-negara maju, prevalensi kegemukan pada remaja yang berusia lebih dari 18 tahun berkisar dari prevalensi terendah (2.4%) di Korea Selatan hingga prevalensi tertinggi (32.2%) di AS, sedangkan prevalensi kegemukan di negaranegara berkembang berkisar dari prevalensi terendah (2.4%) di Indonesia sampai prevalensi tertinggi (35.6%) di Saudi Arabia. Itu berarti kegemukan menjadi masalah yang serius di dunia, terutama di negara berkembang. Di Indonesia masalah kegemukan belum mendapat perhatian yang cukup, karena pemerintah masih terfokus pada masalah gizi kurang. Meskipun kegemukan belum menjadi masalah gizi utama, tetapi kegemukan perlu mendapat perhatian karena ada kecenderungan angkanya terus meningkat. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi nasional obesitas pada penduduk berusia lebih dari 15 tahun adalah 10.3% (lakilaki 13.9% dan perempuan 23.8%). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 melaporkan bahwa prevalensi nasional obesitas pada penduduk berumur lebih dari 18 tahun adalah 21.7% dan prevalensi obesitas pada perempuan (26.9%) lebih tinggi dibanding laki-laki (16.3%). Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai asupan energi dan protein serta aktivitas fisik pada mahasiswi dengan status gizi normal dan gemuk. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui asupan energi dan protein serta aktivitas fisik pada mahasiswi dengan status gizi normal dan gemuk Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Mengkaji karakteristik contoh (umur, status gizi, uang saku) serta karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh (pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga). 2. Mengkaji tingkat pengetahuan gizi contoh.
3 3. Mengkaji asupan energi dan protein contoh yang ditentukan berdasarkan konsumsi pangan yaitu kebiasaan makan yang meliputi (frekuensi makan, kebiasaan sarapan, kebiasaan makan siang dan malam, konsumsi protein hewani dan nabati, konsumsi sayur dan buah, kebiasaan konsumsi fast food, kebiasaan konsumsi soft drink, kebiasaan mengonsumsi camilan, kebiasaan minum minuman manis, kebiasaan minum susu/olahannya). 4. Mengkaji tingkat kecukupan energi dan protein contoh. 5. Mengkaji aktivitas fisik sehari-hari contoh. 6. Menganalisis hubungan antara karakteristik contoh, karakteristik sosial ekonomi keluarga, pengetahuan gizi, asupan energi dan protein serta aktivitas fisik dengan status gizi contoh. 7. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi contoh. Hipotesis Terdapat perbedaan antara asupan energi dan protein serta aktivitas fisik pada mahasiswi dengan status gizi normal dan gemuk. Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kegemukan pada mahasiswi dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat khususnya mahasiswi di Institut Pertanian Bogor. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan melalui penyuluhan untuk mahasiswi sehingga dapat mencegah kegemukan sejak masa remaja dengan menerapkan pola hidup yang sehat dan pola makan yang beragam serta tidak melakukan diet-diet ketat yang membahayakan kesehatan.
4
TINJAUAN PUSTAKA Asupan Energi dan Protein Asupan energi dan protein diperoleh melalui konsumsi pangan. Pangan merupakan istilah umum yang digunakan untuk semua bahan yang dapat dijadikan makanan, sedangkan makanan ialah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi yang berguna bagi tubuh. Makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dan dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya bila makanan tidak dipilih dengan baik, tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi essensial yang merupakan zat gizi yang harus diperoleh dari makanan (Almatsier 2002). Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi (dimakan) oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah 2004a).
Menurut Riyadi (1996) konsumsi pangan adalah
jumlah pangan, baik tunggal maupun beragam yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan pemenuhan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah untuk memenuhi rasa lapar atau keinginan memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan untuk memenuhi kepuasan emosional ataupun selera seseorang. Tujuan sosiologis adalah berhubungan dengan upaya memelihara hubungan antar manusia dalam kelompok kecil maupun kelompok besar. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh pendapatan, agama, pemasakan, pangan yang dibeli, dan kebiasaan makan (Almatsier 2002). Ada tiga hal yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu kuantitas dan ragam pangan yang tersedia dan diproduksi, pendapatan, dan tingkat pengetahuan gizi (Wulandari 2000). Sanjur (1989) menyatakan bahwa konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat maupun keluarga, sedangkan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi individu atau keluarga. Konsumsi pangan tingkat individu atau perorangan dapat dilakukan antara lain dengan metode recall 24 jam dan metode frekuensi makanan (food frequency). Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini enumerator meminta agar responden mengingat-ingat secara terperinci apa yang telah dikonsumsi selama 1-3 hari terakhir tersebut. Untuk
5 keperluan ini digunakan alat bantu misalnya ukuran-ukuran rumah tangga, dan model pangan untuk menentukan perkiraan-perkiraan konsumsi pangan yang lebih mendekati. Cara ini relatif cepat dan murah tetapi mengandung subyektivitas tinggi dan menimbulkan kesalahan sistematik (Suhardjo 1986). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu, sedangkan metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi seperti hari, minggu, bulan dan tahun (Supariasa, Bakri & Fajar 2001). Kebiasaan Makan Kebiasaan makan pada remaja saat ini lebih sering diamati dibandingkan kebiasaan makan pada orang dewasa ataupun pada usia lain. Perubahan hidup pada remaja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebiasaan mereka. Mereka menjadi aktif, lebih banyak makan di luar rumah, dan mendapat banyak pengaruh dalam pemilihan makanan yang akan dimakannya, pada remaja seringkali ditemui kebiasaan makan yang tidak biasa seperti konsumsi camilan yang berlebihan, seringnya konsumsi fast food, penerapan diet yang salah, dan meal skipping (Stang 2002 ). Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, antara lain adalah berkurangnya pengaruh dari keluarga dan meningkatnya pengaruh lingkungan dalam hal pemilihan makanan dan kesehatan, peningkatan iklan-iklan makanan di media, dan lain sebagainya. Sebagian besar remaja sadar akan pentingnya mempertimbangkan faktor gizi dan kesehatan dalam melakukan pemilihan makanan, akan tetapi banyak aspek yang mempengaruhi mereka dalam memilih makanan dan minuman (Story et al. 2002b). Menurut Sztainer et al. (2008), selera, waktu, dan kenyamanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi remaja dalam memilih makanan dan minuman. Frekuensi Makan Frekuensi makan mempengaruhi jumlah asupan makanan bagi individu dimana hal tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi (Sukandar 2007). Frekuensi makan diukur dalam satuan kali per hari, kali perminggu, maupun kali perbulan. Frekuensi makan pada seseorang dengan kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan kondisi ekonomi lemah. Hal ini disebabkan orang yang memiliki kemampuan ekonomi
6 yang lebih tinggi memiliki daya beli tinggi sehingga mengkonsumsi makanan dengan frekuensi yang lebih tinggi (Khomsan et al.1998) Menurut Khomsan (2002) bahwa frekuensi makan yang baik adalah 3 kali dalam sehari untuk menghindarkan kekosongan lambung. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Priyanto (2007) terbukti bahwa kelebihan frekuensi makan makanan utama dan kelebihan asupan energi merupakan faktor risiko kejadian kegemukan. Frekuensi makan yang tidak teratur dan jarak antara waktu makan yang terlalu panjang menyebabkan adanya kecenderungan untuk makan yang lebih banyak dan melebihi kebutuhan (Wirakusumah 1994). Kebiasaan Sarapan Pagi Meal skipping merupakan kebiasaan makan yang sering dilakukan oleh remaja. Salah satu waktu makan yang sering dilewatkan oleh remaja adalah sarapan pagi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Story et al. (2002) ditemukan bahwa sarapan merupakan waktu makan yang paling sering dilewatkan oleh remaja khususnya remaja perempuan. Adapun alasan remaja melewatkan waktu sarapan bermacam-macam mulai dari sibuk, untuk mencegah rasa kantuk saat sekolah/kuliah, serta menurunkan berat badan dengan membatasi asupan kalori. Menurut Affenito et al. (2005), sarapan dilewatkan oleh 15% remaja berumur 9-13 tahun, 34% oleh remaja perempuan berusia 14-19 tahun. Melewatkan sarapan dihubungkan dengan status kesehatan yang kurang baik termasuk indeks massa tubuh yang tinggi, penurunan konsentrasi belajar, peningkatan resiko kekurangan zat gizi terutama kalsium dan serat. Menghindari sarapan dapat memicu terjadinya kegemukan. Hal ini terjadi karena menurut Purwati et al. (2005) umumnya orang mengompensasikan sarapan dengan makan siang yang berlebih atau makanan kecil yang tinggi lemak dan kalori dalam jumlah yang relatif banyak. Melihat kondisi seperti ini, jika dihitung jumlah kalori yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak bila dibandingkan dengan melakukan sarapan. Salah satu kebiasaan makan yang sehat adalah membiasakan diri untuk sarapan pagi dan mengonsumsi makanan sehat. Menurut Radita (2007), seseorang yang tidak sarapan akan merasa lebih lapar pada siang dan malam hari daripada mereka yang sarapan, sehingga memacu mereka untuk mengonsumsi lebih banyak makanan pada siang hari dan malam hari. Selain itu, sarapan bersifat lebih mengenyangkan dibandingkan makan pada siang atau malam hari. Sehingga sarapan dapat mengurangi rasa lapar pada siang dan
7 malam hari. Mengonsumsi makanan yang banyak pada malam
hari akan
berakibat pada meningkatnya glukosa yang akan disimpan sebagai glikogen, karena aktivitas pada malam hari rendah. Konsumsi Buah dan Sayur Menurut Muchtadi (2001), sayuran merupakan menu yang hampir selalu tersedia dalam hidangan sehari-hari masyarakat Indonesia, baik dalam keadaan mentah (sebagai lalapan segar) atau setelah diolah menjadi berbagai macam bentuk masakan. Akan tetapi perubahan pola konsumsi pangan di Indonesia telah menyebabkan berkurangnya konsumsi sayuran dan buah-buahan hampir di semua provinsi di Indonesia. Drapeau et al. (2004) menyatakan bahwa, konsumsi buah dan sayuran dapat mencegah kejadian kegemukan karena dapat mengurangi rasa lapar tetapi tidak menimbulkan kelebihan lemak. Sayuran dan buah merupakan sumber serat yang tinggi. Hasil penelitian Puslitbang Gizi Bogor menunjukkan bahwa konsumsi serat rata-rata penduduk Indonesia tahun 2001 adalah sekitar 10.5 gram per hari. Angka konsumsi tersebut tentu saja masih sangat jauh dari angka kecukupan yang dianjurkan. Dietary Guidelines for American menganjurkan untuk mengonsumsi makanan yang mengandung pati dan serat dalam jumlah tepat (20-35 gram/hari) (Depkes 2008). National Cancer Institute menganjurkan konsumsi serat makanan sebanyak
20-30
gram/hari
sementara
America
Diet
Association
(ADA)
merekomendasikan 25-35 gram/hari (Sulistijani 2005). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa konsumsi serat berkontribusi kesejumlah efek metabolisme terhadap perubahan berat badan, yang meliputi perbaikan sensitivitas insulin, modulasi sekresi hormon usus tertentu, dan efek pada penanda metabolisme dan berbagai inflamasi yang berkaitan dengan sindrom metabolik (Pfeiffer & Weickert 2008). Menurut Riskesdas (2007), penduduk dikategorikan “cukup” konsumsi sayur dan buah apabila makan sayur dan atau buah minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan “kurang” apabila konsumsi sayur dan buah kurang dari ketentuan di atas. Secara keseluruhan, penduduk umur 10 tahun ke atas yang kurang mengonsumsi sayur sebesar 93.6% (kurang dari 5 porsi per hari).
8 Fast Food Istilah fast food pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1950-an dan menjadi pola makan yang dominan diantara anak-anak dan remaja. Jumlah restoran fast food sampai saat ini diperkirakan ada 247.115 unit di seluruh negara (Bowman et.al 2004). Menurut Khomsan (2002), fast food dikatakan negatif karena ketidakseimbangannya (dari segi porsi serta komposisi sayuran sehingga miskin akan vitamin dan mineral, tinggi garam dan rendah serat (merupakan faktor pemicu munculnya penyakit hipertensi), serta sumber lemak dan kolesterol (mengandalkan pangan hewani ternak sebagai menu utama). Ketidakseimbangan zat gizi dalam tubuh dapat terjadi jika fast food dijadikan sebagai pola makan setiap hari. Kegemukan terutama berkaitan dengan pola makan. Fast food (makanan cepat saji), snack, dan soft drink termasuk makanan dan minuman tidak sehat yang dapat memicu kegemukan. Menurut Purwati et al. (2005) salah satu penyebab kegemukan adalah kesalahan dalam memilih makanan (makanan cepat saji) hanya karena prestise atau gengsi semata. Makanan cepat saji (fast food) tersebut banyak mengandung lemak, kalori, dan gula berlebih. Pendapat yang sama dinyatakan oleh Misnadiarly (2007) bahwa mengkonsumsi makanan cepat saji dan minuman seperti ini biasanya memiliki kandungan kalori, gula atau garam yang tinggi. Penelitian-penelitian menemukan adanya kaitan antara riwayat kebiasaan mengonsumsi makanan tinggi energi dan lemak, dengan meningkatnya kegemukan dan obesitas. Padmiarti dan Hadi (2003) melaporkan bahwa semakin banyak jenis fast food (lebih dari 4 jenis) yang dikonsumsi, maka semakin tinggi risiko anak untuk menderita obesitas. Hal ini berkaitan dengan jumlah energi dari fast food yang dikonsumsi berpengaruh terhadap terjadinya obesitas. Menurut Ebbeling et al.(2002) beberapa faktor makanan yang berkaitan dengan obesitas antara lain porsi yang berlebihan, kandungan energi yang tinggi, palatabilitas (kesukaan terhadap rasa lemak, gula dan garam), kandungan lemak jenuh, tingginya indeks glikemik, dan kandungan serat yang rendah. Meilany (2001), fenomena makanan cepat saji (fast food) menjadi salah satu penyebab utama terjadinya obesitas. Makanan cepat saji ini mengandung energi yang sangat tinggi karena 40-50% adalah lemak. Padahal kebutuhan tubuh terhadap lemak hanya sekitar 15% saja. Sebagian besar kebutuhan tubuh semestinya adalah karbohidrat yang mencapai 60% dan protein sekitar 20%. Sebuah
9 penelitian yang dilakukan oleh French et al. (2001) melaporkan bahwa siswa lakilaki (40%) dan perempuan (37%) mengunjungi restoran fast food lebih dari 3 kali dalam seminggu. Soft Drink ( Minuman Ringan) Minuman ringan (soft drink) pertama kali diperkenalkan oleh Joseph Priestley dari Inggris pada tahun 1772 dengan nama sparkling water, kemudian dengan berbagai penelitian lanjutan muncul minuman berkabonat. Minuman ringan didefenisikan sebagai minuman penyegar umumnya mengandung atau tidak mengandung karbonat, pemanis, asam, flavor alami atau buatan (Ensminger et al.1994). Klasifikasi jenis minuman ringan terdiri dari tiga kategori, yaitu : 1. Minuman bergas (carbonated), jenis minuman ini mengandung gula, asam, flavor, dan konsentrat. 2. Minuman tidak bergas (non carbonated), jenis minuman ini mencakup sari buah dan teh. 3. Minuman gas yang tidak mengandung gula, asam atau essen (sparkling water), seperti air soda. Berdasarkan penelitian Arofah dan Hertanto (2007) tentang konsumsi soft drink pada remaja SMU N 5 Semarang diketahui bahwa minuman ringan memberi kontribusi 7.1% dari total pemasukan energi, pemanis buatan ditambahkan untuk memenuhi selera rasa yang digemari remaja, tambahan pemanis ini mencapai 7 hingga 14%, diantaranya fruktosa dan sukrosa. Tingginya kadar pemanis buatan ini meningkatkan asupan kalori pada remaja. Konsumsi Susu Secara alamiah yang dimaksud dengan susu adalah hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya, yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponenkomponennya atau ditambah dengan bahan-bahan lain, hewan yang susunya digunakan sebagai bahan makanan adalah sapi perah, kerbau, unta, kambing perah (kambing etawa), dan domba (Hidiwiyoto 1993). Menurut Khomsan (2002) susu dikenal sebagai minuman sumber kalsium. Oleh karena itu membiasakan diri minum susu akan memberikan dampak positif bagi kesehatan terutama untuk mencegah osteoporosis (kerapuhan tulang). Penelitian AS menunjukkan bahwa apabila kita minum 2 gelas susu sehari dimana satu gelas setara dengan 200 cc, maka susu tersebut menyumbangkan
10 energi 10-16% dan menyumbang protein 25-44%. Kontribusi susu terhadap energi dan protein dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kontribusi energi dan protein yang berasal dari dua gelas susu Umur (th) 4–9 10 – 19 (pria) 10 – 19 (wanita) 20 – 59 (pria) 20 – 59 (wanita)
Energi (%) 16 12 15 10 14
Protein (%) 44 25 32 30 34
Konsumsi Camilan Menurut Wirakusumah (1994), kebiasaan mengonsumsi camilan dapat berdampak baik dan buruk. Camilan yang sehat adalah camilan yang jika dikonsumsi dapat menyumbangkan sejumlah zat gizi yang signifikan tanpa menurunkan selera makan seperti cracker gandum, buah-buahan, dan lain-lain. Namun apabila camilan yang dikonsumsi tinggi lemak, tinggi gula namun rendah zat gizi, maka akan berisiko terjadinya kegemukan. Lemak memiliki kandungan energi dua kali lebih banyak dibandingkan dengan protein. Makan makanan berlemak dengan jumlah yang sama dengan protein akan memberikan energi yang lebih besar. Selain itu, makanan berlemak terasa lezat dan memiliki “mounth-feel” yang enak. Makanan berlemak biasanya rendah serat, sehingga lebih lembut dan hanya memerlukan sedikit waktu untuk dikunyah dan ditelan daripada jenis makanan lain (Atkinson 2005). Penelitian lain mengemukakan bahwa konsumsi makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu general maupun central obesity) hal ini terjadi pada subjek dimana asupan tertinggi dari energi berasal dari makanan gorengan. Seseorang yang mengonsumsi makanan gorengan lebih banyak beresiko 1.26 kali (pria) dan 1.25 kali (wanita) lebih tinggi untuk mengalami kegemukan (Castillon et al. 2007). Konsumsi camilan tidak hanya dilakukan pada saat santai akan tetapi juga dilakukan saat seseorang mengalami stres. Menurut Khomsan (2002) menyatakan bahwa
stres akan merangsang dihasilkannya hormon adrenalin
secara berlebihan dan menyebabkan jantung berdebar cepat. Produksi hormon adrenalin ini akan membutuhkan zat gizi seperti vitamin-vitamin B, mineral Zn, kalium, dan kalsium. Oleh karena itu, stres yang berkepanjangan tidaklah menguntungkan, sebab zat-zat gizi untuk memproduksi hormon adrenalin akan
11 semakin terkuras. Ketika seseorang mengalami tekanan psikologis terjadi penurunan kadar glukosa darah yang menyebabkan rasa lapar. Menurut Popkin (2007), cemilan sebenarnya penting bagi remaja, namun apapun cemilannya dalam sehari, seharusnya hanya memberikan 20% dari total energinya. Kebiasaan mengonsumsi cemilan biasanya dilakukan pada saat menonton televisi, bermain game dan saat belajar. Ketiga kegiatan tersebut merupakan aktivitas fisik yang sangat rendah, namun dalam waktu bersamaan biasanya remaja mengonsumsi makanan yang banyak mengandung cukup energi. Tidak seimbangnya antara konsumsi energi dengan aktivitas fisik yang dilakukan merupakan salah satu penyebab obesitas pada remaja. Aktivitas Fisik Aktifitas fisik menentukan kondisi kesehatan seseorang. Aktifitas fisik adalah gerakan yang dilakukan otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktifitas fisik, otot membutuhkan energi untuk menghantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan mengeluarkan sisa-sisa tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan tergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2002). Fathonah (1996) menyatakan bahwa aktivitas dibagi menjadi dua yaitu aktivitas fisik internal dan eksternal. Aktivitas fisik internal yaitu suatu aktivitas dimana proses bekerjanya organ-organ dalam tubuh saat istirahat, sedangkan aktivitas eksternal yaitu aktivitas yang dilakukan oleh pergerakan anggota tubuh yang dilakukan seseorang selama 24 jam serta banyak mengeluarkan energi. Dari beberapa pengertian yang dikemukakan aktivitas fisik merupakan suatu kondisi yang memerlukan tingkatan gerakan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan energi yang dikeluarkan, sehingga kalori per jam akan berkurang tergantung tingkat aktivitasnya Gaya hidup di era modern dengan aktivitas fisik ringan akan memudahkan terjadinya penumpukan lemak tubuh. Proses timbulnya lemak di sekeliling tubuh berlangsung perlahan, lama dan seringkali tidak disadari. Fasilitas perkantoran dan belanja yang dilengkapi dengan lift/elevator menyebabkan seseorang malas untuk berjalan dan menggerakkan anggota tubuhnya. Sementara kesibukan di tempat kerja atau di rumah tidak menyisakan waktu sedikitpun untuk berolahraga (Khomsan 2005). Perubahan pola aktivitas ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya obesitas. Lingkungan, baik itu dari segi teknologi maupun kebudayaan, telah
12 memainkan peranannya dalam perubahan aktivitas fisik manusia sehingga menjadi lebih rendah dibandingkan sebelumnya. Rendahnya aktivitas fisik ini akan mendorong keseimbangan energi ke arah positif sehingga mengarah pada penyimpanan energi dan penambahan berat badan (Freitag 2010). Faktor aktivitas fisik yang kurang sangat kentara menjadi penyebab kegemukan terutama pada anak masa kini. Orang-orang makmur yang tidak aktif memerlukan lebih sedikit kalori. Seseorang yang cenderung mengonsumsi makanan kaya lemak dan tidak melakukan aktivitas fisik yang seimbang, akan mengalami obesitas. Kurangnya aktivitas gerak badan menjadi penyebab kegemukan karena kurangnya pembakaran lemak dan sedikitnya energi yang dipergunakan (Mustofa 2010). Menurut Riskesdas (2007), kegiatan aktifitas fisik dikategorikan “cukup” apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara komulatif 150 menit selama 5 hari dalam satu minggu. Menurut kelompok umur di atas 10 tahun yang kurang melakukan aktifitas fisik sebanyak 66.9% (kurang dari 150 menit/minggu). Berdasarkan tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi prevalensi kurang aktivitas fisik, prevalensi kurang aktivitas fisik penduduk perkotaan (57.6%) lebih tinggi dibanding perdesaan (42.4%) dan semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita per bulan semakin meningkat prevalensi kurang aktivitas fisik. Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan. Penilaian terhadap status gizi seseorang atau sekelompok orang akan menentukan apakah orang atau sekelompok orang tersebut memiliki status gizi yang baik atau tidak (Gibson 2005). Status gizi seseorang dipengaruhi oleh konsumsi zat gizi dari makanan dan penyakit infeksi yang mengganggu proses metabolisme, penyerapan, dan penggunaan zat gizi oleh tubuh. Supariasa et al. (2002) menyatakan status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik.
