2
Mengapa Gerakan Demokrasi (Masih) Gagal di Burma? Robertus Robet
4
“Binatang” Apakah Rezim Junta Militer Burma Itu? Ikravany Hilman
6
Kebebasan Kita Untuk Mendukung Kebebasan Burma Daniel Hutagalung
8
Saatnya ASEAN Tegas Hendrik Boli Tobi
no.2 oktober 2007
konstelasi
Analisis Dua Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
“Burma” versus “Myanmar” DANIEL HUTAGALUNG TINDAK kekerasan aparat rezim junta militer Burma terhadap aksi damai yang dimotori para biksu beberapa waktu lalu mengakibatkan jatuhnya puluhan korban jiwa dan ratusan luka-luka. Hal ini mengundang reaksi keras dari dunia internasional, dan disidangkan secara khusus oleh Dewan HAM PBB yang menghasilkan kecaman keras lewat resolusi Dewan HAM PBB. Sekjen PBB kemudian mengirim Ibrahim Gambari sebagai utusan khusus Sekjen PBB untuk melakukan penyelidikan, dan bertemu pemimpin rezim junta militer Jenderal Senior Tan Shwee dan juga tokoh pro-demokrasi Daw Aung San Suu Kyi. Hasil yang akan dilaporkan Gambari yang akan menentukan sikap Dewan Keamanan PBB nantinya. Sejak merdeka tahun 1948, sampai hari ini politik Burma terus bergejolak oleh berbagai kudeta militer. Kudeta terakhir dilakukan tahun 1989, setelah militer Burma mengambil alih kekuasaan dengan tidak mengakui kemenangan partai National League of Democracy (NLD) dalam pemilu dan menyebut diri State Law and Order Restoration Coucil (SLORC). Rezim junta kemudian mengubah nama Burma menjadi Myanmar, dan ibukota Rangoon menjadi Yangoon. Pengubahan nama ini bukan tidak didasarkan pada suatu alasan politis. Bisa jadi ini merupakan upaya rezim junta memendam nilai historis dan makna patriotis yang melekat pada
“Burma”. Di samping itu rezim SLORC pun mengubah namanya menjadi State Peace and Development Council (SPDC) untuk memberikan pemaknaan yang lebih “lembut”. Penyebutan Myanmar ditentang oleh sebagian besar penduduk Burma, bukan karena secara keseluruhan mereka menyetujui Burma sebagai nama negara mereka, melainkan lebih karena Myanmar merupakan representasi dari rezim junta. Nama Burma sendiri sebenarnya lebih merujuk pada etnis Burma yang merupakan etnis mayoritas penduduk Burma. Sejumlah etnis lain, seperti suku Karen, juga mendefinisikan mereka sebagai “bukan Burma”, dan mengobarkan perlawanan untuk memisahkan diri dari negara Burma, sekaligus juga menolak Myanmar. Myanmar dan Burma telah terbentuk menjadi identitas politik. Burma menjadi identitas bagi mereka yang memperjuangkan demokrasi, sedangkan Myanmar merupakan identitas yang mendukung kediktatoran rezim junta. Rezim junta memberlakukan penggunaan nama Myanmar untuk seluruh publikasi resmi, baik yang dikeluarkan oleh negara maupun warga, seperti misalnya surat kabar. Sekalipun secara tidak resmi warga masih merujuk Burma sebagai nama negara. Burma dan Myanmar menjadi identitas politik yang berkontestasi. Bahkan bagi orang-orang yang berada di luar Burma, pemilihan penggunaan nama Myanmar atau Burma menjadi bersifat politis. Burma menjadi penanda dari de-
mokrasi dan kebebasan, di sisi lain Myanmar merupakan penanda bagi otoritarianisme dan kediktatoran. Dalam situasi seperti ini akhirnya kita pun diletakkan dalam posisi untuk merujuk pada Burma ataukah Myanmar. Bagi Aung San Suu Kyi, Myanmar merupakan perwujudan dari the evil, dan menghimbau kalangan pro-demokrasi di manapun berada untuk menggunakan Burma untuk merujuk negerinya. Burma merupakan penanda bagi the good. Jurubicara Gedung Putih Tony Fratto misalnya menyatakan bahwa Washington menolak menggunakan istilah yang digunakan rezim junta karena alasan intensional. Fratto menyatakan penolakan Washington lebih disebabkan karena “we choose not to use the language of a totalitarian dictatorial regime that oppresses its people.” Dalam situs US State Department dinyatakan, “Due to consistent support for the democratically elected leaders, the US government likewise uses Burma.” Banyak juga yang tidak terlalu mengindahkan pemakaian dua nama tersebut. Mark Farmener (Burma Campaign UK) menyatakan bahwa penggunaan nama Burma atau Myanmar bukanlah suatu hal yang penting, “Who cares what people call the country? It’s the human rights abuses that matter,” lanjutnya. Namun, Burma dan Myanmar telah menjadi identitas politik, baik di Burma maupun di luar Burma. Burma sudah menjadi penanda referensial bagi demokrasi dan kebebasan, dan karena itulah redaksi Konstelasi menggunakan Burma untuk merujuk pada nama negeri itu
www.p2d.org — konstelasi
1
analisis Mengapa Gerakan Demokrasi ROBERTUS ROBET
