ANALISIS MINGGUAN
PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI Minggu IV - Juli 2007
Vol.1 No.18
Fobia Separatisme dan Mis-konsepsi Keamanan Nasional
Integrasi Nasional dalam Demokrasi Dan apabila kita perhatikan lagi susunan nusantara kita, terbagi atas beratus-ratus pulau, besar dan kecil dalam berjenis ukuran, tersebar antara jarak yang luas sekali, maka jelaslah sudah bahwa susunan yang semacam itu hanya bisa hidup bersatu dalam sistem demokrasi. (Mohammad Hatta, Pidato di Konperensi Inter Indonesia II, 30 Juli 1949) Sumber: www.tniad.mil.id
T
utama terhadap demokrasi salah satunya datang dari pertanyaan sejauh mana demokrasi bisa mempertahankan integrasi? Dalam hal apa dinamika politik bisa mempertahankan suatu ketetapan sosiologis? Atau apabila diformulasikan sebagai persoalan konseptual maka tantangan itu bisa berbunyi: Apakah demokrasi memiliki pandangan mengenai pentingnya mempertahankan persatuan nasional? Berhadapan dengan tantangan ini, para demokrat biasanya menjawab dengan dua cara: pertama, demokrat berpandangan bahwa demokrasi memiliki pandangan dan mampu menjamin suatu integrasi sosial. Untuk itu demokrat menekankan sikap normatif bahwa demokrasi penting, bahwa demokrasi baik, bahwa demokrasi itu harus. Dan karena penting, baik dan harus maka dengan sendirinya dianggap bisa menjawab persoalan apapun, termasuk soal integrasi. Argumen kedua adalah dengan menolak menjawab dengan praanggapan dasar bahwa memang demokrasi, baik secara konotatif maupun secara substansial, bertentangan dengan integrasi. Demokrasi menekankan keterbukaan dan ketakterbatasan dinamika kehidupan politik. Sementara integrasi menekankan aspek pemeliharaan tatanan, pembakuan dan ketetapan. Pada jawaban yang pertama, argumen demokrat bersifat tautologis dan tidak menyentuh akar pertanyaan. Sementara pada argumen yang kedua, dengan menetapkan bahwa demokrasi memiliki matriks logis yang bertentangan dengan integrasi, maka kaum demokrat secara ironis berposisi sama dengan para konservatif dan pencinta politik keamanan Orde Baru, yang memang melihat demokrasi sebagai biang keladi segala kekacauan, penyebab disintegrasi dan memicu separatisme. Dengan demikian, demokrasi jelas bukan hanya bisa menjamin suatu bentuk persatuan nasional, lebih dari itu, by nature, hanya demokrasi yang bisa menjamin suatu tatanan sosial yang adil secara langgeng. Bagaimana mungkin? ANTANGAN
... bersambung ke halaman 2
K
mendasar dalam merespon fenomena partai GAM, pengibaran bendera Bintang Kejora dan tarian Cakalele yang berbuntut pengibaran bendera RMS, adalah dengan melihat fenomena tersebut sebagai sebuah ancaman terhadap keamanan nasional, khususnya terhadap eksistensi NKRI. Bagi mereka yang memahami demokrasi, tindakan-tindakan semacam itu akan lebih dipandang sebagai sebuah aspirasi politik. Tidak lebih. Memandang fenomena-fenomena itu sebagai bibit separatisme, memang tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi apakah fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai ancaman terhadap keamanan nasional? Dan apakah bibit separatisme semacam itu harus dihadang dengan pendekatan represif? Apabila kita merujuk pada “Buku Putih Pertahanan 2003: Indonesia Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21” yang dikeluarkan Departemen Pertahanan, maka tidak terlalu mengherankan apabila perspektif tradisional masih dominan dalam melihat isu keamanan nasional. Tradisionalisme ini terlihat pada dua hal: Pertama, pandangan keamanan nasional semata-mata pada ESALAHAN
... bersambung ke halaman 5
2
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.18/2007
Sumber: http://z.about.com
Sambungan dari halaman 1 Integrasi Nasional...
