HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK, AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI GULA, DAN STATUS GIZI DENGAN KADAR MALONDIALDEHIDE (MDA) DAN GLUKOSA DARAH PADA ORANG DEWASA
NOVA KHAIRUNNISA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hubungan Kebiasaan Merokok, Aktivitas Fisik, Konsumsi Gula, dan Status Gizi dengan Kadar Malondialdehide (MDA) dan Glukosa Darah pada Orang Dewasa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016
Nova Khairunnisa NIM I151130031
RINGKASAN Nova Khairunnisa. Hubungan Kebiasaan Merokok, Aktivitas Fisik, Konsumsi Gula, dan Status Gizi dengan Kadar Malondialdehide (MDA) dan Glukosa Darah pada Orang Dewasa. Dibimbing oleh HIDAYAT SYARIEF dan SITI MADANIJAH. Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang memerlukan perhatian serius dalam beberapa tahun terakhir. DM tipe 2 disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu faktor genetik dan lingkungan termasuk gaya hidup dan pola makan. Kelompok dewasa merupakan salah satu kelompok yang cukup rawan terkena DM tipe 2. Hal ini disebabkan oleh gaya hidup berupa pola konsumsi tinggi gula, kebiasaan merokok, kurangnya aktivtas fisik serta status gizi. Status gizi lebih merupakan indikator dalam menentukan risiko penyakit degeneratif seperti DM tipe 2. Penumpukan lemak di sel adiposa mempengaruhi kinerja insulin dan meningkatkan paparan radikal bebas. Paparan radikal bebas (prooksidan) yang tinggi dan rendahnya antioksidan juga memicu terjadinya proinflamasi di berbagai sel sehingga meningkatkan risiko berbagai penyakit metabolik seperti DM tipe 2. Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis hubungan kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi gula dan status gizi dengan kadar malondialdehide (MDA) dan kadar glukosa darah. Adapun tujuan khususnya adalah 1) mengidentifikasi karakteristik sosioekonomi, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi gula dan status gizi antropometri subjek; 2) menganalisis hubungan kebiasaan merokok dengan status oksidatif subjek dilihat dari kadar MDA darah; 3) menganalisis hubungan aktivitas fisik dengan kadar gula darah; 4) menganalisis hubungan konsumsi gula dengan kadar glukosa darah; 5) menganalisis hubungan konsumsi buah dan sayur dengan kadar glukosa darah; 6) menganalisis hubungan status gizi antropometri dengan kadar glukosa darah; 7) menganalisis hubungan kadar MDA darah dengan kadar glukosa darah; 8) menganalisis faktor yang berpengaruh (determinan) terhadap kadar glukosa darah orang dewasa. Desain penelitian ini adalah cros-sectional study. Studi dilaksanakan di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Provinsi DKI Jakarta pada bulan Agustus 2014 sampai dengan April 2015. Subjek adalah pria dan wanita usia >19 tahun. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi: 1) data sosial ekonomi, 2) kebiasaan merokok, 3) aktivitas fisik,4) konsumsi gula serta buah dan sayur, 5) status gizi, 6) MDA, dan 7) glukosa darah. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara menggunakan kuisioner dan observasi langsung menggunakan instrumen alat ukur dan kuesioner terstruktur yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Analisis statistik yang dilakukan menggunakan SPSS versi 20.0 for Windows. Analisis deskriptif menggambarkan sebaran variabel yang diteliti berdasarkan persen dan rataan. Uji beda T-test digunakan untuk menganalisis perbedaan berbagai variabel antara pria dan wanita. Analisis korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis hubungan antara kebiasaan merokok dengan kadar MDA dan aktivitas fisik, konsumsi gula, konsumsi buah sayur, status gizi, serta kadar MDA dengan kadar glukosa darah. Analisis regresi linear berganda digunakan untuk melihat faktor determinan (kebiasaan merokok, aktivitas fisik,
konsumsi gula, konsumsi buah sayur, status gizi, dan kadar MDA) terhadap kadar glukosa darah. Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata usia subjek sekitar 41.8 tahun dengan usia rata-rata pria 42.8 tahun dan wanita 41.0 tahun. Sebagian besar (87.3%) subjek berpendidikan SMA dan Perguruan tinggi. Sebagian besar kelompok pria bekerja sebagai pegawai swasta sedangkan wanita tidak bekerja. Pendapatan subjek berkisar antara Rp5 000 000 – Rp9 900 000 perkapita perbulan. Berdasarkan kebiasaan merokok, setengah (50.0%) subjek merupakan perokok aktif dengan ratarata rokok yang dihisap sebesar 10.5 ± 14.9 batang per hari. Proporsi pria yang merokok lebih besar (55.4%) dibandingkan wanita (47.3%), demikian juga frekuensi merokok pria lebih besar dibandingkan dengan wanita (p<0.05). Sebagian besar subjek (54.4%) tidak terbiasa melakukan olahraga, dengan proporsi wanita (60%) lebih besar dibandingkan dengan pria (48.9%). Proporsi subjek pria yang mengonsumsi gula berlebih cenderung lebih besar (51.1%) dengan rata-rata gula yang dikonsumsi sebesar 55.9 g/hari dibandingkan dengan subjek wanita (41.8%) dengan rata-rata gula yang dikonsumsi sebesar 57.8 g/hari. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan rataan konsumsi gula antara subjek pria dan wanita.Status gizi berdasarkan IMT menunjukkan bahwa lebih dari separuh subjek tergolong gemuk (46.6%). Rata-rata IMT subjek tergolong normal yaitu 24.6 kg/m2. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa frekuensi merokok berhubungan signifikan dengan kadar MDA darah subjek (p <0.05, r = 0.652). Hasil uji korelasi Pearson juga menunjukkan bahwa kadar glukosa darah berhubungan signifikan dengan konsumsi gula (p<0.05, r = 0.195), IMT (p<0.05, r= 0.429), kosumsi buah sayur (p<0.05, r= -0.357) dan MDA darah(p< 0.05, r= 0.505). Berdasarkan uji regresi linier berganda, faktor yang berpengaruh terhadap kadar glukosa darah pada pria dan wanita adalah Indeks Massa Tubuh (IMT), konsumsi gula, jumlah batang rokok yang dihisap, dan kadar Malondialdehide (MDA) Kata kunci: aktivitas fisik, dewasa, kebiasaan merokok, konsumsi gula malondialdehide
SUMMARY Nova Khairunnisa. Relation of Smoking Habit, Physical Activity, Added Sugar Consumption, and Nutritional Status with Malondialdehide(MDA) and Glucose Level of Adults. Dibimbing oleh HIDAYAT SYARIEF dan SITI MADANIJAH. Diabetes mellitus (DM) is one of the non-communicable diseases that requires serious attention over the last few years. Type 2 DM is caused by various factors; i.e. genetic and environmental factors, including lifestyle and dietary pattern. Adult group is one of the group which is quite prone to type 2 DM. This was due to the lifestyles, namely high sugar consumption pattern, smoking habits, lack of physical activity and nutritional status. Overweight or obese is an indicator in determining the risk of degenerative diseases, such as type 2 DM. Fat accumulation in adipose cells affects insulin action and increases free radical exposure. High exposure to free radicals (pro-oxidants) and low antioxidants also trigger pro-inflammatory state in various cells, thus increasing the risk of metabolic diseases such as type 2 DM. General objective of this study was to analyze the relationship between smoking habits, physical activity, sugar consumption and nutritional status with malondialdehyde (MDA) and blood glucose levels. The specific objectives were to: 1) identify the participants’ socioeconomic characteristics, smoking habits, physical activity, sugar consumption and anthropometric-based nutritional status; 2) analyze the relationship between participants’ smoking habits and oxidative status, as seen from their serum MDA levels; 3) analyze the relationship between participants’ physical activity and their blood glucose levels; 4) analyze the relationship between participants’ sugar consumption and their blood glucose levels; 5) analyze the relationship between participants’ fruit and vegetable consumption with blood glucose levels; 6) analyze the relationship between nutritional status based on the anthropometric measurement and blood glucose levels of the participants; 7) analyze the relationship between participants’ serum MDA levels and their blood glucose levels; 8) analyze the determinants of the incidence of type 2 DM in adults. This study was design as a cros-sectional study. This study conducted in Pancoran Sub-district, South Jakarta, DKI Jakarta Province on August 2014 until April 2015. The participant were men and women aged >19 years. Data were collected in this study included: 1) social economic data, 2) smoking habit, 3) physical activity, 4) glucose and fruit vegetable consumptions, 5) nutritional status, 6) MDA level, and 7) blood glucose level. Data were collected thought direct interview using questionnaires that use validity and realibility test. Statistical analyses were performed using SPSS version 20.0 for Windows. Descriptive analysis described the distribution of observed variables, in terms of percent and mean. T-test was used to analyze the differences in various variables between men and women. Pearson correlation analysis was used to analyze the relationship between smoking habits and MDA levels, as well as the relationship between physical activity, sugar consumption, fruit and vegetable consumption, nutritional status and MDA levels with blood glucose levels. Multiple linear regression was used to identify the determinant factors (smoking habits, physical activity, sugar consumption, fruit and vegetable consumption, nutritional status and MDA levels) of blood glucose levels.
This study showed that participants’ mean age was approximately 41.8 years; with a men’s mean age of 42.8 years and a women’s mean age of 41.0 years. Both groups were generally classified as highly educated, in which 87.3% of them were high school and university graduates. Most of the men worked as private employees, while most of the women were unemployed. Participants’ income, either men or women, ranged between Rp5 000 000 and Rp9 900 000 per capita per month. Men’s mean income was Rp7 525 532 per capita per month, and women’s mean income was Rp7 204 545 per capita per month. Based on the smoking habits, half of the participants (50%) in both groups were active smokers. The mean numbers of cigarettes smoked was 10.5 ± 14.9 cigarettes per day. The proportion of male smokers was greater (55.4%) than female smokers (47.3%). Results of the comparative test indicated that men smoked more frequently than women (p<0.05). Most of the participants (54.4%) were not used to exercise. Proportion of women not accustomed to exercise was greater (60.0%) than men (48.9%). This could also be identified from the low physical activity level on most participants (61.2%). The proportion of male participants consuming excessive amout of sugars tended to be greater (51.1%) and the main number of glucose consumption was 55.9 g/days than female participants (41.8%) and the main number of glucose consumption was 57.8 g/days . Results of comparative test indicated that there was no significant difference in mean sugar consumption between men and women. Nutritional status based on body mass index (BMI) indicated that more than half of the participants were overweight (46.6%). Participants’ mean BMI was classified as normal, i.e. 24.6 kg/m2. Results of Pearson correlation test indicated that smoking frequency was significantly related to the participants’ serum MDA levels (p<0.05, r=0.652). The results also showed that blood glucose level was significantly associated with sugar consumption (p<0.05, r=0.195), BMI (p<0.05, r=0.429), fruit and vegetable consumption (p<0.05, r=-0.357) and serum MDA levels (p<0.05, r=0.505). Based on the multiple regression analysis, factors affecting blood glucose levels in men and women were BMI, glucose consumption, number of cigarettes smoked, and MDA levels. Keywords: adults, glucose consumption, malondialdehide, physical smoking habit
activity,
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK, AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI GULA, DAN STATUS GIZI DENGAN KADAR MALONDIALDEHIDE (MDA) DAN GLUKOSA DARAH PADA ORANG DEWASA
NOVA KHAIRUNNISA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Nuri Andarwulan, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis yang berjudul “Hubungan Kebiasaan Merokok, Aktivitas Fisik, Konsumsi Gula, dan Status Gizi dengan Kadar Malondialdehide (MDA) dan Glukosa Darah pada Orang Dewasa” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Prof Dr Ir Hidayat Syarief, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan banyak masukan, saran, dan kritik yang membangun serta motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. 2. Prof Drs Nuri Andarwulan selaku dosen penguji tesis dan Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Gizi. 3. Southeast Asian Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center IPB dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia yang telah mendanai dalam penelitian ini 4. Kedua orang tua, Bapak Djamalluddin H.M Saleh dan Ibu Fajriah serta kakak dan adik tercinta Novitasari dan M Raziq Ramadhana atas doa, kasih sayang, serta motivasi yang diberikan kepada penulis. 5. Suami tercinta Mirza Zaini Sofyan dan anak Syaura Aleya Zannova. 6. Camat Pancoran Jakarta Selatan dan jajarannya serta para responden yang telah membantu dalam penelitian ini untuk menyusun tesis ini. 7. Rekan-rekan yang telah banyak membantu selama penelitian dan penulisan tesis Angga Hardiansyah, Risti Rosmiati, Rosyane, Andi Eka Yunianto, Fachrudin Perdana, Sanya Andalusiana, Lutfi Febrina. 8. Teman-teman Pascasarjana Gizi Masyarakat IPB angkatan 2013 atas doa, dukungan, semangatnya. 9. Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Diharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkepentingan khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Juni 2016
Nova Khairunnisa
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Status Glukosa darah dan Diabetes Melitus Karakeristik Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Kejadian Diabetes Melitus Penilaian Konsumsi Pangan Aktivitas Fisik Status Gizi Status Oksidatif Kebiasaan Merokok dan Paparan Radikal Bebas 3 KERANGKA PEMIKIRAN 4 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pemilihan Subjek Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Subyek Kebiasaan Merokok dan Aktivitas Fisik Konsumsi Gula, Buah, dan Sayur Status Gizi Kadar Glukosa Darah dan MDA Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Status Oksidatif Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kadar Glukosa Darah Hubungan Konsumsi Gula dengan Kadar Glukosa Darah Hubungan Konsumsi Buah dan Sayur dengan Kadar Glukosa Darah Hubungan Status Gizi Antropometri dengan Kadar Glukosa Darah Hubungan Kadar MDA Darah dengan Kadar Glukosa Darah Faktor yang Berpengaruh terhadap Kadar Glukosa Darah 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
i ii ii 1 1 3 3 3 3 3 4 4 6 6 8 9 10 12 14 16 18 18 18 19 19 22 24 24 25 27 28 29 30 30 31 32 33 33 34 36 36 36 37 46
ii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Klasifikasi diabetes melitus berdasarkan kadar glukosa darah 5 Klasifikasi IMT menurut kriteria Komite Obesitas Asia Pasifik 11 Peubah dan teknik pengambilan data 20 Peubah, alat, cara pengumpulan serta pengkategorian 21 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi 24 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan merokok dan aktivitas fisik 25 Sebaran subjek berdasarkan konsumsi gula, buah dan sayur 27 Sebaran subjek berdasarkan status gizi 28 Sebaran subjek menurut kadar glukosa darah dan MDA 29 Hasil hubungan frekuensi merokok dengan kadar MDA subjek 30 Hasil hubungan level aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah subjek 31 Hasil hubungan konsumsi gula dengan kadar glukosa darah subjek 31 Hasil hubungan konsumsi buah sayur dengan kadar glukosa dara subjek 32 Hasil hubungan status gizi dengan kadar glukosa darah subjek 33 Hasil hubungan kadar MDA dengan kadar glukosa darah subjek 33 Faktor yang berpengaruh terhadap kadar glukosa darah 34
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Ethical clearance Informed consent Tata cara pengambilan darah, analisis MDA dan gula darah Dokumentasi selama penelitian
42 43 44 45
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kadar glukosa darah merupakan konsentrasi glukosa yang terdapat di dalam darah, yang digunakan sebagai sumber energi utama sel. Dewasa ini, kadar glukosa darah sangat diperhatikan dalam dunia kesehatan karena keterkaitannya dengan berbagai penyakit metabolik, khususnya Diabetes Melitus (Waspadji et al 2003). Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit sindrom metabolik yang menyebabkan tingginya angka kematian baik nasional maupun internasional. Menurut WHO (2014), kematian populasi dunia yang disebabkan oleh diabetes mencapai 1.5 juta jiwa pertahun dan sekitar 80% berasal dari negara miskin dan berkembang termasuk negara di Asia yaitu Indonesia. Hal ini didukung dengan penelitian lain Chan et al. (2009) yang menyebutkan bahwa kejadian DM tipe 2 di Asia pada tahun 2007 mencapai lebih dari 110 juta. Indonesia diperkirakan menempati urutan keempat di dalam rangking penderita DM terbanyak di dunia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, terjadi peningkatan prevalensi diabetes pada kelompok umur 15 tahun ke atas sebesar 1% (dari 1.1% tahun 2007 menjadi 2.1% tahun 2013). Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi dengan prevalansi DM lebih tinggi dari angka DM nasional yaitu sebesar 3.1% (Kemenkes 2014). Penelitian Soewondo et al. (2013) menyatakan bahwa kejadian DM Tipe 2 pada kelompok orang dewasa lebih tinggi yaitu sebesar 5.7% dan dari jumlah tersebut sekitar 70% kasus tidak terdiagnosis. Berdasarkan data-data tersebut, maka DM sudah dapat dikategorikan menjadi masalah serius dan harus diberi perhatian yang serius (Soewondo et al. 2013) Gejala penyakit DM ditandai dengan hiperglisemia (kadar glukosa darah tinggi) kronik dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein sebagai akibat dari kegagalan sekresi insulin, kinerja insulin, atau keduanya. Diabetes melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1, yang dikenal sebagai insulindependent atau childhood onset diabetes, ditandai dengan kurangnya produksi insulin. DM tipe 2 yang dikenal dengan non-insulin-dependent atau adult-onset diabetes, disebabkan oleh gangguan fungsi insulin yang kemudian memicu berkurangnya sensifitas tubuh terhadap insulin serta modifikasi gaya hidup tidak sehat, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik. Sedangkan diabetes gestasional adalah hiperglikemia yang diketahui pertama kali saat kehamilan (ADA 2011). DM tipe 2 disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu faktor genetik dan lingkungan termasuk gaya hidup dan pola makan. Obesitas dan kurangnya aktivitas fisik juga meningkatkan risiko DM tipe 2. Berdasarkan Klein et al. (2004) kegemukan merupakan faktor risiko kejadian DM tipe 2. Melalui manajemen berat badan yang baik, risiko kejadian DM tipe 2 dapat dicegah. Gittelsohn dan Rowan (2011) juga menyatakan bahwa pengurangan asupan kalori serta peningkatan aktivitas fisik dapat mencegah perkembangan DM tipe 2. DM tipe 2 juga telah dilaporkan berkaitan dengan asupan karbohidrat, terutama karbohidrat sederhana seperti gula. Livesey dan Taylor (2008) menyatakan bahwa konsumsi gula berkaitan dengan pertambahan berat badan
2
seseorang dan meningkatkan risiko DM tipe 2. Sejalan dengan itu, hasil meta analisis Malik et al. (2010) juga melaporkan bahwa tingginya konsumsi gula dari minuman manis meningkatkan risiko kejadian sindrom metabolik, termasuk DM tipe 2. Ambrosini et al. (2013) juga mengungkapkan bahwa meskipun pada kelompok remaja, konsumsi gula dari minuman manis ternyata juga meningkatkan risiko sindrom metabolik. Berbagai penelitian tentang status oksidatif telah dilakukan dan beberapa diantaranya telah mengaitkan dengan risiko DM tipe 2. Status oksidatif merupakan keadaan oksidatif seseorang akibat interaksi paparan radikal bebas dari lingkungan dan dengan antioksidan yang ada di dalam tubuh. Azam et al. (2003) menyatakan bahwa banyaknya paparan radikal bebas (prooksidan) dan rendahnya antioksidan memicu terjadinya proinflamasi di berbagai sel, disfungsi endotel, sehingga meningkatkan risiko berbagai penyakit metabolik. Sejalan dengan hal tersebut, Kempf et al. (2010) mengungkapkan bahwa tingginya antioksidan dari makanan dan minuman mampu mencegah terjadinya inflamasi sel, sehingga risiko sindrom metabolik termasuk DM tipe 2 dapat berkurang. Radikal bebas (prooksidan) yang masuk ke dalam tubuh seseorang melalui berbagai cara, salah satunya yang sangat terlihat adalah melalui asap rokok. Dietrichet et al. (2003) menyatakan bahwa orang yang merokok mengalami paparan prooksidan yang besar dan memiliki kandungan antioksidan plasma yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Dengan demikian, risiko orang merokok untuk mengalami sindrom metabolik diduga lebih besar dibandingkan yang tidak merokok. Kelompok dewasa merupakan salah satu kelompok yang cukup rawan terkena DM tipe 2. Hal ini disebabkan oleh gaya hidup berupa pola konsumsi tinggi gula, kebiasaan merokok dan kurangnya aktivtas fisik. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi dewasa yang gemuk salah satunya disebabkan tingginya konsumsi gula, mengalami peningkatan dari tahun 2010 hingga tahun 2013, yaitu dari 13.9% menjadi 19.7%. Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan bahwa dari 50% penduduk Indonesia mengonsumsi makanan manis ≥1 kali dalam sehari. Selanjutnya sekitar 64.9% pria dan 4.6 % wanita usia di atas 15 tahun di Indonesia merupakan perokok aktif. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa merokok berarti meningkatkan paparan prooksidan dan dapat menurunkan status oksidatif. Keadaan ini diperburuk dengan kebiasaan konsumsi makanan manis yang tinggi. Kebiasaan merokok beserta status oksidatif (dinilai dari kadar malondialdehide (MDA) plasma, aktivitas fisik, konsumsi gula dan status gizi pada orang dewasa di Indonesia perlu diketahui dan perlu dikaitkan dengan risiko DM tipe 2 dilihat dari kadar glukosa darah. Sejauh ini belum terdapat data dan informasi mengenai kontribusi konsumsi gula terhadap konsumsi harian masyarakat Indonesia. Padahal, pada tahun 2013 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 30 Tahun 2013 tentang pembatasan konsumsi gula. Penelitian ini dilakukan untuk melihat aspek tersebut dengan menggunakan sub wilayah DKI Jakarta dengan asumsi bahwa wilayah DKI Jakarta merupakan wilayah sensitif terhadap perubahan gaya hidup.