13 Pengukuran antropometri adalah pengukuran terhadap dimensi tubuh dan komposisi tubuh (Syafia 2009). Saat ini pengukuran antropometri digunakan secara
luas
dalam
penilaian
status
gizi
terutama
apabila
terjadi
ketidakseimbangan kronis antara intik energi dan protein. Remaja merupakan periode yang pesat untuk pertumbuhan sehingga jika terjadi kekurangan atau kelebihan zat gizi akan terlihat jelas. Status gizi remaja dapat dihitung dengan indikator antropometri berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berta badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Gibson 2005). Pengukuran yang sering dilakukan dilapangan yaitu berat badan untuk mengetahui massa tubuh dan panjang atau tinggi badan untuk mengetahui dimensi linier (Riyadi 2003). Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Berat badan kurang dapat meningkatkan resiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan lebih akan meningkatkan resiko terhadap penyakit degeneratif. Oleh karena itu, mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup yang lebih panjang. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa berumur lebih dari 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan. Indikator IMT menurut umur merupakan indikator terbaik untuk remaja. Indikator ini sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas dan juga sejalan dengan indikator yang sudah direkomendasikan untuk orang dewasa serta data referensi yang
bermutu tinggi tentang indikator ini
sudah tersedia. Menurut WHO (2007) pengukuran status gizi pada anak usia 5 hingga
19
tahun
direkomendasikan
menggunakan
indeks
masa
tubuh
berdasarkan (IMT/U). Kategori status gizi berdasarkan IMT/U dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kategori status gizi berdasarkan IMT/U Variabel < -3 SD -3 SD < Z < -2 SD -2 SD < Z < +1 SD +1 SD < Z < +2 SD +2 SD < Z < +3 SD > +3 SD Sumber : WHO 2007
Kategori Sangat kurus Kurus Normal Overweight Obese Sangat gemuk
14 Istilah kegemukan (overweight) dan obesitas (obesity) seringkali dianggap sama, walaupun sebenarnya berbeda. Kegemukan menurut Rimbawan dan Siagian (2004) adalah kondisi berat tubuh melebihi berat tubuh normal, sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak untuk pria melebihi 20% dan wanita 25% dari berat tubuh. Pendapat yang sama dinyatakan oleh Meilany (2001) bahwa overweight adalah suatu keadaan yang ditandai dengan berat badan seseorang melebihi berat badan normal. Sedangkan obesitas didefenisikan sebagi suatu keadaan terjadinya penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan atau menempatkan seorang individu pada resiko masalah kesehatan. Misnadiarly (2007) menyatakan manifestasi klinis dan komplikasi yang sering ditemukan pada penderita obesitas antara lain penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, hipertensi, infeksi saluran pernafasan, perlemakan hati dan hipertrigliserid. Anak yang menderita obesitas pasti mengalami overweight, tetapi anak yang mengalami overweight belum tentu menderita obesitas (Khomsan 2004). Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), kegemukan dan obesitas dapat terjadi pada berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Orang yang menderita kegemukan di usia muda memiliki resiko lebih tinggi menderita obesitas pada saat dewasa dibandingkan orang yang memiliki berat tubuh normal. Fukuda et al. (2001) menyatakan bahwa umur 10-12 tahun merupakan masa kritis terakhir dalam terjadinya obesitas. Risiko ini lebih besar pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Kurang lebih 30% obesitas wanita dewasa berasal dari obesitas pada awal masa remaja, sedangkan pada pria hanya 10%. Arora (2008) menyatakan bahwa obesitas sebenarnya merupakan konsekuensi dari ketidakseimbangan energi karena asupan energi lebih besar dibandingkan jumlah energi yang dikeluarkan. Keseimbangan energi adalah selisih antara energi yang didapat dari konsumsi pangan dengan penggunaan energi untuk metabolisme dan aktivitas otot (Almatsier 2002). Menurut Sizer dan Whitney (2000), dua variabel yang membentuk persamaan keseimbangan energi (energy balanced) yaitu pemasukan energi (energy in) dan pengeluaran energi (energy out). Pemasukan energi diperoleh dari makanan dan minuman, sedangkan komponen pengeluaran energi adalah energi metabolisme basal dan energi aktivitas fisik. Hill et al. (2003) menyatakan bahwa memelihara keseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi merupakan faktor penting dalam pengaturan berat badan. Jadi beberapa faktor
15 yang dapat meningkatkan asupan energi atau menurunkan pengeluaran energi akan berdampak pada terjadinya everweight dan obesitas. Khomsan (2004) menyatakan bahwa penyebab kegemukan ada yang bersifat eksogenous dan endogenous. Penyebab eksogenous misalnya kegemaran makan secara berlebihan terutama makanan tinggi energi tanpa diimbangi oleh aktivitas fisik yang cukup sehingga surplus energinya kemudian disimpan sebagai lemak tubuh. Penyebab endogenous adalah adanya gangguan metabolik dalam tubuh, misalnya kejadian tumor pada hipotalamus yang dapat menyebabkan hiperfagia atau nafsu makan berlebihan. Patofisiologi Obesitas Obesitas terjadi karena adanya kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Gangguan keseimbangan ini dapat disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas primer) sebagai akibat nutrisional (90%) dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat kelebihan hormonal, sindrom atau genetik (meliputi 10%) (Satoto dkk 1998). Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui proses fisiologis yaitu pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (terpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal eferen dari perifer (jaringan adipose, usus, dan jaringan otot). Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta menurunkan pengeluaran energi) dan dapat
pula bersifat
katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan faktor
distensi
lambung dan peptide gastrointestinal, yang di perankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam meningkatkan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon lipid dan insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi (Satoto dkk 1998). Proses pencernaan dimulai di mulut, dimana makanan dirubah menjadi bentuk yang lebih kecil, kemudian diteruskan ke lambung. Dengan bantuan enzim,
makanan
di
lambung
dipecah
menjadi
komponen-komponen
penyusunnya, seperti protein, karbohidrat, dan lemak. Kemudian proses dilanjutkan di usus halus, disini akan dilepaskan berbagai enzim dari pankreas, salah satunya adalah lipase. Lipase berfungsi mengubah lemak menjadi
16 komponen-komponen yang sangat halus agar dapat diserap oleh dinding usus dan dapat melewati pembuluh darah untuk dialirkan ke seluruh tubuh. Lemak dapat langsung digunakan sebagai energi atau bila tubuh telah cukup mendapatkan energi, maka kelebihan lemak tersebut akan ditimbun. Timbunan lemak inilah yang menyebabkan peningkatan berat badan (Roche 2007). Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adipose meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptide-Y (NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya jika kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adipose berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Menurut Supariasa et al. (2001) status gizi merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang masuk ke dalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient output) akan zat gizi tersebut. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang dapat dibedakan menjadi faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung. Faktor-faktor yang berhubungan langsung dengan status gizi antara lain konsumsi, aktivitas fisik, dan keturunan. Kelebihan atau kekurangan konsumsi dapat memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan. Menurut Almatsier (2002) kekurangan konsumsi energi dapat mengakibatkan keseimbangan energi negatif yang berakibat pada berat badan kurang dari seharusnya. Sedangkan kelebihan konsumsi dapat mengakibatkan berat badan lebih atau kegemukan. Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan. Obesitas atau kegemukan yang parah terjadi karena tidak adanya keseimbangan energi, dimana energi intake lebih besar daripada energi yang dikeluarkan yang terpakai dalam aktivitas fisik (WHO 2000). Keturunan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi. Menurut penelitian Pramudita (2011) terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat kegemukan pada ayah terhadap status gizi anak.
Kelebihan
konsumsi energi bukan satu-satunya penyebab kegemukan. Faktor genetik juga
17 berperan penting terhadap munculnya kegemukan pada seseorang. Jika kedua orang tua gemuk, resiko kegemukan pada anak-anaknya mencapai 80%. Namun, jika hanya salah satu orang tua yang gemuk, peluang anak-anaknya menjadi 40% (Anwar dan Khomsan 2009). Penelitian
terbaru
menunjukkan
bahwa
rata-rata
faktor
genetik
memberikan pengaruh sebesar 33% terhadap berat badan seseorang. Hal ini merupakan faktor keturunan dari orang tua yang sulit dihindari. Sering didapati anak yang mengalami obesitas biasanya berasal dari keluarga yang obesitas (Mustofa 2010). Para ilmuwan menduga bahwa gen-gen mungkin dapat menyebabkan obesitas pada manusia karena berat seorang anak seringkali berhubungan dengan berat badan orang tua. Di dalam penelitian terhadap anak-anak SMA, hanya terdapat 8% dari pelajar dengan orang tua kurus menjadi obesitas. jika salah satu atau kedua orang tua menderita obesitas,sekitar ¾ dari mereka menjadi gemuk. Berat badan anak yang diadopsi tidak bergantung kepada orang tua angkat mereka (Mustofa 2010). Faktor tidak langsung. Salah satu faktor tidak langsung yang dapat mempengaruhi status gizi anak adalah sosial ekonomi. Tingkat pendidikan orang tua sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi anaknya. Makin tinggi tingkat pendidikan maka pendapatan pun akan semakin tinggi. Peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat tertentu menyebabkan perubahan dalam gaya hidup, terutama dalam hal kebiasaan mengonsumsi makanan. Kebiasaan makan baru yang dikonsumsi adalah makanan yang rendah serat dan tinggi lemak. Disamping itu, perbaikan ekonomi menyebabkan berkurangnya aktivitas fisik kelompok masyarakat tertentu. Perubahan pola makan dan aktivitas fisik ini berakibat semakin banyaknya penduduk golongan tertentu mengalami masalah gizi lebih berupa kegemukan dan obesitas (Almatsier 2002). Pengetahuan Gizi Khomsan (2000) menyatakan bahwa pengetahuan gizi menjadi landasan penting
yang
menentukan
konsumsi
pangan
keluarga.
Individu
yang
berpengetahuan gizi baik akan mempunyai konsumsi pangan keluarga yang baik pula dan mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizinya didalam pemilihan maupun pengolahan pangan sehingga konsumsi pangan yang mencukupi dapat lebih terjamin. Pengetahuan gizi merupakan aspek kognitif
18 yang mencirikan seseorang memahami tentang gizi, pangan dan kesehatan (Sukandar 2007). Pengukuran pengetahuan gizi dapat dilakukan menggunakan instrumen berbentuk pertanyaan pilihan ganda (multiple choice). Instrumen ini merupakan bentuk tes obyektif yang paling sering digunakan. Tingkat pengetahuan gizi ini dibagi dalam tiga kategori, yaitu baik, sedang dan kurang (Khomsan 2000). Madaniah (2002), seseorang yang memiliki pendidikan rendah, belum tentu kurang mampu menyusun makan yang memenuhi persyaratan gizi sebanding dengan orang yang berpendidikan lebih tinggi. Hal ini disebabkan, orang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi maka akan rajin dalam mendengarkan informasi tentang gizi sehingga pengetahuan gizinya akan baik. Remaja Remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Masa remaja merupakan periode dari pertumbuhan dan proses kematangan manusia, pada masa ini terjadi perubahan yang sangat unik dan berkelanjutan (Yuniastuti 2008). Pada usia remaja banyak perubahan yang terjadi, diantaranya adalah perubahan fisik karena bertambahnya massa otot, bertambahnya jaringan lemak dalam tubuh, dan perubahan hormonal. Perubahan-perubahan itu mempengaruhi kebutuhan gizi dan makanan mereka (Moehji 2003). Menurut Mar’at (2009), berdasarkan tahap perkembangan masa remaja dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu usia 12-15 tahun merupakan masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan usia 18-21 tahun merupakan masa remaja akhir. Pada usia remaja banyak perubahan yang terjadi, diantaranya adalah perubahan fisik karena bertambahnya massa otot, bertambahnya jaringan lemak dalam tubuh, dan perubahan hormonal. Perubahan-perubahan itu mempengaruhi kebutuhan gizi dan makanan mereka (Moehji 2003). Remaja membutuhkan kecukupan energi yang khusus, karena waktu remaja merupakan periode rawan, hal ini disebabkan pertama karena remaja membutuhkan zat gizi dan energi yang besar untuk pertumbuhan yang cepat. Kedua ialah pada remaja terjadi perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan yang mempengaruhi asupan zat gizi. Ketiga ialah karena pada umumnya remaja banyak berpartisipasi pada olah raga, dan biasanya banyak melakukan diet ketat Pada saat remaja kebutuhan gizi meningkat karena terjadinya proses
19 pertumbuhan yang cepat dan aktivitas fisik yang tinggi (Almatsier 2002). Oleh karena itu sebaiknya kebutuhan gizi tercukupi secara baik. Menurut Moehji (2003) faktor yang memicu terjadinya masalah gizi pada usia remaja antara lain kebiasaan makan yang buruk, pemahaman gizi yang keliru, kesukaan yang berlebihan terhadap makanan tertentu, promosi yang berlebihan melalui media masa, dan masuknya produk-produk makanan baru yang berasal dari negara lain secara bebas.
20
KERANGKA PEMIKIRAN Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan. Penilaian terhadap status gizi seseorang atau sekelompok orang akan menentukan apakah orang atau sekelompok orang tersebut memiliki status gizi yang baik atau tidak (Gibson 2005). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi dan dibedakan menjadi dua, yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap status gizi adalah asupan energi dan protein yang ditentukan berdasarkan konsumsi pangan, penyakit infeksi dan genetik. Adapun faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi melalui tingkat kecukupan energi dan zat gizi antara lain adalah konsumsi dan kebiasaan makan serta aktivitas fisik. Ada tiga faktor yang berhubungan dengan ketiga hal tersebut, yaitu karakteristik contoh, karakteristik sosial ekonomi keluarga dan pengetahuan gizi contoh.
21
Karakteristik Contoh Umur Besar uang saku Status gizi
Pengetahuan Gizi
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Contoh: Besar keluarga Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Pendapatan keluarga
Asupan Energi dan Protein yang ditentukan Berdasarkan Konsumsi Pangan yaitu: Kebiasaan makan - Frekuensi makan - Kebiasaan sarapan pagi - Kebiasaan makan malam atau sore - Konsumsi protein hewani dan nabati - Konsumsi sayur dan buah - Kebiasaan konsumsi cemilan - Kebiasaan konsumsi fast food - Kebiasaan konsumsi soft drink - Kebiasaan konsumsi susu Konsumsi pangan
Aktifitas Fisik : Aktivitas hari kuliah dan libur
Tingkat Kecukupan Energi dan Protein
Penyakit infeksi
Status Gizi : Normal & gemuk
Faktor genetik
Keterangan : : Variabel yang diteliti : Garis hubungan yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Garis hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1. Kerangka pemikiran analisis asupan energi dan protein serta aktivitas fisik pada mahasiswi dengan status gizi normal dan gemuk.