SETELAH SEMPAT memunculkan harapan perubahan, protes damai para biksu di Burma akhirnya ditumpas dan surut. Untuk kesekian kalinya gerakan demokrasi di Burma tertunda. Kecaman setengah hati sejumlah negara barat dan kesibukan diplomatis yang sempat dimunculkannya perlahan-lahan mereda. Mengapa gerakan demokrasi masih terus gagal di Burma? Sebelum ini, pada tahun 1988 dunia juga sempat mengira akan terjadi perubahan di Burma. Jutaan rakyat bergerak turun ke jalan meminta Jenderal Ne Win yang dulu naik dengan kudeta militer, mundur dan mengakhiri era kediktatoran militer. Namun demikian dunia terperangah ketika pada akhirnya, demonstrasi itu ditumpas keras dan ribuan orang menjadi korban. Setelah penumpasan tahun 1988, junta militer makin kuat. Kekuasaan uang dan senjata berada sepenuhnya di tangan mereka. Mereka mendapat dukungan dari mancanegara terutama Cina serta negara-negara ASEAN. Indonesia di era Orde Baru memberikan fasilitas pendidikan militer bagi perwira-perwira rezim junta, sementara Bank Singapore menikmati dan memfasilitasi dana simpanan para Jenderal. Selain itu perusahaan-perusahaan Barat seperti AMOCO, UNOCAL (sekarang diakuisisi Chevron), BHP, dan SHELL beroperasi dengan menikmati kemudahan kompensasi dari rezim junta. Sebagian kalangan mensinyalir, junta militer Burma juga terlibat dalam perdagangan opium untuk membiayai operasi-operasi teritorial mereka. Sebenarnya setelah pembantaian tahun 1988, melalui Pemilu parlemen tahun 1990 harapan demokrasi sebenarnya sempat mekar lagi di Burma. National League of Democracy (NLD),
2
konstelasi — www.p2d.org
Baliho raksasa peringatan Hari Angkatan Bersenjata. (Sumber: AP)
partai di mana Suu Kyi menjabat sebagai Sekjen, memenangkan 392 kursi dari 492 kursi parlemen. Namun demikian junta militer (waktu itu masih menggunakan nama SLORC, belum SPDC) menganulir secara sepihak dan membatalkan hasil pemiliu. NLD kemudian direpresi, banyak pimpinannya kemudian ditahan. Suu Kyi sendiri setelah sempat selamat, masuk kembali ke Burma untuk kemudian di tahan dalam penyergapan di perjalanan mengunjungi pendukungnya tahun 1996. Pada masa itu, kecaman dari negara-negara Barat juga tidak kurang derasnya ke rezim junta, namun rezim junta bergeming dan dengan segera kritik juga senyap. Setidaknya hingga sepuluh tahun hingga tahun 2007 ini, protes yang
relatif kuat muncul lagi di Burma, meski kemudian tetap gagal lagi. Sebelum menjadi SPDC, junta militer Burma membentuk semacam rezim yang bernama SLORC. SLORC dibentuk dengan ide yang dipelajari dari pemerintahan Orde Baru terutama dari era Kopkamtib (Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban). Perubahan SLORC ke SPDC sedikit banyak dipicu oleh perubahan dan pergolakan politik pasca 1988. Salah satu akibat dari pergolakan itu adalah melemahnya kekuasaan Jenderal Ne Win di dalam rezim junta. Pada masa itu, di bawah Ne Win terdapat segitiga jenderal yang saling bersaing untuk mengganti Ne Win, yakni Than Swe, Khin Nyut, dan
(Masih) Gagal di Burma ?
Maung Aye. Semula Ne Win menghendaki Khin Nyut sebagai penerus kekuasaannya, namun demikian rencana ini gagal. Pada tahun 2002 tentara menangkap anak perempuan Ne Win (Sandar) dan menghukum mati menantu lelakinya atas tuduhan kudeta. Tak lama setelah itu, New Win meninggal secara kontroversial. Khin Nyut yang kehilangan mentor, setelah melalui liku-liku pergolakan internal militer malah ditangkap oleh intelijen militer yang diperintah oleh Maung Aye atas provokasi Than Swe. Setelah itu, Khin Nyut hilang dari percaturan politik militer Burma dan Ne Win digantikan oleh Than Swe. Setelah Khin Nyunt hilang dari peredaran, persaingan bersandar pada Maung Aye dan Than Swe. Keduanya
menjabat sebagai Jenderal Susunan SPDC Senior dalam rezim. (Jenderal Senior setingkat dengan Ketua : Than Shwe pangkat Jenderal Bintang Wakil Ketua : Maung Aye Lima). Perdana Menteri : Soe Win Persaingan yang paling (baru saja meninggal) tajam terjadi dalam penemMenteri Pertahanan : Than Shwe patan pengikut-pengikut Menteri Luar Negeri : Nyan Win loyal kedua jenderal dalam Menteri Dalam Negeri : Maung Oo tubuh militer dan pemerintahan. Dalam keadaan normal rotasi para jenderal berlangsung setiap militer. Dengan demikian turun-naik 3 atau 4 tahun sekali yakni dalam dinamika politik Burma betul-betul forum Regional Commanders Meeting. sangat ditentukan oleh gejolak dan Dalam keadaan normal Komando dinamika di dalam tubuh militer. Divisi dipromosikan menjadi Ko- Bedanya dengan Orde Baru adalah mando Regional, dan bagi mereka bahwa rezim junta tidak memiliki yang tidak masuk Regional Koman- ketergantungan yang demikian hebat do akan dilempar ke Kabinet atau dengan komunitas internasional dan Sub Kabinet. Setelah hilangnya Khin lembaga-lembaga keuangan dunia. Nyunt, terjadi perubahan dalam kabi- Karena itu di Burma tidak pernah ada net dan struktur Komando Regional, krisis legitimasi akibat krisis ekonomi yang hingga saat ini masih belum ter- dan kredibilitas internasional. Dengan konsolidir di tangan Than Swe. demikian rezim junta boleh dibilang Sampai di sini, peluang untuk meng- adalah state qua state.Tidak ada otonomi relatif di dalamnya sebagaimana di ganggu Junta masih