HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MAKAN DAN AKTIVITAS FISIK DENGAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI PERKOTAAN DAN DI PERDESAAN
WENY ANGGRENNY NAINGGOLAN
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan antara Kebiasaan Makan dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi pada Remaja di Perkotaan dan di Perdesaan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014 Weny Anggrenny Nainggolan NIM I14090029
ABSTRAK WENY ANGGRENNY NAINGGOLAN. Hubungan antara Kebiasaan Makan dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Remaja di Perkotaan dan di Perdesaan. Dibimbing oleh CESILIA METI DWIRIANI. Masalah gizi ganda tidak hanya terdapat pada masyarakat perkotaan saja akan tetapi terdapat pada masyarakat perdesaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kebiasaan makan dan aktivitas fisik dengan status gizi pada remaja di perkotaan dan di perdesaan. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dengan melibatkan 102 orang remaja. Terdapat perbedaan nyata (p<0.05) antara subyek di kota dan desa dalam hal usia, uang jajan, pendidikan orangtua, pendapatan keluarga, besar keluarga, frekuensi konsumsi mie, daging ayam, tahu, tempe, wortel, pisang dan jeruk, serta lama aktivitas fisik pada hari sekolah. Tidak terdapat perbedaan frekuensi makan lengkap dan kebiasaan jajan. Terdapat hubungan yang signifikan antara usia, jenis kelamin, pendidikan orangtua, besar keluarga dan pendapatan keluarga dengan status gizi (TB/U), dan hubungan jenis kelamin dengan status gizi (IMT/U), namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan makan, aktivitas fisik, tingkat kecukupan energi dan zat gizi lain dengan status gizi (p>0.05). Kata kunci: aktivitas fisik, kebiasaan makan, konsumsi pangan, remaja, status gizi.
ABSTRACT WENY ANGGRENNY NAINGGOLAN. Association of food habit and physical activity with nutritional status of adolescent in urban and rural areas. Supervised by CESILIA METI DWIRIANI. Double burden of nutritional problems are not only faced by urban societies but also rural societies. This study aimed to analyze association of eating habits, physical activities and nutritional status of adolescence in urban and rural areas. The study used cross sectional design involved 102 adolescences. There were significant differences (p<0.05) between subject in urban and rural in term of age, daily pocket money, parents’ educational background, family income, family size, frequency consumption of noodles, chicken, tofu, soybean, carrot, banana, orange, physical activity of school day. There was no significant difference in frequency of a having meal and habit on buying snacks. There was significant correlation between ages, genders, parents’ educational level, family size, family income and nutritional status (TB/U), as well as gender and nutritional status (IMT/U). However, there was no significant correlation between eating habits, physical activities, energy and nutrients adequacy levels and nutritional status (p>0.05). Keywords: physical activities, eating habits, food consumption, adolescence, nutritional status
HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MAKAN DAN AKTIVITAS FISIK DENGAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI PERKOTAAN DAN DI PERDESAAN
WENY ANGGRENNY NAINGGOLAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
Judul Skripsi : Hubungan antara Kebiasaan Makan dengan Status Gizi pada Remaja di Perkotaan dan Perdesaan Nama : Weny Anggrenny Nainggolan NIM : I14090029
Disetujui oleh
Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, MSc Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Rimbawan Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Hubungan antara Kebiasaan Makan dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi pada Remaja di SMA Perkotaan dan di SMA Perdesaan” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Strata-1 Program Studi Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Dr. Rimbawan selaku kepala Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. 2. Ibu Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani. M.Sc selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan motivasinya. 3. Ibu Reisi Nurdiani, SP.,M.Si selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah memberikan koreksi demi perbaikan skripsi. 4. Bapak Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS; Bapak Dr Hadi Riyadi, MS; Ibu Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani. M.Sc; Bapak Prof. Dr. Faisal Anwar. MS dan dr Mira Dewi, M.Si sebagai tim peneliti payung yang telah membimbing dalam pengambilan data lapang. 5. Orangtua, saudara-saudara serta keluarga penulis yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, perhatian, dan dukungan baik moril maupun materil. 6. Teman–teman sepenelitian payung : Heti Sondari, Fithriani Batubara dan Mega Seasty Handayani yang banyak membantu dalam memberikan semangat dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 7. Teman-teman dekat : Chairunnisa, Sarah Yuneke, Elizabeth Mayorga, Lativa dan Evi Widya Astuti yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. 8. Teman-teman Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) 2009 yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis. 9. Teman-teman Kost BILO (Annet, Irosepa, Rielisa, Saima, Salvionita, Trieliza). 10. Seluruh civitas akademika Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan dukungan moril kepada penulis. Bogor, Maret 2014 Weny Anggrenny Nainggolan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian KERANGKA PEMIKIRAN METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Data Jenis dan Cara Pengambilan Data Penelitian Pengolahan dan Analisis Data DEFENISI OPERASIONAL HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Karakteristik Subyek dan Sosial Ekonomi Keluarga Kebiasaan Makan Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Aktivitas Fisik Status Gizi Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Hubungan antara Karakteristik Subyek dengan Status Gizi Hubungan antara Kebiasaan Makan dengan Status Gizi Hubungan antara Tingkat Kecukupan Energi dengan Status Gizi Hubungan antara Tingkat Kecukupan Protein dengan Status Gizi Hubungan antara Tingkat Kecukupan Lemak dengan Status Gizi Hubungan antara Tingkat Kecukupan Karbohidrat dengan Status Gizi Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Status Gizi SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
vi vi vi 1 1 2 3 3 5 5 5 6 7 9 9 9 10 14 19 22 23 25 25 26 27 27 27 28 28 28 28 29 30 33
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Jenis data dan cara pengumpulan data penelitian Sebaran subyek berdasarkan karakteristik individu Sebaran subyek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga Rata-rata frekuensi konsumsi pangan per minggu Sebaran subyek berdasarkan frekuensi makan sehari Sebaran subyek berdasarkan kebiasaan jajan Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi Sebaran subyek berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi Sebaran subyek berdasarkan kategori tingkat kecukupan protein Sebaran subyek berdasarkan kategori tingkat kecukupan lemak Sebaran subyek berdasarkan kategori tingkat kecukupan karbohidrat Rata-rata alokasi waktu aktivitas fisik Sebaran subyek berdasarkan tingkat aktivitas fisik Sebaran subyek berdasarkan status gizi Hubungan antara karakteristik subyek dengan status gizi Hubungan antara karakteristik keluarga dengan status gizi Hubungan kebiasaan makan dengan status gizi Hubungan antara tingkat kecukupan gizi dengan status gizi Hubungan antara aktivitas dengan status gizi
6 11 13 14 18 19 19 20 21 21 22 22 24 24 25 26 26 27 28
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran
4
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia saat ini menghadapi masalah gizi ganda, disatu sisi terjadi masalah gizi kurang dan di sisi lain juga terjadi masalah gizi lebih yang semakin meningkat. Masalah gizi ganda tidak hanya terdapat pada masyarakat perkotaan saja akan tetapi juga pada masyarakat perdesaan. Gizi pada kelompok remaja perlu mendapatkan perhatian khusus karena kekurangan dan kelebihan gizi berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta berdampak pada masalah gizi saat dewasa. Percepatan pertumbuhan yang terjadi pada remaja diiringi oleh bertambahnya aktivitas fisik menyebabkan kebutuhan zat gizi pada remaja meningkat. Seiring berkembangnya zaman, urbanisasi dan modernisasi yang terus terjadi menyebabkan perubahan gaya hidup masyarakat khususnya pada kalangan remaja. Gaya hidup remaja saat ini, akibat perkembangan teknologi cenderung lebih santai dan memiliki aktivitas yang pasif. Merujuk pada data World Health Organization (WHO) (2003), saat ini populasi remaja di dunia telah mencapai 1.2 milyar jiwa atau sekitar 19% dari total populasi di dunia. Di Indonesia persentase populasi remaja bahkan lebih tinggi yaitu mencapai 21% dari total populasi penduduk atau sekitar 44 juta jiwa. Kebutuhan energi dan zat gizi remaja yang meningkat harus dipenuhi. Apabila konsumsi makanan tidak seimbang dengan kebutuhan energi dan zat gizi lain untuk pertumbuhan dan kegiatan-kegiatannya, maka akan terjadi defisiensi maupun kelebihan yang akhirnya dapat menghambat pertumbuhan maupun menyebabkan obesitas (Notoatmodjo 2007). Dalam masa pertumbuhan, remaja memerlukan banyak makanan yang bergizi. Perkembangan tehnologi dalam mengolah makanan dewasa ini berdampak terhadap meningkatnya ketersediaan makanan cepat saji sehingga terdapat hubungan erat antara kualitas pangan dan kesehatan manusia yang akan berdampak terhadap kualitas sumber daya manusia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 (Depkes 2010), secara nasional prevalensi kependekan pada remaja umur 16-18 tahun adalah 31.2%. Terdapat 10 provinsi dengan prevalensi kependekan di bawah prevalensi nasional yaitu Provinsi Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Maluku. Prevalensi status gizi pendek pada remaja umur 16-18 tahun (TB/U) di DKI Jakarta adalah 14.8% dan di Jawa Barat adalah 24.6%. Di sisi lain prevalensi kegemukan pada remaja usia 16-18 tahun secara nasional masih relatif rendah yaitu 1.4%. Terdapat 11 provinsi yang memiliki prevalensi kegemukan pada remaja 16-18 tahun diatas prevalensi nasional, yaitu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Papua Barat dan Papua. Namun demikian, prevalensi kegemukan pada remaja 16-18 tahun di semua provinsi masih di bawah 5.0%. Prevalensi status gizi gemuk pada remaja umur 16-18 tahun (IMT/U) di Jawa Barat adalah 2.1% dan di Jakarta adalah
2 2.7%. Dewasa ini permasalahan obesitas mengalami pergeseran, awalnya obesitas cenderung dikaitkan dengan masyarakat perkotaan namun sekarang obesitas juga dialami oleh masyarakat perdesaan. Berdasarkan data Riskesdas 2010 (Depkes 2010) prevalensi wanita remaja yang mengalami obesitas di desa hampir sama dengan di kota. Prevalensi status gizi dalam kategori kurus pada remaja usia 16-18 tahun di Jawa Barat sebesar 8%. Secara nasional prevalensi kekurusan pada remaja umur 16-18 tahun adalah 8.9 % terdiri atas 1.8% sangat kurus dan 7.1% kurus. Masalah gizi kurang merupakan keadaan yang terjadi akibat tidak terpenuhinya asupan makanan sehingga mengalami kekurangan salah satu zat gizi atau lebih di dalam tubuh. Akibatnya adalah menurunya kekebalan tubuh serta terjadinya gangguan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Obesitas membawa dampak buruk bagi kesehatan yang sangat berhubungan dengan berbagai macam penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular, diabetes melitus, artritis, penyakit kantong empedu, gangguan fungsi pernapasan, dan berbagai gangguan kulit (Arisman 2004). Dampak jangka panjang stunted pada masa kanak-kanak dapat mempengaruhi ukuran tubuh seseorang pada masa remaja bahkan pada masa dewasa. Salah satu konsekuensi utama ukuran tubuh pendek pada remaja yang sekolah adalah pada kecerdasan. Pada saat dewasa hal ini akan meyebabkan berkurangnya kapasitas kerja yang selanjutnya akan berdampak pada produktivitas kerja (Gibson 2005). Kebiasaan konsumsi yang tidak baik akan mempengaruhi asupan zat gizi, hal ini dilihat dari kondisi fisik remaja yang mempunyai tubuh yang berbadan gemuk, kurus, tinggi dan pendek. Penelitian hubungan kebiasaan makan dan aktivitas fisik dengan status gizi yang telah dilakukan sebelumnya (Dwiningsih 2013) hanya dilakukan dalam lingkup wilayah kabupaten sehingga peneliti tertarik melihat perbedaan di kota dan desa yang sebenarnya dengan lingkup wilayah yang lebih besar. Berdasarkan permasalahan yang telah diungkapkan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara Kebiasaan Makan dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Remaja di SMA Perkotaan dan di SMA Perdesaan”. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara kebiasaan makan dan aktivitas fisik dengan status gizi pada remaja di perkotaan dan perdesaan. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mempelajari karakteristik subyek dan keluarga di perkotaan dan perdesaan. 2. Menganalisis kebisaan makan, asupan dan tingkat kecukupan gizi subyek di perkotaan dan perdesaan. 3. Menganalisis aktivitas fisik subyek di perkotaan dan perdesaan.
