Substantia, Volume 16 Nomor 2, Oktober 2014.
http://substantiajurnal.org
KONSTELASI IDEAL HUKUM SYARIAH Azwarfajri Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia Email:
[email protected] Diterima tgl, 05-05-2014, disetujui tgl 23-06-2014
Abstract: Aspiration or desire to apply Islamic law is closely linked with social and national situation being disoriented with weak or almost total absence of law enforcement, as well as driven by normative theological views that are idealistic about the role of Islamic law in reforming the society. In a country that is facing a situation of social problems, some people even think that the application of Islamic law can be an effective alternative to solve the social problems. In this context, Islamic law has been seen as a panacea to cure all kinds of diseases in Indonesia. For that, it is no wonder if the demand to implement Islamic law had begun much echoed by Muslim groups in various regions. Recognizing Islamic law as a comprehensive system of life and understanding it properly are crucial. Even in the context of how Islamic law should be understood here is the real issue. There are a number of factors that influence and shape the understanding of Muslims about Islamic law. Sociological, cultural, and intellectual situation, or what is referred to by Arkoun as aesthetic reception are very influential in determining the form and content of the understanding, although every Muslim recognizes universal values embodied in Islamic law, but their backgrounds which are sociologically, culturally, and intellectually different can cause different understandings. Abstrak: Aspirasi atau keinginan untuk menerapkan syariat Islam memiliki kaitan erat dengan situasi sosial-nasional yang sedang mengalami disorientasi dengan lemah atau hampir tidak adanya penegakan hukum, serta didorong oleh pandangan-pandangan normatif-teologis yang idealistik tentang peranan syariat dalam reformasi masyarakat. Dalam situasi negara menghadapi berbagai masalah sosial, sebagian orang bahkan berpikir bahwa penerapan syari’at Islam dapat menjadi alternatif yang efektif untuk mengatasinya. Dalam konteks ini, syariat Islam telah dipandang sebagai obat mujarab yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit di Indonesia. Untuk itu, maka tidak heran apabila tuntutan untuk menerapkan syariat Islam ini mulai marak disuarakan oleh kelompok-kelompok umat Islam di berbagai daerah. Mengakui syari’at sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh dan memahaminya secara benar merupakan suatu hal yang penting. Bahkan dalam konteks bagaimana syari’at harus dipahami inilah terletak persoalan yang sebenarnya. Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi dan membentuk hasil pemahaman kaum muslimin terhadap syariat Islam. Situasi sosiologis, kultural, dan intelektual, atau apa yang oleh Arkoun disebut sebagai estetika penerimaan (Aesthetics Reception). Sangat berpengaruh dalam menentukan bentuk dan isi pemahaman untuk itu, walaupun setiap muslim sama-sama mengakui nilai-nilai universal yang terkandung dalam syariat, tetapi background mereka baik secara sosiologis, kultural ataupun intelektual berbeda, maka dapat melahirkan pemahaman yang berbeda pula
Keywords: konstelasi, syariat, hukum. Pendahuluan Islam diwahyukan tidak hanya sekadar sebagai sistem ibadah, melainkan juga sebagai instrumen pencarian keadilan serta kebenaran yang hakiki untuk menghadapi kehidupan dunia yang penuh tantangan. Di mata hukum, hakikat manusia adalah bebas Azwarfajri: Konstelasi Ideal Hukum Syariah | 295
Substantia, Volume 16 Nomor 2, Oktober 2014.