terbuka. Di titik ini, gerakan para biksu negara-negara pasca kolonial sejenis belakangan ini sebenarnya memiliki Indonesia atau Amerika Latin. Depotensi baru dalam perubahan Bur- ngan ini, rezim junta bisa terus mema yakni menguatnya faktor krisis lenggang dalam kekuasaan. Satu-satuekonomi yang bisa dipakai untuk nya faktor yang bisa menggoyahkan menggerus legitimasi rezim junta dirinya adalah pergolakan dari dalam terus-menerus secara simultan. tubuh rezim junta sendiri. Dari sini kita tahu bahwa faktor Negara-negara Barat berharap bahwa perubahan politik di Burma memang tekanan biksu akan memprovokasi masih sepenuhnya ada di tangan gerakan yang lebih besar dari dalam rezim junta. Artinya derakan demodan memporak-porandakan legitikrasi nampaknya tidak akan pernah masi kekuatan rezim junta serta bisa sendirian menghadapi rezim mengubah posisi Cina terhadap rezim junta. Rakyat Burma sendiri namjunta. Baru dari situ tekanan internapaknya lebih banyak memilih mesional yang lebih kuat akan dipakai. nyingkir ke luar melalui jalur pengBarat bermaksud menunggu “di ujung” jalan demokrasi. Sayangnya, ungsian ketimbang terus teraniaya belum sampai “di ujung”, protes itu tanpa perlawanan. Di sini, perubahan hanya mungkin apabila ada intervenkeburu pupus di tangan aparat junta. Rezim junta dalam beberapa hal si yang sangat kuat dari dunia interprinsipil sebenarnya mirip dengan era nasional secara langsung. Di titik ini, kepemimpinan Soeharto. Di dalam klaim membentuk rezim demokratis pemerintahan junta militer, struktur sebagaimana dihembuskan Presiden utama dan organisasi pengendali selu- Bush sebenarnya lebih tepat ditujuruh kehidupan masyarakat adalah kan ke Burma ketimbang ke Irak www.p2d.org — konstelasi
3
analisis “Binatang” Apakah Rezim Junta IKRAVANY HILMAN
“JUNTA” berasal dari bahasa Spanyol yang berarti “Komite” atau “Dewan Pimpinan”. Junta selalu mengacu kepada kepemimpinan bersama dari beberapa orang (biasanya mewakili satu institusi tertentu). Dalam sejarah politik, pembentukan kepemimpinan politik dengan bentuk junta pertama kali dibentuk di Chili, 18 September 1810, yang dikenal dengan Government Junta of the Kingdom of Chile. Pemerintahan junta ini dibentuk untuk memerintah Chili sebagai koloni Spanyol karena adanya kekosongan kekuasaan akibat dipenjarakannya Raja Ferdinand VII oleh Napoleon Bonaparte. Mateo de Toro y Zambrano, yang merupakan Royal Governor mewakili kekuasaan kerajaan Spanyol di Chili, didesak untuk melakukan kompromi dengan para elit politik untuk membentuk satu pemerintahan baru yang berdiri sendiri dari Kerajaan. Hasil akhir dari kompromi ini adalah pembentukan Pemerintahan Junta yang pertama. Junta militer lahir ketika pengambilalihan kekuasaan (coup d’etat) kerap terjadi di Amerika Latin pada abad berikutnya, di mana ketika hal ini dilakukan oleh militer, biasanya sistem pemerintahan junta militer hampir pasti dibentuk. Beberapa negara Amerika Latin yang pernah menerapkan junta militer adalah Brazil (1969), Chili (1924 & 1973), Argentina (1976-1983). Pemerintahan junta militer selalui ditandai dengan penggunaan kekerasan pada wilayah politik. Chili pada masa junta militer pimpinan Jendral Pinochet dan Argentina pada pada masa Jendral Galtieri merupakan contoh untuk penggunaan kekerasan yang luar biasa. Pada masa inilah puluhan ribu orang dihilangkan secara paksa (involuntary disappearance), dibunuh, dan dipenjarakan secara sewenang-we-
4
konstelasi — www.p2d.org
Jenderal Than Shwe, pemimpin Junta Militer Burma. (Sumber: AP)
nang. Kekerasan dilakukan dengan tujuan untuk membersihkan lawan politik, membungkan kritisisme dan inisiatif politik, yang pada akhirnya adalah untuk melindungi kekuasaan. Kekacauan politik, sosial dan ekonomi sering menjadi latar belakang kudeta militer. Atas dasar kekacauan/krisis tersebut negara diperlakukan dalam “situasi pengecualian” (state of exception). Di mana konstitusi dapat dibekukan sebagian atau seluruhnya. Dengan sendirinya lembagalembaga politik demokratis tidak da-
pat bekerja. Semua berjalan dalam logika krisis atau situasi darurat (Lihat: Giorgio Agamben, State of Exception, 2005, hlm. 2-6,) Pembekuan konstitusi dan lembaga-lembaga demokratis dimaksudkan untuk memudahkan negara dalam mengatasi krisis dan memaksa semua untuk kembali ke situasi “normal”. Demi normalisasi keadaan ini, pemberangusan setiap oposisi menjadi sah. Karena militer yang menguasai dan monopoli alat pemaksa (senjata) maka ia menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki
Militer Burma Itu? Kekacauan politik, sosial dan ekonomi sering menjadi latar belakang kudeta militer. Atas dasar krisis tersebut negara diperlakukan dalam “situasi pengecualian” (state of exception). Di mana konstitusi dapat dibekukan sebagian atau seluruhnya. Dengan sendirinya lembaga-lembaga politik demokratis tidak dapat bekerja.