3 4. Menganalisis status gizi subyek di perkotaan dan di perdesaan. 5. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi subyek di perkotaan dan perdesaan. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan informasi mengenai hubungan antara kebiasaan makan dan aktivitas fisik dengan status gizi pada remaja. Informasi tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai masukan untuk mengambil kebijakan terkait gizi pada remaja untuk memperbaiki kebiasaan makan dan status gizi remaja.
KERANGKA PEMIKIRAN Remaja merupakan masa transisi anak dan dewasa. Selama remaja, terjadi perubahan hormonal yang mempercepat pertumbuhan. Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang yang dipengaruhi oleh asupan makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Penilaian status gizi dalam penelitian ini diukur menggunakan antropometri tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U). Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain adalah kebiasaan makan, aktivitas fisik, karakteristik remaja, karakteristik keluarga, dan genetik. Karakteristik remaja meliputi umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan uang jajan. Status gizi remaja di kota dan di desa memiliki perbedaan nyata yaitu prevalensi kegemukan lebih tinggi di perkotaan sedangkan kependekan lebih tinggi di perdesaan. Hal ini diduga dipengaruhi pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan keluarga, besar keluarga di kota lebih baik dari pada di desa akan mempengaruhi karakteristik subyek seperti uang jajan di SMA kota lebih tinggi daripada di desa dan kebiasaan makan yang terlihat dari frekuensi makan per hari, frekuensi konsumsi bahan pangan per minggu, kebiasaan jajan, dan konsumsi pangan. Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi remaja adalah aktivitas fisik. Aktivitas fisik remaja dikota yang lebiha aktif dari pada di desa yang terlihat dari adanya kegiatan esktrakurikuler yang disediakan disekolah. Asupan energi yang berlebih dan tidak diimbangi dengan pengeluaran energi yang seimbang (dengan kurang melakukan aktivitas fisik) akan menyebabkan terjadinya penambahan berat badan. Menurut Effendi (2003) faktor keturunan berpengaruh terhadap keseimbangan energi. Bila kedua orangtua tidak gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk adalah 9%. Bila salah satu orangtua gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk adalah 41-51%, sedangkan bila kedua orangtua gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk sebesar 66-80%. Seseorang mengalami obesitas dapat terjadi karena salah satu atau kedua orangtuanya mengalami obesitas pula. Selain itu, penyakit dan infeksi berkaitan dengan status gizi yang rendah. Seseorang yang mengalami penyakit dan infeksi cenderung memiliki nafsu makan yang menurun sehingga menyebabkan kekurangan gizi. Hubungan kekurangan gizi dengan
4 penyakit infeksi dapat dijelaskan melalui pertahanan tubuh dimana seseorang yang mengalami kekurangan gizi dengan asupan energi dan protein yang rendah, maka kemampuan tubuh untuk membentuk protein yang baru berkurang yang akan berpengaruh pada pertumbuhan. Berikut bagan beberapa faktor yang memicu keadaaan status gizi remaja. Kota-Desa
Karakteristik Keluarga Pendidikan orangtua Pekerjaan orangtua Pendapatan keluarga Jumlah anggota keluarga
Karakteristik Anak Jenis Kelamin Berat badan Tinggi badan Uang jajan Umur
Kebiasaan Makan Frekuensi makan per hari Frekuensi konsumsi bahan pangan per minggu Kebiasaan jajan Konsumsi pangan
Genetik
Status Gizi TB/U IMT/U
Aktivitas fisik
Penyakit dan infeksi
Keterangan : Variabel yang diteliti : Hubungan yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang tidak diteliti Gambar 1 Skema kerangka hubungan antara kebiasaaan makan dan aktivitas fisik dengan status gizi pada remaja di perkotaan dan perdesaan.
5 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan data sekunder dari penelitian yang berjudul Lifestyle and Nutrition Aspect of Rural and Urban Adolescent (Gaya Hidup dan Status Gizi pada Remaja di Perkotaan dan Perdesaan) yang disponsori oleh Neys van Hoogstraten Foundation The Netherland (Dwiriani et al. 2013). Desain penelitian yang digunakan adalah CrossSectional Study. Data penelitian Dwiriani et al. (2013) yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari dua SMA yaitu SMAN 109 Jakarta, yang mewakili daerah perkotaan dan SMAN 01 Jasinga, yang mewakili daerah perdesaan. Pemilihan sekolah didasarkan pertimbangan dari Dinas Pendidikan Kota Jakarta Selatan dan Kecamatan Jasinga. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Desember 2013. Jumlah dan Cara Pemilihan Subyek Subyek pada penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan berusia 15-18 tahun yang duduk di bangku kelas X di SMA 109 Jakarta dan SMA N 1 Jasinga. Metode yang digunakan dalam penarikan subyek adalah Simple Random Sampling. Perhitungan minimal subyek dilakukan menggunakan rumus Lemeshow et al. (1997) dan menggunakan prevalensi stunting sebagai ukuran masalah gizi yang ada pada remaja. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: n ≥ [(Z1-α)2 x p (1-p)] d2 n ≥ [(1.96)2 x 0.201 (1-0.201)] (0.08)2 n ≥ 96 orang Keterangan: Z = 1.96 n = jumlah subyek minimal yang diperlukan p = prevalensi stunting pada remaja di DKI Jakarta berdasarkan Riskesdas (2010), yaitu 20.1 % α = derajat kepercayaan (0.05) d = presisi (limit error = 8% atau 0.8) Jumlah subyek pada masing-masing sekolah yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 51 siswa. Jenis dan Cara Pengambilan Data Data yang dikumpulkan adalah data sekunder, meliputi karakteristik subyek (jenis kelamin, usia dan uang jajan), karakteristik keluarga (pendapatan orangtua, besar keluarga, pendidikan orangtua), kebiasaan makan (frekuensi makan per hari, kebiasaan jajan, frekuensi konsumsi
6 pangan per minggu dan konsumsi pangan), aktivitas fisik, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) dengan pengukuran. Penelitian Dwiriani et al. (2013) mengumpulkan data karakteristik subyek dan keluarga menggunakan kuesioner yang diisi sendiri oleh subyek setelah mendapat penjelasan dari peneliti dan metode wawancara untuk data kebiasaan makan dan aktivitas fisik serta dengan metode pengukuran untuk data BB dan TB. Tabel 1 menunjukkan jenis serta cara pengumpulan data. Data konsumsi pangan diperoleh dengan menggunakan metode repeated 24 hour recall yaitu pada satu hari sekolah dan satu hari libur, sedangkan frekuensi pangan menggunakan food frequency quesionnaire. Data BB diperoleh dengan penimbangan menggunakan timbangan injak digital kapasitas 200 kg dengan ketelitian 0.1 kg, dan data TB diukur menggunakan microtoise kapasitas 200 cm dengan ketelitian 0.1 cm . Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data penelitian No
Variabel
1.
Karakteristik subyek
2.
Karakteristik Keluarga
3.
Status Gizi
Data yang Dikumpulkan a. Jenis Kelamin b. Usia c. Uang Jajan a. Pendidikan ayah dan ibu b. Pekerjaan ayah dan ibu c. Besar keluarga d. Pendapatan keluarga
Cara Pengumpulan Data Pengisian kuesioner oleh subyek setelah mendapat penjelasan dari peneliti
a. Berat Badan (kg)
Pengukuran menggunakan timbangan injak dan microtoise
b. Tinggi Badan (cm) a. Frekuensi makan per hari 4.
Kebiasaan Makan
b. Kebiasaan jajan c. Frekuensi konsumsi pangan per minggu d. Konsumsi pangan
5.
Aktivitas fisik
Lama melakukan masingmasing aktivitas (jam)
Pengisian kuesioner oleh subyek setelah mendapat penjelasan dari peneliti
Pengisian kuesioner oleh subyek setelah mendapat penjelasan dari peneliti Wawancara menggunakan kuesioner food frequency Wawancara menggunakan kuesioner recall 2 x 24 jam Wawancara menggunakan kuesioner pada hari sekolah dan hari libur
Pengolahan dan Analisis Data Proses pengolahan meliputi editing, coding, entry dan analisis. Proses editing adalah pemeriksaan seluruh kuesioner setelah data terkumpul. Coding adalah pemberian angka atau kode tertentu yang telah disepakati terhadap jawaban-jawaban pertanyaan dalam kuesioner, sehingga memudahkan pada saat memasukkan data ke komputer. Entry adalah memasukkan data jawaban kuesioner sesuai kode yang telah ditentukan untuk masing-masing variabel sehingga menjadi suatu data dasar. Cleaning yaitu melakukan pengecekan terhadap isian data yang di luar pilihan jawaban yang disediakan kuesioner atau isian data yang di luar kewajaran. Data diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferesia menggunakan
7 Microsoft Excel 2007 dan IBM SPSS 20.0 for windows. Perbedaan data kota dan desa dianalisis menggunakan Independent Sampel t-test (data continuous normal) atau, Mann Whitney (data tidak normal) sedangkan hubungan antar variabel dianalisis menggunakan uji korelasi Pearson (data normal) dan Spearman (data tidak normal). Karakteristik subyek dan keluarga subyek dianalisis secara deskriptif. Karakteristik subyek adalah jenis kelamin, umur dan uang saku. Jenis kelamin terdiri atas laki-laki dan perempuan. Umur subyek dilihat berdasarkan tanggal lahir. Uang jajan subyek di kategori menjadi tiga yaitu < Rp7 000, Rp 7 000-Rp 14 000, dan > Rp14 000. Kategori tersebut diperoleh dengan cara mengelompokkan uang jajan subyek berdasarkan sebaran. Data aktivitas fisik pada hari sekolah dan hari libur (jam) kemudian dinyatakan dengan nilai PAR (Physical Activity Ratio) dimana untuk selanjutnya nilai PAR digunakan dalam menentukan tingkat aktivitas fisik (PAL). Tingkat aktivitas fisik diperoleh dengan mengalikan PAR dengan lama melakukan sebuah aktivitas dibagi dengan 24 jam. Nilai PAL tersebut dibagi menjadi empat kategori yaitu sedentary (1.10-1.39), low active (1.401.59), active (1.60-1.89) dan very active (1.90-2.50) (Frary & Jhonson 2008). Kebiasaan makan subyek dilihat berdasarkan frekuensi makan per hari yang diklasifikasikan menjadi 1x sehari, 2x sehari, 3x sehari dan 4x sehari. Kesukan jajan dibagi menjadi dua kategori (Ya atau Tidak). Data karakteristik keluarga berupa pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, besar keluarga dan pendapatan keluarga. Data pendidikan orangtua dikategorikan menurut jenjang pendidikan yang pernah diperoleh yaitu tamat SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi yang kemudian dianalisis secara deskriptif. Data pekerjaan orangtua dikategorikan menjadi tidak bekerja (ibu rumah tangga untuk ibu), PNS/Polisi/ABRI, karyawan swasta, buruh, wiraswasta/pedagang, jasa (penjahit, supir, ojeg, reparasi) dan lainnya. Pendapatan orangtua dihitung berdasarkan pendapatan per bulan. Menurut BKKBN (2009) data besar keluarga dikategorikan menjadi tiga yaitu keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga ≤4 orang, keluarga sedang 5-6 orang, dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga ≥7 orang. Data konsumsi pangan berupa jenis dan jumlah makanan dalam gram/URT diolah dengan menggunakan Aplikasi Analisis Konsumsi Pangan. Jumlah makanan dalam bentuk gram/URT kemudian dikonversi dengan menggunakan Daftar Konsumsi Bahan Makanan kemudian dilakukan perhitungan tingkat kecukupan gizi untuk energi, protein, lemak, dan karbohidrat. Angka kecukupan zat gizi yang digunakan mengacu pada angka kecukupan gizi yang dianjurkan menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004.
