2
Konstelasi Legislatif 2009-2014
4
Tujuh Agenda Menjelang Pilpres 2009
6
Mendamba Politik Sebagai Prosedur Kebenaran
8
Simalakama Pemilu
no.23 juni 2009
konstelasi Analisis Berkala Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Politics of Hope emokrasi, pada dasarnya adalah sebuah latihan kebudayaan. Yaitu kegiatan tertinggi seseorang dalam upaya membentuk sikap hidup yang adil. Sifat etis dari latihan ini adalah bahwa ia tidak berambisi untuk memenangkan pertandingan politik, melainkan untuk mengajarkan keadilan hidup bersama. Dengan cara itulah sesungguhnya kemanusiaan dan kesosialan dilahirkan. Kemanusiaan berarti pendasaran kehidupan bersama pada kesetaraan potensi setiap manusia untuk berbuat adil. Kesosialan berarti kebutuhan bersama untuk menyelenggarakan keadilan. Karena itu demokrasi, didalam dirinya, telah mencukupkan semua keperluan harkat manusia: kesetaraan, keadilan dan kesosialan. Kualitas inilah yang mengunggulkan demokrasi dari semua sistem pengaturan sosial. Demokrasi, karena itu, merupakan institusi utama untuk mendidik manusia politik, yaitu manusia yang mengorientasikan hidupnya untuk memelihara kondisi minimal keberlanjutan sebuah masyarakat, yaitu keadilan. Memahami demokrasi dengan cara itu berarti terlibat dalam percakapan kebudayaan, yaitu percakapan yang meluaskan semua kemungkinan untuk membebaskan manusia dari ketidakadilan. Demokrasi sebagai percakapan kebudayaan itulah yang hilang hari-hari ini.
D
Bising oleh hiruk-pikuk para politisi, demokrasi hari-hari ini lebih terlihat sebagai pasar tumpah kekuasaan, ketimbang sekolah kebudayaan. Tidak ada imajinasi nilai yang diproduksi para politisi, dengan akibat rakyat terpaksa mengkonsumsi pragmatisme. Inspirasi masa depan, yaitu dasar dari sebuah “politics of hope” tidak sanggup diucapkan para politisi, karena politik tidak dipahami sebagai sebuah rencana kebudayaan suatu bangsa. Pandangan instrumental yang menguasai politik kita hari-hari ini, cuma menghasilkan demokrasi yang transaksional, yang dasar transaksinya adalah jabatan politik, dan bukan harga diri politik. Transaksi semacam ini tidak berlangsung dalam pengawasan publik, karena terjadi di pasar gelap kekuasaan. Hari-hari ini, pasar gelap kekuasaan itu mengambil bentuk “koalisi tanpa ikatan ideologi”, “politik dengan fasilitas intelijen’, dan ‘motif politik melanggengkan dinasti”. Politik yang kita saksikan hari hari ini, menegaskan lagi defisit kebudayaan itu. Debat publik antar tim pemenangan capres sama sekali tidak mensugestikan suatu “politics of hope” bagi pembudayaan demokrasi. Bukan saja kedangkalan ide yang kita saksikan, tapi juga kebrutalan penampilan para “jurkam”. Sebetulnya kita tidak sedang me-
nyaksikan sebuah debat, tetapi sekedar menonton “adu mulut” para demagog. Inspirasi kebudayaan, sesuatu yang seharusnya ditampilkan dalam percakapan politik, samasekali tidak terucap. Politisi kita adalah kaum yang buta huruf dalam retorika dan miskin pikiran dalam mengolah isu. Politik cuma diselenggarakan dalam putaran pendek jegal-menjegal isu, sementara publik, yang menunggu pikiran panjang yang bermutu, harus tahan menyaksikan pameran kebodohan yang dibahasakan dengan bahasa tubuh penuh amarah. Menyelenggarakan suatu “politics of hope”, tetaplah merupakan imperatif bagi politik demokrasi. Imperatif inilah yang mendorong perjuangan ideologis, memastikan mutu keadilan sosial dan menjamin ikatan minimal penyelenggaraan sebuah bangsa. Menghadirkan “politics of hope” mengisyaratkan bahwa masa depan demokrasi dapat dipertahankan dalam bahasa kebudayaan. Sebaliknya, tiadanya sinyal itu dari para politisi, dalam percakapan politik hari-hari ini, membuat kita cemas: bangsa ini akan dikuasai oleh para pengecer kebodohan. Dan, lambat laun, kedangkalan itu akan diterima menjadi kebenaran. Karena itu, dengan cara apapun, pemilu nanti tidak boleh dimenangkan oleh para pengecer kebodohan n RGX
www.p2d.org — konstelasi
1
analisis Konstelasi Legislatif 2009-2014 alau berpegang pada hasil penghitungan KPU, bisa disusun perkiraan komposisi penguasaan kursi di legislatif di mana komposisi perolehan kursi di legislatif: Berdasarkan hasil penghitungan suara KPU tersebut, maka hanya ada 9 partai yang memenuhi persyaratan 2,5% parliamentary threshold untuk bisa mendapatkan kursi di legislatif. Dari perhitungan ini bisa diambil perkiraan skenario koalisi dalam legislatif 2004-2009.