Hatta pernah mengatakan bahwa: hanya, apabila rakyat merasai bahwa nasibnya adalah dalam tangannya sendiri, rakyat berani mempertahankan dan membela kemerdekaanya! Dengan itu di dalam Hatta dipersatukan tiga kategori yang saling terkait secara sekaligus, yakni integrasi, demokrasi dan kedaulatan rakyat. Integrasi mensyaratkan demokrasi, dan demokrasi mensyaratkan kedaulatan rakyat secara penuh. Dengan kata lain, inti utama integrasi adalah kedaulatan rakyat. Dalam demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat, namun demikian karena yang disebut “tangan rakyat” di sini tidak dapat memerintah dan menempati kedaulatannya secara langsung maka tempat bagi kedaulatan rakyat harus tetap dibiarkan kosong. Setiap orang atau penguasa yang menduduki tempat kosong itu, boleh mendudukinya tapi hanya dalam waktu yang terbatas (sementara) dan dalam kesadaran serta keharusan bahwa “tempat kedaulatan” itu bukan miliknya dan harus selalu dikembalikan kepada pemilik sebenarnya yakni rakyat (Zizek, 1989: 147).
Dengan itu maka kemudian terdapat dua implikasi penting. Pertama, karena kedaulatan rakyat harus selalu disadari sebagai tempat kosong, upaya dan uji coba mengisi kekosongan itu mengandaikan adanya ragam penafsiran, pluralitas kekuatan dan keterbukaan. Kedua, lebih jauh lagi, dengan demikian maka dunia sosial yang mewadahi kepolitikan harus juga selalu diandaikan terfragementasi, berkekurangan dan dinamis. Dengan kata lain, untuk bisa menerima keberadaan kedaulatan rakyat dan demokrasi maka kita harus menerima secara paradoksal suatu pengandaian bahwa masyarakat selalu retak, berubah dan dinamis. Sebagai konsekuensinya, di dalam politik selalu muncul proses untuk mempertanyakan segala sesuatunya tanpa berkeputusan: tidak ada lagi hukum yang dapat membentuk secara baku, dan memerintah tanpa tantangan dan pertanyaan. Singkatnya, tidak ada lagi representasi dari apa yang dinamakan “pusat kehidupan masyarakat”; klaim persatuan tidak dapat lagi menghapuskan perbedaan dan pembagian sosial. Akibatnya lagi, segala bentuk persatuan masyarakat tidak dapat
lagi disajikan sebagai sebuah kategori metafisik yang dipaksakan. Integrasi nasional Indonesia misalnya, tidak boleh diandaikan terberi (given) begitu saja di mana setiap orang dipaksa atau diandaikan harus menerimanya, sebagaimana yang selama ini ada dalam ajaran organisisme Soepomo. Pandangan totalitaristik semacam ini — dalam pengalaman sejarah kita — hanya memberikan semacam ilusi akan persatuan, dan merangsang represi dan penindasan yang justru menjadi biang keladi perpecahan dan kebencian terhadap keIndonesiaan secara keseluruhan. Lalu bagaimana suatu harmonisasi tatanan dijamin? Dengan pengandaian bahwa kedaulatan rakyat dan demokrasi hanya berlaku apabila kita menerima masyarakat sebagai bidang yang terfragmentasi dan pluralistik, maka harmonisasi hanya bisa dicapai apabila setiap fragmen yang terpecah itu “berani” berjumpa, berhadapan, berdialog dan saling mempengaruhi secara konkret satu sama lain. Persatuan, konsensus dan harmoni dicapai melalui jalan dialektis. Hanya dengan keterbukaan semacam ini, maka virtue dan kesadaran akan kebersatuan dapat tumbuh secara otentik, dewasa dan jujur n (Rbt)
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.18/2007
3
Fantasi Keutuhan dalam Totalitas P