8 Adapun rumus umum yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi adalah : KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan : KGij = Penjumlahan zat gizi i dari setiap bahan makanan/pangan yang dikonsumsi Bj = Berat bahan makanan j (gram) Gij = Kandungan zat gizi i dari bahan makanan j BDDj = % bahan makanan j yang dapat dimakan (Sumber : Hardinsyah & Briawan 1994) Pengukuran tingkat kecukupan energi, protein dan lemak merupakan tahap lanjutan dari penghitungan konsumsi pangan. Tingkat kecukupan konsumsi merupakan persentase konsumsi aktual subyek dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan WNPG tahun 2004. Secara umum tingkat kecukupan zat gizi dapat dirumuskan sebagai berikut: TKGi = (Ki/AKGi) x 100% Keterangan: TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi i Ki = Konsumsi zat gizi i AKGi = Kecukupan zat gizi i yang dianjurkan (Sumber : Hardinsyah & Briawan 1994) Pengkategorian tingkat kecukupan zat gizi makro untuk energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70–79%), defisit tingkat ringan (80–89%), normal (90–119%) dan lebih (≥120%). Pengkategorian tingkat kecukupan lemak dan karbohidrat menurut WNPG VIII (2004) adalah lemak 20-30% dan karbohidrat 55-60%. Status gizi subyek diukur berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U) yang dihitung berdasarkan data antropometri berat badan dan tinggi badan siswa. Menurut WHO (2007) klasifikasi status gizi dengan menggunakan IMT/U terdiri dari sangat kurus (Z <-3 SD), kurus (-3 SD ≤ Z < -2 SD), normal (-2 SD < Z ≤+1 SD), gemuk (+1 SD < Z < +2 SD), obesitas (Z >+2 SD). Menurut Departemen Kesehatan (2004), status gizi subyek berdasarkat TB/U di klasifikasi menjadi tiga yaitu normal (-2 SD s/d + 2 SD), pendek (< -2 SD) dan pendek sekali (< -3 SD). Analisis data menggunakan uji statistik, yaitu uji beda t (independent samples t-test) dan Mann Whitney serta uji korelasi Rank Spearman dan Pearson. Uji beda-t (independent samples t-test) untuk menganalisis perbedaan asupan, energi, protein, lemak, karbohidrat, tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan lemak, dan tingkat kecukupan karbohidrat. Uji beda (Mann Whitney) untuk menganalisis perbedaan uang jajan, pendidikan, pendapatan, besar keluarga subyek, kebiasaan makan, aktivitas fisik dan tingkat kecukupan protein. Analisis statistik uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik subyek, kebiasaan makan dan aktivitas fisik dengan status gizi pada subyek
9 sedangkan uji korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi lain dengan status gizi.
DEFENISI OPERASIONAL Kebiasaan makan adalah frekuensi pangan dan cara subyek memilih dan mengonsumsi makanan yang dilihat dari aspek frekuensi makan sehari, kebiasaan suka jajan, frekuensi konsumsi bahan pangan dalam satu minggu terakhir. Aktivitas Fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya. Aktivitas fisik terbagi atas empat kategori yaitu tidak aktif, kurang aktif, aktif dan sangat aktif. Status Gizi adalah keadaan tubuh seseorang yang diukur secara antropometri dan ditentukan berdasarkan TB/U dengan klasifikasi sangat pendek, pendek dan normal serta berdasarkan IMT/U yang diklasifikasikan menjadi sangat kurus, kurus, normal, overweight dan obesitas. Remaja adalah remaja laki-laki dan perempuan berusia 15-17 tahun yang berada di bangku kelas X dan XI. Karakteristik siswa adalah meliputi jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi badan, dan uang jajan. Karakteristik keluarga adalah meliputi pendapatan orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, besar keluarga. Perkotaan adalah ruang lingkup populasi sebagai lokasi penelitian dari subyek SMA kota. Perdesaan adalah ruang lingkup populasi sebagai lokasi penelitian dari subyek SMA desa. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Sekolah SMAN 109 Jakarta SMAN 109 terletak di Jalan Gardu, Jagakarsa Jakarta Selatan. SMAN 109 Jakarta diresmikan sejak 15 Juni 1991, lahan dan gedung yang digunakan untuk SMAN 109 sebelumnya digunakan untuk Sekolah Pendidikan Guru (SPG) 3 Jakarta. Cikal bakal SMAN 109 Jakarta berawal pada tahun 1989, sejak saat itu secara resmi SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dihapuskan oleh Pemerintah, dan gedungnya beralih fungsi menjadi gedung SMA. SMAN 109 Jakarta memiliki tanah seluas kurang lebih 1.1 hektar yang terdiri atas mushola, kantin, lapangan basket ada dua buah, parkir, taman, dan tentunya halaman sekolah yang sangat luas yang dipenuhi berbagai jenis tanaman buah. SMA ini terdiri atas 21 kelas untuk kelas X, XI dan XII yang masing-masing kelas terdiri atas 40 murid. Kelas XI terdiri atas 3 kelas jurusan IPA dan 3 kelas jurusan IPS begitu juga untuk
10 kelas XII, jadi kurang lebih jumlah siswa keseluruhan dari SMA hijau ini 840 murid. SMAN 01 Jasinga SMA Negeri 1 Jasinga merupakan sekolah dengan akreditasi A yang terletak di Jalan Sukamanah No. 3 desa Setu Kecamatan Jasinga dan berjarak sekitar 75 km ke pusat kabupaten Bogor. Daerah ini merupakan daerah perkebunan/pegunungan dengan batas sebelah utara adalah Kabupaten Lebak Propinsi Banten. Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Cigudeg, sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Tenjo dan sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Parungpanjang. Tenaga pengajar di SMAN 1 Jasinga terdiri atas guru tetap dan guru honorer. Jumlah tenaga pengajar sebanyak 46 orang yaitu sebanyak 25 orang guru berstatus PNS, 20 orang guru honorer dan 1 orang guru bantu daerah. Selain itu ada juga terdapat 14 orang tenaga pendukung sebagai staf tata usaha dan kepegawaian lainnya. SMAN 1 Jasinga memiliki 25 ruang kelas, ruang BK, laboratorium Biologi, Lab TIK, ruang multi media, ruang kantor guru dan Tata Usaha, ruang perpustakaan. Pada tahun pelajaran 2012/2013 SMA Negeri 1 Jasinga Bogor memiliki jumlah siswa sebanyak 991 siswa yang terdiri atas 478 orang laki-laki dan 513 orang perempuan. Kegiatan pendidikan di sekolah tidak hanya terpaku pada kegiatan belajar mengajar, namun disediakan pula beberapa program ekstrakurikuler bagi para siswa sehingga mereka dapat mengembangkan diri dengan lebih baik. Karakteristik Subyek dan Sosial Ekonomi Keluarga Karakteristik subyek meliputi jenis kelamin, usia, uang jajan, sedangkan sosial ekonomi keluarga meliputi pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan orangtua dan besar keluarga. Remaja yang menjadi subyek penelitian ini berjumlah 102 orang dengan masing-masing sekolah 51 orang. Karakteristik subyek Jenis kelamin subyek terdiri dari laki-laki dan perempuan yang ditampilkan pada Tabel 2. Subyek dari SMA kota dan SMA desa masingmasing memiliki jumlah yang sama yaitu terdiri dari 25 orang remaja lakilaki dan 26 orang remaja perempuan. Sebagian besar subyek (51%) adalah perempuan sedangkan sisanya (49%) adalah laki-laki. Usia remaja merupakan masa transisi dari usia anak-anak menjadi dewasa. Menurut WHO (2011), usia subyek remaja berkisar antara 12-18 tahun. Kisaran usia subyek pada penelitian ini adalah 15-17 tahun dengan rata-rata usia 15 tahun. Subyek termasuk dalam kategori remaja awal yaitu usia 13-17 tahun (Hurlock 2004). Secara keseluruhan rata-rata usia subyek dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 15 tahun. Subyek di SMA kota sebagian besar (73%) berusia 15 tahun sedangkan subyek di SMA desa sebagian besar (55%) berusia 16 tahun. Usia subyek di perkotaan lebih muda dibandingkan dengan usia remaja di perdesaan. Hal tersebut disebabkan
11 karena adanya kecenderungan untuk menyekolahkan anak di perkotaan lebih cepat. Uang jajan merupakan bagian dari alokasi pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk keperluan makan jajanan. Pemberian uang jajan menjadi suatu kebiasaaan sehingga anak dapat belajar bertanggung jawab untuk mengelola uang jajan yang dimiliki. Kisaran uang jajan subyek di SMA kota yaitu Rp 4 000-Rp 46 000. Rata-rata uang jajan subyek di SMA kota yaitu Rp 1 4000. Kisaran uang jajan subyek di SMA desa yaitu Rp 2 000-Rp 15 000. Rata-rata uang jajan subyek di SMA desa yaitu Rp 7 000. Sebagian besar remaja putri (67%) di kota dan di desa mempunyai uang jajan berkisar antara Rp 5 000 - Rp 12 000. Sebagian besar (45%) uang jajan subyek di SMA kota kategori > Rp14 000 sedangkan uang jajan subyek di SMA desa sebagian besar (49%) kategori
SMA Kota n %