22
METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain survei melalui pendekatan cross sectional study. Penelitian dilaksanakan di Asrama Putri Tingkat Persiapan bersama (TPB), Institut Pertanian Bogor. Pengambilan data berlangsung pada bulan Mei sampai Juli 2012. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Contoh dalam penelitian ini adalah mahasiswi tingkat pertama yang tinggal di asrama TPB-IPB. Tahap awal dalam penarikan contoh adalah dengan melakukan survei terhadap contoh di asrama TPB-IPB yang terdiri dari 5 gedung yaitu A-1, A-2, A-3, Rusunawa, dan Sylvasari. Kriteria contoh dalam penelitian ini adalah mahasiswi dengan kisaran umur 18-21 tahun, bersedia untuk diwawancarai dan mengisi kuesioner penelitian, berada di asrama saat penelitian dilaksanakan serta memiliki status gizi normal dan gemuk. Data status gizi contoh dibedakan menurut kategori umur. Contoh yang berumur kurang atau sama dengan 19 tahun perhitungan status gizinya berdasarkan nilai z score menurut IMT/U (WHO 2007) dengan nilai (-2 SD < Z < +1 SD) untuk contoh dengan status gizi normal dan (z>+1SD) untuk contoh dengan status gizi gemuk. Sedangkan contoh yang berumur lebih dari 19 tahun, perhitungan status gizinya berdasarkan nilai IMT (WHO 2003) dengan nilai 18.5 sampai 24.9kg/m2 untuk contoh dengan status gizi normal dan lebih dari 25.0 kg/m2 untuk contoh dengan status gizi gemuk. Jumlah contoh minimal ditentukan berdasarkan rumus Sastroasmoro (1995) dengan pertimbangan prevalensi status gizi gemuk pada remaja di Indonesia adalah sebesar 11.7 % (Riskesdas 2007). n = Z2 (1-α/2) P(1-P) d2 = (1.96)2 0.117 (1-0.117) (0.1)2 = 39 Keterangan: n = jumlah contoh dengan status gizi overweight dan obes d = toleransi estimasi (10%) = 0.10 p = prevalensi remaja status gizi overweight dan obes(11.7%) = 0.117 Z = 1.96 dengan derajat kepercayaan 5%
23 Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan jumlah contoh minimal yaitu sebanyak 39 orang. Penarikan contoh terlebih dahulu dilakukan dengan penyebaran formulir data contoh yang berisi nama, umur, berat badan, tinggi badan, nomor asrama dan nomor telpon mahasiswi. Dari formulir data tersebut didapatkan calon contoh yang memenuhi kriteria berdasarkan data dari calon contoh adalah sebanyak 150 orang contoh dengan status gizi normal dan 69 orang contoh dengan status gizi gemuk. Setelah didapatkan calon contoh yang memenuhi kriteria, kemudian dihubungi kembali untuk dilakukan pengukuran ulang berat badan dan tinggi badan. Calon contoh yang memenuhi kriteria didapatkan sebanyak 78 orang contoh dengan status gizi normal dan 42 orang contoh dengan status gizi gemuk. Selanjutnya contoh yang bersedia mengikuti penelitian yaitu sebanyak 68 orang contoh dengan status gizi normal dan 39 orang contoh dengan status gizi gemuk. Untuk mendapatkan perbandingan yang sama antar kelompok, ditetapkan 39 orang contoh dengan status gizi normal dan 39 orang contoh dengan status gizi gemuk, sehingga jumlah contoh dalam penelitian ini adalah sebanyak 78 orang. Jenis dan Cara Pengambilan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari dua data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengukuran langsung dengan alat bantu microtoise, pita, timbangan badan digital dan wawancara dengan alat bantu kuesioner. Data primer dalam penelitian ini meliputi : 1. Data karakteristik contoh meliputi tanggal lahir, berat badan dan tinggi badan, uang saku per bulan dan alokasi pengeluaran makanan dan minuman. Data berat badan dan tinggi badan diperoleh dengan cara pengukuran langsung
menggunakan alat bantu timbangan digital dan
microtoise. Data uang saku per bulan dan alokasi pengeluaran makanan dan minuman diperoleh dengan alat bantu kuesioner. 2. Data karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga diperoleh dengan alat bantu kuesioner. 3. Data pengetahuan gizi contoh diperoleh dengan alat bantu kuesioner. 4. Data asupan energi dan protein yang ditentukan berdasarkan data konsumsi pangan yaitu kebiasaan makan contoh yang meliputi frekuensi makan, makanan pokok, kebiasaan sarapan, kebiasaan makan siang dan
24 malam, konsumsi protein hewani dan nabati, konsumsi sayur dan buah, kebiasaan konsumsi fast food, kebiasaan konsumsi soft drink, kebiasaan konsumsi camilan, kebiasaan minum minuman manis, dan kebiasaan minum susu/olahannya diperoleh dengan alat bantu kuesioner. 5. Data frekuensi kebiasaan makan contoh yang meliputi makanan pokok, pangan hewani, pangan nabati, sayuran, buah-buahan, makanan cemilan, makanan dan minuman manis, fast food, soft drink, serta susu dan olahannya diperoleh dengan menggunakan kuesioner food frequency. 6. Data konsumsi contoh pada hari kuliah dan hari libur diperoleh menggunakan kuesioner food recall 2x24 jam. 7. Data aktivitas fisik contoh pada hari kuliah dan hari libur diperoleh menggunakan kuesioner. Data sekunder dalam penelitian ini adalah gambaran umum
tentang
asrama Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor yang diperoleh dari Badan Pengawas Asrama TPB. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan Data Pengolahan data dimulai dari pengkodean (coding) yaitu memberikan kode sebagai panduan entry. Kemudian dilakukan pemasukan data ke dalam tabel yang telah dipersiapkan (entry data). Selanjutnya dilakukan proses cleaning atau pengecekan ulang untuk memastikan tidak terdapat kesalahan dalam memasukkan data. Pengolahan
data
karakteristik
contoh
berupa
data
umur
yang
dikategorikan berdasarkan WHO AnthroPlus yaitu menjadi kurang dari 19 tahun dan lebih atau sama dengan 19 tahun, sedangkan data besar uang saku/bulan dikategorikan berdasarkan rata-rata uang saku contoh/bulan. Pengolahan data karakteristik sosial ekonomi keluarga dilakukan dengan cara : Pendidikan orang tua. Data pendidikan terakhir yang pernah ditempuh orang tua dikelompokkan menjadi tidak tamat SLTA, dan tamat SLTA. Pekerjaan orang tua. Data pekerjaan orang tua dikelompokkan menjadi: ibu rumah tangga, PNS, Polisi/TNI, pegawai swasta, wiraswasta, petani, peternak, nelayan dan alm/pensiunan.
25 Pendapatan
keluarga.
Data
mengenai
pendapatan
keluarga
dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu kurang dari Rp 4.000.000 dan lebih atau sama dengan Rp 4.000.000. Besar keluarga. Besar keluarga diolah dengan cara mengelompokkan jumlah anggota keluarga menjadi tiga kategori berdasarkan BKKBN (1998) yaitu besar (lebih atau sama dengan 8 orang), sedang (5 sampai 7 orang), dan kecil (kurang atau sama dengan 4 orang). Pengolahan terhadap variabel pengetahuan gizi, asupan energi dan protein melalui data konsumsi pangan, kebiasaan makan, dan data aktivitas fisik adalah sebagai berikut: Pengetahuan
gizi
contoh
diukur
dengan memberikan
25
buah
pertanyaan pilihan berganda yang memiliki satu jawaban yang paling benar (correct-answer multiple choice). Pertanyaan yang diajukan berkaitan zat gizi dan fungsinya secara umum serta segala sesuatu yang berkaitan dengan kegemukan. Jawaban yang benar diberi skor 1 dan jawaban yang salah diberi skor 0 dengan total skor maksimal 25. Kemudian tingkat pengetahuan gizi tersebut dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu, kurang apabila skorkurang dari 60% dari total jawaban yang benar, sedang apabila skor 60 sampai 80% dari total jawaban yang benar, dan baik apabila skor lebih dari 80% dari total jawaban yang benar (Khomsan 2000). Data asupan energi dan protein ditentukan berdasarkan konsumsi pangan yaitu kebiasaan makan yang diukur melalui pengisian kuesioner dengan mengajukan pertanyaan tentang frekuensi makan, kebiasaan sarapan, kebiasaan makan siang dan malam, konsumsi protein hewani dan nabati, konsumsi sayur dan buah, kebiasaan konsumsi fast food, kebiasaan konsumsi soft drink, kebiasaan mengonsumsi camilan, kebiasaan minum minuman manis, dan kebiasaan minum susu/olahannya selama satu bulan terakhir. Data frekuensi makan sehari dikelompokkan menjadi tiga yaitu 1 kali/hari, 2 kali/hari, dan 3 kali/hari. Data kebiasaan sarapan, kebiasaan makan siang dan malam dikelompokkan menjadi empat yaitu 6-7 kali/minggu, 3-5 kali/minggu, 1-2 kali/minggu dan tidak pernah. Data konsumsi protein hewani dan nabati dikelompokkan menjadi dua yaitu ya dan tidak. Data konsumsi sayur dan buah dikelompokkan menjadi empat yaitu 6-7 kali/minggu, 3-5 kali/minggu, 1-2 kali/minggu dan tidak pernah. Data kebiasaan konsumsi fast food, kebiasaan konsumsi soft drink, kebiasaan konsumsi cemilan, kebiasaan minum minuman
26 manis serta kebiasaan minum susu/olahannya dikelompokkan menjadi empat yaitu, 6-7 kali/minggu, 3-5 kali/minggu, 1-2 kali/minggu dan tidak pernah. Selain itu, food frequency quetionaire merupakan kuesioner yang menggambarkan frekuensi responden dalam mengonsumsi beberapa jenis makanan dan minuman. Makanan dan minuman tersebut terdiri dari makanan pokok, pangan hewani, pangan nabati, sayuran, buah-buahan, dan makanan cemilan, makanan dan minuman manis, fast food, soft drink, serta susu dan olahannya. Berdasarkan data recall 2x24 jam, yaitu 1x24 jam pada hari kuliah dan 1x24 jam pada hari libur dapat diketahui data asupan energi dan protein contoh. Data yang didapatkan kemudian dikonversi dalam kandungan energi dan protein dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Untuk mengetahui angka kecukupan energi dan protein pada contoh dengan status gizi normal digunakan rumus:
Angka kecukupan energi pada contoh dengan status gizi gemuk adalah sesuai dengan yang tercantum pada tabel AKG. Penilaian untuk mengetahui tingkat konsumsi (kecukupan) gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi energi atau zat gizi aktual dengan kecukupan energi atau zat gizi yang selanjutnya dinyatakan dalam persen. Menurut Menurut Supariasa et al (2002), secara umum tingkat kecukupan dapat dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan: TKGi : Tingkat kecukupan energi atau zat gizi Ki
: Konsumsi energi atau zat gizi
AKGi : Angka kecukupan energi atau zat gizi Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Depkes (1996) dalam Supariasa et al (2002) dikelompokkan menjadi: <70% AKG
: Defisit tingkat berat
27 70-79% AKG
: Defisit tingkat sedang
80-89% AKG
: Defisit tingkat ringan
90-119 AKG
: Normal
≥120% AKG
: Berlebih
Data aktivitas fisik diperoleh melalui metode recall 2x24 jam , yaitu 1x24 jam pada hari kuliah dan 1x24 jam pada hari libur. Data aktivitas fisik yang dikumpulkan berupa jenis aktivitas fisik yang dilakukan dan durasi waktu melakukan aktivitas fisik dalam sehari. Data tersebut diperoleh dengan menggunakan kuesioner yang diisi sendiri oleh contoh dengan panduan peneliti. Aktivitas tersebut kemudian ditentukan nilai Physical Activity Ratio dengan menggunakan acuan dari WHO/FAO/UNO 2001 untuk mendapatkan nilai Physical Activity Level. Tabel 3. Sebaran nilai PAR dari beberapa kegiatan Kegiatan Aktifitas Ringan (Sedentary/Light Activity Lifestyle) - Tidur - Perawatan diri (mandi dan berpakaian) - Makan - Memasak - Kegiatan yang dilakukan dengan duduk - Pekerjaan Rumahtangga - Mengenderai kendaraan - Berjalan - Kegiatan Ringan (Menonton TV) Aktifitas Sedang (Active or Moderately Active Lifestyle) - Tidur - Perawatan diri (mandi dan berpakaian) - Makan - Kegiatan yang dilakukan dengan berdiri - Transportasi kerja dengan bus - Berjalan - Olahraga Ringan - Kegiatan Ringan (Menonton TV) Aktifitas berat (Viogorous or vigorously Active Lifestyle) - Tidur - Perawatan diri (mandi dan berpakaian) - Makan - Masak - Kegiatan pertanian tanpa menggunakan alat - Mengambil air - Pekerjaan Rumahtangga yang berat - Berjalan - Kegiatan Ringan Keterangan: PAR= Physical Activity Ratio (faktor aktifitas)
PAR 1 2.3 1.5 2.1 1.5 2.8 2.0 3.2 1.4 1 2.3 1.5 2.2 1.2 3.2 4.2 1.4 1 2.3 1.4 2.1 4.1 4.4 2.3 3.2 1.4
Secara sederhana, rumus untuk menghitung nilai PAL adalah sebagai berikut:
28
Adapun tingkat aktifitas fisik dikategorikan menjadi tiga tingkatan mengacu pada WHO/FAO/UNO (2001), yaitu aktivitas ringan (1.40 ≤ PAL≤ 1.69), aktivitas sedang (1.70 ≤ PAL ≤ 1.99), dan aktivitas berat (2.00 ≤ PAL ≤ 2.39). Analisis Data Data yang diperoleh dari kuesioner diolah dan dianalisis secara statistik, yaitu deskiriptif dan analitik. Data karakteristik contoh (umur, dan besar uang saku) dan karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh (pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga) dianalisis secara deskriptif, seperti kisaran dan rata-rata±standar deviasi. Perbedaan antar variabel diperoleh dengan menggunakan uji beda t Independent Sampel t-Test. Hubungan antar variabel dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman. Dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi menggunakan uji regresi linier berganda.
29
DEFINISI OPERASIONAL Contoh adalah mahasiswi di asrama Putri Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor (IPB) memiliki status gizi normal dan gemuk berumur 18-21 tahun yang tergolong remaja akhir. Alokasi uang saku adalah jumlah uang saku yang digunakan contoh dalam satuan rupiah (Rp) untuk membeli makanan, minuman, dan keperluan akademik, keperluan pribadi, hiburan, dan transportasi satu bulan. Pengetahuan gizi adalah pemahaman contoh tehadap hal-hal yang berkaitan dengan gizi dan kesehatan khususnya terkait dengan kegemukan yang diukur dengan menggunakan kuesioner. Aktivitas fisik adalah segala jenis kegiatan fisik yang dilakukan remaja yang digolongkan menjadi tiga jenis yaitu aktivitas ringan, sedang dan berat. Konsumsi pangan adalah perilaku seseorang dalam mengonsumsi makanan sehari-hari yang terkait dengan frekuensi makan, kebiasaan sarapan, kebiasaan makan siang dan malam, konsumsi protein hewani dan nabati, konsumsi sayur dan buah, konsumsi fast food dan soft drink, konsumsi susu dan olahannya konsumsi camilan serta konsumsi makanan dan minuman manis. Frekuensi makan adalah tingkat keseringan seseorang dalam mengonsumsi makanan utama yang diukur dengan satuan kali per hari. Fast food adalah makanan cepat saji yang umumnya mengandung kalori dan lemak yang tinggi seperti fried chicken, fried fries, hamburger, pizza dan spaghetti. Soft drink (minuman ringan) adalah jenis minuman produk olahan industri yang dikemas dalam botol, kotak sachet dan sebagian besar komposisinya terdiri dari gula, essen, atau konsentrat buah yang dicampur dengan air, tanpa atau mengandung karbondioksida (seperti Coca Cola, Fanta, Sprite, Pepsi-Cola, Adem Sari, Nutri Sari, Fruit Tea, Teh Sosro). Susu adalah hasil pemerahan dari sapi atau hewan lainnya yang sudah mengalami proses pengolahan yang biasa dikonsumsi baik dalam bentuk cair, bubuk, atau susu kental manis termasuk produk olahannya seperti yoghurt, keju dan es krim. Status gizi normal adalah suatu kondisi dimana perbandingan berat badan dan tinggi badan contoh berada pada kisaran normal yang ditentukan dengan
30 Indeks Massa Tubuh (IMT/U) berada pada kisaran -2 SD ≤ z ≤ +1 SD dan IMT yang berada pada kisaran 18.5-24.9kg/m2. Status gizi gemuk adalah suatu kondisi dimana perbandingan berat badan dan tinggi badan contoh melebihi standar yang telah ditentukan dengan hasil Indeks Massa Tubuh (IMT/U) yang berada pada kisaran (z>+1SD) yaitu overweight dan obese dan IMT yang berada pada kisaran lebih atau sama dengan 25.0 kg/m2 yaitu overweight dan obese.