http://substantiajurnal.org
melakukan apapun demi tercapainya nilai-nilai kemanusiaan, dan untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan diberlakukan sistem hukum yang dapat memberikan pengayomanan yaitu hukum fiqih. Fiqih1 yang sering diartikan juga dengan syariah atau syariat2 merupakan akar dan sumber dari dinamika perkembangan dan kemandegan, karena ia identik sebagai hasil pemikiran manusia yang berakar ijtihad yang tidak pernah final untuk diperbaharui dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Ijtihad yang telah diasuransikan Rasulullah SAW dengan benar berpahala dua dan salah berpahala satu semakin memperkokoh tesa dinamika fiqih.3 Fiqih harus dimaknai sebagai proses, bukan produk monumental. Hukum Islam atau fiqih memiliki karakteristik yang jauh berbeda dengan hukum dalam pengertian ilmu hukum modern. Fiqih dikembangkan berdasarkan wahyu, pemikiran manusia dan juga diwarnai oleh unsur budaya lokal dalam suatu masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip kemaslahatan dengan tujuan mewujudkan keadilan sosial. Dengan demikian fiqih dikatakan sebagai hasil dari suatu proses dialogis dan dialektis antara pesan-pesan samawi (normativitas) dan kondisi aktual dalam masyarakat (historisitas). Aturan-aturan yang dibukukan dalam kitab fiqih tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dan cara pandangan manusia baik secara pribadi maupun sosial. Dengan demikian selain sarat dengan nilai teologis, fiqih juga memiliki watak sosiologis.4 Permasalahan yang muncul adalah pengembangan hukum Islam dalam masyarakat Islam di Indonesia tidak mencerminkan bentuk atau konsep ideal hukum Islam, sehingga dalam pelaksanaannya sangat jauh dari harapan dan keinginan. Menurut Prof. Machasin hal ini disebabkan adanya tarik-menarik kepentingan dari berbagai kekuatan yang ada dalam membangun model hukum Islam Indonesia.5 Namun demikian usaha untuk membumikan Fiqih didefinisikan dengan ( العلن باالحكام الشرعيت العوليت الوكتسبت هن ادلتها التفصيليتilmu mengenai hukum syar’i yang berkaitan dengan perbuatan atau tindakan yang didapatkan dari dalil-dalilnya yang spesifik), atau ( هجووعت االحكام الشرعيت العوليت الوستفدة هن ادلتها التفصليتkumpulan hukum syar’i yang berkaitan dengan perbuatan atau tindakan yang terambil dari dalil-dalilnya yang spesifik). lihat Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), 11. Menurut al-Syirazi, Fiqih adalah: هعرفت ( االحكام الشرعيت التى طريقها االجتهادmengetahui atau menemukan hukum syar’i yang caranya dengan ijtihad). Lihat Abu Ishaq al-Syirazi, Al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh, (Kairo: Muhammad Ali Shabih, 1990), 4. 2 Menurut Juhaya S. Praja, Syari’at dalam literatur hukum Islam mempunyai tiga pengertian, pertama, syari’at dalam arti sumber hukum yang tidak dapat berubah sepanjang masa. Kedua, syari’at dalam pengertian sumber hukum Islam, baik yang tidak berubah sepanjang masa maupun yang dapat berubah. Ketiga, syari’at dalam pengertian hukum-hukum yang digali dari al-Qur’an dan Sunnah: hukum yang diinterpretasikan dan dilaksanakan oleh para sahabat, ijtihad para mujtahid, dan hukum-hukum yang dihasilkan dengan metode qiyas dan metode hukum lainnya. Lihat Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM Universitas Islam Bandung, 1995), 10. Definisi syari’at berdasarkan pengertian ketiga di atas dapat dibahas sebagai hukum-hukum atau dasar-dasar hukum yang digariskan Allah agar manusia dapat menjadikan pedoman dalam berhubungan dengan tuhan dan sesama umat manusia. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa syari’at merupakan arahan-arahan bagi pengaturan hidup individu maupun kelompok yang meliputi semua sektor kehidupan manusia. Lihat Mahmud Syaltut, al-Islam: Aqidah wa Syariah (Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi, 1372), 5. Abu al-A’la alMaududi, The Islamic Law and Constitution (Pakistan: Islamic Publication Ltd., tt.), 53. 3 Marzuki Wahid dan Ramadi, Fiqh Madzhab Negara (Yogyakarta: LKiS, 2001), 81. 4 Amin Syukur, ”Fiqh dalam Rentang Sejarah” dalam Noor Ahmad, Dkk, Epistemologi Syara’: Mencari Format Baru Fiqh Indonesia (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), x. 5 Machasin, “Kajian Islam di Indonesia: Sebuah Catatan untuk Pengembangan” (Makalah dipresentasikan pada Studium General Pembukaan Kuliah Semester Gasal T.A 2003/2004 STAIN Purwokerto tanggal 1 September 2003). 1
296 | Azwarfajri: Konstelasi Ideal Hukum Syariah
Substantia, Volume 16 Nomor 2, Oktober 2014.