Jenis Kelamin Laki-laki 25 Perempuan 26 Total 51 Umur 15 tahun 37 16 tahun 13 17 tahun 1 Total 51 Kategori Uang Jajan (Rp/hari) <7 000 6 7 000-14 000 22 >14 000 23 Total 51
SMA Desa n %
n
Total %
49 51 100
25 26 51
49 51 100
50 52 102
49.0 51.0 100
73 25 2 100
21 28 2 51
41 55 4 100
58 41 3 102
56.9 40.2 2.9 100.0
12 43 45 100
25 23 3 51
49 45 6 100
31 45 26 102
30 44 26 100
Uji beda (p)
0.00
Karakteristik sosial ekonomi keluarga Sosial ekonomi keluarga meliputi pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan orangtua dan besar keluarga ditampilkan pada Tabel 3. Tingkat pendidikan akan sangat mempengaruhi cara, pola pikir, pemahaman dan kepribadian yang nantinya merupakan bekal dalam berkomunikasi. Oleh sebab itu, tingkat pendidikan baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola konsumsi antar keluarga. Pendidikan orangtua terdiri dari pendidikan ayah dan ibu. Pendidikan orangtua dikategorikan menjadi lima yaitu tidak sekolah, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Pendidikan ayah dari keseluruhan subyek sebagian besar (46%) adalah tingkat SMA. Sebagian besar (53%) pendidikan ayah subyek di SMA kota adalah perguruan tinggi sedangkan pendidikan ayah subyek di SMA desa adalah tingkat SMA (53%). Dari hasil uji beda yang menggunakan mann whitney menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p=0.00) antara pendidikan ayah di SMA kota dan SMA desa yaitu pendidikan ayah subyek di kota
12 lebih baik daripada di desa. Secara keseluruhan pendidikan ibu subyek penelitian ini adalah tingkat SMA (30%). Pendidikan ibu di SMA kota sebagian besar (47%) adalah perguruan tinggi dan di SMA desa adalah tingkat SD (49%). Berdasarkan uji statistik terdapat perbedaan nyata (p=0.00) antara di SMA kota dan SMA desa yaitu pendidikan ibu subyek di kota lebih baik daripada di desa yang dapat dilihat pada Tabel 3. Pekerjaan ayah subyek sebagian besar (29%) yaitu wiraswasta. Pekerjaan ayah subyek di SMA kota sebagian besar terdiri atas wiraswasta (37%) dan karyawan swasta (35%) sedangkan pekerjaan ayah subyek di SMA desa sebagian besar terdiri dari buruh (35%) dan wiraswasta (22%). Pekerjaan ibu subyek baik di SMA kota dan SMA desa sebagian besar tidak bekerja (63%). Persentase ibu yang tidak bekerja di desa (69%) lebih tinggi daripada di kota (57%). Ibu dari subyek di SMA kota tidak seorang pun yang memiliki pekerjaan sebagai buruh. Sementara ibu dari subyek di SMA desa tidak seorang pun yang memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta. Pendapatan keluarga merupakan jumlah penghasilan yang diperoleh keluarga setiap bulannya. Pendapatan juga akan menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Kisaran pendapatan keluarga subyek di SMA kota antara Rp 500 000-Rp 20 000 000 dengan rata-rata Rp 4 000 000. Kisaran pendapatan keluarga subyek di SMA desa antara Rp 300 000-Rp 9 000 000 dengan rata-rata Rp 1 000 000. Sebagian besar (51%) pendapatan keluarga remaja di SMA kota berkisar antara Rp1 000 000-Rp4 000 000. Hanya 1% yang memiliki pendapatan keluarga
perbedaan nyata (p=0.00) antara pendapatan keluarga di SMA kota dan di SMA desa yaitu pendapatan keluarga subyek di kota lebih besar daripada di desa. Hal ini diduga besar kecilnya pendapatan keluarga dipengaruhi oleh jenis pekerjaan (Dwiningsih 2013). Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (1998), besar keluarga adalah keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, isteri, anak dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama. Sebuah keluarga dapat dikatakan tergolong keluarga kecil jika anggota keluarganya ≤ 4 orang, keluarga sedang jika anggota keluaraganya berjumlah 5-7 orang dan sebuah tergolong keluarga besar jika anggota keluarganya >7 orang. Ukuran besarnya keluarga berkaitan erat dengan kejadian masalah gizi dan kesehatan. Keluarga dengan pendapatan yang rendah dan jumlah anggota keluarga yang banyak menyebabkan makanan yang diasup kurang bergizi (Kartasapoetra & Marsetyo 2008). Secara keseluruhan besar keluarga di SMA kota dan SMA desa termasuk kategori sedang yaitu 46% dengan rata-rata terdiri dari 5 orang, minimal 3 orang dan maksimalnya 14 orang. Besar keluarga di SMA kota sebagian besar termasuk kategori sedang (5-6 orang) yaitu 25% dan di SMA desa sebagian besar termasuk kategori sedang juga yaitu 43%. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p=0.00) antara besar keluarga di SMA kota dan di SMA desa yaitu jumlah anggota keluarga di desa lebih
13 banyak daripada di kota. Jumlah anggota keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi asupan makan seseorang. Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran yang cukup dekat akan lebih banyak menimbulkan masalah gizi. Tabel 3 Sebaran subyek berdasarkan karakteristik sosek keluarga Karakteristik dan Sosial Ekonomi Keluarga Pendidikan Ayah Tidak sekolah SD SMP SMA PT Total Pendidikan Ibu Tidak Sekolah SD SMP SMA PT Total Pekerjaan Ayah Tidak bekerja PNS/Polisi/ABRI Karyawan swasta Buruh Wiraswasta/pedagang Jasa Lainnya Total Pekerjaan Ibu Tidak bekerja PNS/Polisi/ABRI Karyawan swasta Buruh Wiraswasta/pedagang Jasa Lainnya Total Pendapatan keluarga (dalam 000) ≤Rp1 000 Rp1 000 – Rp4 000 > Rp 4 000 Total Besar Keluarga Kecil (≤4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (>7 orang) Total
SMA Kota n %
SMA Desa n %
0 2 2 20 27 51
0 4 4 39 53 100
3 10 8 27 3 51
0 2 4 21 24 51
0 4 8 41 47 100
0 7 18 3 19 0 4 51
Total n
%
6 20 16 53 6 100
3 12 10 47 30 102
3 12 10 46 29 100
5 25 8 10 3 51
10 49 16 20 6 100
5 27 12 31 27 102
5 26 12 30 26 100
0 14 35 6 37 0 8 100
1 5 8 18 11 3 5 51
2 10 16 35 22 6 10 100
1 12 26 21 30 3 9 102
1 12 25 21 29 3 9 100
29 13 3 0 3 1 2 51
57 25 6 0 6 2 4 100
35 3 0 3 9 1 0 51
69 6 0 6 18 2 0 100
64 16 3 3 12 2 2 102
63 16 3 3 12 2 2 100
1 26 24 51
2 51 47 100
18 29 4 51
35 57 8 100
19 55 28 102
19 54 27 100
23 25 3 51
45 49 6 100
11 22 18 51
22 43 35 100
34 47 21 102
33 46 21 100
Uji beda (p)
0.00
0.00
0.00
0.00
14 Kebiasaan Makan Kebiasaan makan subyek adalah informasi perilaku makan terhadap makanan yang dikonsumsi secara berulang dalam waktu satu minggu terakhir. Kebiasaan makan dalam penelitian ini dilihat dari aspek konsumsi berbagai pangan (FFQ) dalam waktu satu minggu, frekuensi makan sehari dan kesukaan jajan. Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun (Supariasa 2001). Konsumsi pangan merupakan hal penting dalam memenuhi kebutuhan zat gizi pada subyek. Konsumsi pangan yang bergizi akan membantu subyek dalam proses pertumbuhan dan perkembangan mental. Tujuan mengisi FFQ adalah melengkapi data konsumsi makanan yang tidak dapat diperoleh melalui ingatan 24 jam. Bahan pangan tersebut terdiri dari pangan pokok, pangan hewani (daging, ikan dan telur), pangan sumber protein nabati, sayuran, buah, jajanan dan lain-lain. Bahan pangan yang dicantumkan adalah jika >75% subyek (38 orang) mengonsumsi bahan pangan tersebut. Rata-rata frekuensi konsumsi bahan pangan per minggu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan per minggu SMA Kota No
1.
2.
3.
4.
SMA Desa
% Meng onsum si
Median (Min; Maks)
100 90 84 98 96
21(14;21) 1.8 (0;3.7) 0.9 (0;3.7) 1.8 (0;4.6) 1.8 (0;4.6)
Daging,ikan & telur 1. D.Ayam 98 2. D.Sapi 88 3. Ikan Laut 78 4. Susu Sapi 84 5. Telur 98 6 .Sosis 90
2.8 (0;7) 0.4 (0;2.8) 0.9 (0;3.7) 1.8 (0;14) 2.8 (0;7) 1.8 (0;4.6)
Jenis Pangan
Pangan pokok 1. Beras 2. Kentang 3. Jagung 4. Mie 5. Roti
Pangan sumber protein nabati 1. Tahu 94 2.8 (0;7) 2. Tempe 96 1.8 (0;7)
Sayuran 1. Bayam 2. Kangkung 3. Wortel
82 88 86
0.9(4;4.6) 0.9 (0;3.7) 1.8 (0;4.6)
Jenis Pangan
% Meng onsum si
Pangan pokok 1. Beras 2. Kentang 3. Jagung 4. Mie 5. Roti 6. Singkong 7. Ubi jalar Daging,ikan & telur 1. D.Ayam 2. D.Sapi 3. Ikan Laut 4. Susu Sapi 5. Telur 6. Sosis 7. D.Kambing 8. Ikan Tawar 9. I.Pindang 10.Ikan Asin
Median (Min; Maks)
Uji Beda (p)
100 100 92 100 90 90 78
21 (14;21) 0.9 (0.2;3.7) 0.9 (0;3.7) 3.7 (0.2;7) 1.8 (0;5.6) 0.7 (0;2.8) 0.2 (0;2.8)
0.42 0.15 0.20 0.00 0.78
96 82 80 86 98 80 76 84 82 84
1.8 (0;4.6) 0.0 (0;1.1) 0.9(0;2.8) 1.8 (0;14) 3.7 (0;7) 0.9 (0;5.6) 0.0 (0;0.23) 0.9 (0;2.8) 0.9 (0;3.5) 0.9 (0;3.7)
0.01 0.00 0.33 0.84 0.04 0.40
Pangan sumber protein nabati 1. Tahu 100 2.8 (0.2;14) 2. Tempe 96 1.8 (0;14) 3. Oncom 80 0.2 (0;2.8) 4. Kacang 80 0.9 (0;7) Sayuran 1. Bayam 86 0.9 (0;7) 2. Kangkung 96 0.9 (0;7) 3. Wortel 94 1.8 (0;14) 4. Kol 88 1.8 (0;7) 5. Sawi 86 0.9 (0;14)
0.00 0.00
0.13 0.01 0.05
Tabel 4 Frekuensi konsumsi bahan pangan per minggu (lanjutan) SMA Kota No
5.
6.
7.