31 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Asrama TPB IPB Asrama Tingkat Persiapan Bersama IPB terletak di Jalan Lingkar Kampus IPB Dramaga Bogor. Asrama Tingkat Persiapan Bersama IPB merupakan tempat tinggal yang wajib dihuni oleh seluruh mahasiswa tingkat pertama selama satu tahun atau dua semester. Mahasiswa tingkat pertama di IPB disebut mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama. Sejak tahun 2001, mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama IPB wajib tinggal di asrama. Asrama mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB IPB) terdiri atas asrama putra dan dan asrama putri. Dalam hal penelitian ini, contoh yang diambil hanya mahasiswi di asrama putri. Asrama putri terdiri dari lima gedung, yaitu A1, A2, A3, A4 (Asrama Rusunawa) dan A5 (Asrama Sylvasari). Adapun asrama putra terdiri dari empat gedung, yaitu gedung C1, C2, C3 dan C4 (Asrama Sylvalestari). Setiap gedung asrama berbentuk hampir sama (kecuali A4, Sylvasari, dan Sylvalestari yang merupakan gedung tambahan). Setiap gedung terbagi atas beberapa lorong yang dikepalai oleh seorang Senior Recidence (SR) untuk mempermudah pengawasan dan pengelolaan. Satu lorong terdiri dari sekurang-kurangnya 40 orang (10 kamar, masing-masing kamar diisi oleh empat orang). Fasilitas kamar tidur asrama TPB IPB memiliki ukuran 16 m 2 (4mx4m), dalam setiap kamar tersedia dua ranjang tidur bertingkat, empat buah lemari, empat buah meja belajar (lengkap dengan lampu), kapstok, tempat sampah, bantal, dan lain-lain. Satu kamar diisi oleh empat orang (kecuali Asrama Sylvalestari dan Sylvasari, setiap kamar diisi oleh 3 orang). Disetiap lorong asrama disediakan toilet, ruang setrika, dan pantry. Tempat cuci tidak disediakan di setiap lorong. Disediakan satu buah dispenser di pantry yang letaknya satu ruangan dengan ruangan setrika. Adapun air yang digunakan di toilet asrama adalah air tanah yang telah melalui proses penjernihan terlebih dahulu. Kantin asrama putra berada di dalam masing-masing gedung, sedangkan kantin asrama putri berada di luar gedung. Di dalam lingkungan asrama putri juga terdapat toko koperasi dan jasa fotocopi yang menginduk kepada Koperasi Mahasiswa IPB. Di luar gedung, tidak jauh dari asrama putri, terdapat minimarket dengan nama Agrimart IPB yang menyediakan produk-produk makanan, minuman, kecantikan, peralatan mandi, detergen dan produk-produk IPB seperti teh Rozelt, susu Fapet, nugget dan bakso Fapet dan lain-lain. Melalui Agrimart
32 IPB ini mahasiswa TPB-IPB akan lebih mudah untuk mendapatkan barangbarang yang dibutuhkan tanpa harus keluar terlalu jauh dari lingkungan asrama. Mahasiswa TPB-IPB menjalani perkuliahan selama satu tahun di Tingkat Persiapan Bersama. Pada jangka waktu satu tahun ini mahasiswa wajib mengikuti 36 sks mata kuliah dasar TPB seperti pengantar matematika, kalkulus, biologi, kimia, fisika dan lain-lain. Mahasiswa TPB IPB menjalani perkuliahan di sembilan Fakultas di berbagai wilayah kampus Dramaga dengan lokasi yang berbeda-beda. IPB menyediakan bus IPB untuk mempermudah akses ke lokasilokasi perkuliahan. Bus IPB akan menjemput dan mengantar mahasiswa ke halte-halte terdekat dengan lokasi perkuliahan. Bus ini tidak memungut biaya dari mahasiswa. Selain bus kampus, disediakan juga sepeda sebagai alternatif transportasi dalam area kampus. Fasilitas lainnya adalah ambulance asrama yang selalu siap selama 24 jam. Karakteristik Contoh Contoh pada penelitian ini merupakan mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor. Pada penelitian ini contoh diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok contoh dengan status gizi normal dan kelompok contoh dengan status gizi gemuk berdasarkan IMT/U dan IMT. Karakteristik contoh meliputi umur, uang saku/bulan, berat badan dan tinggi badan. Karakteristik contoh berdasarkan status gizi secara lengkap disajikan pada Tabel 4. Umur Contoh yang diambil dalam penelitian ini adalah remaja yang tergolong ke dalam remaja tahap akhir dengan kisaran umur 18-21 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata umur contoh secara keseluruhan adalah 18.8±0.6 tahun, persentase terbanyak contoh normal dan gemuk terdapat pada kelompok umur kurang atau sama dengan 19 tahun masing-masing sebesar 69.2% dan 74.4%. Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara umur contoh normal dan contoh gemuk. Sebaran contoh berdasarkan umur dan status gizi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Sebaran contoh berdasarkan umur dan status gizi Status gizi Normal
Karakteristik Contoh Umur ≤19 tahun >19 tahun Total
Total
Gemuk
n
%
n
%
n
%
27 12 39
69.2 30.8 100
29 10 39
74.4 25.6 100
56 22 78
71.8 28.2 100
33 Uang saku Uang saku contoh dalam penelitian ini merupakan jumlah uang saku yang digunakan contoh dalam satuan rupiah (Rp) untuk membeli makanan, minuman, dan keperluan akademik, keperluan pribadi, hiburan dan transportasi. Sebaran uang saku contoh berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Sebaran alokasi uang saku contoh dan status gizi (Rp/bulan) Alokasi Uang Saku Makanan & minuman Lainnya Total
Status gizi Normal Rp/bulan 503.717 ± 104.546 188.590 ± 66.944 692.307± 147.138
% 72.8 27.2 100
Gemuk Rp/bulan 494.872± 101.004 224.615± 239.356 719.230± 261.255
Total % 68.8 31.2 100
Rp/bulan 499.294± 102.218 206.474± 175.599 705.769± 211.055
% 70.7 29.3 100
Secara keseluruhan rata-rata uang saku contoh adalah sebesar Rp 705.769±211.055./bulan dan sebanyak 70.7% dialokasikan untuk membeli makanan dan minuman. Pada contoh normal sebesar 72.8% dari total uang saku digunakan untuk keperluan makanan dan minuman dan sedikit lebih besar jika dibandingkan dengan contoh gemuk. Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan besar uang saku (p>0.05) antara contoh normal dengan contoh gemuk. Besarnya uang saku yang diperoleh contoh belum tentu status gizi contoh juga baik begitu pula sebaliknya, uang saku yang rendah belum tentu status gizi contoh tergolong rendah. Uang saku yang diberikan kepada contoh belum tentu semua yang diterima oleh contoh akan dibelanjakan untuk membeli makanan. Secara nominal rata-rata uang saku yang dialokasikan untuk makanan dan minuman pada penelitian ini adalah Rp 499.294 Hal ini lebih besar daripada hasil penelitian Briawan (2008) yaitu sebanyak Rp 271.943. Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Karakteristik sosial ekonomi keluarga pada penelitian ini meliputi besar keluarga, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua serta pendapatan anggota keluarga. Karakteristik sosial ekonomi keluarga berdasarkan status gizi contoh disajikan pada Tabel 6.
34 Tabel 6. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga dan status gizi Karakteristik & sosial ekonomi keluarga Besar keluarga Kecil (≤ 4 orang) Sedang (5 – 7 orang Besar (≥ 8 orang) Total Pendidikan Ayah < SMA ≥ SMA Total Pendidikan Ibu < SMA ≥ SMA Total Pekerjaan Ayah PNS Polisi /TNI Pegawai Swasta Wiraswasta Petani, peternak, nelayan Lainnya (alm/pensiunan) Total Pekerjaan Ibu Ibu rumah tangga PNS Pegawai Swasta Wiraswasta Petani, peternak, nelayan Lainnya Total Pendapatan anggota keluarga < 4 juta ≥ 4 juta Total
Normal n %
Status gizi Gemuk n %
Total n
%
14 20 5 39
35.9 51.3 12.8 100
16 20 3 39
41.0 51.3 7.7 100
30 40 8 78
51.3 51.3 10.3 100
7 32 39
17.9 82.1 100
5 34 39
12.8 87.2 100
12 66 78
15.4 84.6 100
8 31 39
20.5 79.5 100
4 35 39
10.3 89.7 100
12 66 78
15.4 84.6 100
4 1 14 10 6 4 39
10.3 2.6 35.9 25.6 15.4 10.3 100
10 5 10 5 2 7 39
25.6 12.8 25.6 12.8 5.1 17.9 100
14 15 24 6 8 11 78
17.9 19.2 30.8 7.7 10.3 14.1 100
19 1 5 11 3 0 39
48.7 2.6 12.8 28.2 7.7 0 100
16 12 4 6 0 1 39
41.0 30.8 10.3 15.4 0 2.6 100
35 13 9 17 3 1 78
44.9 16.7 11.5 21.8 3.8 1.3 100
36 3 39
92.3 7.7 100
28 11 39
71.8 28.2 100
64 14 78
82.1 17.9 100
Besar keluarga Berdasarkan kategori BKKBN (1998). Besar keluarga diukur dari jumlah anggota keluarga dengan kategori keluarga kecil jika jumlah anggota keluarga kurang atau sama dengan 4 orang, sedang
jika jumlah anggota keluarga 5
sampai 7 orang, serta besar jika jumlah anggota keluarga lebih atau sama dengan 8 orang. Menurut data pada Tabel 6 dapat diketahui bahwa secara keseluruhan jumlah anggota keluarga dikedua contoh berkisar antara 3 sampai 8 orang. Rata-rata jumlah anggota keluarga contoh termasuk kategori sedang dengan persentase pada kedua contoh adalah 51.3%. Rata-rata besar keluarga contoh normal adalah 5.05±1.34 orang, sedangkan rata-rata besar keluarga contoh gemuk adalah 4.69±1.24 orang.
35 Menurut Prihartini diacu dalam Humayrah (2009), besar keluarga berhubungan dengan jumlah makanan yang harus disediakan. Seseorang dengan jumlah anggota keluarga banyak cenderung harus berbagi lebih banyak pangan yang dikonsumsi dibanding keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang sedikit. Hasil uji beda Independent t-test
menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang nyata besar keluarga (p>0.05) antara besar keluarga contoh normal dan contoh gemuk. Pendidikan orang tua Tingkat pendidikan orang tua adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang telah diselesaikan oleh orang tua contoh. Menurut Sediaoetama (1991), tingginya tingkat
pendidikan orang tua dapat
berpengaruh pada jenis
pekerjaannya, yang kemudian turut mempengaruhi tingkat pendapatan keluarga. Hal ini lebih lanjut akan berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan pangan dalam keluarga. Tingkat pendidikan berhubungan erat dengan pengetahuan, karena semakin tinggi pendidikan maka semakin besar kesempatan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas, demikian pula halnya dengan pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Orang yang berpendidikan tinggi diharapkan memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan yang lebih baik sehingga memungkinkan dimilikinya informasi tentang gizi dan kesehatan yang lebih baik dan mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan . Tabel 6 menunjukkan bahwa secara keseluruhan pendidikan ayah dan ibu kedua contoh menamatkan pendidikan terakhirnya pada tamat SMA dengan persentase terbesar untuk pendidikan ayah dan ibu sebesar
84.6%. Tingkat
pendidikan keluarga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi (Fikawati & Syafiq 2009). Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pendidikan orang tua (p>0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk. Pekerjaan orang tua Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa secara keseluruhan pekerjaan ayah dikedua kategori contoh bekerja sebagai pegawai swasta (30.8%), sedangkan ibu dikedua kategori contoh bekerja sebagai ibu rumah tangga (44.9%). Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pekerjaan orang tua (p>0.05) antara kategori contoh normal dengan contoh gemuk. Dengan bekerjanya ayah otomatis tidak memiliki
36 waktu yang cukup dalam mengontrol status gizi anak, oleh sebab itu ibu yang tidak bekerja dalam Tabel 6, sebesar 44.9% berperan penting dalam menetukan status gizi normal ataupun gemuk pada anak. Sedangkan status ibu yang bekerja sebagai pegawai (PNS maupun swasta) yaitu sebesar 50.0% dalam Tabel 6, akan mempengaruhi kejadian gizi lebih pada anak-anak. Hal ini terkait dengan sedikitnya waktu yang dimiliki ibu untuk bersama dengan keluarga. Ibu yang bekerja cenderung memilih makanan yang cepat saji sebagai menu di dalam keluarga. Makanan cepat saji cenderung tinggi kalori namun tidak seimbang zat gizi, mengingat proses persiapan yang sebagian besar adalah digoreng (Anderson et al. 2002). Ibu yang bekerja juga tidak mempunyai banyak waktu untuk mengontrol gaya hidup anaknya yang meliputi aktivitas fisik dan pola makan. Hal ini akan mempengaruhi porsi ibu dalam memonitoring anak khususnya yang mengarah pada gizi lebih (Scholder 2007). Selain itu, ibu yang bekerja juga berperan dalam peningkatan sosial ekonomi keluarga yang berpotensi menyebabkan gizi lebih pada anak. Tingkat pendapatan keluarga Pendapatan merupakan salah satu
indikator kesejahteraan yang
berimplikasi terhadap kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan dan non pangan anggota keluarga. Pada Tabel 6, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan (82.1%) pendapatan orang tua kedua kategori contoh kurang dari Rp 4.000.000/bulan. Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pendapatan anggota keluarga (p<0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk. Pendapatan keluarga akan mempengaruhi daya beli keluarga untuk pangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Bisa dikatakan bahwa 28,7% keluarga contoh gemuk memiliki daya beli dan prilaku tingkat konsumsi pangan yang tinggi sebab memiliki pendapatan lebih atau sama dengan Rp 4.000.000. Martianto dan Ariani (2004) menjelaskan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari
37 pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari (Novitasari 2005). Selain itu, masyarakat berpendapatan rendah juga akan mengonsumsi pangan dalam jumlah dan jenis yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang seperti mengonsumsi tahu dan tempe sebagai pengganti daging. Pengetahuan Gizi Pengetahuan gizi adalah kemampuan kognitif serta pemahaman contoh tentang gizi. Pengetahuan gizi diukur dari kemampuan contoh dalam menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan gizi secara umum dan mengenai kegemukan yang disiapkan dalam kuesioner. Terdapat 25 buah pertanyaan pilihan berganda dengan memilih jawaban yang paling benar (Correct-Answer Multiple Choice). Pertanyaan yang diberikan mencakup gizi secara umum (11 soal), dan kegemukan (14 soal). Sebaran contoh berdasarkan jawaban yang benar dari pengetahuan gizi disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Sebaran contoh berdasarkan jawaban yang benar dari pengetahuan gizi umum dan status gizi No
1 2 3 4 5
6
7 8 9
Pengetahuan gizi Gizi umum Pangan yang termasuk sumber tenaga/kalori adalah mie. Pangan yang termasuk sumber protein adalah telur Pangan yang termasuk sumber lemak adalah minyak kelapa Pangan yang termasuk sumber vitamin adalah pisang, jambu, jeruk. Pangan yang termasuk sumber mineral yang potensial adalah hati sapi Air yang dikonsumsi dapat berasal dari: minuman, kuah sayuran dan komponen/bagian dari bahan pangan Karbohidrat merupakan sumber tenaga/kalori Protein merupakan sumber zat pembangun Lemak merupakan sumber tenaga/kalori dan pelarut vitamin A, D, E, & K
Status gizi Normal Gemuk n % n %
n
%
39
100
39
100
78
100
39
100
39
100
78
100
39
100
39
100
78
100
39
100
39
100
78
100
25
64.1
11
28.2
36
46.2
35
89.7
37
94.9
72
92.3
31
79.5
39
100
70
89.7
30
76.9
25
64.1
55
70.5
24
61.5
27
69.2
51
65.4
Total
38 Tabel 7. (Lanjutan) No
Pengetahuan gizi
Gizi umum 10 Vitamin dan mineral merupakan sumber zat pengatur 11 Air dapat berfungsi sebagai pelarut vitamin B & C, penjaga suhu tubuh, dan pelumas cairan sendi Kegemukan 12 Konsumsi energi/kalori yang berlebih akan disimpan dalam bentuk lemak Fast food umumnya mengandung 13 makanan tinggi kalori, tidak seimbang kandungan gizi Overweight adalah kondisi badan 14 yang melebihi berat badan ideal Obese adalah kondisi badan yang 15 jauh melebihi berat badan ideal Sebagian besar overweight/obese 16 timbul karena konsumsi makan yang melebihi kebutuhan, aktivits fisik yang terbatas, dan kurang olahraga Overweight/obese antara lain dapat 17 diatasi dengan membatasi konsumsi makanan pokok, membatasi konsumsi makanan berlemak, dan meningkatkan aktifitas fisik/olahraga 19 Menu yang baik untuk penderita overweight/obese adalah rendah kalori dan gizi seimbang Penderita overweight/obese 20 disarankan untuk memperbanyak konsumsi buah-buahan dan sayursayuran 21 Gaya hidup yang dapat menyebabkan seseorang overweight/ obese adalah kekurangan olahraga/aktivitas fisik 22 Penyakit yang bukan merupakan dampak/akibat dari overweight/obese adalah malaria 23 Keberhasilan menurunkan berat badan pada penderita overweight/obese lebih banyak dipengaruhi oleh motivasi untuk hidup lebih sehat Overweight/obese menjadi 24 berbahaya karena memicu timbulnya penyakit degeneratif Mengatasi overweight/obese yang 25 efektif adalah dengan cara mengatur pola makan dan olahraga
Status gizi Normal Gemuk n % n %
n
%
26
66.7
28
71.8
54
69.2
26
66.7
27
69.2
53
67.9
35
89.7
31
79.5
66
84.6
20
51.3
19
48.7
39
50.0
31
79.5
36
92.3
67
85.9
23
59.0
26
66.7
49
62.8
33
84.6
32
82.1
65
83.3
36
92.3
39
100
75
96.2
35
89.7
35
89.7
70
89.7
37
94.9
39
100
76
97.4
39
100
36
92.3
75
96.2
35
89.7
35
89.7
70
89.7
34
87.2
39
100
73
93.6
20
51.3
36
92.3
56
71.8
36
92.3
39
100
75
96.2
Total
39 Tabel 7 menjelaskan mengenai persentase jawaban dari setiap pertanyaan yang dijawab benar oleh contoh. Sebagian besar pertanyaan tentang gizi umum dijawab benar oleh contoh. Adapun pertanyaan yang relatif tidak dapat dijawab contoh adalah pertanyaan nomor
5 yaitu “sumber pangan yang
termasuk sumber mineral yang potensial”. Sebagian contoh menjawab salah dengan memilih opsi kacang merah, sedangkan yang menjawab benar dengan opsi “hati sapi” dipilih oleh 46,2% contoh.
Pertanyaan lain yang tidak bisa
dijawab oleh sebagian besar contoh adalah pertanyaan nomor 9 yaitu tentang “fungsi lemak” Sebagian besar contoh menjawab salah dengan memilih opsi sebagai “zat pengatur”, sedangkan jawaban yang benar dengan opsi “lemak merupakan sumber tenaga/kalori dan pelarut vitamin A, D, E, & K” dipilih oleh 65.4% contoh. Untuk pertanyaan nomor 10 yaitu tentang “ fungsi vitamin dan mineral”, sebagian contoh menjawab salah dengan opsi sebagai “zat pembangun”, sedangkan jawaban yang benar dengan opsi sebagai “zat pengatur” dipilih 69.2% contoh. Pertanyaan lain yang juga tidak bisa dijawab adalah pertanyaan nomor 11 yaitu tentang “ fungsi air”, sebagian besar contoh menjawab salah dengan memilih opsi “fungsi air sebagai penjaga suhu tubuh saja”, sedangkan jawaban yang benar dengan opsi “fungsi air sebagai pelarut vitamin B & C, penjaga suhu tubuh, dan pelumas cairan sendi” yang dipilih oleh 67.9% contoh. Pertanyaan mengenai kegemukan dari tiga belas pertanyaan hanya lima pertanyaan yang bisa dijawab benar oleh sebagian besar contoh yaitu pertanyaan nomor 17, 20, 21, 23, 25 masing-masing pertanyaan dijawab benar dengan persentase lebih dari 90%. Pertanyaan tentang kegemukan yang tidak dapat dijawab benar oleh sebagian besar contoh adalah pertanyaan mengenai kandungan umum fast food yaitu pertanyaan nomor 13, sebagian contoh menjawab salah dengan memilih opsi jawaban
“fast food sebagai makanan
tinggi kalori dan rendah zat gizi”, sedangkan jawaban yang benar dengan opsi “fast food umumnya mengandung makanan tinggi kalori, tidak seimbang kandungan gizi” dipilih oleh 50% contoh. Pertanyaan lain yang tidak bisa dijawab oleh contoh adalah “pengertian obese” sebagian besar contoh memilih opsi “obese adalah kondisi badan terlalu gemuk”, sedangkan jawaban yang benar dengan opsi “obese adalah kondisi badan yang jauh melebihi berat badan ideal yang dipilih 62.8% contoh. Sebaran contoh berdasarkan jawaban yang benar tentang kegemukan disajikan pada Tabel 7.
40 Skor pengetahuan gizi diperoleh dengan cara memberikan skor 1 pada setiap jawaban yang benar dan jika jawaban mahasiswi tidak tahu atau salah diberikan nilai 0, sehingga total skor adalah 25. Pengetahuan gizi mahasiswi dikategorikan rendah jika jawaban benar kurang dari 60%, jika jawaban benar berkisar antara 60-80% maka pengetahuan gizi mahasiswi dikategorikan sedang. Dan dikategorikan tinggi jika lebih dari 80% jawaban benar (Khomsan 2000). Adapun sebaran mahasiswi berdasarkan skor pengetahuan gizi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi dan status gizi Status gizi Pengetahuan Gizi Sedang ( 60-80% ) Baik ( > 80% ) Total
Normal n 21 18 39
Total
Gemuk
% 53.8 46.2 100
N 13 26 39
% 33.3 66.7 100
n 34 44 78
% 43.6 56.4 100.0
Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa secara keseluruhan tingkat pengetahuan gizi contoh pada penelitian ini tergolong sudah baik (56.4%), namun apabila
dilihat
berdasarkan
kedua
kategori
contoh.