bendera RMS di Ambon dan Bintang Kejora di Papua menghentak pemerintah. Belum lagi soal nama Partai GAM yang masih dinilai berbau separatisme. Ketiga penanda tersebut dimaknai oleh para elite politik sebagai gejala bangkitnya kembali separatisme, yang seolah-olah akan segera merubuhkan tatanan negara-bangsa Indonesia. Para elite politik bersuara di berbagai media massa, dan mengkritik pemerintah yang mereka nilai tidak tegas dan lamban dalam mengambil sikap. Cara para elite politik memaknai ketiga penanda tersebut menunjukkan suatu pola dan paradigma berpikir lama mengenai “ancaman serius separatisme”, sebagaimana hal yang sama dilakukan dalam kasus Timor Timur. Sepertinya semua soal penanda separatisme memiliki kualitas bahaya yang sama untuk “menggoyang” Republik. Penanda-penanda itu dimaknai sebagai gejala yang mengancam suatu keutuhan, suatu kesatuan, di mana sesuatu yang beda, sekecil apapun, harus dimaknai sebagai ancaman serius. Sebuah tanda kesatuan (sign of unity) lama gaya Orde Baru, yang ternyata masih melekat erat dalam pikiran para elite politik. Tanda kesatuan gaya Orde Baru mengasumsikan bahwa Indonesia adalah satu kesatuan yang utuh. Keberagaman hanya retorika dari bagian keutuhan. Keutuhan ini bersifat total, dan dibangun dalam kerangka harmoni. Keutuhan yang harmoni menolak adanya gejala inharmonis, sekecil apapun gejala itu muncul. Pancasila yang berdiri agung sebagai norma dasar, ditarik turun menjadi rujukan totalitas keutuhan. Pancasila, dari penanda kesatuan yang menopang keberagaman, diturunkan derajatnya menjadi penanda kesatuan yang tidak membolehkan adanya perbedaan. ENGIBARAN
“Bendera RMS” Sumber: http://web.planet.nl
Paradigma berpikir gaya Orde Baru ini yang kemudian dipakai untuk membaca kasus Ambon, Papua dan Partai GAM. Bukan berarti kita harus menafikkan itu semua sebagai hal yang biasa saja, namun kita perlu juga untuk memaknainya secara baru. Sehingga cara menanganinya juga bukan dengan gaya Orde Baru, yakni mengirim pasukan dan “membasminya”. Fantasi Orde Baru: Masyarakat yang Utuh Cornelius Castoriadis dalam bukunya Imaginary Institution of Society (1987) berargumentasi bahwa kita memiliki pemaknaan imajinatif terhadap suatu tatanan masyarakat (social imaginary significations), dan imajinasi ini dibentuk secara sosialhistoris. Setiap individu dalam masyarakat pada dasarnya bersifat otonom, karena itu masyarakat memiliki potensi untuk selalu terbuka terhadap munculnya suatu “perubahan radikal” karena adanya
otonomi individu. Castoriadis membedakan dengan tegas antara otonomi (autonomous) dan kedaulatan (sovereignty), di mana bagi Castoriadis individu yang berdaulat adalah individu yang tidak otonom (the sovereign individual is never autonomous), jadi harus dibedakan antara kedaulatan dan otonomi. Bagi Castoriadis, kedaulatan ada pada kolektif, dan individu dalam kolektif harus memiliki otonomi. Jadi bukan individu yang berdaulat, melainkan yang kolektif. Merujuk pada gagasan Castoriadis, Orde Baru membangun suatu fantasi mengenai adanya “kedaulatan rakyat”, dalam ujud monumen, teks-teks kejayaan dan heroisme perjuangan angkatan bersenjata, serta retorika mengenai suatu tatanan masyarakat yang utuh
Analisis Mingguan Diterbitkan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Redaksi Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Elisabet R. Kuswijayanti Fajrimei A. Gofar Ikravany Hilman Hendrik Bolitobi Isfahani Ivan Otto Pratama Rachlan Nashidik Robby Kurniawan Robertus Robet Santi Nuri Alamat Redaksi Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 Email:
[email protected] Website: http://www.p2d.org
4
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.18/2007
dan harmonis (totalitas). Fantasi Orde Baru dibangun dengan melekatkan diri pada doktrin Soepomo mengenai satu-kesatuan masyarakat dan negara (integralistik). Doktrin Soepomo digunakan juga dalam ideologi militer Orde Baru, yang mengkonstruksi militer sebagai pemersatu dan pelindung bangsa dan negara. Doktrin Soepomo dan ideologi militer menjadi dasar dalam menciptakan fantasi suatu kedaulatan negara dan kedaulatan rakyat yang utuh, integral dan total. Totalitas ini dikerangkakan dengan menempatkan Pancasila sebagai dasar pengikat, di mana negara sebagai satu-satunya pihak yang memiliki otoritas untuk menentukan apakah suatu tindakan, sikap, perilaku dan praktik politik berkesesuaian dengan Pancasila atau tidak.