K
Skenario Kemungkinan Koalisi Kalau merujuk pada basis ideologi sebagai dasar pembentukan koalisi, secara umum bisa dibagi menjadi tiga basis ideologi, meskipun kalau rujukannya adalah asas partai, maka hanya akan terbagi menjadi dua, yakni: Asas Pancasila (Demokrat, Golkar, PDIP, PAN, PKB, Gerindra, Hanura) dan Asas Islam (PKS, PPP). Namun skenario koalisi partai-partai berasas Pancasila tidak bisa ditempatkan dalam satu kandang, karena ada kecederungan-kecenderungan yang membelah perspektif politik di antara mereka. Kalau melihat berdasarkan basis idelogis dan politis, maka setidaknya ada tiga koalisi yang terbangun: Koalisi pertama adalah koalisi Demokrat, Golkar, PKB yang bisa dinamai Nasionalis-Agama, karena merupakan partai nasionalis yang memiliki kecenderungan pada tendensi isu-isu keagamaan. Koalisi kedua adalah koalisi PDIP, Gerindra, Hanura yang bisa dinamai Ultra-Nasionalis, karena mengusung isu-isu konservatif seperti kembali ke UUD 1945, ideide Pancasila yang Orde Baru, dan 2
konstelasi — www.p2d.org
Partai Demokrat Golkar PDIP PKS PAN PPP PKB Gerindra Hanura Jumlah Total
Perolehan Kursi 2009 150 107 95 57 43 37 27 26 18 560
memiliki tendensi militeristik. Koalisi ketiga adalah koalisi PAN, PKS, PPP yang bisa dinamai Fundamental-Agama, karena memiliki kecenderungan partaipartai berasas agama, dan agendaagenda politik hukum keagamaan. Sebenarnya PAN merupakan partai dengan asas Pancasila, namun dalam politik legislatif 19992009 memiliki kedekatan yang kuat dengan partai-partai berasas Islam, jadi dengan itu PAN bisa dimasukkan dalam koalisi di sini. Namun, koalisi ini bergeser seiring dengan pertarungan kepentingan partai-partai. PKS misalnya, selama periode 20042009 masuk dalam koalisi Demokrat-Golkar, kerap melancarkan kritik terhadap pemerintahan, ketimbang memberikan dukungan. Bahkan, dalam dua tahun terakhir kepemimpinan SBY-JK, pimpinan PKS baik pusat maupun daerah selalu mengecam SBY-JK, dan selalu menyatakan tidak ingin berkoalisi dan bekerjasama dengan Demokrat-Golkar karena dinilai tidak memiliki kepemimpinan yang tegas. Namun, seiring dengan semakin menguatnya SBY dan Demokrat dalam seluruh survei yang dilakukan berbagai lembaga riset, juga indikasi tidak ada ke-
Perolehan Kursi 2004 55 128 109 45 53 58 52 -
naikan signifikan dalam perolehan suara PKS, di ujung-ujung masa kampanye PKS langsung banting stir mendukung SBY sebagai presiden, yang ditunjukkan lewat iklan-iklan. Untuk memperkuat upayanya “mencari muka” kepada SBY dan Demokrat, PKS bahkan mengklaim telah membentuk koalisi bersama Demokrat, yang langsung dibantah oleh Demokrat beberapa hari sebelum pemilu. Oportunisme PKS ini yang harus diwaspadai SBY-Demokrat dalam masa pemerintahan 20092014, karena orientasi PKS yang ingin ikut serta dalam kekuasaan yang mendorong PKS menjadi “berkepala dua” mencaci-maki SBY sepanjang 2004-2009, namun memohon-mohon minta bagian setelah melihat kecenderungan menguatnya SBY-Demokrat secara tajam dalam pemilu 2009. Namun, keretakan koalisi Demokrat-Golkar memberikan peluang Demokrat untuk mengakomodir oportunisme politik PKS. Artinya SBY membutuhkan dukungan kekuatan legislatif yang bisa mendukung program-program politiknya, dan oportunisme PKS bagaikan gayung bersambut dengan pragmatisme SBY. Partai lain yang mendekat Demokrat adalah PAN. Tujuan
PAN juga tidak terlalu berbeda dengan PKS, yakni meminta bagian kekuasaan, bukan urusan kesesuaian program politik maupun ideologi. Ini semakin diperjelas setelah pertemuan pengurus DPW PAN di rumah Amien Rais, yang akan mengusung SBY sebagai Capres dan mengajukan kader PAN sebagai Cawapres. Sejumlah nama disebut, namun yang paling santer disebut adalah Hatta Rajasa. Koalisi lain yang terbangun bersama Demokrat adalah PKB. Ketua PKB Muhaimin Iskandar sudah menetapkan komitmennya untuk bersama-sama Demokrat, semenjak terjadinya kekisruhan dan perpecahan di tubuh PKB. PKB secara terbuka sudah memberikan dukungannya kepada SBY dalam Pemilihan Presiden 2009, dan merupakan koalisi yang “tidak banyak menuntut” kepada SBY. Kalau dilihat dari kemungkinan pembentukan koalisi, kelihatannya hanya PKB yang akan menjadi koalisi kuat bagi Demokrat. Sementara PPP masih mengalami pertikaian dalam menentukan arah koalisi, pertikaian keras masih antara kubu Bachtiar Chamsyah dengan kubu Suryadarma Ali. Namun, jika melihat gelagatnya, PPP akan lebih cenderung bergabung dengan koalisi yang dipimpin Demokrat, atau mencari alternatif lain di luar keduanya, jika ada konstelasi baru. Di seberang kubu Demokrat, PDIP mulai membangun rencana koalisi dengan Hanura dan Gerindra. Kepentingan menghadapi SBY menjadi faktor penentu terbentuknya rencana koalisi yang melibatkan Hanura dan Gerindra, yang sudah diketahui terjadi ketidakcocokan dan hubungan tak harmonis antara Wiranto dan Prabowo, setelah reformasi 1998 dan kasus penculikan aktivis. Namun,