Persentase
contoh
berpengetahuan baik pada contoh gemuk (66.7%) lebih tinggi dibandingkan dengan contoh normal. Hal ini dikarenakan seseorang yang berstatus gizi gemuk cenderung takut dengan penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh kegemukan, sehingga pengetahuan gizi contoh yang berstatus gizi gemuk lebih tinggi (Wirakusumah 1994). Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata tingkat pengetahuan gizi (p>0.05) antara contoh normal dengan contoh gemuk. Kebiasaan Makan Data asupan energi dan protein diperoleh melalui data konsumsi pangan contoh yaitu kebiasaan makan. Kebiasaan makan merupakan tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Frekuensi makan Menurut Khomsan (2002) bahwa frekuensi makan yang baik adalah 3 kali dalam sehari untuk menghindarkan kekosongan lambung. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Priyanto (2007) terbukti bahwa kelebihan frekuensi makan makanan utama dan kelebihan asupan energi merupakan faktor risiko kejadian kegemukan.
41 Dengan melihat Tabel 9, diketahui bahwa rata-rata frekuensi maka seluruh contoh adalah 2.39±0.56 kali sehari. Sebagian besar contoh normal terbiasa makan tiga kali sehari dengan persentase sebesar 64.1%. Sedangkan frekuensi makan contoh gemuk sebagian besar dua kali sehari dengan persentase sebesar 71.8%, hal ini disebabkan sebagian besar dari mereka mengurangi frekuensi makan dengan tujuan untuk membatasi asupan kalori yang dikonsumsi. Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata frekuensi makan sehari (p<0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk. Kebiasaan sarapan Dilihat pada Tabel 9, sebagian besar (59.0%) contoh normal terbiasa melakukan sarapan setiap hari. Sedangkan contoh gemuk hanya 43.6% yang terbiasa melakukan sarapan setiap hari. Terdapat 17.9% contoh normal yang sarapan pagi 1-2kali/minggu dan 23.1% pada contoh gemuk. Selain itu 15.4% pada contoh normal dan 25.6% pada contoh gemuk memiliki kebiasaan sarapan 3-5kali/minggu. Sisanya 7.7% contoh yang tersebar pada contoh normal dan gemuk mengaku tidak pernah melakukan sarapan. Meskipun angkanya kecil hal ini menguatkan penelitian yang dilakukan oleh Story et al. (2002) bahwa sarapan merupakan waktu makan yang paling sering dilewatkan oleh remaja khususnya remaja perempuan. Adapun alasan remaja melewatkan waktu sarapan bermacam-macam mulai dari sibuk, untuk mencegah rasa kantuk saat sekolah/kuliah, serta menurunkan berat badan dengan membatasi asupan kalori. Pada penelitian ini sebagian besar alasan mahasiswi melewatkan sarapan karena padatnya jadwal kuliah sehingga tidak mempunyai waktu untuk sarapan dan untuk mengurangi asupan kalori (diet). Kebiasaan melewatkan sarapan pagi yang dilakukan contoh akan membuat perut cepat lapar setelah beraktifitas karena tidak adanya suplai energi di pagi hari. Sebagai kompensasinya meraka akan mencari makanan (cemilan atau makan siang) yang jumlahnya berlebihan sehingga seorang remaja yang tidak sarapan setiap hari akan beresiko mengalami gizi lebih dibandingkan dengan remaja yang terbiasa sarapan setiap hari. Hasil uji beda Independent ttest menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata kebiasaan sarapan (p>0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk. Menurut Radita (2007), seseorang yang tidak sarapan akan merasa lebih lapar pada siang dan malam hari daripada mereka yang sarapan, sehingga
42 memacu mereka untuk mengonsumsi lebih banyak makanan pada siang hari dan malam hari. Selain itu, sarapan bersifat lebih mengenyangkan dibandingkan makan pada siang ataupun malam hari, sehingga sarapan dapat mengurangi rasa lapar pada siang dan malam hari. Selain itu Khomsan (2002) menyatakan bahwa paling tidak ada dua manfaat dari sarapan, pertama sarapan pagi dapat menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan gula darah. Dengan kadar gula darah yang terjamin normal, maka gairah dan konsentrasi kerja bisa lebih baik sehingga berdampak positif
untuk meningkatkan
produktivitas. Kedua , pada dasarnya sarapan pagi akan memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin, dan mineral. Ketersediaan zat gizi ini bermanfaat untuk berfungsinya proses fisiologi dalam tubuh. Kebiasaan makan siang Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa sebagian besar contoh (84.6%) memiliki kebiasaan makan siang setiap hari dengan persentase masing-masing 92.3% pada contoh normal dan 76.9% pada contoh gemuk. Pada contoh normal terdapat 2.6% yang frekuensi makan siangnya 3-5 kali/minggu, dan pada contoh gemuk terdapat 15.4%. Sedangkan frekuensi makan 1-2 kali/minggu terdapat 2.6% pada contoh normal dan 7.7% pada contoh gemuk. Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata kebiasaan makan siang (p>0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk. Dengan
melihat
data
tersebut
lalu
dikaitkan
dengan
kebiasaan
meninggalkan sarapan, dapat disimpulkan bahwa kedua kategori contoh menyadari pentingnya atau lebih tepatnya sangat membutuhkan makan pada siang hari sebagai penopang asupan energi yang utama. Namun, masih terdapat 2.6%, contoh normal yang tidak pernah makan pada siang hari, akan tetapi angka tersebut tidak dapat membantah pentingnya makan siang bagi sebagian besar contoh. Angka tesebut bisa saja muncul dikarenakan aktifitas fisik yang terlalu berlebih seperti jadwal kuliah yang padat di siang hari. Tabel 9 menjelaskan mengenai kebiasaan makan contoh yang dilihat berdasarkan frekuensi makan, kebiasaan sarapan, kebiasaan makan siang, kebiasaan makan malam, jenis pengolahan makanan yang disukai, kebiasaan konsumsi protein hewani dan nabati, kebiasaan makan sayur dan buah, kebiasaan konsumsi fast food dan soft drink, kebiasaan konsumsi cemilan, minuman manis dan susu dan olahannya.
43 Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan dan status gizi Kebiasaan Makan Frekuensi makan sehari 3 kali 2 kali 1 kali Total Kebiasaan sarapan 6-7 kali/minggu 3-5 kali/minggu 1-2 kali/minggu Tidak pernah Total Kebiasaan makan siang 6-7 kali/minggu 3-5 kali/minggu 1-2 kali/minggu Tidak pernah Total Kebiasaan makan malam 6-7 kali/minggu 3-5 kali/minggu 1-2 kali/minggu Tidak pernah Total Kebiasaan konsumsi protein hewani setiap hari Ya Tidak Total Kebiasaan konsumsi protein nabati setiap hari Ya Tidak Total Kebiasaan konsumsi sayur 6-7 kali/minggu 3-5 kali/minggu 1-2 kali/minggu Tidak pernah Total Kebiasaan konsumsi buah 6-7 kali/minggu 3-5 kali/minggu 1-2 kali/minggu Tidak pernah Total
Status gizi Normal Gemuk n % n %
n
%
25 13 1 39
64.1 33.3 2.6 100
9 28 2 39
23.1 71.8 5.1 100
34 41 3 78
43.6 52.6 3.8 100
23 6 7 3 39
59.0 15.4 17.9 7.7 100
17 10 9 3 39
43.6 25.6 23.1 7.7 100
40 16 16 6 78
51.3 20.5 20.5 7.7 100
36 1 1 1 39
92.3 2.6 2.6 2.6 100
30 6 3 0 39
76.9 15.4 7.7 0 100
66 7 4 1 78
84.6 9.0 5.1 1.3 100
24 11 4 0 39
61.5 28.2 10.3 0 100
12 8 14 5 39
30.8 20.5 35.9 12.8 100
36 19 18 5 78
46.2 24.4 23.1 6.4 100
36 3 39
92.3 7.7 100
37 2 39
94.9 5.1 100
73 5 78
93.6 6.4 100
30 9 39
76.9 23.1 100
26 13 39
66.7 33.3 100
56 22 78
71.8 28.2 100
22 15 2 0 39
56.4 38.5 5.1 0 100
27 10 1 1 39
69.2 25.6 2.6 2.6 100
49 25 3 1 78
62.8 32.1 3.8 1.3 100
8 16 14 1 39
20.5 41.0 35.9 2.6 100
11 20 8 0 39
28.2 51.3 20.5 0 100
19 36 22 1 78
24.4 46.2 28.2 1.3 100
Total
44 Tabel 9. (Lanjutan) Kebiasaan Makan Kebiasaan konsumsi Fast Food Tidak pernah 1-2 kali/minggu 3-5 kali/minggu 6-7 kali/minggu Total Kebiasaan konsumsi Soft Drink Tidak pernah 1-2 kali/minggu 3-5 kali/minggu 6-7 kali/minggu Total Kebiasaan konsumsi cemilan Tidak pernah 3-5 kali/minggu 1-2 kali/minggu 6-7 kali/minggu Total Kebiasaan minum minuman manis Tidak pernah 1-2 kali/minggu 3-5 kali/minggu 6-7 kali/minggu Total Kebiasaan minum susu/olahannya 6-7 kali/minggu 3-5 kali/minggu 1-2 kali/minggu Tidak pernah Total
Status gizi Normal Gemuk n % n %
n
%
3 26 4 6 39
7.7 66.7 10.3 15.4 100
1 30 8 0 39
2.6 76.9 20.5 0 100
4 56 12 6 78
5.1 71.8 15.4 7.7 100
2 25 11 1 39
5.1 64.1 28.2 2.6 100
2 33 5 0 39
2.6 84.6 12.8 0 100
3 58 16 1 78
3.8 74.4 20.5 1.3 100
0 15 14 10 39
0 38.5 35.9 25.6 100
0 9 17 13 39
0 23.1 43.6 33.3 100
0 24 31 23 78
0 30.8 39.7 29.5 100
2 22 7 8 39
5.1 56.4 17.9 20.5 100
2 27 10 0 39
5.1 69.2 25.6 0 100
4 49 17 8 78
5.1 62.8 21.8 10..3 100
9 13 14 3 39
23.1 33.3 35.9 7.7 100
10 11 16 2 39
25.6 28.2 41.0 5.1 100
19 24 30 5 78
24.4 30.8 38.5 6.4 100
Total
Kebiasaan makan malam Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa, secara keseluruhan contoh (46.2%) memiliki kebiasaan makan malam setiap hari, jika dilihat berdasarkan kategori contoh, contoh gemuk memiliki kebiasaan makan malam setiap hari yang lebih rendah dari contoh normal dengan persentase 30.8%. Hal ini disebabkan sebagian besar dari mereka mengurangi makan malam dengan tujuan untuk membatasi asupan kalori. Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata kebiasaan makan malam (p<0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk. Konsumsi protein hewani Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (93.6%) memiliki kebiasaan mengonsumsi protein hewani setiap hari dengan persentase masingmasing 92.3% pada contoh normal dan 94.9% pada contoh gemuk. Hasil uji beda
45 Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata kebiasaan konsumsi protein hewani setiap hari (p>0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk. Konsumsi protein nabati Begitupun dengan kebiasaan mengonsumsi protein nabati pada contoh, lebih dari separuh contoh (71.8%) baik contoh normal dan contoh gemuk terbiasa mengonsumsi protein nabati setiap hari. Jika dilihat dari masing-masing contoh, persentase contoh normal lebih tinggi mengonsumsi protein nabati setiap hari daripada contoh gemuk, dengan persentase 76.9% pada contoh normal dan 66.7% pada contoh gemuk. Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata kebiasaan konsumsi protein nabati setiap hari (p>0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk. Konsumsi sayur Tabel 9 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (62.8%) baik contoh normal maupun contoh gemuk memiliki kebiasaan mengonsumsi sayur setiap hari. Jika dilihat dari persentase masing-masing, contoh gemuk memiliki persentase lebih tinggi yaitu 69.2% daripada contoh normal. Akan tetapi terdapat satu orang (2.6%) contoh gemuk yang tidak pernah mengkonsumsi sayur. Alasan contoh yang tidak menyukai sayur adalah karena tidak terbiasa mengonsumsi sayur sehingga rasa sayur tidak enak dan terkadang berasa pahit. Sebagian besar contoh terbiasa mengonsumsi sayur yang tidak bersantan. Mengacu pada DKBM (2010) diketahui bahwa santan kelapa merupakan penyumbang energi dan lemak yang cukup besar, setiap 100 gramnya santan kelapa mengandung energi sebesar 324 kalori dan lemak sebesar 34.3 gram. Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata kebiasaan konsumsi sayur (p>0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk. Konsumsi buah-buahan Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa kurang dari separuh contoh (46.2%) baik contoh normal ataupun contoh gemuk memiliki kebiasaan mengonsumsi buah-buahan 3-5 kali/minggu. Jika dilihat dari kedua contoh, contoh gemuk memiliki persentase tertinggi 51.3% mengonsumsi buah-buahan 35 kali/minggu. Adapun persentase tertinggi contoh yang mengonsumsi buahbuahan setiap hari terdapat pada contoh gemuk dengan persentase sebesar 28.2%. Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat
46 perbedaan yang nyata kebiasaan konsumsi buah-buahan (p>0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk. Menurut Sulistijani (2005) diacu dalam Wulansari (2009) buah-buahan sangat dianjurkan untuk dikonsumsi setiap hari. Selain dinikmati dalam bentuk segar, buah-buahan juga dapat diolah dalam bentuk jus atau dihidangkan bersama sayuran. Salah satu sumber bahan pangan yang baik untuk memperoleh zat gizi adalah buah dan sayur (Hardinsyah dan Martianto 1992). Piramida kesehatan manusia menyebutkan perlunya mengonsumsi buah dan sayur. Anjuran mengkonsumsi buah menurut PUGS adalah 3-5 porsi, sedangkan untuk sayur 2-3 porsi dalam sehari (Depkes 2005). Konsumsi fast food Tabel 9 menunjukkan bahwa selain kebiasaan mengonsumsi sayur dan buah-buahan. Kebiasaan mengonsumsi fast food dan soft drink juga diteliti dalam penelitian ini. Menurut (Khomsan 2004), fast food adalah makanan yang bergizi tinggi. Tetapi fast food umumnya juga “miskin sayur‟. Kalaupun ada, sayurnya terbatas pada selada yang tidak banyak mengandung vitamin dan mineral. Fast food yang berasal dari pangan hewani ternak sebagai menu utama juga merupakan pangan sumber lemak dan kolesterol cukup tinggi. Lemak dan kolesterol memang dibutuhkan tubuh, namun bila dikonsumsi berlebihan akan mendatangkan gangguan kesehatan seperti terjadinya penyumbatan pembuluh darah. Dalam
penelitian
ini,
sebagian
besar
contoh
(71.8%)
terbiasa
mengkonsumsi fast food 1-2 kali/minggu dengan persentase terbesar 76.9% pada contoh gemuk dan 66.7% pada contoh normal. Sementara itu pada contoh gemuk tidak terbiasa mengonsumsi fast food 6-7 kali/minggu, akan tetapi terdapat 15.4% contoh normal yang terbiasa mengonsumsi fast food 6-7 kali/minggu. Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata kebiasaan konsumsi fast food (p>0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk. Fast food yang paling sering dikonsumsi oleh sebagian besar contoh adalah Fried Chicken. Menurut Khomsan et al. (1998), kandungan energi dan lemak Fried Chicken per porsi pada bagian dada, masing-masing sebesar 346 kal dan 22.79 gram. Membaiknya tingkat ekonomi mengubah pola atau jenis makan seseorang. Pola makanan fast food yang berlemak tinggi, tinggi karbohidrat dan kalori saat ini lebih digemari dan lebih bergengsi dibandingkan
47 makanan tradisional yang justru lebih menyehatkan (Cahyono 2008). Menurut Fraser et al. (2011), remaja yang sering makan di restoran cepat saji mengonsumsi lebih banyak makanan yang tidak sehat dan cenderung memiliki IMT lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak secara periodik makan di restoran cepat saji. Hasil penelitian ini senada dengan studi yang dilakukan sebelumnya oleh Jeffery et al. (2006) yang menunjukkan bahwa kebiasaan makan di restoran cepat saji (sedikitnya seminggu sekali) berhubungan positif dengan diet tinggi lemak dan IMT. Konsumsi soft drink Tabel 9 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (74.4%) baik contoh normal maupun contoh gemuk terbiasa mengonsumsi soft drink 1-2 kali/minggu dengan persentase masing-masing 64.1% pada contoh normal dan 84.6% pada contoh gemuk. Terdapat 2.6% contoh normal yang terbiasa mengonsumsi soft drink 6-7 kali/minggu. Sedangkan pada contoh gemuk tidak terbiasa mengonsumsi soft drink 6-7 kali/minggu. Sementara itu terdapat 5.1% contoh gemuk dan 2.6% contoh normal yang tidak pernah mengonsumsi soft drink 6-7 kali/minggu. Hasil uji beda (Independent t-test) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata kebiasaan konsumsi soft drink (p>0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk. Konsumsi cemilan Dilihat dari Tabel 9 bahwa kebiasaan ngemil juga dilakukan oleh kedua kelompok contoh. Menurut Purwati et al. (2005) mengemil merupakan kegiatan makan diluar waktu makan. Biasanya, makanan yang dikonsumsi berupa makanan kecil (makanan ringan) yang rasanya gurih, manis dan digoreng. Bila tidak dikontrol, hal ini akan menyebabkan kegemukan karena jenis makanan tersebut adalah makanan tinggi kalori. Berdasarkan
Tabel
9,
diketahui
bahwa
contoh
normal
terbiasa
mengonsumsi cemilan 3-5 kali/minggu dengan persentase 38.5%, sedangkan contoh
gemuk
terbiasa
mengonsumsi
cemilan
1-2
kali/minggu dengan
persentase 43.6%. Sementara itu kebiasaan mengonsumsi cemilan 6-7 kali/minggu pada contoh gemuk lebih tinggi dari contoh normal dengan persentase 33.3% pada contoh gemuk. Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata kebiasaan konsumsi cemilan (p>0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk.