keleluasaan untuk bergerak. Maka tidak heran jika militer menjadi pihak yang merasa paling “nyaman” dalam situasi state of exception. Pengalaman junta militer di manapun, selalu memanfaatkan dan terus mereproduksi state of exception. Dengan berbagai cara masyarakat dipaksa untuk menerima hidup dalam situasi darurat. Hanya dengan demikian kehadiran militer dalam kehidupan politik dapat diterima. Sementara itu penataan ulang lembaga-lembaga politik, agar sesuai dengan situasi
darurat, dapat berarti pembekuan demokrasi dan pelarangan segala bentuk oposisi dengan kekerasan jika diperlukan. State of exception di tangan junta militer akan menjadi tragedi bagi kebebasan dan demokrasi karena alih-alih menormalkan situasi, junta militer lebih suka mengekalkan keadaan darurat selama mungkin. Keadaan darurat sepertinya menjadi tujuan pemerintahan demi mempertahankan kediktatoran. Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa junta yang pada awalnya me-
rupakan bentuk pemerintahan yang berusaha mengakomodir berbagai kepentingan dalam satu pemerintahan bersama (Chili, 1801), di tangan militer menjadi satu konspirasi kediktatoran. LEBIH JAUH TENTANG JUNTA MILITER BURMA Militer Burma lahir dari hasil gerakan pembebasan nasional atas penjajahan Inggris. Burma Independence Army (BIA) pimpinan Jendral Aung San (ayah Aung San Suu Kyi) adalah cikal bakal militer Burma. Berapapun besarnya kontribusi BIA dalam kemerdekaan Burma telah memadai bagi pembentukan gagasan bahwa tentara lah yang membebaskan Burma dari penjajahan (ICG, Asia Report No. 28, 7 Desember 2007) Pasca perang dunia ke II, Burma menjadi negara merdeka yang penuh dengan konflik etnis yang diperparah dengan keterlibatan paramiliter bersenjata. Pengalaman melawan Inggris dan Jepang, juga ancaman dari Cina dan Amerika setelah para pendukung Kuomintang lari ke perbatasan Burma, membuat militer sangat berhatihati terhadap dunia luar (A&S Perspective, Summer 2002). Pemberontakan bersenjata telah menjadikan militer Burma tumbuh menjadi kekuatan yang memainkan peranan penting. Sedangkan pengalaman perjuangan kemerdekaan dan berhadapan dengan ancaman dari luar telah membangun ideologi nasionalisetnosentris (ICG, Asia Report, 2007). Persoalan politik yang tak kunjung selesai dimanfaatkan oleh Jenderal Ne Win, panglima angkatan bersenjata pada saat itu, mengambil alih kekuasaan pada tahun 19581960. Pada tahun 1962 Jenderal Ne Win kembali melakukan kudeta dan
bersambung ke hlm. 12
www.p2d.org — konstelasi
5
analisis Kebebasan Kita Untuk Mendukung DANIEL HUTAGALUNG KRISIS yang terjadi di Burma menempatkan ASEAN, dalam hal ini khususnya Indonesia, pada posisi sulit: mengutuk atau diam seperti tak pernah terjadi sesuatu apapun. Mengapa bisa ada posisi ini? Posisi diam bisa diambil jika mengacu pada piagam ASEAN mengenai prinsip sovereignty (kedaulatan) dan non-interference atau neutrality (netralitas). Prinsip sovereignty merujuk pada penghormatan atas kedaulatan masing-masing negara anggota, sehingga apapun yang terjadi setiap negara anggota tidak dibolehkan ikut campur tangan, termasuk jika ada tekanan dari luar ASEAN. Posisi mengutuk bisa diambil jika merujuk pada prinsip dan nilai-nilai demokrasi dan HAM. Untuk Indonesia, posisi sulit ini seharusnya bisa dilampaui, karena semenjak kejatuhan Orde Baru, nilai demokrasi, HAM dan kebebasan, sudah disepakati sebagai nilai dasar bangsa Indonesia. Artinya, piagam ASEAN yang dianggap “membelenggu” penerapan nilai dan prinsip tersebut seharusnya dikaji ulang, karena sudah tidak mampu lagi menopang nilai-nilai yang sudah disepakati bangsa Indonesia. Jadi mengukur kedaulatan semata-mata sebagai sesuatu yang berada di atas nilai demokrasi, HAM dan kebebasan merupakan suatu yang usang. Penting untuk merujuk piagam ASEAN yang dideklarasikan oleh lima negara yang masa itu para pemimpinnya sebagian besar dikenal sebagai para diktator di antaranya: Jenderal Soeharto (Indonesia), Ferdinand Marcos (Filipina), Jenderal Besar Thanom Kittikachorn (Thailand),Tunku Abdul Rahman (Malaysia) dan Yusof Ishak (Singapura). Di sini bisa kita refleksikan bahwa piagam ASEAN yang dibuat oleh para pemimpin-pemimpin
6
konstelasi — www.p2d.org
Sumber: Kuwait Times.
diktator tentu bukan suatu nilai “suci” yang tidak bisa dikaji ulang atau selamanya dirujuk, bahkan saat sejumlah negara-negara anggotanya sudah menanggalkan otoritarianisme. Di titik ini perlu kiranya dipertanyakan kembali, pantaskah suatu piagam produk rezim-rezim otoriter dikenakan oleh pemerintahan demokratis? Sampai di sini menjadi jelas bahwa pemerintah Indonesia harus mengambil sikap yang dilandaskan pada kedaulatan yang ditegakkan atas dasar nilai demokrasi dan prinsip HAM, bukan semangat otoritarianisme. Untuk itu pidato Marty Natale-
gawa, Permanent Representative Republik Indonesia untuk PBB pada pertemuan Dewan Keamanan PBB (DK PBB) di New York pada 5 Oktober 2007 patut untuk di perhatikan. Dalam pidatonya yang berjudul “Myanmar Government Puts ASEAN Charter at Risk” (Jakarta Post 9/10/2007), Marty menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia mengajukan dua usulan: 1. We called upon Myanmar to desist from the use of force, and to seek political resolution;