3
Rumusan Masalah
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana karakteristik sosial ekonomi (usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan) pada orang dewasa? Bagaimana kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi gula dan status gizi pada orang dewasa? Bagaimana hubungan kebiasaan merokok dengan status oksidatif pada orang dewasa yang dilihat dari kadar MDA plasma? Bagaimana hubungan aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah pada orang dewasa? Bagaimana hubungan konsumsi gula dengan kadar glukosa darah pada orang dewasa? Bagaimana hubungan status gizi antropometri dengan kadar glukosa darah pada orang dewasa? Faktor-faktor dominan apa saja yang berpengaruh terhadap kadar glukosa darah orang dewasa? Tujuan
Tujuan Umum Tujuan penelitian ini secara umum adalah menganalisis hubungan antara kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi gula, dan status gizi dengan status oksidatif dan kadar glukosa darah pada subjek orang dewasa di Jakarta Selatan. Tujuan Khusus Adapun secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi (usia, jenis kelamin, pekerjaan), pendapatan dan pendidikan pada subjek. 2. Mengidentifikasi kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi gula, dan status gizi antropometri subjek. 3. Menganalisis hubungan kebiasaan merokok dengan status oksidatif pada subjek dilihat dari kadar MDA plasma. 4. Menganalisis hubungan aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah subjek. 5. Menganalisis hubungan status gizi antropometri dengan kadar glukosa darah pada subjek. 6. Menganalisis faktor-faktor yang dominan berpengaruh terhadap kadar glukosa darah pada subjek. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait kebiasaan makan dan gaya hidup orang dewasa di DKI Jakarta yang dapat meningkatkan risiko DM tipe 2. Ekternal validitas dari penelitian ini dapat dikembangkan bagi kota-kota besar lainnya di Indonesia dan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan program-program edukasi dan promosi pencegah DM tipe 2.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Status Glukosa darah dan Diabetes Melitus Status Glukosa Darah Glukosa merupakan jenis karbohidrat sederhana yaitu monosakarida yang diuraikan melalui sistem pencernaan. Menurut Muray et al. (2013), glukosa merupakan prekursor sintesis karbohidrat lain di dalam tubuh diantaranya yaitu glikogen, glikolipid, asam nukleat, glikoprotein dan juga dapat berperan sebagai prekursor untuk pembentukan asam lemak. Menurut Depkes RI (1999), glukosa hasil penguraian karbohidrat melalui sistem pencernaan diserap oleh dinding usus akan masuk dalam aliran darah masuk ke hati untuk selanjutnya disintesis menjadi glikogen. Proses tersebut kemudian dilanjutkan dengan proses oksidasi menjadi CO2 dan H2O atau untuk dilepaskan ke sel dan jaringan tubuh yang memerlukan. Proses absorbsi glukosa ke pembuluh darah diawali dengan masuknya makanan yang mengandung gula. Selanjutnya makanan diproses di dalam sistem pencernaan di absorbsi di dalam duodenum dan jejunum proksimal. Setelah proses absorbsi terjadi, akan terjadi peningkatan kadar glukosa darah untuk sementara waktu dan akhirnya kembali pada kadar glukosa semula (baseline) (Depkes 1999). Macam-macam pemeriksaan kadar glukosa darah menurut Depkes RI (1999) adalah sebagai berikut : 1. Glukosa darah sewaktu, yaitu pemeriksaan glukosa darah yang dilakukan setiap waktu sepanjang hari tanpa memperhatikan makanan terakhir yang dimakan dan kondisi tubuh subjek. 2. Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan, yaitu pemeriksaan glukosa darah puasa adalah pemeriksaan glukosa darah yang dilakukan setelah pasien berpuasa selama 8-10 jam, sedangkan pemeriksaan glukosa 2 jam setelah makan adalah pemeriksaan yang dilakukan 2 jam dihitung setelah pasien menyelesaikan makan. Pengukuran glukosa darah dilakukan terhadap darah lengkap, namun seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi laboratorium, pemeriksaan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan mengukur kadar glukosa dalam serum. Dasar untuk pengukuran glukosa darah dalam serum dalah karena eritrosit memiliki kadar protein (hemoglobin) yang lebih tinggi. Sedangkan pada serum, komponen yang paling banyak adalah air sehingga glukosa akan lebih banyak larut dalam serum dibandingkan dengan darah lengkap. Serum atau plasma harus melalui tahapan separasi untuk memisahkan sel-sel darah merah. Sel-sel darah merah akan menghambat proses pengukuran kadar glukosa darah karena akan memetabolisme glukosa yang terkandung walaupun berada di luar tubuh (Sacher et al. 2004). Menurut Waspadji et al. (2003), kadar glukosa darah pada orang normal biasanya konstan. Hal ini disebabkan pada orang normal pengaturan metabolisme stabil. Kadar glukosa darah pada saat puasa berkisar antara 60-80 mg/dL, setelah mengonsumsi karbohidrat akan meningkat menjadi 120-130 mg/dL. Kadar glukosa darah akan kembali turun setelah dua jam menjadi 80-100 mg/dL. Pengaturan kadar glukosa darah diatur melalui mekanisme hormonal yaitu hormon insulin yang diproduksi kelenjar pankreas. Hormon insulin adalah hormon
5
anabolik yang mempunyai pengaruh pada proses penggunaan glukosa oleh sel. Insulin juga berperan dalam penguraian glikogen hati dan otot yang berlebihan. Menurut Moehyi (1997), defisiensi insulin akan menyebabkan terganggunya proses biokimia glukosa di dalam tubuh baik dalam menurunkan glukosa di dalam darah maupun pelepasan glukosa dari hati. Hal ini menyebabkan jumlah glukosa di dalam darah lebih tinggi dari yang seharusnya atau disebut dengan hiperglikemia. Tingginya kadar glukosa di dalam darah akan mendorong pembuangan kelebihan glukosa tersebut melalui urin (glukosuria). Glukosuria direspon oleh tubuh sebagai kondisi dimana tubuh memerlukan glukosa ke dalam darah. Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan glukosa, tubuh melakukan glukoneogenesis yaitu proses penguraian glikogen menjadi glukosa. Hal ini kemudian berdampak pada semakin tingginya kadar glukosa di dalam darah. Selain itu, kondisi ini juga akan menyebabkan penggunaan lemak (lipolisis) dan protein (proteolisis) untuk dijadikan sumber energi. Proses penggunaan asam lemak sebagai sumber energi akan membentuk zat keton yang terdiri dari asama asetoasetat dan betahidroksi butirat dan aseton. Hal ini akan memicu terjadinya ketoasidosis disebabkan tubuh tidak mampu mnguraikan zat tersebut akibat kurangnya insulin di dalam tubuh (Weterhill dan Dean 2001). Tinggi rendahnya kadar glukosa darah di dalam tubuh menurut WHO (2001) dapat digunakan untuk klasifikasi diagnosis diabetes melitus yaitu dengan mengukur kadar glukosa darah puasa (10 jam) dan 1 -2 jam setelah makan. Klasifikasi konsentrasi glukosa darah penderita diabetes melitus dan bukan penderita dapat di lihat pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi diabetes melitus berdasarkan kadar glukosa darah Sampel darah Glukosa darah (mg/100 ml) Penderita diabetes Bukan penderita diabetes Darah vena >130 <110 Darah kapiler >140 <120 Plasma darah >155 <135 Sumber : WHO (2001) Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang memerlukan perhatian serius dalam beberapa tahun terakhir.WHO (2014) melaporkan bahwa sebanyak 347 juta orang mengalami diabetes dan lebih dari 80% berasal dari negara miskin dan berkembang.Kejadian ini diprediksi meningkat hingga 2 kali lipat pada tahun 2030 jika tidak dilakukan program tatalaksana yang efektif.Menurut survei yang dilakukan WHO, Indonesia menempati urutan ke-4 dengan jumlah penderita diabetes mellitus terbesar di dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. Kemenkes (2014) telah melaporkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi diabetes di Indonesia hampir dua kali lipat yaitu sebessar 1.1% pada tahun 2007 menjadi 2.1% pada tahun 2013 (Kemenkes 2014). Diabetes atau yang sering dikenal sebagai diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelainan metabolik yang ditunjukkan dengan hiperglisemia (kadar glukosa darah tinggi) kronik dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein sebagai akibat dari kegagalan sekresi insulin, kinerja insulin, atau keduanya (WHO 2006; Foma et al. 2010). Insulin bersama dengan glukagon merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin di pankreas dan
6
bertanggung jawab untuk menjaga tingkat konsentrasi glukosa dalam darah melalui pengaturan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.Ketika tingkat konsentrasi glukosa darah tinggi, sel β melepaskan insulin untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah dengan mendorong penyerapan kelebihan glukosa oleh hati dan selsel lain misalnya otot dan menghambat produksi glukosa.Ketika konsentrasi glukosa darah rendah, sel α melepaskan glukagon yang menghasilkan peningkatan konsentrasi glukosa darah.Kegagalan fungsi insulin karena berbagai penyebab merupakan dasar kejadian DM. Terdapat beberapa jenis tipe DM, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM getasional, dan DM tipe lain. DM tipe 1 atau insulin dependent-diabetes merupakan suatu keadaan DM yang disbabkan ketidakcukupan produksi insulin dari sel beta pankreas, dapat terjadi pada usia anak akibat auto imun, dan terjadi pada 5-10% kasus DM. DM tipe 2 atau non-insulin dependent-diabetes merupakan DM yang diawali dengan resistensi insulin akibat berbagai faktor resiko sindrom metabolik. DM tipe 2 merupakan kasus DM yang paling banyak terjadi, yaitu sebanyak 9095% dari total kasus DM. DM gestasional merupakan DM yang terjadi selama kehamilan dan bukan keadaan permanen meskipun dapat berkembang menjadi DM tipe 2.Sebanyak 2-5% ibu hamil mengalami DM jenis ini. DM tipe lain adalah DM yang disebabkan oleh jenis lain seperti penggunaan obat, trauma, kecelakaan, infeksi, atau lingkungan kimia, dengan kejadian yang sangat jarang Foma et al. 2013 DM tipe 2 merupakan suatu kelainan metabolik yang permanen, artinya tidak dapat disembuhkan total. Tatalaksana pada DM tipe 2 adalah dengan mempertahankan kadar glukosa darah untuk tetap normal sehingga tidak menyebabkan komplikasi lanjut, seperti penyakit kardiovaskuler, gagal ginjal, kebutaan, gangren, dan berujung kepada kematian penderita (WHO 2006). Oleh karena itu, pencegahan dini terhadap DM tipe 2 merupakan salah satu tindakan yang paling baik, memalui pencegahan timbulnya faktor-faktor penyebab kejadian DM tipe 2.
Karakeristik Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Kejadian Diabetes Melitus Jenis Kelamin Laki-laki dan wanita memiliki fisiologi dan kebiasaan berbeda yang menyebabkan respon terhadap paparan penyebab penyakit juga berbeda. Wanita cenderung memiliki kebiasaan mengonsumsi buah dan sayur lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Tucker dan Thomas 2009).Menurut studi yang dilakukan oleh Adnan et al. (2013), karakteristik subjek yang paling banyak terkena diabetes melitus adalah perempuan (78.4%), yaitu yang memiliki usia 40-60 tahun (73%). Hal ini didukung dengan penelitian Wiziani (2014) jenis kelamin perempuan lebih banyak yang mengalami obesitas dibandingkan laki. Menurut Sidik dan Rampal (2009), perempuan cenderung mengalami peningkatan berat badan drastis pada rentang 25 sampai dengan 44 tahun. Tingkat Pendidikan Pendidikan dibedakan menjadi 9 jenis antara lain: 1). Pendidikan Masal; 2) Pendidikan Masyarakat; 3) Pendidikan Dasar; 4) penyuluhan; 5) Pengembangan
7
Masyarakat; 6) Pendidikan Orang Dewasa; 7) Masyarakat Seumur Hidup; 8) Masyarakat Belajar; 9) Pendidikan Formal, nonformal dan informal. Pendidikan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat seseorang. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang/masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplikasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnyadalam hal kesehatan dan gizi (Atmarita &Tatang 2004). Pendidikan akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Seseorang yang mempunyai pendidikan formal dan pendapatan yang tinggi maka makanan yang dikonsumsi akan lebih beragam dan memiliki kualitas dan kuantitas yang baik(Suprijanto 2007). Besar Keluarga Besar keluarga adalah keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama.Berdasarkan jumlah anggota keluarga, besar keluarga dikelompokkan menjadi tiga, yaitu keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar.Keluarga kecil adalah keluarga dengan jumlah anggota keluarga kurang dari 4 orang, keluarga sedang adalah keluarga dengan jumlah anggota 5-7orang, sedangkan keluarga besar adalah keluarga dengan jumlah anggota kurang dari 7 orang (BKKBN 1998). Menurut Soediatama (2008) keluarga yang terdiri atas sepasang suami istri yang biasanya menanggung biaya keluarga dan semua orang yang bernaung di bawah satu atap dan menjadi tanggungan suami istri tersebut,sehingga dapat meliputi anak-anak, kemenakan, bibi, dan paman, bahkan nenek (kakek).Besar keluarga yang dimiliki akan mempengaruhi kesehatan seseorang atauanggota keluarga yang terlibat di dalamnya. Selain itu pula, besar keluarga akanmempengaruhi konsumsi zat gizi dalam suatu keluarga (Soediatama 2008). Menurut Adiningrum (2008), besarnya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi distribusi pangan yang akan diterima masing-masing individu. Sebuah keluarga yang terdiri dari banyak individu, selain dapat mengurangi distribusi pangan juga mengurangi kenyamanan dalam hidup berkeluarga. Dengan banyaknya anggota keluarga, akan memperkecil kemungkinan seseorang menjadi gemuk. Pendapatan Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan besarnya pengeluaran pangan dan non pangan. Pendapatan juga menentukan jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Menurut Paramita (2014) besarnya pengeluaran pangan berpengaruh signifikan terhadap tingginya konsumsi buah dan sayur. Madanijah (2004) juga menerangkan bahwa perubahan pendapatan secara langsung akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Peningkatan pendapatan akan memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sedangkan penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli.