48 Menurut Popkin (2007), cemilan sebenarnya penting bagi remaja, namun apapun cemilannya dalam sehari, seharusnya hanya memberikan 20% dari total energinya. Kebiasaan mengonsumsi cemilan biasanya dilakukan pada saat menonton televisi, bermain game dan saat belajar. Ketiga kegiatan tersebut merupakan aktivitas fisik yang sangat rendah, namun dalam waktu bersamaan biasanya remaja mengonsumsi makanan yang banyak mengandung cukup energi. Tidak seimbangnya antara konsumsi energi dengan aktivitas fisik yang dilakukan merupakan salah satu penyebab obesitas pada remaja. Konsumsi minuman manis Sebagian besar contoh (62.8%) baik contoh normal maupun contoh gemuk terbiasa mengonsumsi minuman manis 1-2 kali/minggu dengan persentase masing-masing 69.2% pada contoh gemuk dan 56.4% pada contoh normal. Akan tetapi pada contoh gemuk tidak terbiasa mengonsumsi minuman manis 6-7 kali/minggu, sedangkan pada contoh normal terdapat 20.5%. Terdapat 25.6% contoh gemuk yang terbiasa mengonsumsi minum-minuman manis 3-5 kali/minggu dan 17.9% pada contoh normal. Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata kebiasaan konsumsi minum-minuman manis (p>0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk. Konsumsi susu/olahannya Selain kebiasaan mengonsumsi minum-minuman manis, kedua kelompok contoh juga memiliki kebiasaan minum susu, dimana minum susu belum menjadi kebiasaan dari semua contoh baik contoh normal maupun contoh gemuk. Hal ini ditunjukkan
dengan
rendahnya
persentase
masing-masing
contoh
yang
mengonsumsi susu 6-7 kali/minggu dimana terdapat 25.6% pada contoh gemuk dan 23.1% pada contoh normal. Sedangkan 41.0% contoh gemuk dan 35.9% contoh normal memiliki kebiasaan mengonsumsi susu 1-2 kali/minggu. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Briawan (2008) yang menyebutkan bahwa konsumsi minum susu pada kalangan mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor masih rendah. Hanya 22,2% contoh yang hampir 6-7 kali/minggu terbiasa minum susu, selain itu juga disebutkan bahwa terdapat 10,0% sampel yang mengkonsumsi susu kurang dari 1-2 kali/minggu. Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata kebiasaan konsumsi susu (p>0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk.
49 Menurut Khomsan (2002) minum susu dipagi hari sangat baik karena susu selain sebagai sumber vitamin dan mineral juga kaya akan lemak sehingga akan relatif lebih tahan lapar. Sebagai alternatif susu yang tidak diminum pagi hari, sangat dianjurkan minum susu pada malam hari menjelang tidur. Bagi orang dewasa, minum susu 1-2 gelas sehari adalah cukup. Segelas susu umumnya mengandung kurang lebih 400 gram kalsium sementara kebutuhan kalsium sehari adalah 800 gram. Pada umumnya susu yang biasa dikonsumsi contoh adalah susu kental manis yang mengandung lemak berkisar antara 4.5 g/100 g. Aktivitas Fisik Aktivitas
fisik
mempengaruhi
lebih
banyak
pengeluaran
energi
dibandingkan dengan ukuran tubuh. Semakin banyak seseorang aktif secara fisik, maka semakin banyak energi yang diperlukan (Freestone et al. 2003). Aktivitas fisik satu hari mencakup lama dan jenis aktivitas yang biasa dilakukan akan mempengaruhi jumlah energi yang dikeluarkan. Aktivitas fisik yang kurang dan minim zat gizi karena hanya mengonsumsi pangan padat kalori diakui sebagai mekanisme utama yang mendasari peningkatan berat badan. Tabel 10 menguraikan sebaran jenis aktivitas fisik contoh dan lama aktivitas tersebut dilakukan. Aktivitas fisik yang diamati adalah aktivitas pada hari kuliah dan hari libur/weekend. Tabel 10. Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik dan status gizi pada hari kuliah Jenis aktivitas Tidur Kebersihan diri Berpakaian Ibadah/sholat Makan dan minum Membaca Naik bus/mobil Berjalan tanpa beban Duduk/istirahat Ngobrol/diskusi Mengetik Olahraga
Rata-rata ± SD (jam/hari) Contoh normal Contoh gemuk 6.1 ± 0.9 6.3 ± 0.7 0.9 ± 0.3 1.1 ± 0.3 0.8 ± 0.3 0.8 ± 0.2 1.4 ± 0.6 1.3 ± 0.4 1.9 ± 0.4 2.0 ± 0.2 2.3 ± 0.7 2.1 ± 0.7 0.5 ± 0.7 0.6 ± 0.8 1.7 ± 0.4 1.5 ± 0.5 2.4 ± 0.5 2.5 ± 0.6 2.7 ± 1.0 2.5 ± 0.6 1.8 ± 0.7 1.7 ± 0.7 1.4 ± 0.8 1.6 ± 0.8
Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa sebagian besar waktu yang dimiliki oleh contoh dihabiskan untuk aktivitas kuliah dan tidur. Pada hari kuliah, rata-rata aktivitas tidur contoh normal yaitu 6.1±0.9 jam, tidak berbeda jauh dengan contoh gemuk yaitu 6.3± 0.7 jam dengan selisih waktu 0.2 jam. Selain tidur, alokasi waktu terbesar yang digunakan contoh normal ataupun contoh
50 gemuk pada hari kuliah adalah aktivitas seperti membaca, ngobrol/diskusi, berjalan tanpa beban, mengetik, makan dan minum serta olahraga. Aktivitas ngobrol/diskusi merupakan aktivitas yang menghabiskan waktu terbesar kedua yaitu 2.7±1.0 jam pada contoh normal dan 2.5±0.6 jam pada contoh gemuk dengan selisih waktu 0.2 jam. Aktivitas duduk/istirahat
merupakan aktivitas
ketiga yang menghabiskan waktu terbesar sebab aktivitas tersebut dapat dilakukan contoh ketika membaca, mengetik ataupun diskusi. Aktivitas tersebut pada Tabel 10 dapat dilihat menghabiskan waktu 2.4±0.5 jam pada contoh normal dan 2.5±0.6 jam pada contoh gemuk dengan selisih waktu 0.1 jam. Selain aktivitas fisik pada waktu kuliah, juga diamati aktivitas fisik pada hari libur, adapun sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik pada hari libur dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik dan status gizi pada hari libur Jenis aktivitas Tidur Kebersihan diri Berpakaian Ibadah/sholat Makan dan minum Membaca Berjalan tanpa beban Nonton tv Mengetik Duduk Ke pasar/warung Menyapu Mencuci pakaian Mendengar radio Main game Naik bis/mobil
Rata-rata ± SD (jam/hari) Contoh normal Contoh gemuk 6.9 ± 0.9 7.2 ± 0.9 0.8 ± 0.3 0.9 ± 0.3 0.7 ± 0.3 0.8 ± 0.2 1.3 ± 0.6 1.1 ± 0.3 1.8 ± 0.8 1.5 ± 0.5 1.7 ± 0.9 1.3 ± 0.5 1.2 ± 0.8 1.3 ± 1.0 1.5 ± 1.2 2.4 ± 0.9 0.9 ± 0.9 1.2 ± 1.1 2.1 ± 0.7 2.3 ± 0.7 0.5 ± 0.6 0.7 ± 0.6 0.4 ± 0.4 0.3 ± 0.4 1.9 ± 1.0 1.8 ± 0.9 0.2 ± 0.5 0.1 ± 0.3 1.0 ± 1.4 0.7 ± 1.1 1.3 ± 1.3 1.5 ± 1.6
Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa, tidur merupakan aktivitas fisik yang menghabiskan waktu terbanyak pada hari libur bagi kedua kategori contoh. Ratarata aktivitas tidur contoh gemuk lebih lama daripada contoh normal dengan selisih waktu 0.3 jam yaitu 7.2±0.9 jam pada contoh gemuk dan 6.9±0.9 pada contoh normal. Selain tidur, alokasi waktu terbesar yang digunakan contoh normal atau contoh gemuk pada hari libur adalah aktivitas seperti menonton tv, duduk, dan mencuci pakaian. Pada contoh gemuk aktivitas menonton tv lebih lama dibandingkan contoh normal yaitu 2.4± 0.9 jam pada contoh gemuk dan 1.5±1.2 jam pada contoh normal dengan selisih waktu 0.9 jam. Aktivitas duduk
51 merupakan aktivitas terbesar ketiga yang menghabiskan banyak waktu pada hari libur yaitu 2.3±0.7 jam pada contoh gemuk dan 2.1±0.7 jam pada contoh normal dengan selisih waktu 0.2 jam. Sedangkan untuk aktivitas mencuci pakaian menghabiskan waktu yang hampir sama antara contoh normal dan contoh gemuk yaitu 1.9±1.0 jam pada contoh normal dan 1.8±0.9 jam pada contoh gemuk. Tingkat aktivitas fisik contoh diperoleh dari lama aktivitas dilakukan kemudian dikalikan dengan nilai PAR tiap jenis kegiatan dibagi 24 jam. Pada hari kuliah aktivitas fisik kedua contoh tergolong dalam kategori ringan dan sedang dengan persentase 92.3% contoh normal dan 84.7% contoh gemuk. Rata-rata PAL contoh normal pada hari kuliah 1.50±0.1 jam dan contoh gemuk 1.53±0.1 jam. Aktivitas fisik contoh tergolong ringan dikarenakan sebagian besar waktu contoh dihabiskan untuk kuliah, selain itu sebagian besar contoh juga tidak mencuci pakaiannya sendiri melainkan menggunakan jasa laundry. Tidak ada contoh yang memasak untuk menyiapkan makanan karena diperoleh dari pembelian di kantin makan di sekitar asrama dan kampus. Hal inilah yang diduga menyebabkan aktivitas fisik contoh sebagian besar tergolong ringan. Begitupun pada hari libur, aktivitas fisik kedua contoh juga termasuk ke dalam kategori ringan. Hal ini dikarenakan pada hari libur sebagian besar contoh menghabiskan waktu untuk beristirahat/ tidur, jalan-jalan atau belajar. Rata-rata lama tidur contoh normal pada hari libur sebesar 6.9±0.9 sedangkan contoh gemuk sebesar 7.2±0.9. Hal inilah yang mengakibatkan sebagian besar aktivitas contoh tergolong ke dalam aktivitas ringan. Rata-rata PAL contoh normal pada hari libur sebesar 1.1±0.2 jam dan contoh gemuk sebesar 1.14±0.2 jam. Berdasarkan uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata aktivitas fisik (p>0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk. Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Sebaran contoh berdasarkan tingkat aktivitas fisik dan status gizi Tingkat aktivitas fisik Ringan (1.40 -1.69) Sedang (1.70 -1.99) Berat (2.00-2.39) Total
Status gizi Contoh normal Contoh gemuk Hari kuliah Hari libur Hari kuliah Hari libur n % n % n % n % 36 92.3 39 100 33 84.7 39 100 3 7.7 0 0.0 6 15.3 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 39 100 39 100 39 100 39 100
Frekuensi Konsumsi Pangan Frekuensi konsumsi pangan merupakan aspek penting dari kebiasaan konsumsi pangan yang secara kualitatif dapat memberikan gambaran tentang
52 pola konsumsi bahan pangan. Frekuensi makan diukur dalam satuan kali per hari, kali per minggu maupun kali per bulan. Menurut (Riyadi 1996), faktor-faktor dasar yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh seseorang adalah rasa lapar atau kenyang, selera atau reaksi cita rasa, motivasi, ketersediaan pangan, suku bangsa, status sosial ekonomi dan pendidikan. Frekuensi makan pada orang yang kondisi sosial ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang kondisi ekonominya lemah. Hal ini disebabkan karena orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi memiliki daya beli yang tinggi sehingga dapat mengonsumsi makanan dengan frekuensi yang lebih tinggi (Khomsan et al. 1998). Frekuensi konsumsi pangan diukur dalam satuan kali per hari, kali per minggu, maupun kali per bulan (Khomsan et al. 1998). Pada penelitian ini, frekuensi konsumsi pangan diukur dalam kali per minggu. Jenis pangan yang dilihat meliputi pangan sumber karbohidrat, pangan sumber protein hewani, pangan sumber protein nabati, sayuran, buah-buahan, makanan jajanan dan cemilan, makanan dan minuman manis, fast food dan soft drink serta susu dan olahannya. Pangan pokok Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa, makanan pokok yang paling sering dikonsumsi oleh kedua contoh adalah nasi. Contoh gemuk mengonsumsi nasi dengan rata-rata frekuensi sebesar 15.3 kali/minggu berbeda dengan contoh normal yang mengonsumsi nasi dengan rata-rata 16.7 kali/minggu. Contoh gemuk lebih sedikit mengonsumsi nasi, hal ini dikarenakan sebagian besar contoh gemuk melakukan pembatasan terhadap makanan sumber karbohidrat nasi dengan mengurangi porsi makan atau bahkan melewatkan sarapan dan makan malam (meal skipping). Selain nasi, sumber karbohidrat kedua yang sering dikonsumsi oleh kedua contoh adalah roti dengan rata-rata frekuensi 2.5 kali/minggu baik untuk contoh normal contoh gemuk. Sumber ketiga adalah mie instan yang dikonsumsi oleh contoh normal dengan rata-rata frekuensi sebesar 1.3 kali/minggu, sedangkan contoh gemuk mengonsumsi mie instan dengan ratarata frekuensi 1.4 kali/minggu, sedangkan untuk jenis pengolahan mie instan yang sering dikonsumsi oleh mahasiswi adalah direbus dan digoreng. Sebaran frekuensi konsumsi pangan contoh berdasarkan jenis pangan sumber karbohidrat dan status gizi dapat dilihat pada Tabel 13.
53 Tabel 13. Sebaran frekuensi konsumsi pangan contoh berdasarkan jenis pangan sumber karbohidrat Rata-rata frekuensi per minggu Contoh normal Contoh gemuk 0.4±0.5 0.6±1.6 1.2±2.6 1.2±1.9 0.1±0.5 0.5±0.5 1.3±0.7 1.4±1.0 16.7±3.5 15.3±2.7 0.6±2.6 0.0±0.0 2.5±2.1 2.5±2.8 0.3±0.6 0.3±0.3 0.9±1.7 0.6±1.0
Bahan pangan Bubur nasi Kentang Mie basah Mie instan Nasi Nasi ketan Roti Singkong Ubi
Pangan hewani Sumber protein hewani yang paling sering dikonsumsi oleh kedua kelompok contoh adalah telur ayam. Dari tabel 14 dapat dilihat rata-rata frekuensi konsumsi telur ayam contoh gemuk lebih tinggi dibandingkan contoh normal. Dimana frekuensi konsumsi telur pada contoh gemuk adalah 4.9 kali/minggu. Telur menjadi pangan hewani yang paling sering dikonsumsi contoh diduga karena harga telur lebih murah jika dibandingkan dengan pangan hewani lain disamping untuk memperolehnya sangat mudah begitupun pengolahannya. Mengacu pada DKBM (2010), satu butir telur ayam mengandung energi sebesar 162.0 Kalori, protein 12.8 gram, lemak 11.5 gram dan karbohidrat 0.7 gram. Daging ayam adalah jenis bahan pangan sumber protein hewani kedua paling sering
dikonsumsi oleh contoh. Rata-rata frekuensi konsumsi daging
ayam lebih tinggi pada contoh normal dibandingkan contoh gemuk. Dimana contoh normal mengonsumsi rata-rata 3.5 kali/minggu. Sebaran frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani contoh dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Sebaran frekuensi konsumsi pangan contoh berdasarkan jenis pangan sumber protein hewani dan nabati Bahan pangan Daging ayam Daging sapi Ikan air tawar Ikan laut Kacang hijau Kacang tanah Kacang kedele Nugget Sosis Telur ayam Tahu Tempe
Rata-rata frekuensi per minggu Contoh normal Contoh gemuk 3.5±2.6 3.3±2.0 0.8±2.2 1.3±1.4 1.6±1.8 1.8±2.1 0.8±1.7 0.7±1.1 0.7±1.5 0.5±1.7 0.3±0.6 0.2±0.8 0.2±0.0 0.1±0.4 0.5±1.8 0.3±0.6 0.3±1.3 0.4±2.0 3.7±2.0 4.9±2.6 1.1±2.1 2.6±1.8 3.4±2.3 3.2±1.7
54 Pangan nabati Pada Tabel 14 dapat dilihat sumber protein nabati yang paling sering dikonsumsi oleh kedua contoh adalah tempe. Rata-rata frekuensi konsumsi tempe contoh normal lebih tinggi dibandingkan contoh gemuk. Dimana contoh normal mengonsumsi rata-rata 3.4 kali/minggu sedangkan contoh gemuk 3.2 kali/minggu. Selain tempe protein nabati kedua paling banyak dikonsumsi contoh adalah tahu. Rata-rata frekuensi konsumsi tahu lebih tinggi pada contoh gemuk dibandingkan contoh normal. Dimana contoh normal mengonsumsi rata-rata 1.1 kali/minggu sedangkan contoh gemuk 2.6 kali/minggu. Sebagian besar contoh mengonsumsi tahu dan tempe dalam bentuk tahu goreng tepung dan tempe goreng tepung (gorengan), atau tahu dan tempe yang dikonsumsi saat makan utama dan atau sebagai selingan. Sayuran Berdasarkan Tabel 15 diketahui bahwa jenis sayuran yang paling sering dikonsumsi contoh adalah sayur kol dan wortel dengan frekuensi tertinggi pada contoh normal. Rata-rata frekuensi konsumsi pada contoh normal 2.9 kali/minggu dan contoh gemuk 2.6 kali/minggu. Selain kol dan wortel, jenis sayuran lain yang dikonsumsi contoh adalah kangkung, bayam dan tauge. Rata-rata frekuensi konsumsi kangkung lebih tinggi pada contoh normal dibandingkan contoh gemuk, sedangkan rata-rata frekuensi konsumsi bayam dan tauge lebih tinggi pada contoh gemuk dibandingkan contoh normal. Tabel 15. Sebaran frekuensi konsumsi pangan contoh berdasarkan jenis pangan sumber sayur-sayuran dan buah-buahan. Bahan pangan Alpukat Apel Bayam Daun singkong Jeruk Kacang panjang Kangkung Kol dan wortel Mangga Melon Nenas Pepaya Pir Pisang Semangka
Rata-rata frekuensi per minggu Contoh normal Contoh gemuk 0.8±1.2 0.4±1.3 0.4±1.0 0.0±0.0 0.4±0.8 1.5±1.8 1.3±1.6 0.9±1.4 0.8±1.8 0.9±2.0 0.5±0.0 0.0±0.0 2.1±3.0 1.6±1.9 2.9±1.9 2.6±2.8 0.3±0.7 0.6±1.9 1.4±0.5 1.8±0.9 0.2±0.0 0.4±1.0 2.0±2.2 2.2±1.7 0.2±0.0 0.0±0.0 0.8±1.2 0.8±1.8 0.8±0.9 1.4±1.6
55 Buah-buahan Berdasarkan Tabel 15 diketahui bahwa pada kelompok buah-buahan, buah yang paling sering dikonsumsi contoh adalah pepaya dan melon. Hal ini diduga karena di lingkungan asrama (kantin agrimart dan babakan raya) kedua jenis buah tersebut banyak dijual dan harganya lebih terjangkau dibandingkan dengan buah lain. Rata-rata frekuensi konsumsi pepaya lebih tinggi pada contoh gemuk dibandingkan contoh normal yaitu sebanyak 2.2 kali/minggu pada contoh gemuk dan 2.0 kali/minggu pada contoh normal, sedangkan rata-rata frekuensi konsumsi melon lebih tinggi pada contoh gemuk dibandingkan contoh normal yaitu 1.8 kali/minggu pada contoh gemuk dan 1.4 kali/minggu pada contoh normal. Secara umum frekuensi konsumsi buah contoh nomal masih rendah jika dibandingkan contoh gemuk. Makanan jajanan dan cemilan Menurut
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.