sepertinya ketakharmonisan Wiranto dengan Prabowo dicairkan oleh kepentingan menghadapi SBY, dan rencananya akan dilakukan bersama-sama dengan Megawati. Kepentingan untuk pemilihan presiden bisa jadi dilanjutkan dalam bentuk koalisi dalam legislatif, baik menang maupun kalah dalam pilpres nanti. Namun, pada akhirnya Jusuf Kalla mengajak Wiranto maju sebagai pasangan capres-cawapres. Artinya Golkar memilih untuk berkoalisi dengan Hanura, setelah keretakannya dengan Demokrat tak bisa lagi direkatkan. Sementara Megawati memilih Prabowo sebagai pasangannya untuk maju pilpres, setelah melalui negosiasi yang alot dan melahirkan berbagai spekulasi, dan diakhiri dengan resminya Megawati-Prabowo maju dalam pilpres. Konstelasi Pasca Pilpres Pertanyaan yang masih menggelayut adalah, seperti apa koalisi yang akan terbentuk setelah pilpres nanti. Jika salah satu pasangan menang, maka dua pasangan yang kalah akan bergabung dengan pemenang, atau berkoalisi dengan yang kalah untuk beroposisi terhadap yang menang? Dalam koalisi sementara di legislatif, jika merujuk hasil pemilu legislatif, maka bisa digambarkan sebagai berikut: Koalisi DemokratPKB-PKS-PAN-PPP akan menguasai 314 suara, yakni sekitar 56 persen perolehan kursi. Koalisi Golkar-Hanura akan menguasai 125 kursi dan koalisi PDIPGerindra akan menguasai 121 kursi legislatif. Dengan komposisi ini, jika koalisi Golkar-Hanura dan PDIP-Gerindra bergabung, tetap masih belum bisa menguasai mayoritas kursi legislatif. Dengan konstelasi seperti ini, seharusnya akan terbentuk pemerintahan yang kuat dan stabil, karena didukung
oleh suara mayoritas di legislatif. Namun, sebagaimana telah disinggung di atas, karena basis koalisi antar partai bukan dibangun atas dasar kepentingan ideologis, melainkan kepentingan akses kekuasaan semata-mata, dan juga berdasarkan pengalaman kepolitikan Indonesia selama ini, maka potensi untuk terjadinya pergeseran koalisi pasca pilpres masih besar kemungkinannya. Penutup Kalau skenario koalisi akan mengerucut pada tiga pengelompokan, yakni Blok Demokrat, Blok PDIP dan Blok Golkar, maka konstelasi politik akan lebih dikuasai oleh Blok Demokrat, karena Blok Demokrat menguasai mayoritas legislatif, dan jika berhasil merangkul salah satu Blok lainnya, maka akan menjadi mayoritas mutlak. Yang menarik jika Blok PDIP dan Blok Golkar berkoalisi, maka akan terjadi keseimbangan dalam legislatif, karena koalisi kedua Blok menguasai 44 persen kursi legislatif. Meskipun tidak menjadi mayoritas tetapi bisa memainkan fungsi penyeimbang dalam mengawasi kerja-kerja pemerintah. Namun jika skenario koalisi akan mengerucut pada dua blok saja, yakni Blok Demokrat dan Blok PDIP_Golkar, maka konstelasi politik legislatif akan lebih efektif dan efisien, karena hanya akan menghasilkan kelompok partai-partai oposisi dan kelompok partai-partai pemerintah, sehingga kerja-kerja pengawasan legislatif bisa lebih mengarah pada hal-hal yang programatik dan politis, ketimbang ruang untuk memperdagangkan kepentingan jangka pendek individu atau kelompok. Meskipun itu masih tergantung juga pada kualitas anggota legislatif yang nantinya akan duduk n DGX www.p2d.org — konstelasi
3
analisis
Tujuh Agenda Menjelang emilu Legislatif baru saja berlalu. Terlepas dari berbagai masalah dan cacat-cela dalam pelaksanaanya, hampir semua partai —sambil melaksanakan protes— mulai berangkat untuk menjalankan aktivitasnya ke arah Pemilu Presiden ke depan. Sehingga dengan itu, secara politis, Pemilu Legislatif 2009 ini relatif telah diterima. Kenyataan ini makin diperkuat dengan fakta betapa ramai dan padatnya lalu lintas partai dan elit untuk saling menjajaki, negosiasi dan transaksi dalam penyusunan koalisi. Kami memandang hari-hari menjelang Pemilu presiden ini mestinya juga dimanfaatkan secara optimum untuk merenungkan dan menyusun perbaikan dalam norma, forma dan praktik politik kita di masa depan. Untuk itu, kami menemukan setidaknya terdapat tujuh masalah pokok yang perlu mendapat perhatian, yaitu: Pertama, kami menyayangkan terjadinya berbagai pelanggaran dalam Pemilu yang telah mengabolisi hak-hak jutaan pemilih sehingga merugikan semua partai peserta Pemilu dan merugikan kedaulatan rakyat secara umum. Berbagai keburukan dalam pemilu kali menurut kami adalah hasil komplikasi dari berbagai faktor diantaranya: inkopetensi KPU, keputusan MK yang membingungkan dan kurang bijaksana, dan proses seleksi angota KPU yang buruk di partai politik/ DPR. Keburukan dalam Pemilu Legistlatif ini nyaris membawa kita ke arah krisis. Ini tidak dapat ditoleransi dan tidak boleh di-
P
4
konstelasi — www.p2d.org
Sumber Foto : http://foto.inilah.com/data/foto/foto/foto20090414172704-news.jpg
ulang, untuk itu kami menekankan pentingnya perbaikan pelaksanaan Pemilu menjelang Pilpres yang semakin dekat, evaluasi menyeluruh terhadap KPU dan bila perlu sanksi hukum. Kedua, salah satu persoalan mencolok dalam lima tahun terakhir adalah adanya ketegangan antara lembaga presiden dan legislatif. Ketegangan ini muncul sebagai hasil alamiah dari berkombinasinya paham presidensialisme di satu sisi dan multipartisme di sisi yang lain dalam praktik ketatanegaraan kita sekarang. Berhadapan dengan masalah
itu, dalam rangka mencapai pemerintahan yang efektif, semua pihak nampaknya telah berniat dan sepakat untuk mengambil jalan memperkuat presidensialisme. Yang jadi persoalan adalah dalam niat itu belum terbersit cara mengenai bagaimana penguatan presidensialisme itu dilakukan? Akibatnya —siapapun presidennya nanti— di masa depan kita masih harus menghadapi ancaman kemandegan akibat kombinasi ini. Di titik inilah kami menyarankan perlunya pemikiran yang lebih matang, serius dan konsisten untuk memperbaiki sekaligus memantapkan disain institusional
Pilpres 2009
ketatanegaraan kita. Ketiga, berkaitan dengan masalah di atas, kami juga menilai bahwa upaya koalisi antar partai politik yang dimobilisasi belakangan ini juga bisa berkomplikasi secara negatif dengan niat memperkuat presidensialisme. Modus koalisi yang terjadi lebih menyerupai pembentukan semacam kartel politik ketimbang sebuah koalisi politik legislatif untuk sebuah pemerintahan yang kuat. Dari pengalaman selama ini, kartel politik akan lebih banyak berfungsi menjadi penadah kepentingan-kepentingan serta sulit diminta akuntabilitasnya.