http://substantiajurnal.org
hukum syariat tetap berjalan dalam lingkup terbatas di wilayah negara Indonesia seperti di Provinsi Aceh, Madura, Makassar dan beberapa wilayah lain dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hukum sebagai Gejala Sosial Nyata Hukum sebagai bagian dari tata kemasyarakatan sangat sulit untuk dirumuskan dalam satu definisi yang dapat diterima dan disepakati oleh semua pihak, disebabkan pada satu pihak terdapat kesempitan dalam cara berpikir, dan pada pihak lain adalah kenyataan bahwa hukum merupakan gejala sosial yang banyak seginya. Hukum merupakan jaringan sosial yang seolah-olah mengalir ke segenap sudut kebudayaan tanpa batas-batas yang nyata. Hukum tidak dapat dibedakan secara tajam dari bentuk perilaku sosial dalam masyarakat.6 Norma-norma hukum secara nyata akan menentukan perilaku manusia di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dasar dari suatu undang-undang atau aturan-aturan hukum adalah asumsi bahwa ada hubungan antara berbagai pola perilaku yang menjelma ke dalam bentuk hukum dengan perilaku nyata dari individu. Asumsi ini menunjukkan bahwa hukum mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku manusia, demikian juga sebaliknya. Cara kerja hukum yang demikian ini menunjukkan bahwa semakin kompleks hubungan yang dijumpai dalam masyarakat, maka semakin banyak pula hukum yang diperlukan untuk mengatur hubungan tersebut. Keberadaan hukum di tengah-tengah masyarakat merupakan sesuatu yang timbul akibat adanya proses sosial. Ia bukanlah suatu fenomena (gejala) yang jatuh secara tiba-tiba dari langit atau yang begitu saja tumbuh entah dari mana asalnya dalam dinamika masyarakat.7 Hubungan antara gejala sosial dengan proses sosial adalah hubungan yang sangat rapat dan tidak dapat dipisahkan, dimana proses sosial diartikan sebagai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila orang perorang dan kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan menetukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada,8 atau dengan perkataan lain proses-proses sosial diartika sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama.9 Manusia mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya, kebutuhan itu berfungsi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhankebutuhan tersebut merupakan syarat agar manusia itu bisa bertahan hidup di dunia ini. Semakin baik kebutuhan-kebutuhan itu bisa dipenuhi, semakin sejahtera hidupnya, demikan juga sebaliknya. Tentang kebutuhan ini, Rahardjo membaginya atas kebutuhan pokok (primer) dan tidak pokok (skunder). Air, oksigen, tidur termasuk kebutuhan pokok karena hanya dapat dipenuhi oleh penyediaan bahan dasar fisik, sedangkan keadilan misalnya, merupakan kebutuhan tidak pokok, karena tanpa dipenuhinya kebutuhan tersebut, manusia juga masih 6
Soerjono Soekanto, Antropologi Hukum: Materi Pengantar Ilmu Hukum Adat (Jakarta: Rajawali Press, 1984), 8. 7 Soerjono Soekanto, dkk., Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988), 118. 8 John Lewis Gillin and John Philip Gillin, Cultural Sociology (New York: The Macmillan Company, 1954), 487-488. 9 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 1982), 54. Azwarfajri: Konstelasi Ideal Hukum Syariah | 297
Substantia, Volume 16 Nomor 2, Oktober 2014.
http://substantiajurnal.org
bisa bertahan hidup di dunia ini. Namun di dalam hal ini kita tidak dapat memilah-milah kebutuhan itu dengan menyatakan bahwa antara kedua bentuk kebutuhan itu tidak ada hubungan, dengan kata lain bahwa pembicaraan tentang kebutuhan manusia tidak bisa lepas dari kebutuhan primer dan skunder tersebut. Kaitannya dengan keadilan, yang dalam hal ini dianggap sebagai kebutuhan sekunder, justru dalam substansi hukum Islam mempunyai posisi tertinggi, yaitu termasuk nilai-nilai dasar hukum Islam atau nilai-nilai filosofis yang mengandung kebenaran universal.10 Dalam hal ini, harus disadari bahwa gagasan logis, nilai perasaan, dan kemauan serta unsur rohani sama sekali berbeda sesuai tempat, keadaan, struktur sosial yang pada akhirnya menimbulkan ciri khas dari pengalaman hukum di mana sifat dan nilai hukum juga menunjukkan kekhasannya, yang dengan demikian nilai keadilan juga berubah dan berbeda untuk setiap tempat, keadaan dan struktur sosial. Sudah menjadi kodrat manusia bahwa untuk tetap survive dalam hidupnya dan untuk mempermudah memenuhi kebutuhannya, ia harus berinteraksi dengan manusia lainnya. Manusia sering diidentifikasi tidak hanya sebagai makhluk biologis, tetapi juga sebagai makhluk sosial. Sebagaimana diungkapkan