8
Penilaian Konsumsi Pangan Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jenis pangan yang dimakan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu.Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial (Baliwati et al. 2004).Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menilai konsumsi pangan, baik tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat.Setiap metode masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, metode yang akan digunakan untuk menilai konsumsi pangan harus dipilih yang paling relevan dan cocok dengan penelitian. Kombinasi antara metode yang satu dengan metode yang lain dapat dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Selain itu, dapat pula dilakukan modifikasi terhadap suatu metode yang digunakan dengan menyesuaikannya terhadap karakteristik masyarakat setempat (Kusharto 2010). Penilaian konsumsi pangan individu dapat dilakukan dengan berbagai cara dan metode. Untuk menentukan kuantitas pangan yang dikonsumsi seseorang, metode yang dapat digunakan antara lain metode recall 24 jam, metode ulangan recall 24 jam, metode pencatatan makanan (food record), metode penimbangan makanan, dan metode riwayat makanan (dietary history). Adapun untuk menilai frekuensi jenis pangan yang dikonsumsi, metode yang dapat digunakan adalah menggunakan food frequency questionnaire (FFQ).Frekuensi konsumsi pangan ini dapat memberikan gambaran kualitatif tentang pola konsumsi pangan (Gibson 2005).Konsumsi pangan yang sangat berkaitan erat dengan DM tipe 2 adalah konsumsi karbohidrat sederhana seperti gula.Konsumsi pangan tinggi karbohidrat terutama karbohidrat sederhana yang memiliki nilai indeks glikemik yang tinggi merupakan faktor resiko utama terjadinya DM Tipe 2 (WHO 2006). Konsumsi Gula Menurut Vartanian et al. (2007), gula adalah karbohidrat sederhana memiliki sifat larut dalam air dan mudah diserap oleh sebagai bahan bakar energi. Secara umum gula dibedakan menjadi dua kategori, yaitu monosakarida dan disakaradia. Monosakarida merupakan gula yang terdiri dari satu molekul glukosa (glukosa, fruktosa dan galaktosa). Disakarida merupakan gula yang memiliki dua molekul (sukrosa, laktosa dan maltosa. Gula yang dikonsumsi melampaui kebutuhan akan berdampak pada peningkatan berat badan, bahkan jika dilakukan dalam jangka waktu lama secara langsung akan meningkatkan kadar glukosa darah dan berdampak pada terjadinya DM tipe 2, bahkan secara tidak langsung berkontribusi pada penyakit seperti osteoporosis, penyakit jantung dan kanker. Gula yang dikenal masyarakat tidak hanya terdapat pada gula tebu, gula aren dan gula jagung yang dikonsumsi dari makanan dan minuman. Perlu diingat bahwa kandungan gula terdapat juga dalam makanan lain yang mengandung karbohidrat sederhana (tepung, roti, kecap), buah manis, jus, minuman bersoda dan sebagainya (Kemenkes 2014).Hasil meta analisis Malik et al. (2010) melaporkan bahwa tingginya konsumsi gula dari minuman manis meningkatkan resiko kejadian sindrom metabolik, termasuk DM tipe 2. Ambrosini et al. (2013) juga mengungkapkan bahwa meskipun pada kelompok remaja, konsumsi gula dari minuman manis ternyata juga meningkatkan resiko sindrom metabolik.
9
Fruktosa adalah gula sederhana yang terdapat di dalam madu, berbagai buah, gula meja (sukrosa dan high fructose corn syrup / HFCS).Fruktosa belum memperoleh perhatian yang cukup dibandingkan dengan glukosa padahal terbukti mempunyai hubungan yang erat dengan intoleransi glukosa. Jadi pendapat selama ini bahwa fruktosa lebih aman dari glukosa adalah tidak benar (Kemenkes 2014). Livesey dan Taylor (2008) telah melaporkan bahwa konsumsi fruktosa yang tinggi dapat meningkatkan kadar glukosa darah post pandrial dan meningkatkan resiko DM tipe 2. Oleh karena itu, pada pedoman gizi seimbang terbaru (PGS 2014) yang telah disusun oleh kemenkes RI menekankan pentingnya pembatasan asupan gula dari makanan baik dalam bentuk sukrosa maupun fruktosa.Daftar pangan penukar gula dan porsi ukuran rumah tangga (URT) juga telah dicantumkan dalam pedoman tersebut. Kemenkes (2014) juga telah merekomendasikan beberapa cara membatasi konsumsi gula, yaitu: 1) Kurangi secara perlahan penggunaan gula, baik pada minuman teh/kopi maupun saat membubuhkan pada masakan. Jika meningkatkan rasa pada minuman, tambahkan jeruk nipis pada minuman teh dan atau madu, bukan menambahkan gula, 2) batasi minuman bersoda, 3) ganti makanan penutup/dessert yang manis dengan buah atau sayuran, 4) kurangi atau batasi mengkonsumsi es krim, 5) selalu membaca informasi kandungan guladan kandungan total kalori (glucosa, sucrosa, fruktosa, dextrosa, galaktosa, maltosa) dan garam (natrium) jika berbelanja makanan dalam kemasan, 6) Kurangi konsumsi coklatyang mengandung gula, 7) Hindari minuman beralkohol.Darwin (2013) menyatakan bahwa mengkonsumsi harus dilakukan dengan seimbang, artinya harus menyesuaikan antara kebutuhan energi yang masuk dan energi yang dikeluarkan.
Aktivitas Fisik Aktivitas fisik atau disebut juga aktivitas eksternal adalah kegiatan yang menggunakan tenaga atau energi untuk melakukan berbagai kegiatan fisik, seperti berjalan, berlari, berolahraga, dan lain-lain. Setiap kegiatan fisik yang menentukan jumlah energi dikeluarkan menurut lamanya intensitas dan sifat kerja otot (Mahan dan Stump 2008). Menurut Hoeger dan Hoeger (2005), aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot skeletal dan membutuhkan pengeluaran energi. Terdapat perbedaan antara aktivitas fisik dan olahraga.Perbedaannya adalah aktivitas fisik merupakan bentuk dari perilaku yang menghasilkan pengeluaran energi karena pergerakan otot tubuh termasuk tangan dan kaki. Adapun olahraga merupakan bagian aktivitas fisik yang terencana, terstruktur, dan dilakukan berulang berupa pergerakan tubuh untuk meningkatkan atau mencapai kebugaran. Mahan dan Stump (2008) menyatakan bahwa aktivitas fisik dan angka metabolisme basal merupakan variabel utama dalam perhitungan pengeluaran energi. Pengeluaran energi dapat menjadi gambaran kebutuhan energi seseorang untuk hidup sejahtera dan berkualitas. Tingkat aktivitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam dinyatakan dalam PAL (Physical Activity Level) atau tingkat aktivitas fisik. PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut: PAL =
∑(𝑃𝐴𝑅 𝑥 𝑎𝑙𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑓𝑖𝑡𝑎𝑠) 24 𝑗𝑎𝑚
10
Keterangan: PAL : Physical activity level (tingkat aktivitas fisik) PAR` : Physical activity ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk setiap jenis aktivitas per satuan waktu) Selanjutnya tingkat aktivitas fisik dikategorikan menjadi Rendah (1.40 ≤ PAL ≤1.69), 2) Sedang (1.70 ≤ PAL ≤ 1.99) dan 3) Tinggi (2.00 ≤ PAL ≤ 2.40) (Mahan & Stump 2008). Beberapa studi telah melaporkan bahwa aktivitas fisik berperan terhadap pencegahan berbagai penyakit sindrom metabolik, termasuk DM tipe 2. Klein et al. (2004) menyatakan bahwa kegemukan merupakan faktor resiko kejadian DM tipe 2. Melalui manajemen berat badan yang baik, resiko kejadian DM tipe 2 dapat dicegah. Aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin mampu mempertahankan glukosa darah tetap normal dan memperbaiki sensitifitas insulin. Gittelsohn & Rowan (2011) juga menyatakan bahwa pengurangan asupan kalori serta peningkatan aktivitas fisik dapat mencegah perkembangan DM tipe 2. Menurut Mahan dan Stump (2004), aktivitas fisik dapat meningkatkan energi ekspenditure, yaitu energi yang dihasilkan oleh tubuh. Aktivitas fisik juga dapat meningkatkan aktivitas termogenesis. Selain dipengaruhi oleh aktivitas fisik, aktivitas termogenesis dipengaruhi oleh rasio total lemak dan otot tubuh. Lama dan jenis aktivitas fisik akan meningkatkan EPOC (Excess postexercise oxygen consumption) yaitu jumlah konsumsi oksigen setelah melakukan aktivitas. Tingginya EPOC dapat meningkatkan proses metabolisme di dalam tubuh dalam menghasilkan energi, termasuk metabolisme dari cadangan lemak tubuh. Status Gizi Indeks Massa Tubuh (IMT) Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat asupan zat-zat gizi, infeksi dan cariing, dan lingkungan kesehatan yang tepat termasuk akses terhadap layanan kesehatan.Penilaian status gizi masyarakat dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Penilaian secara langsung antara lain dengan menilai diet harian, menggunakan indikator biokimia (laboratorium), pengukuran antropometri, dan mengamati gejala klinis, sedangkan penilaian secara tidak langsung antara lain berdasarkan penilaian terhadap ketersediaan pangan (Gibson 2005). Penilaian status gizi secara antropometri banyak dilakukan karena relatif mudah, murah, dan cepat dilakukan. Akan tetapi, pengukuran antropometri tidak dapat digunakan untuk menilai defisiensi zat gizi secara spesifik.Secara umum antropometri merupakan suatu ukuran tubuh manusia.Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi yang terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh (Gibson 2005). Penilaian status gizi secara antropometri dapat dilakukan dengan menggunakan indikator Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan suatu alat ukur yang digunakan untuk menilai faktor risiko berbagai penyakit yang berkaitan dengan kelebihan berat badan terhadap orang dewasa. Menurut WHO (2006),
11
standar IMT untuk masyarakat Asia Pasifik yang ditetapkan oleh Komite Obesitas Asia Pasifik dilakukan berdasarkan faktor resiko dan morbiditas. Lebih jelasnya standar IMT untuk masyarakat Asia Pasifik disajikan pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Klasifikasi IMT menurut kriteria Komite Obesitas Asia Pasifik Kategori Kurus (underweight) Normal (ideal) Overweight Obes I Obes II Sumber : WHO 2000
2
IMT (kg/m ) < 18.5 18.5 – 22.9 23.0 – 24.9 25.0 – 29.9 30
Resiko Penyakit Rendah Rata-rata Meningkat Sedang Berbahaya
Menurut studi yang dilakukan oleh Adnan et al. (2013), terdapat 51,9% subjek diabetes melitus tipe 2 yang memiliki IMT 25 – 29,9. Subjek dengan IMT lebih tinggi berhubungan secara signifikan dengan diabetes mellitus tipe 2. Soetiarto et al. (2010) dalam studinya menyebutkan bahwa berdasarkan data Riskesdas (2007), populasi wanita Indonesia yang berumur ≥ 25 tahun yang mengalami abdominal obesitas adalah sebesar 33,5%. Angka ini lebih kecil dibandingkan dengan populasi pria yang mengalami abdominal obesitas hanya sebesar 7,8%. Populasi wanita yang mengalami general obesitas adalah sebesar 29,3% dan populasi pria sebesar 7,8%. Berdasarkan data tersebut, Soetiarto et al. (2010) menerangkan bahwa populasi wanita lebih banyak yang mengalami obesitas dibandingkan dengan populasi pria. Soetiarto et al. (2010) juga menerangkan bahwa OR obesitas berdasarkan lingkar pinggang dan IMT adalah 2,26 (1,77 – 2,88) dan 1,03 (0,78 -1,35). Pada studi tersebut juga diketahui bahwa populasi wanita lebih banyak mengalami diabetes melitus dibandingkan dengan populasi pria (p<0,05) OR 1,06 (0,84 – 1,32). Berbagai penelitian secara konsisten telah melaporkan bahwa status gizi lebih merupakan faktor resiko terjadinya berbagai sindrom metabolik termasuk DM tipe 2 (WHO 2006). Peningkatan lemak terutama di bagian perut (obesitas sentral) dapat memicu perkembangan sistem hormonal yang tidak baik dan dapat meningkatkan resistensi insulin. Distribusi lemak yang berlebihan di dalam jaringan juga dikaitkan dengan efisiensi insulin dalam metabolisme glukosa (Zang et al. 2014). Perbedaan molekular lainnya antara lemak viseral dan perifer juga berperan dalam resistensi insulin (Dewi 2007). Secara kronis, peningkatan asam lemakdalam sirkulasi dan lemak lain yang terjadipada keadaan obesitas mengakibatkan penyimpanan lemak (trigliserida) pada otot dan hati. Akumulasi lemak ini menyebabkan resistensi insulin karena turnover trigliserida dan produksi molekul sinyaling turunan asam lemak, atau pengaktifan jalur intraselular yang berbahaya seperti Reactive Oxygen Species (ROS) atau terjadinya disfungsi mitokondrial (Dewi 2007). Lingkar Pinggang dan Panggul Lingkar pinggang merupakan salah metode pengukuran antropometri untuk menentukan status gizi terutama untuk melihat sebaran massa lemak tubuh. Menurut WHO (2014), pada usia dewasa pengukuran lingkar pinggang sudah cukup untuk melihat distribusi jaringan lemak. Hal ini disebabkan pada periode ini peningkatan berat badan akan diikuti dengan peningkatan massa lemak. Menurut
12
Paramita (2013), status gizi normal berdasarkam IMT tidak menentukan subjek memiliki status gizi normal berdasarkan lingkar pinggang. Hasil studi menunjukkan 3 dari 10 subjek yang berada pada kategori normal mengalami obesitas abdominal. Menurut WHO (2006), rasio lingkar pinggang dan panggul dihitung dengan membagi lingkar pinggang terhadap lingkar panggung. Rasio normal lingkar pinggang dan panggul laki-laki dewasa adalah 0,93, sedangkan rasio normal lingkar pinggang dan panggul perempuan dewasa adalah 0,83.
Status Oksidatif Mekanisme Stres Oksidatif Status oksidatif didefinisikan sebagai keadaan kesetimbangan antara produksi dan paparan molekuler reaktif (senyawa radikal) dengan pertahanan antioksidan.Senyawa radikal merupakan senyawa reaktif yang terjadi selama metabolisme oksidasi normal, sebagai akibat dari paparan oksigen radiasi, penyakit infeksi, bahan kimia, atau faktor-faktor lingkungan tertentu. Senyawa radikal dapat berasal dari sinar ultraviolet, metabolisme dalam tubuh, radiasi ion, asap rokok, asap kendaraan bermotor dan udara yang tidak sehat. Jika senyawa radikal berikatan dengan eletron yang bersifat ionik dampak yang timbul tidak begitu berbahaya (Suryohudoyo 2000). Radikal bebas yang berikatan dengan molekul kovalen, dampak yang ditimbulkan menjadi sangat berbahaya.Umumnya senyawa yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul-molekul besar (biomakromolekul), seperti lipid, protein, maupun DNA. Ikatan antara senyawa kovalen dengan radikal dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan pada asam lemak penyusun dinding sel. Kerusakan tersebut selanjutnya akan berdampak pada rusaknya jaringan tubuh dan DNA. Kerusakan tersebut selanjutnya akan berdampak pada rusaknya jaringan tubuh dan DNA. Jika bagian DNA yang terserang adalah DNA yang berkaitan dengan sel penyusun insulin, sel insulin itu sendiri, ataupun protein reseptor insulin, maka fungsi insulin akan mengalami masalah. (Winarsi 2007). Antioksidan adalah segala bentuk substansi yang dapat mencegah atau memperlambat proses oksidasi oleh senyawa radikal. Terdapat dua jenis antioksi dan yaitu antioksidan endogen dan antioksidan eksogen. Antioksidan endogen adalah antioksidan yang sudah ada dalam tubuh, sedangkan antioksidan eksogen adalah antioksidan yang diperoleh dari luar tubuh (Puchau et al. 2010). Winarsi (2007) menyatakan bahwa terdapat 3 bentuk antioksidan yaitu antioksidan enzimatis, vitamin dan senyawa lain. Antioksidan enzimatis terdiri dari superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan enzimatis merupakan sistem pertahanan utama (primer) terhadap kondisi stres oksidatif. Enzim-enzim tersebut merupakan metaloenzim yang aktivitasnya sangat bergantung pada ion logam. Antioksidan enzimatis bekerja dengan cara mencegah terbentuknya senyawa radikal baru (Marks et al 2000; Winarsi 2007). Antioksidan non-enzimatis dapat berupa vitamin maupun senyawa nutrisi dan non nutrisi dikelompokan kedalam kedalam antioksidan sekunder didapatkan melalui asupan bahan makanan, seperti citamin C, E, A dan β-karoten.Glutation, asam urat, bilirubin, albumin, dan flavonoid juga termasuk ke dalam kelompok ini (Puchau et al. 2010).