Keempat, yang juga perlu diantisipasi adalah kenyataan bahwa konstelasi legislatif di masa depan ini akan lebih sulit diprediksi, kalau tidak mau disebut lebih buruk, sebagai akibat dari keputusan MK mengenai suara terbanyak. Munculnya “orang-orang baru” dan anggota keluarga-keluarga politisi lokal maupun nasional akan menambah fragmentasi dan kepentingankepentingan individu serta golongan. Akibatnya kita menghadapi ancaman dari DPR yang kurang efektif bahkan mungkin cenderung korup di masa depan. Kelima, persoalan lain yang juga sangat penting dan mewarnai kebangsaan kita di masa lima tahun lalu adalah adanya ketegangan ideologis di masyarakat kita. Ini nampak dari sejumlah kekerasan terhadap beragam golongan minoritas yang disertai desakan supaya negara menggeser ideologi bangsa ke arah yang lebih ekslusif. Ketegangan serupa masih bisa terjadi di masa depan, oleh karena itu kami menyarankan agar pemerintah mengambil sikap lebih berani dan tegas dalam memposisikan Pancasila sebagai platform kehidupan kebangsaan kita. Lebih jauh lagi, dalam kerangka itu, koalisi pemerintahan menjelang Pilpres 2009 ini juga selayaknya mulai diarahkan sebisa untuk mungkin menempatkan visi Pancasila sebagai dasar koalisinya. Keenam, salah satu urusan dan tujuan terpenting dalam politik adalah sejauh mana politik bisa menghadirkan keadilan dan kesejahteraan. Persoalan ini yang
rasanya kurang dapat dijawab oleh seluruh peserta Pemilu belakangan ini. Hampir semua pihak memposisikan keadilan sematamata sebagai isu, sehingga gagal meletakkan suatu dasar bagi penyusunan doktrin kesejahteraan yang komprehensif untuk Indonesia. Di masa depan, dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan nasional sesuai amanat konstitusi, kita harus mengambil langkah dan inisiatif yang kuat untuk memulai menyusun suatu kebijakan sosial yang komprehensif dalam rangka menjabarkan visi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketujuh, dunia sedang mengalami krisis besar, dunia juga sedang mengalami perubahan yang nyata tapi tidak jelas bentuk dan ke mana arahnya. Inilah variabel yang tidak dapat kita pastikan sebesar apa dampaknya bagi bangsa kita. Berhadapan dengan kenyataan itu, pemerintahan ke depan akan ditantang untuk mengambil sikap yang lebih strategis sekaligus terbuka. Strategis dalam arti kita mesti lebih serius dalam memobilisasi visi dan kekuatan-kekuatan kreatif di dalam negeri serta mengimplementasikannya secara nyata. Terbuka dalam arti kita mesti memanfaatkan semua cara yang mungkin untuk mecapai tujuantujuan nasional dan perbaikanperbaikan kekurangan yang ada. Di titik ini, inovasi dalam penemuan sumber-sumber energi yang baru sekaligus penyelamatan lingkungan menjadi sangat penting untuk direalisasikan n RBX www.p2d.org — konstelasi
5
opini
Mendamba Politik Seba Bagus Takwin Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ehidupan bersama adalah syarat pencapaian kebahagiaan. Dalam terminologi Aristoteles, bahagia berarti memandangi kebenaran. Jadi, tujuan kehidupan bersama mestinya membawa semua anggotanya sampai pada situasi yang memaparkan kebenaran. Di sana orang-orang dapat memandangi kebenaran, mencapai kebahagiaan. Tetapi, tidak semua kehidupan bersama dapat menghasilkan kebahagiaan. Ada prosedur khusus yang perlu dijalani sebuah kebersamaan agar dapat memandangi kebenaran: politik. Tentu saja pengertian politik di sini bukan bagaimana orang mendapatkan kekuasaan dan punya pengaruh besar terhadap orang lain. Politik di sini perlu dipahami sebagai ikhtiar hidup bersama untuk mencapai kebenaran; politik sebagai prosedur kebenaran. Fokus utama politik adalah keadilan. Politik adalah ikhtiar untuk mencapai keadilan. Keadilan bukan kata yang bermakna dalam sembarang konteks. Keadilan bermakna jika dan hanya jika digunakan dalam konteks hidup bersama, dalam konteks politik. Alain Badiou (2003), dalam esai “Philosophy and Politics” yang terkumpul dalam Infinite Thought, mengartikan keadilan sebagai “...the name by which philosophy designate the possible truth of political orientation.” Sebagai sebuah nama, keadilan
K
6
konstelasi — www.p2d.org
menandai suatu hal yang berbeda dari hal lain. Nama tidak mewakili substansi atau esensi sesuatu. Ia hanya menandai sesuatu. Dengan demikian, nama tidak dapat didefinisikan. Keadilan juga tak dapat didefinisikan. Nama “keadilan” dalam konteks filsafat digunakan untuk menandai kebenaran yang mungkin dari orientasi politik. Dapat dinyatakan pula, sebuah orientasi politik yang membawa kita pada kebenaran adalah politik yang memperjuangkan keadilan. Politik Indonesia Jauh Dari Keadilan Saat ini, janggal rasanya mengaitkan politik dengan kebenaran. Kita saksikan itu dalam kehidupan politik empirik masyarakat Indonesia. Mayoritas orientasi politik di Indonesia tak punya urusan dengan kebenaran. Mereka lebih memilih untuk sibuk mengelola kekuasaan dan opini. Kita saksikan partai-partai lebih berupaya memperoleh sebanyakbanyaknya kursi di DPR dan menempatkan orang-orangnya di kabinet. Di tingkat propinsi dan kabupaten pun demikian, mereka memperjuangkan perolehan kekuasaan sebanyak mungkin. Dalam pencermatan saya, orientasi politik yang dijalani oleh partai-partai tidak sungguhsungguh memperjuangkan keadilan. Setelah satu-dua partai berkuasa, tak ada perubahan