oleh Rahardjo bahwa pada dasarnya manusia itu adalah makhluk sosisal. Bagi manusia, melakukan hubungan-hubungan sosial sudah merupakan semacam perintah alam. Hal ini ialah karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dalam keadaan yang terisolasi. Ia senantiasa membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan orang lain.11 Dari berbagai uraian di atas, apabila dilihat secara cermat nampak bahwa kebutuhan manusia untuk mengadakan hubungan atau interaksi sosial akan melahirkan unsur-unsur yang mau tidak mau harus ada di dalam menjamin keserasian dan keharmonisan hubungan tersebut. misalnya unsur ketertiban, sistem sosial, lembaga-lembaga sosial, dan pengendalian sosial.12 Terlihat pula bahwa yang mendasari pemikiran adanya hukum, antara lain adalah perlunya aturan main dalam hidup bermasyarakat sehingga tidak terjadi benturan antara kepentingan yang kerap kali berlawanan di antara sesama anggota masyarakat. Dan dari adanya aturan main yang mengikat semua anggota masyarakat itu maka diharapkan kehidupan masyarakat menjadi tertib. Hukum diadakan untuk mengatur perbedaanperbedaan atau pertentangan kepentingan itu. Dasar pemi-kiran yang demikian merupakan masalah pokok yang membedakan hukum Barat dari prinsip adanya hukum menurut Islam. Menurut ajaran Islam hukum itu ada tanpa harus seseorang hidup dengan orang lain. Hukum itu ada meskipun orang hidup sendirian, karena hukum diberlakukan sebagai alat kontrol dan pengatur hidup seseorang baik dalam berhubungan dengan sesama manusia dan makhluk lainnya maupun dalam berhubungan dengan Allah sebagai khalik.13 Dengan prinsip seperti itu, maka ketaatan seseorang pada hukum dituntut untuk selalu konstan, meskipun tidak hidup dengan orang lain. Islam memandang bahwa setiap manusia, sendiri maupun bersama orang lain, berhubungan dengan manusia atau makhluk 10
Syamsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), 159. 11 Misalnya, dengan memperistri seorang wanita, seorang laki-laki membentuk keluarga, dengan menggabungkan diri dengan teman-temannya seseorang membentuk suatu kerja sama. Untuk lebih lengkapnya lihat Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung : Alumni, 1986), 26. 12 Ibid., 27. 13 Moh. Mahfud MD, “Hukum Islam dalam Kerangka Politik Hukum Nasional”, dalam Al-Mawarid, edisi VII, UII Yogyakarta, 1997, 31.
298 | Azwarfajri: Konstelasi Ideal Hukum Syariah
Substantia, Volume 16 Nomor 2, Oktober 2014.
http://substantiajurnal.org
lain, bahkan berhubungan dengan Allah sekalipun diikat oleh aturan hukum Allah yang bersumber utamakan Alquran dan Hadis Nabi. Dengan demikian, kunci ketaatan manusia pada hukum menurut Islam adalah keimanannya kepada Allah, sehingga mereka yang beriman selalu merasa terikat pada hukum dan merasa diawasi oleh Allah meskipun dia merasa aman dari pengawasan dan perhatian manusia. Dalam mempertahankan kehidupan bersama manusia ini, maka masyarakat berfungsi menyediakan berbagai fasilitas yang bisa memperlancar usaha tersebut. Apabila kontakkontak antara sesama anggota masyarakat memperlihatkan adanya berbagai kepentingan yang perlu diselesaikan, seperti persengketaan, maka masyarakat dituntut untuk menyediakan fasilitas-fasilitas untuk memperlancar pemulihan terhadap persengketaan yang timbul. Penyediaan wadah ini dilakukan dengan mengadakan aturan-aturan dan mengembangkan nilai-nilai yang berhubungan dengan persoalan yang bersangkutan dan sebagainya. Yang demikian itulah merupakan lembaga hukum yang dibentuk oleh masyarakat. Memang dari segi substansi, prosedur dan sistem sosial atau budaya, hukum diharapkan menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat. Masyarakat mengharapkan suatu peraturan hukum yang secara harmonis menyediakan hukum bagi penegak hukum dalam menerapkan aturan-aturan hukum. Jauh lebih penting dari itu adalah memberikan kepastian, bahwa selain masyarakat dijamin dan dilindungi hak-hak hukum, sosial, ekonomi, politik dan lainnya, juga tersedianya asas kemerdekaan dalam memilih dan menentukan cara terbaik dalam menyelesaikan suatu persoalan.14 Secara ideal, substansi peraturan hukum harus dapat menimbulkan kepuasan bagi sebagian besar masyarakat. Tetapi tidaklah berarti bahwa hak-hak warga negara yang tergolong minoritas terabaikan. Karena itu, muatan hukum tidak saja harus mengandung nilai-nilai serta norma-norma, moralitas dan ajaran-ajaran normatif keagamaan, tetapi juga mengandung asas-asas universal mengenai hak dan kewajiban masyarakat. Gagasan Penerapan Syariat Islam Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya muslim, keinginan untuk menerapkan syariat Islam (hukum Islam) , baik melalui jalur politik dan konstitusi yang legal, maupun melalui perjuangan fisik dengan menentang pemerintah yang sah, telah menjadi bagian dari sejarah panjang perjuangan umat Islam di negeri ini. Namun demikian, kenyataan sosial dan politik menunjukan bahwa gagasan semacam itu tidak pernah mendapat dukungan mayoritas penduduk. Fenomena ini oleh banyak pengamat dianggap aneh, sebab Indonesia dikenal sebagai negeri penganut Islam terbesar di dunia. Bagaimana mungkin di negeri yang mayoritas penduduknya muslim, gagasan penerapan syari’at Islam tidak pernah mendapat sambutan serius.15 Dari uraian di atas apabila dicermati lebih jauh, terlihat bahwa salah satu faktor penyebab gagasan penerapan syari’at Islam kurang mendapat respon positif dari kalangan 14
Jawahir Thontowi, Islam, Politik, dan Hukum: Esai-esai ilmiah untuk pembaharuan (Yogyakarta: Madyan Press, 2002), 187. 15 Ahmad Faisal, Rekonstruksi Syariat Islam: Kajian tentang Pandangan Ulama terhadap Gagasan Penegakan Syariat Islam oleh KPPSI di Sulawesi Selatan, Disertasi, (Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), 3. Azwarfajri: Konstelasi Ideal Hukum Syariah | 299
Substantia, Volume 16 Nomor 2, Oktober 2014.
http://substantiajurnal.org
umat Islam sendiri adalah karena bentuk pemikiran dan praktek yang dikembangkan oleh para pemikir dan aktivis pendukung gagasan penerapan syari’at Islam selalu kental dengan nuansa legalistik dan formalistik, serta belum adanya format yang jelas mengenai penerapan syari’at Islam tersebut. Isu penerapan syari’at Islam telah menjadi agenda perdebatan sejak menjelang kemerdekaan Indonesia. Perdebatan serius dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada pertengahan 1945 tentang dasar dan filsafat negara berjalan alot. Gagasan negara berdasarkan Islam, dengan implikasi pemberlakuan syari’at Islam, yang diperjuangkan BPUPKI dan negara sekuler yang diperjuangkan anggota lain, akhirnya mencapai kompromi dalam bentuk piagam Jakarta (22 Juni 1945). Namun pada pertemuan mendadak pada 18 Agustus 1945, yaitu hanya sehari setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, piagam Jakarta yang mengandung klausul “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya disepakati untuk dianulir.”16 Kesepakatan tersebut dipandang sebagian pengamat sebagai kekalahan politik umat Islam dalam pentas awal perjalanan kenegaraan Indonesia.Padahal secara kuantitas, tidak sedikit jumlah umat Islam yang duduk di parlemen ketika itu. Sejak saat itu, isu penerapan syari’at Islam jarang mengemuka dalam konstelasi politik nasional. Pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama pada masa-masa awal pemerintahannya, peluang untuk menerapkan syari’at Islam oleh para pendukungnya sepertinya sudah tertutup. Adanya stigma politis dan ideologis antara Islam dan negara pada masa-masa sebelumnya, sepertinya masih membekas. Bahkan, pada masa Orde Baru-lah sebenarnya implikasi negatif dari preferensi politik generasi pemikir dan aktivis pertama menampakkan bentuknya.17 Setelah jatuhnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998 dan terbentuknya pemerintahan baru di bawah presiden Abdurrahman Wahid, tuntutan pemberlakuan atau penerapan syariat Islam dalam segala aspeknya kembali mendominasi pentas nasional. Maraknya berbagai tuntutan penerapan syariat Islam ini, setidaknya didorong oleh beberapa faktor. Suasana keterbukaan, liberalisasi dan krisis politik dalam era reformasi serta pemberlakuan undangundang no. 22/1999 tentang otonomi daerah, merupakan sebagian faktor yang telah memberi peluang kepada tuntutan-tuntutan tersebut.18 Aspirasi atau keinginan untuk menerapkan syariat Islam juga memiliki kaitan erat dengan situasi sosial nasional yang sedang mengalami disorientasi dengan lemah atau hampir tidak adanya penegakan hukum, serta didorong oleh pandangan-pandangan normatif teologis yang idealistik tentang peranan syariat dalam reformasi masyarakat. Dalam situasi negara menghadapi berbagai masalah sosial, sebagian orang bahkan berpikir bahwa penerapan syari’at Islam dapat menjadi alternatif yang efektif untuk mengatasinya.19 Dalam konteks ini, syariat Islam telah dipandang sebagai obat mujarab yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit di Indonesia. Untuk itu, maka tidak heran apabila tuntutan untuk
16
Ibid. Ibid., 4. 18 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), 59. 19 Ibid, 60, 97. 17
300 | Azwarfajri: Konstelasi Ideal Hukum Syariah
Substantia, Volume 16 Nomor 2, Oktober 2014.