13
Tingginya senyawa radikal yang tidak diimbangi dengan cukupnya antioksidan di dalam tubuh dapat menimbulkan keseimbangan negatif status oksidatif atau memicu terjadinya stress oksidatif. Stress oksidatif tersebut memicu kerusakan molekul-molekul besar (biomakromolekul), seperti lipid, protein, maupun DNA (Winarsi 2007). Ikatan antara senyawa kovalen dengan radikal dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan pada asam lemak penyusun dinding sel. Stress oksidatif telah dilaporkan sebagai faktor risiko terjadinya resistensi insulin pada tikus dan manusia. Banyak studi pada manusia dilakukan untuk melihat hubungan antara stres oksidatif dan resistensi insulin berfokus pada pembentukan senyawa oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species/ROS).Pada pasien diabetes, ROS merupakan konsekuensi dari hiperglikemia yang diinduksi DM dan bukan faktor penyebab untuk terjadinya resistensi insulin.Akan tetapi, karena resistensi insulin telah terjadi sebelum berkembangnya hiperglikemia kronis, sepertinya resistensi insulin pada tingkat prediabetik bukan akibat dari stres oksidatif yang dipicu oleh hiperglikemia saja (Dewi 2007). Studi secara in vitro telah menjelaskan bahwa stres oksidatif mengarah pada pengaktifan kaskade sinyaling kinase serin/treonin multipel. Kinase yang telah diaktifkan ini tidak dapat beraksi pada sejumlah target potensial dalam jalur sinyaling insulin, termasuk reseptor insulin, dan substrat insulin. Oleh karena itu, pada kondisi stress oksidatif, proses metabolisme glukosa tidak dapat berjalan dengan optimal dan lebih lanjut meningkatkan resiko kejadian DM tipe 2 (Park et al. 2006; Dewi 2007). Berbagai penelitian yang melihat status oksidatif telah dilakukan dan beberapa telah mengaitkannya dengan resiko DM tipe 2. Status oksidatif merupakan keadaan oksidatif seseorang akibat interaksi paparan radikal bebas dari lingkungan dan dengan antioksidan yang ada di dalam tubuh. Azam et al. (2003) menyatakan bahwa banyaknya banyaknya paparan radikal bebas (prooksidan) dan rendahnya antioksidan memicu terjadinya proinflamasi di berbagai sel, disfungsi endotel, sehingga meningkatkan resiko berbagai penyakit metabolik. Sejalan dengan hal tersebut, Kempf et al. (2010) mengungkapkan bahwa tingginya antioksidan dari makanan dan minuman mampu mencegah terjadinya inflamasi sel, sehingga resiko sindrom metabolik termasuk DM tipe 2 dapat berkurang. Pengembangan minuman fungsional kaya antioksidan juga dilakukan sebagai upaya pengendalian DM tipe 2, salah satunya yang banyak diteliti adalah khasiat dari daun teh. Kandungan polifenol dalam teh hijau mampu menangkal radikal bebas dalam tubuh. Menurut Song et al. (2003) polifenol terutama epigallocatechin gallat (EGCG) dapat melindungi kerusakan sel beta pankreas dari pengaruh oksidasi. Selain itu penelitian dengan pemberian teh hijau secara oral, menemukan bahwa pemberian teh hijau dapat menekan peningkatan kadar gula darah. EGCG pada teh hijau bekerja dengan cara menghambat transporters sodium-glucose pada mukosa. (Kobayashi et al. 2000; Maeda et al. 2005). Parameter untuk Menilai Status Oksidatif (Kadar MDA) Tingginya kadar radikal bebas dalam tubuh dapat ditunjukkan oleh rendahnya aktivitas enzim antioksidan dan tingginya kadar malondialdehid (MDA) dalam plasma (Zakaria et al. 1996, Winarsi et al. 2003). Malondialdehida (MDA) merupakan produk hasil peroksidasi lipid dalam tubuh dan terdapat dalam bentuk bebas atau terkompleks dengan jaringan di dalam tubuh. Reaksi ionisasi senyawasenyawa radikal bebas juga dapat membentuk MDA dan MDA juga merupakan
14
produk samping biosintesis prostaglandin.Senyawa-senyawa aldehida dan keton seperti hidroksialkenal dan tentunya MDA terbentuk dari bereaksinya molekul lemak dengan asam lemak tak jenuh yang karbon metilennya telah teroksidasi, selanjutnya senyawa-senyawa ini telah diketahui bersifat toksik terhadap sel. Konsentrasi MDA dalam material biologi telah digunakan secara luas sebagai indikator dan kerusakan oksidatif pada lemak tak jenuh sekaligus merupakan indikator keberadaan radikal bebas. Analisis MDA merupakan analisis radikal bebas secara tidak langsung dan mudah dalam menentukan jumlah radikal bebas yang terbentuk.Analisis radikal bebas secara langsung sangat sulit dilakukan karena senyawa radikal sangat tidak stabil dan bersifat elektrofil dan reaksinya pun berlangsung sangat cepat (Gutteridge 1996). Pengukuran kadar MDA serum dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu sebagai berikut: 1. Thiobarbituric acid-reactive subtance (TBARS) Dasar pemeriksaan adalah reaksi spektrofotometrik sederhana, dimana satu molekul MDA akan terpecah menjadi 2 molekul 2-asam thiobarbiturat. Reaksi ini berjalan pada pH 2-3. TBA akan memberikan warna pink-chromogen yang dapat diperiksa secara spektrofotometrik. Tes TBA selain mengukur kadar MDA yang terbentuk karena proses peroksidasi lipid juga mengukur produk aldehid lainnya termasuk produk non-volatil yang terjadi akibat panas yang ditimbulkan pada saat pengukuran kadar MDA serum yang sebenarnya. Kadar MDA dapat diperiksa baik di plasma, jaringan maupun urin (Reilly et al. 1991). 2. Pengukuran kadar MDA serum bebas dengan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography) Merupakan metode pengukuran kadar MDA serum yang paling sensitif dan spesifik. MDA bukan produk yang spesifik dari proses peroksidasi lipid sehingga dapat menimbulkan positif palsu yang berakibat nilai duga positif yang rendah, dan telah dilaporkan dapat meningkatkan spesifisitas pada pemeriksaan kadar MDA serum (Konig et al. 2002, Dalle et al. 2006 dalam Arkhaesi 2008). Penelitian Al-Rawi NH (2009) terhadap orang dewasa sehat menunjukkan bahwa kadar MDA mereka adalah rata-rata sebesar 1.12±0.35 μmol/L. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian Wasowicz et al. (1993) yang melakukan pengukuran kadar MDA pada orang dewasa normal yaitu sebesar 1.01 μmol/L. Penelitian yang dilakukan oleh Duandaroz et al. (2003) menunjukkan bahwa kadar MDA plasma pada remaja sehat usia 11-19 tahun adalah sebesar 0.2±0.04 nmol/ml.
Kebiasaan Merokok dan Paparan Radikal Bebas Merokok berarti memasukkan berbagai senyawa kimia berbahaya termasuk berbagai senyawa radikal ke dalam tubuh. Berbagai studi telah melaporkan bahwa orang yang merokok memiliki status oksidatif yang lebih buruk dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Lykkesfeldt et al. (2000) menyatakan bahwa orang yang merokok memiliki plasma asam askorbat, vitamin E dan karotenoid yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak merokok meskipun mendapatkan suplemen yang sama. Ma et al. (2000) juga menyatakan bahwa seorang perokok memiliki status antioksidan yang lebih rendah dibandingkan yang
15
bukan perokok dan orang yang merokok perlu meningkatkan asupan pangan sumber antioksidan. Dietrich et al. (2003) menyatakan bahwa orang yang merokok mengalami paparan prooksidan yang besar dan memiliki kandungan antioksidan plasma yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak merokok.Dengan demikian, risiko orang merokok untuk mengalami sindrom metabolik diduga lebih besar dibandingkan yang tidak merokok. Hasil proksidasi lipid membrane oleh radikal bebas termasuk oleh asap rokok berefek langsung terhadap kerusakan membran sel, antara lain dengan mengubah cairan dalam sel, memutus ikatan antar sel, struktur dan fungsi membrane sel, dalam keadaan yang lebih ekstrim akhirnya akan menyebabkan kematian sel. Umumnya semua membran peka terhadap reaksi peroksidasi lipid dalam derajat yang berbeda-beda. Kerusakan dalam sel secara langsung mempengaruhi pengaturan metabolism. Sebagai contoh adalah :kerusakan membran lisosom menyebabkan penglepasan enzim-enzim hidrolitik lisosom yang selanjutnya mampu menyebabkan kerusakan intraseluler dan sel secara keseluruhan (Wade dan Van Ru 1989).
16
3
KERANGKA PEMIKIRAN
Tujuan utama dari penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi gula, dan status gizi dengan status oksidatif dan kadar glukosa darah pada orang dewasa di DKI Jakarta. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, provinsi DKI Jakarta memiliki prevalansi diabetes melitus sebanyak 3.1%, lebih tinggi dibandingkan dengan angka diabetes melitus nasional yaitu sebanyak 2.1%. Karakteristik individu berpengaruh terhadap pendapatan serta pengeluaran termasuk untuk pangan dan non pangan serta konsumsi pangan individu. Konsumsi pangan dapat dipengaruhi secara langsung oleh pendidikan dan informasi karena akan menentukan tingkat pengetahuan terhadap pangan individu. Pada penelitian informasi dan tingkat pengetahuan tidak menjadi variabel yang akan diteliti. Karakteristik individu dapat mempengaruhi aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan status gizi antropometri individu. Aktivitas fisik selanjutnya juga dapat mempengaruhi secara langsung status gizi antropometri individu. Menurut Zhang et al. (2013) aktivitas fisik dan status gizi antropometri adalah faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi kadar glukosa darah. Sedangkan kebiasaan merokok akan mempengaruhi status oksidatif individu. Status oksidatif dilihat dari kadar Malondialdehide dapat dipengaruhi oleh asupan antioksidan dari konsumsi pangan. Status oksidatif merupakan gambaran radikal bebas eksogen yang akan menyebabkan inflamasi derajat rendah secara terus menerus di epitel dan endotel pembuluh darah serta merusak sel insulin, reseptor atau sel beta pankreas. Hal tersebut menjadi dasar bagi peneliti menduga status osksidatif sebagai faktor langsung yang dapat mempengaruhi kadar glukosa darah individu. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.
17
Karakteristik contoh - Pekerjaan - Pendapatan
-Usia -Jenis Kelamin
Pendidikan
Pengeluaran Pangan/non pangan
Pengetahuan Gizi Konsumsi pangan: 1. Konsumsi Gula 2. Konsumsi Buah dan Sayur
Kebiasaan Merokok
Status Oksidatif (MDA)
Aktivitas fisik
Akses Informasi
Status Diabetes (Glukosa Darah)
Status Gizi Antropometri (IMT)
Genetik
Keterangan : = Variabel yang diteliti = Hubungan yang dianalisis = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang tidakdianalisis
Gambar 1 Skema kerangka pemikiran hubungan kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi gula, dan status gizi dengan status oksidatif dan diabetes melitus
18
4 METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian hubungan kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi gula, dan status gizi dengan status oksidatif dan diabetes melitus pada orang dewasa menggunakan sebagian data dasar dari penelitian kerjasama SEAFAST Center IPB dengan BPOM dengan judul “Studi Konsumsi Pangan dan Asupan Gula, Garam dan Lemak” dengan desain cros-sectional Studi. Study dilaksanakan di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Provinsi DKI Jakarta pada bulan Agustus 2014 sampai dengan April 2015. Berdasarkan Kemenkes (2014) yang menyatakan bahwa Provinsi DKI tersebut merupakan salah satu jumlah prevalesi diabetes di Indonesia dan melebihi prevalensi angka nasional Lokasi studi ditentukan secara purposif dengan alasan keberagaman kondisi karakteristik ekonomi dan teknis pelaksanaan penelitian. Kecamatan Pancoran memiliki 10 RW; namun dalam penelitian ini ditentukan 7 RW sebagai lokasi penelitian. Jumlah dan Cara Pemilihan Subjek Subjek dalam penelitian ini adalah pria dan wanita usia >19 tahun yang bersedia menjadi sampel. Kecamatan Pancoran dipilih karena mewakili masyarakat yang beragam selain itu memiliki akses dan perizinan yang mudah. Kecamatan Pancoran memiliki memiliki 10 RW namun dalam penilitian ini hanya 7 RW yang diambil sebagai lokasi dikarenankan akses yang mudah dan memiliki status sosial ekonomi yang beragam. Penentuan jumlah subjek minimal ditentukan berdasarkan rumus: 𝑛=
2 𝑍1− 𝛼 𝑝(1 − 𝑝) 2
𝑑2
Lemeshow et al. (1997) Keterangan: n = Jumlah subjek minimal penelitian Z = Tingkat kepercayaan 95% (α =0,05) = Perkiraan proporsi (pravalensi) Diabetes di Jakarta (3,1 %) p d = Ketelitian/presisi absolut (5%) q = (1-p)/ proporsi yang tidak menderita diabetes 1.962 𝑥 0.03(1 − 0.03) 𝑛= 0.052 2 1.96 x 0,03 x 0,97 𝑛= = 44 0.052 Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan jumlah subjek minimal yaitu sebanyak 44 orang dewasa. Penelitian ini melibatkan subjek yang berjumlah 102 orang, terdiri dari 47 pria dan 55 wanita dewasa. Kriteria inklusi subjek adalah : 1)
19
Tidak menderita penyakit kronis berdasarkan pengakuan; 2) Subjek tersebut; 3) bersedia diwawancara dan diambil darah. Subjek menandatangani inform consent, dan persetujuan etik (etical clearance) telah diperoleh dari Fakultas kedokteran Universitas Indonesia dengan no 49/UN2.F1/ETIK/2015 (Lampiran 1).
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan berupa data profil wilayah Jakarta Selatan yang diperoleh dari instansi pemerintah. Data primer meliputi peubah-peubah yang diteliti, yaitu: 1) data sosial ekonomi subjek (jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran pangan dan nonpangan; 2) data konsumsi pangan khususnya konsumsi buah dan sayur, serta konsumsi gula; 3) kebiasaan merokok, 4) aktivitas fisik, 5) konsumsi pangan, 6) ukuran antropometri (berat badan dan tinggi badan), lingkar pinggang dan panggul, 7) glukosa darah (pemeriksaan glukosa darah puasa), 8) status oksidatif (MDA). Pengumpulan data primer dilakukan secara wawancara dengan menggunakan kuisioner terstruktur yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data aktivitas fisik diambil menggunakan kuesioner terstruktur dengan metode activity recall 2 x 24 jam pada hari kerja dan hari libur. Data kebiasaan merokok diperoleh dengan metode wawancara meliputi frekuensi merokok dan jumlah batang rokok yang dihisap oleh subjek. Data berat badan diambil dengan menimbang dengan menggunakan timbangan digital dengan kapasitas 200 kg dan ketelitian 0.1 kg. Data tinggi badan diukur dengan microtoise dengan kapasitas 200 cm dan ketelitian 0.1 cm. Lingkar pinggang diukur menggunakan meterline dengan merk Butterfly (kapasitas 200 cm dan ketelitian 0.1 cm). Proses pengambilan darah dilakukan dengan mendatangi subjek ke rumah pada pagi hari. Pengambilan darah dilakukan oleh tenaga kesehatan yang telah terlatih dibantu oleh petugas laboratorium, dan pemeriksaan fisik oleh dokter. Darah diambil melalui pembuluh darah vena kemudian dimasukkan ke dalam coolbag untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium terakreditasi. Darah yang telah diambil selanjutnya dianalisis kadar glukosa darah dengan menggunakan metode heksokinase. Adapun untuk mengukur status oksidatif (MDA), metode yang digunakan adalah metode Thiobarbituric acid-reactive subtance (TBARS). Hal yang dilakukan untuk penjaminan mutu data meliputi pelatihan enumerator, ujicoba kuisioner, dan verifikasi hasil isian kuisioner. Peubah dan teknik pengumpulan data disajikan pada Tabel 3.
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data diawali dengan pengecekan kelengkapan data pada kuesioner, entri data, verifikasi data, cleaning data, dan pemberian kode sesuai code book. Keseluruhan data yang telah terkumpul diolah menggunakan software Microsoft office excel 2007 dan analisis data menggunakan software Statistical Program for Social Sciences (SPPS) versi 16.0 for Windows.