signifikan dalam kehidupan sosial, tak ada struktur baru yang lebih meningkatkan kesejahteraan semua orang. Kehidupan politik Indonesia tampak hanya berhenti sampai pembagian atau perebutan kekuasaan, dan bagaimana mempertahankannya; jauh dari keadilan, jauh dari kebenaran. Pemilihan umum baru-baru ini juga tidak menunjukkan adanya ikhtiar mencapai keadilan. Aktivitas-aktivitas yang terpapar selama masa kampanye tak jelas tujuannya selain merayu orang untuk memilih partai atau calon tertentu. Materi dan bentuk kampanye sama sekali tidak mencerminkan ikhtiar mencapai keadilan; tidak menunjukkan kesungguhan kehendak meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Saya tidak menangkap tandatanda adanya prosedur untuk membawa kehidupan bersama kepada kebahagiaan dalam bujukrayu itu. Mengabaikan Keadilan, Memuja Kekuasaan Barangkali banyak orang akan bilang, terlalu muluk mengaitkan politik dengan keadilan dan kebenaran. Pandangan semacam ini memang wajar. Di negeri yang menempatkan orang dengan materi berlebih sebagai orang terpandang, keadilan dan kebenaran seolah hanya bikin kita jauh dari kekuasaan dan kesejahteraan. Kompromi dengan orang yang
gai Prosedur Kebenaran punya banyak uang adalah cara yang dianggap tepat untuk kebagian kekuasaan. Mengabdi pada orang kaya akan menghasilkan kekayaan, begitu juga dekat dengan penguasa akan menghasilkan kuasa. Kekuasaan, yang terutama diperoleh dari uang, jadi pujaan banyak orang. Itu juga wajar dalam situasi krisis. Dalam keadaan kekurangan, umumnya orang mendambakan apa yang kurang. Orang mendambakan uang ketika merasa miskin, mendambakan kekuasaan saat merasa tak berdaya. Dan selalu ada orangorang yang cermat memahami rasa kurang itu, lalu memanfaatkannya untuk menyebar pengaruh agar kekuasaan mereka bertambah. Pihak yang merasa kekurangan menyambut dengan suka hati. Jadilah seperti yang tergambar dalam pemilihan umum di Indonesia kemarin. Hasil “pesta demokrasi” itu tak mengubah status quo, dan seperti pesta-pesta yang sifatnya seremonial, ada banyak biaya yang mesti dibayar, ada banyak uang yang harus dikorbankan demi status yang hendak dipertahankan: negara demokratis. Status itu tak mengubah kondisi nyata. Keterlibatan orangorang yang bebas dan setara di Indonesia dalam pengaturan dan pengelolaan negara tidak sungguh-sungguh hadir. Kenyataannya, betapa banyak aktivitas para anggota DPR yang tidak berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Justru sebaliknya, terjadi banyak penye-
lewengan wewenang. Tiap pemerintah juga tampak tak bersungguh-sungguh memperjuangkan keadilan. Tak ada perubahan berarti di Indonesia seiring dengan bergantinya rezim dan dijalankannya sistem demokrasi. Kebanyakan orang yang dulu miskin, sekarang tetap miskin. Di sisi lain, orang-orang yang tadinya kaya dan berkuasa, tetap kaya dan berkuasa. Kehidupan sosial tetap seperti dulu. Kondisi yang dicerca, ditentang, dan hendak diubah melalui reformasi, tetap langgeng. Tak ada perubahan berarti, tak ada perbaikan yang sungguh-sungguh. Keadilan masih diabaikan. Dan sepertinya itu tetap dianggap wajar. Apakah kewajaran itu layak dipertahankan? Jelas tidak. Kewajaran itu adalah pertanda macetnya politik dan demokrasi telah jadi cliché, tak punya pengaruh jelas bagi pencapaian kebahagiaan. Bangsa Indonesia hanya mengulang keadaan yang sama. Tak ada kebaruan yang menambah kesejahteraan, tak ada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Jika situasinya terus begitu, maka ketidaksejahteraan dan ketidakbebasan akan meningkat seiring dengan meningkatnya ketidakadilan. Menjalankan Prosedur Kebenaran Untuk mengatasi macetnya kehidupan politik di Indonesia, politik perlu dijalankan sebagai prosedur kebenaran. Langkah awalnya: mengenali ketidakadilan. Efek dari ketidakadilan jelas. Ketidak-
setaraan, kemiskinan, penderitaan, ketakberdayaan, dan penindasan adalah bentuk-bentuk ketidakadilan. Semua itu menunjukkan adanya kesenjangan antara praktek politik aktual dan politik sebagai prosedur kebenaran. Kesenjangan itu adalah kesalahan yang harus terus dikoreksi, diperkecil dari waktu ke waktu. Indonesia saat ini masih menampilkan kesenjangan itu dalam intensitas, Bersambung ke hlm. 12
P2D konstelasi diterbitkan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Redaksi Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Elisabet R. Kuswijayanti Fajrimei A. Gofar Hendrik A. Boli Tobi Ikravany Hilman Isfahani Otto Pratama Rachland Nashidik Robby Kurniawan Robertus Robet Santi Nuri Redaktur Ahli Bagus Takwin Richard Oh Rocky Gerung
Alamat Redaksi Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 http://www.p2d.org E-mail:
[email protected]
www.p2d.org — konstelasi
7
analisis
Simalakama Pemilu ak untuk memilih merupakan unsur yang esensial dalam demokrasi (Stephenson, Jr, 2005). Suatu pemerintahan yang mengklaim dirinya sebagai pemerintahan yang demokratis seharusnya memfasilitasi para pemegang hak memilih untuk mengakses surat suara (ballot) agar bisa menyalurkan aspirasinya. Dalam Pemilu Legislatif 9 April lalu, hak untuk memilih terganggu akibat karut-marutnya Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ada dua persoalan di sana, pertama, sejumlah warga negara tidak dapat mengakses surat suara karena tidak tercantum dalam DPT, padahal, seharusnya mereka sudah layak disebut sebagai pemegang hak untuk memilih. Kedua, persoalan teknis seputar penentuan siapa yang dapat mengakses surat suara, antara lain: ada warga negara yang memiliki akses ke surat suara lebih dari satu, ada warga yang belum layak mengakses surat suara, telah diberi akses (misalnya belum cukup umur) — akibatnya DPT ini dituduh fiktif, mengalami penggelembungan, bahkan ditengarai terdapat kecurangan dalam Pemilu. Sejak awal, Pemilu Legislatif sudah kacau. Ini bisa dilihat pada saat pembentukan peraturan maupun pembentukan struktur. UU No 10/2008 sebagai kebijakan yang mengatur tentang Pemilu Legislatif memuat sejumlah kontroversi. Misalnya, kontroversi mengenai kepesertaan partai politik dalam Pemilu yang belum mampu diatur secara ketat dan kontroversi mengenai pen-
H
8
konstelasi — www.p2d.org
Sumber: http//kpu.go.id