Pa n c a s i l a , d a r i penanda kesatuan yang menopang keberagaman, diturunkan derajatnya menjadi penanda kesatuan yang tidak membolehkan adanya perbedaan. Fantasi yang diciptakan Orde Baru dijalankan dengan kebijakan dan praktik politik integrasi dengan menempatkan militer sebagai elemen paling menentukan dan paling terdepan dalam menjalankan politik integrasi Orde Baru. Individu dan masyarakat dipandang sebagai satu kesatuan utuh, dan dicabut otonominya. Otonomi individu dinilai sebagai bentuk individualisme yang berbeda dari tatanan dan nilai bangsa Indonesia yang integral, harmoni dan berdaulat. Dalam pandangan Castoriadis keberadaan eksistensi manusia merupakan suatu kondisi bagi terciptanya pelbagai kemungkinan (conditions of possibility), bukan kondisi bagi suatu
Sumber: www.tniad.mil.id
keharusan (conditions of necessity). Dalam politik-integrasi Orde Baru, eksistensi manusia justru diperlakukan sebagai kondisi bagi suatu keharusan, sehingga diciptakan doktrin “manusia Indonesia seutuhnya”, yakni manusia yang Pancasilais, moralis, toleran, dll, yang untuk menentukan parameter-parameter “keutuhan” nya sebagai manusia Indonesia, sematamata ada pada negara. Mendorong Politik Keadilan-Sosial Kejatuhan Orde Baru membuka kondisi terciptanya pelbagai kemungkinan, namun politik-integrasi gaya Orde Baru tidak sepenuhnya ditanggalkan. Ini jelas terlihat dalam menyikapi peristiwa pengibaran bendera RMS, Bintang Kejora dan Partai GAM. Cara melihat simbolsimbol itu masih dalam kerangka melihat gejolak separatisme Orde Baru, yakni ancaman keamanan, keutuhan, kesatuan dan integrasitotal negara-bangsa, dan lebih dilihat dengan kacamata ancaman militer dan disintegrasi politik, tanpa mencoba melihatnya sebagai suatu ancaman disintegrasi sosial. Disintegrasi sosial bisa dirujuk pada problem-problem ketimpangan sosial, kemiskinan, distribusi yang tidak merata, dan keterbelakangan, sehing-
ga penyelesaian sosial menjadi prioritas. Disintegrasi politik akan lebih dipahami sebagai gerakan separatisme kemerdekaan, sehingga penyelesaian dengan senjata dan penegakan rust en orde akan dikedepankan. Paradigma ini yang harus perlahan-lahan ditanggalkan, karena bagaimanapun juga, Ambon masih porak-poranda akibat pertikaian sosial yang luas, Papua masih diperlakukan seperti “wilayah lain”, atau dalam bahasa yang vulgar: “kita berperilaku seperti penjajah di Papua”. Kembali pada pemikiran Castoriadis, era reformasi menjadi ruang di mana individu-individu maupun kolektif-kolektif “menemukan kembali” otonominya. Fantasi “kedaulatan semu” ala Orde Baru perlahan tanggal, karena itu kedaulatan rakyat di era reformasi harus mampu mengakomodasi otonomi individu tiap warga. Di sini diperlukan kearifan dan kedalaman untuk memaknai dan menilai kasuskasus pengibaran bendera dan keberadaan Partai GAM dengan paradigma baru, bukan dengan paradigma lama politik-integrasi ala Orde Baru, tetapi politik keadilansosial republikanisme, di mana kemaslahatan bersama menjadi tujuan utama n (Dan’s)
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.18/2007
kecenderungan untuk memanfaatkan isu-isu semacam ini demi mengembalikan peran tradisional TNI dalam hal keamanan. Apabila Partai GAM dilihat sebagai sebuah “bahaya laten”, maka cukup dilawan dengan memperkuat partai-partai “nasionalis” yang ada untuk dapat merebut simpati dan dukungan publik. Apabila Partai GAM dianggap memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka musti dinilai dengan menggunakan UU Partai Politik.