Kebebasan Burma 2. We urged the authorities to resume national reconciliation with all parties, working towards peaceful transition to democracy, and to release all political detainees, including Daw Aung San Suu Kyi. Dua usulan tersebut didasarkan pada potensi bahwa tindakan rezim junta militer di Burma akan membahayakan Piagam ASEAN, di mana: “The situation in Myanmar is at stark variance with the common path that countries within ASEAN, including Myanmar, are currently embarking — namely the vision of an ASEAN Community, bound together by shared values that include democracy and respect for human rights and fundamental freedoms. We are currently working on the ASEAN Charter, as the legal instrument of the organization, on the basis of these shared values.” Artinya pemerintah Indonesia sudah mengambil posisi bahwa Piagam ASEAN harus diletakkan atas dasar demokrasi, HAM dan kebebasan dasar sebagai nilai bersama (shared values). Sampai di sini, dalam hal menyikapi apa yang terjadi di Burma, sudah barang tentu pemerintah Indonesia harus mengambil suatu sikap mendukung kebebasan dan demokrasi di Burma, sebagaimana kita menerapkannya di Indonesia. Kebebasan yang kita miliki dan jalankan, harus kita jadikan dasar untuk mendukung kebebasan dan demokrasi di Burma. Sikap tegas dalam memberikan dukungan kepada kebebasan dan demokrasi sudah dipancangkan dalam Pembukaan UUD 1945 untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Jika merujuk pada dua usulan
Kebebasan yang kita miliki harus kita jadikan dasar untuk mendukung kebebasan dan demokrasi di Burma. Sikap tegas dalam mendukung kebebasan dan demokrasi sudah dipancangkan dalam Pembukaan UUD 1945 pemerintah Indonesia pada pertemuan DK PBB, yakni penghentian penggunaan kekerasan dan penyelesaian melalui resolusi politik serta rekonsiliasi nasional yang melibatkan seluruh pihak di Burma, mengupayakan transisi menuju demokrasi, serta melepaskan seluruh tahanan politik termasuk Aung San Suu Kyi, maka tindak lanjut jika usulan tersebut tidak dilakukan rezim junta militer Burma harus juga diambil. Sikap mengutuk rejim junta militer Burma bisa dikatakan sebagai sikap paling moderat. Sikap yang lebih terhormat adalah jika pemerintah Indonesia mengusulkan peninjauan ulang terhadap keanggotan Burma di ASEAN atas dasar nilai demokrasi, HAM dan kebebasan yang diabaikan oleh rezim junta militer Burma. Indonesia harus menjadi bagian dari tekanan internasional terhadap rezim junta militer Burma dengan tujuan untuk mendorong demokrasi di Myanmar. Hal ini juga yang didorong oleh sejumlah anggota DPR-RI yang membentuk Kaukus Parlemen
Indonesia untuk Myanmar yang dalam siaran persnya menyebutkan “Pemerintah Indonesia harus ikut proaktif dalam mendorong proses demokratisasi di Myanmar” (Suara Pembaruan 28/9/2007). Sebagai negara yang sedang bergerak menuju demokratisasi, Indonesia memiliki tanggung jawab politik untuk juga mendorong terjadinya demokratisasi di negara-negara ASEAN dan juga negara-negara lainnya di dunia. Dengan tetap menghormati kedaulatan suatu negara, nilainilai demokrasi, HAM dan kebebasan harus dilekatkan bersama prinsip kedaulatan
P2D konstelasi diterbitkan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Redaksi Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Elisabet R. Kuswijayanti Fajrimei A. Gofar Hendrik A. Boli Tobi Ikravany Hilman Isfahani Otto Pratama Rachland Nashidik Robby Kurniawan Robertus Robet Santi Nuri
Alamat Redaksi Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 http://www.p2d.org E-mail:
[email protected]
www.p2d.org — konstelasi
7
analisis Saatnya ASEAN Tegas HENDRIK A. BOLI TOBI “Burma under SLORC is not going to be any credit to ASEAN” — Aung San Suu Kyi
DALAM kunjungan ke sejumlah negara ASEAN termasuk Indonesia, utusan khusus PBB Ibrahim Gambari meminta negara-negara ASEAN untuk terlibat lebih aktif dalam menyelesaikan kekerasan dan kemelut politik di Burma. Gambari meyakini bahwa ASEAN sebagai organisasi regional bisa membantu penyelesaian kekerasan politik di Burma. Permintaan terhadap peran ASEAN sesungguhnya bukanlah hal baru. Jauh sebelum Burma diterima sebagai anggota ASEAN, pada 1991 pihak Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Kanada dan Selandia Baru telah meminta ASEAN untuk bersikap keras terhadap Burma. Setelah menjadi anggota ASEAN, persoalan Burma terus menjadi problem besar dalam politik regional, khususnya gugatan pihak barat terhadap prinsip tidak campur tangan (non-interference) ASEAN. Prinsip non-interference yang banyak digugat sebenarnya muncul dalam konteks politik yang khas, yaitu konteks post-colonial dan perang dingin. Sebagian besar anggota ASEAN adalah bekas negara jajahan, yang tentunya memegang teguh prinsip kedaulatan sebagai negara merdeka lepas dari penguasaan atau campur tangan negara lain. Konteks yang lain adalah pengalaman negara-negara di Asia Tenggara dalam bayang-bayang perang dingin di kawasan ini (beberapa negara terlibat langsung seperti Vietnam dan Filipina). Menurut Amitav Acharya dalam bukunya Constructing A Security
8
konstelasi — www.p2d.org
Sumber: New Era Journal No. 2
Community in Southeast Asia (2001), prinsip non-interference secara operasional terdiri dari empat aspek yaitu: Pertama, menahan diri untuk tidak mengkritik tindakan negara anggota terhadap rakyatnya sendiri. Kedua, mengecam negara anggota yang melanggar prinsip non-intervensi. Ketiga, menolak untuk mengakui, memberi perlindungan atau bentuk dukungan lainnya kepada kelompok pemberontak yang berusaha untuk mengacaukan atau menjatuhkan pemerintahan dari suatu negara anggota. Keempat, memberikan dukungan politik dan bantuan material untuk negara anggota dalam kampanyenya melawan kegiatan yang subversif. Tidak adanya kecaman terhadap pembunuhan massal Pol Pot di Kamboja, menolak mengecam rezim Marcos di Filipina, serta pembelaan atas Indonesia dalam tragedi Santa Cruz di Timor Timur tahun 1991, adalah sejumlah contoh bekerjanya prinsip non-interference. Selama puluhan tahun prinsip non-interference menjadi acuan utama dalam hubungan kenegaraan di Asia Tenggara. Terjadinya perubahan di tingkat