942/MENKES/SK/VII/2003, makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan atau restoran, dan hotel. Jajanan termasuk dalam kategori pangan siap saji yaitu makanan dan minuman yang dijual untuk langsung dikonsumsi tanpa proses pengolahan lebih lanjut. Ragam pangan jajanan antara lain: bakso, mie goreng, nasi goreng, ayam goreng, burger, cakue, cireng, cilok, cimol, tahu, gulali, es jepit, es lilin dan ragam pangan jajanan lainnya (Direktorat Perlindungan Konsumen 2006). Berdasarkan Tabel 16 jajajanan yang paling sering dikonsumsi oleh kedua contoh adalah soto ayam dan gorengan (tempe goreng, ubi goreng dan pisang goreng). Rata-rata frekuensi konsumsi soto ayam lebih tinggi pada contoh normal dibandingkan contoh gemuk yaitu sebanyak 1.9 kali/minggu pada contoh normal dan 1.5 kali/minggu pada contoh gemuk, begitupun rata-rata frekuensi konsumsi gorengan (tempe goreng, ubi goreng, dan pisang goreng) juga lebih tinggi pada contoh normal dibandingkan contoh gemuk. Hal ini diduga karena contoh gemuk mulai mengurangi konsumsi gorengan yang menurut mereka merupakan sumber lemak yang dapat membuat tubuh bertambah gemuk.
56 Tabel 16. Sebaran frekuensi konsumsi pangan contoh berdasarkan jenis pangan sumber makanan jajanan dan cemilan Bahan pangan Bakso Bakwan Cireng Mie ayam Pisang goreng Roti goreng Risoles Siomay Soto ayam Tahu goreng Tempe goreng Ubi goreng
Rata-rata frekuensi per minggu Contoh normal Contoh gemuk 0.8±1.4 0.7±0.4 0.8±1.2 0.2±0.5 0.2±0.0 0.0±0.0 0.9±1.9 0.8±0.7 1.2±1.0 0.3±2.5 0.1±0.0 0.0±0.0 0.3±0.5 0.2±0.5 0.5±0.5 0.5±0.5 1.9±1.3 1.5±1.2 0.2±0.0 0.2±0.5 1.4±1.1 0.7±0.4 0.9±0.4 0.6±0.5
Makanan dan minuman manis Berdasarkan Tabel 17 diketahui bahwa jenis makanan manis yang dikonsumsi oleh kedua kelompok contoh adalah cake, biskuit, kue manis, kue kering, dan cokelat. Coklat merupakan makanan manis yang paling sering dikonsumsi oleh contoh normal dengan rata-rata frekuensi 1.7 kali/minggu sedangkan pada contoh gemuk 0.9 kali/minggu. Jenis makanan kedua terbanyak yang dikonsumsi oleh contoh adalah kue kering, dengan rata-rata frekuensi pada contoh normal 1.2 kali/minggu lebih tinggi dari contoh gemuk. Jenis kue kering yang paling sering dikonsumsi oleh contoh adalah kue kiloan yang banyak dijajakan di babakan raya sekitar kampus IPB. Secara umum frekuensi konsumsi makanan dan minuman manis pada contoh normal lebih tinggi dibandingkan pada contoh gemuk. Sedangkan jenis minuman manis yang dikonsumsi oleh kedua contoh adalah teh manis dan sirup. Teh manis adalah minuman manis yang paling sering dikonsumsi oleh contoh, sebagian besar contoh mengonsumsi teh manis pada pagi hari untuk sarapan bersama dengan roti. Tabel 17. Sebaran frekuensi konsumsi pangan contoh berdasarkan makanan dan minuman manis Bahan pangan Biskuit Cake Cokelat Dodol Kue manis Kue kering Sirup Teh manis
Rata-rata frekuensi per minggu Contoh normal Contoh gemuk 0.1±0.0 0.1±0.6 0.8±1.2 0.4±0.5 1.7±1.8 0.9±0.6 0.0±0.0 0.1±0.0 1.1±0.6 0.8±0.5 1.2±0.7 0.9±0.6 0.3±0.6 0.2±0.8 2.3±2.9 1.9±1.3
57 Fast food Berdasarkan Tabel 18 diketahui bahwa fried chicken, fried fries dan hamburger merupakan jenis fast food yang banyak digemari oleh kedua kelompok contoh. Frekuensi konsumsi fried chicken dan hamburger ditemukan lebih tinggi pada contoh normal dibandingkan contoh gemuk, sedangkan fried fries ditemukan lebih sering pada contoh gemuk dibandingkan contoh normal. Rata-rata frekuensi fried chicken pada contoh normal 1.0 kali/minggu pada contoh gemuk 0.8 kali/minggu. Rata-rata frekuensi fried fries pada contoh gemuk 0.4 kali/minggu dan pada contoh normal 0.1 kali/minggu. Sebaran frekuensi konsumsi pangan sumber fast food contoh dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Sebaran frekuensi konsumsi pangan contoh berdasarkan jenis pangan fast food dan soft drink. Bahan pangan Coca-cola Fanta Fried chicken Fried fries Hamburger Minuman sari buah Pepsi Pizza Sprite
Rata – rata frekuensi per minggu Contoh normal Contoh gemuk 0.3±0.5 0.3±0,7 0.1±0.3 0.1±0.4 1.0±1.5 0.8±0.6 0.1±0.3 0.4±0.3 0.6±0.8 0.1±0.1 0.9±1.0 0.5±0.9 0.2±0.0 0.1±0.3 0.1±0.4 0.0±0.0 0.1±0.4 0.0±0.0
Soft drink Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa jenis soft drink yang dikonsumsi oleh kedua kelompok contoh adalah coca-cola, fanta, sprite, pepsi, dan minuman sari buah. Secara umum rata-rata frekuensi konsumsi soft drink lebih tinggi pada contoh normal dari pada contoh gemuk. Jenis soft drink yang paling sering dikonsumsi oleh kedua contoh adalah minuman sari buah dengan rata-rata frekuensi konsumsi 0.9 kali/minggu pada contoh normal dan 0.5 kali/minggu pada contoh gemuk. Susu dan olahannya Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui bahwa contoh yang paling sering mengonsumsi susu adalah contoh normal dengan rata-rata frekuensi 5.2 kali/minggu. Sedangkan contoh gemuk 3.3 kali/minggu. Susu yang paling banyak dikonsumsi oleh contoh adalah susu kental manis dan susu ultra coklat yang diminum saat sarapan dan atau sebelum tidur. Selain susu instan, ice krim juga merupakan olahan susu yang biasa dikonsumsi oleh kedua contoh, dimana konsumsi contoh normal lebih tinggi daripada contoh gemuk yaitu 0.8 kali/minggu
58 pada contoh normal dan 0.4 kali/minggu pada contoh gemuk. Sebaran frekuensi konsumsi susu dan olahannya dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Sebaran frekuensi konsumsi susu dan olahannya Bahan pangan Ice krim Susu
Rata-rata frekuensi per minggu Contoh normal Contoh gemuk 0.8±0.3 0.4±0.1 5.2±3.1 3.3±1.9
Asupan Energi dan Protein Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu,
jumlah zat gizi yang diperoleh
melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan (internal dan eksternal), pemeliharaan tubuh, dan pertumbuhan bagi orang dewasa dan lansia (Hardinsyah dan Martianto 1992). Frekuensi konsumsi mahasiswi ditampilkan untuk melihat pola kebiasaan makan dan dilakukan dengan metode recall 2x24 jam. Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasan makan individu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intik harian individu (Supariasa et al. 2001). Data konsumsi pangan contoh diperoleh dari metode recall 2x24 jam dengan pemilihan dua hari yaitu satu hari kuliah dan satu lagi pada hari libur. Pemilihan hari kuliah dan hari libur dilakukan untuk mencerminkan rata-rata konsumsi pangan contoh yang kemungkinan berbeda pada hari kuliah dan libur. Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi berdasarkan status gizi contoh disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 menguraikan rata-rata asupan energi dan protein contoh yang ditentukan berdasarkan data konsumsi. Rata-rata asupan energi`contoh normal lebih tinggi daripada contoh gemuk. Dimana rata-rata asupan contoh normal adalah 1710 Kalori. Rata-rata asupan protein contoh normal juga lebih tinggi daripada contoh gemuk. Rata-rata asupan protein contoh normal adalah 48.0 gram. Jika dibandingkan dengan angka kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan AKG (2004), maka diperoleh rata-rata Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) energi
contoh normal sebesar 87.0% dan contoh gemuk 82.8%,
sedangkan Tingkat Kecukupan Protein pada contoh normal 94.4% dan contoh gemuk 90.9%.
59 Tabel 20. Sebaran rata-rata asupan, dan tingkat kecukupan energi dan protein Energi dan protein Energi - Asupan - Kecukupan - Tingkat kecukupan (%) Protein - Asupan - Kecukupan - Tingkat kecukupan (%)
Rata-rata ± SD Contoh normal Contoh gemuk 1.710 ± 105.4 1.966±281.4 87.0
1.607±91.2 1.942±225.4 82.8
48±2.8 51±6.4 94.4
46±2.9 50±4.4 90.9
Tingkat Kecukupan Energi Penentuan tingkat kecukupan energi dan protein mengacu pada Departemen Kesehatan (1996) yang mengklasifikasikan tingkat kecukupan energi dan protein dalam lima tingkatan yaitu: (1) defisit tingkat berat (<70% AKG), (2) defisit tingkat sedang (70-79% AKG), (3) defisit tingkat ringan (80-89% AKG), (4) Normal (90-119% AKG) dan (5) Kelebihan (≥120% AKG). Berdasarkan Tabel 21 yang menguraikan sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan status gizi. Sebagian besar contoh yang berstatus gizi normal (53.8%) dan contoh yang berstatus gizi gemuk (35.9%) memiliki tingkat kecukupan energi yang tergolong normal. Sebesar 17.9% contoh normal dan 30.8% contoh gemuk termasuk ke dalam kategori defisit ringan dan terdapat 10.3% contoh normal dan 7.7% contoh gemuk yang termasuk ke dalam kategori defisit tingkat berat. Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata tingkat kecukupan energi (p>0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk. Asupan energi yang masih kurang dari angka kecukupan selain diduga disebabkan karena contoh, terutama contoh gemuk membatasi asupan makanannya (diet) terutama pangan sumber energi dan karbohidrat. Selain itu, hal ini diduga juga disebabkan oleh beberapa kesalahan yang terjadi dalam pengukuran konsumsi pangan. Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain bisa disebabkan oleh responden dan enumerator, lupa, kesalahan dalam menduga ukuran porsi dan The Flat Slope Syndrome. The Flat Slope Syndrome adalah suatu kecenderungan dimana responden akan melaporkan lebih pada konsumsi yang sedikit (overestimate low intakes) atau melaporkan sedikit pada konsumsi yang berlebihan (underestimate hight intakes) (Gibson 1990). Menurut Kusharto dan Sa’diyyah (2003), metode recall konsumsi yang digunakan dalam penelitian memiliki kekurangan yaitu data yang dihasilkan
60 kurang akurat karena mengandalkan keterbatasan daya ingat seseorang dan tergantung dari keahlian tenaga pencatat dalam mengonversi ukuran rumah tangga (urt) kedalam satuan berat, serta adanya variasi intepretasi besarnya ukuran antar responden. Tabel 21. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan status gizi Tingkat kecukupan energi Defisit Tingkat Berat Defisit Tingkat Sedang Defisit Tingkat Ringan Normal Kelebihan Total
Status gizi Contoh normal Contoh gemuk n % n % 4 10.3 3 7.7 7 17.9 12 30.8 6 15.4 10 25.6 21 53.8 14 35.9 1 2.6 0 0 39 100 39 100
Total n 7 19 16 35 1 78
% 9.0 24.4 20.5 44.9 1.3 100
Tingkat Kecukupan Protein Berdasarkan tingkat kecukupan protein, sebagian besar contoh termasuk ke dalam kategori normal (59.0%). Terdapat 5.1% contoh memiliki tingkat kecukupan protein yang berlebih pada contoh normal dikarenakan sebagian besar contoh tidak melakukan pembatasan pangan sumber protein baik pangan nabati maupun hewani. Sebagian besar contoh
yang tingkat kecukupan
proteinnya tergolong defisit tingkat ringan adalah contoh gemuk (41.0%). Hal ini dikarenakan contoh gemuk
sedikit mengonsumsi pangan hewani dan nabati,
serta contoh gemuk melakukan pembatasan makanan untuk menurunkan berat badan dengan mengurangi porsi makan termasuk juga porsi pangan sumber protein hewani yang mereka yakini sebagai makanan penyumbang lemak yang cukup besar. Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata tingkat kecukupan protein (p>0.05) antara contoh normal dan contoh gemuk. Tabel 22. menunjukkan sebaran contoh menurut tingkat kecukupan protein dan status gizi. Tabel 22. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein dan status gizi Tingkat kecukupan protein Defisit Tingkat Berat Defisit Tingkat Sedang Defisit Tingkat Ringan Normal Kelebihan Total
Status gizi Contoh normal Contoh gemuk n % n % 1 2.6 0 0 5 12.8 3 7.7 5 12.8 16 41.0 26 66.7 20 51.3 2 5.1 0 0 39 100 39 100
Total n 1 8 21 46 2 78
% 1.3 10.3 26.9 59.0 2.6 100
61 Hubungan Antar Variabel Karakteristik contoh dengan status gizi Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur dan besar uang saku contoh dengan status gizi (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa umur dan besar atau kecilnya uang saku tidak berhubungan dengan status gizi, meskipun uang saku contoh gemuk cenderung lebih besar namun alokasi untuk makanannya lebih sedikit sehingga tidak berhubungan dengan status gizi. Tabel 23 menyajikan hubungan antara umur dan besar uang saku contoh dengan status gizi. Tabel 23. Hubungan antara umur dan uang saku contoh dengan status gizi Karakteristik contoh Umur Besar uang saku
r (Correlation Coefficient) -0.094 -0.058
p (Sign. (2-tailed) 0.207 0.612
Karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan status gizi Hasil uji korelasi antara karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan status gizi disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Hubungan antara karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan status gizi Karakteristik contoh r (Correlation Coefficient) p (Sign. (2-tailed) Besar keluarga Pendidikan ayah Pendidikan ibu Pekerjaan ayah Pekerjaan ibu Pendapatan keluarga
0.075 0.071 0.142 -0.023 -0.199 0.267
0.515 0.536 0.214 0.839 0.080 0.018
Besar keluarga. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara besar keluarga dengan status gizi (p>0.05). Hal ini disebabkan oleh proporsi jumlah anggota keluarga keluarga kecil, sedang dan besar pada contoh normal dan gemuk tidak jauh berbeda. Rata-rata besar keluarga pada contoh normal adalah 5.05±1.34 orang, dan ratarata besar keluarga contoh gemuk adalah 4.69±1.24 orang. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab tidak ada korelasi yang nyata antara jumlah anggota keluarga dengan status gizi contoh. Pendidikan orang tua. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan orang tua dengan status gizi (p>0.05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan pendidikan ayah dan ibu kedua contoh menamatkan pendidikan terakhirnya pada
62 tamat SMA dengan persentase terbesar untuk pendidikan ayah dan ibu sebesar 84.6%. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan orang tua belum tentu mempengaruhi status gizi normal atau gemuk pada anaknya. Pekerjaan orang tua. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan
orang tua dengan
status gizi (p>0.05). Hal ini dapat menunjukkan bahwa jenis pekerjaan orang tua tidak menentukan status gizi normal atau gemuk pada contoh. Jenis pekerjaan dapat menentukan besarnya pendapatan dalam sebuah keluarga serta penyediaan makanan yang cukup dan berkualitas yang lebih lanjut berpengaruh terhadap konsumsi. Rata-rata asupan energi pada contoh normal (1.710±105.4) tidak berbeda jauh dengan contoh gemuk (1.607±91.2), begitupun dengan ratarata asupan protein contoh normal (48±2.8) juga tidak berbeda jauh dengan contoh gemuk (46±2.9). Pekerjaan orang tua juga secara tidak langsung menentukan fasilitas yang dimiliki keluarga sehingga dapat menentukan tipe aktivitas fisik anggota keluarga. Pendapatan keluarga. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pendapatan keluarga dengan status gizi (p<0.05). Hal ini berarti bahwa semakin besar pendapatan keluarga maka contoh cenderung semakin gemuk. Data pendapatan keluarga pada contoh normal adalah lebih kecil daripada contoh gemuk, dimana contoh normal pendapatan keluarga kurang dari Rp 4.000.000/bulan sedangkan contoh gemuk lebih atau sama dengan Rp 4.000.000/bulan. Begitupun uang saku pada contoh normal juga lebih kecil daripada contoh gemuk, dimana rata-rata uang saku contoh normal adalah Rp 692.307±147.138 sedangkan rata-rata uang saku contoh normal Rp 719.230±261.255. Hasil ini sejalan dengan pernyataan Novitasari (2005) bahwa, sesuai hukum Bennet semakin meningkat pendapatan seseorang maka pola konsumsi akan bergeser ke arah konsumsi pangan dengan harga yang lebih mahal yang mengandung lemak dan protein serta gula yang tinggi. Pengetahuan gizi dengan status gizi Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi dengan status gizi (p>0.05). Hal ini berarti tingkat pengetahuan gizi tidak ada hubungan dengan status gizi. Secara keseluruhan pengetahuan gizi pada contoh normal tidak berbeda jauh dengan
63 contoh gemuk, baik contoh normal ataupun contoh gemuk memiliki
tingkat
pengetahuan gizi sedang dan baik. Kebiasaan makan dengan status gizi Hasil uji korelasi antara kebiasaan makan dengan status gizi disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Hubungan antara kebiasaan makan contoh dengan status gizi Kebiasaan Makan Frekuensi makan Kebiasaan makan malam
r (Correlation Coefficient) -0.403 0.405
p (Sign. (2tailed) 0.000 0.000
Frekuensi makan. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara frekuensi makan dengan status gizi (p<0.05). Hal ini berarti bahwa semakin baik frekuensi makan contoh, maka kecenderungan status gizi contoh juga semakin baik (contoh normal). Contoh normal memiliki kebiasaan makan 3 kali sehari sedangkan contoh gemuk terbiasa makan 2 kali sehari. Contoh gemuk memiliki frekuensi makan yang lebih sedikit dibandingkan dengan contoh normal karena contoh gemuk mengurangi frekuensi makan guna membatasi asupan kalori yang dikonsumsi yang bertujuan untuk menurunkan berat badan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Sari (2011) yang menunjukkan bahwa contoh obes terbiasa makan 2 kali sehari. Pasanea (2011) juga menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswi gemuk Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor terbiasa makan dengan frekuensi 1-2 kali/hari yaitu dengan persentase sebesar 57.0%, dan sisanya sebesar 43.0% terbiasa makan dengan frekuensi 3-4 kali/hari. Kebiasaan makan malam. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara kebiasaan makan malam dengan status gizi (p<0.05). Hal ini berarti semakin baik (rutin) kebiasaan makan malam contoh, maka kecenderungan status gizi contoh juga semakin baik (contoh normal). Contoh normal memiliki kebiasaan makan pada malam hari sedangkan contoh gemuk mengurangi makan malam dengan tujuan untuk membatasi asupan kalori. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lingga (2011) yang menunjukkan bahwa remaja putri sering melewatkan makan malam dengan alasan sedang membatasi kalori yang dikonsumsi.