Sambungan dari halaman 1 Fobia Separatisme...
kedaulatan politik dan teritorial negara. Kedua, keamanan lebih sering ditafsirkan dalam konteks ancaman fisik (militer) sehinga tentara ditempatkan sebagai aktor utama keamanan nasional. Dalam diskursus reformasi sektor keamanan, sudah dilakukan redefinisi terhadap konsep keamanan nasional. Keamanan nasional bukan hanya memperhatikan isu keamanan tradisional yang mengancam kedaulatan politik dan teritorial negara, tetapi juga isu keamanan baru yang mengancam kehidupan warga negara (human security). Di sini keamanan tidak hanya terbatas pada dimensi militer, seperti sering diasumsikan dalam diskusi tentang konsep keamanan, tetapi merujuk pada seluruh dimensi yang menentukan eksistensi negara, termasuk di dalamnya upaya memantapkan keamanan internal melalui binabangsa, ketersediaan pangan, fasilitas kesehatan, uang dan perdagangan (Kusnanto Anggoro, 2002). Keamanan nasional acapkali secara normatif dipahami sebagai total keseluruhan dari kepentingan vital negara, sehingga “kepentingan nasional” didefinisikan sebagai “sesuatu yang membuat negara bersedia dan siap untuk berperang” (Frederick H. Hartman, 1967). Ancaman terhadap keamanan nasional juga biasa dibedakan antara ancaman yang bersifat non-militer dan ancaman militer. Ancaman nonmiliter merupakan suatu spektrum, mulai dari tindak kriminal, kerusuhan sosial, berkembangnya ideologi radikal, pertikaian elit politik yang tidak terkendali, ketidakpuasan yang meluas hingga memunculkan pembangkangan massal, dan subversi. Sementara ancaman militer meliputi teror dan pemberontakan bersenjata yang pada umumnya dilakukan dengan cara ge-
5
Sumber: tempophoto - J Kamal Farza
rilya, sampai dengan tindakan militer dari luar (Propatria, 2004). Dengan pemahaman normatif semacam itu, fenomena partai GAM, pengibaran bendera Bintang Kejora dan tarian Cakalele yang berbuntut pengibaran bendera RMS sama sekali jauh dari bentuk ancaman terhadap keamanan nasional. Kalaupun mau dilihat sebagai tindak kriminal ataupun dipandang sebagai ideologi radikal, tentunya harus ditempatkan sebagai ancaman non-militer. Dengan demikian, sama sekali tidak relevan apabila TNI terlibat di dalam penanganannya. Bahkan sebagai ancaman non-militer, otoritas politik juga tidak selayaknya mengambil kebijakan yang represif terhadap kasus-kasus ini. Keterlibatan tentara, selain bukan kompetensi mereka, juga bagaikan membunuh lalat dengan bazoka. Deklarasi Partai GAM merupakan sebuah tindakan politik yang harus dijawab pula dengan tindakan politik. Kecenderungan untuk menolak keberadaan Partai GAM dengan menggunakan argumentasi separatisme dan ancaman terhadap NKRI, merupakan undangan terhadap penggunaan pendekatan kekerasan dan militeristik. Perlu diwaspadai adanya
Keamanan nasional bukan hanya memperhatikan isu keamanan tradisional yang mengancam kedaulatan politik dan teritorial negara, tetapi juga isu keamanan baru yang mengancam kehidupan warga negara (human security). Fenomena pengibaran bendera RMS yang dilakukan sekelompok penari Cakalele di depan Presiden SBY, cukup lah dilihat sebagai suatu ekspresi simbolik eksistensialis. Dalam kasus itu memang ada persoalan, yaitu protokoler dan keamanan presiden. Walaupun sekali lagi, reaksi TNI terlalu berlebihan dengan adanya perdebatan antara pihak TNI dengan Badan Intelijen Negara. Dalam hal ini, Ambon bukanlah daerah operasi militer. Oleh karena itu, peran TNI di wilayah tersebut hanyalah peran perbantuan. Keamanan wilayah Ambon lebih merupakan tanggung jawab pihak Kepolisian. Mustinya aparat Kepolisian lah yang lebih berkompeten dalam mengkritik kelemahan dari koordinasi antar lembaga intelijen n (Don)