global maupun dinamika politik internal (khususnya masalah Kamboja dan Burma) di kawasan Asia Tenggara, telah mengubah cara pandang atas penyelesaian persoalan di kawasan ini. Sejumlah pimpinan negara ASEAN seperti Anwar Ibrahim (Deputi PM Malaysia), Surin Pitsuwan (Menlu Thailand), dan Domingo Siazon (Menlu Filipina), mulai mencari prinsip yang lebih dinamis dari prinsip non-interference yang dianggap sangat kaku dan pasif. Prinsip baru ini dikenal sebagai constructive engagement (keterlibatan yang konstruktif). Dalam prinsip ini, negara-negara ASEAN akan bersikap proaktif untuk membantu suatu negara anggota yang punya problem politik yang berat, tetapi dengan catatan tidak melanggar prinsip kedaulatan. Bantuan itu berupa bantuan ekonomi maupun politik demokrasi. Dalam kasus Burma, negaranegara ASEAN menggunakan constructive engagement untuk mendorong proses demokratisasi di Burma. Pendekatan ini dipertentangkan dengan tindakan konfrontasi atau sanksi seperti yang diinginkan oleh pihak Barat
(lihat Chongkittavorn,“The Evolution of Constructive Engagement” dalam Ralph Bachoe & Debbie Stothard (Eds), 1997). Constructive Engagement dipilih sebagai cara ASEAN (ASEAN ways) yang berbeda dengan cara Barat dalam menyelesaikan persoalan politik regional. Demokratisasi Burma yang diharapkan menjadi buah dari pendekatan costructive engagement, ternyata tidak membawa hasil yang menggembirakan.Yang terjadi justru sebaliknya, rezim junta (Tatmadaw) makin leluasa melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyatnya tanpa khawatir dengan tekanan dari negara-negara tetangganya. Karena itu Aung San Suu Kyi menggugat prinsip constructive engagement dengan menyatakan: “The question is for whom has it been constructive? Was it constructive for the forces of democracy? Was it constructive for the Burmese people in general? Was it constructive for a limited business community? Or was it constructive for SLORC?” Sementara itu, optimisme ASEAN akan adanya perubahan yang lebih baik di Burma seiring dengan penerapan prinsip constructive engagement mulai memudar. Sejak 2003, sejumlah pemerintah negara ASEAN mulai frustasi dan kemudian secara eksplisit mereka meminta rezim junta militer Burma membebaskan Aung San Suu Kyi dan mengambil langkah yang tegas menuju demokrasi. Kaukus AntarParlemen ASEAN dengan tegas menuntut dikeluarkannya Burma dari ASEAN, kecuali rezim junta setuju untuk membebaskan seluruh tahanan politik dan memberikan kebebasan dan hak buat rakyat Burma (lihat South-East Asian Affairs 2007). Perkembangan terkini di Burma menunjukkan bahwa prinsip constructive engagement belum bisa menjadi sarana yang ampuh untuk menyelesaikan persoalan politik di Burma dan ASEAN secara keseluruhan. Acharya menyimpulkan bahwa ASEAN tidak punya keinginan untuk menciptakan ASEAN sebagai “komunitas keamanan
yang demokratis”. Prinsip tidak ikut campur tangan dan otonomi regional masih menjadi acuan utama ASEAN, dibanding menciptakan citra internasional yang positif dan mempromosikan HAM dan demokrasi (Acharya, 2001: 114). Sesungguhnya, kritik harus lebih ditujukan kepada asas kedaulatan yang selama ini menjadi dasar dari prinsip non-interference dan constructive engagement. Sejak Pakta Damai Wesphalia tahun 1648, kedaulatan menjadi dasar hubungan antar negara. Sebagaimana dinyatakan oleh F. H. Hinsley, kedaulatan adalah otoritas yang final dan absolut dalam komunitas politik. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa sejarah konsep kedaulatan sangat berkaitan dengan sifat, asal dan sejarah dari negara. Menurut Kurt Mils dalam Human Rights in the Emerging Global Order (1998) konsep kedaulatan telanjur menjadi suatu metanaratif atau diskursus yang total. Maksudnya adalah kedaulatan dianggap sebagai sesuatu entitas yang alami dan final. Kita selama ini diyakinkan bahwa setiap negara memang punya hak yang tak dapat diganggu gugat oleh pihak lain dalam mengatur pemerintahannya sendiri berdasar pada kedaulatan yang dimilikinya. Tepat di titik itulah, Mills menggugat pendasaran kedaulatan dalam hubungan antar negara. Menurut Mills, konsep negara, politik atau kedaulatan sesungguhnya adalah konstruksi sosial. Konsep-konsep tersebut sesungguhnya tidak final tetapi contigent (tidak berkesudahan), dengan itu tidak bisa setiap negara membenarkan tindakannya dan menolak campur tangan pihak lain atas dasar kedaulatan. Mills mengajukan suatu konsep kedaulatan baru (new sovereignty), yang didasarkan pada konteks sosial yang terus berubah atau contigent seperti masalah lingkungan, HAM, pengungsian, dan globalisasi ekonomi dan informasi. Bagi Mills, konsep kedaulatan yang lama tidak realistis lagi mengingat problem yang dihadapi suatu negara ternyata berdampak pada negara lain, misalnya gejolak politik di suatu negara bisa menimbulkan ge-