SMA Desa
% Meng onsum si
Median (Min; Maks)
Buah 1. Mangga 2. Pisang 3. Jeruk
82 80 88
0.9 (0;3.7) 0.9 (0;3.7) 0.9 (0;4.6)
Jajanan 1. Bakso 2. Buryam 3. Siomay 4. Mie Ayam 5. Gorengan 6. Biskuit 7 .Es krim 8. Wafer 9.Chiki/kripik
94 76 82 78 90 80 80 80 82
0.9 (0;2.8) 0.8 (0;3.7) 0.9 (0;3.7) 0.7 (0;2.8) 1.8 (0;7) 1.8 (0;7) 0.9 (0;7) 1.8 (0;14) 1.8 (0;7)
Lain-lain 1. Juice buah 2. Teh 3. M.rasabuah 4. M.serbuk
86 84 76 67
0.9 (0;7) 0.9 (0;14) 0.9 (0;7) 0.2 (0;7)
Jenis Pangan
15
Jenis Pangan
Buah 1. Mangga 2. Pisang 3. Jeruk 4. Nanas 5. Jambu 6. Pepaya 7. Rambutan 8. Melon 9. Salak Jajanan 1. Bakso 2. Buryam 3. Siomay 4. Mie Ayam 5. Gorengan 6. Biskuit 7. Es krim 8. Wafer 9. Chiki/kripik 10. Gado-gado 11.Empe-empek 12. Lontong Lain-lain 1. Juice buah 2. Teh 3. M. rasa buah 4. M.serbuk 5. M.soda
Uji Beda (p)
% Meng onsum si
Median (Min; Maks)
88 96 96 80 90 92 98 88 94
0.9 (0;3.7) 1.8 (0;7) 1.8 (0;7) 0.2 (0;1.8) 0.9 (0;7) 0.9 (0;7) 0.0 (0;1.8) 0.2 (0;7) 0.9 (0;7)
0.76 0.00 0.00
100 92 98 100 96 100 92 96 94 90 86 90
2.8 (0.2;7) 0.9 (0;7) 1.8 (0;7) 1.8 (0.2;7) 2.8 (0;21) 21 (0.2;21) 0.9 (0;7) 1.8 (0;21) 3.7 (0;28) 0.9 (0;7) 0.4 (0;4.6) 0.4 (0;7)
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.33 0.01 0.00
84 90 88 88 84
0.4 (0;14) 1.8 (0;28) 0.9 (0;21) 0.9 (0;14) 0.4 (0;7)
0.84 0.00 0.00 0.00 0.50
Konsumsi pangan sumber karbohidrat Tabel 4 menunjukkan bahwa pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi subyek di SMA kota adalah nasi, kentang, jagung, mie dan roti sedangkan bahan pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi subyek di SMA desa antara lain nasi, kentang, singkong, ubi jalar, jagung, mie dan roti. Subyek di SMA kota dan di SMA desa lebih banyak mengonsumsi nasi dengan frekuensi 21 kali dalam seminggu, rata-rata berkisar antara 14 kali hingga 21 kali per minggu. Hasil uji beda menggunakan mann whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) antara konsumsi pangan beras, kentang, jagung, dan roti di SMA kota dan di SMA desa. Namun terdapat perbedaan nyata (p<0.05) pada konsumsi mie pada subyek di SMA kota dan SMA desa. Hal ini ditunjukkan bahwa subyek di SMA desa lebih sering mengonsumsi mie dengan rata-rata 4 kali seminggu, dibanding dengan konsumsi mie oleh subyek di SMA kota dengan rata-rata 2 kali per minggu. Konsumsi bahan pangan karbohidrat subyek di desa periode seminggu terakhir lebih bervariasi daripada di kota. Konsumsi pangan sumber protein Protein adalah zat gizi yang berperan sebagai pembentuk jaringan baru, penghasil energi dan mempertahankan jaringan yang telah ada (Winarno 2002). Sumber protein bisa berasal dari pangan hewani dan
16 nabati. Protein hewani yang biasa dikonsumsi subyek di SMA kota adalah daging ayam, daging sapi, ikan laut, susu sapi, telur dan sosis/nugget sedangkan pangan hewani yang biasa dikonsumsi subyek di SMA desa adalah daging ayam, daging sapi, daging kambing, ikan laut, ikan pindang, ikan tawar, ikan asin, susu sapi, telur dan sosis. Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar subyek (98%) di SMA kota lebih sering mengonsumsi daging ayam dan telur ayam yaitu rata-rata 2.8 kali seminggu (11 kali per bulan). Sebagian besar subyek (98%) di SMA desa lebih sering mengonsumsi telur ayam sebagai sumber protein hewani yaitu dengan ratarata 3.7 kali seminggu (15 kali per bulan), demikian juga dengan ikan asin rata-rata 0.9 kali seminggu (4 kali per bulan). Pangan hewani yang paling jarang dikonsumsi subyek di SMA desa adalah daging kambing sedangkan subyek di SMA kota adalah daging sapi. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) antara konsumsi daging ayam, daging sapi, dan telur pada subyek di SMA kota dan SMA desa. Hal ini dapat dilihat bahwa frekuensi konsumsi daging ayam dan daging sapi lebih sering dikonsumsi oleh subyek di kota sedangkan frekuensi konsumsi telur ayam lebih sering dikonsumsi subyek di desa daripada di kota. Namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara ikan laut dan sosis. Konsumsi protein hewani di desa lebih bervariasi daripada di kota. Diduga bahwa harga bahan pangan sumber protein hewani lebih murah di desa dibandingkan dengan di kota. Konsumsi pangan sumber protein nabati Sumber protein tidak hanya bersumber dari protein hewani namun juga berasal dari protein nabati. Konsumsi bahan pangan protein nabati oleh subyek di desa pada periode seminggu terakhir lebih bervariasi daripada di kota. Protein nabati yang biasa dikonsumsi oleh subyek di SMA kota adalah tahu dan tempe sedangkan subyek di desa adalah tahu, tempe, oncom, dan kacang-kacangan. Rata-rata konsumsi tahu di SMA kota adalah 2.8 kali per minggu (11 kali per bulan) dan konsumsi tempe sebanyak 1.8 kali dalam seminggu (7 kali per bulan). Tahu merupakan bahan pangan yang paling sering dikonsumsi oleh subyek (100%) di SMA desa dengan rata-rata 2.8 kali seminggu (11kali per bulan). Sumber protein yang paling sedikit dikonsumsi subyek di SMA desa adalah oncom (Tabel 4). Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p<0.05) antara konsumsi tahu dan tempe di SMA kota dan SMA desa yaitu subyek di SMA desa cenderung lebih sering mengonsumsi tahu dan tempe dengan nilai maksimum 14 kali dalam seminggu. Konsumsi buah dan sayur Sayur dan buah merupakan sumber serat yang penting bagi anak dalam masa pertumbuhan. Berdasarkan PUGS (Pedoman Umum Gizi Seimbang), konsumsi sayur dan buah minimal 3 porsi/hari. Sayuran yang biasa dikonsumsi oleh subyek di SMA kota adalah bayam, kangkung dan wortel sedangkan subyek di SMA desa adalah bayam, kangkung, sawi, wortel dan kol. Rata-rata sayuran yang paling banyak dikonsumsi oleh subyek di perkotaan adalah wortel yaitu 1.8 kali per minggu (7 kali per bulan), dan urutan selanjutnya adalah bayam dan kangkung. Rata-rata
17 sayuran yang paling banyak dikonsumsi oleh subyek di perdesaan adalah wortel dan kol, yaitu 2 kali dalam seminggu. Rata-rata frekuensi konsumsi wortel adalah 14 kali dalam seminggu dan kol sebanyak 7 kali dalam seminggu. Sayuran yang paling jarang dikonsumsi adalah kangkung dan bayam. Buah yang biasa dikonsumsi subyek di SMA kota antara lain mangga, pisang dan jeruk. Rata-rata buah yang paling banyak dikonsumsi adalah jeruk (Tabel 4) yaitu 4.6 kali dalam seminggu (18 kali per bulan) sedangkan buah yang biasa dikonsumsi subyek di SMA desa antara lain jambu, pepaya, mangga, nanas, pisang, jeruk, rambutan, melon, dan salak. Rata-rata buah yang paling banyak dikonsumsi subyek di SMA desa adalah pisang dan jeruk sedangkan buah rambutan merupakan buah yang jarang dikonsumsi yang ditunjukkan bahwa frekuensi 1 kali dalam seminggu. Hal ini diduga karena buah tersebut adalah buah musiman. Buah yang dikonsumsi subyek di perdesaan lebih beragam jika dibandingkan dengan buah yang dikonsumsi oleh subyek di perkotaan. Hal ini diduga bahwa subyek yang di perdesaan memiliki lahan kosong sehingga banyak ditanami sayur mayur dan buah. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p<0.05) antara konsumsi pisang, jeruk, kangkung, wortel yaitu frekuensi konsumsinya lebih sering di desa daripada di kota. Tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) pada konsumsi mangga dan bayam di SMA kota dan di SMA desa. Buah dan sayur yang dikonsumsi subyek di desa lebih bervariasi daripada di kota. Hal ini juga dibuktikan bahwa persentase subyek dengan status gizi normal di desa lebih tinggi daripada di kota karena diet lemak yang baik adalah dengan mengonsumsi buah dan sayur (Cakrawati 2011). Konsumsi jajanan dan makanan lain-lain Makanan jajanan memegang peranan penting dalam memberikan kontribusi tambahan untuk memenuhi kecukupan gizi, khususnya energi dan protein (Sulistyanto 2005). Jajanan yang biasa dikonsumsi oleh subyek di SMA kota adalah bakso, bubur ayam, siomay/batagor, mie ayam, gorengan, biskuit, es krim, wafer dan chiki-chikian. Selain dari jajanan yang dikonsumsi oleh subyek di SMA kota, subyek di SMA desa juga mengonsumsi gado-gado, empek-empek, dan lontong sayur. Jajanan yang paling sering dikonsumsi oleh subyek di perkotaan adalah wafer dengan rata-rata 1.8 kali per minggu (7 kali per bulan). Jajanan yang paling jarang di konsumsi adalah siomay/batagor sedangkan jajanan yang paling sering di konsumsi oleh subyek di perdesaan adalah bakso dengan rata-rata 2.8 kali dalam seminggu (11 kali per bulan) dan paling jarang dikonsumsi adalah empek-empek. Selain itu minuman yang biasa dikonsumsi oleh subyek adalah jus buah, teh, minuman manis, dan minuman serbuk. Minuman yang paling sering dikonsumsi oleh subyek di kota adalah teh dengan rata-rata frekuensi 14 kali dalam seminggu sedangkan rata-rata frekuensi konsumsi teh di desa adalah 28 kali dalam seminggu. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p<0.05) antara konsumsi bakso, bubur ayam, siomai, mie ayam, gorengan, biskuit, es krim, wafer dan chiki. Subyek di SMA desa lebih sering mengonsumsi gorengan dibandingkan dengan subyek di SMA kota dengan nilai rata-rata 2.8 kali per minggu (11 kali per
18 bulan). Tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) pada konsumsi es krim pada subyek dengan rata-rata sekali seminggu. Demikian juga dengan konsumsi teh, minuman manis, minuman serbuk bahwa terdapat perbedaan nyata (p<0.05) di SMA kota dan di SMA desa yaitu lebih sering dikonsumsi oleh subyek di desa. Frekuensi makan sehari Salah satu aspek penting dari kebiasaan makan adalah frekuensi makan per hari, karena secara langsung akan mempengaruhi asupan zat gizi melalui konsumsi pangan. Frekuensi makan yang baik adalah 3 kali dalam sehari. Jarak antara dua waktu makan yang panjang menyebabkan adanya kecenderungan untuk makan lebih banyak dan melebihi batas (Khomsan 2003). Frekuensi makan subyek dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran subyek berdasarkan frekuensi makan sehari SMA Kota SMA Desa Total Frekuensi Makan Uji beda (p) n % n % n % 1 kali 1 2 2 4 3 3 2 kali 14 27 13 25 27 26 3 kali 31 61 30 59 61 60 0.93 4 kali 5 10 6 12 11 11 Total 51 100 51 100 102 100 Berdasarkan Tabel 5 secara keseluruhan subyek dalam penelitian ini sebagian besar memiliki frekuensi makan 3 kali sehari (60%) yang biasanya dilakukan pada pagi, siang dan sore dengan rata-rata 3 sehari, minimal 3 kali dan maksimal 4 kali. Sebagian besar (61%) subyek di SMA kota memiliki frekuensi makan 3 kali sehari begitu pula subyek di SMA desa yang sebagian besar (59%) memiliki frekuensi makan 3 kali sehari. Subyek yang memiliki frekuensi makan 1 kali sehari biasanya dilakukan pada siang hari, frekuensi 2 kali sehari biasanya dilakukan pada siang dan sore hari, sedangkan subyek yang memiliki kebiasaan frekuensi makan lebih dari 3 kali sehari biasanya dilakukan pada pagi, siang, sore dan malam hari. Hasil uji beda mann whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (p=0.93) antara frekuensi makan subyek di SMA kota dan di SMA desa. Kebiasaan jajan Kebiasaan jajan merupakan istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan kebiasaan makan (Suhardjo 1989). Sebaran subyek berdasarkan kebiasaan suka jajan dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan subyek baik di SMA kota dan di SMA desa memiliki kebiasaan suka jajan yaitu 93% dengan median 1(1;2). Namun secara umum subyek di SMA desa yang lebih banyak memiliki kebiasaan jajan tersebut yaitu 94%. Hasil uji beda menggunakan mann whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (p = 0.69) antara kebiasaan suka jajan subyek di SMA kota dan di SMA desa. Jajanan kaya akan lemak dan tinggi gula. Selain itu, keinginan remaja untuk mengonsumsi makanan cepat saji, minuman ringan, kentang goreng adalah produk yang sering diingat dan dibeli oleh anak-anak (Olivares et al. 2004).