6
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.18/2007
Partai GAM dan Kekhususan Aceh “Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.” (Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005)
M
ELALUI salah satu isi kesepahaman tersebut rakyat Aceh diberi hak untuk membentuk partai politik lokal (PPL). Hak membentuk PPL ini semakin mempunyai kekuatan hukum bersamaan dengan lahirnya UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam Pasal 75 ayat (1) disebutkan bahwa penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal. Pada tanggal 16 Maret 2007, telah disahkan pula aturan pelaksanaan tentang PPL itu, yaitu PP No 20/2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Aturan-aturan inilah yang menjadi dasar pembentukan Partai GAM di Aceh. Pembentukan Partai GAM menjadi kontroversial ketika nama dan lambang GAM dipakai. Jakarta menilai pendirian partai tersebut bertentangan dengan semangat Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki. Bahkan, muncul tuduhan separatisme dan dianggap mengancam dan membahayakan keutuhan NKRI. Dilihat dari substansi MoU Helsinki, UU No.11/2006 dan PP No.20/2007, pendirian Partai GAM pada dasarnya tidak lah bertentangan. Dilihat dari latar belakangnya, pengaturan tentang PPL dalam MoU tersebut merupakan salah satu tuntutan GAM ketika mereka meletakkan senjata dan melupakan tuntutan memisahkan diri dari NKRI. Tuntutan tersebut juga dimaksudkan untuk memperluas partisipasi masyarakat Aceh, seperti dikatakan Nur Djuli — juru runding GAM saat itu, partai lokal
tidak hanya untuk GAM, tapi masyarakat Aceh secara keseluruhan (Koran Tempo, 14/7/ 2005). Jadi, dapat disimpulkan bahwa mendirikan PPL adalah hak GAM. Dengan demikian, menolak pendirian Partai GAM malah bertentangan dengan semangat MoU Helsinki.
Meskipun bertentangan dengan konstitusi, dalam perspektif politik integrasi perlakuan khusus untuk Aceh musti diterima, termasuk pendirian Partai GAM di sana yang juga merupakan bagian dari kekhususan Aceh. Saat ini, yang penting adalah, apa yang musti dilakukan bagi Aceh demi kebaikan rakyat Aceh dan keberlangsungan demokrasi di Indonesia UU No 11/2006 memuat hak dan kewajiban serta laranganlarangan berkaitan dengan pendirian PPL. Sedangkan PP No 20/2007 lebih khusus mengatur mengenai bagaimana tata cara pendaftaran dan pengesahan PPL, anggaran rumah tangga, kepengurusan, keanggotaan, tata cara pembubaran dan penggabungan, penyelesaian perselisihan,
bantuan keuangan, dan pengawasan. Tak ada satu pun dari substansi aturan-aturan tersebut yang melarang penggunaan nama dan lambang GAM sebagai nama dan lambang PPL, sepanjang PPL tersebut tidak melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 atau peraturan perundangan lain; melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI, dan tidak menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme dan Marxisme-Leninisme (Pasal 82 UU No.11/2006). Jadi, secara hukum, sebenarnya tidak ada alasan untuk menolak pengesahan bagi pendirian Partai GAM. Meskipun demikian, untuk menghindari kontroversi, alangkah baiknya PPL di Aceh tidak menggunakan nama dan lambang GAM. Secara tidak langsung, penggunaan nama dan lambang tersebut dapat pula membangkitkan trauma konflik yang berkepanjangan. Kemunculan Partai GAM di Aceh tersebut sebenarnya tidak terlepas dari kebijakan untuk memperlakukan Aceh secara khusus. Dengan kata lain, Partai GAM adalah bagian dari kekhususan Aceh. Perlakuan khusus tersebut bermula dari ditandatanganinya MoU Helsinki, yang kemudian pengaturannya diteruskan dalam UU No.11/2006 — sebagai amanat MoU Helsinki. Dalam MoU dan UU No 11/2006 pada dasarnya kebijakan pusat yang akan diberlakukan di Aceh harus