20
TabelTabel 3 Peubah dan teknik pengambilan data (lanjutan) dan teknik pengambilan data 3 Peubah No 1
Peubah Karakteristik sosial ekonomi keluarga -
Indikator -Pekerjaaan -Jumlah anggota keluarga -Pengeluaran pangan dan non pangan
Cara pengumpulan data Wawancara menggunakan kuisioner terstruktur
2
Karakteristik subjek -
-Usia -Jenis kelamin
Wawancara menggunakan kuisioner terstruktur
3
Kebiasaan merokok
4
Aktivitas Fisik
- Merokok/ tidak - Frekuensi/Jumlah rokok -Hari libur -Hari kerja
Wawancara menggunakan kuisioner terstruktur Wawancara menggunakan kuisioner terstruktur
5
Konsumsi Gula
-Gula tambahan RT -Gula tambahan jajanan -Gula tambahan food retail
Mengisi kuesioner food record dengan wawancara Pencatatan dari Kemasan
7
Konsumsi Buah Sayur
Frekuensi konsumsi buah dan sayur
Mengisi kuesioner dengan wawancara
8
Status gizi
BB TB RLPP
9
Biokimia Darah
- Timbangan BB - Microtoise Menggunakan pita Ukur Uji Laboratorium terakreditasi
-
-
Pembuluh darah vena
Sebelum dianalisis, data yang telah dikumpulkan dikategorikan secara deskriptif. Data konsumsi buah dan sayur dianalisis menggunakan Ukuran Rumah Tangga (URT) dan dikategorikan sebagai cukup (>5 porsi/hari) dan tidak cukup (<5 porsi/hari). Data gula dikonversi beratnya dalam gram, kemudian dihitung kandungan zat gizi dan asupan gula dengan menggunakan beberapa referensi yaitu Daftar Komposisi Bahan Pangan (DKBM) Indonesia 2008, USDA National Nutrient Database for Standard Reference tahun 2011, serta DKBM Singapura. Data konsumsi gula diperoleh melalui pencatatan penambahan gula dari masakan yang diolah di rumah, gula yang ditambahkan pada makanan jajanan, dan gula tambahan yang terdapat didalam food retail. Jika tidak diperoleh data kandungan gula produk pangan yang dikonsumsi, dilakukan analisis langsung menggunakan refraktometer (Andarwulan 2015). Hasil pengolahan data kemudian dianalisis dengan analisis statistik sesuai jenis data. Uji statistik yang digunakan adalah statistik deskriprif dan statistik inferensia. Statistik deskriptif meliputi penyajian data dalam bentuk sebaran nilai mean dan standar deviasi dari berbagai variabel sosial ekonomi, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi gula, konsumsi buah dan sayur, serta status gizi antropometri. Uji statistik inferensia yang digunakan adalah uji korelasi dan uji beda. Uji korelasi yang digunakan adalah uji korelasi Pearson untuk menganalisis hubungan kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi gula, konsumsi buah dan sayur, serta status gizi dengan status glukosa darah dan status oksidatif (MDA). Uji beda yang digunakan adalah uji Mann-Whitney untuk menganalisis perbedaan
21
status glukosa darah antara pria dan wanita, serta status oksidatif antara pria dan wanita. Analisis regresi linier digunakan untuk melihat faktor determinan kadar glukosa darah pada orang dewasa. Model regresinya sebagai berikut: y1= β0 + β1X1 + β2X2+ β3X3+ β4X4+ β5X5+ β6X6+ β7X7+ ϵ Keterangan: y1 = status gukosa darah (mg/dL) ,status oksidatif (MDA) (µmol/L) Xi = peubah bebas x1 = kebiasaan merokok x2 = kebiasaan konsumsi buah/sayur x3 = konsumsi gula x4 = PAL x5 = IMT x6 = rasio lingkar pinggang dan panggul x7 = kadar MDA Pengkategorian data dibuat agar mempermudah dalam menganaisis variabel-variabel yang diteliti dan menggunakan sumber yang sudah diakui berdasarkan referensi penelitian sebelumnya. Pengkategorian data dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Peubah, alat, cara pengumpulan serta pengkategorian No 1. 2.
Peubah Usia Jenis kelamin
Kategori >19 – 59 tahun 1 : pria 2 : wanita
Sumber Berk 2005 -
3.
Pekerjaan
1 : PNS/BUMN/BUMD 2 : Pegawai Swasta 3 : Wiraswasta (Sebutkan) 4 : Buruh 5 : Petani 6 : Nelayan 7 : Lainnya (sebutkan)
-
4.
Pengeluaran (rupiah/kap/bln) Pendapatan(rupiah/ kap/bln)
1 : Pengeluaran pangan (x±sd) 2 : Pengeluaran non pangan (x±sd) 1 : < 5 juta 2 : 5 – 10 juta 3 : 11 – 20 juta 4 : 21 - 30 juta 5 : 31 – 40 juta
6.
Status merokok
1 : Ya 2 : Tidak
7.
Jumlah rokok yang 1 : Ringan (≤10 batang/hari) dihisap 2 : Berat (≥10 batang/hari)
5.
Kemenkes 2014 Al-Delaimy et al. 2001
22
Tabel 4 Peubah, alat, cara pengumpulan serta pengkategorian (lanjutan) No 8.
Peubah Aktivitas fisik
Kategori 1 : rendah (1.40 ≤ PAL ≤ 1.69) 2 : sedang (1.70 ≤ PAL ≤ 1.99) 3 : tinggi (2.00 ≤ PAL ≤ 2.40)
Sumber FAO/WHO/UNU 2001
9.
Kebiasaan olahraga
1 : Ya 2 : Tidak
Kemenkes 2011
10.
Frekuensi olahraga
1 : < 3 kali seminggu 2 : ≥ 3 kali seminggu
Cugusi et al. 2014
11.
Lama waktu berolahraga
1 : <90 menit/minggu 2 : ≥90 menit/minggu
Kemenkes 2011
15.
Konsumsi gula
1 : cukup ( 50 g/hari) 2 : lebih (> 50 g/hari)
Kemenkes
16.
Konsumsi buah sayur
1 : cukup(≥ 5 porsi/hari) 2: tidak cukup (≤ 5 hari/hari)
Kemenkes
17.
Indeks massa tubuh
1 : Kurus (IMT < 18.5) 2 : Normal (18.5 ≤ IMT < 25.0) 3 : Overweight (25.0 ≤ IMT < 27.0) 4 : Obesitas (IMT ≥ 27.0)
Depkes 2008
18.
Rasio Lingkar pinggang panggul Wanita
1 : < 0,9 (Tidak berisiko) : > 0.9 (Berisiko) 2 : < 0.85 (Tidak berisiko) : > 0.85 (Berisiko)
WHO 2008
Pria 19.
Glukosa darah puasa
1 : Tinggi (kadar glukosa darah puasa ≥100 mg/dl), 2 : Normal (kadar glukosa darah <100 mg/dl)
Perkeni 2011
20.
Status Oksidatif
1 : Normal 0.12- 1.71 2 : Tinggi > 1.71
Dixon 1998
Definisi Operasional Kebiasaan meokok adalah perilaku merokok yang dilakukan masyarakat perkotaan dengan melihat frekuensi merokok dan jumlah rokok yang dihisap setiap hari. Subjek adalah masyarakat pancoran baik laki laki maupun perempuan yang berumur >19 tahun. Karakteristik Individu adalah keadaaan subjek yang meliputi usia, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, besar keluarga, pendapatan. Usia adalah lama hidup subjek (tahun) yang dihitung sejak subjek dilahirkan sampai ulang tahun terakhir. Jenis kelamin adalah Pekerjaan adalah jenis aktivitas kerja yang dilakukan subjek dan suami yang berhubungan dengan penghasilan dan masi dilaksanakan saat ini.
23
Besar Keluarga adalah jumlah orang yang tinggal bersama dalam satu rumah dan makan dari sumber penghasilan yang sama serta tercantum dalam satu kartu keluarga. Pendapatan adalah jumlah pendapatan per bulan dalam bentuk uang yang diperoleh dari pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan Status merokok adalah status subjek mengonsumsi rokok atau tidak mengonsumsi rokok. Jumlah rokok adalah batang rokok yang dikonsumsi subjek dalam sehari dengan batasan merokok dikatakan ringan bila mengonsumsi ≤10 batang/hari, berat bila mengonsumsi ≥10 batang/hari. Aktivitas fisik adalah kebiasaan melakukan aktivitas fisik pada hari libur dan hari bekerja per 2 x 24 jam. Kebiasaan berolah raga adalah perilaku berolahraga dilihat dari jenis, frekuensi, dan durasi yang dilakukan sebulan terakhir. Konsumsi gula adalah gula yang ditambahkan pada masakan yang diolah dirumah, jajanan pinggir jalan, gula yang terdapat pada food retail. Konsumsi buah dan sayur adalah mencakup jumlah, jenis, frekuensi buah dan sayur yang dikonsumsi, diketahui dengan pencatatan makanan (food record 2x24 jam dan semi kuantitatif FFQ). Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi antara makanan dengan tubuh manusia diukur dengan menggunakan indeks massa tubuh (IMT) yaitu rasio dari berat badan (kg) dengan kuadrat dari tinggi badan (m). Selain itu juga dengan menggunakan pengukuran lingkar pinggang dan panggul. Indeks Massa Tubuh adalah rasio antara berat badan (kg) dibangi dengan tinggi badan (m). Rasio Lingkar Pinggang Panggul adalah rasio antara lingkar pinggang (cm) dibagi dengan lingkar panggul (cm) Kadar glukosa darah adalah kadar glukosa darah puasa ≥100 mg/dl dilihat dari hasil analisis laboratorium yang dilakukan oleh tenaga medis dikategorikan tinggi dan normal. Kadar MDA adalah indikator untuk melihat ststus oksidatif dengan kategori normal (0.2 – 1.71 µmol) dan tinggi (>1.71 µmol).
24
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Sosial Ekonomi Subyek Karakteristik sosial ekonomi subyek yang diamati dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin tingkat pendidikan, besar keluarga, serta tingkat pendapatan. Sebaran subyek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi Jenis Kelamin Karakteristik
Pria n
%
Total
Wanita n %
n
%
Usia (tahun) 19 – 29 30 – 49 ≥ 50 Rataan ± Sd
1 2.1 40 85.1 6 12.8 42.8 ± 6.9
5 44 6
9.1 80.0 10.9 41.0 ± 7.8
6 84 12
5.8 82.4 11.8 41.8 ± 7.4
Pendidikan Tidak sekolah/ SD SMP/MTS SMA/PT
2 4 41
4.3 8.5 87.2
4 3 48
7.3 5.5 87.3
6 7 89
5.9 6.9 87.3
Pekerjaan PNS/BUMN Pegawai swasta Wiraswasta Buruh Lainnya Tidak bekerja
5 30 3 2 7 1
10.6 63.8 6.4 4.3 12.8 2.1
1 2 10 2 1 39
1.8 3.6 18.2 3.6 6.9 39.2
6 32 13 4 7 40
5.9 31.4 12.7 3.9 6.9 39.2
12 23 8
25.5 48.9 17.0
19 25 7
34.5 45.5 12.7
31 48 15
30.4 47.1 14.7
4
8.5
4
7.3
8
7.8
Pendapatan (Rp/kap/bln) < Rp 5000000 Rp 5000000 – 9900000 Rp 10000000 – 14900000 ≥ Rp 15000000 Rataan ± Sd
7525532 ± 4941328
7204545 ± 5003853
7352451 ± 4953109
Hurlock (1999) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Berdasarkan usianya, sebagian besar (85.1%) subjek pria berusia 30 – 49 tahun dengan rata-rata 42.8±6.9 tahun. Sebagian besar (80.0%) subjek wanita berusia 30 – 49 tahun dengan ratarata 41.0±7.8 tahun. Secara keseluruhan, sebagian besar (82.4%) subjek pria dan wanita berada pada rentang usia 30-49 dengan rata-rata 41.8±7.4 tahun. Berdasarkan pendidikan, sebagian besar (87.2%) subjek pria memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu SMA dan Perguruan tinggi. Hal yang sama pada subjek wanita, yaitu sebesar 87.3% wanita berpendidikan SMA dan Perguruan tinggi.Secara keseluruhan, sebagian besar (87.3%) subjek pria dan wanita memiliki pendidikan SMA dan Perguruan tinggi, sebagian kecil (6.9%) subjek berpendidikan SMP/MTs, dan tidak sekolah/SD sebesar 5.9%. Atmarita dan Tatang (2004) menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
25
seseorang/masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplikasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Berdasarkan pekerjaan, pada umumnya (63.7%) pekerjaan pria pegawai swasta , kemudian sebesar 10.6% PNS/BUMN, 6.4% wiraswasta, 4.3% buruh, dan pekerjaan lainnya sebesar 12.8%. Wanita pada umumnya tidak bekerja, yaitu sebesar 39.2%, dan sebanyak18.2% wiraswasta, 3.6% pegawai swasta, 1.8% PNS/BUMN dan 6.9% pekerjaan lainnya.Berdasarkan tingkat pendapatan, hamper separuh (48.9%) pria memiliki pendapatan Rp5 000 000 – Rp9 900 000, sebanyak 25.5% memiliki pendapatan
Rp15 000 000. Ratarata pendapatan pria Rp7 525 532 perkapita perbulan dengan standar deviasi Rp4 941 328. Adapun pendapatan subjek wanita, hampir setengahnya (45.5%) sebesar Rp5 0000 0000 – Rp9 900 000, lebih dari sepertiga (34.5%) berpendapatan Rp15 000 000. Rata-rata pendapatan wanita Rp7 204 545 perkapita perbulan dengan standar deviasi Rp5 003 853 perkapita perbulan. Keseluruhan subjek umumnya memiliki pendapatan Rp5 000 000 – Rp9 900 000 perkapita perbulan dengan rata-rata pendapatan Rp7 352 451 perkapita perbulan dan standar deviasi Rp4 952 109 perkapita perbulan. Kebiasaan Merokok dan Aktivitas Fisik Menurut PP No 19 tahun 2003 bahwa rokok adalah hasil olahan tembakau yang terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya. Sebaran subjek menurut kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi gula, dan status gizi dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan merokok dan aktivitas fisik Jenis Kelamin Pria Wanita n % n %
n
%
Kebiasaan Merokok Ya Tidak
26 21
51 50
50.0 50.0
Jumlah Batang Merokok Tidak Ringan (<10 btng/hari) Berat (≥ 10 btng/hari) Rataan ± Sd
21 44.7 6 12.8 20 42.5 14.4 ± 17.3
29 52.7 10 18.2 16 29.1 7.2 ± 11.6
50 49.0 16 15.7 36 35.3 10.5 ± 14.9
Kebiasaan Olahraga Tidak Ya (< 3 kali/minggu) Ya (≥ 3 kali/minggu)
23 15 9
33 17 5
56 32 14
Aktivitas Fisik Rendah (1.40 ≤ PAL ≤ 1.69) Sedang (1.70 ≤ PAL ≤ 1.99) Tinggi (PAL > 1.99) Rataan ± Sd
30 63.8 7 14.9 10 21.3 1.71 ± 0.36
Karakteristik
55.3 44.7
48.9 31.9 19.1
26 29
47.3 52.7
60.0 30.9 9.1
33 60.0 16 29.1 6 22.3 1.68 ± 0.22
Total P
0.014*
54.4 31.1 13.6
63 61.2 23 22.3 16 15.5 1.70 ± 0.29
0.681
26
Tabel 6 menunjukkan bahwa separuh subjek merupakan perokok dengan rataan rokok yang dihisap sebesar 10.5 ± 14.9 batang per hari. Proporsi pria yang merokok lebih besar (55.3%) dibandingkan wanita (47.3%). Hasil uji beda menunjukkan bahwa jumlah batang merokok pria lebih besar dibandingkan dengan wanita (p<0.05). Hal ini sesuai dengan Kemenkes (2014) yang menyatakan bahwa frekuensi merokok pada pria lebih besar dibandingkan dengan wanita. Kebiasaan merokok pada pria lebih besar disebabkan oleh faktor lingkungan. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan pekerjaan yang umumnya pegawainya merokok, selain itu alasan mereka merokok yaitu menghilangkan stres, menghilangkan ngantuk, dan lemas jika tidak merokok. Wismanto dan Budi (2007) menyatakan bahwa alasan merokok pada usia dewasa yaitu dapat menghilangkan stres dan memberikan efek psikologis yang nyaman, serta mereka cenderung bersikap setuju terhadap kebiasaan merokok yang dapat menimbulkan kepuasan tersendiri. Faktor yang mempengaruhi perilaku merokok salah satunya adalah faktor psikologis, dimana individu merokok untuk mendapatkan kesenangan, kenyamanan, merasa lepas dari kegelisahan dan untuk mendapatkan rasa percaya diri. Olahraga adalah latihan gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan badan seperti sepak bola, berenang, dan lain-lain. Olahraga atau aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan fisik yang dilakukan oleh otot dan sistem penunjangnya (Almatseir 2003). Berdasarkan kebiasaan olah raga, lebih dari separuh subjek (54.4%) dalam penelitian ini tidak terbiasa melakukan olahraga. Proporsi wanita yang tidak terbiasa melakukan olahraga lebih besar (60.0%) dibandingkan dengan pria (48.9%). Kemenkes (2011) menyatakan bahwa aktivitas fisik mengakibatkan sensitivitas dari reseptor dan insulin semakin meningkat sehingga glukosa darah yang dipakai untuk metabolisme energi semakin baik. Olahraga selama 10 menit, glukosa darah akan meningkat sampai 15 kali jumlah kebutuhan pada keadaan biasa. Setelah berolahraga 60 menit, kebutuhan glukosa darah dapat meningkat sampai 35 kali. Menurut Kemenkes (2014) aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang meningkatkan pengeluaran tenaga/energi dan pembakaran energi. Beberapa aktivitas fisik yang dapat dilakukan antara lain aktivitas fisik sehari-hari seperti berjalan kaki, berkebun, menyapu, mencuci, mengepel, naik turun tangga dan lainlain. Data aktivitas fisik diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yaitu dengan recall aktivitas fisik 2x24 jam. Berdasarkan level aktivitas fisik, sebagian besar subjek (61.2%) wanita memiliki level aktivitas fisik rendah. Meskipun demikian, hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan level aktivitas fisik pria dan wanita. Rata-rata level aktivitas pria tergolong sedang yaitu 1.71±0.36, sedangkan pada wanita level aktivitas fisik tergolong rendah 1.68±0.22. Keseluruhan subjek memiliki rata-rata level aktivitas fisik tergolong sedang yaitu sebesar 1.70 dengan standar deviasi 0.29. Hal ini sesuai deangan penelitian yang dilakukan oleh Mihardja (2009) yang menemukan bahwa aktivitas fisik masyarakat usia dewasa perkotaan tergolong rendah. Kemenkes (2014) menyatakan bahwa Provinsi DKI Jakarta berada pada posisi pertama yang memiliki aktivitas fisik tergolong rendah dan berada diatas rata-rata nasional yaitu sebesar (44.2%).