lombang pengungsian ke negara lain. Karena itu Mills menawarkan konsep kedaulatan yang baru yang mengedepankan saling ketergantungan dan memberi ruang bagi pihak lain untuk masuk dan mengintervensi urusan domestik suatu negara dengan pertimbangan kemanusiaan. Dalam konteks Burma dan ASEAN, sikap keras rezim militer yang menolak intervensi pihak lain dan ketidakberdayaan prinsip constructive engagement harus dikritik dengan menggunakan paradigma kedaulatan yang baru. Rezim militer tidak bisa lagi bertahan dengan prinsip kedaulatan negaranya sedangkan keengganan ASEAN untuk lebih jauh terlibat dalam mendorong demokratisasi Burma hanya karena menghormati kedaulatan negara Burma sudah harus ditinggalkan. Saatnya bagi semua pihak termasuk ASEAN untuk memikirkan prinsip baru yang menghormati kedaulatan rakyat Burma yang terus ditindas oleh pemerintahannya sendiri. Dalam kasus Burma, yang berdaulat bukan hanya negaranya (rezim militer) tetapi juga rakyat yang mendamba keadilan bagi hidupnya. Dengan begitu kita patut mendengarkan seruan Suu Kyi: “If ASEAN is truly interested in constructive engagement, it should try to engage with both sides in Burma, with the (regime) as well as the democratic opposition.” ASEAN telah terlambat menyadari penderitaan rakyat Kamboja selama rezim Pol Pot, rakyat Filipina selama rezim Marcos dan rakyat Timor Timur selama rezim Orde Baru. Hal itu tidak boleh terjadi lagi mengingat penderitaan rakyat Burma terus berjalan. ASEAN harus mengambil tindakan yang lebih tegas untuk masuk dan mengintervensi masalah di Burma atas dasar kemanusiaan, tanpa merasa takut dituduh melanggar prinsip kedaulatan. Sesungguhnya yang ingin dibela adalah kedaulatan rakyat Burma. Dengan prinsip ini, permintaan Gambari atas peran ASEAN mendapat ruh kekuataannya
www.p2d.org — konstelasi
9
opini Rezim Militer dan Ilusi Kaum RONNY AGUSTINUS REZIM DIKTATOR mana saja acapkali hidup dalam khayalan-khayalannya sendiri. Namun di Burma, khayalan itu telah dilambungkan sampai ke tingkat di mana korelasinya dengan realitas dan akal sehat benarbenar tak terjembatani. Bulan Februari 2006, Menteri Perencanaan Nasional dan Pembangunan Ekonomi Burma melansir data pertumbuhan ekonomi Burma sebesar 12 persen tahun 2004 dan 12,2 persen tahun 2005. Sungguh luar biasa! Bila ini benar, berarti Burma lah negara dengan pertumbuhan ekonomi terpesat sedunia dalam dua tahun itu, mengalahkan negara-negara maju manapun serta mematahkan logika dan seluruh bangunan teori ekonomi. Khayalan ini sesungguhnya turut ditopang oleh asumsi ekonomi lain yang tak kurang melesetnya, bahwa tercakupnya suatu negara ke dalam pasar bebas dunia bisa mendatangkan demokrasi bagi negara itu. Junta Militer Burma sendiri sesungguhnya merupakan buah dari asumsi ini, yang digencarkan lewat tekanan dunia internasional setelah perjuangan demokratis rakyat Burma diberangus tahun 1988. Junta memutuskan untuk menanggalkan kebijakan sosialisme tertutup dari masa pemerintahan Jenderal Ne Win dan beralih menerapkan kebijakan ekonomi “pintu terbuka” untuk menarik datangnya modal asing dan mengubah sistem perekonomian Burma menjadi perekonomian pasar. Dunia menyambut baik keterbukaan ekonomi ini sebagai langkah awal sistematis Burma menuju keterbukaan politik. Nyatanya tidak demikian. Katherine Barbieri menyebut asumsi ini tak lebih dari “ilusi liberal”. Dalam bukunya yang menarik meski sangat teknis
10
konstelasi — www.p2d.org
PERTUMBUHAN EKONOMI BURMA (%) Versi junta
Perkiraan
militer
sebenarnya (hitungan The Economist)
2001
11,3
5,3
2002
10,0
5,3
2003
10,6
-2,0
2004
12,0
-2,7
2005
12,2
2,9
dan penuh rumus, The Liberal Illusion: Does Trade Promote Peace? (2002), Barbieri menulis, “Banyak kaum liberal berpendapat bahwa perdagangan bisa dan harus dipakai sebagai pengganti strategi militer dalam kebijakan luar negeri.Termasuk di dalamnya penerapan kebijakan ‘keterlibatan konstruktif’ dalam upaya mengubah perilaku yang tak dikehendaki suatu negara lain, termasuk agresi dalam dan luar negeri dari negara sasaran. Di sini kaum liberal bersikukuh, dan banyak yang meyakini, bahwa perdagangan mampu mengubah rezim-rezim otoritarian paling penindas menjadi masyarakat demokratis yang cinta damai.”(hlm. 2) Toh ilusi tinggal ilusi. Peralihan mendadak dari rezim tertutup menjadi pasar terbuka tanpa dibarengi penguatan tatanan demokratis dan masyarakat sipil di dalam negeri justru melahirkan perselingkuhan antara petinggi-petinggi militer dengan dunia bisnis internasional. Memang, investasi asing mengalir masuk, tapi terbatas pada sektor minyak dan gas alam yang sangat sentralistis sehingga sulit diminta akuntabilitasnya. Burma pun mengalami masa-masa kejayaan “boom minyak” sebagaimana Indo-
nesia tahun 1970-an. Tapi ada bedanya. Bila “boom minyak” Indonesia punya andil langsung maupun tak langsung dalam mengembangkan industri manufaktur serta sektor jasa, dan dengan demikian turut membentuk kelas menengah Indonesia, di Burma proses pembentukan kelas menengah ini tidak terjadi. Uang hasil minyak dan gas alam benar-benar mengucur masuk ke kantung petinggi-petinggi militer dan tidak dipakai untuk mengembangkan industri lainnya. Investasi di Burma harus dilaksanakan dalam bentuk joint venture dengan usaha-usaha milik Departemen Pertahanan. Sejak membuka pintu bagi investasi asing, personel militer di Burma melesat dari 180.000 ke 400.000 orang, dan membuat militer Burma tergolong kesatuan tentara terbesar di Asia yang anggaran belanja militernya memakan sekitar sepertiga sampai separuh anggaran negara. Junta membeli 10 pesawat tempur MIG dari Rusia dengan uang hasil pembelian minyak oleh Thailand dari ladang-ladang di Teluk Martaban yang dioperasikan oleh perusahaan minyak Total dan Unocal (yang nantinya diakuisisi oleh Chevron). Kehidupan rakyat banyak sama sekali tidak membaik oleh ekspansi sektor minyak dan gas alam ini, yang bisa kita lihat jelas perbandingannya dengan Indonesia dari indikator-indikator kemiskinannya. Satu contohnya: tahun 1950-an angka kematian bayi di Indonesia jauh lebih tinggi dari Burma, yakni 201 banding 178. Namun pada tahun 2000, saat angka kematian bayi di Indonesia turun ke angka 40, Burma masih di angka 87 (data PBB tahun 2000). Junta juga mengabaikan realitas bahwa hampir 70 persen rakyat Burma masih menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Bila aliran modal asing ke sektor minyak dan gas
Liberal
Aktivis Inggris menyegel pom bensin perusahaan minyak TOTAL yang banyak berinvestasi di Burma. Sumber: Indymedia UK.