http://substantiajurnal.org
menerapkan syariat Islam ini mulai marak disuarakan oleh kelompok-kelompok umat Islam20 di berbagai daerah.21 Dalam penerapan hukum Islam di Indonesia terjadi tarik-menarik antar berbagai kekuatan politik dan keagamaan yang berusaha mengarahkan hukum Islam ke arah pemahaman yang mereka anut dan amalkan. Ada tiga kekuatan utama yang mencoba untuk mengarahkan proses penegakan hukum Islam yaitu : 1. Kekuatan Islam Tradisional yang lahir dari cara pandang sederhana terhadap agama. Kelompok ini berasumsi ajaran Islam merupakan sesuatu yang transenden, mengatasi segala kehidupan duniawi, oleh karena itu tidak boleh terpengaruh oleh perkembangan yang terjadi dalam dunia nyata. Mereka menganggap Islam sebagai sekumpulan upacara peribadatan dan aturan yang mesti dilaksanakan, tidak perduli apakah berkaitan dengan persoalan kehidupan atau tidak. 2. Kekuatan Islam Ilmiah Model Barat yang melakukan pengkajian secara kritis terhadap literatur Islam dan menuntut terwujudnya persyaratan ilmiah dalam setiap kajian ilmu keislaman yang dikenal dengan istilah Islamologi. Pada akhirnya kelompok ini terjebak dalam logosentrisme yaitu mempelajari Islam hanya yang terdapat dalam buku-buku tanpa melihat praktek kehidupan dan tradisi suku-suku bangsa yang tidak mengungkapkan pikirannya dalam bentuk tulisan. 3. Kekuatan Ideologi Kebangkitan Islam yang menghasilkan kajian Islam yang sifatnya memilih yaitu mengutip pernyataan-pernyataan dari Alquran dan Sunnah yang mendukung gerakan kebangkitan Islam yang diklaim sebagai gerakan pelaksanaan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Adanya tiga kelompok Ideologi Islam ini yang melebur ke dalam berbagai elemen organisasi Islam memberikan warna tersendiri dalam perkembangan hukum Islam, meskipun dalam taraf tertentu kadang-kadang terjadi penolakan terhadap ide-ide pembaharuan yang dikembangkan dalam masyarakat muslim di Indonesia. Tingkat Penerapan Syariat Islam Adanya keterkaitan yang amat erat antara kekuasaan negara di satu sisi dengan syariat di sisi lain, sebetulnya lebih disebabkan oleh karakteristik syariat itu sendiri yang diyakini sebagai seperangkat norma dan nilai yang total dan komprehensif mengenai kehidupan manusia hingga yang paling detail. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan syariat Islam oleh negara, totalitas atau the comprehensiveness syariat itu dapat dipilah menjadi lima level penerapan hukum Islam sebagai berikut: 22 1. Masalah-masalah hukum kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian dan kewarisan. 2. Urusan-urusan ekonomi dan keuangan, seperti perbankan Islam dan zakat.
20
Sekedar menyebut contoh, di antara kelompok umat Islam yang menginginkan penegakan syariat Islam adalah Forum Komunikasi Ahlu Sunnah wal-Jama’ah (FKAWY), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan sebagainya. Lihat Ibid., 71 – 81. 21 Beberapa daerah yang telah menggulirkan gagasan penegakan syari’at Islam di antaranya adalah Sulawesi Selatan, Riau, Banten, Cianjur, Tasikmalaya, Kebumen, Indramayu dan Pamekasan. Lihat Ibid., 8297. 22 Http:\\ Islamlib.com/id/index.php?page=article&id=129. Diakses tanggal 9 Desember 2013. Azwarfajri: Konstelasi Ideal Hukum Syariah | 301
Substantia, Volume 16 Nomor 2, Oktober 2014.