27
Konsumsi Gula, Buah, dan Sayur Menurut Darwin (2013), gula adalah karbohidrat sederhana memiliki sifat larut dalam air dan mudah diserap oleh sebagai bahan bakar energi. Secara umum gula dibedakan menjadi dua kategori, yaitu monosakarida dan disakaradia. Monosakarida merupakan gula yang terdiri dari satu molekul glukosa (glukosa, fruktosa dan galaktosa). Disakarida merupakan gula yang memiliki dua molekul (sukrosa, laktosa dan maltosa). Kebiasaan konsumsi gula, buah dan sayur subjek diperoleh melalui metode Food Frequency Quesioner (FFQ) dan Recall 2x24 jam pada hari kerja dan hari libur. Konsumsi buah dan sayur dinyatakan dalam porsi per hari. Sebaran subjek menurut kebiasaan konsumsi gula, buah dan sayur subjek dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan konsumsi gula, buah dan sayur Jenis Kelamin Pria Wanita n % n %
n
Konsumsi Gula Cukup (≤ 50 g/hari) Lebih (> 50 g/hari) Rataan ± Sd
23 48.9 24 51.1 55.9 ± 23.3
32 58.2 23 41.8 57.8 ± 34.4
55 53.9 47 46.1 56.9 ± 29.7
0.000
Konsumsi Buah dan Sayur Kurang ( < 5 porsi/hari) Cukup ( ≥ 5 porsi/hari) Rataan ± Sd
37 78.7 10 21.3 2.2 ± 2.3
37 18
74 72.5 28 27.5 2.5 ± 2.4
0.290
Konsumsi
67.3 32.7 2.7 ± 2.4
Total P %
Tabel 7 menunjukkan bahwa proporsi subjek pria yang mengonsumsi gula berlebih cenderung lebih besar (51.1%) dibandingkan dengan subjek wanita (41.8%). Tingginya konsumsi gula subjek pria lebih disebabkan oleh tingginya frekuensi konsumsi minuman manis seperti kopi dan teh. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan konsumsi gula antara subjek pria dan wanita. Rata-rata konsumsi gula pada pria tergolong berlebih yaitu sebanyak 55.9±23.3g perhari, sedangkan pada wanita konsumsi gula tergolong tinggi yaitu sebanyak 57.8±34.4 g perhari. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Nuryati (2009) yang menemukan bahwa konsumsi gula pada masyarakat perkotaan di Jakarta pada usia dewasa tergolong berlebih dan berhubungan erat dengan kejadian DM tipe 2. Berdasarkan keseluruhan subjek, sebagian besar (53.9%) subjek mengonsumsi gula berlebih. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tersebut mengonsumsi tidak sesuai Pedoman Gizi Seimbang (PGS) yang menekankan pentingnya pembatasan asupan gula dari makanan baik dalam bentuk sukrosa maupun fruktosa. Konsumsi gula berlebih akan berakibat timbulnya masalah obesitas dan berkorelasi dengan peningkatan kadar glukosa darah yang berakibat pada DM tipe 2. Sebagian besar subjek pria (78.7%) kurang mengonsumsi buah dan sayur. Hal yang sama pada subjek wanita, yaitu sebagian besar (67.3%) subjek wanita kurang mengonsumsi buah dan sayur. Hal ini sesuai dengan penelitian Nuryati (2009) yang menemukan bahwa konsumsi buah sayur tergolong kurang dan tidak sesuai dengan PGS bahwa konsumsi sayur minimal 5 porsi sehari. Secara keseluruhan, rataan konsumsi buah dan sayur subjek sebesar 2.5 ± 2.4 porsi/hari.
28
Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat porsi konsumsi buah&sayur antara subjek pria dan wanita. Hasil studi yang dilakukan oleh Mihardja (2009) menemukan bahwa konsumsi buah dan sayur pada masyarakat perkotaan di Indonesia tergolong kurang yaitu 5 porsi/hari.
Status Gizi Status gizi pada penelitian ini dianalisis menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Rasio lingkar pinggag panggul (RLPP). IMT diperoleh dengan menghitung rasio dari berat badan (kg) dengan kuadrat dari tinggi badan (m2). RLPP diperoleh dengan menghitung rasio lingkar pinggang dan lingkar panggul (m) dengan menggunakan pita ukur. Sebaran subjek menurut status gizi dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan status gizi Jenis Kelamin Pria Wanita n % n %
n
Indeks Massa Tubuh (IMT) Kurus ( IMT <18.5) Normal (18.5 ≤ IMT <25.0) Overweight (25.0 ≤ 27.0) Obes (≥ 27.0) Rataan ± Sd
4 8.5 20 42.6 10 21.3 13 27.7 24.2 ± 4.3
2 3.6 28 50.9 10 18.2 15 27.3 25.0 ± 4.3
6 5.8 48 46.6 20 19.4 28 27.2 24.6 ± 4.3
0.306
Rasio Lingkar Pinggang/Panggul Normal (pria <0.9, wanita <0.85) Resiko (pria ≥0.9, wanita ≥0.85) Rataan ± Sd
14 29.8 33 70.2 0.93 ± 0.07
19 34.5 36 65.5 0.87 ± 0.07
33 32.0 69 68.0 0.90 ± 0.08
0.000*
Status Gizi
Total P %
Tabel 8 menunjukkan bahwa hampir separuh subjek pria (49.0%) memiliki status gizi gemuk yang terdiri dari (21.3%) subjek overweight dan (27.7%) subjek obes. Sekitar sepertiga subjek pria (46.6%)memiliki status gizi normal berdasarkan IMT. Adapun subjek wanita, lebih dari separuh (53.5%) subjek tergolong gemuk yang terdiri dari 18.2% overweight dan 27.3% obes. Subjek wanita yang memiliki status gizi normal sebesar 50.9%. Secara keseluruhan jika dilihat berdasarkan IMT, terdapat 56.6 % subjek gemuk yang terdiri dari (19.4%) overweight dan (27.2%) obesitas. Hal ini sesuai dengan hasil studi Mihardja (2009) yang menemukan bahwa masyarakat perkotaan di Indonesia memiliki status gizi kategori gemuk. Kemenkes (2014) juga mengemukakan bahwa DKI Jakarta memiliki status gizi lebih yang tinggi diatas angka rata-rata nasional. Berdasarkan RLPP menunjukkan bahwa lebih dari dua pertiga (70.2%) subjek pria tergolong berisiko. Rata-rata RLPP pria tergolong berisiko yaitu sebesar 0.93±0.07. RLPP pada kondisi yang sama pada wanita sebanyak 65.5% subjek wanita tergolong berisiko. Rata-rata RLPP pada wanita tergolong berisiko yaitu sebesar 0.87 dengan standar deviasi 0.07. Keseluruhan subjek memiliki RLPP tergolong berisiko yaitu sebesar 68.0%. rata-rata keselurahan RLPP subjek tergolong berisiko yaitu sebesar 0.90 dengan standar deviasi 0.08. Hasil uji beda menunjukan bahwa terdapat perbedaan signifikan rataan RLPP antara subjek pria dan wanita (p <0.05). Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Mihardja (2009) yang menemukan bahwa masyarakat perkotaan di Indonesia memiliki
29
obesitas sentral yang tinggi berdasarkan RLPP. Kemenkes (2014) menyatakan bahwa Jakarta memiliki prevalensi obesitas sentral tertinggi (39,7 %) dan di atas rata-rata angka nasional yaitu 26.6%.
Kadar Glukosa Darah dan MDA Kadar Glukosa dan MDA subjek diperoleh melalui analisa biokimia darah. Kadar
glukosa darah yang diukur dalam penelitian ini merupakan glukosa darah puasa (GDP), sedangkan MDA yang diukur merupakan MDA plasma darah. Hasil pengukuran status GDP dan MDA dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran subjek menurut kadar glukosa darah dan MDA Kadar glukosa darah dan status MDA
Jenis kelamin Pria Wanita n % n %
n
27 57.4 20 42.6 103.1 ± 34.9
39 70.9 16 29.1 110.5 ± 52.7
66 64.7 36 35.3 107.1 ± 45.3
Kadar Oksidatif (MDA plasma) Normal (MDA <= 1.71) 35 74.5 Tinggi (MDA > 1.71) 12 25.5 Rataan ± Sd 1.06 ± 0.65
35 63.6 20 36.4 1.03 ± 0.69
70 68.6 32 31.4 1.04±0.67
Kadar Glukosa darah Normal (< 100 mg/dL) Tinggi (≥ 100 mg/dL) Rataan ± Sd
Total p %
0.418
0.786
Tabel 9 menunjukkan bahwa terdapat 35.3 % subjek memiliki kadar glukosa darah puasa tinggi. Proporsi subjek pria yang memiliki kadar glukosa darah yang tinggi cenderung lebih besar (42.6%) dibandingkan subjek wanita (29.1%). Peelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nuryati (2009) menunjukkan bahwa masyarakat perkotaan di DKI Jakarta memiliki kadar glukosa darah yang tinggi baik pria maupun wanita. Kadar glukosa yang tinggitersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya konsumsi makanan minuman manis, rendahnya aktivitas fisik, konsumsi lemak dan akibat kegemukan. Kemenkes (2014) juga menyatakan bahwa prevalensi DM tipe 2 di Jakarta menunjukkan prevalensi di atas rata-rata nasional yaitu 3.1%. Berdasarkan kadar MDA darah, sebesar 31.4% subjek memiliki kadar MDA darah yang tinggi. Proporsi subjek pria yang memiliki kadar MDA tinggi lebih kecil (25.5%) dibandingkan subjek wanita (36.4%). Meskipun cenderung terdapat perbedaan proporsi, tetapi hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan rataan kadar glukosa dan MDA darah subjek pria dan wanita. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wibowo (2013) menemukan bahwa kadar MDA sangat dipengaruhi oleh jumlah konsumsi rokok. Semakin tinggi konsumsi rokok semakin tinggi kadar MDA. Hal ini dipengaruhi oleh kandungan radikal bebas yang tinggi sehingga memicu tingginya stress oksidatif perokok.
30
Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Status Oksidatif Kebiasaan merokok yang dianalisis kaitannya dengan status oksidatif adalah frekuensi merokok atau rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap subjek dalam sehari. Hasil analisis korelasi frekuesi merokok dengan kadar MDA dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Hasil hubungan frekuensi merokok dengan kadar MDA subjek Frekuensi Merokok Tidak merokok Ringan (<10 btng/hari) Berat (≥ 10 btng/hari) Rataan ± Sd *Signifikan pada taraf α 0.05
MDA Normal Tinggi n % n % 21 44.7 29 52.7 6 12.8 10 18.2 20 42.6 16 29.1 6.2±13.1 20.0±14.31
Total n % 50 49.0 16 15.7 36 35.3 10.5±14.9
p
0.000*
Tabel 10 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi merokok dengan kadar MDA subjek (p <0.05, r = 0.652). Tingginya kadar radikal bebas dalam tubuh dapat ditunjukkan oleh rendahnya aktivitas enzim antioksidan dan tingginya kadar malondialdehid (MDA) dalam plasma. Malondialdehida (MDA) merupakan produk hasil peroksidasi lipid dalam tubuh dan terdapat dalam bentuk bebas atau terkompleks dengan jaringan di dalam tubuh. Hasil ini sesuai dengan berbagai studi yang telah dilaporkan sebelumnya. Orang yang merokok memiliki status oksidatif yang lebih buruk dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Ma Jun et al. (2000) menyatakan bahwa seorang perokok memiliki status antioksidan yang lebih rendah dibandingkan yang bukan perokok. Deutrich et al. (2003) menyatakan bahwa orang yang merokok mengalami paparan prooksidan yang besar dan memiliki kandungan antioksidan plasma yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Menurut Gutteridge (1996), tingginya kadar MDA merupakan cerminan tingginya prooksidan dalam tubuh atau rendahnya status oksidatif seseorang. MDA sendiri merupakan produk hasil peroksidasi lipid dalam tubuh dan terdapat dalam bentuk bebas atau terkompleks dengan jaringan di dalam tubuh. Reaksi ionisasi senyawa-senyawa radikal bebas dapat membentuk MDA. Murray (2006) mengungkapkan bahwa asap rokok adalah sumber radikal bebas, seperti peroksinitrit, hidrogen peroksida, dan superoksida. Oleh karena itu, tingginya asap rokok yang masuk ke dalam tubuh dapat meningkatkan konsentrasi radikal bebas. Banyaknya radikal bebas inilah yang memicu terjadinya proses peroksidasi lipid dalam jumlah besar dan meningkatkan kadar MDA dalam darah.
Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kadar Glukosa Darah Kriteria aktivitas fisik yang dikaitkan dengan kadar glukosa darah adalah level aktivitas fisik (PAL). Hasil analisis korelasi PAL dengan kadar glukosa darah disajikan pada Tabel 11.
31
Tabel 11 Hasil hubungan level aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah subjek PAL Rendah/Sedang(≤1.7) Tinggi (PAL > 1.7) Rataan ± Sd *Signifikan pada taraf α 0.05
Kadar Glukosa Darah Normal Tinggi n % n % 57 66.3 29 33.7 9 56.3 7 43.8 1.68±0.25 1.72±0.36
Total n % 86 100 16 100 1.70±0.29
P
0.917
Tabel 11 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara level aktivitas fisik dan kadar glukosa darah subjek. Seharusnya hasil ini penelitian berbeda dengan beberapa studi sebelumnya yang telah melaporkan bahwa aktivitas fisik berperan terhadap pencegahan berbagai penyakit sindrom metabolik, termasuk DM tipe 2 (Bassuk dan Manson 2005; Gittelsohn & Rowan 2011). Klein et al. (2004) menyatakan bahwa aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin mampu mempertahankan glukosa darah tetap normal dan tidak sering terjadi lonjakan kadar glukosa darah yang berlebihan. Aktivitas fisik juga dapat memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga fungsi insulin dalam mengatur kadar glukosa darah menjadi lebih baik. Menurut Mahan dan Stump (2008), aktivitas fisik juga dapat meningkatkan aktivitas termogenesis dan proses metabolisme di dalam tubuh dalam menghasilkan energi, termasuk metabolisme glukosa. Oleh karenanya, glukosa yang ada di dalam darah akan dimobilisasi ke dalam sel untuk sintesis energi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas fisik yang rendah tidak selalu berkaitan dengan tingginya kadar glukosa darah. WHO (2006) menyatakan bahwa tingginya kadar glukosa darah (diabetes melitus) dipengaruhi oleh multifaktor, antara lain genetik, obesitas, pola makan, aktivitas fisik, dan kerusakan organ. Dengan demikian, penjelasan yang mungkin diberikan dari hasil penelitian ini adalah tingginya kadar glukosa darah lebih berkaitan dengan faktor lain seperti tingginya konsumsi gula tambahan dan status gizi.