alam meningkat dari AS$44 juta (2003) menjadi AS$54,3 juta (2004), aliran modal asing ke sektor pertanian justru anjlok drastis dari AS$26,4 juta ke AS$2,6 juta pada tahun yang sama. Permodalan dalam negeri pun juga tidak tersedia. Kurang dari 3 persen kredit perbankan lokal mengucur ke sektor pertanian, dan akibatnya 80 persen pelaku pertanian tidak mendapat akses kredit. Kondisi ini masih diperparah oleh keputusan-keputusan Junta yang kerap kontroversial dan tak punya dasar logis, seperti misalnya menaikkan harga BBM 8 kali lipat pada 2005, meliberalisasi pasar beras di tengah kesulitan yang menghimpit petani, atau tanpa mengindahkan inflasi yang kian membengkak, terus mencetak uang untuk membiayai belanja militernya. Dalam masyarakat yang terbelah antara militer yang serba-berkuasa dengan rakyat yang serba-sengsara, tanpa adanya kelas menengah yang terbentuk dengan cukup solid, maka sepertinya tidak mengherankan bila akhirnya kaum biksu lah yang mengambil peranan mengangkat suara
ketika ketidaklogisan keputusan Junta sudah tidak bisa ditolerir lagi. Dinaikkannya kembali harga BBM tahun 2007 ini benar-benar membuat rakyat tidak mungkin bisa hidup. Di tengah semua itu, bisnis-bisnis asing yang menjadi mitra Junta terbukti tidak berbuat apa-apa selama kepentingan mereka tidak terusik. Karena itulah Barbieri menyatakan dengan pedas bahwa dalam satu hal ilusi liberal itu memang benar: perdagangan memang bisa mendatangkan damai, tapi bukan dalam arti “mengubah rezim-rezim otoritarian paling penindas menjadi masyarakat demokratis yang cinta damai” melainkan “sikap damai komunitas bisnis disebabkan oleh kepentingan ekonomi mereka. ….bisnis akan menggalang sikap menentang perang (konflik) demi mempertahankan hubungan dagang.” (hlm. 26). Inilah yang jelas-jelas membuat perdagangan tidak bisa dipakai sebagai metode mendorong demokratisasi di Burma, baik melalui membuka hubungan dagang maupun dengan menerapkan sanksi atau embargo perdagangan. Penerapan
embargo terhadap Burma menurut beberapa riset justru telah memperburuk kehidupan rakyat, sementara dampaknya terhadap Junta minim sekali. Dengan embargo AS dan beberapa negara Eropa sekalipun, Junta Militer masih bisa berbisnis dengan Cina, India, atau Thailand. Pemerintahan negara-negara dunia juga tidak bisa berbuat lebih selain “menghimbau” agar perusahaan-perusahaan mereka tidak berinvestasi di Burma, seperti Presiden Perancis Nicolas Sarkozy menghimbau agar Total menghentikan investasinya di sana. Namun dalam siaran persnya, Total justru berargumen bahwa “Kepergian kami akan memperburuk situasi rakyat Burma.” Dengan demikian dukungan nyata terhadap demokratisasi di Burma harus ditempuh lewat dukungan terhadap gerakan demokrasi dalam negeri Burma itu sendiri. Selama “ilusi liberal” itu belum ditanggalkan, selama masih ada kepentingan ekonomi yang tersembunyi maupun terang-terangan, sungguh sulit mengharapkan dunia internasional bisa punya dampak menekan Junta Militer Burma www.p2d.org — konstelasi
11
analisis sambungan dari hlm. 5
menerapkan kediktatoran militer. Ne Win menutup Burma dari dunia luar dan menerapkan sosialisme ala Burma yang beranggapan bahwa Burma hanya dapat membangun dirinya apabila bersandarkan hanya pada kekuatan sendiri. Keikutsertaan negara asing dalam kehidupan ekonomi dan politik hanya akan mengganggu proses pembangunan sosialisme. Perlawanan terhadap kediktatoran militer terus berlangsung dan meluas. Puncak perlawanan terhadap Ne Win terjadi pada tahun 1988. Di tahun ini, tepatnya tanggal 8 Agustus (8888) pecah demonstrasi besarbesaran yang melibatkan mahasiswa, pelajar, biksu, bahkan sebagian birokrasi baik sipil dan militer ikut melakukan perlawanan. Isu yang dibawa oleh gerakan ini adalah demokrasi. Perlawanan ini berakhir setelah tentara pemerintah (Tatmadaw) bertindak keras dan membunuh kurang lebih 3.000 orang. Peristiwa ini memberikan pengaruh kepada pemerintahan. Ne Win mengundurkan diri, dan digantikan oleh beberapa perwira angkatan bersenjata untuk memerintah bersama. Junta militer pun terbentuk di Burma dan menyebut dirinya sebagai SLORC. Berbeda dengan Ne Win, junta militer (SLORC) mulai membuka diri kepada dunia luar untuk kepentingan ekonomi dan militer. Pada masa inilah militer Burma melakukan modernisasi dan penambahan pasukan berlipat kali. Militer Burma tumbuh menjadi kekuatan terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Vietnam. Bertambahnya kekuatan militer juga berarti bertambahnya kemampuan untuk melakukan represi terhadap setiap oposisi (ICG, Asia Briefing, 27 September 2002). Pada 1990 SLORC melaksanakan pemilu dan dimenangkan mutlak oleh National League of Democracy yang ikut didirikan oleh Aung San Suu Kyi. Namun parlemen bentukan pemilu tidak pernah melakukan
12
konstelasi — www.p2d.org
Upacara peresmian ibukota baru Naypyidaw. Junta Militer memindahkan ibukota Rangoon tanpa sebab yang jelas. (Sumber: AFP)
fungsinya karena militer melarang dan segera membekukan parlemen. Suu Kyi pun ditangkap dan ditahan. Junta kembali memerintah tanpa memedulikan proses demokrasi yang telah dilaksanakan. Berbagai upaya untuk melakukan perubahan politik berakhir dengan penangkapan, penahanan dan pembunuhan. Bahkan SLORC juga membentuk organisasiorganisasi massa seperti Union Solidarity Development Association (USDA) untuk mendukung program-program pemerintah sekaligus melawan kekuatan oposisi dengan berbagai cara, termasuk teror. Pada 1997 SLORC diubah menjadi SPDC. Dalam konteks demokrasi dan hak asasi manusia, tidak ada pengaruh yang signifikan dari perubahan nama ini. Terbukti ketika terjadi demonstrasi besar-besaran yang di-
lakukan oleh para biksu akhir-akhir ini dan kemudian mendapat dukungan dari kekuatan demokrasi lainnya, peristiwa 1988 nyaris terulang. Tentara menembaki secara langsung para demonstran yang mengakibatkan banyaknya korban tewas. Seperti kediktatoran militer di negara lain, militer Burma juga mengambil kekuasaan atas dasar krisis dan reproduksi krisis untuk mempertahankan kekuasaan. Demi mempertahankan dan membangun sosialime Burma, Ne Win menutup Burma dari dunia luar dan memerangi berbagai bentuk oposisi dengan kekerasan. Demikian pula dengan junta militer, penggunaan nama SPDC seperti ingin menegaskan bahwa hukum, ketertiban dan perdamaian sedang guncang. Negara selalu dalam keadaan darurat