http://substantiajurnal.org
3. Praktek-praktek (ritual) keagamaan, seperti kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita Muslim; ataupun pelarangan resmi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti alkohol dan perjudian. 4. Penerapan hukum pidana Islam, terutama bertalian dengan jenis-jenis sanksi yang dijatuhkan bagi pelanggar. 5. Penggunaan Islam sebagai dasar negara dan sistem pemerintahan. Penting untuk dicatat bahwa lima level penerapan hukum Islam di atas disusun secara hirarkis mulai dari yang terendah hingga yang paling tinggi bobotnya. Maka tuntutan untuk menerapkan semua lima level hukum Islam di atas dengan sendirinya mengimplikasikan tuntutan langsung pembentukan Negara Islam. Mungkin cukup masuk akal pula jika dikatakan bahwa semakin tinggi level tuntutan penerapan hukum Islam, maka semakin dekat menuju perwujudan gagasan Negara Islam. Sebaliknya, semakin rendah level tuntutan maka semakin rendah pula tingkat komitmen untuk mewujudkan Negara Islam.23 Sistem Hukum Nasional Indonesia dewasa ini paling tidak telah menerbitkan tujuh buah kategori peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi materi hukum Islam di dalamnya, yaitu (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, (2) PP No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan, (3) UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (4) UU No. 7 tahun 1992 jo UU No. 10 tahun 1998 dan UU No 23 tahun 1999 tentang Sistem Perbankan Nasional yang mengizinkan beroperasinya Bank Syariah, (5) Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, (6) UU No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, dan (7) UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan masih ada beberapa perundang-undangan lainnya. Dari kedua Undang-undang yang disebutkan terakhir ini dapat ditempatkan pada level tiga dari lima level penerapan hukum Islam yang sudah disebutkan di atas, tidak ada satupun ketentuan atau pasal di dalamnya yang mewajibkan ibadah haji ataupun kewajiban mengeluarkan zakat bagi mereka yang telah mampu melaksanakannya. Kehadiran kedua UU tersebut tak lebih merupakan manual petunjuk bagi pemerintah untuk menjamin penyelenggaraan dan memfasilitasi dengan sebaik-baiknya pelaksanaan ibadah haji dan zakat oleh umat Islam sendiri. Ini berarti bahwa jika dilihat dalam perspektif lima level penerapan syariat, maka penerapan hukum Islam di Indonesia sesungguhnya tidak melewati lebih dari level dua. Lebih jauh, kenyataan ini pun dengan jelas menunjukkan bahwa sekalipun tanpa kehadiran Piagam Jakarta, beberapa jenis materi hukum Islam tertentu sudah terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan nasional. Dewasa ini di kalangan kaum muslim terdapat dua spektrum pemikiran yang berbeda dalam memahami syari’at dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Mereka sama-sama mengakui pentingnya prinsip-prinsip syari’at dalam setiap aspek kehidupan, namun keduanya mempunyai penafsiran yang berbeda atas ajaran-ajaran Islam dan kesesuaiannya dengan kehidupan Modern. Dalam satu pendapat, beberapa kalangan muslim beranggapan bahwa syari’at harus diterima sebagai way of life dalam segala dimensi kehidupan umat sehingga negara harus memberi jaminan pelaksanaan melalui aturan yang jelas. Sementara pendapat yang lain, beberapa kalangan muslim lainnya berpendapat bahwa syari’at, meskipun tidak dilegalkan pelaksanaannya oleh negara, tetapi sepanjang nilai-nilai universal (al-Qiyam al-Asasiyah) dari syari’at seperti keadilan, persamaan dan kebebasan dipraktekkan 23
Ibid.
302 | Azwarfajri: Konstelasi Ideal Hukum Syariah
Substantia, Volume 16 Nomor 2, Oktober 2014.