contrengan yang menggantikan pencoblosan. Di tataran pembentukan struktur, proses seleksi anggota KPU yang dilakukan Depdagri — yang kemudian dipilih oleh DPR, tidak mampu menjaring caloncalon berkualitas baik. Dari hasil seleksi tersebut, hanya dua orang yang mempunyai pengalaman mengurus pemilu, itu pun sebatas tingkat daerah (Kalimantan Selatan dan Bali). Sisanya adalah “pemain baru” yang tidak jelas kualitasnya. Proses seleksi tersebut, belum dapat menjamin terpilihnya calon yang benar-benar layak. Penentuan kualitas dan kapasitas telah digerus oleh politik dagang sapi, dengan menempatkan siapa “wakilku” dan siapa “wakilmu” di KPU. Kualitas dan kapasitas rendah hasil seleksi Depdagri dan DPR terlihat dari semrawutnya manajemen pelaksanaan Pemilu Legislatif. Penentuan peserta kacau balau, cetak surat suara banyak yang keliru, distribusi logistik amburadul sehingga banyak surat suara tertukar dengan daerah pemilihan lainnya, serta DPT yang tak kalah ambura-
dul-nya. Mustinya, kekacauan semacam ini tidak perlu terjadi ketika Pemilu sudah berulang kali diselenggarakan. Kualitas yang buruk dari UU No. 10/2008 juga membuat Mahkamah Konstitusi (MK) kebanjiran permohonan uji materi. Bukannya memberikan solusi, sebaliknya MK malah turut menyumbang kesemrawutan. Antara lain dalam penentuan kepesertaan partai politik (parpol) Pemilu 2009, dan penentuan calon legislatif terpilih. MK telah melampaui kewenangannya ketika membuat putusan yang mengatur bahwa penentuan calon terpilih harus ditentukan melalui suara terbanyak. Padahal, putusan MK bukanlah suatu norma yang mengatur. Melainkan sekadar menjelaskan situasi bahwa aturan tersebut bertentangan dengan konstitusi. Dalam hal ini, MK telah mencaplok kewenangan pemerintah dan DPR untuk membentuk aturan setingkat undang-undang. Di tengah kegamangan KPU dalam menentukan kepesertaan parpol dalam Pemilu legislatif, putusan MK yang mencabut Pasal 316 huruf d dijadikan dasar gugatan ke PTUN oleh parpol yang tidak lolos threshold. Dalam putusannya yang mengabulkan gugatan tersebut, hakim PTUN tidak mampu menyelaraskan aturan pemilu. Akibatnya, dengan alasan keadilan, seluruh parpol peserta Pemilu 2004 dijadikan peserta Pemilu 2009 meskipun tidak lolos threshold. Dalam hal ini, aturan mengenai kepesertaan parpol pemilu yang diatur UU
No 10/2008 dikacau-balaukan sehingga tidak ada kepastian hukum. Kekacauan-kekacauan tersebut telah menyebabkan kualitas pemilu menjadi rendah. Bahkan, menyulut terjadinya berbagai konflik, baik fisik maupun secara politik. Kekacauan pemilu terus digulirkan untuk mendelegitimasi pemilu. Secara tidak langsung, Partai Demokrat, sebagai partai yang berkuasa melalui SBY, menjadi sasaran.Apalagi ketika berdasarkan hasil perhitungan cepat (quick count), Partai Demokrat memperoleh kemenangan telak. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, Partai Demokrat dituduh berlaku curang. Tuntutan pemilu ulang semakin menguat, bahkan santer terdengar ada upaya untuk memboikot hasil pemilu oleh sejumlah parpol. Artinya, pemilu dianggap tidak sah sehingga harus diulang. Demokrasi di Indonesia dihadapkan pada buah simalakama. Pemilu diulang memiliki konsekuensi yang cukup berat. Tidak saja secara teknis; di tengah krisis global, negara harus menyediakan biaya yang tidak sedikit. Selain itu, dibayang-bayangi pula oleh resiko sosial berupa konflik dan kerusuhan. Mengulang pemilu juga tidak menjamin tiadanya konflik, kecurangan, dan pelanggaran-pelanggaran pemilu ataupun menjadikan hasil pemilu lebih sah (legitimate). Sebaliknya, jika hasil pemilu tempo hari diterima, ia kurang memiliki legitimasi karena karutmarut DPT dan sejumlah [tuduhan] kecurangan. Namun, kurang memiliki legitimasi, tidak berarti bahwa pemilu tersebut betul-betul tidak memiliki legitimasi.Artinya, rendahnya legitimasi
NO 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11
12 13 14 15 16 17 18 19
20
21
22 23 24
PELANGGARAN ADMINISTRASI JUMLAH URAIAN 1 Petugas tidak mengoreksi kesalahan perhitungan yang dilakukan 12 Kotak suara sudah terbuka sebelum acara pemungutan suara dilakukan 1 KPPS tidak memeriksa keadaan seluruh surat suara 1 KPPS tidak menandatangani surat suara yg akan digunakan 23 KPPS tidak mengumumkan dan menempelkan DPT, daftar pemilih tambahan, dan DCT Anggota DPR, DPD, DPRD Prov, & DPRD Kab/Kota 1 KPPS tdk mengumumkan hasil penghitungan suara di TPS 1 Penghitungan suara tdk dapat disaksikan oleh masyarakat dan/atau pemantau Pemilu 3 Penghitungan suara tidak dilakukan pada hari/tanggal yang sama dengan hari pemungutan suara 4 Penghitungan suara tidak dilakukan secara terbuka dan di tempat yang terang 5 Penghitungan suara tidak dilakukan setelah pemungutan suara berakhir 4 Penghitungan suara tidak disaksikan oleh saksi peserta Pemilu yang memiliki mandat tertulis dari peserta Pemilu yang bersangkutan 1 PPS tidak mengumumkan salinan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS 24 Adanya pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT atau DPT tambahan dapat mengikuti pemungutan suara 56 Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara tidak sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU 27 Jumlah, jenis, bentuk, ukuran, dan warna surat suara tidak sesuai dengan yang ditentukan oleh KPU 18 KPPS tidak sepaham (tidak taat) tentang kriteria suara sah 2 Pemberian suara dilakukan di tempat selain TPS 14 Penghitungan suara tidak selesai pada hari dan tanggal yang sama 1 Petugas tidak memberikan bantuan bagi pemilih tunanetra, tuna daksa, atau yang mempunyai halangan fisik lain sesuai dengan keinginannya 1 Surat suara pemilu anggota DPD tidak memuat nama dan foto calon perseorangan anggota DPD untuk setiap daerah pemilihan 11 Surat suara Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota tidak memuat nomor dan tanda gambar parpol peserta pemilu dan calon untuk setiap dapil 312 Surat suara tertukar 208 Jumlah logistik kurang 14 Pemberian suara dilakukan di TPS tanpa bilik suara dan/atau di luar bilik suara J U M LA H 745 www.p2d.org — konstelasi