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.18/2007
7
Keanekaragaman Papua dalam Bingkai Kesatuan Indonesia
G
Aditjondro dalam buku Cahaya Bintang Kejora (2000), menyatakan kebanyakan orang keliru memaknai identitas orang Papua. Ketika orang berbicara Papua, yang muncul dalam ingatan adalah koteka, kerajinan seni Asmat dan OPM. Pandangan semacam itu mengabaikan keanekaragaman kehidupan orang Papua, seperti kebudayaan orang-orang di pegunungan Jayawijaya, Lembah Besar Baliem, budaya orang-orang yang tinggal di daerah rawa-rawa dan sungai-sungai besar, budaya orang pantai di sepanjang pesisir pulau Papua maupun budaya orang-orang yang hidup di perkotaan. Lebih lanjut, Aditjondro mengatakan bahwa sesungguhnya pandangan yang menyederhanakan orang Papua ini berakar dari adanya suatu gagasan yang melihat orang Papua sebagai ras yang lebih rendah dan terbelakang (gagasan ini dipinjam dari Frans Fanon — seorang aktivis politik Aljazair). Penjelasan Aditjondro tentang keanekaraman Papua hendaknya kita jadikan sebagai latar depan pemahaman kita tentang persoalan politik di wilayah itu. Inilah titik berangkat kita untuk memahami lebih jauh bagaimana penanganan politik masa silam berdialog dengan problemproblem baru pasca Orde Baru. Penanganan politik semasa kekuasaan Orde Baru di Papua mengedepankan pendekatan keamanan. Dalam model pendekatan keamanan, seluruh kehidupan rakyat Papua diletakkan dalam kerangka politik yang memposisikan setiap EORGE
Sumber: http://z-about.com
dengan konsultasi dan persetujuan legislatif atau kepala Pemerintah Aceh. Misalnya dalam MoU Helsinki disebutkan bahwa kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh; keputusan-keputusan DPR yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh. Selain itu, Aceh melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan; kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, di mana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi. Sebagai tindak lanjut MoU Helsinki, dalam UU No.11/2006 disebutkan bahwa Aceh berwenang memberlakukan Syari'at Islam (Pasal 125), membentuk pengadilan Islam yang dimasukan ke dalam peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama — yang dinamakan Mahkamah Syariah (Pasal 128). Padahal peradilan agama nasional hanya berkaitan dengan hukum-hukum
keluarga (seperti hukum waris, hukum harta benda, dan perkawinan), sedangkan Mahkamah Syar'iyah menangani juga perkara-perkara pidana. Selain itu, Pemerintah Aceh berhak pula untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral RI. Jika diteliti lebih jauh, perlakuan khusus tersebut telah menempatkan Pemerintah Aceh seperti negara bagian dalam konsep negara federalisme. Tentu saja hal ini telah bertentangan dengan Konstitusi Indonesia yang menganut konsep negara kesatuan, di mana tidak ada negara dalam negara. Bagaimanapun juga, kekhususan bagi Aceh yang mengarah pada federalisme ini merupakan bagian dari MoU Helsinki. Dan MoU tersebut secara internasional mengikat Pemerintah RI dan GAM, sehingga mau tak mau isi perjanjian itu semestinya diterima dan dilaksanakan. Meskipun bertentangan dengan konstitusi, dalam perspektif politik integrasi perlakuan khusus untuk Aceh harus diterima, termasuk pendirian Partai GAM di sana yang juga merupakan bagian dari kekhususan Aceh. Saat ini, yang penting adalah, apa yang seharusnya dilakukan bagi Aceh demi kebaikan rakyat Aceh dan keberlangsungan demokrasi di Indonesia n (Faj)
8
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.18/2007