Hubungan Konsumsi Gula dengan Kadar Glukosa Darah Konsumsi gula yang dikaitkan dengan kadar glukosa darah subjek adalah gula yang ditambahkan pada saat pengolahan atau penyajian makanan, tidak termasuk gula yang secara alami ada pada bahan pangan. Hasil analisis korelasi konsumsi gula dengan kadar glukosa darah dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil hubungan konsumsi gula dengan kadar glukosa darah subjek Konsumsi Gula Cukup (≤ 50 g/hari) Lebih (> 50 g/hari) Rataan ± Sd *Signifikan pada taraf α 0.05
Kadar Glukosa Darah Normal Tinggi n % n % 23 48.9 32 58.2 24 51.1 23 41.8 55.9 ± 23.3 57.8 ± 34.4
P Total n % 55 53.9 47 46.1 56.9 ± 29.7
0.050*
Tabel 12 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara rata-rata konsumsi gula tambahan dengan kadar glukosa darah subjek (p<0.05, r = 0.195). Gula (sukrosa) merupakan salah satu jenis karbohidrat yang memiliki nilai
32
indeks glikemik tinggi, konsumsi karbohidrat dengan indeksi glikemik tinggi tersebut secara terus menerus dapat meningkatkan kadar glukosa darah dan menyebabkan resistensi insulin sesuai yang dinyatakan WHO. Hasil ini sesuai dengan beberapa studi yang telah dilaporkan sebelumnya. Hasil meta analisis yang dilakukan oleh Malik et al. (2010) menunjukkan bahwa tingginya konsumsi gula dari minuman manis meningkatkan berkaitan dengan tingginya kadar gula darah yang merupakan indikator DM tipe 2. Ambrosini et al. (2013) juga mengungkapkan bahwa meskipun pada kelompok remaja, konsumsi gula dari minuman manis ternyata juga meningkatkan risiko sindrom metabolik seperti abnormalitas kadar glukosa dan lemak darah.
Hubungan Konsumsi Buah dan Sayur dengan Kadar Glukosa Darah Konsumsi buah sayur yang digunakan pada penelitian ini menggunakan Food Frequensi Quesioner (FFQ). Hasil analisis hubungan konsumsi buah sayur dengan kadar glukosa darah dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil hubungan konsumsi buah sayur dengan kadar glukosa darah subjek Konsumsi Buah dan Sayur kurang(<5 porsi) cukup (≥5 porsi) Rataan ± Sd *Signifikan pada taraf α 0.05
Kadar Glukosa Darah Normal Tinggi n % n % 37 51.4 35 48.6 27 96.4 1 3.6 3.54±2.22 0.63±1.20
Total n % 72 100 28 100 2.52±2.37
P
0.000*
Tabel 13 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar glukosa darah dengan konsumsi buah dan sayur (p<0.05, r= -0.357). sayur sayuran dan buah buahan mengandung komponen zat gizi dan non gizi yang sangat berguna bagi kesehatan, yaitu serat pangan (dieteriy fiber) seperti vitamin C, vitamin E karotenoid, klorofil, tanin dan asam organik tertentu. Serat makanan juga memberi pengaruh positif terhadap metabolisme zat gizi, seperti senyawa yang tidak dapat dicerna serta hasil hasil fermentasinya (oleh mikroflora usus) tidak dapat digunakan oleh tubuh dan dibuang melalui feses, hal ini juga diduga karena terdapatnya pengaruh serat pangan terhadap asam/garam empedu, sedangkan asam empedu tersebut berperan penting dalam pencernaan dan penyerapan lemak sehingga terhindar dari penumpukan lemak atau obesitas yang dapat mempengaruhi sensivitas insulin yang mempengaruhi kadar glukosa darah tetap normal didalam tubuh, jadi konsumsi buah dan sayur yang cukup dapat memperbaiki kadar glukosa darah disebabkan didalam buah dan sayur memiliki kandungan glukosa yang rendah dan tinggi serat. Sejalan dengan Bazzano et al. (2003) menyatakan bahwa syaur dan buah meliliki kandungan vitamin, mineral, serat dan fito-kimia yang tinggi. Komponen yang terkandung dalam buah dan sayur berperan dalam mengurangi risiko kardiovaskular. Aspek fungsional lain dari buah dan sayur adalah rendah kalori.Li et al. (2014) melakukan studi meta-analisis yang menemukan bahwa konsumsi sayuran hijau dan buah yang tinggi signifikan mengurangi risiko DM tipe 2.
33
Hubungan Status Gizi Antropometri dengan Kadar Glukosa Darah Status gizi yang dikaitkan dengan kadar glukosa darah subjek adalah nilai indeks massa tubuh (IMT) dan rasio lingkar perut lingkar pinggang (RLPP). Hasil analisis korelasi status gizi denga kadar glukosa darah dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Hasil hubungan status gizi dengan kadar glukosa darah subjek IMT Normal (IMT<25) Lebih (IMT≥25) Rataan ± Sd RLPP Normal (pria <0.9, wanita <0.85) Resiko (pria ≥0.9, wanita ≥0.85) Rataan ± Sd *Signifikan pada taraf α 0.05
Kadar Glukosa Darah Normal Tinggi n % n % 47 87.0 7 13.0 19 39.6 29 60.4 22.9±3.7 27.9±3.5
Total n % 54 100 48 100 24.6±4.3
0.000*
27 81.8 39 56.5 0.89±0.77
33 100 69 100 0.90±0.08
0.430
6 18.2 30 43.5 0.92±0.08
P
Tabel 14 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadarglukosa darah dengan IMT (p<0.05, r= 0.429), tetapi tidak berhubungan signifikan dengan RLPP. Hasil ini sesuai dengan berbagai penelitian yang dilakukan sebelumnya. Berbagai penelitian secara konsisten telah melaporkan bahwa status gizi lebih merupakan faktor resiko terjadinya berbagai sindrom metabolik termasuk DM tipe 2 (WHO 2006). Menurut studi yang dilakukan oleh Adnan et al. (2013) yang menyatakan bahwa seseorang dengan IMT lebih tinggi berhubungan secara signifikan dengan tingginya kadar glukosa darah dan resiko DM tipe 2. Overweight/obesitas yang dicirikan dengan tingginya nilai IMT merupakan faktor resiko berbagai sindrom metabolik, termasuk diabetes. Mahan dan Stump (2008) menjelaskan bahwa berbagai produk yang dihasilkan tumpukan lemak di sel adiposa mempengaruhi kinerja insulin dalam mempertahankan kadar glukosa darah untuk tetap normal. Hal yang sama dinyatakan oleh Rabe et al. (2008), yaitu penurunan kadar adiponektin dan peningkatan kadar leptin pada orang yang mengalami obesitas mempengaruhi sensitivitas insulin. Hubungan Kadar MDA Darah dengan Kadar Glukosa Darah Kadar MDA digunakan untuk melihat seberapa tinggi kadar radikal bebas dalam tubuh yang ditunjukkan oleh rendahnya aktivitas enzim antioksidan dan tingginya kadar MDA dalam plasma (Zakaria et al. 2000, Winarsi et al. 2003). Hasil hubungan kadar MDA dengan kadar glukosa darah dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil hubungan kadar MDA dengan kadar glukosa darah subjek MDA Normal (MDA≤1.71) Tinggi (MDA >171) Rataan ± Sd *Signifikan pada taraf α 0.05
Kadar Glukosa Darah Normal Tinggi n % n % 58 82.9 12 17.1 8 25.0 24 75.0 0.66±0.48 1.75±0.25
Total n % 70 100 32 100 1.04±0.67
P
0.000*
34
Tabel 15 menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara kadar MDA dan kadar glukosa darah subjek (p< 0.05, r= 0.505). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar MDA darah subjek, maka semakin tinggi kadar glukosa darah subjek. Berbagai penelitian yang melihat status oksidatif telah dilakukan, dan beberapa telah mengaitkannya dengan resiko DM tipe 2. Tingginya prooksidan di dalam tubuh manusia menyebabkan penurunan fungsi insulin maupun reseptornya yang ada di dalam sel, sehingga glukosa tidak dapat diubah menjadi energi. Kondisi ini yang menyebabkan kadar glukosa darah tetap tinggi dan lebih lanjut meningkatkan resiko kejadian DM tipe 2 (Park et al. 2006; Dewi 2007). Sejalan dengan hal tersebut, Kempf et al. (2010) mengungkapkan bahwa tingginya antioksidan dari makanan dan minuman mampu mencegah terjadinya inflamasi sel, sehingga resiko sindrom metabolik termasuk DM tipe 2 dapat berkurang.
Faktor yang Berpengaruh terhadap Kadar Glukosa Darah Analisis regresi dilakukan untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap kadar glukosa darah. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan menganalisis seluruh variabel yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dihitung dengan menggunakan regresi linier berganda sehingga didapatkan faktor yang secara statistik dominan dalam mempengaruhi kadar glukosa darah. Berikut merupakan hasil analisis regregi linear berganda pengaruh kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi gula, status gizi dan konsumsi sayur buah terhadap glukosa darah dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Faktor yang berpengaruh terhadap kadar glukosa darah Variabel Intercept IMT Jumlah batang rokok Konsumsi gula Kadar MDA R-square model
Kadar Glukosa Darah Parameter Partial Restimate Square -4.227 2.835 0.276 -0.629 -0.208 0.261 0.207 34.820 0.410 0.323
P value
0.006** 0.041* 0.042* 0.000**
Regresi linear, *p<0.1; **p<0.05
Berdasarkan hasil uji regresi linear berganda menunjukkan Indeks Massa Tubuh (IMT), jumlah batang rokok yang dihisap, dan kadar MDA berpengaruh secara signifikan terhadap kadar glukosa darah. Model ini memiliki koefisien determinasi sebesar 0.310, artinya bahwa sebesar 31.0% keragaman dari kadar glukosa darah pada pria dan wanita dapat dijelaskan oleh variabel IMT, jumlah batang rokok yang dihisap, dan kadar MDA. Adapun sebesar 69.0% diduga dijelaskan oleh faktor lain seperti faktor genetik, indeks glikemik bahan makanan, dll (Mahan & Stump 2008). Namun, faktor tersebut tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Berdasarkan model regresi didapatkan bahwa IMT berkontribusi sebesar 27.5%, jumlah batang rokok yang dihisap berkontribusi sebesar 19.4%, dan kadar MDA 35.6% terhadap kadar glukosa darah pria dan wanita perkotaan. IMT atau Indeks Massa Tubuh berpengaruh secara signifikan terhadap kadar glukosa darah pada pria dan wanita perkotaan. Hal ini berarti terdapat kecenderungan semakin status gizinya berlebih maka semakin meningkat kadar
35
glukosa darah. Hasil ini susuai dengan laporan Perry et al. (2012), yaitu IMT yang berlebih merupakan faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kadar gula darah.Mahan dan Stump (2008) juga menyatakan bahwa tumpukan lemak pada sel adiposa mempengaruhi kinerja insulin dalam mempertahankan kadar gula darah untuk tetap normal. Ganz et al. (2014) menyatakan bahwa semakin gemuk seseorang maka semakin berisiko terhadap tingginya kadar gula darah yang menyebabkan terjadinya DM tipe 2. Seseorang yang IMT lebih dari 25 yaitu pada kriteria kelebihan berat badan dan obesitas marupakan faktor terjadinya DM tipe 2. Konsumsi gula berpengaruh secara signifikan terhadap kadar glukosa darah pada pria dan wanita perkotaan. Hal ini berarti terdapat kecenderungan semaikin tinggi konsumsi gula maka semakin meingkat kadar glukosa darah. Konsumsi gula atau makanan manis sebagai penghasil kalori sehingga makanan ini dikategorikan sebagai makanan berisiko bagi munculnya penyakit degeneratif seperti DM yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa. Konsumsi makanan penghasil kalori dalam jumlah besar berisiko terjadinya penumpukan kalori yang pada saatnya berpotensi menimbulkan obesitas. Bagi penyakit DM obesitas merupakan faktor risiko yang signifikan. Nuryati (2009) jarang mengonsumsi makanan atau minuman manis memiliki risiko 60% lebih kecil terkena DM dengan yang sering yang mengonsumsi minuman manis. Basuk et al. (2013) juga berpendapat bahwa asupan gula masyaraka berpengaruh pada status DM tipe 2 penelitian ini berdasarkan status ekonomi masyarakat. O’Connor et al. (2014) menyatakan bahwa konsumsi minuman manis seperti minuman ringan susu, teh, kopi, minuman berpemanis, jus buah. Minuman ini merupakan tersebut merupakan minuman yang erat pengaruhnya dengan kejadian DM tipe 2. Jumlah batang rokok yang dihisap berpengaruh negatif terhadap kadar glukosa darah pria dan wanita. Pada kondisi ini umumnya menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah batang rokok yang dihisap maka semakin tinggi kadar glukosa darah. Chang et al. (2012) menyatakan bahwa merokok akan meningkatkan inflamasi dan status stres oksidatif, selain itu merokok berakibat pada kerusakan langsung fungsi sel β serta mengganggu fungsi endotel. Willi et al. (2007) yang melakukan studi meta-analisis menyatakan bahwa merokok aktif dapat meningkatkan kadar gula darah yang akan berpengaruh terhadap kejadian DM tipe 2. Resiko DM lebih besar bagi perokok berat (≥20 batang rokok/hari) sedangkan perokok ringan dan mantan perokok memiliki risiko relatif DM lebih rendah. Hasil ini dikuatkan dengan fakta bahwa kadar MDA dalam penelitian ini juga berpengaruh signifikan terhadap kadar glukosa darah pada pria dan wanita perkotaan. Hal ini berarti terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar MDA(yang merupakan cerminan semakin rendahnya status oksidatif), maka semakin tinggi kadar glukosa darah. Hasil regresi ini juga sesuai dengan hasil uji korelasi sebelumnya yang menunjukkan bahwa semakin banyak batang rokok yang dihisap setiap hari, maka semakin besar kadar MDA, dan semakin besar kadar glukosa darah pria dan wanita perkotaan.