9
hasil pemilu tidak berarti bahwa demokratisasi di Indonesia menghadapi ancaman yang sangat serius. Justru sebaliknya, jika karutmarut DPT ini terus dipersoalkan dan terus berkembang, demokratisasi dapat menghadapi ancaman yang sangat serius. Ia bisa saja terus berkembang dan berakhir dengan penggulingan pemerintahan yang sekarang berkuasa. Inilah ancaman nyata bagi demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, di antara situasi tersebut, pilihan yang paling mungkin adalah menerima hasil Pemilu. Tidak berarti menyetujui atau membiarkan semua kesalahan-kesalahan terjadi, perbaikan tetap perlu diadakan. Ini perlu dilakukan untuk membenahi DPT, aturan main, dan sistem yang tengah berjalan. Sebagai negara yang demokratis, tentu saja perbaikan tersebut harus diarahkan untuk memfasilitasi akses ke surat suara yang seluas-luasnya kepada pemegang hak untuk memilih. Harus disadari bahwa sulit untuk melaksanakan Pemilu yang benar-benar bebas dari persoalan, apalagi bagi negara sebesar Indonesia. Bahkan, negara Amerika sekalipun — yang dianggap sebagai negara paling demokratis — sebagaimana disebutkan Donald Grier Stephenson, Jr dalam bukunya The Right to Vote (2005), “… problem-free elections in a country as large as the United State may be an impossibility ...”. Dengan demikian, hal yang tidak kalah pentingnya dalam Pemilu adalah, bagaimana meminimalisasi persoalan-persoalan dalam pelaksanaannya serta menyukseskan proses Pemilu untuk menjaring pemimpin dengan upaya-upaya yang demokratis n FGX 10
konstelasi — www.p2d.org
NO 1
2
3
4
5
6
7 8 9 10 11 12 13
TINDAK PIDANA JUMLAH URAIAN 3 KPPS/KPPSLN tidak memberikan salinan satu eksemplar berita acara pemungutan & penghitungan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi Peserta Pemilu, PPL, PPS, dan PPK melalui PPS 10 KPPS/KPPSLN tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, BA pemungutan suara, & sertifikat hasil penghitungan suara, kepada PPK melalui PPS/ kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama 4 KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak membuat dan menandatangani BA perolehan suara Peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD 1 KPU, KPU prov, KPU kab/kota, & PPK karena kelalaiannya mengakibatkan hilang/berubahnya BA hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat penghitungan suara 18 Orang dengan sengaja menggunakan kekerasan/ ancaman kekerasan dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih atau melakukan kegiatan menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara 36 Orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai/menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang 21 Orang yang dengan sengaja memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS 24 Orang yang dengan sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain 36 Politik uang (memberikan uang atau materi lainnya) 3 KPPS (karena kelelahan, dan alasan lain) tidak mau menyelesaikan penghitungan suara 4 Pemilih tak terdaftar di DPT, pada hari “H” memaksa untuk memilih 6 Pemilih yang terdaftar dalam DPT yang pada hari H berada di RS, LP, — & tempat lain yang membutuhkan perlakukan khusus— tidak dapat memberikan suara, karena KPU tidak menyediakan TPS khusus atau TPS keliling 1 TPS Fiktif 167 J U M LA H TINDAK PIDANA URAIAN
NO 1 Konflik kekerasan 2 Pelanggaran lain-lain J U M LA H
JUMLAH 10 255 265
H K
analisis
Hanya Ada Satu Matahari dalam Kabinet Presidensial alah satu isu yang ramai diperdebatkan saat ini adalah tentang kekuasaan presiden dalam pembentukan kabinet dan menjalankan tugas eksekutifnya.Wacana tentang “matahari kembar” yang digulirkan oleh PKS maupun pendapat sejumlah ahli mengenai problem kohabitasi presiden - wakil presiden (wapres) telah mewarnai perdebatan mengenai kekuasaan presiden dalam sistem presidensial.
S
Matahari Kembar dan Kohabitasi Presiden-Wakil Presiden Wacana tentang matahari kembar secara khusus menyoroti peran wapres, yaitu Jusuf Kalla yang begitu besar sehingga ada kepemimpinan ganda dalam pemerintahan. Konsep kohabitasi presiden-wapres berangkat dari argumen bahwa baik presiden dan wapres mempunyai dua sumber kekuatan yang berbeda namun sama kuat. Akibatnya wapres tidak lagi dipandang sebagai pelengkap atau pembantu presiden, tetapi punya kekuatan yang hampir sama dengan presiden. Kedua wacana itu sesungguhnya tidak dikenal atau tidak lazim dalam teori sistem presidensial. Dalam sistem presidensial, kekuasaan eksekutif hanya ada satu yaitu: kekuasaan ada di tangan presiden. Presiden adalah penguasa utama (primus solus) atas eksekutif. Berbeda dengan kekuasaan perdna menteri (PM) dalam sistem parlementer yang bergantung pada kerja sama dan dukungan dari partai-partai pendukung di parlemen, presiden lebih
punya kebebasan dalam membentuk, membubarkan dan menyusun ulang kabinetnya. Dengan itu, tidak ada yang namanya kepemimpinan ganda dalam eksekutif atau tidak ada matahari kembar. Soal kohabitasi presidenwapres, sesungguhnya calon wapres dipilih oleh calon presiden. Seorang calon presiden punya kebebasan untuk memilih siapa yang akan mendampinginya menjadi wakil presiden. Jadi meski wapres itu berasal dari parpol yang berbeda tetapi tidak bisa dikatakan bahwa wapres punya legitimasi politik yang kuat sederajat dengan presiden. Kedua wacana itu memang didasarkan pada analisa tentang jalannya roda pemerintahan dari tahun 2004 sampai dengan 2009. Meskipun SBY punya legitimasi kuat dari pemilu presiden (pilpres) secara langsung, tetapi praktik pembentukan kabinet sangat ditentukan oleh lobi dan tekanan politik dari sejumlah parpol yang mendukungnya dalam pilpres putaran kedua. Pada saat itu peran wapres Jusuf Kalla dianggap sangat besar sehingga tidak lagi dipandang sebagai pembantu presiden. Tetapi pertanyaannya adalah: apakah faktor wapres menjadi sangat menentukan dalam pembentukan kabinet dan jalannya roda pemerintahan selama periode 20042009? PKS dan sejumlah ahli yang mengemukakan konsep kohabitasi presiden-wapres tentu saja akan menyatakan wapres (Jusuf Kalla) adalah faktor penentu dalam kekuasaan eksekutif selama perio-