orang dalam kategori pendukung NKRI atau pendukung separatis. Rejim Orde Baru melakukan tindakan represif terhadap pelbagai tuntutan rakyat Papua, walaupun mungkin saja tidak berhubungan langsung dengan gerakan separatis. Contoh dari praktek kekuasaan itu adalah pembunuhan seniman besar Papua, Arnold AP pada dasawarsa 1980-an. Sebagai seorang seniman dan antropolog yang sangat mencintai kekayaan budayanya, Arnold mengembangkan dan mempopulerkan musik rakyat melalui RRI di Papua. Gerakan seni yang dipelopori Arnold dicurigai sebagai upaya membangkitkan sentimen separatis, akibatnya Arnold ditangkap, kemudian ditembak mati dengan tuduhan melarikan diri dari penjara. Dampak dari praktek kekuasaan yang sangat represif adalah tumbuh dan meluasnya gerakan ketidakpuasan terhadap Indonesia. Kalau dulu tuntutan akan kemerdekaan hanya dilakukan oleh sejumlah kelompok bersenjata (OPM), saat ini tuntutan kemerdekaan juga muncul lewat aksiaksi politik tak bersenjata, sebagaimana kita bisa lihat pada kelompok Presidium Dewan Papua (PDP) atau aksi-aksi mahasiswa Papua. Sejumlah pemerintahan RI pasca Orde Baru memang telah berupaya untuk menanggalkan caracara Orde Baru seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintahan Gus Dur, Megawati dan SBY, tetapi realitas politik tidak banyak berubah. Pandangan politik yang sangat menekankan pada keutuhan wilayah NKRI seringkali mengabaikan keanekaragaman dalam gagasan dan aksi politik rakyat Papua. Ketika gejolak politik muncul di Papua, reaksi yang muncul adalah pendekatan keamanan sebagaimana kita bisa lihat dalam kasus pembunuhan politik Ketua PDP Theys Eluay. Kalau semua aspirasi politik orang Papua harus dihadapi dengan caracara lama maka bisa saja praktek
Warga Papua yang mengibarkan bendera bintang kejora - Sumber: AP
politik kita di Timor Timur terulang. Dalam kasus Timor Timur, setiap aspirasi rakyat yang tidak semuanya berkaitan langsung dengan politik kemerdekaan (misalnya tuntutan
“...keanekaraman Papua hendaknya kita jadikan sebagai latar depan pemahaman kita tentang persoalan politik di wilayah itu. Inilah titik berangkat kita untuk memahami lebih jauh bagaimana penanganan politik masa silam berdialog dengan problemproblem bar u pasca Orde Bar u.”
akan lapangan pekerjaan, kecemburuan sosial) dituduh sebagai kelompok pro-kemerdekaan, akibatnya barisan anti Indonesia makin panjang dan berujung pada kemerdekaan Timor Leste 1999. Pengalaman dengan rakyat Timor Timur harusnya menjadi pelajaran penting bagaimana bangsa
kita menyelesaikan sejumlah persoalan. Ketidakjernihan kita dalam memaknai tuntutan politik rakyat Papua bisa berakibat pada memudarnya keIndonesiaan orang Papua, sebagaimana orang Timor Timur dahulu muak akan politik integrasi Orde Baru. Kalau dulu, ada sebagian orang tidak puas dengan proses hukum masuknya Papua ke dalam Indonesia, saat ini, makin banyak orang Papua yang marah atas tanah adatnya yang dirampas demi “pembangunan”, lingkungannya yang tercemar, kesempatan dan lapangan kerja yang minim, tingkat kesehatan yang semakin menurun, meningkatnya tingkat kekerasan terhadap semua golongan, dan hakhak lain yang telah dirampas. Dari sudut pandang pendekatan keamanan, maraknya tuntutan dan aksi-aksi politik akan menimbulkan situasi yang tidak aman di wilayah Papua, ini adalah situasi yang berpotensi mengarah ke disintegrasi bangsa. Pandangan semacam jelas harus kita tolak, karena mengabaikan bangkitnya kesadaran yang berbasis pada keanekaraman hidup orang Papua. Kesatuan wilayah hanya bisa dijamin apabila setiap orang yang berada di wilayah itu merasa berdaulat atas keanekaragaman yang dimilikinya n (Hen)