64 Tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan status gizi Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dan protein (p>0.05) dengan status gizi. Hal ini berarti bahwa tingkat kecukupan energi dan protein pada contoh tidak berpengaruh terhadap status gizi karena tingkat kecukupan energi dan protein sebagian besar contoh adalah dalam kategori normal baik pada contoh dengan status gizi normal maupun contoh dengan status gizi gemuk. Tabel 26. Hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi Kecukupan energi dan zat gizi Kecukupan energi Kecukupan protein
r (Correlation Coefficient) -0.169 -0.173
p (Sign. (2-tailed) 0.070 0.064
Aktivitas fisik dengan status gizi Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik hari kuliah dan hari libur (p>0.05) dengan status gizi contoh. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat aktivitas fisik contoh tidak ada hubungannya dengan status gizi. Keadaan ini terjadi karena aktivitas fisik pada contoh dengan status gizi normal dan gemuk sama-sama berada pada kategori ringan. Tabel 27. Hubungan antara aktifitas fisik dengan status gizi Aktivitas fisik Hari kuliah Hari libur
r (Correlation Coefficient) 0.184 0.044
p (Sign. (2-tailed) 0.106 0.702
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi Analisis regresi linear berganda dilakukan untuk mengetahui variabel yang
diduga
berpengaruh
terhadap
status gizi.
Variabel
yang
diduga
berpengaruh terhadap status gizi adalah pendapatan keluarga, frekuensi makan sehari dan kebiasaan makan malam. Hal ini didasarkan pada ketiga variabel tersebut mempunyai korelasi signifikan dengan status gizi. Berdasarkan hasil uji regresi linear berganda diketahui bahwa variabel yang berpengaruh terhadap status gizi adalah frekuensi makan sehari dan kebiasaan makan malam.
65 Persamaan yang dapat dibuat dari hasil uji regresi linear adalah: Y=1.704 – 0.255X1 + 0.132X2 Keterangan : Y
= status gizi
X1
= frekuensi makan sehari
X2
= kebiasaan makan malam Berdasarkan rumus regresi tersebut diketahui bahwa frekuensi makan
sehari semakin tinggi (tiga kali sehari) maka status gizi contoh cenderung normal. Lebih lanjut diketahui bahwa semakin jarang makan malam, maka status gizi contoh cenderung makin gemuk. Hal ini mengindikasikan bahwa penggantian makan malam dengan sayur, buah atau cemilan yang tidak tepat porsinya atau dengan kata lain kandungan energinya lebih besar daripada makan malam, maka tidak akan menurunkan berat badan tetapi bahkan bisa meningkatkan berat badan.
66
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Rata-rata usia subjek secara keseluruhan adalah 18.8±0.6 tahun. Ratarata uang saku subjek adalah sebesar Rp705.769±211.055/bulan. Rata-rata jumlah anggota keluarga contoh termasuk kategori sedang. Pendidikan ayah dan ibu kedua subjek menamatkan pendidikan terakhirnya pada tamat SMA. Pekerjaan ayah dikedua kategori subjek bekerja sebagai pegawai swasta sedangkan ibu dikedua kategori subjek bekerja sebagai ibu rumah tangga. Secara keseluruhan pendapatan orang tua kedua kategori subjek kurang dari Rp 4.000.000/bulan. Persentase contoh berpengetahuan baik pada contoh gemuk lebih tinggi dibandingkan dengan contoh normal. Subjek normal terbiasa makan tiga kali sehari, sedangkan frekuensi makan subjek gemuk sebagian besar dua kali sehari. Sebagian besar subjek normal terbiasa melakukan sarapan setiap hari, sedangkan subjek gemuk hanya 43.6%. Sebagian besar subjek memiliki kebiasaan makan siang setiap hari. Subjek normal terbiasa makan malam setiap hari, sedangkan subjek gemuk 30.8% terbiasa makan malam setiap hari. Sebagian besar subjek memiliki kebiasaan mengonsumsi protein hewani dan nabati setiap hari. Lebih dari separuh subjek memiliki kebiasaan mengonsumsi sayur setiap hari. Sebesar (71.8%) subjek terbiasa mengkonsumsi fast food 1-2 kali/minggu. Lebih dari separuh subjek terbiasa mengonsumsi soft drink 1-2 kali/minggu. Subjek normal terbiasa mengonsumsi cemilan 3-5 kali/minggu sedangkan subjek gemuk terbiasa mengonsumsi cemilan 1-2 kali/minggu. Sebagian besar subjek normal maupun gemuk terbiasa mengonsumsi minuman manis 1-2 kali/minggu. Sebesar 24.4% subjek dikedua kategori mengonsumsi susu 6-7 kali/minggu. Pada hari kuliah dan libur aktivitas fisik kedua subjek tergolong dalam kategori ringan dan sedang. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur, besar uang saku, besar keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pengetahuan gizi, kebiasaan sarapan, kebiasaan makan siang, konsumsi protein hewani dan nabati, konsumsi sayur dan buah, konsumsi fast food, soft drink, konsumsi cemilan, minuman manis, susu dan olahannya, tingkat kecukupan energi dan protein serta aktifitas fisik dengan
67 status gizi (p>0.05), namun terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pendapatan keluarga, dan kebiasaan makan malam serta terdapat hubungan negatif dan signifikan antara frekuensi makan dengan status gizi (p<0.05). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi contoh adalah kebiasaan makan malam dan frekuensi makan sehari. Saran Kebiasaan sarapan pagi mahasiswi yang status gizi gemuk sebaiknya perlu diperbaiki karena sarapan pagi berpengaruh terhadap status kesehatan yang kurang baik seperti terjadinya kegemukan dan penurunan konsentrasi belajar. Selain itu contoh gemuk juga harus memperbaiki kebiasaan makan malam, jika makan malam diganti dengan konsumsi sayur dan buah ataupun cemilan, sebaiknya porsinya tidak melebihi dari porsi makan malam itu sendiri karena mengonsumsi makanan yang banyak pada malam hari akan berakibat pada meningkatnya glukosa yang akan disimpan sebagai glikogen dan lemak, karena aktivitas pada malam hari rendah. Lebih lanjut aktivitas fisik juga perlu ditingkatkan untuk mendapatkan status gizi yang normal, sebaiknya pihak asrama hendaknya menjadwalkan kegiatan-kegiatan olahraga bersama agar dapat meningkatkan kesehatan mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama Insititut Pertanian Bogor.
68
DAFTAR PUSTAKA Affenito SG et al. 2005. Breakfast consumption by African-American and White Adolenscent girls correlates positively with calcium and fiber intake and negatively with body mass index. Journal of American Diet Association 105 (6): 938. Almatsier. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Anderson Patricia M, Kristin F butcher, Phillip B Levine. 2002. Maternal Employment and Overweight Children. Journal Health economics, volume 22, issue 3. Anschutz DJ, Engels R, Strien TV. 2009. Side effects of television food commercials on concurrent nonadvertised sweet snack food intakes in young children. American Journal of Clinical Nutrition, 89, 1328–33. Arofah D & Hertanto WS. 2007. Konsumsi soft drink sebagai faktor risiko terjadinya obesitas pada remaja usia 15-17 tahun. Universitas Diponegoro: Media Medika Muda. Arora A. 2008. 5 Langkah Mengendalikan Obesitas. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. Atkinson RL. 2005. Etiologies of Obesity. Di dalam: The Management of Eating Disorders and Obesity, 2ndEd. D.J Goldstein, editor. Totowa: Humana Press. Inc. Bowman SA et al. Effect of fast food comsumption on energy intake and diet quality among children in a national household survey. Pediatrics, 113: 112118. Briawan D. 2008. Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan status besi remaja wanita [disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Castillon et al. 2007. Intake of fried foods is associated with obesity in the cohort of Spanish adulth from European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition. Am J Clin Nutr (86): 198-205 [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Direktorat gizi masyarakat. Drapeau V et al. 2004.Modifications in food-group comsumption are related to long-term body-weight changes. Am J Clin Nutr. 80:29-37. Ebbeling CB, Pawlak DB, Ludwiq DS. 2002. Childhood obesity: public-health crisis, common sense cure. Lancet. 360: 473-482. FAO/WHO/UNU. 2001. Energy Requirements of http://www.fao.org/docrep/007/y5686e/y5686e07.htm#bm07.3
Adult.
69 Fathonah, Siti, dkk., 1996. Prevalensi Gizi Lebih pada Anak-anak SMA dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Tesis, Semarang : IKIP. Fikawati S, Syafiq A. 2009. Konsumsi Kalsium pada Remaja. Di dalam: Gizi dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta: Rajawali Pers. Fukuda S, Takeshita T, Morimoto K. 2001. Obesity and lifestyle, Asian Medical Journal, 44. Fraser LK, Edwards KL, Cade JE, Clarke GP. Fast food, other food choices and body mass index inteenagers in the United Kingdom (ALSPAC): astructural equation modelling approach. International Journal Obes (Lond). 2011; 35(10):1325-1330. Francis DK, Broeck JV, Younger N. 2008. Fast food and sweetened beverage consumption: association with overweight and high waist circumference in adolescents. Public Health Nutrition, 12(8), 1106-1114. Freitag H. 2010. Bebas Obesitas Tanpa Diet Menyiksa. Yogyakarta. Media Pressindo. Freestone, Press V, George. 2003. Physical Activity: The Evidence of Benefit in The Prevention of Coronary Heart Disease. QJ Med 96:245–251. Gibson. 2005. Principal of Nutritional Assessment. Oxford: Oxford University Press. Hidiwiyoto. 1993. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging, dan Telur. Yogyakarta: Liberty. Hill JO, Wyatt HR, Reed GW, Peters JC. 2003. Obesity and the Environment: where do we go from here? Science; 299: 853-5 Humayrah W. 2009. Faktor Gaya Hidup Dalam Hubungannya Dengan Risiko Kegemukan Orang Dewasa Di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo.[Skripsi] Bogor: Fakultas Ekologi Manusia IPB. Jeffery RW, Baxter J, McGuire M, Linde J. 2006. Are fast food restaurants an environmental risk factor for obesity? International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity. 3:2. Khomsan A, D Sukandar, U Sumarwan dan D Briawan. 1998. Pangan sebagai Indikator Kemiskinan. Di dalam Posiding Widya Karya nasional pangan dan Gizi VI. Jakarta : LIPI. _________. 2002. Pangan dan Gizi Kesehatan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. _________. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
70 _________. 2005. Pangan dan Gizi Kesehatan 2. Bogor. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Ledikwe. JH, Julia A. Ello-Martin, Barbara J. Rolls. 2005. Modiflying the Food environment: energy density, food costs, and portion size. Journal of Nutrition. 135, 905-909. Low, Chin & Deurenberg-Yap (2009). Review On Epidemic Of Obesity. Ann Acad Med Singapore. 38:57-65. Lingga M. 2011. Studi Tentang Pengetahuan Gizi, Kebiasaan Makan, Aktivitas Fisik, Status Gizi dan Body Image Remaja Putri yang Berstatus Gizi Normal dan Gemuk/Obes di SMA Budi Mulia Bogor. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Madanijah S. 2004a. Model pendidikan “GI-PSI-SEHAT” bagi ibu serta dampaknya terhadap perilaku ibu, lingkungan pembelajaran, konsumsi pangan dan status gizi anak usia dini [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mar’at S. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Meilany TA. 2001. Profil klinis dan laboratoris obesitas pada murid sekolah dasar. [tesis]. Jakarta: Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM. Misnadiarly. 2007. Obesitas sebagai faktor Resiko Beberapa Penyakit. Jakarta: Pustaka Obor Populer. Moehji S 2003. Ilmu Gizi (Pengetahuan Dasar Ilmu Gizi). Jakarta: Papas Sinar Sinanti. Muchtadi D. 2001. Laporan Penelitian: Kajian terhadap serat makanan dan antioksidan dalam berbagai jenis sayuran untuk mencegah penyakit degeneratif. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Mustofa A. 2010. Solusi Ampuh Mengatasi Obesitas. Yogyakarta: Hanggar Kreator. Novitasari. 2005. Kebiasaan Mengonsumsi Western Fast Food Pada Remaja SMU yang Berstatus Gizi Normal dan Obese di Kota Bogor. [Skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Odgen C, Carrol M, Catherine F, Johnson IC. 2009. Prevalence of Obesity Among Children and Adolescents: United States, Trends 1963–1965 Through 2007–2008. The Journal of the American Medical Association Vol 288 (14): 1728-1732. Pasanea Stefany. 2011. Analisis Hubungan Persepsi Kegemukan dengan Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik Mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama. Institut Pertanian Bogor.
71
Padmiari IDE, Hadi H. 2003. Konsumsi Fast Food Sebagai Faktor Risiko Obesitas pada Anak SD. Medika. 29: 159-165 Popkin B. 2007. Ubah kebiasaan ngemil www.parenting.co.id [1 september 2012]
anak
sekarang
juga.
Purwati, Rahayuningsih dan Salimar (2005). Perencanaan Menu Untuk Penderita Kegemukan. Jakarta: Penebar Swadaya. Pfeiffer AFH, Weickert MO. 2008. Metabolic Effects of Dietary Fiber Consumption and Prevention of Diabetes. 138 (3):439.
Priyanto R. 2007. besar risiko frekuensi makan, asupan energi, lemak, serat dan aktivitas fisik terhadap kejadian kegemukan pada remaja sekolah menengah pertama (SMP) [tesis]. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi S1 fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Radita DA. 2007. Karakteristik Kegemukan pada Anak Sekolah dan Remaja di Medan dan Jakarta Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rimbawan dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Jakarta: Penebar Swadaya. Riyadi H. 1996. Gizi dan Kesehatan dalam Pembangunan Pertanian (Khomsan A dan A Sulaeman, Editor). Bogor : IPB-Press. . 2003. Penilaian Status Gizi secara Antropometri [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Roche Indonesia. 2007. Blok the fat shape your life. http://www.obesitas.web.id [3 November 2011]. Santrock JW. 2003. Aldolescence Perkembangan Remaja. Shinta B. Adelar dan Sherly Saragih, alih bahasa. Wisnu CK dan Yati S, editor. Jakarta: Erlangga. Sari DM. 2011. Gaya Hidup, Intake Zat Gizi dan Morbiditas Orang Dewasa yang Berstatus Gizi Obes dan Normal. Institut Pertanian Bogor. Satoto, dkk. 1998. Kegemukan, Obesitas dan Penyakit Degeneratif, Epidemiologi dan Strategi Penanggulangan. Di dalam: Widyakarya Nasional Pangan & Gizi VI. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Scholder stephanie von Hinke Kessler 2007. Maternal employment and overweight children : does timing matter? HEDG Working Paper 07/12 http://www.york.ac.uk/res/herc/documents/wp/07_12.pdf (28 juli 2012). Sediaoetama AD. 1991. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat. Sizer FS, whitney EN. 2000. Nutrition Concepts and Controversies (8thed). Wadsworth, Australia.
72 Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, PAU Pangan dan Gizi, IPB. Bogor. Sulistijani DA. 2005. Sehat dengan Makanan Berserat. Jakarta: Puspa Swara. Supariasa B Bakri, dan I Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. Soekirman 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Stang J. 2002. Assesment of nutritional status and motivation to make behavior changes among adolenscent. Journal American Diet Association 102 (3 suppl): S13. Story M et al. 2002. Individual and environmental influences on adolescent eating behaviour. Journal American Diet Association 102 (3 suppl): S40b. Sztainer ND, Wall M, Story M, Berg PVD. 2008. Accurate Parental Classification of Overweight Adolescents‟ Weight Status: Does It Matter?.American Academy of Pediatrics. 121:e1495–e1502. Syafia 2009. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers. Wirakusumah ES. 1994. Cara Aman dan Efektif Menurunkan Berat Badan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Wulansari ND. 2009. Konsumsi serta preferensi buah dan sayur pada remaja SMA dengan status sosial ekonomi yang berbeda di Bogor [skripsi] Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
73
LAMPIRAN
74 Lampiran 1. Hasil Uji Beda Berbagai Variabel Antara Contoh Normal dan Contoh Gemuk No
Variabel
Nilai p value
1
Umur
0.114
2
Uang saku
0.756
3
Pendidikan ayah
0.168
4
Pendidikan ibu
0.118
5
Pekerjaan ayah
0.891
6
Pekerjaan ibu
0.159
7
Pendapatan keluarga
0.018
8
Besar keluarga
0.222
9
Pengetahuan gizi
0.069
10
Aktivitas fisik hari kuliah
0.214
11
Aktivitas fisik hari libur
0.326
12
Frekuensi makan sehari
0.000
13
Jenis pengolahan makan yang paling disukai
0.533
14
Kebiasaan sarapan
0.372
15
Kebiasaan makan siang
0.261
16
Kebiasaan makan malam
0.000
17
Kebiasaan konsumsi protein hewani
0.649
18
Kebiasaan konsumsi protein nabati
0.320
19
Kebiasaan makan sayur
0.480
20
Kebiasaan makan buah
0.102
21
Kebiasaan konsumsi soft drink
0.122
22
Kebiasaan konsumsi minuman manis
0.066
23
Kebiasaan minum susu/olahannya
0.902
24
Kebiasaan konsumsi cemilan
1.000
25
Kebiasaan konsumsi fast food
0.316
26
Tingkat kecukupan energi
0.074
27
Tingkat kecukupan protein
0.075
75 Lampiran 2. Hasil Uji Spearman Berbagai Variabel dengan Status Gizi Contoh
1
Umur
-0.094
Nilai p value 0.207
2
Uang saku
-0.058
0.612
3
Pendidikan ayah
0.071
0.536
4
Pendidikan ibu
0.142
0.214
5
Pekerjaan ayah
-0.023
0.839
6
Pekerjaan ibu
-0.199
0.080
7
Pendapatan keluarga
0.267
0.018
8
Besar keluarga
0.075
0.515
9
Pengetahuan gizi
0.207
0.069
10
Aktivitas fisik hari kuliah
0.184
0.106
11
Aktivitas fisik hari libur
0.044
0.702
12
Frekuensi makan sehari
-0.403
0.000
13
Kebiasaan sarapan
0.124
0.281
14
Kebiasaan makan siang
0.202
0.077
15
Kebiasaan makan malam
0.405
0.000
16
Kebiasaan konsumsi protein hewani
-0.052
0.649
17
Kebiasaan konsumsi protein nabati
0.114
0.320
18
Kebiasaan makan sayur
-0.123
0.284
19
Kebiasaan makan buah
-0.182
0.111
20
Kebiasaan konsumsi soft drink
0.177
0.121
21
Kebiasaan konsumsi minuman manis
0.175
0.125
22
Kebiasaan minum susu/olahannya
-0.007
0.950
23
Kebiasaan konsumsi cemilan
0.007
0.950
24
Kebiasaan konsumsi fast food
0.045
0.698
25
Tingkat kecukupan energi
-0.169
0.140
26
Tingkat kecukupan protein
-0.173
0.129
No
Variabel
Nilai r