19 Tabel 6 Sebaran subyek berdasarkan kebiasaan jajan Suka Jajan 1 (Ya) 2 (Tidak) Total
SMA Kota n % 47 92 4 8 51 100
SMA Desa n % 48 94 3 6 51 100
Total n 95 7 102
% 93 7 100
Uji beda (p) 0.69
Asupan dan tingkat kecukupan zat gizi Konsumsi pangan subyek diperoleh melalui wawancara dengan metode Food Recall 2x24 jam, yaitu pada saat hari sekolah dan hari libur. Tingkat kecukupan zat gizi individu dapat diketahui dengan cara membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi oleh individu dengan angka kecukupannya. Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan adalah taraf zat-zat gizi esensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Angka kecukupan gizi adalah banyaknya zat-zat gizi minimal yang dibutuhkan seseorang untuk mempertahankan status gizi adekuat (Almatsier 2009). Energi Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2004, diketahui angka kecukupan energi remaja wanita usia 13-15 tahun adalah 2100 Kal, dan usia 16-19 tahun adalah 2000 Kal sedangkan kecukupan energi untuk laki-laki usia 13-15 tahun adalah 2400 Kal, dan untuk usia 16-19 tahun adalah 2500 Kal. Rata-rata Angka Kecukupan Energi yang telah dikoreksi BB subyek adalah 2250 Kal. Rata-rata konsumsi energi subyek di SMA kota lebih tinggi dibandingkan dengan di SMA desa (Tabel 7). Perbedaan rata-rata konsumsi adalah sekitar 14 Kalori untuk energi. Tabel 7 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi Zat gizi Energi Konsumsi (Kal) AKG TK (%) Protein Konsumsi (g) AKG TK (%) Lemak Konsumsi (g) TK(%) Karbohidrat Konsumsi (g) TK (%)
SMA Kota
SMA Desa
(1720±697) 2356 74.9
(1706±647.3) 2144 80
(48.8±23.6) 65.3 77.2
(41.8±19.2) 57.6 72.8
(51.9±29.2) 26.4
(57±24.4) 30.5
(248.2±96.5) 58.5
(242±108.5) 56.5
Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan energi dapat dilihat pada Tabel 8. Pada umumnya subyek di SMA kota dan di SMA desa mengalami defisit tingkat berat yaitu 45.1% namun persentasenya lebih tinggi di SMA kota. Dari keseluruhan subyek dalam penelitian ini hanya 15.7% yang kecukupan energinya kategori normal. Hasil uji beda
20 menggunakan Independent Sample t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat kecukupan energi subyek di SMA kota dan SMA desa. Hal ini diduga karena asupan energi subyek tergolong defisit berat karena subyek dalam penelitian ini lebih sering mengonsumsi jajanan yang lebih banyak menyumbang asupan lemak. Tabel 8 Sebaran subyek berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi Tingkat kecukupan energi Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Lebih Total
SMA Kota n % 26 51.0 3 5.9 8 15.7 7 13.7 7 13.7 51 100.0
SMA Desa n % 20 39.2 10 19.6 7 13.7 9 17.6 5 9.8 51 100
Total n % 46 45.1 13 12.7 15 14.7 16 15.7 12 11.8 102 100
Uji beda (p)
0.68
Protein Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2002). Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2004, diketahui angka kecukupan protein wanita usia 13-15 tahun adalah 62 gram, dan usia 16-19 tahun adalah 51 gram sedangkan kecukupan protein untuk laki-laki usia 13-15 tahun adalah 64 gram, dan untuk usia 16-19 tahun adalah 51 gram. Rata-rata Angka Kecukupan Gizi untuk protein yang telah dikonversi sesuai berat badan masing-masing subyek adalah sebesar 61 gram. Rata-rata konsumsi protein subyek di SMA kota lebih tinggi daripada di SMA desa. Perbedaan rata-rata konsumsi protein adalah sekitar 7 gram. Hal ini diduga bahwa harga bahan pangan sumber protein seperti tempe, tahu lebih murah daripada dikota. Rata-rata tingkat kecukupan protein subyek di SMA kota dan di SMA desa tergolong defisit sedang karena hanya memenuhi 70-79% AKP (Tabel 7). Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan protein dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan recall 2x24 jam, diketahui bahwa pada umumnya subyek di SMA kota dan di SMA desa mengalami defisit tingkat berat (54.9%) untuk kecukupan proteinnya. Persentase tingkat kecukupan protein terbesar kedua adalah defisit tingkat ringan (11.8%) dan lebih (11.8%). Tingkat kecukupan protein di SMA desa yang mengalami defisit tingkat sedang lebih besar daripada di SMA kota. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat fungsi protein yang sangat penting bagi pertumbuhan khususnya untuk remaja. Hasil uji beda menggunakan mann whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara tingkat kecukupan protein di SMA kota dan di SMA desa.
21 Tabel 9 Sebaran subyek berdasarkan kategori tingkat kecukupan protein Tingkat kecukupan protein Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Lebih Total
SMA Kota n % 28 54.9 2 3.9 8 15.7 7 13.7 6 11.8 51 100
SMA Desa n % 28 54.9 9 17.6 4 7.8 4 7.8 6 11.8 51 100
Total Uji beda(p) n % 56 54.9 11 10.8 12 11.8 0.13 11 10.8 12 11.8 102 100
Lemak Lemak memiliki beberapa fungsi penting bagi tubuh, diantaranya adalah sebagai sumber energi dan alat angkut vitamin larut lemak. Namun, konsumsi lemak harus dalam jumlah yang cukup, karena jika berlebihan akan menyebabkan status gizi lebih (Almatsier 2002). Rata-rata konsumsi lemak subyek di SMA kota dan di SMA desa adalah 54.4 gram. Rata-rata konsumsi lemak pada subyek di SMA desa lebih tinggi daripada di SMA kota. Perbedaan rata-rata konsumsi lemak sekitar 5 gram. Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan lemak dapat dilihat pada Tabel 10. Pada umumnya subyek di SMA kota dan desa berdasarkan tingkat kecukupan lemak dalam kategori cukup (42.2%), namun persentase di SMA desa lebih tinggi dibandingkan dengan di SMA kota. Hal ini diduga karena subyek di desa lebih sering mengonsumsi gorengan dan harga gorengan di desa cenderung lebih murah daripada dikota. Persentase kedua yaitu subyek yang tingkat kecukupan lemaknya lebih yaitu 40.2%. Subyek yang tingkat kecukupan lemaknya dalam kategori kurang hanya 17.6%. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat kecukupan lemak pada subyek di SMA kota dan SMA desa. Hal ini diduga karena subyek di SMA kota dan di SMA desa sering mengonsumsi makanan yang digoreng yang berkontribusi terhadap asupan lemak yang tinggi sebagai cadangan energi paling besar. Tabel 10 Sebaran subyek berdasarkan kategori tingkat kecukupan lemak Tingkat kecukupan lemak Kurang (<20%) Cukup (20-30%) Lebih (>30%) Total
SMA Kota n % 13 25.5 19 37.3 19 37.3 51 100
SMA Desa Total n % n % 5 9.8 18 17.6 24 47.1 43 42.2 22 43.1 41 40.2 51 100 102 100
Uji beda (p) 0.21
Karbohidrat Rata-rata konsumsi karbohidrat subyek di di SMA kota dan di SMA desa adalah 245 gram. Rata-rata konsumsi karbohidrat pada subyek di SMA kota (248 gram) lebih tinggi daripada di SMA desa (242 gram). Perbedaan rata-rata konsumsi karbohidrat sekitar 6 gram. Sebaran subyek berdasarkan tingkat kecukupan karbohidrat dapat dilihat pada Tabel 11. Pada umumnya tingkat kecukupan karbohidrat pada subyek di SMA kota dan di SMA desa dalam kategori cukup yaitu 52.9%. Persentase di SMA kota lebih banyak (58.8%) daripada di SMA desa (47.1%). Tingkat kecukupan karbohidrat
22 pada subyek yang mengalami kurang dan lebih masing-masing memiliki persentase 23.5%. Hasil uji beda Independent Sample t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara tingkat kecukupan karbohidrat pada subyek di SMA kota dan SMA desa. Tabel 11 Sebaran subyek berdasarkan kategori tingkat kecukupan karbohidrat Tingkat kecukupan karbohidrat Kurang (< 50%) Cukup (50-65%) Lebih (> 65%) Total
SMA Kota n % 10 19.6 30 58.8 11 21.6 51 100
SMA Desa n % 14 27.5 24 47.1 13 25.5 51 100
Total n % 24 23.5 54 52.9 24 23.5 102 100
Uji beda (p) 0.59
Aktivitas Fisik Aktivitas fisik merupakan bentuk dari perilaku yang menghasilkan energy expenditure karena pergerakan otot tubuh termasuk lengan dan kaki (Sjostrom et al. 2008). Rata-rata alokasi waktu aktivitas fisik disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Rata-rata alokasi waktu aktivitas fisik (jam/hari) No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Kegiatan Tidur Aktivitas diri Belajar di sekolah Belajar di luar sekolah Aktivitas fisik Aktivitas sedang
Hari sekolah SMA Kota 7.0 (4.0;9.5) 1.7 (0.5;3.6) 8.4 (5.3;9.8)
SMA Desa 7.5 (0.0;10.0) 2.5 (0.4;6.7) 6.3 (0.0;8.5)
1.6 (0.0;4.8)
0.8 (0.0;4.6)
0.4 (0.0;6.6) 5.0 (0.8;12.4)
0.5 (0.0;3.4) 6.7 (2.8;15.9)
Uji beda (p) 0.02 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00
Hari libur SMA Kota 8.0 (4.0;12.0) 2.5 (0.3;7.7) 0.0 (0.0;0.00)
SMA Desa 7.9 (0.0;13.0) 0.7 (0.0;8.0) 0.0 (0.0;0.0)
1.4 (0.0;5.7)
0.7 (0.0;0.8)
1.6 (0.0;9.8) 10.5 (2.5;16.6)
1.5 (0.0;0.8) 10.0 (3.0;22.3)
Uji beda (p) 0.97 0.00 1.00 0.00 0.21 0.23
Aktivitas fisik subyek dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 6 jenis kegiatan dengan rata-rata alokasi waktu yang dikumpulkan pada 2 hari yaitu hari sekolah dan hari libur. Tabel 12 menunjukkan kegiatan yang paling lama dilakukan subyek adalah waktu tidur pada hari libur dan waktu untuk belajar di sekolah. Rata-rata kegiatan tidur malam paling lama pada hari libur yaitu 8.0 jam di SMA kota dan 7.9 jam di SMA desa. Berdasarkan hasil uji beda menggunakan mann whitney menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p<0.05) antara waktu tidur malam subyek di SMA kota dan di SMA desa pada hari sekolah. Waktu tidur subyek di SMA desa lebih lama dibanding subyek di SMA kota. Selain tidur, kegiatan harian yang paling sering dilakukan subyek pada hari sekolah adalah belajar di sekolah dan terdapat perbedaan nyata (p<0.05) antara waktu lama di sekolah pada subyek di SMA kota dan SMA desa. Hal ini dilihat bahwa subyek di SMA