de 2004-2009. Sesungguhnya, faktor penentu bukan ada pada wapres (Jusuf Kalla) tetapi pada relasi presiden dengan legislatif. Dalam sistem presidensial, terdapat legitimasi ganda yaitu kekuasaan presiden yang dipilih secara langsung atau electoral college dan kekuasaan legislatif yang juga dipilih secara langsung. Berbeda dengan sistem parlementer di mana seorang perdana menteri dipilih oleh parlemen, seorang presiden yang terpilih dalam sistem presidensiil bisa saja berasal dari parpol yang minoritas di legislatif. Meski punya kekuasaan dalam membentuk dan menjalankan pemerintahannya, presiden tetap membutuhkan kerja sama atau dukungan dari legislatif. Dalam rangka pembentukan kabinet, seorang presiden akan memperhitungkan dukungan legislatif. Perhitungan semacam itu akan kelihatan dalam komposisi kabinet. Dalam kasus pemerintahan SBY periode 2004-2009, Partai Demokrat yang menjadi pendukungnya adalah partai yang punya suara kecil di legislatif. SBY dan Partai Demokrat menyadari bahwa mereka harus berkoalisi dengan sejumlah parpol lainnya, baik dalam rangka pembentukan kabinet maupun menjamin dukungan dari legislatif. Fakta yang terjadi, koalisi parpol ini merasa punya kemampuan untuk tawarmenawar bahkan bisa mendikte presiden untuk memilih menteri. Di titik ini banyak yang keliru dengan menyatakan bahwa wapres punya kekuasaan yang sangat besar. Yang terjadi sesungguhnya www.p2d.org — konstelasi
11
adalah SBY dan Partai Demokrat sangat memperhitungkan relasi presiden dengan legislatif untuk menjamin jalannya pemerintahan. Presiden Sebagai Primus Solus Saat ini, pemilu telah usai. Partai Demokrat yang menjadi pemenang pemilu akan memainkan peran politik yang lebih dominan dibandingkan dengan tahun 2004. SBY menjadi salah satu capres dalam pilpres yang akan datang, bersama dengan Profesor Boe-
Sambungan dari hlm. 7
luas, dan durasi yang tinggi. Artinya, politik sebagai prosedur kebenaran belum berjalan. Langkah berikutnya: mencermati struktur negara Indonesia, dan menemukan sumber-sumber ketidakadilan di sana. Untuk memahami struktur itu kita perlu memahami presentasi dan representasi dari situasi Indonesia, sebab struktur tersebut mencakup keduanya. Presentasi dalam situasi Indonesia adalah apa yang tampil di sana apa adanya, nyata dijalani dan dihayati. Representasi dalam situasi Indonesia adalah konsep tentang Indonesia yang dikonstruksi, rumusan formal tentang Indonesia, skematisasi dari apa yang ada dalam situasi Indonesia. Struktur adalah hasil operasi menghitung-satu situasi Indonesia. Dengan operasi itu, Indonesia dimaknai sebagai kesatuan dari beragam unsurnya. Dalam menjalankan operasi itu, ada presentasi yang luput diwakili; ada kesenjangan antara presentasi dan representasi. Kesenjangan itu menghasilkan ketidakadilan dan
12
konstelasi — www.p2d.org
diono yang akan mendampingi sebagai cawapres. Bayangan tentang pembentukan kabinet dan relasi presidenlegislatif akan lebih sederhana kalau dibandingkan dengan periode 2004-2009. Siapapun yang terpilih menjadi presiden, sang presiden harusnya menjadi person yang paling utama dalam memilih para pembantunya di kabinet (presiden sebagai primus solus) tanpa bergantung pada hitunghitungan dukungan di legislatif sebagaimana terjadi pada tahun
2004. Juga sudah saatnya bagi presiden untuk mengakhiri praktik kapling-kaplingan parpol atas sejumlah jabatan menteri tertentu. Memperhitungkan dukungan di legislatif memang penting tetapi juga tak kalah pentingnya adalah bagaimana presiden menjalankan kekuasaannya untuk secara bebas memilih menteri yang sesuai dengan program politik sang presiden itu sendiri. Dengan itu tak ada lagi matahari kembar sebagaimana dikhawatirkan oleh sejumlah pihak n (HBX)
Kehidupan politik Indonesia tampak hanya berhenti sampai pembagian atau perebutan kekuasaan, dan bagaimana mempertahankannya; jauh dari keadilan, jauh dari kebenaran.
Dari aksioma itu, diturunkan aturan-aturan yang akan diberlakukan di Indonesia. Aturanaturan yang menata dan mengelola Indonesia harus koheren dengan aksioma itu agar Indonesia yang berkeadilan dapat diwujudkan. Dengan begitu, kehidupan bersama di Indonesia membawa seluruh rakyatnya mencapai kebahagiaan, memandangi kebenaran dalam wujud kehidupan yang adil dan sejahtera. Mungkinkah dambaan politik sebagai prosedur kebenaran jadi nyata? Sejarah menunjukkan, politik yang berurusan dengan kebenaran dapat membuahkan peningkatan kualitas hidup manusia. Revolusi Prancis, contohnya, memberikan kepada Prancis, juga banyak negara lain, kehidupan bersama yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Hingga kini semboyan “kebebasan, kesetaraan, persaudaraan”, terus berkumandang dan diperjuangkan di mana-mana. Tak sedikit negara berhasil mewujudkannya. Indonesia pun dapat mewujudkan kehidupan yang jauh lebih baik dengan menggunakan politik sebagai prosedur kebenaran n
ketidakbahagiaan. Setelah itu, struktur baru harus dirumuskan. Dasar perumusannya adalah aksioma tentang Indonesia yang dirumuskan secara intuitif oleh pikiran berdasarkan apa yang ada dalam situasi Indonesia dan dialamatkan kepada seluruh rakyat Indonesia. Kita punya aksioma itu: Indonesia adalah negara yang mensejahterakan seluruh bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut serta dalam perdamaian dunia.