http://substantiajurnal.org
dalam kehidupan bernegara, maka suasana kehidupan seperti itupun layak dianggap dijalankan berdasarkan syari’at, tanpa harus diformalkan melalui negara secara eksplisit.24 Mengakui syari’at sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh dan memahaminya secara benar merupakan suatu hal yang penting. Bahkan dalam konteks bagaimana syari’at harus dipahami inilah terletak persoalan yang sebenarnya.25 Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi dan membentuk hasil pemahaman kaum muslimin terhadap syariat. Situasi sosiologis, kultural, dan intelektual, atau apa yang oleh Arkoun disebut sebagai estetika penerimaan (Aesthetics Reception). Sangat berpengaruh dalam menentukan bentuk dan isi pemahaman26 untuk itu, walaupun setiap muslim sama-sama mengakui nilai-nilai universal yang terkandung dalam syariat, tetapi background mereka baik secara sosiologis, kultural ataupun intelektual berbeda, maka dapat melahirkan pemahaman yang berbeda pula. Memahami adanya dua spektrum pemikiran yang berbeda dalam memahami syari’at dan mengaplikasikannya dalam kehidupan, sebagaimana di atas, serta mengetahui dalam konteks bagaimana syariat harus dipahami adalah menjadi penting, mengingat hal itu menjadi titik tolak dalam membangun asumsi ataupun hipotesis, di samping juga sebagai pisau bedah dalam melihat dan menganalisis berbagai pokok persoalan dalam tulisan ini. Dalam penerapan syariat Islam ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar aturan yang diberlakukan berlaku efektif dan dapat memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat. Menurut Prof. Syamsul Anwar hukum akan berlaku efektif apabila: 1. Materi hukum mampu mengayomi kepentingan dan kebutuhan masyarakat dan pendukungnya. 2. Terdapat suatu tingkat kesadaran hukum yang memadai dari masyarakat pendukung hukum tersebut. 3. Aparat penegak hukum itu memiliki komitmen dan kecakapan untuk melakukan penegakan hukum bersangkutan agar penegakan itu memberikan kepastian dan keadilan.27 Syarat ideal inilah yang belum terpenuhi dalam pengembangan hokum syariat di Indonesia, bahkan dalam sisi yudisial seperti di Aceh dapat ditemukan dualisme pengadilan bagi masyarakat muslim dan non-muslim meskipun ada usaha untuk melakukan unifikasi melalui pemberlakuan qanun jinayah. Namun demikian upaya ini mengalami hambatan dari berbagai pihak yang mengklaim qanun ini melanggar hak asasi manusia. Kesimpulan Gagasan penerapan syariat Islam di Indonesia telah ada sejak masa kemerdekaan, hal ini terlihat dalam pembentukan Undang-undang Dasar yang mana terjadi penghapusan beberapa kata dalam piagam Jakarta. Namun demikian isu syariat Islam tetap berlangsung hingga saat ini, meskipun dalam praktek implementasi menghadapi banyak tantangan dan
24
Ahmad Faisal, Rekonstruksi, 19. Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), 101. 26 Muhammad Arkoun, “The Concept of Authority in Islamic Thought”, dalam Klauss Ferdinand dan Mehdi Mozaffari (eds), Islamic: State and Society, (London: Curzon Press, 1988), 58. 27 Syamsul Anwar, Kanunisasi Hukum Islam, makalah, bahan kuliah Ushul Fiqih, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004. 25
Azwarfajri: Konstelasi Ideal Hukum Syariah | 303
Substantia, Volume 16 Nomor 2, Oktober 2014.
http://substantiajurnal.org
rintangan yang disebabkan adanya tarik-menarik kepentingan dari berbagai kekuatan yang ada dalam membangun model hukum Islam Indonesia. Untuk melaksanakan penerapan syariat Islam yang ideal dan berlaku efektif harus ada materi hukum yang dapat mengayomi segenap kepentingan masyarakat selain adanya tingkat kesadaran hukum masyarakat dalam penegakan syariat. Namun yang terpenting adalah adanya komitmen dari segenap unsur aparatur Negara dalam penegakan hukum syariat dalam lingkup Negara.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Abd al-Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978 Abu Ishaq al-Syirazi. Al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh. Kairo: Muhammad Ali Shabih, 1990. Abu al-A’la al-Maududi. The Islamic Law and Constitution. Pakistan: Islamic Publication Ltd., tt. Amin Syukur, ”Fiqh dalam Rentang Sejarah” dalam Noor Ahmad, Dkk. Epistemologi Syara’: Mencari Format Baru Fiqh Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000. John Lewis Gillin and John Philip Gillin. Cultural Sociology. New York: The Macmillan Company, 1954. Juhaya S. Praja. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM Universitas Islam Bandung, 1995. Machasin, “Kajian Islam di Indonesia: Sebuah Catatan untuk Pengembangan” Makalah dipresentasikan pada Studium General Pembukaan Kuliah Semester Gasal T.A 2003/2004 STAIN Purwokerto tanggal 1 September 2003. Mahmud Syaltut. Al-Islam: Aqidah wa Syariah. Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi, 1372H. Marzuki Wahid dan Ramadi. Fiqh Madzhab Negara. Yogyakarta: LKiS, 2001. Soerjono Soekanto, dkk. Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988. ______. Antropologi Hukum: Materi Pengantar Ilmu Hukum Adat. Jakarta: Rajawali Press, 1984. ______. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press, 1982. Syamsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002.
304 | Azwarfajri: Konstelasi Ideal Hukum Syariah