23 kota lebih lama berada di sekolah dibanding dengan SMA di desa. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p<0.05) pada kegiatan aktivitas diri antara subyek di SMA kota dan di SMA desa baik hari sekolah maupun hari libur. Adapun kegiatan aktivitas diri antara lain sholat, mandi, berpakaian, makan, dan pekerjaan rumah tangga. Aktivitas yang melibatkan fisik pada hari sekolah menunjukkan perbedaan nyata (p<0.0) antara subyek di SMA kota dan di SMA desa sedangkan pada hari libur tidak menunjukkan perberdaan nyata (p>0.05). Demikian halnya dengan kegiatan sedentary yang menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05) pada hari sekolah yaitu rata-rata alokasi waktu (jam/hari) pada aktivitas sendentary lebih banyak di desa dan tidak terdapat perbedaan nyata pada hari libur. Secara keseluruhan kegiatan di SMA kota dan di SMA desa baik itu pada hari sekolah maupun hari libur terdapat perbedaan nyata. Sebaran subyek berdasarkan aktivitas fisik selama dua hari yang terdiri dari hari sekolah dan hari libur dapat dilihat pada Tabel 13. Secara keseluruhan (38%) tingkat aktivitas fisik subyek di SMA kota dan di SMA desa termasuk kategori kurang aktif (low active) dengan rata-rata 1.4(1.2;2.8). Sebagian besar (39%) tingkat aktivitas subyek di SMA kota termasuk kategori kurang aktif, sedangkan tingkat aktivitas subyek di SMA desa (39%) termasuk dalam kategori tidak aktif. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat aktivitas fisik subyek di SMA kota dan di SMA desa. Hal ini diduga karena subyek sebagian besar memiliki tingkat aktivitas yang kurang aktif. Tabel 13 Sebaran subyek berdasarkan tingkat aktivitas fisik Kategori PAL Sedentary Low Active Active Very Active Total
SMA Kota N % 11 22 20 39 18 35 2 4 51 100
SMA Desa n % 20 39 19 37 6 12 6 12 51 100
Total n 31 39 24 8 102
% 30 38 24 8 100
Uji beda (p)
0.5
Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier 2009). Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat-zat gizi makanan (Hsu et al. 2006). Status gizi subyek dalam penelitian ini diukur secara antropometri. Pengukuran antropometri yang digunakan untuk mengukur ukuran tubuh, meliputi IMT/U dan TB/U. Tabel 14 menunjukkan bahwa status gizi berdasarkan IMT/U menunjukkan sebagian besar subyek di SMA kota dan di SMA desa dalam kategori normal dengan rata-rata dan standar deviasi (-0.11±1.33). Subyek di SMA desa dengan status gizi normal (86%) lebih banyak daripada subyek di SMA kota (64%). Status gizi overweight dan obesitas di SMA kota (24%) dua kali lebih banyak dibandingkan di SMA desa (10%). Prevalensi gizi
24 lebih ini baik di SMA kota maupun desa, lebih banyak dijumpai pada perempuan. Status gizi kurus dan sangat kurus, di SMA kota prevalensinya juga lebih tinggi (12% dibandingkan 4%), namun lebih banyak dijumpai pada laki-laki. Hasil uji beda Independent Sample t-test menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p=0.00) antara status gizi subyek (IMT/U) di SMA kota dan di SMA desa. Hal ini diduga karena subyek di desa lebih sering mengonsumsi buah dan sayur daripada dikota (Tabel 4) dan rata-rata asupan energi subyek di SMA kota lebih tinggi daripada di desa (Tabel 7). Usia remaja merupakan usia dimana mereka sangat tertarik pada makanan siap saji dan sebagian besar terpengaruh dengan lingkungan sekitar dan teman sebaya. Prevalensi kelebihan berat badan pada remaja erat hubungannya dengan keadaan keluarga dan kebiasaan makan (Hass et al. 2003). Tabel 14 menunjukkan hampir seluruh subyek SMA kota (96%) memiliki TB/U yang normal namun hanya kurang dari dua pertiga (61%) subyek di SMA desa. Rata-rata dan standar deviasi TB/U di SMA kota dan desa berada pada selang formal (-1.21±0.94). Prevalensi pendek dan sangat pendek (stunting) di SMA desa ditemukan pada hampir dua per lima (39%) subyek dan jumlah ini hampir sepuluh kali prevalensi di SMA kota (4%). Bila dilihat berdasarkan jenis kelamin tampak bahwa stunting dialami oleh hampir dua pertiga (73%) subyek perempuan di SMA desa. Hasil uji beda Independent Sample t-test menunjukkan terdapat perbedaan nyata antara status gizi (TB/U) subyek di SMA kota dan di SMA desa. Tabel 14 Sebaran remaja (%) berdasarkan status gizi Status Gizi
L
SMA kota P Total
L
SMA desa P Total
Kategori IMT/U Obesitas Overweight Normal Kurus Sangat Kurus Total
12 8 56 16 8 100
12 15 73 0 0 100
12 4 12 4 64 88 8 4 4 0 100 100 p=0.00
0 12 85 0 4 100
2 8 86 2 2 100
Kategori TB/U Normal Pendek Sangat pendek Total
96 4 0 100
96 4 0 100
96 96 4 4 0 0 100 100 p=0.00
27 61 12 100
61 33 6 100
Uji beda L P
p>0.05
p>0.05
p>0.05
p<0.05
Keterangan: L : Laki-laki P : Perempuan
Hasil uji statistik pada Tabel 4 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara laki-laki di kota maupun di desa dengan status gizi baik berdasarkan IMT/U maupun TB/U dan terdapat perbedaan yang nyata antara perempuan di kota dan di desa dengan status gizi berdasarkan TB/U hal ini dapat dilihat bahwa persentase perempuan stunting lebih banyak di
25 desa daripada di kota. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi status gizi, secara langsung adalah asupan makanan dan infeksi sedangkan secara tidak langsung ada tiga faktor yaitu ketahanan pangan keluarga, pola pengasuhan anak, dan lingkungan kesehatan termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan (Supariasa 2002). Banyaknya remaja perempuan yang stunting di desa dipengaruhi oleh berbagai variabel tersebut. Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Hubungan Karakteristik Subyek dengan Status Gizi Berdasarkan uji korelasi Spearman (Tabel 15) tampak bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia, jenis kelamin dengan status gizi berdasarkan TB/U (p=0.00), peubah jenis kelamin berpengaruh negatif terhadap status gizi (TB/U) artinya bahwa status gizi pendek pada perempuan lebih banyak daripada laki-laki dan terdapat hubungan negatif antara usia dengan status gizi (TB/U) yang artinya semakin tinggi usia maka semakin banyak yang berstatus stunting. Terdapat pula hubungan positif antara jenis kelamin dengan status gizi berdasarkan IMT/U (p=0.00) yang artinya perempuan memiliki persentase lebih tinggi berstatus gizi lebih dibandingkan dengan laki-laki dan tidak terdapat hubungan signifikan antara usia dengan status gizi berdasarkan IMT/U. Uji korelasi Spearman antara karakteristik keluarga dengan status gizi (Tabel 16) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara pendidikan ayah, pendidikan ibu, besar keluarga, pendapatan keluarga dengan status gizi berdasarkan IMT/U (p>0.05). Hasil yang menunjukkan tidak terdapatnya hubungan pendidikan orangtua dengan status gizi subyek sejalan dengan penelitian Ampera & Azhari (2009) yang menyatakan bahwa pada remaja, status gizi tidak berhubungan erat dengan tingkat pendidikan orangtua. Ibu yang bekerja tidak lagi memiliki waktu untuk mempersiapkan makanan bagi keluarganya. Hal ini yang membuat remaja sering memilih untuk makan di luar (Sinaga et al. 2012), sehingga pengaruh lingkungan, kebiasaan teman dan media massa lebih dominan. Tidak terdapat hubungan pendapatan orangtua dengan status gizi pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Dwi Oktaviani (2012) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara pendapatan orangtua dengan indeks massa tubuh. Tabel 15 Hubungan antara karakteristik subyek dengan status gizi Status Gizi K. Subyek Usia 15 tahun 16 tahun 17 tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
Sangat Kurus, Kurus
IMT/U Normal
Overweight, obes
Uji Hubungan
4 4 0
44 30 3
10 7 0
p= 0.97 r= 0.00
7 1
36 41
7 10
p= 0.00 r= 0.32
26
Tabel 15 Hubungan antara karakteristik subyek dengan status gizi (lanjutan)
Status Gizi K. Subyek
Sangat Kurus, Kurus
IMT/U Normal
Overweight, obes
Pendek sekali
TB/U Pendek
Normal
1 2 0
7 11 1
50 28 2
p= 0.00 r= -0.36
0 3
2 17
48 32
p= 0.00 r= -0.39
Status Gizi K. Subyek Usia 15 tahun 16 tahun 17 tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
Uji Hubungan
Tabel 16 menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ayah, pendidikan ibu, besar keluarga, pendapatan keluarga dengan status gizi berdasarkan TB/U (p<0.05). Pendidikan ayah dan ibu, pendapatan keluarga memiliki hubungan positif dengan status gizi yang artinya bahwa semakin tinggi pendidikan orangtua dan pendapatan keluarga maka semakin tinggi subyek yang berstatus gizi normal sedangkan besar keluarga memiliki hubungan negatif dengan status gizi (TB/U) yang berarti semakin banyak anggota keluarga maka cenderung semakin banyak subyek yang berstatus stunting. Beberapa faktor yang terkait dengan kejadian stunting antara lain kekurangan energi dan protein, sering mengalami penyakit kronis, praktek pemberian makan yang tidak sesuai dan faktor kemiskinan. Prevalensi stunting meningkat dengan bertambahnya usia, peningkatan terjadi dalam dua tahun pertama kehidupan, proses pertumbuhan anak masa lalu mencerminkan standar gizi dan kesehatan. Kebiasaan makan keluarga dipengaruhi pula oleh aturan atau tatanan yang didasarkan kepada adat istiadat dan agama (Suhardjo 1989).