36
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Subjek rata-rata berusia 41.8 tahun, pria 42.8 tahun dan wanita 41.0 tahun. Dengan tingkat pendidikan SMA dan Perguruan tinggi umumnya pria bekerja sebagai pegawai swasta dan wanita tidak bekerja. Rata rata pendapatan subjek Rp5 000 000 – Rp9 900 000 perkapita perbulan, pendapatan pria Rp7 525 532 dan wanita Rp7 204 545 perkapita perbulan. Berdasarkan kebiasaan merokok, separuh subjek merupakan perokok aktif, dengan rata-rata rokok yang dihisap sebesar 10.5 ± 14.9 batang per hari. Proporsi pria yang merokok lebih besar (53.2%) dibandingkan wanita (47.3%). Hasil uji beda menunjukkan bahwa frekuensi merokok pria lebih besar dibandingkan wanita (p<0.05). Dalam hal kebiasaan olahraga, proporsi wanita yang tidak terbiasa melakukan olahraga lebih besar dibandingkan dengan pria. Hal ini juga dapat dilihat dari level aktivitas fisik pada sebagian besar subjek (61.2%) juga termasuk level aktivitas fisik rendah. Proporsi subjek pria yang mengonsumsi gula berlebih cenderung lebih besar (70.2%) dibandingkan dengan subjek wanita (52.7%) dengan rata rata konsumsi pada pria sebesar 55,9 g, dan pada wanita 57 g. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan rataan konsumsi gula antara subjek pria dan wanita. Status gizi berdasarkan IMT menunjukkan bahwa hampir separuh subjek (46.6%) tergolong gemuk dengan rata-rata IMT subjek tergolong normal yaitu 24.6 kg/m2. Hasil uji korelasi Pearson kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi gula, konsumsi buah sayur, dan status gizi terhadap kadar Malondialdehide (MDA) dan glukosa darah menunjukkan bahwa frekuensi merokok berhubungan signifikan dengan kadar MDA darah subjek (p <0.05, r = 0.652). Menunjukkan bahwa kadar glukosa darah berhubungan signifikan dengan konsumsi gula (p<0.05, r = 0.195), IMT (p<0.05, r= 0.429), konsumsi buah sayur (p<0.05, r= -0.357) dan MDA darah (p< 0.05, r= 0.505). Berdasarkan uji regresi linier berganda, faktor yang berpengaruh terhadap kadar glukosa darah pada pria dan wanita adalah Indeks Massa Tubuh (IMT), konsumsi gula, jumlah batang rokok yang dihisap, dan kadar Malondialdehide (MDA). Saran Mengingat dampak paparan radikal bebas dari merokok terhadap status oksidatif yang memburuk, sosialisasi tentang bahaya merokok lebih ditingkatkan. Aktivitas fisik masyarakat juga perlu ditingkatkan untuk memperbaiki status gizi. Peningkatan asupan buah dan sayur, serta pengurangan konsumsi gula juga perlu dilakukan untuk menjaga kadar glukosa darah tetap normal. Studi ini merupakan studi cros-sectional, sehingga studi lanjutan perlu dilakukan untuk melihat hubungan sebab akibat (casual efect) antara kadar glukosa darah dan berbagai aspek terkait
37
DAFTAR PUSTAKA
[ADA] American Diabetes Association 2011. Diagnosis and classification of diabetes melitus. Diabetes Care. Supl 1:S62-S69. Adnan M, Tatik M, Joko TI. 2013. Hubungan Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan Kadar Glukosa Darah Penderita Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 Rawat Jalan di RS Tugureko Semarang. Jurnal Gizi Universitas Semarang. Adiningrum RD. 2008. Karakteristik kegemukan pada anak sekolah dan remaja di Medan dan Jakarta Selatan [Skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Al-Delaimy WK, Willett WC, Manson JE, Speizer FE, Hu FB. Smoking and mortality among women with type 2 diabetes. Diabetes Care. 24(12) : 2043 – 2048. Almatseir. (2003). Buku Panduan Jasmani dan Rohani. Jakarta(ID): Binarupa Ambrosini GL, Oddy WH, Huang RC, Mori TA, Beilin LJ. 2013. Prospective associations between sugar sweetened beverage intakes and cardiometabolic risk factors in adolesecents. Am J Clin Nutr. 98: 327-34 Ansari RM. 2009.Effect of physical activity and obesity on type 2 diabetes in amiddle-aged population.Journal of Environmental and Public Health.1-5. doi:10.1155/2009/195285. Azam S, Hadi N, Khan NU, Hadi SM. 2003. Antioxidant and prooxidant properties of caffeine, theobromine and xanthine. Med Sci Monit. 9 :325–30. Bassu SS, Manson JE. 2005. Epidemological evidence for the role of physical activity in reducing risk of type 2 diabetes and cardiovascular disease. J Appl Physiol.99: 1193 – 1204. doi: 10.1152/japplphysiol.00160.2005. Bazzano LA, Serdula MK, Liu S. 2003. Dietary intake of fruits and vegetables and risk of cardiovascular disease. Curr Atheroscler Rep. 5(6): 492 – 499. Berk, LE. 2005. Development Through The Life Span (2th Ed). USA (US) : Allyn & Bacon. Bhati K, Goyal K. 2013. Nutritional and health status of diabetic patients. Study Home Com Sci. 7(1): 45-48. Bird RP dan Draper HH. 1984. Comparative Studies on Different Methods of Malonaldehyde Determination di dalam Methods in Enzymology 105: 299304 pp. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta (ID) : BKKBN Castell JV, Gmez-Lechn MJ. 2001. In Vitro Methods in Pharmaceutical Research. London (GB): Academic Pr. Chan JC, Malik V, Jia W, Kadowaki T, Yajnik CS, Yoon K-H, Hu FB. 2009. Diabetes in Asia: epidemiology,risk factors, and pathophysiology. JAMA 301 (20):2129-2140. Chang SA. 2012. Smoking and type 2 diabetes mellitus. Diabetes Metab J. 36:399 – 403. doi:10.4093/dmj.2012.36.6.399. Conti M et al. 1991. Improve Fluorometric Determinationof Malondialdehyde. Clin.Chem. 37/7, 1273-1275 pp. Cugusi L, Cadeddu C, Nocco S, Orru F, Bandino S, Deidda M, Caria A, Bassareo PP, Piras A, Cabras S, et al. 2014. Effects of an aquatic-based exercise
38
program to improve cardiometabolic profile, quality of life, and physical activity levels in men with type 2 diabetes melitus. Physical Medicine and Rehabilitation journal. BMC Public Health. 13:2-8. Deutrich M, Block G, Norkus EP, Hudes M, Traber MG, Cross CE, Packer L. 2003. Smoking and exposure to environmental tobacco smoke decrease some plasma antioxidants and increase gamma-tocopherol in vivo after adjustment for dietary antioxidant intakes Dixon, Z, R, Shie, F.S Warden (1998). The effect of low carotenoid diet on malondialdehyde – thiobarbituric acid (MDA –TBA) concentrations : a Placebo – controled double blind study J.AM, Col,Nutr. 62, 149 – 150. [FAO/WHO/UNU] Food Agriculture Organization, World Health Organization, United Nations University. 2001. Human energy Requirement. Rome (IT): FAO/WHO/UNU. Foma MA, Saidu Y, Omoleke SA, Jafali J. 2013. Awareness of diabetes melitus among diabetic patients in the Gambia: a strong case for health education and promotion. BMC Public Health. 13:2-8 Ganz ML, Wintfeld N, Li Q, Alas V, Langer J, Hammer M. 2014. The association of body mass index with the risk of type 2 diabetes: a case-control study nested in an electronic health record system in the United States. Diabetology & Metabolic Syndrome. 6(50): 1-8. Gibson RS. 2005. Principal Of Nutritional Assessment (US). Ed ke-2. New York (US): Oxford University Press. Gittelsohn J, Rowan M. 2011. Preventing diabetes and obesity in American Indian communities: the potential of environmental interventions. Am J Clin Nut. 93: 1179-1183. Gutteridge JMC, Halliwell B. 1996. Antioxidant in Nutrition Health and Disease.Oxford University Press. New York. Hurlock BE 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjamg Rentang Kehidupan. Ed. 5. Jakarta (ID): Erlangga. Janeron DR. 1990. Malondialdehyde and Thiobarbituric Acid-Reactivity as Diagnostic Indices of Lipid Peroxidation and Peroxidative Tissue Injury. Free Radic. Biol. Med. 9:515-540 pp. Johnson RJ, Segal MS, Sautin Y, Nakagawa T, Feig DI, Kang DH, Gersch MS, Benner S, and Lozada LG. 2007. Potential role of sugar (fructose) in the epidemic of hypertension, obesity and the metabolic syndrome, diabetes, kidney disease, and cardiovascular disease1-3. Am J Clin Nutr. 86 : 899–906. Klein S, Sheard NF, Sunyer XP, Daly A, Rosett JW, Kulkarni K, Clark NG. 2004. Weight management through lifestyle modification for the prevention and management of type 2 diabetes: rationale and strategies. A statement of the American Diabetes Association, the North American Association for the study of obesity, and the American Society for Clinical Nutrition. Am J Clin Nutr. 80: 257-63. [Kemenkes] Kementrian Kesehatan RI. 2008. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta(ID): Kemenkes. [Kemenkes] Kementrian Kesehatan RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta(ID): Kemenkes. Kempf K, Herder C, Erlund I, Kolb H, Martin S, Carstensen M, Koenig W, Sundvall J, Bidel S, Kuha S, Toumiletho J. 2010. Effects of coffee
39
consumption on subclinical inflammation and other risk factors for type 2 diabetes: a clinical trial. Am J Clin Nutr. 91: 950-957. Kusharto CM, Sa’adiyah YM. 2006. Penilaian Konsumsi Pangan [diktat]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Li M, Fan Y, Zhang X, Hou W, Tang Z. 2014. Fruit and vegetable intake and risk of type 2 diabetes mellitus: meta-analyisis of prospective cohort studies. BMJ. 4(e005497): 1 – 9. doi: 10.1136/bmjopen-2014-005497. Livesey G, Taylor R. 2008. Fructose consumption and consequences for glycation, plasmid triacylglycerol, and body weight: meta-analyses and metaregression models of intervention studies. Am J Clin Nutr. 88:1419-37. Mahan LK, Stump SE. 2008. Krause's Food & Nutrition Therapy 12 th edition. United State of America(US) : Saunders Elsevier. Ma J, hampl JS, Betts NM. 2000. Antioxidant intakes and smoking status, data From the Continuing Survey of Food Intakes by Individuals 1994- 1996. Am J Clin Nutr. 71;774-80 Malik V, Popkin BM, Bray GA, Despres JP , Willet WC, Hu FB. 2010. Sugarsweetened beverages and risk of metabolic syndrome and type 2 diabetes: a meta-analysis. Diabetes Care. 33(11) : 2477-2483. Mihardja L. 2009. Faktor yang berhubungan dengan pengendalian gula darah pada penderita diabetes mellitus di perkotaan Indonesia. Maj Kedokt Indon. 59(9): 414 – 424. Moehyi S. 1997. Pengaturan Makanan dan Diit untuk Penyembuhan Penyakit. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell PW. 2003. Biokimia Harper. Jakarta (ID) : EGC Press. Nuryati S. 2009. Gaya hidup dan status gizi serta hubungannya dengan hipertensi dan diabetes melitus pada pria dan wanita dewasa di DKI Jakarta [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. O’Connor L, Imamura F, Lentjes MAH, Khaw KT, Wareham NJ, Forouhi NG. 2014. Prospective association and population impact of sweet beverage intake and type 2 diabetes, and effects of subtitutions with alternative beverages. Diabetologia. doi: 10.1007/s00125-015-3572-1. Paramitha Infoning. 2013. Analisis Hubungan Konsumsi Buah dan Sayur dengan Ukuran Lingkar Pinggang pada Perempuan Usia Dewasa Muda [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekologi Manusia, Bogor. Park J. 2006. Increas in Glicose-6-Phospahate Dehydrogen in Adipoeytes Stimulates Oxidative Stress and Inflammatory Signals. Diabetes, (55),2939Park SE, Housemann RA, Brownson RC. 2003. Differential correlates of physical activity in urban and rural adult of various socioeconomic baground in the United States. J Epidemiol Community Health. 57: 29 – 35. [Perkeni] Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta (ID): Perkini. Perry JRB, Voight BF, Yengo LC, Amin N, Dupuis J, Ganser M, Grallert H, Navarro P, Li M, Qi L, et al. 2012. Stratifying type 2 diabetes cases by BMI identifies generic risk variants in LAMA1 and enrichment for risk variants in lean compared to obese cases. PloS Genet. 8(5): e1002741. doi:10.371/journal.pgen.1002741. [PP] Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2003. Pengamanan Rokok bagi Kesehatan.
40
Rabe K, Lehrke M, Parhofer KG, Broedl UC. 2008. Adipokines and Insulin Resistance. Mol Med. 2008 Nov-Dec; 14(11-12): 741–751. Published online 2008 Sep 17.doi: 10.2119/2008-00058.Rabe Sacher RA. dan Richard AM. 2004. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium edisi 11 . Alih bahasa : Brahm U. Pendit dan Dewi Wulandari. Jakarta (ID) : EGC Press. Sanjur D. 1982. Social and Culture Perspective in Nutritional. Englewood Cliffts,New Jersey. Shaw JE, Sicree RA, Zimmet PZ. 2010. Global estimetes of the prevalence of diabetes for 2010 and 2030. Diabetes Res. Clin. Pract. 87: 4-14. Sidik SM & Rampal L. 2009. The prevalence and factors associated with obesity among adult women in Selangor, Malaysia. NCBI [Internet]. [diunduh 2015 Jun17].Tersedia pada: http://ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2674032/. Soediatama AD. 2008. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat. Soegondo. 2002. Diagnosis dan klasifikasi Diabetes Melitus Terkini. Di dalam: Soegondo S, Soewondo P, dan Subekti I, editor. Penatalaksanaan Diabetes Melitus. Jakarta: Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Soewondo P, Ferrario A, Tahapary DL. 2013. Challenges in diabetes management in Indonesia: Literature review. Global Health. 9:63. Soetirto Farida, Roselinda, Suhardi. 2010. Hubungan Diabetes Mellitus dengan Obesitas Berdasarkan Indeks Massa Tubuh dengan Lingkar Pinggang Data Riskesdas 2007.Bul.Penelitian.Kesehatan, Vol 38, No. 1, 2010: 36 – 42. Tucker LA, Thomas KS. 2009. Increasing Total Fiber Intake Reduces Risk of Weight and Fat Gains in Women. 139(3):576 Vartanian LR, Schwartz MB, Brownell KD.2007. Effects of soft drink consumption on nutrition and health: a systematic review and meta-analysis. Am J Public Health. 97 (4):667-675. Doi: 10.2105/AJPH.2005.083782. Wade CR. Dan Van Ru AM. 1989. Plasma Malondialdehyde, Lipid Peroxides and The Thiobarbituric Acid Reaction [Letter]. Clin. Chem;35:p 336. Waspadji S, Suyono S, Sukardji K, Moenarko R. 2003. Indeks Glikemik Berbagai Makanan Indonesia. Hasil Penelitian.Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Watherill D dan Kerelakes DJ. 2001. Diabetes. Jakarta : Elex Media Komputindo. Wibowo T. 2013. Gambaran kadar malondialdehide (MDA) dalam urin perokok dan bukan perokok pada mahasiswa FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013. [skripsi]. Jakarta (ID): UIN Syarif Hidayatullah. Willi C, Bodenmann P, Ghali WA, Faris PD, Cornuz J. 2007. Active smoking and the risk of type 2 diabetes a systematic review and meta-analysis. JAMA. 298(22): 2654 – 2664. doi: 10.1001/jama.298.22.2654. Wismanto YB dan Sarwo YB. 2007. Strategi Penghentian Perilaku Merokok. Semarang(ID): Unika Soegijapranata. Wiziani G . 2014. Hubungan Asupan Energi dan Zat Gizi serta Aktivitas Fisik dengan Komponen Sindrom Metabolik pada Orang Dewasa Gemuk [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekologi Manusia, Bogor. [WHO] World Health Organization. 2006. Definition and Diagnosis of Diabetes Mellitus and Intermediate Hyperglycaemia. Geneva(CH) : WHO Press. [WHO] World Health Organization. 2014. Diabetes. www,who,int/mediacentre, [5 Jan 2015].
41
Yang T, Wu J, Rockett IRH, Abdullah AS, Beard J, Ye J. 2009. Smoking patterns among Chinese rural-urban migrant worker. Public Health. 123 : 743 – 749. doi: 10.1016/j.diabres.2014.09.019. Zakaria FR. 1996.Peranan Zat Gizi dalam Sistem Kekebalan Tubuh. Bul. Tek dn Ind. Pangan 7:75-81 pp. Zhang L, Shen Y, Zhou J, Pan Jm, Yu Hy, Chen Hb, Li Q, Li M, Bao Yq, Jia Wp. 2014. Relationship between waist circumference and elevation of carotid intima-media thickness in newly-diagnosed diabetic patients.Biomed Environ Sci. 27(5): 335-342. doi: 10.3967/bes2014.058.
42
Lampiran 1 Ethical clearance
43
Lampiran 2 Informed consent Hubungan Kebiasaan Merokok,Aktivitas Fisik, Konsumsi Gula,Karbohidrat dan Status Gizi dengan Kadar Glukosa Darah dan Status Oksidatif (MDA) pada Orang Dewasa Setelah memperoleh penjelasan dari Saudari Nova Khairunnisa yang akan melakukan penelitian tentangHubungan Kebiasaan Merokok,Aktivitas Fisik, Konsumsi Karbohidrat dan Status Gizi dengan Kadar Glukosa Darah dan Status Oksidatif (MDA) pada Orang Dewasa, maka saya: Nama
: ………………………………………………………………
Alamat
: ………………………………………………………………
No. telp/HP
: ………………………………………………………………
Dengan ini menyatakan dengan penuh kesadaran bersedia diwawancara dan ikut serta sebagai subjek dalam kegiatan penelitian ini, dengan catatan semua data akan dijaga kerahasiaannya, dan bila suatu ketika dalam masa penelitian ini saya dirugikan dalam bentuk apapun maka saya berhak membatalkan persetujuan ini. Bogor, ………….. 2015 Yang Membuat Pernyataan
Sampel,
(………………………………..)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 Kampus IPB Darmaga Telp./Fax. (0251) 8621258/8622276
44
Lampiran 3 Tata cara pengambilan darah, analisis MDA dan gula darah Alat : - Spuit disposible 10 ml - Tomiquet (alat ikat pembendungan) - Microtube (tabung mikro) 1 ml untuk menyimpan serum - Sentrifuge - Kotak pendingin (cool box) untuk membawa darah dan serum - Aluminium foil Bahan : - Antikoagulan EDTA - Kapas alkohol 70% - Air bebas ion dan larutan HNO3 Prosedur pengambilan darah : 1. Pengambilan darah sebelum dan setelah intervensi dilakukan pada jam 8- 9 malam 2. Bersihkan kulit diatas lokasi tusuk dengan alkohol 70% dan biarkan sampai kering. 3. Lokasi penusukan harus bebas dari luka dan bekas luka/sikatrik. 4. Darah diambil dari vena mediana cubiti pada lipat siku. 5. Pasang ikatan pembendungan (Tomiquet) pada lengan atas dan responden diminta untuk mengepal dan membuka telapak tangan berulang kali agar vena jelas terlihat. 6. Lokasi penusukan di desinfeksi dengan kapas alkohol 70% dengan cara berputar dari dalam keluar. 7. Spuit disiapkan dengan memeriksa jarum dan penutupnya. 8. Setelah itu vena mediana cubiti ditusuk dengan posisi sudut 45° dengan jarum menghadap ke atas. 9. Darah dibiarkan mengalir ke dalam jarum kemudian jarum diputar menghadap ke bawah. Agar aliran bebas, responden diminta untuk membuka kepalan tangannya, darah kemudian dihisap sebanyak 3 ml. 10. Tomiquet dilepas, kemudian jarum ditarik dengan tetap menekan lubang penusukan dengan kapas alkohol (agar tidak sakit). 11. Tempat bekas penusukan ditekan dengan kapas alkohol sampai tidak keluar darah lagi. 12. Setelah itu bekas tusukan ditutup dengan plester.
45
Lampiran 4 Dokumentasi selama penelitian
Bersama Responden Penelitian
Wawancara Responden
Food Record
Verifikasi Food Record
Pemeriksaan Tekanan darah
46
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Oktober 1989 di Bireuen. Penulis adalah anak ke 2 dari 3 bersaudara dari pasangan bapak Djamalludin dan ibu Fajjriah. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar pada tahun 1996-2002 di SDN 1 Bireuen, dan kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Bireuen pada tahun 2002-2004. Pendidikan menengah atas ditempuh di SMAN 1 Bireuen pada tahun 2004 dan lulus pada tahun 2007. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadyah Aceh Pada tahun 2007. Penulis lulus sebagai sarjana kesehatan masyarakat (S.KM) pada tahun 2011 dengan penelitian “Hubungan Aktivitas Fisik dan Pola Makan dengan Status Gizi pada anak Sekolah Dasar”. Kesempatan untuk melanjutkan studi program magister sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat pada tahun 2013. Karya ilmiah berjudul “Association between Smoking Habits, Physical Activity, Added Sugar Consumption, and Nutritional Status with Malondialdehyde (MDA) and Glucose Levels in Adults” telah diterbitkan pada Pakistan Journal of Nutrition pada bulan Juni, volume 15 no 5 halaman 439-445 tahun 2016.