Tabel 16 Hubungan karakteristik keluarga dengan status gizi Status Gizi Karakteristik keluarga Pendidikan ayah Pendidikan ibu Besar keluarga Pendapatan keluarga
IMT/U r 0.06 0.09 -0.08 0.18
TB/U p 0.48 0.33 0.39 0.05
r 0.32 0.39 -0.25 0.35
p 0.00 0.00 0.01 0.00
Hubungan kebiasaan makan dengan status gizi Berdasarkan hasil uji korelasi spearman diketahui bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara kebiasaan makan dengan status gizi (IMT/U). Hal ini dibuktikan dengan nilai p>0.05 (Tabel 17). Tabel 17 Hubungan kebiasaan makan dengan status gizi Status gizi Variabel Frekuensi makan sehari Suka jajan
IMT/U r p 0.07 0.47 0.08 0.40
TB/U n 102 102
r -0.11 0.09
p 0.24 0.33
27 Tabel 17 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara frekuensi makan dengan status gizi (TB/U). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Agustian (2010). Hal ini dikarenakan subyek memiliki kebiasaan makan yang kurang baik yaitu suka jajan. Salah satu faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap perubahan kebiasaan makan remaja ialah semakin banyaknya jenis jajanan baru sehingga cenderung untuk mencoba. Hubungan antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi Berdasarkan hasil uji Pearson diketahui bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi. Hal ini dibuktikan bahwa nilai p>0.05 (Tabel 18). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Yuliansyah 2007) yang menunjukkan tidak ada hubungan kecukupan energi dengan status gizi. Hal ini dilihat dari subyek pada kelompok yang mempunyai asupan energi kurang, sebagian besar mempunyai status gizi normal. Menurut Moehji (2003) mengatakan bahwa asupan energi yang kurang dari kebutuhan berpotensi terjadinya penurunan status gizi. Studi epidemiologi menyatakan bahwa asupan energi kurang dari kebutuhan dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan terjadinya penurunan status gizi, bila asupan energi seimbang akan membantu memelihara status gizi normal, jika asupan energi berlebihan atau berkurangnya pengeluaran energi berpotensi terjadinya kegemukan. Tabel 18 Hubungan antara tingkat kecukupan gizi dengan status gizi Status gizi Variabel Tingkat kecukupan energi Tingkat kecukupan protein Tingkat kecukupan lemak Tingkat kecukupan karbohidrat
IMT/U r p -0.13 0.17 -0.14 0.14 -0.02 0.08 0.02 0.08
TB/U n 102 102 102 102
r -0.08 -0.04 -0.21 0.13
p 0.42 0.66 0.02 0.16
Hubungan antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi Berdasarkan hasil uji Pearson diketahui bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi. Hal ini dibuktikan bahwa nilai p>0.05 (Tabel 18). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Yuliansyah (2007) yang menunjukkan bhwa tidak ada hubungan antara kecukupan protein dengan status gizi. Hal ini dilihat dari kelompok subyek dengan tingkat asupan protein kurang memiliki status gizi normal. Protein tubuh berguna sebagai bagian dari struktur tubuh dan juga merupakan bagian yang mempunyai peranan fungsional. Tubuh tidak mempunyai tempat menyimpan cadangan protein. Protein di dalam tubuh tetap dijaga dalam kondisi seimbang sehingga asupan protein kurang atau lebih tidahk berpengaruh pada perubahan berat badan karena kelebihan asupan protein tidak disimpan oleh tubuh seperti yang terjadi pada kelebihan energi. Hubungan antara tingkat kecukupan lemak dengan status gizi Berdasarkan hasil uji Pearson diketahui bahwa terdapat hubungan nyata antara tingkat kecukupan lemak dengan status gizi (TB/U). Hal ini dibuktikan bahwa nilai p<0.05 (Tabel 18). Uji korelasi tersebut menunjukkan adanya kecenderungan negatif yang berarti bahwa semakin
28 tinggi tingkat kecukupan lemak, maka status gizinya semakin rendah (stunting). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Reski 2013) yang menyatakan tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan lemak dengan status gizi. Hal ini diduga bahwa konsumsi pangan subyek yang mengandung lemak yang tinggi seperti gorengan karena lemak tinggi dalam makanan maka zat gizi lain dalam makanan tersebut cenderung rendah. Hubungan antara tingkat kecukupan karbohidrat dengan status gizi Berdasarkan hasil uji Pearson diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan karbohidrat dengan status gizi. Hal ini dibuktikan bahwa nilai p>0.05 (Tabel 18). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Muchlisa (2013) yang menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara tingkat kecukupan karbohidrat dengan status gizi. Hal ini diduga karena subyek pada kelompok yang mempunyai asupan karbohidrat kurang, sebagian besar mempunyai status gizi normal. Hubungan aktivitas fisik dengan status gizi Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi karena status gizi seseorang bergantung juga penggunaan zat gizi yang dikonsumsi dengan cara beraktivitas. Berdasarkan hasil uji korelasi spearman diketahui bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara aktivitas fisik dengan status gizi baik berdasarkan IMT/U maupun TB/U. Hal ini dapat dilihat dari p>0.05 (Tabel 19). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Chrissia (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara intensitas aktivitas fisik dengan status gizi (IMT/U). Pada koefisien korelasi didapatkan -0.64 dan nilai p 0.00. Arah koefisien korelasi yang didapatkan bernilai negatif yang berarti semakin ringan aktivitas fisik yang dilakukan maka berpengaruh terhadap status gizi (IMT/U) lebih bahkan obesitas. Aktivitas yang rendah dan dibarengi pola makan yang berlebih dapat menimbulkan kejadian gizi lebih (Haryati et al. 2013). Tabel 19 Hubungan antara aktivitas dengan status gizi Status gizi
Variabel Aktivitas fisik
IMT/U r 0.05
TB/U p 0.61
r 0.02
p 0.79
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Subyek dalam penelitian ini merupakan remaja awal dengan kisaran usia 15-17 tahun. Pendidikan, pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga subyek di SMA kota yang lebih baik daripada di SMA desa. Uang jajan subyek di SMA kota lebih tinggi daripada di SMA desa. Kebiasaan makan subyek masih kurang baik yang ditunjukkan bahwa sebagian besar (95%) subyek memiliki kebiasaan suka jajan. Jenis bahan pangan yang dikonsumsi subyek di SMA desa lebih beragam daripada subyek di SMA kota. Terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi konsumsi mie, daging ayam,
29 daging sapi, telur ayam, tahu, tempe, kangkung, pisang, jeruk, teh, dan jenis jajanan subyek di SMA kota dan SMA desa. Frekuensi konsumsi mie, telur ayam, tahu, tempe, pisang, jeruk, teh dan jajanan lebih sering di desa, sedangkan daging ayam, daging sapi dan kangkung lebih sering di kota. Asupan energi dan zat gizi subyek masih rendah. Asupan energi, protein dan karbohidrat lebih baik di kota daripada di desa sedangkan asupan lemak lebih baik di desa. Pada umumnya subyek di kota dan desa memiliki tingkat kecukupan energi dan protein kategori defisit berat yaitu sebesar 45.1% dan 54.9%, tingkat kecukupan lemak dan karbohidrat tergolong cukup yaitu (42.2%) dan (52.9%). Tingkat aktivitas subyek di SMA kota dan di SMA desa termasuk kategori kurang aktif. Status gizi (TB/U dan IMT/U) contoh di SMA kota maupun di SMA desa sebagian besar normal. Prevalensi stunting di SMA desa sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan di SMA kota. Prevalensi kegemukan di SMA kota dua kali lebih tinggi dibandingkan di SMA desa. Terdapat hubungan yang signifikan antara usia, jenis kelamin, pendidikan orangtua, besar keluarga dan pendapatan keluarga dengan status gizi (TB/U), jenis kelamin dengan status gizi (IMT/U). Tetapi tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan orangtua, besar keluarga dan pendapatan keluarga terhadap status gizi (IMT/U) serta tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan makan, aktivitas fisik, tingkat kecukupan energi, protein, dan karbohidrat dengan status gizi (p>0.05). Saran Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas subyek baik di kota maupun di desa masih tergolong kurang aktif, sehingga disarankan subyek agar lebih aktif seperti berjalan kaki dan melakukan olahraga. Kebiasaan makan subyek yang kurang baik dan adanya masalah gizi maka subyek perlu mengatur pola konsumsi makan agar tercapai tingkat kecukupan energi dan zat gizi lain dengan baik sesuai dengan angka kecukupan yang dianjurkan. Selain itu, dianjurkan untuk mengonsumsi jenis pangan yang beragam dan sesuai dengan kebutuhan yang dianjurkan serta memperbanyak konsumsi buah dan sayur dan mengurangi jajanan.
30 DAFTAR PUSTAKA Abramson E.2005. Body Intelligence. Yogyakarta: ANDI. Agustian L. 2010. Status Gizi Remaja, Pola Makan dan Aktivitas Olahraga di SLTP 2 Majauleng Kabupaten Wajo. Jurnal Gizi dan Pangan, 9(1), 1-6. Almatsier S. 2009. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta (ID): Gramedia Ampera M, Azhari, & Suwardi (2009). Hubungan imej tubuh, pengetahuan gizi dan kebiasaan olahraga dengan status gizi siswa SMA di kota Banda Aceh. Jurnal Gizi Poltekkes Depkes NAD. Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG. Ayu R. 2011. Faktor risiko obesitas pada anak 5–15 tahun di Indonesia. Jurnal Kesehatan, 15(1), 37–43. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta : BKKBN Chrissia I .2012. Hubungan antara aktivitas fisik dengan status gizi pelajar SMP Frater Don Bosco Manado. Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2011.Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Badan penelitian dan pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Dwiningsih. 2013. Perbedaan Asupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat dan Status Gizi pada Remaja yang Tinggal di Wilayah Perkotaan dan Perdesaan. Journal of Nutrition College, 12(2), 232-241. Dwiriani CM, Riyadi H, Khomsan A, Anwar F, & Dewi M. 2013. Lifesyle and nutrition aspect of rural and urban adolescent. Neys-van Hoogstraten Foundation (NHF): The Netherland Frary C & Jhonson R. 2008. Krause’s Food and Nutrition Therapy. Ed 12. Canada. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Ed ke-2. New York: Oxford University Press. Haryati M, Syamsianah, & Handarsari. 2013. Hubungan konsumsi makanan sumber lemak, karbohidrat dan aktivitas fisik dengan rasio lingkar panggul pada pengemudi truk PO. Agm Kudus. Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah Semarang, 2(2), 39–47. Hass J, Lee, Kaplan, Sonneborn, Phillips, & Liang Su-Ying. 2003. The association of race, socieconomic status, and health insurance status with the prevalence of overweight among children and adolescents. American Jurnal of Public Health, 93(12), 1–6. Hsu, Yi-Hsiang et al. 2006. Relation of body compotition, fat mass, serum lipids to osteoporosis fractures and bone mineral density in Chinese men and women. Am J Clin Nutr 83:146–154. [IOM] Institute Of Medicine of The National Academies. 2002. Kategori TingkatAktivitas.http://www.Globalrph.com/estimated_energy_requi rement.html. [21 Juli 2013].
31 Kartasapoetra G & Marsetyo H. 2006. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi. Kesehatan dan Produktivitas Kerja). Jakarta: Rineka Cipta. Khomsan A. 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Khomsan. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Lemeshow S .1991. Sampling of Populations: Method and Application. New York: John Wiley & Sons. Moehji S. 2003. Penanggulangan Gizi Buruk. Papar Sinar Sinanti. Jakarta. Muchlisa, Citrakesumasari & Rahayu I. 2013. Correlation of Nutrient Intake with Nutritional Status of Adolescent Girls in Public Health Faculty Hasanuddin University Makassar in 2013. [Jurnal]. Program sudi S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas Hasanuddin Makassar. Notoatmodjo S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Oktaviani D, Lintang D, & Zen M (2012). Hubungan kebiasaan konsumsi fast food, aktivitas fisik, pola konsumsi, karakteristik remaja dan orangtua dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1 (2), 542-553. Olivares, Kain J, Lera, Pizarro, Vio, & Moron. 2004. Nutritional status, food consumption and physical activity among chilean school children: a descriptive study. European Journal of Clinical Nutrition 58, 1278– 1285. Reski A, Aminuddin S & Fatimah S. 2013. Correlation of energy intake and nutrient intake with nutritional status of students in Pondok Pesantren Hidayatullah Makassar South Sulawesi in 2013. [Jurnal] . FKM: Universitas Hasanuddin Makassar. Riyadi H. 2003. Penilaian status gizi secara antropometri [diktat]. Bogor Fakultas pertanian, IPB Saraswati & Fithra. 2012. Perbedaan Karakteristik usia, Asupan Makanan, Aktivitas Fisik, Tingkat Sosial Ekonomi dan Pengetahuan Gizi pada Wanita Dewasa dengan Kelebihan Berat Badan antara di Desa dan Kota. Journal of Nutrition College, 1(1), 606-627. Sjostrom M, Ekelund U, Yngue A. 2008. Assesment or Physical Activity di dalam Gibney MJ, Margaretts BM, Kearney JM, Arab L, editor. Public Health Nutrition Oxford : Blackwell Publishing. Suhardjo.1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: PAU IPB Sulistyanto J. 2005. Kontribusi makanan jajanan terhadap tingkat kecukupan energi, dan protein serta status gizi dalam kaitannya dengan prestasi belajar anak sekolah dasar [Artikel ilmiah]. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Supariasa IDN, Bakri B & Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta [ID]: Buku Kedokteran EGC.
32 [WHO] World Health Organization. 2004. Mean Body Mass Index (BMI). http://www.who.int [WHO] World Health Organization. 2007. Growth reference 5-19 years. http://www.who.int/growthref/who2007_bmi_for_age/en/index.html.[ 14 Juli 2013]. [WNPG] Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. 2004. Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. 17-19 Desember 2004. Hal 21. WHO. Adolescent nutrition: a neglected dimension. WHO. 2003 (Available at: http://www.who.int/nut/ado.htm. 28 September 2013). Yuliansyah D. 2007. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Remaja Putri di Sekolah Menengah Umum Negeri Toho Kabupaten Pontianak. Skripsi. Yogyakarta: Progran Studi S1 Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
33 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pematang Sidamanik pada tanggal 16 Mei 1991. Penulis merupan putri kedua dari empat bersaudara pasangan Edison Nainggolan dan Hartati Damanik. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1997-2003 di Sekolah Dasar Negeri 01 Tigaurung dan melanjutkan masa pendidikan di SMP Negeri 1 Sidamanik tahun 2003-2006 serta SMA Negeri 1 Dolok Pardamean tahun 2006-2009. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah satu tahun mengikuti program Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis melanjutkan studi di mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Selama masa perkuliahan penulis aktif dan berpartisipasi dalam kegiatan kamahasiswaan dan kepanitiaan. Penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan internal maupun eksternal di departemen dan fakultas. Penulis aktif sebagai staf kulinari gizi IPB tahun 2011/2012. Pada bulan JuliAgustus 2012 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di Desa Kaligiri, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes dan pada bulan April 2013 penulis mengikuti Internship Dietetik (ID) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ciawi.
33